Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis
Transcript of Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis
-
8/9/2019 Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis
1/3
Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis
enjadi seorang jurnalis merupakan cita-cita sebagian orang. Meski di antara sebagian orang
itu, ada yang merasa kesasar menjadi jurnalis, tidak disengaja, alias sejak semula
sebenarnya tidak berketetapan memilih jurnalis sebagai profesi. Bagi tipe ini, yang sering
terjadi adalah, semula saat mencari pekerjaan kesana-kemari, akhirnya malah diterima di bidang pers.
Kemudian setelah dijalani, ternyata merasa cocok, berkesesuaian dengan dirinya, dan pekerjaan itu
dirasa sebagai tempat yang tepat untuk mengembangkan diri.
Sebaliknya, ada pula orang yang memang bercita-cita ingin menjadi jurnalis, sudah mengantongi jam
terbang berpuluh tahun di bidangnya, namun yang dikerjakannya tak kunjung berubah. Artinya, selama
itu dia hanya berkutatan dengan hal yang sama, itu-itu saja. Hasil liputannya tidak pernah berubah, dari
berita lempang (straight news) satu ke berita serupa yang lain. Bagi orang macam ini, jurnalis disikapi
sebagai sekadar bagaimana memungut fakta (news getter) di tengah realitas kehidupan masyarakat.
Kemudian dia sajikan fakta yang dikumpulkan itu melalui serangkaian kata, kalimat yang disusun dengan
prinsip kaidah jurnalisme. Intinya mengemas fakta menjadi informasi melalui produk jurnalisme,
disampaikan kepada khalayak.
Sedangkan yang dianggap ideal adalah, jurnalis diharapkan bisa mengembangkan dirinya semaksimal
mungkin, tidak hanya dalam konsep, teori maupun secara praktikal, namun diharapkan juga mampu
mengetengahkan wacana bagi kehidupan publik atas dasar fakta yang dijumpai, dicari, dan ditelisiknya.
Dari sana ia akan terbiasa dan memiliki insting kuat untuk menyikapi dan mengelola fakta yang dijumpaimenjadi karya jurnalisme yang menginspirasi banyak orang. Bahkan tidak jarang karya-karya itu
kemudian mampu menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan, dan secara lebih luas mampu
mengangkat media tempat dia berkarya lebih berwibawa, diperhitungkan masyarakat
Judul Buku : To Be A Journalist
Menjadi Jurnalis TV, Radio dan
Surat Kabar yang Profesional
Penulis : Jani Yosef
Penerbit : Graha Ilmu
Tahun : 2009
Tebal : (ix +229)
-
8/9/2019 Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis
2/3
Bagaimana pun, hal-hal di atas itu tidak akan terjadi jika orang yang menjalankannya tidak memiliki
keterampilan. Di sinilah seni jurnalisme, yakni memadukan konsep teori, pengetahuan, dengan
keterampilan teknis itu. Selain itu masih pula ditambah dengan ketaatan pada etika. Dengan etika,
semua yang dilakukannya tidak serta-merta bebas tanpa arah melabrak apa saja begitu rupa. Ada
rambu-rambu yang harus dipenuhi di sana. Akan halnya dalam hal keterampilan teknikal, tentu
dibutuhkan semacam pegangan, atau panduan, sebagai senjata untuk membidik ketika berburu fakta di
lapangan.
Di lapangan kehidupan, di tengah realitas yang beragam, jurnalis atau calon jurnalis, akan menemukan
banyak fakta yang berseliweran silih berganti datangnya. Fakta itu tak mengenal waktu. Ada yang
kelihatan, ada pula yang tak kasat mata, berada di bawah permukaan realitas. Ketika mengendus hal
macam ini, jurnalis memerlukan kemampuan dalam mengerahkan seluruh inderawinya. Jika tanpa
pengetahuan, teknis maupun teoritis, tentu akan sulit baginya untuk memilah dan memilih fakta mana
yang akan disampaikan kepada khalayak.
Diawali sejarah
Pengalaman adalah guru yang baik. Begitu juga bagi penulis buku ini. Dengan mengantongi lebih kurang
20 tahun bekerja di bidang jurnalistik pertelevisian, penulis berkeinginan membagi ilmunya kepada siapa
pun yang ingin menjadi jurnalis.
Akan tetapi, tentu saja tidak menjadi mudah ketika resep-resep yang diberikan itu dipraktekkan kelak.
