Menerjang Lokalitas Diterjang Globalisasi. Refleksi Seabad Muhammadiyah
Click here to load reader
-
Upload
haqqi-hasan-inamul -
Category
Documents
-
view
234 -
download
1
description
Transcript of Menerjang Lokalitas Diterjang Globalisasi. Refleksi Seabad Muhammadiyah
Haqqi @ 2010 1
Menerjang Lokalitas Diterjang Globalisasi
Refleksi Seabad Muhammadiyah dan Pembentukan Masyarakat Madani
dalam Kacamata Budaya
Inamul Haqqi Hasan
Kita akan melihat Muhammadiyah yang berikat kepala mondolan, baju sorjan,
berpantolan sedang berada di tengah-tengah sawah, mengkorek tradisi lokal
yang sudah langka. Sementara, para petani dan kaum abangan berdiri di tepi
sawah dengan menuding-nuding dan menertawakan orang tua berumur 90
tahunan bernama Muhammadiyah.
[Kuntowijoyo]1
Pendahuluan
Kritikan bagi Muhammadiyah terkait ketidakramahannya terhadap
budaya lokal bukan barang yang langka. Selain Kuntowijoyo, beberapa tokoh
intelektual-ulama kenamaan seperti Jalaluddin Rahmat, Nurcholis Madjid,
dan Ahmad Wahib pernah melontarkan kritik senada. Dan tentu saja warga
Muhammadiyah tidak dapat dengan mudah menangkis kritikan itu, karena
fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa Muhammadiyah cenderung
anti-lokalitas.
Istilah TBC (ejaan lama: tachayoel, bid’ah, dan chorrafat) telah mengakar
kuat di benak sebagian besar warga Muhammadiyah. Istilah tersebut akan
segera dilontarkan ketika menemui ritual-ritual yang tidak memiliki referensi
pada Rasulullah SAW. Dengan semangat purifikasi, sebagian besar warga
Muhammadiyah merasa cukup berpatokan pada aspek teologis tanpa perlu
mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis dan antropologis.
Tulisan ini bermaksud membahas persinggungan Muhammadiyah
dengan budaya, baik budaya lokal maupun global, kemudian mengaitkannya
1 Hasyim, 2009. Hal 114.
Haqqi @ 2010 2
dengan cita-cita Muhammadiyah untuk membentuk Masyarakat Islam yang
Sebenar-benarnya atau masyarakat madani. Agar sistematis dan mudah
dipahami, tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama akan
menjelaskan tentang budaya, apa itu budaya dan bagaimana realitas
kebudayaan kontemporer. Bagian kedua akan menjabarkan tipologi umat
Islam, khususnya di Indonesia. Bagian ketiga adalah pengamatan penulis
terhadap Muhammadiyah dalam pusaran budaya lokal dan budaya global,
kemudian dilanjutkan dengan bagian keempat yaitu mengenai Dakwah
Kultural Muhammadiyah. Bagian kelima dari tulisan ini mengarah pada
pembentukan masyarakat madani dalam strategi kebudayaan, dan bagian
terakhir adalah penutup.
Budaya : Antara Lokalitas dan Globalisasi
Budaya berasal dari Bahasa Sansekerta “buddhayah” yang merupakan
bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau kekal. Kemudian
berkembang menjadi kata kebudayaan yang berarti seperangkat peraturan
dan standar, yang apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat
menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan diterima oleh para
anggotanya2. Sedangkan Clifford Geertz mengungkapkan bahwa kebudayaan
merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam
bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi,
melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap
kehidupan3.
