Meneguhkan Kembali Kebebasan...
Transcript of Meneguhkan Kembali Kebebasan...
Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan
Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai tugas akhir perkuliahan di UIN Jakarta untuk mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam
Oleh: Saidiman
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006
Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan
Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam
Oleh: Saidiman
NIM: 0033118814
Di Bawah Bimbingan
Drs. Fakhruddin, M.Ag. NIP: 150231347
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2006
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik
Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan telah diujikan dalam siding
munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 November 2006. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam Program
Strata I (SI) pada Jurusan Aqidah Filsafat.
Jakarta, 27 November 2006
Sidang Munaqasah,
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag. NIP. 150262447 NIP. 150254185
Anggota,
Penguji Pembimbing,
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Drs. Fakhruddin, M.Ag. NIP. 150240483 NIP. 150231347
KATA PENGANTAR
Sejak Isaiah Berlin diperkenalkan kepada publik Indonesia melalui
terjemahan karya terkenalnya, Four Essays on Liberty, oleh Freedom Institute dan
LP3ES, Berlin telah menjadi daya tarik yang sangat kuat bagi perkembangan
intelektual penulis. Daya tarik terhadap Berlin mendapat dukungan dari bidang ilmu
yang penulis geluti di Jurusan Aqidah Filsafat UIN Jakarta, di samping memang
penulis memiliki minat terhadap kajian filsafat politik secara umum. Diterimanya
tema skripsi ini sekaligus sebagai legitimasi bagi penulis untuk mengembangkan
pemikiran ini lebih jauh.
Kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini, perkuliahan di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta secara umum, adalah karunia yang sangat
besar. Selama kurang lebih enam tahun, penulis berinteraksi dengan banyak kalangan
di kampus UIN tercinta juga dengan pelbagai komunitas di seputar Jakarta dan
Yogyakarta. Pelbagai kalangan dan komunitas itulah, baik langsung maupun tidak,
telah memberikan banyak inspirasi kepada penulis untuk mengangkat tema dan
menyelesaikan penulisan tugas akhir perkuliahan di UIN ini. Penulis menghaturkan
banyak terima kasih kepada Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Prof. Dr.
Amsal Bachtiar, beserta jajarannya yang telah begitu banyak membantu penulis
dalam menempuh dan menyelesaikan perkuliahan di UIN Jakarta. Terima kasih juga
kepada Bapak Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Drs. Agus Darmaji, M.Fils., dan
Sekretaris Jurusan, Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag., yang mau menyibukkan diri
melayani penulis selama penyelesaian akhir perkuliahan di UIN. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ketua dan Sekretaris Jurusan AF yang lalu,
Drs. Syamsuri, M.Ag. dan Drs. Masri Mansur. Bapak Pembimbing, Drs. Fakhruddin,
M.Ag., yang dengan segala perhatian dan ketekunan membaca dan memberi catatan-
catatan terhadap skripsi penulis, terima kasih banyak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan Forum Mahasiswa
Ciputat (Formaci), tempat penulis mengenal dunia yang sebenarnya. Kawan Zezen
(terima kasih atas printer gratisnya), Herman, Seif, Ridwan, Adry, Akib, Didi, Bre,
Agus, Zaim Rofiqi, Husni, Hudri, Acun, Fa’at, Soleh, Mustafa, Nugie, Evi, Reza,
Gyn, Ajid, Ilham, Linda, Ayi, Yayang, Hafni, Hanif, Bana, Mahmudin, Nana,
Syukron, Iqbal, Biyah, Towik, Nanang, Muhammad Ja’far dan kawan-kawan
Formaci lainnya yang begitu banyak, kalian semua adalah teman yang baik. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan saya di pelbagai organisasi:
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan BEM UIN 2004, Mujahid, Eky, Apep,
Faisal, Amel, Risha, Uep, Muhajir dan yang lainnya, juga kawan-kawan di Teater
Altar, Forkot, PMII, IMM, teater Syahid dan lain-lain. Ucapan terima kasih juga buat
kawan-kawan di Jaringan Islam Liberal Kampus (lembaga pertemuan ide kaum muda
Islam liberal seluruh Indonesia), kawan Slamet Thohari, Hatim Ghazali dan lain-lain.
Teman-teman AF angkatan 2000 juga banyak berjasa kepada penulis, merekalah
kawan-kawan perdana penulis di UIN Jakarta.
Terima kasih juga patut saya sampaikan kepada kawan-kawan saya sesama
perantauan: kawan-kawan saya seangkatan dari MAKN Makassar, Echa, Nahar dan
Adlan; kawan-kawan alumnus Ponpes DDI Mangkoso dan MAKN Makassar, Muid,
Adlan Nawawie, Syahrullah, Syawaluddin dan lainnya; serta kawan-kawan dari
Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Penulis bersyukur bisa berinteraksi dengan pelbagai komunitas: Komunitas
Utan Kayu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Freedom Institute, Lembaga Survey
Indonesia (LSI), PPIM UIN Jakarta, INCIS, Kapal Perempuan dan terutama Lembaga
Studi Agama dan Filsafat (LSAF), tempat penulis beraktivitas saat ini. Ucapan terima
kasih juga kepada person-person di pelbagai komunitas di atas yang berinteraksi
secara pribadi dengan penulis: Saiful Mujani (intelektual-peneliti yang banyak
memberi dukungan dan berlaku layaknya kakak yang sangat penyayang), Ahmad
Sahal, Nong Darol Mahmada, Neng Dara Affiah, Sirojuddin Abbas, Budhis Utami,
Anick HT, Ace Hasan Syadzily dan M. Dawam Rahardjo (orang tua yang idealis dan
bersemangat).
Ibuku terkasih, Rosni, terima kasih telah memberiku kasih sayang yang tak
terkira. Ayahku, Achmad Bora, yang tidak pernah lelah untuk mendukungku sejak
awal. Adik-adikku, Swarni, Didi Suhardi, Maman Suratman, juga almarhumah
Masniar. Dukungan keluarga ini adalah ruh bagiku untuk tetap bertahan.
Teman sejati yang kurang lebih lima tahun ini berbagi begitu banyak hal
dengan penulis, Indri Sri Sembadra, tari warna pelangiku, tudung sutra senjaku,
terima kasih. Denganmu, dunia seolah selalu mengalun bergelut senda.
Kepada semua pihak dan kawan yang membantu penulis dalam menempuh
studi yang tidak mudah ini, terima kasih untuk semuanya.
Ciputat, 14 November 2006
Saidiman
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………….……………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………..……………… iv
BAB I PENDAHULUAN…...................................................................... 1
Latar Belakang………………………………………………. 1
Batasan dan Rumusan Masalah……………………………. 12
Tinjauan Kepustakaan……………………………………… 13
Tujuan Penelitian……………………………………………. 15
Metode Penelitian…………...……………………………….. 16
Sistematika
Penulisan……………………………………….. 17
BAB II RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN………………………. 20
A. Riwayat Hidup………………………………………………. 20
B. Pemikiran……………………………...…………………….. 28
C. Karya-karya…………...…………………………………….. 34
BAB III TIGA PENGKRITIK
PENCERAHAN………………………... 37
A. Giambattista Vico…………………………………………… 37
B. Johann Georg Hamann……………………………………... 43
C. Johann Gottfried Herder…………………………………… 45
BAB IV PENCERAHAN MINUS UNIVERSALISME………………… 48
A. Dua Konsep Kebebasan……………………………………… 48
B. Value Pluralism……………………………………………….. 57
C. Liberalisme Pluralis………………………………………….. 63
D. Gagasan Kebebasan dalam Islam…………………………… 69
BAB V
PENUTUP…………………………………………………………. 74
A. Kesimpulan……………………………………………………. 74
B. Evaluasi Kritis………………………………………………… 76
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………79
BAB I
PENDAHULUAN
C. A. Latar Belakang
Rasanya sulit diterima nalar, bahwa serangan Israel ke Palestina dan
Libanon (2006), juga serangan Amerika Serikat ke Irak dan Afganistan (2002),
adalah misi pembebasan. Tapi juga adalah fakta bahwa berkali-kali Presiden
Amerika Serikat, George W. Bush, dan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert,
menyebut serangannya sebagai misi pembebasan.
Pasca-serangan teroris (11 September 2001) yang meruntuhkan menara
kembar World Trade Center (WTC), Amerika Serikat gencar melancarkan serangan
militer terhadap Afganistan dan Iraq, merencanakan menyerang Iran, dan mendukung
agresi militer Israel terhadap Palestina dan Libanon. Dengan dalih perluasan
liberalisme, Amerika Serikat merasa berhak melakukan pemaksaan kehendak kepada
Afganistan, Irak, dan dunia secara umum. Sebetulnya apa yang dimaksud dengan
liberalisme? Sampai batas mana ia benar-benar membebaskan? Lalu kenapa justru
kerapkali mengungkung dan memaksa? Lalu seberapa valid klaim pembebasan yang
dilakukan oleh AS dan Israel, ketika harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa
dampak perang yang mereka kobarkan demikian memilukan?
Pertengahan tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa
yang mengundang kontroversi, yakni tentang haramnya paham liberalisme
(kebebasan). Lagi-lagi muncul pertanyaan besar, apa sebetulnya yang salah dalam
paham liberalisme, paham yang juga dipercaya mendasari kehendak bebas bangsa
Indonesia dari penjajahan?
Salah satu pemikir yang terkenal liberal, Friedrich A. Hayek, mulai mencoba
mendefinisikan liberalisme dengan ungkapan Abraham Lincoln yang diplomatis:
“The world has never had a good definition of the word liberty, and the
American people just now are much in need one. We all declare for liberty:
but in using the same word, we do not mean the same thing…Here are two,
not only different but incompatible things, called by the same name,
liberty.”1
(Dunia tidak pernah memiliki satu definisi yang baik mengenai kata
kebebasan (liberty), dan masyarakat Amerika sekarang ini menginginkan
persatuan. Kita semua mendeklarasikan kebebasan: dengan menggunakan
kata yang sama, tapi kita tidak bermaksud sama…Di sini ada dua, bukan
hanya sesuatu yang berbeda bahkan tidak kompatibel, yang disebut dengan
nama yang sama, kebebasan.) 1 Abraham Lincoln, The Writings of Abraham Lincoln, ed. A. B. Lapsley, dikutip oleh Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty, (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), h. 1.
Persoalan definisi yang mengganggu Hayek di atas menemukan
penegasannya pada beragam peristiwa dunia yang dilatarbelakangi oleh konsep
liberalisme. Ide kebebasan individu dalam liberalisme ternyata telah menjadi momok
menakutkan bagi kebebasan itu sendiri. Perang Dunia I dan II adalah buah dari
liberalisme. Pembantaian kaum Yahudi pada masa Perang Dunia II adalah puncak
pembelengguan kebebasan individu oleh liberalisme. Munculnya rezim diktator
komunis di Uni Sovyet dan Cina juga adalah buah liberalisme. Mewabahnya
kemiskinan di Dunia Ketiga yang diyakini banyak orang sebagai akibat invasi
dominasi ekonomi kapitalis adalah dampak nyata liberalisme. Munculnya rezim
ultranasionalis dan politik aliran juga adalah buah perjuangan liberalisme.
Merebaknya terorisme pun tidak bisa dilepaskan dari liberalisme.
Tentu saja liberalisme juga banyak mendatangkan manfaat bagi ummat
manusia, misalnya progresifitas, kemajuan peradaban, perdamaian, demokrasi,
runtuhnya totalitarianisme, dan sebagainya. Tapi paradoks liberalisme yang terjadi
di dunia nyata tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa yang salah dalam liberalisme
yang dianut oleh banyak orang itu? Kenapa banyak contoh justru menunjukkan
bahwa liberalisme membunuh kebebasannya sendiri?
Isaiah Berlin adalah salah satu pemikir besar Abad 20 yang berusaha
mencari akar persoalan dalam liberalisme, sembari mengemukakan bagaimana
mengkonseptualisasikan dan mengoperasikan paham yang bisa bunuh diri ini.
Kendati ada persoalan, bukan berarti liberalisme (kebebasan) tidak bisa
didefinisikan atau harus dibiarkan liar dan menjadi instrumen politik-ekonomi siapa
saja yang berkepentingan. Isaiah Berlin adalah salah satu tokoh yang berusaha
memperkenalkan konsep liberalisme secara genuin.
Kegelisahan Berlin berawal dari kenyataan sejarah, begaimana liberalisme
melahirkan fasisme, komunisme, politik identitas, dan Nazisme. Suatu ketika, Berlin
menulis sejarah pemikiran Karl Marx, Karl Marx: His Life and Environment.2
Sebetulnya, Marx bagi Berlin tidak begitu menarik, karena dari awal ia menentang
ide totalitariannya. Berlin terpukau ketika menemukan bahwa ide totalitarian Marx
ternyata berangkat dari tradisi pemikiran liberal Pencerahan, terutama dari filsafat
Pencerahan Perancis pada abad ke-18. Para pendahulu Marx itu adalah orang-
orang yang membuka mata dunia dengan pembebasan dari kegelapan, yakni
perlawanan terhadap dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayul, kebodohan,
dan ketertindasan.3 Dobrakan para filsuf Pencerahan diakui oleh Berlin sebagai
prestasi yang sungguh luar biasa, tetapi menimbulkan pertanyaan besar ketika ide
Pencerahan bermuara pada totalitarianisme.
Pertanyaan besar tentang muara totaliter Pencerahan inilah yang ingin
dipecahkan oleh Isaiah Berlin. Bukan berarti Berlin keluar dan menolak sepenuhnya
2 Lihat Isaiah Berlin, Karl Marx: His Life and Environment, (New York: A Galaxi Book, 1963) 3 Lihat Isaiah Berlin, The Powers of Ideas, (London: Pimlico, 2001), h. 4.
ide Pencerahan, melainkan dia menjadi pengikut yang tidak penurut.4 Berlin
menyimpulkan bahwa inti kisruh Pencerahan adalah klaim universalisme yang
diembannya. Pencerahan, betapapun memperjuangkan pengejawantahan diri
individu melalui rasionalisme, tetapi ia mengklaim absolutisme dan universalisme
rasio atau kemampuan manusia. Menyandarkan segala kebenaran kepada
rasionalitas secara langsung telah melakukan klaim kebenaran absolut, sesuatu yang
sebetulnya ditolak oleh Pencerahan itu sendiri, melalui perlawanannya terhadap
klaim kebenaran absolut metafisika, agama, tradisionalisme, dan sebagainya.
Dengan demikian, Rasionalisme Pencerahan adalah bentuk baru dari Monisme.
Monisme adalah istilah untuk menyebut jenis universalisme yang
dikembangkan para pemikir sejak Yunani sampai sekarang. Monisme ditandai oleh
beberapa ciri pemikiran. Pertama, kaum monis meyakini bahwa semua pertanyaan
yang benar pastilah memiliki satu jawaban yang benar, dan hanya satu, semua
jawaban yang lain pasti salah. Jika jawaban ini tidak kita ketahui, pasti ada orang
lain yang mengetahui, generasi selanjutnya mungkin mengetahui, para nabi yang
mungkin mengetahui, atau setidaknya Tuhanlah yang mengetahui. Kedua, kebenaran
jawaban tersebut pasti bisa diketahui dengan menggunakan metode yang bisa
direalisasikan dan diajarkan kepada semua ummat manusia. Ketiga, kebenaran
4 Ahmad Sahal menggambarkan kondisi ini dengan ungkapan: "Berlin memang secara tajam melucuti universalisme Pencerahan, tapi dia tetaplah seoarang liberal. Dia, betapapun, tetaplah anak kandung yang sah dari Pencerahan, meski bukan anak yang penurut.” Lihat Ahmad Sahal, Isaiah Berlin dan Liberalisme Tanpa Universalisme, dalam Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan, (Jakarta: Freedom Institute dan LP3ES, 2004), h. X.
diandaikan saling kompatibel dengan kebenaran yang lain.5 Kebenaran diandaikan
tunggal dan pasti bisa diketahui melalui berbagai macam cara yang menuju arah
yang sama: Plato percaya bahwa matematikalah jalan menuju kebenaran, Aristoteles
meyakini Biologi sebagai jalannya, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini bahwa
jalan kebenaran itu ada dalam Kitab Suci, Rousseau percaya bahwa kebenaran itu
terungkap oleh jiwa manusia yang bersih, anak yang masih suci, atau mungkin petani
biasa, dan lain-lain.6 Semua pertanyaan tentang moral, sosial, politik, pasti ada
jawaban yang benar tentangnya dan entah di mana.7
Universalisme Pencerahan memang adalah momok yang sangat menakutkan
bagi ide pembebasan itu sendiri. Universalisme Pencerahan membuat manusia
seolah-olah menjadi mesin yang bisa diarahkan oleh satu konsep tertentu yang rigid
yang terpola. Berlin menolak itu semua, sebab dunia, terutama manusia, bukanlah
benda mati yang bisa diukur dengan menggunakan pola perhitungan yang bersifat
pasti. Masing-masing individu memiliki keunikan. Berlin memulai kritiknya terhadap
universalisme Pencerahan dengan melakukan pembagian tradisi pemikiran.
Dalam buku The Hedgehog and The Fox, Berlin mengindetifikasi bahwa
dalam sejarah pemikiran, ada dunia kecenderungan utama, yakni pemikir pluralis
dan monistik. Berlin mengutip satu bait syair dari fragmen-fragmen penyair Yunani,
Archilochus, yang menyatakan: “The fox knows many things, but the hedgehog
5 Ahmad Sahal, h. xiii. Lihat juga Berlin, The Power, h. 5. 6 Berlin, The Power, h. 6. 7 Berlin, The Power, h. 8.
knows one big thing” (rubah mengetahui banyak hal, sedangkan landak mengetahui
satu hal besar).8 Syair ini ingin menunjukkan bahwa segala kecerdikan rubah, yang
mengetahui banyak strategi penyerangan, bisa dikalahkan oleh satu sistem
pertahanan landak. Dalam tradisi pemikiran, oleh Berlin, syair itu diartikan bahwa
landak dan rubah adalah tipologi pemikiran: di satu sisi, ada orang yang
menghubungkan segala sesuatu kepada satu pandangan utama yang tunggal, satu
sistem yang kurang lebih bisa dicari koherensinya; di sisi lain, ada jenis pemikir
yang mengandaikan banyaknya tujuan, yang kerapkali tidak berhubungan bahkan
berkontradiksi.9 Landak adalah tipologi yang pertama dan rubah adalah yang kedua.
Berlin menulis:
“…Dante belongs to the first category, Shakespeare to the second; Plato,
Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust are, in varying
degrees, hedgehogs; Herodotus, Aristotle, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe,
Pushkin, Balzac, Joyce are foxes.”10
(“…Dante termasuk kategori pertama, Shakespeare masuk kategori kedua;
Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust, dalam
8 Dikutip oleh Isaiah Berlin, The Hedgehog and The Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History, (New York: Simon and Schuster, 1953), h. 1. 9 Berlin, The Hedgehog, h. 1. 10 Berlin, The Hedgehog, h. 2.
tingkat yang berbeda, adalah landak; Herodotus, Aristoteles, Montaigne,
Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce adalah rubah.)
