MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

19
581 Abstrak: Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu Perubah- an Iklim. Penelitian ini mencoba untuk melihat potensi peningkatan peran tradisional profesi akuntan, dari peran administrasi menjadi pe- ran strategis, dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Metode anali- sis naratif digunakan untuk memahami latar belakang dan dampak dari perubahan iklim. Penelitian ini menemukan hasil bahwa profesi akuntan dapat berperan lebih besar terkait berbagai isu perubahan iklim. Peran tersebut menuntut para akuntan untuk menginternalisasi isu perubah- an iklim dalam laporan keuangan. Implikasinya, para pengguna laporan keuangan dapat mempertimbangkan isu perubahan iklim dalam kepu- tusannya. Abstract: Reviewing the Role of Accountants in Addressing Climate Change Issues. This study attempts to see the potential for increasing the traditional role of the accounting profession from an administrative role to a strategic role in overcoming the problem of climate change. The narrative analysis method is used to understand the background and impacts of climate change. This study finds that the accounting profession can play a bigger role in relation to climate change issues. This role requires the accounting profession to internalize the issue of climate change in financial reports. The implication is that users of financial reports can consider the issue of climate change in their decisions. Pada 12 Desember 2015 lebih dari 160 negara peserta (yang terdiri dari negara maju dan berkembang) berkomitmen dalam suatu perjanjian internasional untuk mengatasi masalah pemanasaan global yang merupa- kan isu penting dalam memicu terjadinya perubahan iklim. Perjanjian tersebut berna- ma Perjanjian Paris. Dalam perjanjian terse- but setiap negara peserta berkomitmen un- tuk membatasi kenaikan temperatur global maksimal 2° celcius di atas temperatur sebe- lum terjadinya masa revolusi industri. Wa- lau batas kenaikan temperatur dalam Per- janjian Paris ditetapkan maksimal 2° celcius, setiap negara peserta harus berusaha untuk membatasi kenaikan temperatur hanya 1,5° celcius. Selisih antara 2° dengan 1,5° celcius tampak sangat kecil, tetapi perbedaan terse- but akan meningkatkan energi panas dalam jumlah besar dalam sistem iklim global dan mengakibatkan dampak yang berbahaya bagi ekosistem. Saat ini kenaikan tempera- tur global diperkirakan telah mencapai seki- tar 1° celcius di atas temperatur sebelum masa revolusi industri. Dengan kenaikan temperatur 1° celcius dunia telah mengala- mi beragam kerusakan yang mengancam kehidupan manusia, kondisi pertanian, dan Volume 11 Nomor 3 Halaman 581-599 Malang, Desember 2020 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 Mengutip ini sebagai: Mahardika, D. P. K. (2020). Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu Perubahan Iklim. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(3), 581-599. https://doi.org/10.21776/ub.ja- mal.2020.11.3.33 MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU PERUBAHAN IKLIM Dewa Putra Krishna Mahardika Universitas Telkom, Jl. Terusan Buah Batu, Bandung 40257 Tanggal Masuk: 19 September 2020 Tanggal Revisi: 18 November 2020 Tanggal Diterima: 31 Desember 2020 Surel: [email protected] Kata kunci: akuntan, internalisasi, peran tradisional, perubahan iklim Jurnal Akuntansi Mulparadigma, 2020, 11(3), 581-599

Transcript of MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

Page 1: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

581

Abstrak: Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu Perubah­an Iklim. Penelitian ini mencoba untuk melihat potensi peningkatan peran tradisional profesi akuntan, dari peran administrasi menjadi pe­ran strategis, dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Metode anali­sis naratif digunakan untuk memahami latar belakang dan dampak dari perubahan iklim. Penelitian ini menemukan hasil bahwa profesi akuntan dapat berperan lebih besar terkait berbagai isu perubahan iklim. Peran tersebut menuntut para akuntan untuk menginternalisasi isu perubah­an iklim dalam laporan keuangan. Implikasinya, para pengguna laporan keuangan dapat mempertimbangkan isu perubahan iklim dalam kepu­tusannya. Abstract: Reviewing the Role of Accountants in Addressing Climate Change Issues. This study attempts to see the potential for increasing the traditional role of the accounting profession from an administrative role to a strategic role in overcoming the problem of climate change. The narrative analysis method is used to understand the background and impacts of climate change. This study finds that the accounting profession can play a bigger role in relation to climate change issues. This role requires the accounting profession to internalize the issue of climate change in financial reports. The implication is that users of financial reports can consider the issue of climate change in their decisions.

Pada 12 Desember 2015 lebih dari 160 negara peserta (yang terdiri dari negara maju dan berkembang) berkomitmen dalam suatu perjanjian internasional untuk mengatasi masalah pemanasaan global yang merupa­kan isu penting dalam memicu terjadinya perubahan iklim. Perjanjian tersebut berna­ma Perjanjian Paris. Dalam perjanjian terse­but setiap negara peserta berkomitmen un­tuk membatasi kenaikan temperatur global maksimal 2° celcius di atas temperatur sebe­lum terjadinya masa revolusi industri. Wa­lau batas kenaikan temperatur dalam Per­janjian Paris ditetapkan maksimal 2° celcius,

setiap negara peserta harus berusaha untuk membatas i kenaikan temperatur hanya 1,5° celcius. Selisih antara 2° dengan 1,5° celcius tampak sangat kecil, tetapi perbedaan terse­but akan meningkatkan energi panas dalam jumlah besar dalam sistem iklim global dan mengakibatkan dampak yang berbahaya bagi ekosistem. Saat ini kenaikan tempera­tur global diperkirakan telah mencapai seki­tar 1° celcius di atas temperatur sebelum masa revolusi industri. Dengan kenaikan temperatur 1° celcius dunia telah mengala­mi beragam kerusakan yang mengancam kehidupan manusia, kondisi pertanian, dan

Volume 11Nomor 3Halaman 581-599Malang, Desember 2020ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

Mengutip ini sebagai: Mahardika, D. P. K. (2020). Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu Perubahan Iklim. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(3), 581­599. https://doi.org/10.21776/ub.ja­mal.2020.11.3.33

MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU PERUBAHAN IKLIMDewa Putra Krishna Mahardika

Universitas Telkom, Jl. Terusan Buah Batu, Bandung 40257

Tanggal Masuk: 19 September 2020Tanggal Revisi: 18 November 2020Tanggal Diterima: 31 Desember 2020

Surel: [email protected]

Kata kunci:

akuntan,internalisasi,peran tradisional,perubahan iklim

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(3), 581-599

Page 2: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

kelestarian ekosistem (Kumarasiri & Jubb, 2016; Quayle et al., 2020).

Tanpa adanya usaha dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk meng­ubah cara hidup manusia yang bergantung pada bahan bakar fosil dengan kandungan kadar karbon tinggi, maka dalam beberapa dekade ke depan kondisi tragedi masa depan (tragedy of the horizon) akan terjadi (Anindi­ta & Hamidah, 2020; Gibassier et al., 2020). Tragedi masa depan merupakan kondisi kerusakan yang terjadi akibat perubahan iklim sudah tidak dapat diperbaiki karena kerusakan bersifat permanen dan sistemik sehingga akan mempengaruhi beragam sisi kehidupan manusia. Walau tanggung jawab untuk memenuhi ketentuan dalam Perjanji­an Paris terletak pada pemerintah, masalah perubahan iklim terjadi akibat tindakan seluruh manusia sehingga semua pihak, baik sebagai individu maupun kelompok, memiliki tanggung jawab sesuai dengan peran nya masing­masing. Profesi akuntan sebagai sebuah kelompok tidak dikecualikan dari beban tanggung jawab untuk target da­lam Perjanjian Paris.

Profesi akuntan selama ini telah dike­nal sebagai profesi yang bertanggung jawab terhadap pencatatan transaksi keuangan dan penerbitan laporan keuangan bera­gam organisasi. Dengan adanya masalah perubahan iklim yang mengancam seluruh kehidupan manusia, profesi akuntan ti­dak dapat bersikap pasif dalam menghada­pi perubahan iklim. Profesi akuntan harus memahami isu perubahan iklim mulai dari penyebab terjadinya perubahan iklim sam­pai pada dampaknya terhadap kegiatan ekonomi. Dengan pemahaman ini profesi akuntan dapat ikut serta memikirkan kon­tribusi dalam membatasi kenaikan pemana­san global sehingga target dalam Perjanjian Paris dapat terpenuhi. Kontribusi dari pro­fesi akuntan mengharuskan akuntan untuk memperbesar peran dan tanggung jawab tidak hanya sebagai pencatatat transaksi dan penerbit laporan keuangan, tetapi juga mampu memperkirakan dampak dari suatu aktivitas usaha terhadap perubahan iklim dan mampu mengungkapkan dampak terse­but dalam laporan keuangan.

Kondisi yang terjadi selama ini adalah isu perubahan iklim tidak tercermin dalam laporan keuangan karena memang profe­si akuntan tidak mempertimbangkan isu ini dalam laporan keuangan. Tidak tercer­minnya isu perubahan iklim dalam lapor­

an keuangan berakibat pada beberapa hal. Pertama, beragam perusahaan tidak mem­pertimbangkan dampak perubahan iklim dari kegiatan produksinya sehingga kegiat­an produksi yang mereka jalankan tidak dapat dikategorikan sebagai produksi yang berkelanjutan (sustainable production). Kedua, dengan tidak mempertimbangkan isu perubahan iklim membuat harga pro­duk tidak mencerminkan dampak keru­sakan ekosistem yang memicu perubahan iklim. Jika harga atas suatu produk tidak memperhitungkan dampak kerusakan eko­sistem, maka penentuan harga produk akan terlalu murah dibandingkan jika harga pro­duk memperhitungkan dampak kerusakan ekosistem. Ketiga, tidak tercerminnya ker­usakan ekosistem pada harga produk pada akhirnya membuat konsumen tidak kritis dalam mengonsumsi produk sehingga be­rakibat kondisi konsumsi yang berkelanju­tan (sustainable consumption) tidak terca­pai, Keempat, tidak terjadinya produksi dan konsumsi yang berkelanjutan membuat isu perubahan iklim menjadi eksternalitas yang tidak dipertimbangkan oleh produsen dan konsumen. Artinya, baik produsen maupun konsumen tidak bertanggung jawab ter­hadap isu perubahan iklim. Dengan kondisi ini tumpuan untuk mencapai target dalam Perjanjian Paris hanya pada pemerintah. Pe­nelitian ini mencoba untuk meninjau peran akuntan dalam menghadapi isu pemanasan global dengan menganalisis ketentuan da­lam standar akuntansi keuangan (PSAK). Berdasarkan hasil analisis tersebut akan dapat ditentukan apakah PSAK yang saat ini berlaku dapat mengakomodasi isu pe­rubahan iklim sehingga tercermin dalam laporan keuangan. Sepanjang pengetahuan kami, penelitian lokal yang mencoba menga­komodasi isu perubahan iklim dalam lapor­an keuangan dengan berdasarkan pada PSAK belum pernah dilakukan. Penelitian pada tingkat global pun belum difokuskan pada usaha yang dilakukan oleh akademisi akuntan untuk memasukkan isu perubahan iklim dalam laporan keuangan (Csutora & Harangozo, 2017; Hopper, 2019).