Pengertian mengenai budaya maupun kebudayaan memang sangat
beragam, hampir setiap ahli antropologi, sosiologi, filsafat, hingga sastra yang
mendalami kebudayaan akan menyampaikan definisinya sendiri. Namun,
beberapa poin yang dapat ditangkap dari pengertian-pengertian tersebut
bahwa kebudayaan adalah suatu sistem nilai yang diwariskan. Selanjutnya,
pengertian ini disebut sebagai kebudayaan generik. Sistem kebudayaan
2 Koentjaraningrat, 1996. hal 73. 3 Abdullah, 2006. hal 1.
Haqqi @ 2010 3
generik sangat erat kaitannya dengan lokalitas, dimana batas-batas fisik
(lokasi) antar kebudayaan masih jelas. Contoh, kebudayaan Jawa adalah
kebudayaan yang hidup di suatu tempat bernama Jawa, begitu pun
kebudayaan Batak, Toraja, Maluku, dan sebagainya semuanya mempunyai
batas-batas fisik yang jelas.
Namun, ketika mobilitas manusia semakin deras, batas-batas fisik di
atas semakin mengabur. Hal ini semakin diperparah dengan semakin
mudahnya perpindahan informasi, khususnya ketika televisi sebagai tangan
kapitalisme mulai menjadi “kebutuhan wajib” setiap rumah tangga. Semua itu
menjadi pendukung terciptanya suatu desa global (global village) sesuai cita-
cita globalisasi, yang mau tidak mau akan membunuh lokalitas. Dalam
kondisi ini batas-batas fisik kebudayaan semakin kabur bahkan tidak ada lagi.
Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tidak lagi dikendalikan oleh pusat
kebudayaan, tetapi telah diambil alih oleh negara dan selanjutnya direbut oleh
pasar4.
Implikasinya, kebudayaan sebagai sesuatu yang diwariskan menjadi
tidak mutlak kebenarannya. Pada kondisi ini kebudayaan dapat dimaknai
sebagai sistem yang tumbuh akibat adanya interaksi yang terus menerus
antarmanusia, kelompok, dan lingkungan yang terus menerus mengalami
perubahan. Selanjutnya sistem kebudayaan ini disebut sebagai kebudayaan
diferensial5. Seorang anak “asli” Jawa yang selama hidupnya tinggal di Jawa
bisa jadi besar dalam budaya New York. Hal ini kemudian memunculkan
istilah “anak zaman”, artinya seorang anak bukan lagi anak dari (budaya)
orang tuanya, tetapi menjadi anak dari zaman di mana ia tumbuh.
Namun, di Indonesia tidak (lebih tepatnya: belum) semua anggota
masyarakatnya tergerus oleh globalisasi. Agaknya menemukan nilai-nilai dan
simbol-simbol lokalitas di Indonesia masih sangat mungkin, walaupun telah
termarjinalisasi hanya di pedesaan. Sedangkan di perkotaan, kebudayaan
4 ibid. hal 7. 5 ibid. hal 5.
Haqqi @ 2010 4
generik masih ada namun hanya artifak6 yang bersifat estetis, sebagai hasil
dari politik emansipasi. Nilai-nilai etis filosofis telah diabaikan, bahkan tidak
diketahui lagi. Hal ini berarti kebudayaan tersebut tidak lagi mampu
membentuk karakter pelakunya.
Selanjutnya, dalam tulisan ini istilah yang akan digunakan adalah
budaya lokal dan budaya global. Budaya lokal dalam hal ini adalah
pengerucutan dari kebudayaan generik, yaitu budaya yang diwariskan dan
mempunyai batasan-batasan tempat. Sedangkan budaya global adalah
pengerucutan dari kebudayaan diferensial. Budaya global sejatinya adalah
budaya lokal di suatu tempat (umumnya di Barat) yang dibawa oleh
globalisasi, sehingga diikuti oleh penduduk global. Budaya lokal dan budaya
global tersebut mempunyai pengaruh dalam corak keberagamaan umat Islam.
Sehingga memunculkan berbagai tipikal kaum Muslim, yang dapat
merepresentasikan budaya apa yang membentuknya.
Islam Versi Elite dan Rakyat
Membincang tipologi umat Islam di Indonesia, akan mengingatkan kita
pada tesis Clifford Geertz yang membaginya dalam abangan, priyayi, dan
santri7. Tesis dari hasil penelitiannya di Mojokuto Jawa Timur tersebut sangat
populer dan sekaligus banyak mendapat ketidaksetujuan. Selain tipologi
Geertz tersebut, di Indonesia sejak lama muncul pembagian antara Islam
tradisionalis dan Islam modernis. Pembagian ini cukup relevan saat di
Indonesia ada dua organisasi massa Islam besar yang mewakili pembagian itu,
yaitu Nahdhatul Ulama mewakili Islam tradisionalis dan Muhammadiyah
mewakili Islam modernis.