Sebab, apa yang didapatkan melalui konsep, teori, yang kemudian diendapkan dalam benak, dalam alam
pikiran, belum tentu sama bahkan bisa jadi bertolak belakang dengan kenyataan yang dijumpai di
lapangan. Diperlukan pemahaman lebih luas, mendalam, diramu dengan fakta yang dijumpai dalam
realitas. Secara teknis dan praktis, panduan hanya berhenti sebagai panduan jika tidak dihayati dan
dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
Dibagi dalam tujuh bab, buku ini diawali dengan pengenalan mengenai sejarah jurnalistik. Antara lain
tentang sejak kapan kegiatan jurnalistik diawali. Mulai dari zaman Romawi kuno pada era munculnya
Acta Diurna, ditemukannya alat untuk membuat huruf pada tahun 1423, sampai teknologi modern yang
di Indonesia ditandai dengan dimulainya siaran TVRI pada 1962.
Dalam bab pertama, misalnya, diketengahkan tentang siapa yang boleh melakukan pekerjaan jurnalistik.
Sebab tidak semua orang dapat dan boleh melakukan pekerjaan itu. Mulai dari mencari,
mengumpulkan, menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media massa,
kecuali orang yang berprofesi sebagai wartawan, reporter atau jurnalis. Pengertian makna jurnalistik,
perspektif dan jenis jurnalistik juga dikenalkan. Bahkan disinggung pula sistem dan fungsi pers secara
luas.
-
8/9/2019 Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis
3/3
Karena penulis berasal dari media televisi, panduan dalam buku ini cenderung lebih banyak menyoroti
sisi jurnalisme penyiaran, termasuk di dalamnya adalah radio. Meski demikian, seluk beluk dan dinamika
pers cetak, juga disinggung dengan cukup lengkap.
Memang, secara keseluruhan, buku ini lebih memberikan panduan secara teknis belaka. Artinya, ketika
di sana disampaikan apa saja syarat bagi seseorang yang ingin menjadi jurnalis, yang muncul antara lain
adalah pendidikan, berkelakuan baik, sehat, berakhlak, berani, dapat dipercaya, dan sebagainya (hal 44).
Persyaratan seperti yang disampaikan itu, tentu saja bukan tidak penting. Sebab, secara ideal, memang
demikianlah seharusnya yang harus dimiliki seorang jurnalis. Mulai dari hal yang mendasar sampai hal-
hal yang membutuhkan kemampuan secara khusus. Bagaimana pun apa yang disampaikan dalam bab
per bab buku ini, mulai dari mengenal jurnalistik (bab 1), produk jurnalistik (bab 2), menjadi jurnalis (bab
3), menjadi juru kamera televisi (bab 4), teknik mencari berita (bab 5), teknik meliput berita (bab 6) dan
teknik menulis berita (bab7) dirangkai untuk menjadi panduan resep, atau semacam pegangan bagi
siapa saja yang ingin menjadi jurnalis.
Terjadinya tumpang tindih pengertian maupun dalam konsep seperti disampaikan dalam bab 6 dan bab
7, misalnya, sedikit membuat bingung pembaca. Apa beda meliput berita dan mencari berita? Bukankah
sebenarnya yang dicari seorang jurnalis adalah fakta dalam realitas sosial masyarakat yang kemudian
dipilih untuk disiarkan, diwartakan, karena sudah memenuhi kaidah dan prinsip serta kelayakan bagi
media?
Demikian pula ketika tiba-tiba pada bab 4, disoroti secara khusus tentang menjadi juru kamera televisi.
Sementara soal prinsip, teknis dan pengertian produk jurnalisme, belum lagi selesai dibahas pada bagian
sebelumnya. Artinya, karena semangat hendak mengetengahkan segalanya ke dalam satu buku ini, yang
terjadi kemudian adalah kekurangan secara sistematis dalam hal apa yang hendak disampaikan. Ada
kesan sedikit meloncat-loncat, dari topik satu ke topik lain. Misalnya, ketika bahasan dengan topik hal-
hal yang perlu diperhatikan dalam menyeleksi berita (hal 112), kemudian meloncat ke struktur
organisasi baik di televisi, radio maupun suratkabar (hal 115-116).
Bagaimana pun, di tengah sedikitnya buku panduan atau buku pegangan tentang bagaimana menjadi
jurnalis, kehadiran buku ini tentu saja cukup bermanfaat bagi siapa pun yang berminat, terkhusus
mereka yang ingin menjadi jurnalis. Jika dalam buku ini masih terdapat beberapa kesalahan tulis
diharapkan hal macam itu tidak berulang lagi. Sebab, apa jadinya jika buku berisi panduan bagi jurnalis
yang baik, ternyata justru masih memuat kesalahan elementer? Salah tulis, tak bisa dimaklumi sebagai
salah cetak atau sekadar kesalahan teknis. Prinsip jurnalis adalah cepat, benar dan tepat. Soal mengapa
judul buku ini menggunakan bahasa Inggris dicampur bahasa Indonesia, barangkali itu hanya sebagai
gimmick, agar menjadi mudah dikenali khalayak. (agoes widhartono)