Secara eksplisit isu perubahan iklim memang tidak diakomodasi pada aturan akuntansi tingkat lokal melalui PSAK atau­pun tingkat internasional melalui Interna-tional Financial Reporting Standards (IFRS). Artinya, tidak ada standar khusus yang mengatur bagaimana mengungkapkan isu perubahan iklim dalam laporan keuangan.

Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 582

Page 3: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

Pada sisi lain, kesadaran investor dan pihak lain terkait lingkungan telah meningkat dan mereka mulai bertanya mengapa IFRS tidak mengakomodasi isu perubahan iklim (Palea, 2018; Wegener & Labelle, 2017). Isu peru­bahan iklim merupakan isu yang kompleks karena dampaknya sistemik bagi ekosistem lingkungan dan bagi kegiatan perekonomi­an. Penelitian awal ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai bagaimana profesi akuntan menangani isu perubahan iklim dalam laporan keuangan dengan melihat pada ketentuan PSAK yang berlaku sehingga isu perubahan iklim dapat tercermin dalam laporan keuangan. Dengan kata lain, penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam hal internalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan.

METODEPenelitian ini mengaitkan isu perubah­

an iklim dengan peran dan tanggung jawab akuntan sebagai pencatat transaksi dan pe­nerbit laporan keuangan. Untuk memberikan gambaran isu seputar perubahan iklim dan dampaknya terhadap ekosistem lingkungan dan kegiatan perekonomian, penelitian ini menggunakan analisis naratif dengan fokus pada proses untuk menggambarkan keja­dian yang telah berlalu dan sedang terjadi serta kaitannya dengan kejadian lain (Nic­kell & Roberts, 2014; Patten & Shin, 2019). Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, analisis naratif digunakan untuk memberi­kan gambaran mengenai proses terjadinya

perubahan iklim dan dampaknya terhadap ekosistem dan perekonomian. De ngan me­ngetahui penyebab utama terjadinya peru­bahan iklim serta dampaknya, dapat dija­barkan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh profesi akuntan guna dapat berkontri­busi mengatasi isu perubahan iklim.

Analisis naratif akan bermula dengan mengetahui pemicu terjadinya perubahan iklim berdasarkan penelitian dengan tema lingkungan dan perubahan iklim. Lalu, penelitian dengan tema yang sama akan dipilih untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap ekosistem lingkungan. Guna meng­identifikasi­kontribusi­profesi­akuntan­ter hadap penanggulangan isu perubahan iklim, penelitian terkait dampak perubah­an iklim terhadap kegiatan perekonomian juga akan dimasukkan sebagai bahan ana­lisis. Dengan mengetahui pemicu terjadinya perubahan iklim dan dampaknya terhadap kegiatan perekonomian, maka profesi akun­tan­dapat­mengidentifikasi­perluasan­peran­dan tanggung jawab profesi akuntan dalam membantu pemerintah untuk memenuhi target masalah lingkungan yang tercantum dalam Perjanjian Paris.

HASIL DAN PEMBAHASANDalam kehidupan sosial tiga kelompok

dengan kepentingan yang berbeda saling berinteraksi. Ketiga kelompok tersebut ada­lah pemerintah, swasta, dan masyarakat, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Kelom­pok pertama pemerintah berperan penting dalam menjaga keteraturan masyarakat

Common Goods ­

Isu Iklim

Pemerintah

SwastaMasyarakat

Gambar 1. Tiga Kelompok dalam Kehidupan SosialSumber: Schoenmaker & Schramade (2019)

583 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599

Page 4: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

dalam suatu wilayah negara. Dalam bidang perekonomian pemerintah berperan menja­ga iklim yang kondusif bagi terlaksananya kegiatan produksi dan konsumsi sehingga pertumbuhan ekonomi dapat terjaga. Be­ragam faktor dapat menyebabkan kegiatan produksi dan konsumsi terganggu seperti wabah Covid 19 yang saat ini terjadi.

Dengan kewenangan yang dimilikinya, pemerintah dapat mengeluarkan beragam kebijakan untuk meminimalkan dampak negatif dari beragam faktor yang berpotensi mengganggu proses produksi dan konsum­si. Selain itu, dengan kewenangannya pe­merintah juga dapat mengarahkan kegiatan perekonomian menuju pada kondisi tertentu dengan beragam cara seperti memberikan insentif pajak guna merangsang kegiatan tertentu, dan mengenakan pajak guna me­ngurangi kegiatan tertentu. Misalnya, untuk melindungi usaha kecil dalam negeri peme­rintah dapat mengenakan pajak impor guna mengurangi kegiatan impor dan mendorong konsumsi dengan menggunakan produk da­lam negeri.

Walau pemerintah memiliki kewenan­gan untuk memungut pajak dari kedua kelompok lain (swasta dan masyarakat), tetapi pemungutan pajak tersebut bukan­lah berorientasi laba melainkan berorientasi pada pelayanan umum. Selain berperan un­tuk menjaga keteraturan, pemerintah juga berperan untuk menyediakan sarana pu­blik yang tidak dapat disediakan oleh swas­ta dan masyarakat seperti penyediaan jalan, jembatan, dan bendungan. Penyediaan pe­layanan umum tersebut memerlukan pem­biayaan dan pembiayaan tersebut diperoleh pemerintah melalui pajak yang dipungut dari sektor swasta dan masyarakat.

Kelompok kedua adalah swasta yang berperan memproduksi barang dan jasa yang akan dikonsumsi oleh pemerintah dan ma­syarakat. Dalam kegiatan produksi tersebut sektor swasta mengombinasikan bera gam sumber daya dalam proses produksi yang akan menghasilkan produk untuk dijual. Berbeda dengan sektor pemerintah yang fokus utamanya adalah pelayanan publik, sektor swasta fokus utamanya adalah per­olehan laba melalui proses produksi yang di­jalankan­secara­efisien.­Karena­sektor­swas­ta berorientasi laba, terdapat kecenderungan bahwa sektor ini akan memiliki fokus jang­ka pendek dengan mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan guna memperbesar laba yang diperoleh. Dampak dari eksploita­

si ini tidak hanya merugikan kelompok lain, tetapi juga merugikan ekosistem lingkun­gan.

Walau dalam model ekonomi kapital­isme, peranan pemerintah dalam kegiatan perekonomian dibatasi dan menyerahkan sepenuhnya perekonomian kepada sektor swasta, seringkali terjadi kegagalan sek­tor swasta untuk menjalankan kegiatan perekonomian secara sustainable dengan melakukan ekspolitasi secara berlebihan terhadap ekosistem lingkungan. Kegaga­lan tersebut dapat berujung pada beragam dampak negatif yang akan mengganggu pro­ses produksi dan konsumsi seperti terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan, kejahatan kerah putih, dan arah perekonomian yang tidak terencana. Guna mencegah terjadinya kegagalan akibat menyerahkan sepenuhnya kegiatan perekonomian kepada sektor swas­ta seperti dalam sistem kapitalisme, peran pemerintah tidak bisa diabaikan. Bahkan, dalam negara yang menganut prinsip kapi­talisme peran pemerintah dalam perekono­mian tetap diperlukan.

Kelompok ketiga adalah masyarakat yang berperan membentuk beragam komu­nitas guna melaksanakan kegiatan dengan tujuan memberikan manfaat kepada anggota komunitas secara khusus dan masyarakat secara umum. Salah satu bentuk komunitas yang ada dalam masyarakat adalah perkum­pulan anggota masyarakat dengan kesa­maan latar belakang pendidikan dan profesi. Anggota dalam perkumpulan tersebut saling berkolabolarasi untuk menyepakati aturan terkait profesi yang dijalankan sehingga ter­capai standar dari pekerjaan profesi terse­but. Beberapa contoh perkumpulan yang bertujuan untuk membentuk standardisa­si atas pekerjaan para anggotanya adalah profesi akuntan dengan organisasinya be­rupa Ikatan Akuntan Indonesia, dan profesi dokter dengan organisasinya berupa Ikatan Dokter Indonesia.

Ketiga kelompok di atas saling berin­teraksi dalam kegiatan perekonomian. Ma­sing­masing akan berusaha menjalankan perannya masing­masing guna memenuhi target: pemerintah akan menjaga keteratur­an perekonomian dan pemenuhan pelayanan publik; swasta akan memporduksi barang dan­ jasa­ dengan­ efisien­ guna­ memperoleh­laba; dan masyarakat akan membentuk ko­munitas yang akan memenuhi kebutuhan anggota komunitas dan masyarakat secara umum. Namun, ketiga pihak tersebut bisa

Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 584

Page 5: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya: pemerintah dapat bertindak ko­rupsi yang menyebabkan pelayanan kepada publik tidak maksimal; swasta dapat ber­tindak untuk mencari keuntungan dalam jangka pendek yang menyebabkan skandal keuangan; dan masyarakat dapat bertindak diskriminasi terhadap kelompok tertentu yang menyebabkan kelompok tersebut tidak dapat berpartisipasi dalam suatu komuni­tas.

Kegagalan ketiga kelompok juga dapat terjadi saat mereka menangani masalah common goods­yang­didefiniskan­sebagai­ke­butuhan bersama yang sangat dibutuhkan ketiga kelompok dalam menjalankan fung­sinya dalam kegiatan perekonomian. Ke­gagalan dalam penyediaan common goods akan menyebabkan terhentinya kegiatan perekonomian karena setiap kelompok tidak dapat menjalankan fungsinya masing­mas­ing. Walau common goods tersebut sangat dibutuhkan, namun kegagalan dalam penye­diaan common goods dapat terjadi saat keti­ga pihak tidak ada yang merasa bertanggung jawab dalam memastikan ketersediaan dan keberlangsungan common goods.

Salah satu contoh common goods yang mutlak diperlukan bagi ketiga kelompok da­lam menjalankan fungsinya adalah kestabil­an iklim. Beragam kegiatan manusia sangat memerlukan kondisi kestabilan iklim. Bah­kan, dua kebutuhan dasar yang mempe­ngaruhi kelangsungan hidup manusia, yai­tu kegiatan pertanian dan siklus air bersih, sangat memerlukan kondisi kestabilan iklim (Evangelinos, 2015; Kumarasiri & Gu­nasekarage, 2017). Tanpa adanya kegiatan pertanian dan siklus air bersih bukan ha­nya membuat ketiga kelompok tidak dapat menjalankan fungsinya masing ma sing, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah punahnya umat manusia (Mulawarman, 2020).

Dengan sifatnya yang berlangsung se­cara perlahan­lahan dan terjadi antargene­rasi, dampak kerusakan perubahan iklim tidak dirasakan dengan nyata dalam satu generasi. Hal inilah yang membuat bera­gam pihak menyangkal akan terjadinya ke­rusakan ekosistem akibat perubahan iklim. Saat kerusakan telah terjadi dalam bebera­pa dekade ke depan maka sangat sulit dan bahkan mustahil untuk memperbaiki ke­rusakan dan mengembalikan kondisi eko­sistem ke kondisi sebelum terjadinya ke­

rusakan. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai tragedi di masa depan.