Menurut Zamakhsari Dhofier, disebut tradisionalis karena pemikiran
Islamnya yang masih terikat dan terkait kuat dengan pemikiran-pemikiran
ulama fiqh, hadits, tasawuf, dan tauhid antara abad ke-7 hingga abad ke-13 8.
6 lihat Empat Wujud Kebudayaan dalam Koentjaraningrat, 1996. hal 74. 7 Dalam Religion of Java 8 Hakim.
Haqqi @ 2010 5
Selain itu, mereka juga akomodatif terhadap tradisi-tradisi lokal.
Bagaimanapun, Islam tradisionalis memberi sumbangan yang berarti bagi
proses awal Islamisasi masyarakat yang berjalan secara evolutif dan relatif
tanpa kekerasan9.
Pada era gerakan pembaharuan Islam, beberapa orang Islam yang
menunaikan haji atau yang menjadi mahasiswa di Timur Tengah10, kemudian
terinspirasi oleh tokoh-tokoh pembaharuan tersebut11. Inilah yang melahirkan
Islam modernis, mereka menekankan untuk kembali pada Al-Qur’an dan As-
Sunah, atau disebut purifikasi (tanzih). Hal ini berimplikasi penolakan pada
praktek-praktek keagamaan yang tercampur dengan tradisi lokal yang tidak
mempunyai dasar dalam sumber-sumber Islam. Di sisi lain, mereka tidak mau
terikat pada satu mazhab, artinya mereka menolak penutupan pintu ijtihad.
Mereka ingin membuktikan bahwa Islam dan kemodernan tidak saling
bertolak belakang12.
Namun, beberapa dekade terakhir, perubahan sosial yang begitu cepat
dan pluralisasi dunia-kehidupan menyebabkan kekacauan dalam ruang batin
manusia13. Kondisi ini menuntut sesuatu yang penuh kepastian, sedangkan
selama ini pemahaman Islam yang ada mereka anggap terlalu rasional dan
kontekstual, sehingga tidak memberikan kepastian14. Hal ini mengakibatkan
keinginan untuk kembali pada Islam yang “asli”, dan akhirnya keadaan
tersebut melahirkan Islam fundamentalis. Mereka termanifestasi dalam
harakah-harakah, kebanyakan tumbuh di Perguruan Tinggi ilmu umum (jika
tidak ingin disebut sekuler).
Bertolak belakang dengan Islam fundamentalis, sebagian Muslim justru
ingin mengangkat akal setinggi-tingginya hingga sejajar dengan wahyu,
bahkan sebagian ingin memposisikannya lebih tinggi. Charlez Kurzman
kemudian mengintroduksi istilah Islam liberal, dengan ciri yaitu penolakan 9 Ibid. 10 Meskipun tidak semua, seperti KH Hasyim Asy’ari yang belajar di Timur Tengah tetapi tetap tradisionalis. 11 Seperti Muhammad ibn Abdul Wahab, Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. 12 Möller, 2005. hal 82. 13 Latif, 2007. hal 71. 14 Hakim.
Haqqi @ 2010 6
akan teokrasi, mendukung demokrasi, menjamin hak-hak perempuan dan
orang-orang non-Islam, pembelaan akan kebebasan berpikir, dan kepercayaan
akan kemampuan umat manusia berkembang15.
Tipologi di atas sejatinya adalah tipologi yang menggeneralisasi umat
Islam, menganggap bahwa kapasitas keilmuan (khususnya agama) semua
umat Islam adalah sama. Padahal, kenyataannya jelas tidak seperti itu. Oleh
karenanya, penulis mencoba mengelompokkan lagi umat Islam di Indonesia,
yaitu Muslim elite dan Muslim rakyat. Elite dan rakyat di sini bukanlah
berdasar pada kelas sosial maupun kedudukan, sekalipun hal itu sedikit
banyak juga berpengaruh. Muslim elite adalah kalangan yang memiliki
kapasitas keilmuan Islam menengah ke atas. Sedangkan Muslim rakyat
adalah kalangan yang memiliki kapasitas keilmuan Islam menengah ke bawah.
