Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis

download Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis

of 3

Transcript of Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis

  • 8/9/2019 Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis

    1/3

    Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis

    enjadi seorang jurnalis merupakan cita-cita sebagian orang. Meski di antara sebagian orang

    itu, ada yang merasa kesasar menjadi jurnalis, tidak disengaja, alias sejak semula

    sebenarnya tidak berketetapan memilih jurnalis sebagai profesi. Bagi tipe ini, yang sering

    terjadi adalah, semula saat mencari pekerjaan kesana-kemari, akhirnya malah diterima di bidang pers.

    Kemudian setelah dijalani, ternyata merasa cocok, berkesesuaian dengan dirinya, dan pekerjaan itu

    dirasa sebagai tempat yang tepat untuk mengembangkan diri.

    Sebaliknya, ada pula orang yang memang bercita-cita ingin menjadi jurnalis, sudah mengantongi jam

    terbang berpuluh tahun di bidangnya, namun yang dikerjakannya tak kunjung berubah. Artinya, selama

    itu dia hanya berkutatan dengan hal yang sama, itu-itu saja. Hasil liputannya tidak pernah berubah, dari

    berita lempang (straight news) satu ke berita serupa yang lain. Bagi orang macam ini, jurnalis disikapi

    sebagai sekadar bagaimana memungut fakta (news getter) di tengah realitas kehidupan masyarakat.

    Kemudian dia sajikan fakta yang dikumpulkan itu melalui serangkaian kata, kalimat yang disusun dengan

    prinsip kaidah jurnalisme. Intinya mengemas fakta menjadi informasi melalui produk jurnalisme,

    disampaikan kepada khalayak.

    Sedangkan yang dianggap ideal adalah, jurnalis diharapkan bisa mengembangkan dirinya semaksimal

    mungkin, tidak hanya dalam konsep, teori maupun secara praktikal, namun diharapkan juga mampu

    mengetengahkan wacana bagi kehidupan publik atas dasar fakta yang dijumpai, dicari, dan ditelisiknya.

    Dari sana ia akan terbiasa dan memiliki insting kuat untuk menyikapi dan mengelola fakta yang dijumpaimenjadi karya jurnalisme yang menginspirasi banyak orang. Bahkan tidak jarang karya-karya itu

    kemudian mampu menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan, dan secara lebih luas mampu

    mengangkat media tempat dia berkarya lebih berwibawa, diperhitungkan masyarakat

    Judul Buku : To Be A Journalist

    Menjadi Jurnalis TV, Radio dan

    Surat Kabar yang Profesional

    Penulis : Jani Yosef

    Penerbit : Graha Ilmu

    Tahun : 2009

    Tebal : (ix +229)

  • 8/9/2019 Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis

    2/3

    Bagaimana pun, hal-hal di atas itu tidak akan terjadi jika orang yang menjalankannya tidak memiliki

    keterampilan. Di sinilah seni jurnalisme, yakni memadukan konsep teori, pengetahuan, dengan

    keterampilan teknis itu. Selain itu masih pula ditambah dengan ketaatan pada etika. Dengan etika,

    semua yang dilakukannya tidak serta-merta bebas tanpa arah melabrak apa saja begitu rupa. Ada

    rambu-rambu yang harus dipenuhi di sana. Akan halnya dalam hal keterampilan teknikal, tentu

    dibutuhkan semacam pegangan, atau panduan, sebagai senjata untuk membidik ketika berburu fakta di

    lapangan.

    Di lapangan kehidupan, di tengah realitas yang beragam, jurnalis atau calon jurnalis, akan menemukan

    banyak fakta yang berseliweran silih berganti datangnya. Fakta itu tak mengenal waktu. Ada yang

    kelihatan, ada pula yang tak kasat mata, berada di bawah permukaan realitas. Ketika mengendus hal

    macam ini, jurnalis memerlukan kemampuan dalam mengerahkan seluruh inderawinya. Jika tanpa

    pengetahuan, teknis maupun teoritis, tentu akan sulit baginya untuk memilah dan memilih fakta mana

    yang akan disampaikan kepada khalayak.

    Diawali sejarah

    Pengalaman adalah guru yang baik. Begitu juga bagi penulis buku ini. Dengan mengantongi lebih kurang

    20 tahun bekerja di bidang jurnalistik pertelevisian, penulis berkeinginan membagi ilmunya kepada siapa

    pun yang ingin menjadi jurnalis.

    Akan tetapi, tentu saja tidak menjadi mudah ketika resep-resep yang diberikan itu dipraktekkan kelak.