Sebelum melihat beberapa dampak pe­rubahan iklim terhadap kerusakan lingkung­an dan perekonomian serta bagaima­na akuntan dapat berkontribusi untuk menang ani masalah perubahan iklim, maka pembahasan berikutnya akan difokuskan pada penyebab terjadinya perubahan iklim. De ngan mengetahui penyebab tersebut diharap kan akuntan dengan peran tradi­sionalnya selama ini sebagai pencatat tran­saksi dan penerbit laporan keuangan dapat memperpesar perannya untuk berkontribusi terhadap usaha dalam mengurangi dampak negatif terjadinya perubahan iklim.

Penyebab utama perubahan iklim. Perubahan iklim yang saat ini sedang terja­di merupakan dampak dari akumulasi gas carbon dioxide (CO2) di lapisan atmosfer. Gas CO2 memiliki sifat untuk menyerap in­framerah yang terkandung pada pancaran sinar matahari. Kemampuan gas CO2 da­lam menyerap panas inframerah inilah yang menjadi penyebab utama kenaikan tempera­tur global (Domino et al., 2015; Kumarasi­ri & Gunasekarage, 2017). Dengan kondisi ini semakin tinggi akumulasi gas CO2 pada lapisan atmosfer berdampak pada semakin besar kemampuan dalam menyerap panas yang pada akhirnya akan berakibat pada ke­naikan temperatur bumi. Kondisi ini disebut sebagai greenhouse effect, di mana panas dari inframerah yang diserap oleh CO2 ter­jebak antara bumi dengan lapisan atmosfer.

Penyebab terjadinya akumulasi CO2 pada lapisan atmosfer bisa disebabkan oleh proses alami dan proses nonalami. Proses alami yang menyebabkan pelepasan CO2 ke atmosfer misalnya meletusnya gunung bera­pi. Melalui proses chemical weathering CO2 yang berada di atmosfer akan terurai dan turun kembali ke permukaan bumi baik da­ratan maupun lautan. Siklus ini merupakan siklus karbon alami yang akan membuat pelepasan CO2 ke atmosfer akan turun ke bumi dan tidak terakumulasi pada lapisan atmosfer (Bui & Fowler, 2019; Domino et al., 2015).

Selain chemical weathering, siklus karbon alami juga terjadi dari proses pho-tosythesis tanaman yang memerlukan CO2 dan dari proses tersebut tanaman akan mengeluarkan oksigen ke atmosfer. Seluruh manusia dan hewan memerlukan oksigen dalam aktivitas pernafasan yang selanjut­

585 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599

Page 6: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

nya akan mengeluarkan CO2. Proses pho-tosythesis akan menarik kembali CO2 dari hasil pernafasan manusia dan hewan dan memprosesnya menjadi oksigen. Proses ini terus berlanjut sehingga melalui proses pho-tosythesis kadar CO2 tidak terakumulasi da­lam atmosfer.

Namun, proses chemical weathering dan photosythesis yang merupakan tulang punggung dari siklus karbon alami tidak dapat memproses pelepasan CO2 yang ter­lampau tinggi. Beragam aktivitas manusia menyebabkan pelepasan CO2 ke atmosfer sangat tinggi yang tidak mampu diproses melalui siklus karbon alami. Ketidakmam­puan tersebut menyebabkan terakumu­lasinya CO2 pada lapisan atmosfer. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh manusia telah menyebabkan terlepasnya CO2 dengan ka­dar tinggi ke atmosfer dan tidak dapat dipro­ses melalui siklus karbon alami yang pada akhirnya berakibat pada kenaikan tempera­tur global. Bahkan, aktivitas manusia sejak 1950­an hingga saat ini telah berkontribu­si terhadap akumulasi CO2 dan mendorong terjadinya perubahan iklim (Sitorus, 2016; Werastuti, 2017).

Gaya hidup manusia yang melakukan eksploitasi alam secara berlebihan te lah berkontrobusi terhadap perubahan iklim (Csutora & Harangozo, 2016; Zhang et al., 2016). Eksploitasi tersebut tidak hanya mengonsumsi secara berlebihan, tetapi juga menggunakan cara yang murah dalam usa­ha untuk dapat mengonsumsinya. Misal­nya, aktivitas perkebunan dilakukan dengan pembakaran hutan sebagai cara yang murah dibandingkan jika harus menggunakan alat­alat berat untuk menebang pohon dan mem­bersihkan lahan. Walau pembukaan hutan sendiri akan menghasilkan pelepasan CO2, cara pembukaan hutan dengan cara pem­bakaran akan memperparah situasi kare­na pelepasan kadar CO2 akan lebih tinggi dibanding jika dengan cara menggunakan alat­alat berat.

Aktivitas manusia lainnya yang mem­buat pelepasan CO2 dalam jumlah besar adalah konsumsi bahan bakar fosil dalam semua aktivitas. Sejak revolusi industri abad ke­19 sampai saat ini perekonomian masih sangat bergantung pada energi yang berasal dari bahan bakar fosil (minyak bumi, gas dan batubara). Pembangunan pembangkit listrik dengan tenaga yang bersumber dari bahan bakar fosil menyebabkan pelepasan karbon

dalam jumlah besar yang berlangsung da­lam beberapa dekade. Setiap pembangunan pembangkit listrik akan berdampak pada meningkatnya akumulasi CO2 dalam beber­apa dekade ke depan karena pembangkit listrik akan beroperasi dan memiliki umur ekonomis bukan dalam hitungan tahunan tetapi dalam hitungan dekade.

Beberapa dampak perubahan cuaca terhadap ekosistem lingkungan. Saat ini perubahan iklim sedang terjadi secara perla­han­lahan dan kenaikan temperatur global telah mencapai 1° celcius di atas tempera­tur sebelum terjadinya revolusi industri. Ke­naikan temperatur global sebesar 1° celcius telah berdampak negatif terhadap ekosistem lingkungan global yang dapat mempengaruhi eksostem lingkungan dan mempengaruhi beragam sisi kehidupan manusia seperti ke­giatan pertanian (Quayle et al., 2020; Ridu­wan & Andayani, 2019). Tanpa adanya usaha global yang dimulai dari saat ini dikhawatir­kan target kenaikan temperatur global yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris sebe­sar 2° celcius akan terlampaui. Guna mem­berikan gambaran bagaimana dampak peru­bahan iklim terhadap ekosistem lingkungan maka akan diuraikan beberapa kerusakan yang dapat terjadi dalam beberapa dekade ke depan. Kerusakan tersebut berdampak pada kegiatan perekonomian, termasuk pada kelangsungan hidup perusahaan yang merupakan hal yang menjadi perhatian au­ditor saat memberikan pendapatanya terkait laporan keuangan.

Dampak pertama perubahan iklim ada­lah mencairnya lembaran es di kutub bumi. Diperkirakan kenaikan air laut sebesar dua meter berpotensi mengancam wilayah permukiman yang ditempati oleh sekitar 200 juta individu (Gibassier & Schalteg­ger, 2015). Sekitar 46% dari nilai aset glo­bal yang berada pada kawasan yang terletak pada ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut akan terkena dampak dari kenaikan permukaan air laut (Rangku­ti et al., 2019). Kenaikan air laut juga ber­dampak merusak kawasan pertanian dan menggagalkan panen karena meresapnya air laut ke kawasan pertanian. Kerusakan infra­struktur juga dapat terjadi akibat terjadinya kenaikan frekuensi banjir dari kenaikan air laut (Davies et al., 2014; Zakeri et al., 2015).

Dampak kedua adalah terjadinya cua­ca ekstrem akan meningkat seiring dengan terjadinya perubahan iklim. Cuaca ekstrem

Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 586

Page 7: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

tersebut berupa gelombang hawa panas, curah hujan tinggi, angin kencang dan kekeringan yang berkepanjangan (Kasbun et al., 2019; Thomä et al., 2019). Pening­katan terjadinya cuaca ekstrem borpotensi mengganggu kegiatan pertanian yang sa­ngat memerlukan kestabilan cuaca. Selain kegiatan pertanian, siklus air juga akan ter­ganggu saat terjadi peningkatan cuaca eks­trem (Domino et al., 2015; Evangelinos et al., 2015). Gangguan pada kegiatan pertanian dan pada siklus air berpotensi mengancam kelangsungan hidup manusia karena hasil pertanian dan ketersediaan air bersih akan berkurang.

Dampak ketiga adalah berkurang atau hilangnya keragaman hayati, baik hewan maupun tumbuhan, di daratan dan di laut­an. Hewan dan tumbuhan darat akan ter­pengaruh oleh kenaikan temperatur global, sedangkan hewan dan tumbuhan laut akan terpengaruh pada kenaikan kadar keasaman air laut (Vishnuputri et al., 2019). Hilangnya keragaman hayati akan mempengaruhi ke­tersediaan bahan makanan dan bahan obat­obatan karena sekitar 40% dari perekono­mian dunia bergantung pada keragaman hayati (Hayden, 2014; Linnenluecke, 2015).

Masih banyak kerusakan lain yang tidak disebutkan pada bagian ini. Ketiga kerusakan di atas bersifat sistemik, dalam arti akan memengaruhi beragam hal dalam kehidupan manusia. Selain itu ketiga ke­rusakan tersebut bersifat permanen, dalam arti akan sangat sulit atau bahkan mus­tahil untuk memperbaiki kerusakan dan mengembalikan kondisi sebelum terjadinya kerusakan.

Mengatasi kerusakan akibat perubah­an iklim memerlukan kerja sama global karena isu perubahan iklim bukan merupa­kan isu lokal yang hanya mempengaruhi ka­wasan tertentu saja. Kesadaran akan perlu­nya kerja sama global untuk menangani isu perubahan iklim telah mendorong lebih 160 negara menandatangani Perjanjian Paris di

2015. Salah satu ketentuan dalam perjan­jian tersebut adalah pembatasan kenaikan termperatur global sebesar 2° celcius di atas temperatur sebelum revolusi industri. Walau kesepakatan dalam Perjanjian Paris menyepakati kenaikan sebesar 2° celcius, se­tiap negara melakukan beragam upaya guna membatasi kenaikan temperatur sebesar 1,5° celcius. Walau tampaknya selisih sebe­sar 0,5° celcius sangat kecil, bagi ekosistem perbedaan 0,5° celcius memiliki dampak sig­nifikan­terhadap­kondisi­ekosistem­(Nartey,­2018; Vishnuputri et al., 2019).

Dampak perubahan cuaca terhadap perekonomian dan penerapan carbon pricing, Perubahan iklim tidak hanya mer­usak ekosistem lingkungan, tetapi juga mer­usak tatanan ekonomi. Terdapat dua risiko yang mengancam perekonomian saat terjadi perubahan­iklim,­yaitu­risiko­fisik­dan­risiko­transisi, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Risiko­fisik­dari­perubahan­iklim­terkait­erat­dengan rusaknya aset produksi, hancurnya infrastruktur, dan terjadinya kerusakan lain yang tidak diasuransikan (seperti kebakaran hutan dan musnahnya keragaman hewan dan tanaman). Sementara itu, risiko tran­sisi terkait erat dengan penerapan strategi untuk mengurangi kadar emisi karbon yang tidak terencana dengan baik. Kedua risiko tersebut terkait erat dan saling berinterak­si (Haslam et al., 2014; Kumarasiri & Jubb, 2016).