Adanya disparitas antara kedua kalangan tersebut adalah sebuah kenyataan
yang tidak dapat diabaikan.
Islam fundamentalis dan Islam liberal penulis anggap hanya konsumsi
Muslim elite, maka pada tulisan ini kedua tipologi itu tidak akan dibahas lebih
jauh. Sedangkan Muslim rakyat tidak dapat serta merta diposisikan pada
Islam tradisionalis dan Islam modernis. Penulis melihat, faktor strata sosial
dan akses terhadap informasi mempunyai pengaruh pada keberislaman
mereka. Namun, penulis juga melihat ada kesamaan, yaitu mereka haus akan
spiritualitas. Perbedaannya adalah, pada Muslim rakyat desa dan Muslim
rakyat kecil kota spiritualitas tersebut dibungkus dalam budaya komunal,
sedangkan pada Muslim rakyat kota spiritualitas itu dibungkus dalam budaya
individual.
Maka di pedesaan sangat marak ritual-ritual seperti slametan, tahlilan,
barzanji, dan ritual-ritual lain yang umumnya melibatkan banyak orang.
Sebagian besar ritual-ritual itu juga terpengaruh dari budaya lokal Sedangkan
Muslim rakyat kota umumnya tidak tertarik dengan ritual-ritual itu. Hal ini
bisa jadi pengaruh dari gerakan Islam modernis yang menganggap bahwa
15 Möller, 2005. hal 92.
Haqqi @ 2010 7
ritual-ritual itu sebagai bid’ah, dan juga pengaruh budaya individual
masyarakat kota yang dibawa oleh budaya global. Muslim rakyat kota
memenuhi kehausan spiritualnya dengan buku-buku Islam yang sarat
spiritualitas seperti La Tahzan dalam berbagai versi, buku-buku tentang
bagaimana agar dapat shalat dengan khusyuk, juga novel-novel “Islami”
seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan sebagainya. Selain itu
mereka juga sangat menikmati ustadz-ustadzah entertainer seperti Jefri Al-
Bukhori, Yusuf Mansur, Ustadz Danu, Mama Dedeh, dan lain-lain, di mana
penekanan pada spiritualitas individual sangat kentara dalam tausyiah-
tausyiah mereka. Akibatnya, Muslim perkotaan seolah menganggap bahwa
agama hanyalah urusan diri mereka sendiri dengan Tuhan.
Membaca Persinggungan Muhammadiyah dengan Budaya
Sebelum melihat pada era sekarang, mari kita meloncat pada masa awal
berdirinya Muhammadiyah, dengan tokoh sentralnya KH Ahmad Dahlan.
Kuntowijoyo menyebutkan bahwa Kyai Dahlan pada masa itu menghadapi tiga
mindset masyarakat, yaitu modernisme, tradisionalisme (tradisi klasik Islam,
bukan tradisi lokal), dan Jawaisme16. Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan17,
bahwa untuk menjawab modernisme, Kyai Dahlan mendirikan lembaga
pendidikan yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan umum dengan ilmu
agama Islam. Sedangkan untuk menghadapi tradisionalisme adalah dengan
cara tabligh yang bernuansa pencerahan, termasuk merubah tradisi dakwah
secara lisan menjadi dakwah melalui tulisan, hal ini kemudian menggunakan
media majalah berbahasa Jawa Suwara Muhammadiyah yang didirikan pada
tahun 191518. Terakhir, untuk menghadapi Jawaisme, Kyai Dahlan
menggunakan metode positive action, yaitu lebih mengedepankan amar ma’ruf
daripada menyerang tradisi maupun kepercayaan Jawaisme (nahy munkar).