    Sebab, apa yang didapatkan melalui konsep, teori, yang kemudian diendapkan dalam benak, dalam alam

    pikiran, belum tentu sama bahkan bisa jadi bertolak belakang dengan kenyataan yang dijumpai di

    lapangan. Diperlukan pemahaman lebih luas, mendalam, diramu dengan fakta yang dijumpai dalam

    realitas. Secara teknis dan praktis, panduan hanya berhenti sebagai panduan jika tidak dihayati dan

    dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

    Dibagi dalam tujuh bab, buku ini diawali dengan pengenalan mengenai sejarah jurnalistik. Antara lain

    tentang sejak kapan kegiatan jurnalistik diawali. Mulai dari zaman Romawi kuno pada era munculnya

    Acta Diurna, ditemukannya alat untuk membuat huruf pada tahun 1423, sampai teknologi modern yang

    di Indonesia ditandai dengan dimulainya siaran TVRI pada 1962.

    Dalam bab pertama, misalnya, diketengahkan tentang siapa yang boleh melakukan pekerjaan jurnalistik.

    Sebab tidak semua orang dapat dan boleh melakukan pekerjaan itu. Mulai dari mencari,

    mengumpulkan, menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media massa,

    kecuali orang yang berprofesi sebagai wartawan, reporter atau jurnalis. Pengertian makna jurnalistik,

    perspektif dan jenis jurnalistik juga dikenalkan. Bahkan disinggung pula sistem dan fungsi pers secara

    luas.

  • 8/9/2019 Menjadi Jurnalis Melalui Panduan Teknis

    3/3

    Karena penulis berasal dari media televisi, panduan dalam buku ini cenderung lebih banyak menyoroti

    sisi jurnalisme penyiaran, termasuk di dalamnya adalah radio. Meski demikian, seluk beluk dan dinamika

    pers cetak, juga disinggung dengan cukup lengkap.

    Memang, secara keseluruhan, buku ini lebih memberikan panduan secara teknis belaka. Artinya, ketika

    di sana disampaikan apa saja syarat bagi seseorang yang ingin menjadi jurnalis, yang muncul antara lain

    adalah pendidikan, berkelakuan baik, sehat, berakhlak, berani, dapat dipercaya, dan sebagainya (hal 44).

    Persyaratan seperti yang disampaikan itu, tentu saja bukan tidak penting. Sebab, secara ideal, memang

    demikianlah seharusnya yang harus dimiliki seorang jurnalis. Mulai dari hal yang mendasar sampai hal-

    hal yang membutuhkan kemampuan secara khusus. Bagaimana pun apa yang disampaikan dalam bab

    per bab buku ini, mulai dari mengenal jurnalistik (bab 1), produk jurnalistik (bab 2), menjadi jurnalis (bab

    3), menjadi juru kamera televisi (bab 4), teknik mencari berita (bab 5), teknik meliput berita (bab 6) dan

    teknik menulis berita (bab7) dirangkai untuk menjadi panduan resep, atau semacam pegangan bagi

    siapa saja yang ingin menjadi jurnalis.

    Terjadinya tumpang tindih pengertian maupun dalam konsep seperti disampaikan dalam bab 6 dan bab

    7, misalnya, sedikit membuat bingung pembaca. Apa beda meliput berita dan mencari berita? Bukankah

    sebenarnya yang dicari seorang jurnalis adalah fakta dalam realitas sosial masyarakat yang kemudian

    dipilih untuk disiarkan, diwartakan, karena sudah memenuhi kaidah dan prinsip serta kelayakan bagi

    media?

    Demikian pula ketika tiba-tiba pada bab 4, disoroti secara khusus tentang menjadi juru kamera televisi.

    Sementara soal prinsip, teknis dan pengertian produk jurnalisme, belum lagi selesai dibahas pada bagian

    sebelumnya. Artinya, karena semangat hendak mengetengahkan segalanya ke dalam satu buku ini, yang

    terjadi kemudian adalah kekurangan secara sistematis dalam hal apa yang hendak disampaikan. Ada

    kesan sedikit meloncat-loncat, dari topik satu ke topik lain. Misalnya, ketika bahasan dengan topik hal-

    hal yang perlu diperhatikan dalam menyeleksi berita (hal 112), kemudian meloncat ke struktur

    organisasi baik di televisi, radio maupun suratkabar (hal 115-116).

    Bagaimana pun, di tengah sedikitnya buku panduan atau buku pegangan tentang bagaimana menjadi

    jurnalis, kehadiran buku ini tentu saja cukup bermanfaat bagi siapa pun yang berminat, terkhusus

    mereka yang ingin menjadi jurnalis. Jika dalam buku ini masih terdapat beberapa kesalahan tulis

    diharapkan hal macam itu tidak berulang lagi. Sebab, apa jadinya jika buku berisi panduan bagi jurnalis

    yang baik, ternyata justru masih memuat kesalahan elementer? Salah tulis, tak bisa dimaklumi sebagai

    salah cetak atau sekadar kesalahan teknis. Prinsip jurnalis adalah cepat, benar dan tepat. Soal mengapa

    judul buku ini menggunakan bahasa Inggris dicampur bahasa Indonesia, barangkali itu hanya sebagai

    gimmick, agar menjadi mudah dikenali khalayak. (agoes widhartono)