Risiko­ fisik­ dipicu­ oleh­ peningkatan­cuaca ekstrem, seperti curah hujan ting­gi, gelombang panas, dan angin kencang, yang berpotensi merusak beragam jenis aset dan infrastruktur. Kerusakan aset produk­si dapat terjadi saat beragam mesin harus beroperasi di bawah kondisi cuaca ekstrem. Kondisi ini berpotensi mempersingkat masa manfaat mesin sehingga akan terjadi pe­ningkatan beban depresiasi tahunan. Dalam menghadapi peningkatan beban depresia­si tersebut perusahaan dapat menanggung kenaikan beban tersebut, menaikkan har­

Gambar 2. Risiko akibat Perubahan Iklim

Risiko Perekonomian Akibat Perubahan Iklim

Risiko fisik

Risiko transisi

587 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599

Page 8: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

ga jual barang dan jasa, atau kombinasi dari keduanya. Apapun pilihan yang akan diambil oleh produsen dalam menghadapi penurunan umur manfaat mesin, hal terse­but akan menambah beban dalam perekono­mian karena masa manfaat mesin yang lebih singkat dan penurunan jumlah barang yang dapat dihasilkan dari mesin tersebut.

Pada neraca beberapa akun yang ter­pengaruh adalah aset tidak nampak dan aset nampak, persediaan, piutang, aset lain, kas, beban dibayar dimuka, ekuitas, akrual, dan kewajiban. Sementara itu, pada lapor­an laba rugi akun yang terpengaruh oleh dampak perubahan iklim adalah penjualan, beban energi yang merupakan bagian dari beban bahan, beban bahan, beban pegawai, beban penjualan, beban asuransi, pendapa­tan nonoperasi, beban depresiasi dan amor­tisasi, beban pelepasan, beban bunga, serta beban dan pendapatan luar biasa. Bebera­pa penelitian mengungkapkan bahwa peru­bahan iklim akan berdampak pada laporan keuangan neraca dan laporan laba rugi. (Fa­rouk & Jabeen, 2018; Wrana & Diez, 2018)

Risiko­fisik­dari­perubahan­iklim­akan­terjadi jika kondisi saat ini tidak mengala­mi perubahan, dalam arti tidak ada tindak­an yang diambil oleh sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mengatasi isu perubahan iklim. Pemerintah dengan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya berperan paling besar terhadap pencegahan kerusakan­fisik.­Salah­satu­cara­yang­dapat­diterapkan pemerintah dalam mencegah ter­jadinya­ kerusakan­ fisik­ adalah­ dengan­ pe­nerapan carbon pricing.

Secara singkat carbon pricing me­rupakan skema untuk mengenakan beban

tambahan kepada pihak yang menghasil­kan emisi CO2 dari suatu aktivitas. Semakin besar emisi CO2 yang dihasilkan dari suatu aktivitas, maka semakin besar beban yang harus dibayar. Penerapan carbon pricing membuat emisi CO2 ke atmosfer bukan lagi merupakan sesuatu yang bersifat gratis, da­lam arti emisi CO2 akan terkena konsekuensi berupa beban tambahan yang harus dibayar oleh pihak yang melakukan emisi. Penerap­an carbon pricing juga bertujuan agar sek­tor swasta dan masyarakat terdorong untuk mengurangi kebergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke bahan bakar ter­barukan tanpa emisi karbon.

Carbon pricing dapat diterapkan dua metode yaitu carbon tax dan emmision trad-ing systems (ETS), seperti yang terlihat pada Gambar 3. Pada metode carbon tax, pemer­intah menetapkan tarif pajak untuk setiap ton emisi CO2 yang berlaku bagi semua pi­hak yang mengonsumsi bahan bakar fosil. Semakin besar jumlah emisi yang dikelu­arkan dari suatu kegiatan, maka semakin besar pajak yang harus dibayar kepada pe­merintah. Dalam metode ini pada dasarnya tidak terdapat batasan emisi CO2 yang dapat dilakukan oleh suatu pihak. Dengan kata lain, selama pihak tersebut mampu memba­yar carbon tax maka selama itu pula ia dapat mengonsumsi bahan bakar fosil dan meng­hasilkan emisi CO2.

Carbon tax sebagai metode untuk me­nekan emisi CO2 akan gagal jika tarif yang dikenakan terlalu rendah karena tarif yang rendah tidak mendorong produsen dan kon­sumen untuk beralih ke sumber energi ter­barukan. Untuk mendorong agar metode carbon tax dapat mendorong terjadinya

•Menetapkan pajak yang harus dibayar kepada pemerintah berdasarkan tingkat emisi CO2

•Pemerintah harus menetapkan besarnya tarif pajak untuk setiap metrik ton emisi CO2

•Pada dasarnya tidak ada batas emisi CO2 selama mampu membayar pajak karbon

Carbon Tax

•Menetapkan kuota kepada setiap entitas usaha terkait tingkat emisi CO2 dalam periode waktu tertentu

•Pemerintah harus menetapkan besarnya kuota emisi setiap entitas•Terdapat batas maksimum kuota nasional emisi CO2

ETS

Gambar 3. Metode Penerapan Carbon Pricing

Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 588

Page 9: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

penurunan emisi CO2 ke atmosfer, tarif pa­jak perlu diterapkan secara progresif. Artin­ya, semakin besar emisi CO2, maka semakin besar tarif pajak yang akan diterapkan da­lam perhitungan jumlah pajak.

Metode kedua skema carbon pricing adalah emission trading systems (ETS) yang merupakan pemberian kuota dari peme­rintah kepada setiap entitas usaha. Dalam metode ini setiap entitas diberi kuota untuk menghasilkan emisi CO2 tanpa dikenakan beban seperti pada metode carbon tax. Jika suatu entitas memerlukan tambahan kuota karbon, ia dapat membeli dari entitas lain yang masih memiliki kuota sehingga akan terjadi transaksi jual beli kuota CO2. Dari transaksi tersebut akan terbentuk harga pasar CO2. Peningkatan jumlah transaksi jual beli CO2 akan mendorong terbentuknya pasar karbon yang mempertemukan pihak yang memerlukan kuota dengan pihak yang memiliki kuota.

Penerapan ETS di negara anggota Uni Eropa jika diterapkan sesuai desain dan tu­juan dapat membantu menurunkan tingkat emisi karbon. Penerapan ETS dapat terdis­torsi jika terdapat kepentingan bisnis dan politik jangka pendek yang bertentangan dengan tujuan utamanya untuk menurunk­an kadar karbon. Keberhasilan penerapan ETS sangat bergantung pada seluruh pelaku bisnis untuk berkomitmen memenuhi prin­sip yang melekat pada ETS dan tidak dicam­pur dengan motivasi memperoleh laba yang berlebihan (Nartey, 2018; Zhang & Xu, 2015).

Penerapan carbon pricing merupakan cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah guna mencapai target pembatasan kenaikan temperatur global yang telah disepakati pada Perjanjian Paris. Namun, di balik tu­juan untuk memenuhi target dalam Perjanji­an Paris, carbon pricing juga memiliki tujuan lain yaitu menginternalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan perusahaan dan dalam mencapai tujuan ini akuntan berperan besar dalam proses internalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuang­an. Dengan penerapan carbon pricing setiap biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan terkait emisi CO2 akan diperhitungkan da­lam laporan keuangan melalui akuntansi biaya. Namun, jika pemerintah tidak beren­cana mererapkan carbon pricing, yang dapat dilakukan oleh akuntan adalah mengung­kapkan isu perubahan iklim dalam lapor­an keuangan dengan mempertimbangkan ketentuan PSAK terkait materialitas yang

dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya isu kestabilan iklim merupakan isu common goods yang dibutuhkan oleh semua pihak dalam menjalankan perannya dalam ke­hidupan bermasyarakat. Walau kestabilan iklim sangat diperlukan, yang sering terja­di adalah tidak ada pihak yang bertanggung jawab dalam memastikan kondisi kestabilan iklim. Ketiadaan pihak yang bertanggung jawab atas perubahan iklim menyebabkan isu ini menjadi eksternalitas baik dari sisi pemerintah, swasta, maupun masyarakat.

Penerapan carbon pricing akan memas­tikan bahwa pihak yang melakukan emi­si CO2 harus bertanggung jawab atas emisi yang dihasilkannya. Semakin besar kadar emisi CO2 yang dilepas ke atmosfer, maka semakin besar beban yang harus dibayar. Dengan skema ini setiap pihak akan beru­saha menghindari pembayaran beban tam­bahan dengan cara menghindari konsumsi bahan bakar fosil. Kondisi penghindaran penggunaan bahan bakar fosil inilah yang merupakan tujuan utama carbon pricing. Namun, penerapan carbon pricing bukan­lah tanpa risiko karena penerapan carbon pricing tanpa persiapan akan menimbulkan risiko transisi, seperti yang akan dijelaskan dalam bagian berikutnya.

Perjanjian Paris dan peran akun­tan. Penanganan isu perubahan iklim tidak dapat dilakukan oleh satu atau sekelompok negara tertentu karena penyebab terjadinya perubahan iklim adalah akumulasi dari per­buatan manusia (Freedman & Park, 2017; Linnenluecke & Smith, 2019). Diperlukan adanya kerja sama global antara sektor pe­merintah, sektor swasta dan masyarakat guna menangani isu perubahan iklim. Kerja sama global tersebut telah tertuang dalam Perjanjian Paris yang merupakan kesepa­katan oleh lebih dari 195 negara, termasuk Indonesia, guna mengatasi masalah peruba­han iklim global. Perjanjian Paris didahului oleh setidaknya 20 kali Conference of Parties (COP). Pada COP ke 21, tercapai kesepakat­an yang dinamakan Perjanjian Paris Target utama Perjanjian Paris adalah pembatasan kenaikan temperatur global di bawah 2° celcius, dengan target pencapaian kenaikan 1,5° celcius pada 2050.

Untuk mencapai target tersebut peme­rintah dapat membatasi emisi karbon da­lam proses produksi dengan menerapkan carbon pricing melalui instrumen carbon

589 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599

Page 10: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

tax atau ETS, seperti yang telah dijelaskan sebelum nya. Penerapan carbon pricing akan membuat kegiatan yang menghasilkan emi­si kadar karbon tinggi akan terkena beban tambahan yang harus dibayar.

Walau penerapan carbon pricing dapat membantu menurunkan emisi karbon, pen­erapannya berpotensi dapat menghilang­kan daya saing suatu produk dan berakibat penurunan produk domestik bruto (Khan, 2014; Mateo­Márquez et al., 2019). Indone­sia sampai saat ini belum menerapkan me­kanisme carbon pricing untuk mengontrol kadar emisi karbon. Ketiadaan penerapan carbon pricing akan membuat pencapaian komitmen berupa kenaikan temperatur glo­bal sebesar 1,5° celcius akan sulit tercapai dan memperbesar terjadinya risiko transisi.