Berlin juga menyimpulkan bahwa tradisi pemikir Pencerahan cenderung
jatuh pada kategori pertama, landak atau monisme. Berlin kemudian mencurahkan
perhatian untuk mengembangkan jenis pemikir kedua, rubah. Berlin terutama
terpengaruh oleh tiga tokoh pengkritik Pencerahan: Giambattista Vico, Johann
Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder.
Berlin menemukan amunisi untuk menyerang Pencerahan langsung ke titik
pusatnya, ketika Vico melakukan kritik terhadap salah satu Bapak Pencerahan, Rene
Descartes. Vico mengkritik Descartes dan para pengikutnya yang menempatkan
peran vital matematika sebagai ilmu pengetahuan sains. Bagi Vico, matematika
adalah penemuan manusia, yang tentu saja tidak bisa keluar dari kemanusiaan.
Matematika, sebagai ciptaan manusia, tidak bisa objektif. Bukan matematika yang
mengetahui manusia, melainkan manusialah yang mengetahui matematika. Manusia,
oleh karenanya, hanya bisa diketahui segala detailnya oleh penciptanya, yaitu
Tuhan. Manusia hanya mungkin dipelajari dengan mengapresiasi segala motivasi,
tujuan, harapan, ketakutan, kekhawatiran, cinta, dan sebagainya yang ada pada
manusia.11 Vico dengan tegas mempertahankan keunikan manusia yang tidak bisa
direduksi ke dalam pola-pola tertentu.
Dari teolog dan filsuf Königsberg, J.G. Hamann, Berlin menemukan kritikan
yang paling baik bagi tradisi rasionalisme Pencerahan. Hamann menegaskan bahwa
semua kebenaran itu partikular, tidak pernah bersifat umum. Rasio, bagi Hamann,
tidak cukup memiliki kemampuan untuk menunjukkan eksistensi segala sesuatu, dia
hanyalah alat untuk mengklasifikasi dan membawa data kepada satu pola tertentu,
yang sebetulnya tidak pernah bisa benar-benar absah sesuai dengan
realitas.12Realitas selalu memiliki kejutan-kejutan yang tak terduga. Rasionalisme
Pencerahan, bagi Hamann dan diamini oleh Berlin, mencoba membatasi sesuatu
yang sebetulnya tak pernah jelas batasnya, bahkan mungkin tanpa batas. Dari
Hamann, Berlin menyimpulkan, bahwa “what is real is individual” (apa yang riil itu
bersifat individual).13 Artinya, segala sesuatu memiliki keunikan yang selalu berbeda
dengan yang lain.
J. G. Herder juga memberi inspirasi bagi Berlin untuk menyerang
universalisme Pencerahan. Herder memperkenalkan konsep keragaman budaya,
dunia manusia, dan pengalamannya dalam sejarah. Herder percaya bahwa untuk
memahami setiap sesuatu, harusnya terlebih dahulu memahami individualitas dan
pembangunannya. Untuk itu, diperlukan kapasitas Einfühlung (feeling into atau
11 Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 246. 12 Berlin, The Proper, h. 249. 13 Berlin, The Proper, h. 250.
empati) kepada pandangan, karakter individual dari satu tradisi kesenian, sastra,
organisasi sosial, masyarakat, budaya, atau tahapan-tahapan sejarah.14 Herder
menolak kriteria kemajuan absolut yang dianut di Paris15, sebab tidak ada budaya
yang benar-benar sepenuhnya bisa diterapkan kepada yang lain. Herder
mengemukakan tentang perbedaan dan keunikan masing-masing budaya, meskipun
perbedaan itu bisa disatukan dan memang mungkin. Pernyataan tentang budaya
yang satu adalah reduksi. Masing-masing budaya harus hidup dengan keunikannya,
kendatipun tetap ada prinsip yang sama. Kemanusiaan itu tidak satu, melainkan
banyak (mankind was not one but many).16 Bagi Herder, setiap prestasi manusia dan
semua masyarakat ditentukan oleh standar-standar internalnya sendiri.17
Dari sini Berlin masuk ke dalam pembahasan yang cukup paradoks, antara
konsep pluralisme dan liberalisme. Tiga pemikir yang mempengaruhi dia berada
pada jalur pluralis. Pluralisme cenderung membiarkan segala sesuatu tumbuh,
bahkan mengandaikan bahwa segala sesuatu selalu berbeda, yang sangat mungkin
saling berbenturan. Berlin juga tidak ingin jatuh ke dalam relativisme sempit.
Tepatnya, Berlin adalah seorang pluralis liberal. Penulis biografi pemikiran Isaiah
Berlin terkemuka, John Gray, menyebut Berlin bergerak di antara pluralisme dan
14 Berlin, The Proper, h. 253. 15 Paris diyakini sebagai pusat pemikiran Pencerahan. 16 Berlin, The Power, h. 9. 17 Berlin, The Proper, h. 255.
liberalisme.18 Pluralis karena ia mengandaikan keragaman kebenaran, tapi juga
liberal karena ia mengandaikan kebebasan individu harus selalu terpenuhi.
Untuk menjernihkan posisi liberalismenya, Berlin menulis esai panjang, Two
Consepts of Liberty.19 Dalam esai “Two Consept of Liberty,” Berlin mengemukakan
dua konsep kebebasan yang bertolak belakang. Pertama, konsep kebebasan positif
(positive liberty) dan kebebasan negatif (negative liberty). Positive liberty diartikan
sebagai kebebasan yang mengarah ke luar. Jenis kebebasan ini adalah adopsi dari
nalar Pencerahan yang menempatkan rasionalisme sebagai unsur terpentingnya.
Sementara itu, negative liberty diartikan sebagai terbebasnya seseorang dari
halangan-halangan. Dalam kebebasan negatif, individu menjadi tuan bagi dirinya
sendiri.
Pada akhirnya, kebebasan positif dikenai beban moral untuk melakukan
ekspansi kebebasan. Kebebasan harus disebarluaskan demi tercapainya sebuah
kehidupan yang baik. Persoalannya, bagaimana mendefinisikan kebaikan itu sendiri?
Bagi penganut kebebasan positif, prinsip kebebasan bertumpu kepada rasionalitas.
Masalahnya, apa yang kita sebut sebagai rasionalitas, atau keberakalan, ternyata tidak
tunggal. Dari sinilah kemudian muncul keyakinan monistik, bahwa pasti ada satu
kebenaran rasio yang mengatasi kebenaran rasio yang lain yang beragam. Perbedaan
dalam tingkat rasionalitas bukan karena kebenaran itu beragam, melainkan tingkat
18 Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1996), h. 143. 19 Esai itu juga menjadi ceramah Berlin di Universitas Oxford pada tahun 1958. Lihat Isaiah Berlin, Empat Esai, h. 227 – 301.
capaian rasiolah yang beragam. Dalam hal ini, tingkat yang lebih tinggi bisa
memberikan penerangan terhadap yang lebih rendah. Kerapkali hanya karena
kurangnya pengetahuan, orang tidak menyadari kebutuhan dan kepentingannya. Atas
dasar ini, pemaksaan atas dasar kebebasan dijustifikasi. Dengan demikian,
sebagaimana diakui oleh Berlin, totalitarianisme ternyata tidak berasal dari konsep
lain, ia justru berasal dari konsepsi kebebasan itu sendiri. Atas nama pembebasan dan
kebaikan umum, Hitler membantai jutaan orang.
Sementara itu, konsep kebebasan negatif tidak berpretensi untuk mencari
siapa yang menindas kebebasannya, melainkan sejauh mana ia dikontrol. Orang bisa
dikatakan bebas ketika semakin banyak hal yang dia bisa kerjakan secara bebas dan
di luar kontrol orang lain. Konsep ini mirip dengan konsepsi kuno mengenai hidup
zuhud, bahwa orang akan semakin bebas ketika ia mampu meredam sebanyak
mungkin keinginannya. Keinginan adalah sumber penderitaan. Oleh karenanya,
kebebasan sempurna adalah ketika seseorang telah mati.20 Berlin tentu tidak
memaksudkan kehidupan seperti ini dengan konsepsi kebebasan negatifnya. Sebab
apalah artinya hidup tanpa keinginan.
Model kebebasan negatif Berlin sekaligus meneguhkan bahwa dia adalah
seorang liberal dan penganut setia Pencerahan, tapi tanpa universalisme. Liberalisme
negatif Berlin juga menjadi bantahan serius terhadap model liberalisme yang
dikembangkan para pendahulunya, seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan
tentu saja Imanuel Kant. Landasan rasionalitas yang menjadi tumpuan konsep 20 Berlin, The Power, h. 15.
liberalisme Kant jelas tertolak melalui penjelasan di atas, bahwa rasionalitas tidak
bisa dipakai sebagai ukuran satu-satunya bagi kebenaran, ia bisa sangat menindas.
Bentham mendefinisikan kebebasan sebagai tiadanya halangan untuk terpenuhinya
hasrat manusia. Dengan demikian, bagi Bentham, manusia akan semakin bebas ketika
hasratnya dikurangi. Konsepsi seperti ini ditentang oleh Mill, yang menganggap
bahwa kebebasan justru adalah terpenuhinya kapasitas individu untuk memenuhi
segala hasrat yang ia inginkan.21
Kritikan Berlin terhadap dua pemikir utilitarian itu adalah karena
dicantumkannya tujuan dalam konsep liberalisme mereka. Tujuan yang dimaksud
adalah terpenuhinya hasrat bagi Bentham atau kemaslahatan bagi Mill. Liberalisme
bertujuan atau positif liberty mengandaikan bahwa liberalisme penting bukan pada
dirinya sendiri, melainkan adalah instrumen bagi kepentingan yang lain, yakni utility.
Melalui negative liberty, Berlin ingin menegaskan bahwa liberalisme atau kebebasan
penting pada dirinya sendiri. Di sinilah Berlin menjadi penganut liberalisme dan
Pencerahan sejati dengan menganulir tendensi universalisme di dalamnya.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berangkat dari pendahuluan di atas, penulis menemukan hal menarik dalam
pemikiran Isaiah Berlin. Berlin mengembangkan konsep baru mengenai kebebasan
untuk membersihkan proyek Pencerahan dari tendensi universalisme dan
totalitarianisme. Tulisan ini akan masuk ke dalam persoalan pokok dalam pemikiran 21 Lihat Rirhard Bellamy, Rethinking Liberalism, (London: Pinter, 2000), h. 26.
Berlin, yakni bagaimana memformulasikan konsep kebebasan tanpa harus mematok
diri pada rasionalitas yang menindas.
Penulis akan membatasi tulisan ini pada kritika utama Berlin terhadap
universalisme Pencerahan. Dengan demikian, penulis tidak akan terlalu jauh
mengemukakan semua bentuk pemikiran Berlin, seperti kajian-kajian sejarahnya,
yang sebetulnya juga begitu dominan dalam karya-karya Berlin. Untuk itu, beberapa
hal yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan ini adalah: pertama,
pandangan Berlin mengenai konsepsi Pencerahan secara umum; kedua, konsep
kebebasan menurut Berlin; ketiga, tawaran pluralisme sebagai kritik terhadap
universalisme Pencerahan; dan keempat mengenai posisi kritis Berlin ketika
berhadapan dengan konsep liberalisme dan pluralisme. Untuk lebih memperjelas,
penulis akan menyinggung beberapa percikan pemikiran lain yang berkaitan dengan
tema ini, terutama dari para tokoh yang berpengaruh kepada pemikiran Berlin.
Secara ringkas, tulisan ini ingin menjawab rumusan pertanyaan: pertama,
bagaimana Berlin mendefinisikan Pencerahan, hubungannya dengan konsep
monisme? Kedua, bagaimana Berlin bergerak di antara dua ekstrim: tendensi
monistik dalam liberalisme dan tendensi relativis dalam pluralisme? Rumusan
pertanyaan di atas akan menjadi titik soal penulis dalam keseluruhan pembahasan ini.
C. Tinjauan Kepustakaan
Isaiah Berlin adalah pemikir yang terkenal melalui karya-karya sejarah
pemikirannya. Berlin mendokumentasi sejarah pemikiran dengan sangat baik, terutama
karena ia memberikan gambaran yang cukup jauh terhadap implikasi pemikiran maupun
asal muasal pemikiran dari pemikir yang ia kaji. Tokoh seperti Karl Marx dan Leo
Tolstoy menjadi begitu berbeda di tangan Berlin. Karl Marx digambarkan sebagai hasil
eksperimen filsafat Pencerahan yang pada mulanya memperjuangkan individualisme,
sesuatu yang kemudian bertentangan dengan pemikiran Marx yang memperjuangkan
kolektivisme. Di tengan Berlin, Leo Tolstoy menjadi pemikir Sovyet yang anti filsafat
Pencerahan tetapi juga tidak tunduk kepada komunisme Sovyet.
Dari pemikiran seperti ini, Berlin menjadi inspirasi bagi banyak pemikir
kontemporer khususnya mereka yang bergelut dalam tema-tema seperti liberalisme,
pluralisme dan multikulturalisme. Berlin juga memicu kontroversi pemikiran antara
liberalisme dan pluralisme. Berlin termasuk pemikir yang mengawali penemuan cacat
di dua pemikiran yang sedang digemari pemikir kontemporer tersebut. Ada beberapa
karya yang penulis temukan yang menjadikan konsep Berlin mengenai liberalisme
dan pluralisme sebagai landasan pemikirannya. Penulis-penulis itu antara lain adalah
John Gray, Isaiah Berlin, yang membahas secara detail tentang implikasi relativis
dari pemikiran pluralisme Berlin; William A. Galston, Liberal Pluralism, menulis
tentang implikasi konsep Berlin mengenai value pluralism terhadap praktik dan teori
politik; George Crowder, Liberalism and Value Pluralism, menulis tentang konsepsi
Berlin mengenai liberalisme dan pluralisme yang menuguhkan bahwa Berlin
bukanlah seorang relativis, melainkan pluralis yang liberal; Richard Bellamy,
Rethinking Liberalism, membahas kisruh antara pemikiran Berlin, John Struart Mill
dan T. H. Green mengenai konsep liberalisme; juga banyak esai-esai tentang
pemikiran Berlin yang ditemukan di pelbagai jurnal.
Sayangnya, penulis tidak menemukan satu karya utuh mengenai pemikiran
Berlin di Indonesia. Penulis hanya menemukan satu terjemahan karya Berlin berjudul
Four Essays on Liberty yang kemudian diterjemahkan menjadi Empat Esai
Kebebasan oleh A. Zaim Rofiqi dan diterbitkan oleh Freedom Institute dan LP3ES
tahun 2004. Penulis juga hanya menemukan satu esai yang ditulis oleh Ahmad Sahal
yang berjudul Isaiah Berlin dan Liberalisme tanpa Universalisme di Harian Kompas
tahun 2004, yang sekaligus dijadikan pengantar dalam buku terjemahan yang telah
disebutkan di atas. Sejauh pengetahuan penulis, memang tidak ada lagi karya
berbahasa Indonesia yang membahas pemikiran Isaiah Berlin selain yang telah
disebutkan di atas.
Kelangkaan buku berbahasa Indonesia yang membahas karya Isaiah Berlin ini
pulalah yang sedikit menyulitkan penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat
terbantu sebab beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Perpustakaan Freedom Institute dan Perpustakaan CSIS menyediakan
buku-buku Isaiah Berlin maupun pemikiran tentang liberalisme dan pluralisme
dengan sangat lengkap. Perpustakaan-perpustakaan itu tidak hanya menyediakan
buku, melainkan juga jurnal-jurnal ilmiah yang membahas perdebatan mutakhir
mengenai tema yang sedang penulis kerjakan.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum
mengenai pemikiran Isaiah Berlin, khususnya konsep liberalisme, pluralisme serta
objek kritikannya terhadap universalisme Pencerahan. Di samping itu, penulis juga
ingin memperkenalkan lebih jauh pemikiran Isaiah Berlin ke publik intelektual
Indonesia. Penulis menyadari bahwa pemikir seperti Isaiah Berlin belum terlalu terkenal
di Indonesia, dilihat dari minimnya pemikiran Berlin yang menjadi objek kajian
intelektual Indonesia. Melalui tulisan ini, penulis juga ingin mengajak berbagai kalangan
untuk mengkaji liberalisme dan pluralisme yang kerapkali diperdebatkan secara tidak
proporsional dan keluar dari konteks pemikiran itu sendiri.
E. Metode Penelitian
Sebagaimana lazimnya sebuah kajian filsafat, apalagi itu menyangkut
percikan pemikiran dari salah satu tokoh, kajian ini murni menggunakan penelitian
kualitatif dengan metode studi pustaka. Studi pustaka yang dimaksud meliputi
pengumpulan informasi, baik dari buku, majalah, koran, jurnal, makalah-makalah,
maupun informasi-informasi yang sifatnya personal dengan narasumber ternama.
Pengumpulan bahan-bahan pustaka itu meliputi pustaka primer dan sekunder. Penulis
tidak menutup kemungkinan memperoleh informasi dari manapun, termasuk bahan-
bahan diskusi di berbagai forum, sebab buku-buku mengenai Isaiah Berlin yang
beredar di Tanah Air demikian minim sehingga butuh usaha ekstra untuk
mengumpulkan segala informasi tersebut.
Bahan-bahan yang terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan
metode analisa deskriptif analitis. Deskriptif analitis digunakan sebagai instrumen
untuk menggambarkan fokus penelitian sambil mengajukan posisi kritis peneliti.
Penulis tidak berpretensi untuk untuk melakukan kajian kausalitas, yakni mencari
secara lebih jauh kenapa pemikiran ini muncul, melainkan sekedar memaparkan
bagaimana pemikiran ini apa adanya. Di samping itu, penulis juga tidak mau terjebak
dalam belenggu pesona pemikiran Isaiah Berlin, tetapi lebih jauh mengambil posisi
kritis.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memenuhi sistematika standar penulisan, tulisan ini akan dimulai dengan
Bab I, Pendahuluan. Di Bab I, penulis mengurai latar belakang persoalan yang ingin
dikemukakan penulis dalam tulisan ini. Bab ini juga akan mengemukakan Rumusan dan
Batasan masalah, Tinjauan Kepustakaan, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan. Bab ini penting untuk mengurai secara umum keseluruhan isi
tulisan. Pembahasan umum diperlukan agar tercipta pengetahuan yang utuh mengenai
keterkaitan antara satu bagian dengan bagian lain di dalam tulisan ini.
