Meneguhkan Kembali Kebebasan...

95
Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai tugas akhir perkuliahan di UIN Jakarta untuk mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam Oleh: Saidiman PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006

Transcript of Meneguhkan Kembali Kebebasan...

Page 1: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan

Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai tugas akhir perkuliahan di UIN Jakarta untuk mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam

Oleh: Saidiman

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006

Page 2: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan

Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam

Oleh: Saidiman

NIM: 0033118814

Di Bawah Bimbingan

Drs. Fakhruddin, M.Ag. NIP: 150231347

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2006

Page 3: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi yang berjudul Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik

Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan telah diujikan dalam siding

munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 November 2006. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam Program

Strata I (SI) pada Jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 27 November 2006

Sidang Munaqasah,

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag. NIP. 150262447 NIP. 150254185

Anggota,

Penguji Pembimbing,

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Drs. Fakhruddin, M.Ag. NIP. 150240483 NIP. 150231347

Page 4: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

KATA PENGANTAR

Sejak Isaiah Berlin diperkenalkan kepada publik Indonesia melalui

terjemahan karya terkenalnya, Four Essays on Liberty, oleh Freedom Institute dan

LP3ES, Berlin telah menjadi daya tarik yang sangat kuat bagi perkembangan

intelektual penulis. Daya tarik terhadap Berlin mendapat dukungan dari bidang ilmu

yang penulis geluti di Jurusan Aqidah Filsafat UIN Jakarta, di samping memang

penulis memiliki minat terhadap kajian filsafat politik secara umum. Diterimanya

tema skripsi ini sekaligus sebagai legitimasi bagi penulis untuk mengembangkan

pemikiran ini lebih jauh.

Kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini, perkuliahan di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta secara umum, adalah karunia yang sangat

besar. Selama kurang lebih enam tahun, penulis berinteraksi dengan banyak kalangan

di kampus UIN tercinta juga dengan pelbagai komunitas di seputar Jakarta dan

Yogyakarta. Pelbagai kalangan dan komunitas itulah, baik langsung maupun tidak,

telah memberikan banyak inspirasi kepada penulis untuk mengangkat tema dan

menyelesaikan penulisan tugas akhir perkuliahan di UIN ini. Penulis menghaturkan

banyak terima kasih kepada Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Prof. Dr.

Amsal Bachtiar, beserta jajarannya yang telah begitu banyak membantu penulis

dalam menempuh dan menyelesaikan perkuliahan di UIN Jakarta. Terima kasih juga

kepada Bapak Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Drs. Agus Darmaji, M.Fils., dan

Sekretaris Jurusan, Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag., yang mau menyibukkan diri

Page 5: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

melayani penulis selama penyelesaian akhir perkuliahan di UIN. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ketua dan Sekretaris Jurusan AF yang lalu,

Drs. Syamsuri, M.Ag. dan Drs. Masri Mansur. Bapak Pembimbing, Drs. Fakhruddin,

M.Ag., yang dengan segala perhatian dan ketekunan membaca dan memberi catatan-

catatan terhadap skripsi penulis, terima kasih banyak.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan Forum Mahasiswa

Ciputat (Formaci), tempat penulis mengenal dunia yang sebenarnya. Kawan Zezen

(terima kasih atas printer gratisnya), Herman, Seif, Ridwan, Adry, Akib, Didi, Bre,

Agus, Zaim Rofiqi, Husni, Hudri, Acun, Fa’at, Soleh, Mustafa, Nugie, Evi, Reza,

Gyn, Ajid, Ilham, Linda, Ayi, Yayang, Hafni, Hanif, Bana, Mahmudin, Nana,

Syukron, Iqbal, Biyah, Towik, Nanang, Muhammad Ja’far dan kawan-kawan

Formaci lainnya yang begitu banyak, kalian semua adalah teman yang baik. Penulis

juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan saya di pelbagai organisasi:

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan BEM UIN 2004, Mujahid, Eky, Apep,

Faisal, Amel, Risha, Uep, Muhajir dan yang lainnya, juga kawan-kawan di Teater

Altar, Forkot, PMII, IMM, teater Syahid dan lain-lain. Ucapan terima kasih juga buat

kawan-kawan di Jaringan Islam Liberal Kampus (lembaga pertemuan ide kaum muda

Islam liberal seluruh Indonesia), kawan Slamet Thohari, Hatim Ghazali dan lain-lain.

Teman-teman AF angkatan 2000 juga banyak berjasa kepada penulis, merekalah

kawan-kawan perdana penulis di UIN Jakarta.