Risiko transisi terkait erat dengan pe­nerapan carbon pricing untuk mengalihkan perekonomian dari kebergantungan energi bahan bakar fosil kepada energi bahan ba­kar terbarukan dengan emisi karbon rendah atau bahkan nol (seperti angin dan sinar matahari). Risiko transisi sangat erat de­ngan waktu penerapan carbon pricing un­tuk mengalihkan kebergantungan energi. Walau carbon pricing berpotensi mendorong semua pihak untuk menghindari konsum­si bahan bakar fosil dan menggantinya de­ngan sumber energi lain, jika penerapan carbon pricing dilakukan tanpa perencanaan dan mendekat i masa tragedy of the horizon, maka hal ini akan memperbesar terjadinya risiko transisi.

Salah satu bentuk risiko transisi ada­lah terjadinya stranded assets. Secara se­

derhana stranded assets merupakan aset yang tidak dapat dimanfaatkan karena aset tersebut mengalami penurunan nilai se­hingga harga jual aset tersebut tidak dapat menutupi biaya pengolahan aset tersebut. Proses terjadinya straded assets terkait erat dengan penerapan carbon pricing seper­ti yang terlihat pada Gambar 4. Jenis aset yang akan berpotensi menjadi stranded aset adalah bahan bakar fosil. Potensi terjadinya penurunan nilai tersebut disebabkan seti­daknya tiga hal, yaitu biaya produksi untuk memproses aset tersebut semakin mahal karena penerapan carbon pricing, teknolo­gi ramah lingkungan yang dapat menggan­tikan bahan bakar fosil, dan kesaradaran masyarakat untuk menghindari konsumsi bahan bakar fosil.

Terjadinya stranded asset berawal dari penerapan carbon pricing yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi target emi­si kadar karbon sesuai kesepakatan dalam Perjanjian Paris, yaitu menjaga kenaikan temperatur global pada tingkat 1,5° celcius di atas temperatur sebelum terjadinya re­volusi industri. Penerapan carbon pricing juga didorong oleh keinginan pemerintah yang mengarahkan agar perekonomian be­ralih dari kebergantungan dari energi bahan bakar fosil menuju energi yang terbarukan dengan kadar karbon rendah atau nol.

Saat carbon pricing diterapkan indus­tri yang menghasilkan dan menggunakan bahan bakar fosil akan terpengaruh karena adanya beban tambahan. Beban tambahan tersebut membuat biaya pengolahan dan penggunaan bahan bakar fosil akan mening­

Penerapan Carbon Pricing

•Dorongan untuk memenuhi target emisi kadar karbon untuk menjaga temperatur global pada tingkat 1,5° celcius.

•Dorongan agar industri beralih ke teknologi ramah lingkungan dengan emisi kadar karbon rendah.

Biaya Bahan Bakar Fosil

•Carbon pricing membuat biaya pengolahan bahan bakar fosil akan semakin tinggi

•Tingginya biaya pengolahan dapat dialihkan ke konsumen akhir dengan harga lebih tinggi.

Terjadinya Stranded

Assets

•Penerapan carbon pricing dapat membuat biaya eksplorasi, pengeboran dan penyulingan dapat menjadi tidak ekonomis.

•Aset berupa bahan bakar fosil tidak dapat dijual sehingga menjadi stranded assets.

Gambar 4. Proses Terjadinya Stranded Assets

Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 590

Page 11: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

kat. Bergantung pada kondisi elastisitas kur­va permintaan atas suatu produk, kenaikan pada biaya atas pengolahan dan penggu­naan bahan bakar fosil dapat dialihkan ke konsumen akhir dalam bentuk harga pro­duk yang lebih tinggi. Namun, dengan ada­nya teknologi ramah lingkungan dan adanya ke sadaran konsumen akan bahaya peng­gunaan bahan bakar fosil akan membuat konsumen menolak kenaikan harga dan membuat konsumen beralih untuk menggu­nakan bahan bakar terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Kondisi ini pada akhir­nya akan membuat permintaan ba han bakar fosil menjadi berkurang dan harga pasar ba­han bakar fosil akan turun.

Pada sisi produksi penerapan carbon pricing dapat membuat kenaikan biaya ek­splorasi, pengeboran dan pengolahan bahan bakar fosil. Dengan kondisi harga pasar ba­han bakar fosil turun, tetapi pada sisi pro­duksi terjadi kenaikan biaya produksi, maka kondisi ini akan menekan laba perusahaan penghasil bahan bakar fosil. Pada kasus ek­strem penurunan harga pasar sangat mem­buat biaya produksi bahan bakar fosil lebih tinggi dari harga pasarnya yang berdampak pada tidak ekonomisnya bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan eksplorasi, pengeboran, dan pengolahan bahan ba­kar fosil. Ketidakekonomisan tersebut pada akhir nya akan membuat cadangan aset pe­rusahaan bahan bakar fosil berupa minyak, gas, dan batubara yang berada dalam bumi menjadi stranded assets.

Salah satu industri yang berisiko memiliki stranded assets akibat penerapan carbon pricing adalah industri energi tra­disional yaitu minyak, gas bumi, dan ba­tubara. Aset terbesar perusahaan energi tradisional adalah cadangan minyak, gas bumi, dan batubara yang tersimpan dalam perut bumi. Sebagai contoh PT. Pertamina, yang merupakan perusahaan minyak bumi, aset terbesarnya berupa minyak dan ladang minyak. Dalam kategori aset lancar nonkas, porsi persediaan minyak PT. Pertamina seki­tar 45% dari total nilai aset lancar nonkas; dan dalam kategori aset tetap, porsi aset mi­nyak sekitar 44% dari total nilai aset tetap. Besarnya aset PT. Pertamina berupa minyak akan mempengaruhi kelangsungan usaha karena nilai suatu aset yang menjadi strand-ed assets harus diturunkan. Kondisi ini juga berlaku pada industri yang sangat bergan­tung pada bahan bakar fosil sebagai sum­

ber energi seperti industri pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi dari bah­an bakar fosil.

Terjadinya stranded assets juga dapat terjadi akibat adanya teknologi ramah lingkungan seperti mobil tenaga listrik, pem­bangkit listrik tenaga angin, dan matahari. Kehadiran teknologi tersebut jika sampai pada produksi massal akan membuat te­knologi tersebut dapat dijangkau oleh berag­am lapisan masyarakat yang akhirnya akan membuat permintaan bahan bakar fosil berkurang. Berkurangnya permintaan dari masyarakat akan membuat harga bahan ba­kar fosil turun sehingga produsen bahan ba­kar fosil akan berada pada situasi di mana biaya eksplorasi, pengeboran, dan pengola­han melebihi harga pasar dari bahan bakar fosil.

Terjadinya stranded assets saat penerap an carbon pricing dan kemunculan teknologi baru merupakan risiko yang tidak dapat dianggap immaterial karena risiko tersebut sangat erat dengan asumsi going concern. Misalnya dalam penelusuran lapor­an keuangan PT. Pertamina per 31 Desem­ber 2018, tidak terdapat keterangan menge­nai isu terkait perubahan iklim yang dapat menjadi risiko bagi kelangsungan usaha PT. Pertamina.

Tidak hanya industri bahan bakar fo­sil yang terancam kelangsungan usahanya, tetapi industri lain yang mendukung in­dustri bahan bakar fosil juga terkena risiko dari perubahan iklim. Seperti industri pada lembaga keuangan yang memberikan pem­biayaan (dalam bentuk kredit) dan member­ikan perlindungan (dalam bentuk asuransi) kepada industri bahan bakar fosil. Dalam sektor keuangan upaya untuk menginternal­isasi telah dilakukan agar risiko perubahan iklim tercermin dalam laporan keuangan. Misalnya, Network for Greening the Financial System telah menerbitkan beberapa con­toh metode analisis risiko yang digunakan oleh lembaga keuangan dalam menguanti­fikasi­ risiko­ lingkungan.­Kuantifikasi­ terse­but akan memungkinan lembaga keuangan menghitung dampak risiko lingkungan da­lam laporan keuangan.

Tidak adanya informasi terkait perubah­an iklim dalam laporan keuangan disebab­kan isu perubahan iklim masih menjadi isu ekternalitas yang belum menjadi perhatian manajemen. Kondisi ini merupakan bentuk kegagalam sektor swasta yang tidak mem­

591 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599

Page 12: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

pertimbangkan faktor common goods dalam kegiatan produksi. Kondisi ini juga merupa­kan bentuk kegagalan masyarakat profesi akuntan yang tergabung dalam IAI yang ti­dak mempertimbangkan informai mengenai perubahan iklim dalam laporan keuangan.

Salah satu pasal dalam Perjanjian Paris yaitu pasal bagian 2C berbunyi mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan kegiatan yang dapat menurunkan emisi rumah kaca dan perubahan iklim. Untuk merealisasikan pasal bagian 2C tersebut pemerintah me­merlukan dukungan dari sektor keuangan dan profesi akuntan. Dukungan dari sek­tor keuangan berupa penerbitan aturan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Misalnya, OJK pada pada 2017 mengeluarkan aturan mengenai pen­erapan keuangan berkelanjutan tidak hanya bagi lembaga keuangan, tetapi juga lemba­ga nonkeuangan yang sahamnya terdaftar pada bursa efek Indonesia. Walau tidak se­cara eksplisit mempersyaratkan mengenai pengungkapan isu perubahan iklim, aturan OJK tersebut salah satunya mempersyarat­kan lembaga keuang an untuk meningkatkan investasi pada kegiatan berkelanjutan. Pen­erbitan atuaran lain yang memiliki tujuan yang selaras dengan Perjanjian Paris bagian 2C yang mempersyaratkan agar terjadi ali­ran dana ke sektor yang menghasilkan emisi gas rendah dan tahan terhadap risiko peru­bahan iklim.

Beberapa lembaga pengawas sektor keuangan di banyak negara telah memulai tahap internalisasi isu perubahan iklim da­lam operasi lembaga keuangan. Seperti yang dilakukan oleh banyak bank sentral yang tel­ah mendorong aliran dana lembaga keuan­gan dari sektor dengan kadar karbon tinggi menuju sektor dengan kadar karbon rendah. Cara yang dilakukan oleh bank sentral da­lam menginternalisasi isu perubahan iklim salah satunya adalah dengan mene rapkan faktor penalti atas pendanaan kepada sek­tor energi tradisional dan menerapkan faktor keringanan atas pendanaan kepada sektor energi terbarukan. Faktor penalti dan faktor keringanan tersebut akan mempe ngaruhi permodalan lembaga keuang an: faktor pe­nalti akan membuat lembaga keuangan ha­rus memenuhi ketentuan pemenuhan modal yang besar, sedangkan faktor keringanan akan membuat pemenuhan ketentuan modal yang lebih rendah (Ascui, 2014; Bui & Fowl­er, 2019). Walau menuai banyak kontrover­si, cara ini menunjukkan usaha internalisa­

si isu perubahan iklim telah berjalan dalam sektor keuangan. Hal yang sama seharusnya juga terjadi dalam laporan keuangan, yaitu akuntan berusaha agar isu perubahan iklim dapat terinternalisasi dalam operasi perusa­haan sehingga akan tercermin dalam lapor­an keuangan.