Bab II akan bicara tentang riwayat hidup, pemikiran, dan karya-karya Isaiah
Berlin. Bab ini penting untuk mengetahui konteks kehidupan Berlin di mana ia
melahirkan pemikirannya. Bab ini akan menunjukkan bahwa pemikiran Berlin benar-
benar memiliki akar dalam perjalanan hidup Berlin, termasuk dengan pilihan-pilihan
hidup yang ia ambil. Di samping itu, Bab ini akan menjadi semacam sarana untuk
menunjukkan konteks sosial di mana pemikiran Berlin muncul. Sebelum membahas
lebih jauh pemikiran Berlin, bagian penting diajukan menjadi Bab II karena akan
memberikan konteks bagi pemikiran Berlin.
Pada Bab III, penulis akan mengurai sekelumit pemikiran tiga tokoh yang sangat
berpengaruh dalam pemikiran Berlin. Ketiga tokoh itu adalah Giambattista Vico, Johann
Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder. Ketiganya, menurut Berlin, adalah
pengkritik Pencerahan yang paling utama. Vico dan Hamann adalah pengkritik utama
Pencerahan yang langsung menggugat klaim kebenaran rasional dan semua fondasi
logika yan diandaikan oleh Pencerahan. Herder kemudian akan melakukan gugatan
terhadap implikasi logika Pencerahan pada interaksi budaya. Bab ini mendahului
pembahasan mengenai inti pemikiran Berlin yang dibahas dalam tulisan ini sebagai
semacam konteks geneologi pemikiran yang muncul pada diri Berlin.
Bab IV berisi konsep utama Isaiah Berlin mengenai kebebasan. Bab ini akan
menunjukkan bagaimana kepiawaian Berlin mencari konsep baru mengenai kebebasan
(liberalisme) untuk menyerang konsep kebebasan lama yang dianut oleh Imanuel Kant,
Bentham, John Struart Mill, dan para pengikutnya. Di Bab ini juga akan dibahas konsep
value pluralism yang menjadi instrumen Berlin menolak universalisme Pencerahan dan
tradisi berpikir monis secara umum. Pada bagian ketiga dari Bab ini, penulis mencoba
mengajukan penyelesaian pengenai perdebatan tentang bagaimana Berlin
memposisikan liberalisme dan pluralisme dalam konsepsinya, dan sebetulnya Berlin
berada pada posisi mana pada dua perdebatan besar itu. Di Bab ini, penulis mencoba
memberikan beberapa jawaban terhadap keraguan banyak komentator terhadap
validitas semua konsep Berlin dalam upayanya menyerang universalisme Pencerahan.
Sengaja pembahasan inti pemikiran Berlin ini ditempatkan pada Bab IV, setelah
pendahuluan, riwayat dan percik pemikiran tiga tokoh pengkritik Pencerahan yang
melandasi pemikiran Berlin secara umum, untuk memberikan semacam keterangan
bagaimana Berlin mengajukan gugatan terhadap universalisme Pencerahan. Di akhir
bab ini, dikemukakan sekelumit gagasan kebebasan yang berkembang dalam pemikiran
pemikir Islam. Tentu saja penjelasan pada bagian ini tidak terlalu detail, sebab penulis
hanya ingin menunjukkan bahwa gagasan kebebasan individu yang diperjuangkan oleh
Berlin, kendatipun kerapkali terlihat tidak konsisten dan dilematis, sebetulnya gagasan
telah muncul dan diterapkan dalam pemikiran Islam liberal, yang juga bermuara pada
penolakan terhadap absolutisme dan otoritarianisme. Bagian ini tentu bisa
dikembangkan lebih jauh, tetapi penulis sengaja membatasinya, karena pembahasan ini
memang berfokus kepada pemikiran Isaiah Berlin. Bagian ini hanya untuk memberikan
satu contoh bagaimana gagasan itu diterapkan dalam kondisi riil masyarakat tertentu.
Tulisan ini akan diakhiri dengan Bab Penutup. Pada Bab ini, penulis mencoba
mencari benang merah dari semua perdebatan yang ada dalam pemikiran Berlin
mengenai konsep kebebasan dan kritiknya terhadap universalisme Pencerahan. Di
samping itu, penulis juga memberikan beberapa saran dalam membaca pemikiran
Berlin.
BAB II
RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN
A. Riwayat Hidup
Isaiah Berlin dikenal sebagai pemikir yang berdiri pada posisi kritis antara
monisme dan pluralisme. Kendati ia menaruh perhatian serius kepada pluralisme, tapi
ia tidak pernah benar-benar meninggalkan monisme. Itulah sebabnya, pluralisme
yang dianut oleh Berlin adalah pluralisme yang tidak terjebak kepada relativisme atau
nihilisme. Banyak komentar yang meneguhkan posisi Berlin tersebut, sebagai pluralis
yang bukan relativis. Penegasan banyak komentator itu dilatarbelakangi oleh
kesalahpahaman sejumlah kalangan yang menganggap Berlin adalah seorang
relativis.
Di usia 88 tahun, Isaiah Berlin meninggal dunia di Oxford, Inggris, 6
November 1997. Kepergian Berlin meninggalkan luka, ia adalah seorang filsuf dan
sejarawan ide yang merekam dengan baik perkembangan dan masa depan intelektual
Barat. Berlin bahkan bisa dikatakan sebagai ensiklopedi pemikiran. Berbagai karya
dan buah pemikiran pelbagai tokoh begitu hidup di tangan Berlin.22
Berlin lahir dari keluarga Yahudi di sebuah apartemen bernama Albertsrasse,
lantai 4, di pinggiran ibu kota Latvia atau Livonia, Riga, 6 Juni 1909. Silsilah keluarga
22 Lihat Michael Ignatief, Isaiah Berlin: A Life, (New York: Henry Holt and Company, 1988), h. 10.
Berlin berasal dari Chabad Hasidim, yang sekarang disebut sebagai Lubavich. Keluarga
Berlin adalah kaum Yahudi yang taat, terutama kakeknya. Awalnya, kelahiran Isaiah
Berlin tidak terlalu diharapkan. Ibu Isaiah Berlin, Mussa Marie Berlin, sebelumnya
mengalami trauma ketika ia melahirkan anak pertama tahun 1907, anak itu meninggal.
Ibu Berlin bahkan dikatakan tidak akan mungkin melahirkan lagi. Religiusitas keluarga
Berlin tampak ketika ibunya mengandung. Di tengah kepanikan akan bahaya
melahirkan, keluarga Berlin selalu mengunjungi rumah ibadah untuk berdo’a agar
proses melahirkan tidak membawa bencana. Mereka juga menjadikan kisah-kisah Bible
sebagai pegangan.23
Livonia pada masa itu adalah salah satu provinsi imperium Tsar Rusia. Riga
adalah kota yang unik, ia masuk wilayah Imperium Rusia, tapi secara budaya dekat
ke Jerman. Warga Riga berkebangsaan Rusia, tapi menggunakan bahasa Jerman.24
Irisan dan pertemuan antar budaya membaur dalam keramaian kota. Riga juga
menjadi salah satu pusat pengembangan gereja atau catedral Ortodox. Di kota dengan
budaya yang unik inilah Berlin menghabiskan masa kecilnya, sampai akhirnya ia
pindah ke Andreapol tahun 1915.Berlin mengalami pahitnya berada di kota
perbatasan ketika Rusia dan Jerman meningkatkan kekuatan militer, saling
mengancam, dan akhirnya Jerman menduduki Livonia pada tahun 1914, ketika Berlin
berusia 5 tahun.25
23 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 10 24 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 11. 25 Situasi perang dan eskalasi politik global bisa dibaca secara lebih detail dalam Ignatief.
Masa-masa itu adalah pergolakan revolusi Rusia. Berlin tumbuh di tengah
pergolakan revolusi. Kelak ia akan menjadi penetang komunisme yang sangat cerdas.
Tahun 1917, ketika revolusi Rusia benar-benar dimulai untuk pertama kalinya,
Berlin, sebagaimana keluarga yang lain, mengalami guncangan dan harus
menyelamatkan diri. Situasi buruk itu diperparah oleh invasi Jerman yang telah
menjadi sangat anti-Semit. Berlin kemudian dibawa serta keluarganya pindah ke
Petrograd.
Pelajaran pertama tentang agama diperoleh Berlin ketika ia masuk sekolah
Hebrew, sebuah sekolah untuk anak-anak Yahudi. Di sekolah ini, Berlin secara serius
mengikuti pelajaran tentang agama dan budaya Yahudi. Dari para rabbi, Berlin
mendengarkan tulisan-tulisan dalam bahasa asli Hebrew. Suatu ketika, rabbi
mengatakan, “anak-anak sekalian, ketika kamu beranjak dewasa, kalian akan
menyaksikan bagaimana setiap lembar tulisan ini adalah darah dan airmata Yahudi.”
Bertahun-tahun kemudian Berlin akan mengatakan bahwa kaum Yahudi memang
diliputi oleh trauma darah dan airmata.26 Di sekolah pertama ini, Berlin sudah
membaca War and Peace dan Anne Karenina karya Leo Tolstoy, pemikir dan
sastrawan yang pemikirannya diidentikkan dengan pemikiran Berlin.
Karena situasi yang selalu tidak bersahabat, bahkan cenderung mengerikan,
bagi kaum Yahudi, keluarga Berlin kemudian berusaha pindah ke London, Inggris.
London menjadi pilihan karena di kota ini, kaum Yahudi tumbuh subur dengan aman.
3 Februari 1921, keluarga Berlin benar-benar pindah ke kota kecil di pinggiran 26 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 21.
London, Surbiton, tepatnya di St James Road. Berlin kemudian melanjutkan sekolah
di Arundel House School di Surbiton. Di London, keluarga Berlin hidup berpindah-
pindah. Tahun pertama, keluarga penuh cerita ini berpindah tempah sebanyak tiga
kali: St James Road, Surbiton; 8 Barrylands Road, Surbiton; dan Effingham Road,
Long Ditton, Surrey.27
Angan-angan keluarga Berlin tentang London yang damai dan ramah kepada
Yahudi ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Berlin bersusah payah
menyesuaikan diri dengan budaya dan bahasa yang relatif baru tersebut. Kendatipun
di Petrograd Berlin telah lulus bahasa Inggris, ia tetap kesulitan ketika harus
menggunakan bahasa tersebut sehari-hari di lingkungan yang berbahasa Inggris asli.
Bahasa Inggris Berlin yang tidak memadai itu kerapkali menjadi bahan cemoohan
teman-teman Berlin. Tapi lambat laun, Berlin berhasil mengatasi rasa inferior. Suatu
ketika Berlin diejek oleh teman-temannya dengan sebutan “dirty jew”, ia menjawab
dengan rasa percaya diri, “no, dirty German,”28
Pada musim gugur 1928, Berlin pindah ke Oxford. Kota ini kemudian akan
menjadi sangat berarti bagi Berlin. Berlin menyebut Oxford sebagai kota
pembebasan. Kota ini memperkenalkan Berlin kepada dunia yang sebenarnya. Berlin
mulai harus belajar berdansa dan bergaul dengan banyak kalangan. Tahun 1920-an
adalah tahun emas bagi para homoseksual. Berlin menyimak Harold Acton membaca
Sea and Sardinia karya D.H. Lawrence dalam sebuah ‘very oily, buttery voice dan
27 Ignatief, Isaiah Berlin. 28 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 40.
sedang tenggelam dalam permainan erotik homo. Berlin pun bergaul dengan dunia
homoseksualitas ini. Pada masa itu, homoseksualitas adalah style dan menjadi
semacam bentuk perlawanan terhadap anti-intelektualisme di sekolah-sekolah
publik.29
Tahun 1930, Berlin semakin jauh masuk ke dalam pergaulan intelektual di
mana ia menjadi editor Oxford Outlook, sebuah penerbitan mahasiswa. Sekitar tahun
itu pula, Oxford menjadi pusat perhatian dunia filsafat. Di sana muncul nama-nama
terkenal seperti Bertrand Russell dan Wittgenstein. Bukan hanya intelektualisme, tapi
juga kesenian menjadi semacam instrumen Berlin untuk melakukan perlawanan
terhadap kampanye anti-Semitisme yang dilancarkan Nazi Jerman. Di Oxford
Outlook, Beethoven dan Schubert menjadi musik perlawanan. Berlin sendiri sangat
terpukau kepada Bach, Mozart, Beethoven, Schubert, Rossini, dan Donizeti.
Kecintaan Berlin kepada musik piano pertengahan abad ke-19, membuatnya tidak
mudah untuk berpaling dari tokoh seperti Wagner. Berlin kagum kepada Wagner,
meskipun ia tidak sepakat dengan gagasan kekerasan dan hasrat seksualnya.30
Sebagaimana umumnya diketahui, Wagner adalah musikus yang menginspirasi
Nietzsche. Sementara Nietzsche dipahami sebagai sumber idiologi totaliter NAZI.
Hari-hari selanjutnya dilewatkan Berlin di sebuah lembaga pendidikan yang
bernama All Soul College. Berlin mendaftar ke All Soul tahun 1932. Sebagai seorang
Yahudi, Berlin tidak cukup percaya diri untuk masuk ke All Soul. Teman-teman
29 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 43. 30 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 55.
dekat Berlinlah yang meyakinkan bahwa All Soul adalah salah satu pilihan terbaik.
Teman-teman Berlin di All Soul memanggilnya Shaya, nama kecil Berlin yang
diambil dari Isaiah.
Darah keluarga Yahudi yang saleh ternyata tetap diwarisi secara kreatif oleh
Berlin. Kendati ia bergaul secara bebas, Berlin tidak pernah benar-benar meninggalkan
kesalehan sebagai seorang Yahudi. Identitas Yahudi yang masih dipegangnya
barangkali sebagai akibat dari represi terhadap kaum Yahudi ketika itu. Berlin bahkan
menjadi pengikut Zionis, sebuah sekte Yahudi yang memperjuangkan berdirinya negara
Israel di Palestina. Kendati Berlin mengaku sebagai Zionis, dia menolak anggapan
umum bahwa seluruh hidupnya diabdikan kepada kelompok ini. Berlin sendiri masih
bingung dengan mitos yang berkembang di kalangan kaum Zionis bahwa Palestina
yang merupakan tanah tanpa rakyat itu harus diberikan kepada rakyat tanpa tanah.
Akhirnya, Berlin memilih sebuah rekonsiliasi, bahwa tanah Yahudi di Palestina harus
menjadi awal bagi integrasi ekonomi seluruh bangsa Arab. Tapi setelah mengamati
secara bijak, ternyata pendirian negara Israel menyimpan banyak masalah yakni
munculnya sinkretisme, korupsi, dan fasisme. Tahun 1934, Berlin membatalnya
kunjungannya ke Tanah Yang Dijanjikan (the Promised Land), Palestina, ia memilih
berkunjung ke Italia.31
Dalam pengertian intelektual, Berlin dipengarhi oleh kehidupan ganda:
pertama, Rachmilievitch – sebagai pengembara, sejarahwan, yang dipenuhi oleh
literatur Rusia, Jerman, dan Yahudi, yang berada dalam kesatuan bahasa yang unik; 31 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 72.
kedua, oleh kolega-kolega filosofis di Oxford – yaitu Anglo-Saxon, prosedural dan
rasionalis.32 Berlin menemukan sahabat akrab yang gagah, seorang berdarah setengah
Yahudi, A.J. Ayer, yang akrab ia panggil Freddie. Mereka berdua menjalin
persahabatan yang kompetitif selama 50 tahun. Keduanya begitu dekat, tapi juga
begitu berbeda dalam banyak hal. Perbedaan pandangan itu, misalnya, terlihat ketika
mereka mendefinisikan keyahudian yang mengalir dalam darah mereka. Bagi Ayer,
keyahudian adalah warisan atavistik dimana pemikiran rasional akan membuangnya;
sementara Berlin memandang keyahudian sebagai satu identitas yang dapat
dipertanyakan tetapi tidak pernah benar-benar bisa dibuang. Persaingan keduanya
memuncak ketika mereka berkompentisi mendapatkan tiket masuk ke All Soul, di
mana Berlin berhasil masuk, sementara Ayer tidak. Mereka berpisah: Berlin ke All
Soul, Ayer melanjutkan studi ke Vienna.33 Ayer kemudian muncul sebagai seorang
yang sangat terpengaruh positivistik, sebuah aliran filsafat yang sangat kuat di
Vienna.
Mazhab Vienna lambat laun merasuk ke dalam pemikiran Berlin. Sahabatnya,
Ayer, telah mempopulerkan doktrin-doktrin mazhab Vienna secara umum dan
terutama pemikiran Wittgenstein. Sebetulnya, Wittgenstein tidak murni menjadi
bagian lingkaran Vienna (Vienna Circle), ia menjadi begitu terkenal ketika karyanya,
Tractatus, dipublikasikan pada tahun 1921. Di semua tempat, Wittgenstein
dibicarakan. Wittgenstein menjadi bahan utama perbincangan di kafe-kafe, kendati
32 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 81. 33 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 82.
tidak begitu banyak orang yang benar-benar mengerti dan pernah membaca karyanya.
Ayer dan Berlin berada di antara sekian pengagum Wittgenstein. Mereka kerapkali
mengulang-ulang diktum Wittgenstein, “whereaof one cannot speak, thereof one
must silent” (ketika seseorang tidak bisa berbicara, maka sebaiknya ia diam). Berlin
memang telah membaca Tractatus, tapi kalimat yang selalu terngiang di kepalanya
adalah “death is not an event in life” (mati bukanlah satu fase dari kehidupan).34
Di samping A.J. Ayer, sahabat lain yang begitu dekat dengan Berlin adalah J.L.
Austin. Austin terpilih masuk ke All Soul satu tahun setelah Berlin. Berlin dan Austin
melewatkan hari-harinya di All Soul bersama-sama. Mereka saling mempengaruhi, dan
kerapkali saling mengunjungi kamar masing-masing. Austin kerapkali membisikkan
sesuatu kepada Berlin:
“they all talk about determinism and say they believe in it. I’ve never met a determinist in my life, I mean a man who really did believe in it, as you and I believe than men a mortal. Have you?” 35 (mereka bicara tentang determinism dan mereka mengatakan bahwa mereka mempercainya. Saya belum pernah bertemu dengan seorang determinis dalam hidup saya, yang saya maksud adalah orang yang benar-benar mempercainya, sebagaimana kamu dan saya yang percaya bahwa manusia itu fana. Bukankah demikian?)
Kata-kata itu untuk menggambarkan komitmen mereka untuk ide tentang
kebebasan yang tak mungkin dihindarkan dalam kehidupan manusia. Pada akhirnya,
Berlin tampak berusaha menggabungkan kecenderungan pemikiran dua sahabat
34 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 83. 35 Lihat Henry Hardy (Ed.), Personal Impressions, dikutip oleh Michael Ignatief, Isaiah Berlin, h. 84.
karibnya: antara positivisme logis (logical positivism) dari Ayer dan filsafat bahasa
yang skeptis dari Austin. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari di mana Berlin
terlibat aktif dalam dua arus pemikiran, antara kecenderungan universalistik dan
pluralistik, antara skeptisisme dan determinisme, antara antara kebebasan dan
ketergantungan, dan seterusnya. Semuanya itu terjadi dalam sebuah forum diskusi di
Brethrem.