16 Jabrohim & Setiawan, 2009. Hal vi. 17 Ibid. Hal vi-viii. 18 Beberapa sumber menyebutkan bahwa Kuntowijoyo menemukan majalah Suwara Muhammadiyah edisi kedua yang tertulis terbitan tahun 1913 di Leiden.
Haqqi @ 2010 8
Dari penjelasan di atas, sangat tampak kecerdasan dan kearifan dari
sang pendiri Muhammadiyah tersebut dalam menyikapi berbagai bentuk
kebudayaan. Namun, semua itu nampak mulai luntur pada generasi
penerusnya hingga kini. Tampaknya dalam sebagian besar warga
Muhammadiyah terdapat mindset bahwa Muhammadiyah lahir sebagai
gerakan modernis yang merupakan antitesis dari tradisionalisme dan
Jawaisme. Kini seolah ada ketimpangan orientasi gerakan Muhammadiyah
yang cenderung mengedepankan aspek purifikasi sehingga memunculkan
kesan bahwa persyarikatan ini memiliki corak keagamaan yang keras, sinis,
dan anti terhadap lokalitas19.
Selama ini, gagasan-gagasan Muhammadiyah yang mengedepankan
rasionalitas pada teks shahih, lebih banyak diapresiasi masyarakat kota dan
pedagang (muslim elite dan muslim rakyat kota), tetapi tidak untuk
masyarakat pedesaan dan kaum buruh (muslim rakyat desa dan muslim
rakyat kecil kota)20. Lebih jauh, gerakan Muhammadiyah semakin
menampakkam kecenderungan elitis, amal usaha-amal usahanya pun kian
menunjukkan keberpihakannya pada kelompok atas. Menurut Haedar Nashir,
hal itu disebabkan karena selama Orde Baru orientasi dakwah
Muhammadiyah cenderung elitis dan tersedot ke dalam birokratisme
kekuasaan21.
Jika dihadapkan pada budaya lokal dan budaya global secara
bersamaan, penulis melihat adanya inkonsistensi sikap Muhammadiyah. Di
satu sisi “alergi” pada budaya lokal, tetapi pada budaya global Muhammadiyah
cenderung permisif. Contoh sederhana, kader-kader muda Muhammadiyah
lebih menyukai musik nasyid yang awalnya tumbuh di Palestina dan
Afghanistan serta diintroduksi ke Indonesia oleh orang-orang Malaysia,
daripada musik-musik etnis yang bernafaskan Islam seperti ilir-ilir, tamba ati,
dan sebagainya. Atau fenomena pimpinan Muhammadiyah yang begitu
19 Mu’arif, 2009. Hal 50. 20 Lihat Mulkhan, 2009. Hal 71. 21 Suwarno, 2009. Hal 86.
Haqqi @ 2010 9
apresiatif pada film-film nasional yang disebut-sebut Islami, bahkan turut
terlibat sebagai pemain, walau hanya figuran, tetapi penulis belum pernah
mendengar apresiasi pimpinan Muhammadiyah pada seni pertunjukan lokal.
Seolah Muhammadiyah sedang mengalami “kolonialisasi” kebudayaan yang
diproduksi oleh kelompok Islam lain yang berbeda ideologi22.
Citra (dan kenyataan) Muhammadiyah yang anti-lokalitas itu
berimplikasi pada sempitnya jangkauan dakwah Muhammadiyah, yaitu
terbatas pada masyarakat kota dan kaum terpelajar. Di sisi lain, budaya global
yang diterima dengan tangan terbuka menyeret Muhammadiyah pada
hegemoni pasar. Hal itu kemudian coba didobrak pada Sidang Tanwir
Muhammadiyah tahun 2002 di Denpasar. Pada waktu itu dimunculkan
strategi baru dakwah Muhammadiyah yang disebut dengan Dakwah Kultural.