Setelah menjabarkan penyebab dan dampak dari perubahan iklim terhadap eko­sistem lingkungan dan juga terhadap ke­giatan ekonomi, pemahaman terkait isu pe­rubahan iklim menjadi lebih baik sehingga profesi akuntan berada dalam posisi yang lebih baik dalam memikirkan peran dan tanggung jawab dalam membantu mengata­si masalah perubahan iklim dan membantu pemerintah mencapai target dalam Perjanji­an Paris. Pembahasan berikut akan menja­barkan beberapa gagasan terkait bagaimana menginternalisasi isu perubahan iklim da­lam laporan keuangan melalui penelusuran beberapa ketentuan PSAK yang relevan dan dapat mengakomodasi isu perubahan iklim.

Peluang akuntan dalam internalisa­si isu perubahan iklim. Secara rutin bera­gam bentuk organisasi menerbitkan laporan keuangan sebagai bentuk laporan pertang­gungjawaban dalam pengelolaan sumber daya kepada pihak yang berkepentingan. Tujuan penerbitan laporan keuangan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 1 adalah untuk memberikan setiap informasi keuangan untuk semua pemangku kepentingan.

Salah satu kriteria yang digunakan oleh akuntan dalam menentukan apakah suatu informasi harus tercermin dalam lapor an keuangan adalah materialitas. Suatu infor­masi dikatakan memiliki materialitas jika pengabaian atas informasi tersebut dalam laporan keuangan akan membuat keputus­an yang diambil akan berubah. Materialitas merupakan kriteria penting yang menjadi acuan oleh akuntan dan auditor untuk me­nentukan apakah suatu informasi harus di­masukkan dalam laporan keuangan sehing­ga pengguna laporan keuangan menyadari akan keberadaan informasi yang tidak dapat diabaikan.

Materialitas terkait erat dengan ke­langsungan usaha, dalam arti jika suatu informasi memberikan indikasi terkait ke­langsungan usaha suatu organisasi maka informasi tersebut dikategorikan materiali­tas dan harus diungkapkan dalam laporan keuangan. PSAK 1 memberikan pedoman rentang waktu yang menjadi pertimbangan

Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 592

Page 13: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

informasi masa depan terkait kelangsungan usaha yaitu paling sedikit dua belas bulan sejak berakhirnya periode laporan keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017a). Dengan ketentuan paling sedikit dua belas bulan, maka PSAK 1 dapat mengakomodasi peng­ungkapan informasi material yang jangka waktu terjadinya melebihi dua belas bu­lan. Berdasarkan ketentuan dalam PSAK 1, lapor an keuangan dapat mengungkap keja­dian material di masa depan yang terjadinya melebihi jangka waktu 12 bulan.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perubahan iklim terjadi secara per­lahan­lahan dan dampak kerusakannya terjadi dalam rentang waktu antargenerasi. Dengan dampak kerusakannya yang san­gat merusak ekosistem dan mengancam kelangsungan hidup manusia, terjadinya perubahan iklim tidak dapat diabaikan oleh akuntan dalam menyusun laporan keuang­an karena informasi tersebut masuk dalam kategori informasi material. Kondisi material pada perubahan iklim juga terlihat pada ke­mungkinan terjadinya stranded assets pada

banyak industri yang bergantung pada ba­han bakar fosil. Beragam perusahaan yang memproduksi bahan bakar fosil akan turun nilainya akibat penurunan nilai cadangan aset yang tersimpan dalam perut bumi.

Sebagai tambahan, sisi kewajiban pe­rusahaan juga terpengaruh akibat potensi adanya tuntutan di masa depan oleh berag­am organisasi masyarakat (seperti Green-peace) terkait kebijakannya di masa lalu yang membuat peningkatan kadar CO2 di at­mosfer. Beragam pihak mulai dari individu, lembaga pengawas, perusahaan dan organi­sasi nonpemerintahan dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang menghasillkan emisi kadar karbon yang tinggi. Terjadinya stranded assets dan munculnya beragam tuntutan di masa depan dapat membuat ke­langsungan usaha industri bahan bakar fo­sil berada dalam status diragukan.

Semua kondisi tersebut menjadikan perubahan iklim harus menjadi perhatian profesi akuntan untuk menginformasikan kepada pengguna laporan keuangan terkait risiko dari terjadinya perubahan iklim. Na­

Tabel 1. Dampak Perubahan Iklim terhadap Beberapa PSAK

PSAK Dampak dari Perubahan IklimPSAK 16 Paragraf 31: “Setelah pengakuan sebagai aset, aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur

secara andal dicatat pada jumlah revaluasian…” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017b).Paragraf­34:­“…aset­tetap­mengalami­perubahan­nilai­wajar­secara­signifikan­dan­fluktuatif sehingga perlu direvaluasi secara tahunan…” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017b).

PSAK 48 Paragraf 9: “Pada setiap akhir periode pelaporan, entitas menilai apakah terdapat indikasi aset mengalami penurunan nilai...” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017c).Paragraf 12 b: “…dalam menilai apakah terdapat indikasi bahwa aset mungkin mengalami penurunan­nilai,­entitas­minimal­mempertimbangkan­perubahan­signifikan­dalam­hal­teknologi, pasar, ekonomi, atau lingkup hukum tempat entitas beroperasi…yang berdampak merugikan terhadap entitas…dalam waktu dekat” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017c).

PSAK 55 Paragraf 43: “Pada saat pengakuan awal aset keuangan…entitas mengukurpada nilai wajarnya” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017d).Paragraf 46: “Setelah pengakuan awal, entitas mengukur aset keuangan…pada nilai wajarnya…” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017d).

PSAK 57 Paragraf 10:”Provisi adalah liabilitas yang waktu dan jumlahnya belum pasti”(Ikatan Akuntan Indonesia, 2017e).Paragraf 19: “Provisi diakui hanya untuk kewajiban yang timbul dari peristiwa masa lalu yang terpisah dari tindakan entitas di masa depan… Contoh kewajiban ini adalah denda atau biaya pemulihan pencemaran lingkungan, yang mengakibatkan arus keluar sumber daya….tanpa mempertimbangkan tindakan entitas di masa depan” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017e).

PSAK 68 Paragraf 62: “…tiga teknik penilaian yang digunakan secara luas adalah pendekatan pasar, pendekatan biaya dan pendekatan penghasilan” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017f).Paragraf Penjelas 9 mengenai pendekatan biaya: “…harga yang akan diterima dari aset tersebut didasarkan pada biaya bagi pelaku pasar…untuk memperoleh atau membangun aset pengganti dengan manfaat yang sebanding disesuikan dengan­ keusangan.­ Keusangan­ meliputi­ kerusakan­ fisik,­ keusangan­ fungsional­ (teknologi), dan keusangan ekonomik (eksternal)” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017f).

593 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599

Page 14: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

mun, kondisi yang terjadi sekarang adalah informasi terkait risiko perubahan iklim cenderung diabaikan oleh akuntan dengan tidak diperhitungkan dan dicantumkan da­lam laporan keuangan.

Beberapa PSAK berpotensi terpengaruh dengan terjadinya perubahan iklim seperti yang terlihat pada Tabel 1 yaitu PSAK 16, PSAK 48, PSAK 55, PSAK 68, dan PSAK 57. Aset tetap akan terpengaruh oleh perubahan iklim karena aset tersebut beroperasi dalam cuaca ekstrem. Hal ini akan mempengaruhi masa manfaat aset yang semakin pendek dan berakibat tingginya beban depresiasi. Selain itu, aset yang beroperasi dalam cuaca ekstrem akan berpotensi menurunkan nilai wajar sehingga perlu dilakukan revaluasi guna menyelaraskan antara nilai buku den­gan nilai wajarnya.

PSAK 48 mengakomodasi terjadi­nya penurunan aset akibat faktor ekster­nal dan internal. Dalam hal ini perubahan iklim dapat dikategorikan faktor eksternal yang dapat menurunkan nilai aset sehing­ga dampak perubahan iklim sangat relevan dengan PSAK 48. Selain itu, PSAK 55 juga relevan dengan isu perubahan iklim, khu­susnya bagi lembaga keuangan yang memi­liki instrumen keuangan berupa piutang kredit dan obligasi. Terjadinya perubahan iklim dapat menurunkan kemampuan de­bitor dalam melunasi utang kredit kepa­da lembaga keuangan sehingga instrumen keuangan yang dimiliki lembaga keuangan akan menurun nilainya.

PSAK 68 juga akan terpengaruh isu perubahan iklim karena dalam pengukuran nilai wajar berdasarkan pendekatan biaya salah satu pertimbangannya adalah fak­tor keusangan. Salah satu hal yang dapat menyebabkan keusangan pada suatu aset adalah­ kerusakan­ fisik.­ Perubahan­ iklim­berpotensi membuat kerusakan pada aset karena aset beroperasi dalam kondisi cuaca ekstrem. Dalam melakukan penilaian atas suatu aset perusahaan juga memerlukan adanya asumsi yang akan digunakan da­lam menjalankan beberapa skenario. Jika nilai wajar suatu aset terpengaruh risiko perubahan iklim (termasuk risiko peruba­han peraturan), maka perusahaan harus mengungkapkan bagaimana risiko tersebut akan mempengeruhi nilai wajar aset. Walau­pun perusahaan tidak dapat memperkira­kan dampak keuangan dari perubahan iklim dalam laporan keaungan, perusahaan harus

mempertimbangkan untuk mengungkapkan asumsi yang digunakan dalam menjalankan suatu skenario penentuan nilai wajar (Palea, 2018; Wegener & Labelle, 2017).

PSAK lain yang berpotensi terpengaruh akibat perubahan iklim adalah PSAK 57. Da­lam standar ini diatur mengenai kewajiban yang berpotensi terjadi di masa depan akibat tindakan perusahaan di masa ini dan masa lalu. Terkait isu perubahan iklim, PSAK 57 relevan karena potensi terjadinya tuntutan hukum akibat tindakan perusahaan yang menghasilkan emisi dalam proses produk­sinya. Dengan peningkatan kesadaran hu­kum dan potensi kerusakan di masa depan, tuntutan hukum di masa depan akibat pro­ses emisi yang terjadi di masa ini dan masa lalu tidak dapat dikesampingkan. Pada para­graf 19 provisi dapat diakui akibat peristiwa masa lalu yang tidak terkait dengan tindakan perusahaan di masa depan. Salah satu con­toh yang diberikan terkait provisi yang dapat diakui adalah pengenaan denda atau biaya pemulihan akibat pencemaran lingkungan. Hal ini sangat relevan dengan kondisi pe­rusahan iklim, di mana metode perusahaan dalam beroperasi yang menghasilkan emisi karbon dapat menjadi tuntutan hukum di masa depan berupa denda yang harus diba­yar guna memperbaiki kondisi lingkungan.

Ketentuan ketiga PSAK pada Tabel 1 sangat relevan untuk proses internalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan. Nilai aset tetap berpotensi akan turun jika di­revaluasi dengan nilai wajar dan penurunan nilai tersebut akan menurunkan laba bersih perusahaan. Berdasarkan ketentuan nilai wajar juga aset lain berupa aset tidak tam­pak seperti goodwill juga dapat turun nilain­ya akibat isu perubahan iklim. Ketentuan mengenai pengakuan provisi terkait potensi adanya biaya lingkungan di masa depan da­lam laporan keuangan juga berdampak pada laporan keuangan perusahaan. Dengan kata lain, ketiga PSAK pada Tabel 1 merupakan jalan yang dapat ditempuh oleh akuntan un­tuk menginternalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan.