B. Pemikiran
Perhatian Berlin terhadap filsafat dimulai ketika ia menjadi mahasiswa pada
akhir 1920-an dan awal 1930-an di Oxford. Saat itu memang kebanyakan mahasiswa
begitu terpesona dengan filfasat. Perhatian terhadap filsafat akhirnya membawa Berlin
kepada arus empirisme yang begitu kuat saat itu, terutama yang dibawakan oleh G.E.
Moore dan Betrand Russell. Pertama-tama, Berlin tertarik dengan konsep mengenai
dunia kebermaknaan, yang dihubungkan dengan paradigma kebenaran dan kesalahan,
pengetahuan dan opini, dan terutama mengenai kemungkinan satu preposisi dapat
diverifikasi ketika dia diekspresikan. Pandangan seperti ini dianut dan dikembangkan
oleh kelompok pemikir yang dikenal sebagai Vienna School (Mazhab Wina): mereka
adalah murid-murid Russell, antara lain Carnap, Wittgenstein, dan Schlick. Pandangan
mereka kira-kira adalah, bahwa makna sebuah preposisi adalah cara di mana ia
diverifikasi. Jika tidak ada cara dalam memverifikasi satu ungkapan, maka hal itu
bukanlah statement yang kapabel bagi analisa kebenaran atau kesalahan, tidak faktual,
dan oleh karenanya tidak bermakna. Barangkali itu hanyalah ungkapan hasrat, imajinasi
sastrawi, atau ekspresi lain yang tidak layak berada dalam klaim kebenaran empiris.36
Kendatipun Berlin dipengaruhi oleh Mazhab Wina, ia tidak pernah benar-
benar menjadi pengikut setianya. Bagi Berlin, posisi Mazhab Wina berbahaya, karena
pada akhirnya semua preposisi akan dipertanyakan. Menyatakan bahwa semua angsa
itu putih adalah generalisasi yang bukan tanpa makna. Jika berpegang teguh pada
verifikasionalisme, maka keseluruhan konsep tentang angsa yang putih akan runtuh
jika ada satu saja angsa yang berwarna hitam. Semua preposisi dan kesimpulan akan
memiliki cacat verifikasional. Satu preposisi, bagi Berlin, sudah memiliki makna
sejak awal, kendatipun ada yang kurang dan ada yang sedikit lengkap.37
Sebagaimana yang telah diceritakan pada bagian awal Bab ini, Berlin juga
sempat bergaul dengan filsuf-filsuf semacam A.J. Ayer, J.L. Austin, dan Stuatr
Hampshire yang berada dalam bayang-bayang Oxford Empirisism, dan dalam
beberapa tingkat oleh Oxford Realism—yaitu kepercayaan bahwa ada dunia external
yang independen dari observasi manusia. Kendati demikian, Berlin masih percaya
bahwa pengalaman empiris adalah semua kata yang dapat diekspresikan, tidak ada
dunia yang lain. Dalam hal ini, verifikasi bukan hanya kriteria pengetahuan,
kepercayaan, atau hipotesis. Preposisi, pada dirinya sendiri, memiliki kebenaran.
Berlin juga bersentuhan dengan arus pemikiran fenomenalisme
(phenomenalism). Fenomenalisme berbicara seputar pertanyaan mengenai apakah
36 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2000), h. 2. 37 Berlin, The Power.
pengalaman manusia dibatasi kepada apa yang diberikan oleh pengertian,
sebagaimana yang dipikirkan oleh filsuf Inggris, Berkeley dan Hume, ataukah di sana
ada satu entitas independen dari pengalaman. Bagi filsuf seperti John Lock dan
pengikutnya, di sana ada realitas, kendatipun tidak mungkin kita tidak bisa rasakan
secara langsung, namun ia menjadi penyebab atas pengalaman atas perasaan tersebut.
Filsuf lain menyatakan bahwa dunia eksternal adalah realitas material yang bisa
dicecap secara langsung. Pandangan semacam ini biasanya disebut sebagai realisme,
sebagai lawan dari pandangan bahwa dunia diciptakan oleh kecakapan-kecakapan
kemanusiaan, seperti akal imajinasi dan semacamnya.
Penolakan terhadap realisme ini muncul dari mereka yang disebut rasionalis
maupun idealis. Berlin menyatakan bahwa dia tidak pernah benar-benar bisa percaya
kepada semua klaim kebenaran metafisis—baik dari kebenaran kaum rasionalis, yang
dipelopori oleh Descartes, Spinoza, Leibniz dan, pada beberapa bentuk, Kant, juga
kebenaran dari penganut idealisme, yang dikomandoi oleh Fichte, Friedrich
Schellling dan Hegel.38 Dunia eksternal ini menyita perhatian Berlin: ia banyak
membicarakan dan menuliskan topik-topik ini.
Hidup Berlin yang dilatarbelakangi ancaman otoritarianisme membawanya
kepada pemikiran kontra-otoritarianisme tersebut. Ia menemukan bahwa sejarah
pemikiran Perancis berujung pada otoritarianisme. Ketika menulis buku Karl Marx:
His Life and Environment (1963), Berlin menyatakan bahwa sebetulnya bukan Marx
yang begitu menarik perhatiannya, melainkan ia ingin menginvestigasi para 38 Berlin, The Power, h. 4.
pendahulu Marx, terutama pemikir-pemikir pencerahan Perancis. Berlin mengakui
dan memberikan apresiasi terhadap pemikiran Perancis yang telah melakukan
pembebasan dari kegelapan dan yang pertama kali melakukan perlawanan terhadap
dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayyul (superstition), kebodohan, tekanan,
dan semacamnya. Keberatan Berlin terhadap pemikiran Pencerahan Perancis terletak
pada konsekuensinya yang berakhir pada dogmatisme baru. Karl Marx adalah
dogmatisme baru yang lahir dari pemikiran Pencerahan Perancis.
Semasa perang, Berlin menjadi pegawai pemerintahan Inggris. Ketika ia
kembali ke Oxford untuk mengajar filsafat, ia terjebak ke dalam dua persoalan:
pertama, tentang monisme, tradisi pemikiran yang mempengaruhi semesta pemikiran
sejak Plato sampai saat itu; kedua, persoalan makna dan aplikasi pemikiran liberal.
Kedua masalah inilah yang akan mewarnai perjalanan intelektual Isaiah.
Para pemikir Pencerahan yang terpesona oleh kesuksesan ilmu pengetahuan
alam mengambil kesimpulan simplistis bahwa metode investigatif terhadap dunia luar
telah memperoleh kemenangan. Yang lain menyatakan bahwa metode saintifik adalah
satu-satunya kunci bagi pengetahuan. Saat itu, terjadi perdebatan sengit tentang
apakah metode ilmu alam bisa juga masuk ke dalam ranah kemanusiaan.39 Muncul
pemikiran bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan satu metode. Inilah dasar
monisme modern.
39 Saat itu terjadi apa yang disebut methodenstrait, perdebatan tentang metode. Perdebatan ini menyangkut tentang apakah metode ilmu alam bisa diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial.
Tesis umum dari kaum monis adalah bahwa semua pertanyaan yang benar
pasti memiliki jawaban satu jawaban yang benar dan hanya satu, sementara jawaban-
jawaban lain pasti salah. Pasti ada satu cara yang mengarahkan pemikir-pemikir
cemerlang untuk sampai kepada jawaban yang benar itu. Pada intinya, kaum monis
memercai satu solusi final bagi semua persoalan, baik sosial, moral, maupun politik.
Penjelasan lebih jauh mengenai monisme akan kita bahas pada Bab IV.
Pemikiran monistik, bagi Berlin, sungguh berbahaya. Dari bentuk pemikiran
inilah muncul kediktatoran dan otoritarianisme. Untuk itu, Berlin berusaha mencari
pemikiran alternatif sebagai counter terhadap tradisi monistik. Berlin kemudian
menemukan pluralisme sebagai jawaban. Pertama-tama, Berlin menggali kembali
tradisi pemikiran pluralis yang berkembang di masa-masa awal Pencerahan. Di sana,
Berlin menemukan pemikiran seperti Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder,
dan Johann Georg Hamann. Ketiga pemikir ini, oleh Berlin, disebut sebagai pemikir
pluralis murni. Giambattista Vico melancarkan serangan terhadap motode matematis
yang dikampanyekan oleh Bapak Pencerahan, Rene Descartes. Bagi Vico,
kemanusiaan tidak bisa direduksi ke dalam pengetahuan matematis. Bukan hanya
manusia, yang nota bene memiliki hasrat dan keinginan yang tak bisa ditebak,
melainkan keseluruhan alam. Pengetahuan hanya mungkin valid ketika ia berangkat
dari alasan kenapa dan bagaimana sesuatu itu ada. Pengetahuan, bagi Vico, identik
dengan penciptaan.40
40 Lihat Isaiah Berlin, Vico and Herder, dalam Isaiah Berlin, Three Critics of The Enlightenment: Vico, Haman, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 32.
Di samping Vico, Berlin juga membaca dengan serius pemikiran Herder dan
Hamann. Pada Herder, Berlin menemukan pemikiran yang bisa menolak tradisi
monisme. Herder mengembangkan apa yang disebut perbedaan dan keunikan masing-
masing budaya. Herder percaya bahwa setiap budaya memiliki jawaban yang
berbeda-beda terhadap satu pertanyaan utama. Bagi Herder, setiap budaya menempati
kedudukan di pusat grafitasinya masing-masing, dengan rujukan tradisi yang berbeda.
Herder menegaskan, bahwa toleransi universal memang mungkin, tapi univikasi
budaya adalah destruksi yang berbahaya.41 Sementara Hamann menunjukkan kepada
Berlin bahwa semua pengetahuan dan kebenaran adalah partikular. Rasio tak mampu
menangkap realitas secara utuh. Sebab realitas menyimpan banyak kejutan. Setiap
realitas selalu berbeda karena mereka memiliki individualitasnya masing-masing.
Yang paling riil adalah individualitas, bukan kesimpulan deduktif yang reduktif.42
Dari sinilah kemudian Berlin percaya kepada pluralisme. Teori yang muncul
dari pemahaman pluralisme ini, oleh Berlin, disebut value pluralism. Value pluralism
ingin menunjukkan bahwa adalah nilai-nilai yang beragam. Masing-masing nilai
berbeda, tidak mungkin dimusnahkan tapi juga tidak mungkin dipersatukan. Bukan
berarti Berlin kemudian jatuh ke dalam relativisme, sebab pada akhirnya Berlin akan
berdiri sebagai seorang liberal. Sebagai bentuk kritikan terhadap tradisi Pencerahan,
maka bentuk liberalisme Berlin cukup unik. Berlin menolak keras liberalisme model
Pencerahan yang universalistik (atau disebut juga sebagai pisitive liberty), melainkan
41 Berlin, The Power, h. 9. 42 Lihat Isaih Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 250.
liberalisme pluralis (Berlin senang menyebut negative liberty untuk mewakili
pendiriannya ini). Posisi liberalisme Berlin yang unik, oleh John Gray, disebut
sebagai agonistic liberalisme.43 Perdebatan mengenai pluralisme dan liberalism akan
hadir secara lebih detail pada Bab V.
C. Karya-karya
Kebanyakan karya Berlin berbentuk esai panjang. Tapi karena esai-esai itu
begitu panjang, akhirnya kemudian terbit dalam bentuk buku utuh. Di antara karya-karya
Berlin itu adalah:
1. Karl Marx: His Life and Environment, ditemukan beredar pada tahun 1939.
Edisi keempat buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1978.
2. The Age of Enlightenment: The Eighteenth-Centure Philosphers (New York:
New American Library, 1956). Buku ini berisi kumpulan esai tentang uraian
karya-karya para filsuf abab ke-delapan belas.
3. Four Essays on Liberty (London: Oxford University Press, 1969). Buku ini
berisi empat esai tentang kebebasan. Esai-esai itu adalah Political Ideas in the
Twentieth Century, Historical Inevitability, Two Concepts of Liberty, dan
John Stuart Mill and the Ends of Life. Inilah satu-satunya buku Berlin yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Empat Esai
Kebebasan, diterjemahkan oleh A Zaim Rofiqi (Jakarta: Freedom Institute,
2004). 43 Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1996), h. 141-168.
4. Vico and Herder: Two Studies in the History of Ideas (London: Hogarth
Press, 1976). Buku ini berisi dua esai yang membahas dua pemikir kontra
Pencerahan, Giambattista Vico dan Johann Gottfried Herder.
5. Russian Thinkers (London: Hogarth Press, 1978). Buku ini adalah kumpulan
esai panjang. Salah satu esai yang sangat terkenal dari Berlin di buku ini
adalah The Hedgehog and the Fox: on Tolstoy’s View of History. Esai tersebut
kemudian diterbitkan menjadi buku utuh dengan judul yang mirip, The
Hedgehog and the Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History (New York:
Simon and Schuster, 1953).
6. Concepts and Nategories: Philosophical Essays (London: Hogarth Press,
1978). Buku ini berisi kumpulan esai filosofis yang berisi gugatan terhadap
berbagai konsep filsafat, yang menurut Berlin berafiliasi terhadap tradisi
monisme, seperti verifikasinisme, empirisisme, positivisme, logika matematis,
rasionalisme dan lain sebagainya.
7. Against the Current: Essays in the History of Ideas (London: Hogarth Press,
1979). Ini adalah buku kumpulan banyak esai tentang tokoh-tokoh yang
berdiri di garis perlawanan terhadap universalisme Pencerahan. Buku ini juga
memuat satu esai mengenai Machiavellli yang diyakini oleh Berlin sebagai
salah satu tokoh yang melawan tradisi Pencerahan, di samping tokoh-tokoh
lain seperti Hamann dan Herzen.
8. Personal Impressions (London: Hogarth Press, 1980). Buku ini berisi
kumpulan esai lepas tentang profil berbagai tokoh dunia, baik tokoh pemikir
maupun tokoh politik.
9. The Croocked Timber of Humanity: Chapters in History of Ideas (London:
John Murray, 1990). Buku ini juga berisi esai-esai tentang kritik terhadap
Pencerahan dan kultur pemikiran Barat.
10. The Magus of the North: J.G. Hamann and the Origins of Modern
Irrationalism (London: John Murray, 1993). Buku ini merupakan buku
sejarah pemikiran Hamann, satu tokoh yang sangat berpengaruh di dalam
perjalanan intektual Berlin.
Setelah Berlin meninggal pada tahun 1997, muncul beberapa buku yang
merupakan kumpulan esai maupun kumpulan karya Berlin. Penerbit Pimlico,
London, yang mengambil inisiatif menerbitkan kembali karya-karya dalam bentuk
yang berbeda. Kumpulan karya dan esai Berlin yang terbit setelah ia meninggal
adalah The Power of Ideas (2001), The Proper Study of Mankind (1998), The Roots of
Romanticism (2000), The Sense of Reality (1997), Three Critics of The
Enlightenment: Vico, Hamann, Herder (2000), Freedom and It’s Betrayal: Six
Enemies of Human Liberty (Princeton: Princeton University Press, 2002), dan Liberty
(Oxford: Oxford University Press, 2002).
BAB III
TIGA KRITIK UNTUK PENCERAHAN
Berlin hidup di sebuah masa di mana superioritas Pencerahan, dengan
rasionalisme sebagai ujung tombaknya, sedang menunjukkan borok busuknya dengan
tampilnya Nazisme dan fasisme yang begitu mengancam peradaban dunia. Berlin
adalah anak kandung Pencerahan yang berusaha dengan sangat kritis menemukan
cacat epistemologis dari tradisi Pencerahan. Tanpa ragu, Berlin membuka kembali
risalah-risalah masa lalu yang telah dengan sangat tajam melakukan kritik terhadap
Pencerahan. Setidaknya, Berlin begitu terpukau kepada tiga pemikir kontra-
Pencerahan yang telah melakukan teoretisasi menggugat langsung kepada intik
konsep Pencerahan yang dikumandangkan para founding fathersnya. Tak ayal, tokoh
seperti Rene Descartes, Imanuel Kant dan pengikut Barat sentris menjadi para
pesakitan yang seolah tak mampu menemukan jawaban atas pertanyaan para
penggugat. Tradisi rasionalisme, empirisisme, positivisme dan saintisme merupakan
titik pusat kritikan. Tiga tokoh pengkritik Pencerahan, yang mendapat apresiasi dari
Berlin dengan sangat mencolok, adalah Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder
dan Johann Georg Hamann.
A. Giambattista Vico
Gugatan utama Vico terfokus kepada klaim kebenaran subjektif yang
dideklarasikan oleh kaum Pencerahan, dalam hal ini diwakili oleh Rene Descartes.
Descartes telah mendaku menemukan satu pendasaran bagi kebenaran yang pasti
melalui apa yang dia sebut sebagai kesangsian metodis atau metode kesangsian (le
doute methodique).44 Untuk mencapai kebenaran, mula-mula kita harus meragukan
segala sesuatu. Keraguan harus ada sebab jangan-jangan semua kebenaran yang kita
andaikan adalah tipuan belaka dari semacam iblis yang begitu cerdik (genius
malignus), khayalan-khayalan yang tak berdasar, atau bahkan Tuhan itu sendirilah
yang telah menipu, bahkan tipuan itu sendiri.
Metode kesangsian menjadi penting bagi dasar kepastian adalah bahwa
dengan menyangsikan segala sesuatu, maka akan ditemukan satu kepastian, yakni
kesangsian itu sendiri. Yang pasti dari semua kesangsian adalah kesangsian itu
sendiri. Dari sana kemudian ditemukan bahwa aku yang sangsi benar-benar ada.
Semakin kita menyangsikan, termasuk menyangsikan bahwa kita sangsi, maka kita
semakin nyata. Menyangsikan adalah satu bentuk kegiatan berpikir, maka berpikir
adalah proses mengada. Descartes mengatakan je pense donc je suis atau cogito ergo
sum (aku berpikir, maka aku ada).45
44 Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 38. 45 Budi Hardiman, Filsafat Modern.
Descartes kemudian menemukan apa yang disebut res cogitans sebagai ide
bawaan yang melekat pada manusia sejak semula. Tapi pada kenyataannya, manusia
tidak hanya terdiri dari pikiran, melainkan juga sesuatu yang bisa diraba dan
dirasakan. Oleh karenanya, kejasmanian adalah sesuatu yang nyata. Kejasmanian ini
juga adalah ide bawaan. Descartes menyebut kejasmanian dengan istilah res axtensa.