Namun, Tanwir tersebut hanya membentuk tim perumus konsep Dakwah
Kultural, dan baru ditetapkan sebagai metode dakwah Muhammadiyah pada
Tanwir 2003 di Makassar23. Pun demikian, masih ada sekelompok warga
Muhammadiyah yang tidak bisa menerima kelahiran anak baru bernama
Dakwah Kultural itu. Mereka menganggap metode dakwah ini akan
memberikan toleransi pada ritual-ritual TBC dan bertentangan dengan
semangat purifikasi.
Dakwah Kultural Minim Da’i Kultural
Dalam surat Ibrahim (14) ayat ke 4, Allah berfirman bahwa “Dan Kami
tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya
(bilisani qaumihi), agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. …”24.
Ayat tersebut mengindikasikan agar dalam menyampaikan ajaran Islam
senantiasa memperhatikan “bahasa” objek dakwah. Makna bilisani qaumihi
adalah suatu upaya untuk menyampaikan, menerjemahkan, dan menafsirkan
22 Hasyim, 2009. Hal 113. 23 Mu’arif, 2009. Hal 50-52. 24 Terjemahan Departemen Agama
Haqqi @ 2010 10
ajaran Islam dengan memahami dan mengapresiasi konteks psikologis, sosial,
ekonomi, demografis, dan kondisi objekif dari sasaran dakwah25.
Oleh karena itu, Muhammadiyah dituntut memiliki srategi dakwah yang
fleksibel, tidak kaku, dan mudah diterima semua lapisan masyarakat. Dakwah
Kultural yang baru lahir secara resmi beberapa tahun yang lalu, diharapkan
menjadi jawaban atas tuntutan tersebut. Dakwah Kultural merupakan upaya
menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan
memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya
secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya26.
Konsep Dakwah Kultural yang telah menjadi agenda resmi
Muhammadiyah itu sejatinya cukup komprehensif. Ada dua arus besar
Dakwah Kultural, yaitu dalam konteks buadaya lokal dan konteks budaya
global. Dalam konteks budaya lokal, secara singkat strategi Dakwah Kultural
adalah dengan memahami aspek historis sosiologis masyarakat setempat.
Artinya, sang da’i tidak cukup hanya mumpuni dalam ilmu-ilmu agama, tetapi
perlu pengetahuan akan ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan. Sedangkan dalam
konteks budaya global, strategi yang digunakan adalah pendekatan religio-
kultural, memberikan panduan hidup yang rasional, dan upaya pembebasan
manusia, utamanya mustadh’afin, dari ketertindasan kultural dan
struktural27.
Namun, konsep yang mumpuni itu akan menjadi barang rongsokan jika
mindset warga Muhammadiyah tak juga berubah. Dan sayangnya kondisi
seperti itulah yang penulis lihat hingga kini. Dakwah Kultural sendiri seperti
belum menemukan momentumnya untuk dikenal dan disadari, sampai saat
ini masih terkalahkan oleh hingar bingar perdebatan tentang fundamentalisme
dan liberalisme dalam tubuh Muhammadiyah. Akibatnya, Muhammadiyah
masih sangat kekurangan da’i-da’i kultural. Mereka yang telah terjun dengan
25 Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2004. Hal 7. 26 Ibid. Hal 26. 27 Ibid. Hal 47-48.
Haqqi @ 2010 11
Dakwah Kultural justru seringkali tidak mendapat apresiasi, kecuali mereka
yang menggunakan media modern dan mengikuti pola pasar, seperti yang
dilakukan Chaerul Umam dengan KCB-nya. Lagi-lagi, hal itu menunjukkan
Muhammadiyah masih sangat betah mengambil segmentasi masyarakat
perkotaan.
Strategi Kebudayaan Menuju Masyarakat Madani
“Menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga dapat
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”, demikianlah maksud dan
tujuan Muhammadiyah hasil Muktamar 2000 di Jakarta dan tidak mengalami
perubahan dalam Muktamar 2005 di Malang. Istilah Masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya memang sangat populer bagi warga Muhammadiyah. Istilah
tersebut menunjukkan cita-cita besar Muhammadiyah, sebuah usaha yang
never ending. Sebelumnya, tepatnya mulai tahun 1985, Muhammadiyah
menggunakan istilah Masyarakat Utama, yang terlihat merujuk pada istilah
khayr ummah28.