Pengukuran dampak perubahan iklim terhadap kelangsungan usaha perusahaan sulit diukur dan hingga saat ini belum ada mekanisme guna menginternaliasi isu peru­bahan iklim dalam laporan keuangan. Pene­litian para akademisi akuntan juga belum difokuskan pada usaha untuk menginter­nalisasi isu perubahan iklim agar tercermin

Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 594

Page 15: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

dalam laporan keuangan (Cho et al., 2020; Shafer, 2015). Namun, kesulitan dalam pen­gukuran hendaknya tidak mencegah pros­es internalisasi isu perubahan iklim da­lam lapor an keuangan karena perubahan lingkungan merupakan salah satu risiko yang sudah/akan dihadapi oleh perusahaan saat ini dan di masa depan. Seperti telah di­jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa pe­rubahan iklim mempengaruhi beragam hal dalam kegiatan ekonomi seperti perubahan umur aset menjadi lebih singkat, kerusakan infrastruktur dan hilangnya keragaman ha­yati di laut dan daratan. Risiko lain yang dapat terjadi adalah terjadinya stranded as-set akibat penerapan carbon pricing.

Pengukuran dampak operasi perusa­haan terhadap lingkungan, terutama emisi CO2, mengharuskan perusahaan menerap­kan Carbon Management System (CMS) guna mengatur tata kelola karbon, pengelolaan karbon, penelusuran emisi dan pengungka­pan, dan pengungkapan (Tang & Luo, 2014; Werastuti, 2017). Artinya, guna meningkat­kan usaha internalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan perusahaan dapat mendukungnya dengan menerapkan CMS.

Saat ini Indonesia tidak menerapkan carbon pricing atas kegiatan ekonomi yang menghasilkan emisi karbon. Namun, kondi­si ini mungkin tidak berlangsung selamanya karena tekanan internasional dapat memak­sa pemerintah untuk menerapkan carbon pricing guna mencapai target emisi karbon dalam Perjanjian Paris. Dengan melihat pe­ngalaman negara lain yang telah menerap­kan carbon pricing seperti kawasan Eropa de­ngan ETS, implementasi carbon pricing jika diaplikasikan dengan penuh pertimbang an dan tanpa ditunggangi untuk kepenting an jangka pendek dan kepentingan politik dapat secara­ signifikan­ mengurangi­ kadar­ emisi­karbon (Nartey, 2018; Zhang & Xu, 2015). Berkebalikan dengan apa yang diyakini se­bagian orang, penerapan carbon pricing tidak membuat industri atau sektor tertentu ke­hilangan tingkat kompetitif di tingkat global (Jamaludin et al., 2019).

Dengan adanya wabah virus Corona yang saat ini sedang terjadi secara global, sebagian perhatian akan teralihkan dari isu perubahan iklim (yang merupakan isu jang­ka panjang) kepada isu penanggulangan virus Corona (yang merupakan isu jangka pendek). Dengan kondisi ini terdapat ke­cenderungan peralihan sumber daya, baik

berupa perhatian maupun aliran dana, yang semula digunakan untuk mengatasi isu pe­rubahan iklim akan beralih untuk mengatasi isu penanggulangan virus covid 19. Dukun­gan pemerintah guna mengatasi isu peruba­han iklim dapat berkurang seiring berkuran­gnya sumber daya yang dimiliki pemerintah untuk mengatasi isu perubahan iklim. Da­lam kaitannya dengan penerapan kebijakan carbon pricing, pemerintah kemungkinan tidak akan menerapkan kebijakan tersebut dalam jangka pendek atau menengah.

Mempertimbangkan kondisi peme­rintah yang saat ini mencurahkan sumber dayanya guna mengatasi virus, maka tum­puan pada akuntan untuk berkontribusi ter­hadap pencapaian target dalam Perjanjian Paris semakin besar. Dengan alasan PSAK tidak secara eksplisit mempersyaratkan peng ungkapan terkait isu lingkungan, maka pengungkapan isu lingkungan hanya bersi­fat sukarela.

Namun, terdapat setidaknya dua isu terkait pengungkapan sukarela dalam lapor­an keuangan. Pertama, terkait manfaat pe­ngungkapan yang bersifat sukarela, dan kedua terkait kualitas pengungkapan terse­but (Luo & Tang, 2014). Terkait isu perta­ma mengenai manfaat pengungkapan isu perubahan iklim, terdapat kecenderungan bahwa investor (yang terdiri dari pemegang saham dan debitor obligasi) tidak menggu­nakan pengaruhnya guna menekan perusa­haan untuk mengungkapkan isu perubah­an iklim. Dengan absennya peran investor untuk mempengaruhi perusahaan dalam pengungkapan isu perubahan iklim, maka masyarakat umum dan pemerintahlah yang menjadi faktor pendorong dalam mengung­kapkan isu perubahan iklim dalam lapor­an keuangan. Terkait isu kedua mengenai kuali tas pengungkapan sukarela, terdapat kecenderungan perusahaan akan melaku­kan pengungkapan dengan tujuan memba­ngun citra positif di tengah publik sehingga terdapat unsur untuk mempercantik lapor­an keuangan (Luo et al., 2012).

Masalah pada pengungkapan sukare­la tersebut setidaknya dapat diatasi dengan adanya ketentuan OJK terkait penerapan keaungan berkelanjutan. Jika merujuk pada aturan OJK mengenai penerapan keuangan berkelanjutan, OJK telah mempersyarat­kan adanya penerbitan laporan keberlan­jutan yang terpisah dari laporan keuangan atau sebagai bagian yang tidak terpisah

595 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599

Page 16: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

dari lapor an keuangan. Salah satu hal yang dilaporkan dalam laporan berkelanjutan tersebut adalah kinerja dalam pengelolaan lingkungan hidup yang salah satu keten­tuannya dapat menyangkut kinerja dalam pengelolaan emisi karbon.

Laporan keuangan, baik dari sisi ben­tuk maupun kandungannya, selama lebih dari 110 tahun tidak mengalami perubahan signifikan,­walau­ terjadi­ perubahan­drastis­dari sisi kompleksitas operasi bisnis, sisi ke­mampuan dalam memproses informasi dan sisi pengetahun investor (Khojastehpour & Johns, 2014; Oliveira & Jabbour, 2017). Kondisi ini memerlukan perubahan drastis, dalam arti bentuk dan kandungan infor­masi dalam laporan keuangan harus dapat mengakomodasi tambahan informasi yang diperlukan oleh pengguna laporan keuangan dalam mengambil keputusan. Adanya kewa­jiban untuk menerbitkan laporan berkelan­jutan oleh perusahaan publik dan lembaga keuangan, dan adanya kemungkinan bebe­rapa PSAK untuk mengakomodasi risiko yang terkandung dalam isu perubahan iklim akan memberikan peluang bagi akuntan untuk mengungkapkan dampak perubahan iklim terhadap keberlangsungan usaha da­lam laporan keuangan.

SIMPULANSalah satu informasi saat ini yang

masih belum terakomodasi dalam laporan keuangan adalah isu perubahan iklim. Peru­bahan iklim merupakan isu besar yang saat ini dihadapi oleh umat manusia. Dalam ke­giatan perekonomian perubahan iklim akan berdampak­signifikan­bagi­keberlangsungan­usaha perusahaan. Namun, kondisi yang saat ini terjadi adalah perubahan iklim ma­sih menjadi eksternalitas yang belum diper­timbangkan oleh sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan kondisi ekster­nalitas tersebut, perubahan iklim belum sepenuhnya diantisipasi dan disadari oleh ketiga sektor.

Profesi akuntan dengan peran tra­disional sebagai pencatat transaksi perusa­haan dan penerbit laporan keuangan dapat berperan lebih besar terkait isu perubah­an iklim. Peran tersebut menuntut profesi akuntan untuk menginternalisasi isu peru­bahan iklim dalam laporan keuangan se­hingga pengguna laporan keuangan dapat mempertimbangkan isu perubahan iklim da­lam keputusannya. Dengan adanya kesadar­an bahwa isu perubahan iklim akan ber­

dampak pada kelangsungan usaha industri energi bahan bakar fosil dan industri lain yang bergantung pada energi bahan bakar fosil, maka internalisasi isu perubahan iklim idealnya tidak hanya berupa pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan tetap i juga tercermin dalam akun­akun laporan keuangan. Namun, sebagai langkah awal da­lam menginternalisasi isu perubahan iklim, pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan dapat diterima. Dalam jangka panjang akuntan harus meningkatkan usa­hanya dalam proses internalisasi.

Sampai saat ini proses internalisasi isu perubahan iklim secara penuh, dalam arti tercermin dalam akun­akun laporan keuang­an, belum terjadi karena adanya kesulitan dalam mengukur potensi dari terjadinya pe­rubahan iklim terhadap operasi perusahaan di masa depan. Penelitian berikutnya terkait peran akuntan dalam menginternalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan dapat difokuskan pada metode yang dapat digunakan oleh akuntan untuk menguan­tifikasi­ dampak­ kerusakan­ dari­ emisi­ CO2 dalam laporan keuangan sehingga dengan internalisasi tersebut tindakan melakukan emisi CO2 tidak lagi menjadi tindakan tanpa konsekuensi, atau yang disebut dengan ek­sternalitas, seperti yang saat ini terjadi.

DAFTAR RUJUKANAnindita, R., & Hamidah, H. (2020). Akun­

tansi Lingkungan dalam Pitutur Luhur Kejawen. Jurnal Akuntansi Multipa-radigma, 11(2), 278­296. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.2.17

Ascui, F. (2014). A Review of Carbon Ac­counting in the Social and Environmen­tal Accounting Literature: What Can It Contribute to the Debate? Social and Environmental Accountability Journal, 34(1), 6­28. https://doi.org/10.1080/0969160X.2013.870487

Bui, B., & Fowler, C. J. (2019). Strategic Re­sponses to Changing Climate Change Policies: The Role Played by Carbon Accounting. Australian Accounting Review, 29(2), 360­375. https://doi.org/10.1111/auar.12213

Cho, C. H., Kim, A., Rodrigue, M., & Schnei­der, T. (2020). Towards a Better Under­standing of Sustainability Accounting and Management Research and Teach­ing in North America: A Look at the Community. Sustainability Accounting, Management and Policy Journal, 11(6),

Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 596

Page 17: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

985­1007. https://doi.org/10.1108/SAMPJ­08­2019­0311

Csutora, M., & Harangozo, G. (2017). Twenty Years of Carbon Accounting and Audit­ing ­ A Review and Outlook. Society and Economy, 39(4), 459­480. https://doi.org/10.1556/204.2017.39.4.1

Davies, J. B., Shi, X., & Whalley, J. (2014). The Possibilities for Global Inequality and Poverty Reduction Using Revenues from Global Carbon Pricing. Journal of Economic Inequality, 12(3), 363­391. https://doi.org/10.1007/s10888­013­9259­2

Domino, M. A., Wingreen, S. C., & Blanton, J. E. (2015). Social Cognitive Theory: The Antecedents and Effects of Ethical Cli­mate Fit on Organizational Attitudes of Corporate Accounting Professionals—A Reflection­ of­ Client­ Narcissism­ and­Fraud Attitude Risk. Journal of Busi-ness Ethics, 131(2), 453­467. https://doi.org/10.1007/s10551­014­2210­z