Pada akhirnya, Descartes juga menemukan bahwa aku juga memiliki ide
kesempurnaan yang juga merupakan bawaan sejak lahir. Allah adalah ide bawaan.
Kendatipun Descartes mengakui bahwa bukan hanya res cogitans yang
menjadi ide bawaan, melainkan juga res extensa dan Allah, tetapi tampak nyata
bahwa res cogitans memiliki otoritas yang lebih tinggi. Aspek pikiran cenderung
mendominasi dalam filsafat Descartes, itulah sebabnya ia masuk dalam aliran
rasionalisme. Aliran ini berkeyakinan bahwa kebenaran pengetahuan diperoleh dari
rasio, bukan dari kenyataan di luarnya.
Pada titik inilah Vico masuk untuk melakukan gugatan terhadap Descartes.
Keyakinan Descartes pada kebenaran matematis dari realitas digugat, karena hal ini
mengabsolutkan kebenaran manusia atau subjek. Dualisme subjek-objek benar-benar
merupakan reduksi terhadap kebenaran sejati. Bagi Vico, manusia tidak serta merta
bisa mengetahui segala sesuatu dengan melakukan kesimpulan secara clear and
distinct karena realitas adalah proses yang terus berjalan.
Kriteria kebenaran bagi Descartes adalah sejauh klaim kebenaran itu berada
dalam kategori clear and distinct.46 Kemajuan intelektual sejati tergantung,
sebagaimana pandangan natural science, kepada reduksi atas sesuatu yang dipelajari
ke dalam clear and distinct, konsep dan keputusan yang bersifat matematis. Vico
mengatakan, jika begitu, maka para sejarawan dan ahli purbakala bisa menyampaikan
kepada kita tahun-tahun sejarah Republik Romawi hanya dengan informasi tidak
lebih dari pembantu Cicero. Inikah yang disebut science?47 Awalnya Vico menerima
pandangan semacam ini, tapi kemudian dengan sangat berani menyerangnya.
Bagi Vico, pengetahuan sempurna hanya diperoleh melalui kasus-kasus,
dalam bahasa Vico disebut per caussas. Mengetahui sesuatu secara sempurna hanya
jika, dan hanya jika, kita tahu kenapa ia ada sebagaimana adanya, bagaimana ia
datang untuk ada, untuk apa ia ada, atau apa dia, bukan semata-mata karena dia ada
dengan segala atributnya. Pemahaman tentang per caussas adalah ide kuno yang telah
ditemukan dalam filsafat skolastik.48
Dari sini kemudian Vico menghubungkan pengetahuan dengan proses
penciptaan. Francisco Sanchez, dalam Quod Nihil Scitur (1581), dalam satu diskusi
mengenai sukarnya mengetahui alam dan kekuatan jiwa, menyebutkan bahwa jika
manusia ingin memiliki pengetahuan ini dalam tingkat yang sempurna maka
46 Lihat Isaiah Berlin, Three Critics of the Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 30. 47 Berlin, Three Critics. 48 Berlin, Three Critics, h. 31
hendaklah ia menjadi seperti Tuhan, atau menjadi Tuhan itu sendiri.49 Vico
mengatakan: “Kita mendemonstrasikan geometri karena kita memakainya.”50
Tuhan mengetahui dunia karena Ia yang membuatnya dengan cara dan alasan
yang hanya Ia yang tahu, sementara kita tidak pernah mengetahuinya secara
sempurna, karena bukan kita yang membuatnya – karena kita menemukannya siap
pakai – dia telah terberi sebagai sebuah ‘brute fact.’51 Hal yang sama bisa diajukan
bagi para pengarang novel, bahwa yang paling mengerti maksud dan tujuan satu
novel adalah pengarangnya sendiri. Tapi tidak semua apa yang dibuat oleh novelis
atau composer atau pematung benar-benar baru, ada saja hal yang ia ambil dari
sesuatu yang terberi. Berarti, dalam karya manusia selalu ada unsur ‘brute fact’nya.
Manusia hanya bebas menentukan pilihannya, tapi pilihan itu terbatas. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa, semakin kita memahami per caussas, maka
pengetahuan kita semakin memiliki kemungkinan benar (the more we can be said to
understand per caussas, the more we truly know).52
Thomas Hobbes dalam De Corpore mengungkapkan: “Si physica
demonstrare possemus, faceremus” (if we could demonstrate physics, we would make
it). Jika kita mampu menunjukkan kebenaran dan rahasia fisika, maka kita akan
menggunakan dan menciptakannya. Tetapi kita tidak pernah bisa, karena hanya
Tuhan yang mengetahuinya secara sempurna, dan Tuhan itu sendiri adalah kebenaran
49 Lihat Benedetto Crooce, The Philosophy of Giambattista Vico, (New York: Russel & Russel Inc, 1964), h. 4. 50 Crooce, The Philosophy.. 51 Crooce, The Philosophy, h. 32. 52 Crooce, The Philosophy.
sempurna. Isaiah Berlin menyebut hal ini adalah bentuk Platonisme Kristian atau
Neoplatonisme.53 Doktrin Pencerahan mengatakan bahwa mengetahui sesuatu
haruslah menjadi dirinya, atau setidaknya mendominasinya. Bukan hanya Hobbes
yang mendukung keyakinan Vico mengenai keidentikan pengetahuan dan penciptaan,
Patrizi mengatakan: “mengetahui haruslah disatukan dengan apa yang diketahui,”
Campanella juga menegaskan: “mengetahui haruslah menjadi apa yang diketahui.”54
Tidak diragukan bahwa, dalam Vico, doktrin pengetahuan sempurna identik
dengan penciptaan. Bagi Vico, hanya Allah yang bisa mengetahui realitas dengan
sebenar-benarnya, manusia tidak bisa melakukannya, mereka tidak dapat
mengkontemplasikan (merenungkan) esensi Platonik. Vico tidak sepakat, misalnya
dengan Leonardo, bahwa akal menyingkirkan kebutuhan bagi pengalaman. Bahkan
pada dasarnya, Vico melampaui pandangan Hobbes yang mengatakan bahwa
pengetahuan matematika tidak identik dengan pengetahuan dengan dunia riil.55 Vico
terutama menolak matematika sebagai sebuah alat bagi pengetahuan terhadap alam,
fisika, dan kemanusiaan. Matemetika, bagi Vico, hanya mungkin dipakai bagi dirinya
sendiri. Vico menegaskan, “The true (verum) and the made (factum) are convertible”
(kebenaran dan penciptaan dapat dipertukarkan).56
Isaiah Berlin tidak hanya terpengaruh oleh pemikiran Vico, pemikiran itu juga
dijadikan sebagai instrumen untuk menyerang tradisi berpikir modern yang
53 Crooce, The Philosophy, h. 33. 54 Crooce, The Philosophy. 55 Crooce, The Philosophy, h. 34. 56 Crooce, The Philosophy, h. 35.
universalistik. Titik berat kebenaran kepada kemanusiaan adalah reduksi habis-
habisan terhadap realitas yang memiliki beragam nuansa yang berlapis-lapis. Adanya
realitas tidak mungkin dikurung dalam kategori-kategori simplistis. Realitas memiliki
latar belakang dan motivasi keberadaan yang terlalu panjang untu disimpulkan
dengan menggunakan kategori subjektif. Dari sini Berlin juga menyerang pangkal
totalitarianisme modern yang muncul secara sangat kejam dalam bentuk Nazisme,
fasisme dan anti-semitisme. Rasionalitas yang dikembangkan Descartes telah
merambah jauh membelenggu realitas dan kemanusiaan secara umum.
B. Johann Georg Hamann
Ketika Vico melakukan gugatan terhadap tradisi Pencerahan dengan
menggoncangkannya, maka teolog dan filsuf Königsberg, Johann Georg Hamann,
telah membanting tradisi universalistik itu. Isaiah Berlin menggambarkan peran
pemikir ini dalam menyerang tradisi pencerahan dengan berapi-api:
“The most passionate, consistent, extreme and implacable enemy of the Enlightenment and, in particular, of all forms of rationalism of his time (he lived and died in the eighteenth centure) was Johann Georg Hamann. His influence, direct and indirect, upon the romantic revolt against universalism and scientific method in any guise was considerable and perhaps crucial.”57
(Musuh yang paling bernafsu, konsisten, ekstrim dan berkepala dari Pencerahan
dan, terutama, dari semua bentuk rasionalisme pada masanya (dia hidup dan
57 Lihat Isaiah Berlin, The Magus of the North: J. G. Hamann and the Origins of Modern Irrationalism, dalam Three Critics of The Enlightenment, h. 255.
meninggal di abad ke-delapan belas) adalah Johann Georg Hamann. Pengaruhnya,
baik langsung maupun tidak langsung, terhadap pemberontakan romantik melawan
universalisme dan metode saintifik dalam banyak bentuk sungguh krusial).
Penegasan utama dari Hamann adalah “all truth is particular, never general”
(semua kebenaran itu partikular, tidak pernah berlaku umum).58 Hamann adalah
seorang penganut agama yang taat. Ia penganut sekte Luteran. Awalnya, Hamann
adalah murid setia Pencerahan, tapi ketika terjadi goncangan spritual di dalam
dirinya, ia balik haluan menjadi penentang tradisi Pencerahan, bahkan ia dikenal
sebagai seorang anti-rasionalis yang sangat gigih.
Hamann mengkampanyekan bahwa rasio tidak kuasa mendemonstrasikan
seluruh kenyataan, rasio hanya satu instrumen untuk mengklasifikasi dan menyusun
data dalam satu pola tertentu, tetapi tidak pernah benar-benar bisa menunjukkan
kenyataan yang sebenarnya secara utuh.59 Alam semesta, bagi Hamann, sebagaimana
yang dipercai oleh kaum mistikus Jerman kuno, hanyalah semacam bahasa. Segala
sesuatu, tumbuhan atau binatang pada dirinya hanyalah simbol dimana Tuhan
berkomunikasi dengan ciptaannya. Hamann membuat satu ungkapan yang sangat
baik untuk menggambarkan pemikirannya, “God-intoxicated man” (manusia yang
dimabuk Tuhan). Bagi Hamann, semua hal—semua yang ada dan yang mungkin
58 Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind: An Onthology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 249. 59 Berlin, The Proper.
ada—tidak hanya diciptakan oleh Tuhan, melainkan juga berbicara kepada kita.
Semua hal adalah wahyu. Segala sesuatu adalah keajaiban.60
Oleh karena itu, segala pengetahuan tidak bisa diperlakukan secara umum.
setiap entitas memiliki alasan keberadaan yang berbeda. Setiap sesuatu memiliki
keunikannya masing-masing. Pengetahuan tentang kebenaran hanyalah persepsi
langsung dari entitas individual. Semua konsep tidak akan pernah bisa merepreksikan
semua pengalaman individual. Hamann menegaskan, sebagaimana yang dibahasakan
oleh Berlin, “what is real is individual” (yang riil adalah yang individual).61
Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa setiap nilai memiliki keunikannya
sendiri-sendiri, mereka berbeda dari bentuknya, peristiwanya, pemikirannya, dan
tidak ada nilai yang berlaku umum.
Hamann sedikit memberi perhatian terhadap pelbagai teori dan spekulasi
tentang dunia eksternal, dia hanya peduli terhadap kehidupan personal individu, yaitu
kesenian, pengalaman religius, perasaan dan hubungan personal. Bagi Hamann,
Tuhan itu adalah penyair, bukan matematikawan yang bisa mereduksi dan membawa
kita ke dalam satu konstruksi verbal tanpa makna, sesuatu yang sangat rapuh tapi
dianggap seolah-olah pasti (dalam bahasa Goenawan Mohamad: “sesuatu yang kelak
retak dan kita membuatnya abadi”).
C. Johann Gottfried Herder
60 Berlin, Three Critics, h. 253. 61 Berlin, The Proper, h. 250.
Jika pada Vico dan Hamann Berlin menemukan amunisi untuk menyerang
Pencerahan pada fondasi konseptualnya, maka Herder menampilkan gugatan pada
implikasi cara berpikir Pencerahan yang universalistik. Implikasi universalistik ala
Cartesian itu tampak nyata dalam interaksi budaya dan peradaban manusia.
Sebagaimana dua tokoh terdahulu, keseluruhan pemikira Herder bermuara pada
serangan terhadap universalisme Pencerahan yang terrepresentasi dalam keunggulan
budaya Barat. Doktrin Pencerahan yang datang dari para pemikir Perancis benar-benar
telah memuakkan dan merangsang hasrat intelektual Herder menghancurkan
pengandaian-pengandaian Pencerahan yang menurutnya rapuh itu. Herder dengan
tegas menolak doktrin Pencerahan Perancis yang mengklaim diri memiliki kebenaran
universal, tak lekang oleh waktu dan merupakan kebenaran yang tak perlu
dipertanyakan serta berlaku bagi semua orang, di manapun dan kapanpun.
Herder meyakini bahwa budaya-budaya yang berbeda memiliki jawaban yang
berbeda terhadap persoalan utama yang mereka hadapi.62 Herder begitu peduli
terhadap aspek kemanusiaan, apa yang hidup dalam sebuah masyarakat, daripada
mencari esensi dunia eksternal yang tidak jelas dan membingungkan. Herder percaya
bahwa apa yang baik bagi orang Portugis, mungkin tidak begitu baik bagi orang Persia.
Menurut Berlin, Montesquieu telah menyatakan hal yang mirip dengan menyatakan
bahwa manusia dan kemanusiaan terbagi menurut lingkungannya. Dia menyebut istilah
‘climate’ untuk menggambarkan kematian universalisme budaya.
62 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2000), h. 8.
Tentu saja perbedaan budaya dan nilai secara umum harus membawa
konsekuensi perpecahan dan benturan. Jauh sebelum Samuel P. Huntington
meramalkan tentang akan terjadinya benturan antar-peradaban yang dilatarbelakangi,
terutama, oleh budaya dan nilai kemanusiaan tertentu, Herder telah menegaskan
perbeda-bedaan budaya yang tak mungkin disatukan. Kemungkinan terjadinya benturan
memang ada, tapi itu bisa diatasi dengan toleransi. Kendati toleransi universal itu
mungkin, tetapi unifikasi adalah destruksi. Dan sebenarnya, tidak ada yang lebih jelek
daripada imperialisme.63
Herder terus mempertahankan pendapatnya bahwa setiap periode sejarah,
aktivitas, situasi dan peradaban memiliki karekter uniknya sendiri-sendiri. Oleh
karenanya, percobaan untuk mereduksi fenomena itu ke dalam serangkaian elemen
yang terpola, dan menggambarkan serta menganalisis mereka dalam term aturan
universal, cenderung memberangus perbeda-bedaan krusial yang telah membangun
kualitas spesifik dari objek yang dipelajari, baik itu alam maupun sejarah.64 Lebih
daripada itu, Herder juga menolak distingsi radikal antara metode yang diterapkan
kepada ilmu pengetahuan fisik dan ilmu yang mempelajari sprit kemanusiaan, atau ilmu
sosial. Baginya, segala sesuatu memiliki keunikan, kita harus menciptakan metode yang
berbeda terhadap segala keunikan itu. Barangkali kita bisa mengajukan kesimpulan,
tetapi jangan pernah bermimpi kesimpulan yang berhasil ditarik dari sebuah realitas
yang unik benar-benar memotret realitas.
63 Berlin, The Power, h. 9. 64 Berlin, Three Critics, h. 168.
Pada titik ini, dapat dipahami bahwa sebetulnya Herder adalah bapak
nasionalisme budaya. Tentu Herder bukanlah seorang nasionalis yang politis, tetapi ia
percaya dan meyakini pentingnya kemerdekaan budaya dan kebutuhan untuk menjaga
keunikannya. Bagi Herder, kemanusiaan itu tidak satu, melainkan banyak.65
Sumbangan paling besar yang diberikan ketiga tokoh di atas kepada Berlin
adalah munculnya amunisi yang sangat jitu untuk menggugat klaim kebenaran
universal yang diperjuangkan kaum Pencerahan. Keberserakan nilai kebenaran
membuat konsep kebenaran tunggal menjadi tidak relevan. Demikian juga, setiap
klaim kebenaran tidak bisa diabsolutkan, sebab selalu ada celah untuk dibantah dan
dihancurkan.
65 Berlin, The Power, h. 9.
BAB IV
PENCERAHAN MINUS UNIVERSALISME
Kendati begitu terpengaruh oleh tiga pengkritik Pencerahan yang telah
dipaparkan pada bab sebelumnya, Isaiah Berlin mengaku tidak total menjadi
pengikutnya. Berlin mengambil jarak dengan tidak menjadi pluralis relativis
sebagaimana ketiga gurunya tersebut. Dua konsep kebebasan yang dirumuskan oleh
Berlin menjadi satu tanda bagaimana Berlin begitu berhati-hati menempatkan posisi.
Berlin tidak pernah benar-benar meninggalkan Pencerahan kendati ia menegaskan
tentang nilai yang berserak atau value pluralism. Akhirnya, Berlin, setidaknya
menurut kebanyakan komentatornya, berdiri pada posisi liberalis pluralis. Artinya,
Berlin tidak serta merta membuang keseluruhan universalisme. Berlin masih
mengandaikan universalisme, hanya saja universalisme yang diandaikan itu bersifat
pluralis. Mari kita bahas beberapa konsepsi yang sekaligus sebagai penegas posisi
Berlin dalam perdebatan ini.
A. Dua Konsep Kebebasan
Berlin menulis satu esai khusus mengenai dua konsep kebebasan yang ia
andaikan. Dua konsep kebebasan ini dipakai untuk menunjukkan bahwa kendati
Berlin menolak Universalisme Pencerahan dan ide kebebasan yang menjadi
konsekuensinya, setidaknya tidak semua konsepsi itu ditinggalkan. Di awal tulisan ini
telah dijelaskan bahwa Berlin sesungguhnya memberikan apresiasi yang begitu besar
kepada tradisi Pencerahan yang telah mendobrak dogmatisme, feodalisme,
teologisme, dan kekakuan berpikir abad pertengahan. Berlin kagum terhadap prestasi
Pencerahan yang benar-benar telah membuka pintu bagi kemajuan dunia. Eksistensi
manusia yang telah terkubur, berhasil dibangkitkan oleh para pejuang Pencerahan dan
menciptakan sebuah peradaban dunia yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Kendati demikian, Berlin kemudian kecewa terhadap tradisi Pencerahan itu yang
terlalu mengagungkan rasionalitas. Rasionalitas menjadi sangat berbahaya ketika ia
diabsolutkan. Sebab ternyata dalam kenyataannya, rasionalitas menjadi semacam
belenggu yang demikian kejam. Rasionalitas menjadi semacam legitimasi bagi
segelintir diktator untuk mengklaim diri paling rasional, lalu memiliki hak untuk
melakukan proses rasionalisasi bagi yang lain, bahkan dengan cara-cara kekerasan.