Konsep Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya dalam keputusan
Muktamar 2005 di Malang, memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat
madani, yaitu masyarakat kewargaan yang memiliki keyakinan yang dijiwai
nilai-nilai ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan
berakhlaq mulia29. Penulis berpendapat bahwa secara substansial istilah-
istilah itu sama saja. Masyarakat Islam yang Sebenar-benanya, Islamic Civil
Society, Masyarakat Utama, Masyarakat Madani, maupun al madinah al
fadhilah yang dimunculkan oleh Al Farabi, semuanya sejalan, menghendaki
adanya entitas masyarakat sebagai penyeimbang negara, atau deliberasi
kolektif30.
Dari konsep masyarakat madani (atau masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya) di atas, penulis akan bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama
28 Lihat MIYS dari masa ke masa dalam Markus, 2009. Hal 24-26. 29 Markus, 2009. Hal 2. 30 istilah deliberasi kolektif diambil dari Baidhawi. hal 146.
Haqqi @ 2010 12
adalah penekanan pada spiritualitas, yaitu nilai-nilai Ilahiah, dan bagian
kedua adalah penekanan pada aspek budaya kehidupan masyarakat, yaitu
demokratis, berkeadilan, otonom, dan berkemajuan. Sedangkan poin
berakhlaq mulia (karimah) merupakan gabungan dari kedua bagian di atas.
Bagian pertama, dapat dibentuk dengan penguatan pengetahuan dan
pengamalan Islam pada masyarakat, hal ini secara sederhana cukup dengan
dakwah yang “biasa-biasa saja”, asal ketersampaian pesan terpenuhi.
Berbeda dengan bagian pertama, untuk membangun bagian kedua
diperlukan suatu strategi kebudayaan yang komprehensif. Dalam pandangan
penulis, dalam masyarakat yang masih kental dengan lokalitas diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut, pertama, pemetaan nilai-nilai kebudayaan,
sistem gagasan, dan sistem tingkah laku31 yang dianut masyarakat dan
mencoba memahami proses metamorfosis dari nilai hingga menjadi sistem
gagasan dan sistem tingkah laku. Kedua, mempelajari apakah sistem itu
sejalan dengan prasyarat sistem yang diperlukan untuk pembentukan
masyarakat madani, yaitu egaliter, demokratis, dan mandiri. Jika ditemukan
kesenafasan, maka yang diperlukan adalah penguatan. Jika ternyata masih
ditemukan sistem hirarkis tertutup (tidak egaliter, tidak demokratis),
ketergantungan pada pihak lain, dan sistem-sistem tidak berkemajuan lain,
maka perlu upaya transformasi sistem sosial. Jika upaya ini dilakukan dengan
menggunakan strategi yang “canggih”, penulis memandang semua itu bisa
dilakukan secara arif, tanpa konfrontasi langsung.
Pada masyarakat perkotaan yang sistem tingkah laku, sistem gagasan,
bahkan sistem nilainya telah banyak terbawa arus globalisasi, maka
Muhammadiyah perlu melakukan upaya counter hegemony. Budaya global
nampaknya memang membawa sistem yang egaliter dan demokratis, akan
tetapi sebenarnya terkandung proses dominasi dan subrodinasi di dalamnya.
Hal ini jelas bertentangan dengan semangat masyarakat madani, karena jika
proses ini terus berlangsung tanpa perlawanan, “kemenangan” hanya akan
31Lihat Empat Wujud Kebudayaan dalam Koentjaraningrat, 1996. hal 74.
Haqqi @ 2010 13
dinikmati pihak-pihak yang sukses mendominasi. Sedangkan pihak-pihak
yang menjadi subordinat akan terus hidup dalam bayang-bayang
pendominasi, ironisnya lagi, banyak dari para subordinat yang tidak sadar,
bahkan menikmatinya. Inilah yang disebut hegemoni, kekuatan yang mampu
merobek kesadaran. Disamping itu, Muhammadiyah perlu menyadarkan
masyarakat akan semangat karitas Islam. Bahwa Islam terbangun dari habl
min Allah dan habl min an nas, itu harus dijalankan secara berimbang.