Evangelinos, K., Nikolaou, I., & Leal Fil­ho, W. (2015). The Effects of Climate Change Policy on the Business Com­munity: A Corporate Environmental Ac­counting Perspective. Corporate Social Responsibility and Environmental Ma-nagement, 22(5), 257­270. https://doi.org/10.1002/csr.1342

Farouk, S., & Jabeen, F. (2018). Ethical Cli­mate, Corporate Social Responsibil­ity and Organizational Performance: Evidence from the UAE Public Sector. Social Responsibility Journal, 14(4), 737­752. https://doi.org/10.1108/SRJ­01­2017­0002

Freedman, M., & Park, J. (2017). SEC’s 2010 Release on Climate Change: Shifting from Voluntary to Mandatory Climate Change Disclosure. Social and Environ-mental Accountability Journal, 37(3), 203­221. https://doi.org/10.1080/0969160X.2017.1379030

Gibassier, D., Michelon, G., & Cartel, M. (2020). The Future of Carbon Account­ing Research: “We’ve Pissed Mother Nature Off, Big Time”. Sustainability Accounting, Management and Policy Journal, 11(3), 477­485. https;//doi.org/10.1108/SAMPJ­02­2020­0028

Gibassier, D., & Schaltegger, S. (2015). Carbon Management Accounting and Reporting in Practice: A Case Study on Converging Emergent Approach­es. Sustainability Accounting, Man-

agement and Policy Journal, 6(3), 340­365. https://doi.org/10.1108/SAMPJ­02­2015­0014

Haslam, C., Butlin, J., Andersson, T., Malamatenios, J., & Lehman, G. (2014). Accounting for Carbon and Re­framing Disclosure: A Business Mod­el Approach. Accounting Forum, 38(3), 200­211. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2014.04.002

Hayden, F. G. (2014). Restructuring Dou­ble­Entry Accounting for Climate Change Remediation by Monetary Authorities. Journal of Economic Is-sues, 48(2), 533­540. https://doi.org/10.2753/JEI0021­3624480229

Hopper, T. (2019). Stop Accounting Myopia: – Think Globally: A Polemic. Journal of Accounting and Organizational Change, 15(1), 87­99. https://doi.org/10.1108/JAOC­12­2017­0115

Ikatan Akuntan Indonesia. (2017a). PSAK No. 1 tentang Penyajian Laporan Keuang an. Ikatan Akuntan Indonesia.

Ikatan Akuntan Indonesia. (2017b). PSAK No. 16 tentang Aset Tetap. Ikatan Akun­tan Indonesia.

Ikatan Akuntan Indonesia. (2017c). PSAK No. 48 tentang Penurunan Nilai Aset. Ikatan Akuntan Indonesia.

Ikatan Akuntan Indonesia. (2017d). PSAK No. 55 tentang Instrumen Keuangan. Ikatan Akuntan Indonesia.

Ikatan Akuntan Indonesia. (2017e). PSAK No. 55 tentang Provisi, Liabilitas Konti-jensi dan Aset Kontijensi. Ikatan Akun­tan Indonesia.

Ikatan Akuntan Indonesia. (2017f). PSAK No. 68 tentang Nilai Wajar. Ikatan Akuntan Indonesia.

Jamaludin, N. F., Muis, Z. A., & Hashim, H. (2019). An Integrated Carbon Footprint Accounting and Sustainability Index for Palm Oil Mills. Journal of Cleaner Production, 225, 496­509. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.03.312

Kasbun, N. F., Ong, T. S., Muhamad, H., & Said, R. M. (2019). Conceptual Frame­work to Improve Carbon Performance via Carbon Strategies and Carbon Ac­counting. Journal of Environmental Management and Tourism, 10(8), 1918­1923. https://doi.org/10.14505/jemt.v10.8(40).21

Khan, T. (2014). Kalimantan’s Biodiversi­ty: Developing Accounting Models to Prevent Its Economic Destruction. Ac-

597 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599

Page 18: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

counting, Auditing & Accountability Journal, 27(1), 150­182. https://doi.org/10.1108/AAAJ­07­2013­1392

Khojastehpour, M., & Johns, R. (2014). The Effect of Environmental CSR Issues on Corporate/Brand Reputation and Cor­porate­Profitability. European Business Review, 26(4), 330­339. https://doi.org/10.1108/EBR­03­2014­0029

Kumarasiri, J., & Gunasekarage, A. (2017). Risk Regulation, Community Pressure and the Use of Management Account­ing in Managing Climate Change Risk: Australian Evidence. British Account-ing Review, 49(1), 25­38. https://doi.org/10.1016/j.bar.2016.10.009

Kumarasiri, J., & Jubb, C. (2016). Carbon Emission Risks and Management Ac­counting: Australian Evidence. Ac-counting Research Journal, 29(2), 137­153. https://doi.org/10.1108/ARJ­03­2015­0040

Linnenluecke,­M.­K.,­Birt,­J.,­&­Griffiths,­A.­(2015). The Role of Accounting in Sup­porting Adaptation to Climate Change. Accounting and Finance, 55(3), 607­625. https://doi.org/10.1111/acfi.12120

Linnenluecke, M. K., & Smith, T. (2019). A Primer on Global Environmen­tal Change. Abacus, 55(4), 810­824. https://doi.org/10.1111/abac.12175

Luo, L., Lan, Y., & Tang, Q. (2012). Corporate Incentives to Disclose Carbon Informa­tion : Evidence from the CDP Global 500 Report. Journal of International Finan-cial Management & Accounting, 23(2), 93–120. https://doi.org/10.1111/j.1467­646X.2012.01055.x

Luo, L., & Tang, Q. (2014). Does Volun­tary­ Carbon­ Disclosure­ Reflect­ Un­derlying Carbon Performance ? Jour-nal of Contemporary Accounting & Economics, 10(3), 191­205. https://doi.org/10.1016/j.jcae.2014.08.003

Mateo­Márquez, A. J., González­González, J. M., & Zamora­Ramírez, C. (2019). Countries’ Regulatory Context and Vol­untary Carbon Disclosures. Sustainabil-ity Accounting, Management and Policy Journal, 11(2), 383­408. https://doi.org/10.1108/SAMPJ­11­2018­0302

Mulawarman, A. D. (2020). Accounting, Agri­culture, and War. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 11(1), 1­22. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.1.01

Nartey, E. (2018). Determinants of Carbon Management Accounting Adoption in

Ghanaian Firms. Meditari Accountancy Research, 26(1), 88­121. doi:10.1108/MEDAR­03­2017­0133

Nickell, E. B., & Roberts, R. W. (2014). The Public Interest Imperative in Corporate Sustainability Reporting Research. Ac-counting and the Public Interest, 14(1), 79­86. https://doi.org/10.2308/apin­51125

Oliveira, J. A. F. D., & Jabbour, C. J. C. (2017). Environmental Management, Climate Change, CSR, and Governance in Clusters of Small Firms in Develop­ing Countries: Toward an Integrated Analytical Framework. Business and Society, 56(1), 130­151. https://doi.org/10.1177/0007650315575470

Palea, V. (2018). Financial Reporting for Sus­tainable Development: Critical Insights into IFRS Implementation in the Euro­pean Union. Accounting Forum, 42(3), 248­260. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2018.08.001

Patten, D. M., & Shin, H. (2019). Sustainabil­ity Accounting, Management and Policy Journal’s Contributions to Corporate Social Responsibility Disclosure Re­search: A Review and Assessment. Sus-tainability Accounting, Management and Policy Journal, 10(1), 26­40. https://doi.org/10.1108/SAMPJ­01­2018­0017

Quayle, B., Sciulli, N., & Wilson­Evered, E. (2020). Accountable to Who, to Whom, for What and How? Unpacking Ac­countability in Local Government Re­sponse to Climate Change. Austral-asian Accounting, Business and Finance Journal, 14(3), 56­74. https://doi.org/10.14453/aabfj.v14i3.5

Rangkuti, H., Yuliantoro, H., & Yefni, Y. (2019). Lebih Penting Mana Sustainabi­lity Report atau Laba Bagi Perusahaan Perkebunan? Jurnal Akuntansi Multi-paradigma, 10(2), 365­378. https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10021

Riduwan, A., & Andayani. (2019). Prin­sip “Jancukan” dalam Akuntansi dan Pelaporan Keuangan. Jurnal Akun-tansi Multiparadigma, 10(2), 379­398. https://doi.org/10.18202/ja­mal.2019.08.10022

Schoenmaker, D., & Schramade, W. (2019). Principles of Sustainable Finance: Illus-trated Edition. Oxford University Press

Shafer, W. E. (2015). Ethical Climate, Social Responsibility, and Earnings Manage­ment. Journal of Business Ethics, 126(1),

Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 598

Page 19: MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU …

43­60. https://doi.org/10.1007/s10551­013­1989­3

Sitorus, J. H. E. (2016). Pancasila­based So­cial Responsibility Accounting. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 211, 700­709. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.05.054

Thomä, J., Hayne, M., Hagedorn, N., Murray, C., & Grattage, R. (2019). The Alignment of Global Equity and Corporate Bonds Markets with the Paris Agreement: A New Accounting Framework. Journal of Applied Accounting Research, 20(4), 439­457. https://doi.org/10.1108/JAAR­03­2018­0034

Vishnuputri, I. G. A. A. U., Sudana, I. P., Budiasih, I. G. A. N., & Ratnadi, N. D. R. (2019). Makna Penyusunan Tra­velife Sustainability Report. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(1), 115­134. https://doi.org/10.18202/ja­mal.2019.04.10007

Wegener, M., & Labelle, R. (2017). Value Relevance of Environmental Provisions Pre­ and Post­IFRS. Accounting Pers-pectives, 16(3), 139­168. https://doi.org/10.1111/1911­3838.12143

Werasturi, D. (2017). Konsep Corporate So­cial Responsibility Berbasis Catur Pu­

rusa Artha. Jurnal Akuntansi Multipar-adigma, 8(2), 319­335. https://doi.org/10.18202/jamal.2017.08.7057

Wrana, J., & Diez, J. R. (2018). Multinational Enterprises or the Quality of Regional Institutions – What Drives the Diffusion of­Global­CSR­Certificates­ in­a­Transi­tion Economy? Evidence from Vietnam. Journal of Cleaner Production, 186, 168­179. https://doi.org/10.1016/j.jcle­pro.2018.03.113

Zakeri, A., Dehghanian, F., Fahimnia, B., & Sarkis, J. (2015). Carbon Pricing ver­sus Emissions Trading: A Supply Chain Planning Perspective. International Journal of Production Economics, 164, 197­205. https://doi.org/10.1016/j.ijpe.2014.11.012

Zhang, J., & Xu, L. (2015). Embodied Car­bon Budget Accounting System for Calculating Carbon Footprint of Large Hydropower Project. Journal of Cleaner Production, 96, 444­451. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2013.10.060

Zhang, Y., Li, J., & Liu, G. (2016). Account­ing for Urban Carbon Dioxide: A Review. Journal of Environmental Accounting and Management, 4(3), 339­351. https://doi.org/10.5890/JEAM.2016.09.007

599 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599