Sebetulnya, sebagaimana yang diakui oleh Berlin sendiri, semua pemikir
bersepakat tentang kebebasan manusia. Manusia harus dibebaskan dari bentuk-bentuk
kekangan yang membelenggu. Tapi di sisi yang lain manusia juga diharapkan patuh
kepada aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Para pemikir kemudian berselisih
pada persoalan tentang seberapa besar kebebasan harus diberikan dan seberapa besar
pula kepatuhan yang diterapkan. Sampai batas mana manusia dikatakan bebas? Lalu
bagaimana pula bentuk kebebasan tersebut? Apa landasan kebebasan? Tradisi
pemikiran Barat hampir sepakat bahwa ukuran kebebasan terletak pada rasionalitas. Hal
ini kemudian digugat ketika kebebasan berdasar rasionalitas itu telah menjadi legitimasi
totalitarianisme dan kediktatoran. Di titik ini, Berlin menyatakan bahwa identitas
rasional yang diletakkan kepada prinsip kebebasan menyimpan masalah, karena ia
cenderung menuju kepada totalitarianisme.
Untuk mendukung sikap oposisinya terhadap model kebebasan rasional, Berlin
membedakan dua bentuk kebebasan: kebebasan positif (positive liberty) dan kebebasan
negatif (negative liberty). Kebebasan positif adalah bentuk jawaban terhadap
pertanyaan “Apa, atau siapa, yang merupakan sumber kontrol atau campur tangan yang
dapat menentukan seseorang untuk melakukan atau menghendaki satu hal, hal ini dan
bukan hal itu?” Kebebasan negatif merupakan jawaban atas pertanyaan, “Dalam
wilayah apa suatu subjek—seorang manusia atau sekelompok manusia—harus
dibiarkan bertindak dan berkehendak sebagaimana yang ia sendiri ingin dan mampu
lakukan, tanpa campur tangan dari yang lain?”66
Kebebasan negatif biasa juga disebut sebagai freedom from (kebebasan dari).
Yang dimaksud dengan “kebebasan dari” adalah terciptanya satu kondisi di mana tak
ada orang atau sekelompok orang yang ikut campur atau mengintervensi apa yang saya
lakukan. Saya dinyatakan bebas dalam pengertian kebebasan negatif adalah ketika saya
tidak dihalang-halangi oleh orang lain. Berlin menyebut batas minimum kebebasan yang
tidak bisa diintervensi. Berlin menyatakan:
“If I am prevented by others from doing what I could otherwise do, I am to that degree unfree; and if this area is contracted by other men beyond a
66 Lihat Isaiah Berlin, Four Esssays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2004), h. 231.
certain minimum, I can be described as being coerced, or, it may be, enslave.”67
(Jika saya dihalang-halangi oleh orang lain untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan, maka pada tingkat tertentu saya bisa disebut sebagai orang yang tidak bebas; dan jika wilayah ini semakin dipersempit oleh orang lain
melebihi satu batas minimum, maka saya bisa dianggap sebagai orang yang dikekang, atau, mungkin, diperbudak).
Sementara kebebasan positif adalah bentuk kebebasan yang mengarah ke luar,
tentang bagaimana manusia bisa menentukan apa yang ingin ia lakukan. Pengertian
positif dalam kebebasan berasal dari keinginan yang ada dalam diri individu untuk
menjadi tuan bagi dirinya sendiri (self mastery).68 Kebebasan positif adalah suatu
kondisi di mana individu merasa bebas untuk menentukan sendiri apa yang terbaik
untuk ia putuskan dan lakukan bagi dirinya sendiri. Keputusan-keputusan itu tidak
bergantung kepada orang lain atau sekelompok orang lain. Individu menjadi subjek atas
dirinya sendiri, bukan menjadi objek. Individu kemudian memiliki otoritas penuh untuk
bertindak sesuai dengan rasionalitas, akal sehat, dan tujuan-tujuan hidupnya sendiri.
Dua gagasan kebebasan di atas, yakni gagasan kebebasan berdasarkan prinsip
tuan atas dirinya sendiri (positif) dan tiadanya kekangan dari pihak luar (negatif), secara
sepintas tampak bisa berjalan beriringan bahkan saling mengandaikan. Akan tetapi,
menurut Berlin, pada kenyataannya, kedua gagasan itu menempuh jalur yang berbeda
bahkan berkontradiksi dan saling berbenturan.
67 Lihat Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty, dalam Michael J. Sandel (ed.), Liberalism and Its Critics, (New York: New York University Press, 1984), h. 16. 68 Berlin, Empat Esai Kebebasan, h. 244.
Berlin mencontohkan momen kemerdekaan sebagai bentuk yang bisa menipu
konsep kebebasan. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, diandaikan bahwa individu
memperoleh momentumnya untuk menjadi tuan bagi diri sendiri. Tetapi, kata Berlin,
bukankah manusia kemudian jatuh lagi ke dalam perbudakan politik, nasionalisme,
spritualisme, dan keberakalan tertentu?69 Ketika kita menjadi tuan bagi diri sendiri,
maka sebetulnya kita kemudian bisa diperbudak oleh nafsu-nafsu atau hasrat-hasrat
pribadi dan bahkan oleh rasionalitas individual kita.
Jika rasionalitas menjadi ukuran, maka bukankah jika mengatakan bahwa
pilihan hidup tertentu lebih rasional daripada pilihan hidup yang lain adalah sebuah
represi bahkan eksklusi terhadap apa yang disebut tidak rasional atau kurang rasional
tersebut? Lalu individu akan mencoba melakukan rasionalisasi terhadap pilihan
perbuatannya berdasar kepada kategori-kategori yang ia buat sendiri. Kenaifan
mungkin bisa dihindari dengan mengatakan bahwa pilihan “rasional” diperlukan demi
kebaikan individu.
Sebelum melangkah jauh, ada baiknya disinggung sedikit objek kritikan Berlin
atas konsep kebebasan positif ini. Sebetulnya kriteria kebebasan positif yang, bagi
Berlin, berbahaya ini dilekatkan kepada semua arus pemikiran rasional yang
mendiminasi jagad pemikiran Barat. Salah satu yang paling dominan adalah mereka
yang disebut sebagai pemikir utilitarian. Utilitarianisme, dalam berbagai variannya, telah
mendominasi pemikiran liberal Barat. Utilitarianisme sendiri bisa ditelusuri sampai pada
akar Pencerahan Eropa. 69 Berlin, Empat Esai Kebebasan, h. 245.
Dengan ditemukannya individu atau manusia sebagai subjek oleh para
penggagas Pencerahan, terutama Descartes, manusia kemudian menjadi tuan bagi
dirinya sendiri. Keputusan-keputusan manusia kemudian tidak lagi harus berdasarkan
mitos-mitos atau berasal dari hasrat di luar dirinya, melainkan berdasar sepenuhnya
kepada kebutuhan individual itu sendiri. Kebebasan yang dicanangkan oleh Pencerahan
kemudian disimpulkan dalam bentuk terpenuhinya hasrat individual manusia. Hal ini
disistematisasi oleh para pemikir utilitarian awal seperti James Mill dan Jeremy
Bentham. Hal itu terjadi mungkin karena euforia terbebasnya manusia dari belenggu
agama yang begitu lama mengekang dan membatasi kebebasan manusia secara
ekstrim. Secara umum, kaum utilitarian memaknai kebebasan dengan terpenuhinya
hasrat kemanusiaan individu.
Will Kymlicka membagi utilitarianisme dalam empat varian sesuai dengan
sejarah perkembangannya. Pada tahap pertama, utilitarianisme diartikan sebagai
walfare hedonism (hedonisme kesejahteraan). Ini adalah bentuk utilitarianisme paling
awal yang memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia terletak pada
terpenuhinya hasrat kesenangan manusia yang bersifat ragawi.70 Akan tetapi, model
utilitarianisme ini sangat tidak tepat sasaran, sebab boleh jadi apa yang terasa nikmat
belum tentu baik bagi individu. Oleh karena itu, muncul jenis utilitarianisme kedua, non-
hedonistic mental-state utility (utilitas bagi keadaan mental yang tidak beriorientasi
hedonis). Pada perkembangan ini, aspek hedonistik dihilangkan dan diganti dengan
70 Lihat Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, (Oxford: Clarendon Press, 1990), h. 12.
kesenangan yang menjamin kebahagiaan. Utilitarianisme dipahami sebagai
terpenuhinya semua pengalaman individu yang bernilai, darimanapun hal itu berasal.71
Utilitarianisme model kedua juga menyimpan persoalan, karena pengalaman
yang bernilai ternyata tidak satu, dan tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu
terpenuhi dalam satu waktu. Individu harus memilih. Utilitarianisme model ketiga adalah
terpenuhinya pilihan-pilihan individu. Utilitarianisme tahap ini disebut sebagai
preference satisfaction (pemenuhan pilihan). Utilitarianisme tahap ini mengandaikan
adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas.72 Pada tahap terakhir,
utilitarianisme diartikan sebagai terpenuhinya pilihan-pilihan rasional individu yang
berdasar kepada pengetahuan dan informasi yang utuh mengenai pilihan-pilihan
tersebut. Utilitarianisme ini disebut informed preference (pilihan yang berbasis
informasi).73
Perkembangan ini juga menandai bagaimana utilitarianisme bergerak dari
pendefinisian manusia yang awal diidentikkan dengan binatang menjadi manusia yang
seutuhnya. Aspek rasionalitas menjadi begitu penting dalam utilitarianisme.
Utilitarianisme sebagai pemenuhan hasrat pada Jeremy Bentham telah mensejajarkan
manusia dengan binatang. Sementara aspek happiness dalam pengertian rasionalitas
yang dikembangkan John Stuart Mill telah memanusiakan manusia dan
membedakannya secara jenius dari binatang.
71 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 13. 72 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 15. 73 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 16.
Akan tetapi, persis proyek pemanusiaan manusia dengan rasionalitas inilah
yang mengusik ketenangan Berlin. Proyek pemanusiaan manusia, bagi Berlin,
menyimpan bibit petaka yang demikian besar. John Stuart Mill sendiri, oleh Berlin,
dimasukkan ke dalam kategori pemikir liberalisme positif. Utilitarianisme secara umum,
kendatipun awalnya sebagai proyek pembebasan manusia, telah menetapkan satu
tujuan tertentu dalam proyek pembebasannya, yaitu kebahagiaan atau utility.
Demikianlah kenapa J. S. Mill disebut sebagai pemikir liberal negatif di permulaannya,
akan tetapi masuk ke kubangan liberal positif di akhir proyeknya. Sebetulnya, fondasi
awal yang dibangun oleh orang semacam Bentham dan J. S. Mill adalah tegaknya
individualisme. Keduanya mengutuk dengan sangat setiap bentuk kekangan terhadap
kebebasan individu. Yang paling berharga dari para pemikir utilitarian ini adalah
penolakannya terhadap klaim moral religius dalam kebebasan individu. Mereka
menyatakan bahwa setiap manusia merupakan hakim terbaik bagi kebahagiaannya
sendiri.74
Tak mungkin mungkir, bahwa utilitarianisme menjadi semacam proyek
teleologis yang mengejar satu pengandaian masa depan.75 Rasionalitas atau informed
preference bukan malah semakin membebaskan manusia dan menunjukkan jalan
terbaik bagi pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi legitimasi bagi
totalitarianisme. Apalagi, utilitarianisme terkenal dengan semboyan “The greatest
happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak
74 Berlin, Empat Esai, h. 309. 75 Lihat Richard Bellamy, Rethingking Liberalism, (London & New York: Pinter, 2000), h. 32.
mungkin orang).76 Aspek mayoritarianisme adalah ancaman lain yang mungkin muncul
dari utilitarianisme, dan tradisi liberalisme positif secara umum.
Paradoks kebebasan ini terus ada dalam masyarakat modern yang
memproklamirkan kebebasan positif. Segelintir orang kemudian merasa berhak
melakukan “rasionalisasi” terhadap mereka yang tidak dianggap tidak atau kurang
rasional. Proyek modernisasi dan demokratisasi yang dipaksakan oleh Amerika Serikat
dan sekutunya kepada Dunia Ketiga adalah bentuk penerapan model kebebasan positif.
Berlin mengusulkan dipakainya model kebebasan negatif untuk menghindari
paradoks kebebasan yang ditimbulkan kebebasan positif. Kebebasan negatif tidak
berpretensi untuk mengejar satu nilai tertentu dari proyek kebebasannya. Jika pada
pengertian positif kebebasan diletakkan sebagai instrumen untuk mengejar tujuan
dalam kategori tertentu, maka pengertian negatif dari kebebasan adalah menjadikan
kebebasan sebagai instrumen sekaligus tujuan. Utilitarianisme dengan sangat baik
menerapkan konsep kebebasan positif di dalam dirinya. Mill sendiri, menurut Berlin,
seringkali tampak membela kebebasan dengan alasan bahwa tanpanya kebenaran tidak
dapat ditemukan. Dengan demikian, bagi Mill, kebebasan bernilai sebagai sarana dan
bukan sebagai tujuan.77 Kebebasan tidak hanya penting sejauh ia berguna untuk tujuan
tertentu, akan tetapi kebebasan penting pada dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa
model kebebasan positif atau positive liberty adalah bentuk monisme baru.
76 Kymlicka, Contemporary Political Philophy, h. 12. 77 Berlin, Empat Esai, h. 312.
B. Value Pluralism
Sebagai pemikir yang berusaha menentang dominasi pemikiran monisme, tapi
tetap berada dalam arus Percerahan minus universalisme, Berlin mensistematisasi
sebuah konsep yang ia sebut value pluralism. Sekalipun istilah ini dianggap oleh para
komentator otentik dari Berlin,78 tetapi tampak jelas bahwa pemikiran ini adalah buah
dari pembacaan dan ketertarikan dia kepada para pengkritik Pencerahan di abad ke-
18, yakni Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder dan Johann Georg Hamann.
Ketiga pemikir yang dibahas pada Bab III itu adalah pemikir yang mengembangkan
gagasan pluralisme, terutama pluralisme nilai (value pluralismi).
Gagasan value pluralism Berlin ditemukan dalam esai terkenalnya, Two
Concepts of Liberty. Berlin sangat percaya bahwa nilai itu beragam. Keragaman
manusia selalu mengejar nilai-nilai yang beragam pula. Keberagaman itu tidak
memiliki batas, atau setidaknya batasannya tidak terprediksi. Musuh utama
pluralisme adalah monisme, suatu gagasan kuno yang mengandaikan satu harmoni
kebenaran yang tunggal.79 Menurut Berlin, monisme, dan keyakinan akan adanya
suatu standar-standar tunggal, senantiasa merupakan suatu sumber kepuasan baik
78 Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1984) lihat juga George Crowder, Liberalism and Value Pluralism, (London & New York: Continuum, 2002), bandingkan dengan William A. Galston, Liberal Pluralism: The Implications of Value Pluralism for Political Theory and Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002). 79 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2001), h. 14.
bagi akal pikiran, maupun bagi emosi.80 Dengan demikian, pemikir jenis monis
senantiasa mengabsolutkan kategori-kategori dan kriteria kebenaran yang mereka
buat. Andai saja kategori-kategori itu dibuat lentur, maka mereka akan menemui
perkembangan manusia yang tak terduga, yang boleh jadi meruntuhkan kategori-
kategori yang mereka yakini sebelumnya. Berlin menyatakan:
”To preserve our absolut categories or ideals at the expense of human lives offends equally against the principles of science an of history; it is an attitude found in equal measure on the right and left wings in our days, and is not reconciliable with the principles accepted by those who respect the facts.”81
(Melindungi kategori-kategori dan tujuan-tujuan absolut kita dengan mengorbankan kehidupan manusia tidak ada bedanya dengan melawan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan sejarah; inilah sikap, dalam tingkat yang sama, yang bisa ditemukan baik pada diri kaum sayap kanan maupun sayap kiri, dan tidak dapat didamaikan dengan prinsip-prinsip yang diyakini oleh mereka yang memberikan penghargaan kepada fakta).
Harus ditegaskan bahwa value pluralism adalah sebuah proyek yang memang
diperuntukkan untuk menentang dominasi gagasan monisme, khususnya monisme
moral.82 Bukan hanya utilitarianisme (seperti yang telah dibahas pada sub bab
sebelumnya) yang menjadi contoh paling jelas dari monisme moral, melainkan juga
imperatif kategoris Kant dan ide tentang hukum alam. Menurut Berlin, pemikiran
monis adalah dasar bagi pemikiran otoritarianisme politik, dan menemukan puncak
daya rusaknya pada abad ke-20. Satu garis antara monisme dan otoritarianisme
80 Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind, (London: Pimlico, 1998), hlm. 241. 81 Berlin, The Proper. 82 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, hlm. 11 – 14 dan The Proper Study of Mankind, h. 6-16.
adalah utopianisme. Monisme dan otoritarianisme membayangkan pengejawantahan
angan-angan utopis tentang sebuah masyarakat yang sempurna di mana akan terjadi
persetujuan universal pada jalan hidup yang tunggal. Itulah kepercayaan dan mimpi
tokoh seperti Plato, Rousseau, Hegel dan Marx. Bagi Berlin, monisme tidak hanya
berbahaya, tapi juga salah.83
Penting untuk dikatakan bahwa, menurut Berlin, ada nilai-nilai tertentu yang
mungkin diciptakan oleh satu generasi tertentu dan itu tidak ditemukan sebelumnya:
seperti ide tentang keragaman sesuatu yang dianggap baik, bahwa suatu masyarakat
di mana banyak opini tentang kebaikan itu muncul, lalu semuanya bisa hidup dalam
toleransi, itu lebih baik daripada masyarakat monolitik yang hanya mengakui satu
pendapat tentang kebaikan dari satu orang atau sekelompok orang saja. Ide seperti ini
tidak ditemukan sebelum abad ke-18, di mana pemikiran yang berkembang adalah
bahwa kebenaran itu tunggal, variasi kebenaran yang lain itu salah dan bertentangan
dengannya.84 Singkretisme juga adalah ide yang baru. Akhirnya, keragaman nilai
adalah fakta yang tak mungkin dihindari.