Penutup
Dengan segala manis-pahit kenyataan di atas, penulis masih yakin akan
potensi Muhammadiyah sebagai suatu organisasi massa Islam dengan modal
sosial yang luar biasa. Hanya saja, disorientasi-disorientasi yang selama ini
muncul dan sebagian mapan dalam tubuh persyarikatan ini memerlukan
penyadaran segera. Bahwa Muhammadiyah tidaklah cukup “dikonsumsi” oleh
Muslim elite dan Muslim rakyat kota, menuntut Muhammadiyah memiliki
strategi dakwah yang tidak kaku dan monolitik. Salah satunya adalah dengan
mengapresiasi dan memahami budaya lokal. Di sisi lain, arus globalisasi yang
begitu deras dan hegemonik menguji apakah Muhammadiyah dapat bertahan
dengan spirit awal gerakannya ataukah justru berenang-renang tanpa sadar
bahwa ia sedang terseret arus.
Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya, maksud dan tujuan
Muhammadiyah yang berupa cita-cita besar dan never ending itu selayaknya
menjadi acuan agar tercipta gerakan yang integral dari seluruh elemen warga
Muhammadiyah. Perdebatan partai politik mana yang cocok untuk tempat
bernaung Muhammadiyah, perdebatan fundamentalisme-liberalisme dalam
tubuh Muhammadiyah, dan perdebatan-perdebatan lain yang tidak hidup
dalam budaya dialogis tetapi tumbuh dalam budaya justifikasi dan saling
tuduh itu sudah selayaknya diakhiri.
-Hanya Allah yang Mengetahui secara pasti-
Haqqi @ 2010 14
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Baidhawi, Zakiyuddin. tanpa tahun. Muhammadiyah dan Civil Society.
Perspektif Filsafat, dalam Fajlurrahman Jurdi et al, Gerakan Sosial
Islam. Genealogi Habitus Muhammadiyah. Makassar: PuKAP Indonesia,
DPD KNPI Sulawesi Selatan, dan DPD IMM Sulawesi Selatan.
Hakim, Nurul. Islam dalam Takaran Eksklusif dan Inklusif. Ebook
Hasyim, Fuad. 2009. Prospek Gerakan Kesenian Muhammadiyah, dalam Siti
Chamamah Soeratno et al, Muhammadiyah sebagai Gerakan Seni dan
Budaya, Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Jabrohim & Farid Setiawan. 2009. Pengantar Editor dalam Siti Chamamah
Soeratno et al, Muhammadiyah sebagai Gerakan Seni dan Budaya, Suatu
Warisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.
Latif, Yudi. 2007. Dialektika Islam. Tafsir Sosiologis Atas Sekularisasi dan
Islamisasi di Indonesia. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Markus, Sudibyo et al. 2009. Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya.
Sumbangan Pemikiran. Jakarta & Malang: Civil Islamic Institute,
UHAMKA, dan UMM.
Mulkhan, Abdul Munir. 2009. Dakwah Kultural: Strategi Perubahan Berbasis
Tradisi Lokal, dalam Siti Chamamah Soeratno et al, Muhammadiyah
sebagai Gerakan Seni dan Budaya, Suatu Warisan Intelektual yang
Terlupakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mu’arif. 2009. Dakwah Kultural: Mencermati Kearifan Dakwah Muhammadiyah,
dalam Siti Chamamah Soeratno et al, Muhammadiyah sebagai Gerakan
Seni dan Budaya, Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haqqi @ 2010 15
Möller, André. 2005. Ramadan di Jawa. Pandangan dari Luar. Jakarta:
Penerbit Nalar.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2004. Dakwah Kultural Muhammadiyah.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Suwarno. 2009. Muhammadiyah, Dakwah Kultural, dan Kearifan Lokal, dalam
Siti Chamamah Soeratno et al, Muhammadiyah sebagai Gerakan Seni
dan Budaya, Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.