Beberapa komentator Berlin mencoba mensistematisasi dan mendefinisikan
konsep value pluralism ini. William A. Galston menyebut sedikitnya empat ciri value
pluralism: pertama, value pluralism bukanlah relativisme. Pembedaan antara
kebaikan (good) dan keburukan (bad), juga antara kebaikan (good) dan kejahatan
(evil), adalah sesuatu yang objektif dan secara rasional dapat dipertahankan. Kedua,
83 Lihat George Crowder, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin, (esai yang dipresentasikan di Universitas Tasmania, Hobart, 29 September – 1 Oktober 2003). 84 Berlin, The Power, h. 13.
segala sesuatu yang objektif tidak dapat diurut berdasarkan tingkatan. Ini bermakna
bahwa semua hal yang objektif tidak memiliki takaran umum, karena mereka secara
kualitatif heterogen. Oleh karena itu, semua nilai berlaku individual dan unik pada
dirinya sendiri. Tidak ada nilai tertinggi atau nilai pertama yang menjadi acuan bagi
nilai-nilai yang lain. Ketiga, tiap-tiap nilai bisa menjadi dasar bagi individu untuk
menentukan pilihan hidup, yang itu bisa sangat berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Keempat, melampaui upaya untuk membuat klasifikasi nilai berdasarkan
pada kualitas tertentu, maka ada satu ruang yang luas yang memberikan legitimasi
bagi keragaman nilai untuk hidup dan berkembang. Kelima, tentu saja value
pluralism dibedakan dari berbagai macam varian nilai yang disebut monisme.
Monisme, kira-kira, melegitimasi reduksi terhadap nilai ke dalam satu takaran umum
dan menciptakan hirarki dan aturan yang komprehensif bagi semua nilai.85
Sementara itu, George Crowder menyebut ada empat elemen dalam value
pluralism: pertama, universal values (nilai-nilai universal). Elemen pertama ini ingin
mengatakan bahwa ada nilai-nilai tertentu yang universal dan objektif. Pandangan ini
tampak tidak mendukung gagasan umum Isaiah Berlin yang menolak universalisme
Pencerahan, hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada bagian sub bab berikutnya. Yang
bisa dikatakan di sini adalah bahwa universalitas value pluralism adalah instrumen
bagi adanya distingsi yang jelas antara value pluralism dan relativisme. Pembedaan
dengan relativisme sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa value pluralism
mengakui adanya nilai-nilai yang bersifat transhistoris dan bergerak melampaui 85 Galston, Liberal Pluralism, h. 5 – 6.
batas-batas kultural. Arti lain dari universalitas value pluralism adalah bahwa nilai ini
sangat objektif. Pengertian objektif di sini tidak hanya dalam arti bahwa nilai-nilai itu
benar-benar adalah nilai, tetapi memang bernilai bagi keberadaan manusia dan
perkembangannya.86
Kedua, Pluralitas. Meskipun bersifat universal, gagasan value pluralism juga
mengandung unsur pluralitas. Berlin sendiri selalu menekankan adanya variasi nilai,
tujuan dan arti hidup. Banyak komentator lain yang menegaskan adanya variasi nilai
ini dalam beragam klasifikasi. Thomas Nagel menganalisisi “the fragmentation of
values” (fragmentasi nilai-nilai) ke dalam empat tipe fundamental: specific obligation
(kewajiba khusus), general rights (hak-hak umum), utility (utilitas), perfectionist ends
or values (tujuan atau nilai-nilai perfeksionis), dan commitments to one’s own
projects (komitmen kepada proyek pribadi).87 Pluralitas yang ada dalam value
pluralism menunjukkan bahwa pada dirinya, secara inheren, nilai-nilai itu kompleks
dan mengandung banyak komponen.88
Ketiga, segala komponen yang kompleks yang terkandung dalam nilai-nilai
begitu berbeda, sehingga pada tingkat yang radikal nilai-nilai itu tidak bisa
diperbandingkan atau incommensurable. Incommensurability setidaknya memiliki
tiga makna: incomparable, immeasurable, dan unrankable.89 Makna pertama adalah
bahwa nilai-nilai tidak bisa diperbandingkan, cannot be compared. Kita tidak
86 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 45. 87 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 47. 88 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 2. 89 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 49 – 54.
mungkin melakukan perbandingan terhadap nilai-nilai yang memang berbeda. Karena
perbedaan itu, maka nilai-nilai juga tidak bisa ditakar dengan menggunakan ukuran
dan kategori nilai tertentu. Jika ingin menakar nilai, maka takaran harus dibuat
menurut prinsip-prinsip yang dimiliki oleh nilai-nilai itu. Tapi karena semuanya
berbeda, maka takaran menjadi tidak relevan. Karena menakar nilai adalah sesuatu
yang tidak relevan, maka mencoba mengklasifikasi nilai berdasarkan mutu dan
kualitas tertentu juga menjadi tidak relevan.
Keempat, karena nilai-nilai itu berbeda, maka konflik adalah konsekuensi
yang kerapkali tidak bisa dihindarkan. Nilai-nilai yang berbeda itu, pada tingkat
tertentu, akan masuk dalam kancah konflik antara satu dengan yang lainnya. 90
Konflik antar nilai tidak hanya terjadi pada tataran objektif di luar individu, tetapi
konflik nilai terlah terjadi ketika seseorang akan menjatuhkan pilihan nilai yang akan
dianut atau digunakan. Di dalam diri individu, telah ada nilai yang rasional, yang
kurang rasional, yang emosional, dan lainnya, mereka berebut posisi untuk
mendominasi kehidupan individu. Konflik antar nilai adalah sebuah keniscayaan
dalam value pluralism.
Pluralisme secara umum memiliki banyak sumber yang bervariasi. Diantara
variasi sumber itu dapat ditarik benang merah bahwa kaum pluralis percaya kepada
adanya keragaman nilai, baik moral maupun non moral, yang tidak kompatibel secara
90 Crowder, Liberalism and Value Pluralism.
inheren dan berkesinambungan, bahkan tidak bisa dibandingkan.91 Menurut Bellamy,
perbedaan nilai serta konfliknya adalah bentuk pengetahuan bagi kita: mereka adalah
sesuatu yang objektif.
D. C. Liberalisme Pluralis
Upaya Berlin untuk menjernihkan posisinya dengan mengemukakan gagasan
value pluralism dan penolakannya terhadap universalisme atau monisme ternyata
tidak tanpa masalah. Persoalan posisi ini bahkan menjadi sangat rumit. Pelbagai
komentator berdebat serius tentang bagaimana memposisikan Berlin dalam ranah
perdebatan kaum pluralis dan kaum liberalis. Persoalan ini rumit karena ketika Berlin
ingin ditempatkan sebagai kaum liberal, maka ia akan masuk ke dalam labirin
universalisme yang dikritik sendiri oleh Berlin. Kita telah membahas bagaimana
Berlin menemukan tendensi monis dalam upaya memberikan otonomi bagi individu
atau liberalisme. Tetapi memasukkan Berlin ke dalam kubu pluralis akan rentan
terseret arus relativisme. Ketiadaan nilai universal yang diandaikan kaum pluralis
adalah ungkapan yang bisa menjebak ke dalam kesimpulan relativisme. Hal ini
diperparah oleh ungkapan Berlin yang selalu menolak disebut sebagai universalis
atau monis tapi juga menolak disebut relativis. Ada ketegangan yang sangat kuat,
kendati juga sangat tipis, di antara kedua konsep ini.
91 Lihat Richard Bellamy, Liberalism and Pluralism: Toward a Politics of Compromise, (London and New York: Routledge, 1999), h. 3.
Dalam pelbagai kesempatan, terutama ketika membahas pluralisme atau value
pluralism, Berlin selalu menegaskan bahwa ia bukanlah seorang relativis. Berlin
mengatakan, “I am not a relativist; I do not say ‘I like my coffee with milk and you
like it without; I am in favour of kindness and you prefer concentration camps’—each
of us with his own values, which cannot be overcome or integrated” (saya bukanlah
seoarang relativis; saya tidak mengatakan bahwa saya suka kopi dengan susu saya
dan kamu menyukai kopi tanpa susu; saya senang dengan kesenangan dan kamu
memilih kamp konsentrasi’—setiap kita memiliki nilai masing-masing yang tidak
bisa diatasi atau diintegrasikan).92
Tampaknya Berlin sadar betul bahwa gagasan pluralismenya bisa
menjerumuskan ia ke dalam relativisme, dan ini adalah makanan empuk bagi para
kritikusnya. Gagasan pluralisme yang dikembangkan oleh Berlin bukanlah
relativisme. Bagi Berlin, nilai-nilai itu objektif, yakni bahwa mereka memiliki
karakter dan menjadi bagian dari kehidupan manusia, dan ini adalah sesuatu yang
terberi secara objektif. Fakta bahwa laki-laki adalah laki-laki dan perempuan adalah
perempuan, bukan anjing, kucing, meja, sepatu atau yang lainnya adalah sebuah fakta
objektif; dan bagian dari fakta objektif ini adalah bahwa ada nilai tertentu yang bisa
dicapai oleh manusia.93 Jika saya adalah laki-laki atau perempuan yang memiliki
imajinasi yang memadai, maka saya bisa masuk ke dalam sistem nilai yang
sebetulnya bukan milik saya. Hal ini mungkin, menurut Berlin, karena ada
92 Berlin, The Power, h. 11. 93 Berlin, The Power, h. 12.
komunikasi dan dengan itulah toleransi menjadi mungkin. Dengan demikian,
pluralisme ala Berlin jelas bukanlah relativisme.
Kendati Berlin berusaha menjelaskan bahwa konsep pluralismenya atau
penolakannya terhadap monisme dan universalisme bukan relativisme, tetapi Berlin
ternyata tidak cukup mampu memberikan keyakinan yang utuh kepada para
komentatornya. John Gray mencoba melacak konsistensi Berlin mengenai liberalisme
dan value pluralism yang diandaikannya. Menurut Gray, jika Berlin konsisten dengan
value pluralism, di mana semua nilai memiliki unsur incommensurability atau tidak
bisa diperbandingkan, maka sebetulnya liberalisme, juga dalan pengertian liberalisme
negatif, hanyalah merupakan produk budaya tertentu. Dengan demikian, liberalisme
tidak bisa dibandingkan dengan equality (kesamarataan), misalnya. Jika konsisten
dengan value pluralism, seharusnya Berlin tidak cenderung mengafirmasi nilai
tertentu, yakni liberalisme dan pluralisme, sementara nilai yang lain dieksklusi.94
Keyakinan seperti ini memiliki implikasi yang cukup jauh sampai kepada
level kebijakan negara. Jika value pluralism membenarkan pendapat bahwa nilai
kejahatan dan kebaikan adalah sesuatu yang tidak bisa diperbandingkan, maka negara
seharusnya tidak bisa mengambil satu justifikasi rasional untuk melakukan klasifikasi
nilai yang ada di masyarakat. Akibatnya, negara juga seharusnya bisa memberikan
peluang bagi munculnya nilai-nilai otoritarian atau mengeluarkan kebijakan-
kebijakan yang tidak membebaskan.
94 Gray, Isaiah Berlin, h. 144.
John Gray mengakui kebenaran konsep value pluralism yang dikembangkan
oleh Berlin, tetapi konsep itu memiliki sebuah ‘enormous subversive force’ (kekuatan
subversif yang amat besar).95 Dalam hal ini, bagi Gray, pluralisme tidak hanya gagal
mendukung liberalisme, bahkan secara positif ia merusak banyak bentuk pemikiran
politik liberal. Kontradiksi pluralisme dan liberalisme terletak pada pokok klaim
pluralisme yang mengatakan bahwa nilai itu tak dapat diperbandingkan
(incommensurability) yang berimplikasi secara langsung kepada culture
incommensurability. Oleh karenanya, pluralisme meniadakan formula universal bagi
tingkatan kebaikan seperti kebebasan dan equality. Akhirnya, semua budaya memiliki
kearifan lokal sesuai dengan takarannya masing-masing, dan mereka hanya mungkin
dievaluasi melalui standar-standar yang ditetapkan oleh masing-masing budaya itu.
Budaya liberal, dengan demikian, dipahami berasal dari budaya tertentu, yang belum
tentu baik bagi budaya yang lain. Bagi Gray, Berlin memang berangkat dari
liberalisme, tapi ia jatuh ke dalam pluralisme, yang dipahami sebagai relativisme,
sesuatu yang berulangkali ditegaskan oleh Berlin tidak dianut.
Pembacaan Gray terhadap Berlin tentu bukan satu-satunya bacaan. Ada
banyak komentator lain yang mencoba menjelaskan penegasan Berlin mengenai
penolakan ia disebut sebagai relativis. Di samping penolakannya disebut sebagai
relativis, ada beberapa fakta yang tidak boleh diabaikan. Di satu sisi Berlin
memperkenalkan konsep value pluralism sebagai bentuk perlawanan terhadap
monisme. Berlin juga membuat dikotomi dua bentuk kebebasan, yakni kebebasan 95 Gray, Isaiah Berlin, h. 1.
positif dan kebebasan negatif, di sisi lain. Dua fakta ini tentu tidak hadir begitu saja
tanpa ada rasionalisasi yang jelas.
Menurut George Crowder, kritikan Gray terhadap model liberalisme Berlin
menyimpan kesalahan yang cukup mendalam. Gray tampak tidak bisa secara jernih
membedakan antara value pluralism dan cultural relativism (relativisme kultural).
Cultural relativism adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip atau nilai-nilai moral
yang dapat diterapkan secara universal, yang ada hanya keputusan-keputusan moral
tertentu yang berasal dari kode moral budaya tertentu. Interaksi antar budaya tidak
dimungkinkan, sebab standar budaya luar dianggap sebagai asing dan tidak kapabel
untuk budaya sendiri. Cultural relativism mengandaikan bahwa budaya-budaya
memiliki otoritas moralnya masing-masing. Dengan begitu, liberalisme, dalam
pandangan ini, tidak lebih dari suara politis dari budaya tertentu, yang tidak memiliki
makna apa-apa bagi budaya lain. Bagi Crowder, pendapat Gray ini menyesatkan
sebab Berlin sendiri menegaskan bahwa pluralisme dan relativisme adalah dua
gagasan yang sungguh berbeda.96 Sementara Gray mengatakan bahwa gagasan
pluralisme Berlin memiliki implikasi relativisme.97
Crowder berusaha mempertahankan keyakinannya bahwa liberalisme dan
value pluralism atau pluralisme yang dianut oleh Berlin tidak harus dipertentangkan.
Gagasan pluralisme Berlin, bagi Crowder, bukanlah gagasan final, gagasan ini justru
berimplikasi atau mengandaikan liberalisme. Crowder menyatakan bahwa argumen
96 Lihat George Crowder, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin. 97 Gray, Isaiah Berlin, h. 63 – 65.
Berlin mengenai ‘dua konsep kebebasan’ sebetulnya memiliki dua fondasi utama dari
pertautan antara pluralisme dan liberalisme. Pertama, ada argumen yang sangat
eksplisit dalam pluralisme, yaitu bahwa kita diberi alasan bagi pilihan nilai, yang oleh
karenanya kebebasan memilih menjadi niscaya, sesuatu yang sangat ditekankan oleh
kaum liberal. Kedua, penegasan Berlin mengenai konflik antar nilai dan
incommensurability membutuhkan pendekatan politik yang anti-utopianisme.98 Bagi
kaum pluralis, skema-skema politik yang bertujuan pada realisasi harmonis dari
semua kebaikan manusia harus dicurigai dan memang mengandung utopianisme.
Yang dengan demikian, anti-utopianisme mencermintan penolakan terhadap rival
tradisional liberalisme, yaitu Marxisme dan anarkhisme.
Bagi Berlin, menurut Crowder, jika nilai-nilai itu plural dan tidak bisa
diperbandingkan, maka kita harus membuat pilihan serius di antara nilai-nilai yang
berkonflik itu, lalu dengan demikian kita musti menempatkan sebuah nilai spesial
yang kita pilih secara bebas.99 Pada titik ini, pengorbanan menjadi satu hal yang
niscaya. Bagi Crowder, Berlin bukanlah relativis karena ia menekankan klaim moral
legitimate yang dibingkai oleh serangkaian kebaikan universal. Variasi tujuan
manusia tidak bisa tidak dibatasi, karena bagaimanapun kodrat manusia itu selalu
berbeda dan memiliki tujuan-tujuan hidup yang beragam.100
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Berlin adalah seorang liberal pluralis.
Pertentangan pluralisme dan liberalism menjadi tidak relevan dalam pemikiran
98 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 78 99 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 79 100 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 80
Berlin. Pilihan liberalisme negatif dan value pluralism bukan tanpa alasan. Berlin
seolah-olah ingin mengatakan bahwa pilihan liberalisme dan pluralisme secara tajam
menyimpan masalah yang besar. Oleh karena itu, Berlin berdiri pada posisi yang
tragis. Berlin masuk ke dalam dunia remang yang di sana terdapat irisan yang sangat
tipis antara liberalisme dan pluralisme. Ketika mengkritik liberalisme, Berlin bisa
tampak seperti seorang pluralis tulen. Tetapi ketika menolak pluralisme, Berlin
berlagak liberal. Akhirnya, Berlin bisa disebut sebagai seorang liberal pluralis. Berlin
adalah penganut liberalisme pluralis. Pluralisme nilai yang ia andaikan bersifat
universal. Akan tetapi nilai universal yang ia andaikan juga harus bersifat pluralis.
Gagasan Kebebasan dalam Islam
Gagasan kebebasan model Isaiah Berlin mungkin adalah gagasan yang sangat
unik, karena ia menolak universalisme Pencerahan dengan memakai logika dasar
Pencerahan itu sendiri, yakni kebebasan individu. Fakta bahwa Berlin bergelut
dengan dilema antara liberalisme yang cenderung universalis dan pluralisme yang
kerap dinilai relativis menyimpan semangat untuk menolak segala bentuk
pengkultusan atau absolutisme terhadap satu nilai. Sebab, setiap nilai memiliki cacat
dan potensi yang sangat berbahaya jika nilai-nilai itu tidak diantisipasi.
Universalisme dalam liberalisme bisa membawa kepada otoritarianisme, sementara
relativisme dalam pluralisme cenderung melegitimasi anarkisme. Baik
otoritarianisme maupun anarkisme adalah dua hal yang begitu mengganggu
kehidupan modern. Berlin seolah-olah ingin mengatakan bahwa mari kita menjalani
hidup dengan sebuah kewaspadaan. Kita harus mampu mengantisipasi kecenderungan
otoritarianisme dan anarkisme yang mungkin muncul dari pilihan sistem kehidupan
yang kita pakai, apapun itu.
Dalam konteks pemikiran Islam, gagasan ini memperoleh legitimasi ketika
kita membaca bagaimana gagasan liberalisme itu mulai tumbuh dalam pemikiran
Islam. Menurut M. Dawam Rahardjo, gagasan liberalisme Islam telah dimulai oleh
dua ulama besar Islam, Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani.101 Dari
kedua tokoh ini, menurut Dawam, terutama Abduh, lahir rentetan pemikir Islam yang
mengawal gagasan liberalisme. Di antara murid Abduh yang paling terkenal adalah
Ali Abd al-Raziq. Raziq, misalnya, telah mempertanyakan tentang apakah
kekhalifahan itu perlu? Raziq juga menggugat bahwa apakah memang ada konsep
atau sistem pemerintahan yang islami? Bagi Raziq, beberapa bentuk kekuasaan
politik memang diperlukan, tetapi tidak mesti dalam bentuk khusus. Bahkan, umat
pun tidak harus dipersatukan secara politik. Raziq meyakini bahwa Islam tidak
menetapkan bentuk rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut
persyaratan yang dibuat oleh sistem itu sendiri: Islam justru memberi kebebasan
sepenuhnya untuk membentuk negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan
ekonomi dengan pertimbangan tuntutan sosial dan perkembangan zaman.102
101 Dawam Rahardjo mengemukakan hal itu dalam ceramah diskusi Jejak-jejak Liberalisme di Indonesia, Jakarta, 16 November 2006 (hasil ceramah belum dipublikasikan). 102 Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism, terj. Imam Muttaqin, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 193 – 195.
Menurut Dawam, Gagasan liberalisme dari murid-murid Abduh itulah yang
nantinya menginspirasi para pemikir Islam liberal di Indonesia. Para pemikir liberal
awal Indonesia itu adalah Haji Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, Syafruddin
Prawiranegara dan yang lainnya. Dawam menegaskan bahwa sebetulnya gagasan
Islam liberal bahkan liberalisme itu sendiri sebetulnya dipelopori oleh Soekarno,
meskipun secara verbal Soekarno menolak istilah liberalisme. Di antara gagasan
liberal Soekarno adalah wacana pengembangan kesetaraan gender dan penolakannya
terhadap gagasan negara Islam. Jejak liberalisme Islam juga bisa ditemukan dalam
pemikiran Haji Agus Salim ketika ia menolak pemisahan tempat duduk antara
perempuan dan laki-laki dalam acara-acara pertemuan umum.103
Tentu saja, puncak gagasan liberalisme Islam di Indonesia ada di tangan
Nurcholish Madjid. Gagasan pemikiran Islam liberal Cak Nur (panggilan akrab
Nurcholis Madjid) dideklarasikan ketika ia menulis artikel berjudul, “Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”, yang disampaikan
pada pertemuan silaturrahmi para aktivis Persami, HMI, GPI, dan PII yang
diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta di Jakarta, 3 Januari 1970.104 Dalam artikel
tersebut, Cak Nur memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah
kemajuan dan integrasi umat Islam yang mulai dilemahkan oleh keterpecahbelahan
karena paham-paham dan kepartaian politik. Melalui ide sekularisasi dan Islam Yes,
103 Dawam Rahardjo, Jejak-jejak LIberalisme. 104 Lihat Budhy Munawar-Rachman (ed.), Ensiclopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran di Kanvas Peradaban, (Jakarta: Paramadina, CSL dan Mizan, 2006), h. Lx – lxi.
Partai Islam No?105 Cak Nur hendak mengajak ummat Islam untuk memecahkan
kebuntuan pemikiran dan kreativitas ummat Islam yang terpasung oleh pelbagai
bentuk kejumudan. Karena itulah Cak Nur mengumandangkan pentingnya kebebasan
berpikir, the idea of progress (ide tentang kemajuan), sikap terbuka, serta kelompok
pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan apa yang menurut istilah Cak Nur
psikological striking force (daya tonjok psikologis) yang akan menumbuhkan
pemikiran-pemikiran segar.106
Setelah Cak Nur, gagasan liberalisme Islam itu terus berkembang bahkan
semakin mencapai titik radikal. Muncul tokoh seperti Abdurrahman Wahid, M.
Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ulil Abshar-Abdallah dan yang lainnya.
Radikalisasi pemikiran Islam liberal itu tampak pada penegasan mereka tentang
liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Abdurrahman Wahid, misalnya, tidak lagi
ragu untuk mengakui keberadaan kelompok-kelompok lain. Gus Dur (panggilan
akrab Abdurrahman Wahid) tanpa sungkan dan bahkan sangat rajin melakukan
advokasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang tertindas, sesuatu yang cukup
sulit ditemukan dalam kehidupan Cak Nur. Jika Cak Nur berusaha menghindari
sekularisme dalam gagasannya, lalu ia menawarkan konsep sekularisasi yang dinilai
lebih halus, maka tokoh seperti M. Dawam Rahardjo malah menegaskan konsep
105 Islam Yes, Partai Islam No? Menjadi salah satu sub bab dalam artikel Cak Nur tersebut. Lihat Rachman. H. Lxi, lihat juga Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Soucebook, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 485. 106 Rachman, Ensiklopedi.
sekularisme.107 Bagi Dawam, bukan sekularisme yang harus ditolak, melainkan kita
harus mencari konsep atau model sekularisme yang bisa diterapkan di Indonesia.
Secara umum, gagasan kebebasan yang diusung oleh Isaiah Berlin
memperoleh legitimasi dalam kancah pemikiran liberal Islam. Para pemikir liberal
Islam begitu kuat menentang segala bentuk dogmatisme tradisional, tetapi juga tidak
terjebak dalam perangkap absolutisme pemikiran Barat. Posisi seperti inilah yang
diharapkan muncul oleh Berlin. Berlin jelas menolak dogmatisme atau
otoritarianisme tradisional, tetapi juga begitu takut dan melawan kemungkinan
munculnya absolutisme modernitas. Dilema harus selalu ada sebab dengan begitu
kritisisme akan selalu hadir. Sementara jika satu konsep telah ditetapkan absolut,
maka pada saat itu pula kemungkinan sikap kritis menjadi tertutup. Berlin tidak
hendak menjadi kaum utopis yang membayangkan kehidupan harmoni tanpa celah.
Dilema pemikiran Berlin justru sebagai penegas bahwa kehidupan ini memang
dipenuhi dengan duri dan konflik. Meskipun demikian, kita tetap bisa menata
kehidupan itu, agar dampak luka dan konfliknya tidak terlalu besar. Mari mengatur
kehidupan ini secara alamiah, tanpa harus membayangkan sesuatu yang tampak indah
namun utopis.
107 Dawam Rahardjo menegaskan pendiriannya itu dalam pelbagai forum, sayang hasil publikasinya belum maksimal.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengalaman hidup Berlin yang diwarnai peristiwa-peristiwa besar dunia
seperti Perang Dunia dan munculnya idiologi-idiologi totalitarian membuatnya
menjadi pemikir yang sangat kritis terhadap semua pemikiran yang berkembang di
dunia modern. Berlin tidak larut dalam euforia kemenangan modernitas dengan
rasionalisme sebagai panglimanya. Berlin tumbuh sebagai pemikir rasional yang
tidak penurut. Ia mengkritik secara rasional rasionalitas yang ia miliki sendiri.
Pertama-tama, Berlin mengungkap ketidaksahihan kebenaran yang diandaikan oleh
rasionalitas dan semua pengandaikan kebenaran yang berasal dari eksplorasi
kecakapan kemanusiaan. Melalui tiga pengkritik Pencerahan, Vico, Hamann dan
Herder, Berlin menemukan bahwa klaim kebenaran kaum Pencerahan, yang
merayakan kemanusiaan (subjektivitas), menyimpan tendensi universalistik atau
monisme, sesuatu yang sebetulnya ditolak oleh Pencerahan itu sendiri. Manusia
sangat tidak valid bicara kebenaran, apalagi kebenaran yang kemudian diabsolutkan,
karena manusia memiliki banyak kelemahan dan terutama karena manusia bukanlah
pencipta.
Sebagai anak kandung Pencerahan, Berlin kemudian tumbuh menjadi pemikir
liberal. Akan tetapi, liberalisme yang ia anut harus bersih dari tendensi universalisme.
Berlin kemudian membuat dua ketegori liberalisme: liberalisme positif (positive
liberty) dan liberalisme negatif (negative liberty). Berlin mengatakan bahwa hampir
semua pengendaian kebebasan yang dianut dalam tradisi Pencerahan mengadopsi
model kebebasan positif. Kebebasan positif adalah bentuk kebebasan yang
menempatkan individu sebagai subjek yang bebas mengekspresikan diri sesuai
dengan keinginannya. Refleksi diri inilah yang ditolak oleh Berlin, karena ia akan
menjadi legitimasi bagi praktek dominasi, dan pada tingkat yang ekstrim akan
menjadi alasan bagi otoritarianisme. Sementara kebebasan negatif sekedar ingin
menyatakan bahwa seseorang dikatakan bebas ketika ia tidak terhalangi dalam
mencapai apa yang ia inginkan. Jika kebebasan positif ingin menjawab pertanyaan
“apa atau siapa yang menentukan atau menjadi kontrol terhadap apa yang ingin
dilakukan oleh individu?,” maka kebebasan negatif menjawab pertanyaan, “sampai
batas mana individu bebas bertindak sesuai dengan apa yang ia inginkan?”
Penolakan keras Berlin terhadap universalisme Pencerahan adalah ketika ia
mengkonsepsikan value pluralism. Value pluralism mengandaikan bahwa ada banyak
nilai yang satu sama lain tidak bisa diperbandingkan (incommensurabity). Nilai-nilai
ini memiliki karakter yang unik dan berada pada wilayah yang berbeda-beda,
sehingga kita tidak mungkin melakukan klasifikasi dan perbandingan. Di sana tidak
ada klaim baik dan buruk. Tetapi bukan berarti bahwa dengan demikian Berlin
menjadi penganut relativisme. Value pluralism bukan relativisme, sebab value
pluralism diandaikan belaku universal dalam sebuah budaya dan nilai yang ada.
Dengan demikian, negative liberty dan value pluralism adalah wilayah abu-
abu yang bergerak antara liberalisme dan pluralisme. Berlin menolak tendensi
universalisme dalam liberalisme, tetapi juga berhati-hati terhadap kecenderungan
relativisme dalam pluralisme. Berlin adalah seorang liberal yang pluralis.
B. Evaluasi Kritis
Membaca karya seorang pemikir, kendatipun begitu luar biasa hebat, tidak
mesti membuat pembaca larut dan kehilangan jati dirinya. Hemat penulis, pemikiran
tokoh seperti Berlin memang kerapkali begitu memukau, tetapi dengan itu pula
pembaca seringkali terjebak dalam penjara taklid. Oleh karena itu, sikap kritis harus
selalu muncul dalam proses pembacaan ini.
Penulis menyarankan agar hati-hati dengan perangkap inkonsistensi yang
sengaja dipasang oleh Berlin dalam karya-karyanya. Umumnya, kritikan utama yang
diajukan kepada Berlin adalah bahwa ia tampak tidak konsisten terhadap pilihan
konsep yang ia ajukan, yakni pilihan liberalisme yang tidak universalis tapi juga
pluralisme yang bukan relativis. Posisi ini, meski sangat unik, sangat rentan menjadi
pintu masuk para kritikus untuk membongkar pengandaian-pengandaian dasar dari
semua bangunan konsepsi Berlin. Argumentasi Berlin untuk menolak universalisme
Pencerahan dengan memakai alat Pencerahan yang ditolaknya adalah paradoks yang
luar biasa. Bagaimana mungkin menolak pengejawantahan diri rasional dengan
melakukan pengejawantahan diri yang lain? Argumen utama dari tradisi Pencerahan
adalah penolakannya terhadap dogmatisme, absutisme dan universalisme. Bukankah
penolakan Berlin terhadap universalisme Pencerahan adalah bentuk kerja Pencerahan
itu sendiri?
Perangkap lain yang sengaja diciptakan oleh Berlin adalah mengenai dikotomi
dua bentuk kebebasan, yakni kebebasan positif dan kebebasan negatif. Berlin seolah
tidak cukup mampu memberikan penjelasan yang jernih mengenai dua pembedaan
konsep kebebasan itu. Freedom to dan freedom from tampak menjadi sesuatu yang
identik belaka. Kebebasan individu untuk melakukan sesuatu atau untuk
mengejawantahkan diri menjadi mungkin jika ia tidak terhalangi. Konsepsi ini bisa
diterima jika kita sadar bahwa proyek utama Berlin adalah untuk menolak tendensi
monisme dan ingin agar kebebasan menjadi suatu konsep yang tidak terlalu ideal
kemudian jatuh ke dalam utopianisme. Tetapi, sebagai konsep, pembedaan itu tampak
tetap rapuh.
Ketidak-jelasan posisi Berlin terhadap pluralisme dan liberalisme tentu
menjadi kritikan yang cukup besar bagi Berlin. Penolakannya terhadap universalisme
kebebasan dan relativisme pluralisme menjadikannya pemikir yang seolah tanpa
pijakan. Berlin menyerang universalisme dengan menggunakan logika relativisme,
tetapi menolak relativisme dengan menggunakan pengandaian universalisme.
Faktanya, kedua-duanya ditolak, dan pada saat yang sama juga diafirmasi.
Dengan demikian, semua konsepsi Berlin menjadi sangat politis. Konsep-
konsep itu dipergunakan pada saat menghadapi hal-hal tertentu. Konsep Berlin tidak
mungkin diambil secara utuh untuk menyelesaikan problem yang berbeda. Kita hanya
mungkin mengambil salah satu konsep Berlin untuk menyelesaikan persoalan
tertentu, sambil mencoba menyembunyikan konsep lain agar tidak menjadi perusak,
demikian sebaliknya. Akhirnya, bisa dikatakan, bahwa sebetulnya Berlin tidak berdiri
pada posisi manapun.
Sekalipun demikian, tingkat ketajaman berpikir dan kritisisme yang
dikembangkan oleh Berlin tetap merupakan sumbangan yang sangat berarti. Berlin
menjadi penganut Pencerahan dalam pengertian yang sebenarnya. Berlin selalu
diliputi keraguan, sehingga tidak ada konsep yang bisa berdiri utuh di hadapannya,
karena akan selalu ia periksa dan, jika perlu, dihancurkan. Penghancuran itu sendiri
akan menjadi konsepsi baru yang akan diperiksa kembali oleh Berlin. Kemudian, ia
mungkin akan melakukan rekonstruksi atau pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rujukan Primer
Berlin, Isaiah, Concepts and Categories: Philosophical Essays, London: Pimlico, 1999.
---------, Four Essays on Liberty, Oxford: Oxford University Press, 1992. ---------, Four Essays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan,
Jakarta: Freedom Institute dan LP3ES, 2004. ---------, Freedom and It’s Betrayal: Six Enemies of Human Liberty, Princeton:
Princeton University Press, 2002. ---------, Karl Marx: His Life and Environment, New York: A Galaxi Book, 1963. ---------, Liberty, Oxford: Oxford University Press, 2002. ---------, The Hedgehog and The Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History, New
York: Simon and Schuster, 1953. ---------, The Magus of The North: J. G. Hamann and The Origins of Modern
Irrationalism, London: John Murray, 1993. ---------, The Power of Ideas, London: Pimlico, 2001. ---------, The Proper Study of Mankind, London: Pimlico, 1998. ---------, The Roots of Romanticism, London: Pimlico, 2000. ---------, The Sense of Reality, London: Pimlico, 1997. ---------, Three Critics of The Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, London:
Pimlico, 2000.
B. Rujukan Sekunder Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, terj. Alois A. Nugroho dan J. M.
Subijanta, Asal-usul Totalitarianisme: Jilid II, Imprealisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
---------, The Origins of Totalitarianism, terj. J. M. Subijanta, Asal-usul
Totalitarianisme: Jilid III, Totalitarianisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Beiser, Frederick C., The Cambridge Companion to Hegel, Cambridga: Cambridge
University Press, 1993. Bellamy, Richard, Rethinking Liberalism, London & New York, Pinter, 2000. ---------, Liberalism and Pluralism: Towards a Politics of Compromise, London dan
New York: Routledge, 1999. Bertens, K., Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT Gramedia, 1981. Binder, Leonard, Islamic Liberalism, terj. Imam Muttaqin, Islam Liberal: Keritik
terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Boaz, David (ed.), The Libertarian Reader: Classic and Contemporary Readings
from Lao-tzu to Milton Friedman, New York: The Free Press, 1997. Cohen, Marshall, The Philosophy of John Stuart Mill: Ethical, Political, and
Religious, New York: The Modern Library, 1961. Crowder, George, Liberalism and Value Pluralism, London & New York:
Continuum, 2002. ---------, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin, (esai yang
dipresentasikan di Universitas Tasmania, Hobart, 29 September – 1 Oktober 2003).
Flatman, Richard E., Toward A Liberalism, Ithaca and London: Cornell University
Press, 1989.
Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992.
---------, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social
Order, terj. Masri Maris, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Galston, William A., Liberal Pluralism: The Implikations of Value Pluralism for
Political Theory and Practice, Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Gray, John, Isaiah Berlin, New Jersey: Princeton University Press, 1995. ---------, Post Liberalism: Studies in Political Thought, London and New York:
Routledge, 1993. Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2004. Hayek, Friedrick A., The Constitution of Liberty, Chicago: The University of Chicago
Press, 1960. Jerry Z. Muller, The Mind and The Market: Capitalism in Modern European
Thought, New York: Alfred A. Knope, 2002. Kurzman, Charles (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook, terj. Bahrul Ulum dan Heri
Junaidi, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003.
Kymlicka, Will, Contemporary Political Philosphy: A Introduction, New York:
Oxford University Press, 1990. ---------, Multicultural Citizenship, New York: Oxford University Press, 1995. ---------, The Rights of minority Cultures, New York: Oxford University Press, 1995. Lilla, Mark dkk. (ed.), The Legacy of Isaiah Berlin, New York: New York Review
Book, 2001. Mendos, Susan, Toleration and The Limits of Liberalism: Issues in Political Theory,
London: The MIT Press, 1995. Mill, John Stuart, On Liberty, New Haven: Yale University Press, 2003.
---------, Utilitarianism, Oxford: Oxford University Press, 2001. ---------, Willful Liberalism: Voluntarism and Individuality in Political Theory and
Practice, Ithaca & London: Cornell University Press, 1992. Nozick, Robert, Anarchy, State, and Utopia, New York: Basic Books, Inc.,
Publishers, 1974. Rapar, J. H., Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta:
Rajawali Pers, 2001. Rachman, Budhy Munawar (ed.), Ensoklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam
di Kanvas Peradaban, Jakarta: Paramadina, CSL dan Mizan, 2006. Rawls, John, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press, 2000. ---------, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1996. Ruggiero, Guido de, The History of European Liberalism, Oxford: Oxford University
Press, 1927. Sandel, Michael J., Liberalism and The Limits of Justice, Cambridge: Cambridge
University Press, 1982. --------- (ed.), Liberalism and It’s Critics, New York: New York University Press,
1984. Sen, Amartya, Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, New
York: Oxford University Press, 1982. ---------, Development as Freedom, New York: Alfred A. Knop, Inc., 2000. Straus, Leo and Joseph Cropsey (ed.), History of Political Philosphy, Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1987. Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. Williams, Robert R. (ed.), Beyond Liberalism and Communitarianism: Studies in
Hegel Philosphy of Right, New York: State University of New York Press, 2001.
Zakaria, Fareed, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, New York: W. W. Norton and Company, 2003.