Terima kasih juga patut saya sampaikan kepada kawan-kawan saya sesama

perantauan: kawan-kawan saya seangkatan dari MAKN Makassar, Echa, Nahar dan

Page 6: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Adlan; kawan-kawan alumnus Ponpes DDI Mangkoso dan MAKN Makassar, Muid,

Adlan Nawawie, Syahrullah, Syawaluddin dan lainnya; serta kawan-kawan dari

Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Penulis bersyukur bisa berinteraksi dengan pelbagai komunitas: Komunitas

Utan Kayu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Freedom Institute, Lembaga Survey

Indonesia (LSI), PPIM UIN Jakarta, INCIS, Kapal Perempuan dan terutama Lembaga

Studi Agama dan Filsafat (LSAF), tempat penulis beraktivitas saat ini. Ucapan terima

kasih juga kepada person-person di pelbagai komunitas di atas yang berinteraksi

secara pribadi dengan penulis: Saiful Mujani (intelektual-peneliti yang banyak

memberi dukungan dan berlaku layaknya kakak yang sangat penyayang), Ahmad

Sahal, Nong Darol Mahmada, Neng Dara Affiah, Sirojuddin Abbas, Budhis Utami,

Anick HT, Ace Hasan Syadzily dan M. Dawam Rahardjo (orang tua yang idealis dan

bersemangat).

Ibuku terkasih, Rosni, terima kasih telah memberiku kasih sayang yang tak

terkira. Ayahku, Achmad Bora, yang tidak pernah lelah untuk mendukungku sejak

awal. Adik-adikku, Swarni, Didi Suhardi, Maman Suratman, juga almarhumah

Masniar. Dukungan keluarga ini adalah ruh bagiku untuk tetap bertahan.

Teman sejati yang kurang lebih lima tahun ini berbagi begitu banyak hal

dengan penulis, Indri Sri Sembadra, tari warna pelangiku, tudung sutra senjaku,

terima kasih. Denganmu, dunia seolah selalu mengalun bergelut senda.

Kepada semua pihak dan kawan yang membantu penulis dalam menempuh

studi yang tidak mudah ini, terima kasih untuk semuanya.

Page 7: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Ciputat, 14 November 2006

Saidiman

Page 8: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………….……………. i

DAFTAR ISI……………………………………………………..……………… iv

BAB I PENDAHULUAN…...................................................................... 1

Latar Belakang………………………………………………. 1

Batasan dan Rumusan Masalah……………………………. 12

Tinjauan Kepustakaan……………………………………… 13

Tujuan Penelitian……………………………………………. 15

Metode Penelitian…………...……………………………….. 16

Sistematika

Penulisan……………………………………….. 17

BAB II RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN………………………. 20

A. Riwayat Hidup………………………………………………. 20

B. Pemikiran……………………………...…………………….. 28

C. Karya-karya…………...…………………………………….. 34

BAB III TIGA PENGKRITIK

PENCERAHAN………………………... 37

A. Giambattista Vico…………………………………………… 37

Page 9: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

B. Johann Georg Hamann……………………………………... 43

C. Johann Gottfried Herder…………………………………… 45

BAB IV PENCERAHAN MINUS UNIVERSALISME………………… 48

A. Dua Konsep Kebebasan……………………………………… 48

B. Value Pluralism……………………………………………….. 57

C. Liberalisme Pluralis………………………………………….. 63

D. Gagasan Kebebasan dalam Islam…………………………… 69

BAB V

PENUTUP…………………………………………………………. 74

A. Kesimpulan……………………………………………………. 74

B. Evaluasi Kritis………………………………………………… 76

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………79

Page 10: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

BAB I

PENDAHULUAN

C. A. Latar Belakang

Rasanya sulit diterima nalar, bahwa serangan Israel ke Palestina dan

Libanon (2006), juga serangan Amerika Serikat ke Irak dan Afganistan (2002),

adalah misi pembebasan. Tapi juga adalah fakta bahwa berkali-kali Presiden

Amerika Serikat, George W. Bush, dan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert,

menyebut serangannya sebagai misi pembebasan.

Pasca-serangan teroris (11 September 2001) yang meruntuhkan menara

kembar World Trade Center (WTC), Amerika Serikat gencar melancarkan serangan

militer terhadap Afganistan dan Iraq, merencanakan menyerang Iran, dan mendukung

agresi militer Israel terhadap Palestina dan Libanon. Dengan dalih perluasan

liberalisme, Amerika Serikat merasa berhak melakukan pemaksaan kehendak kepada

Afganistan, Irak, dan dunia secara umum. Sebetulnya apa yang dimaksud dengan

liberalisme? Sampai batas mana ia benar-benar membebaskan? Lalu kenapa justru

kerapkali mengungkung dan memaksa? Lalu seberapa valid klaim pembebasan yang

dilakukan oleh AS dan Israel, ketika harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa

dampak perang yang mereka kobarkan demikian memilukan?

Page 11: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Pertengahan tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa

yang mengundang kontroversi, yakni tentang haramnya paham liberalisme

(kebebasan). Lagi-lagi muncul pertanyaan besar, apa sebetulnya yang salah dalam

paham liberalisme, paham yang juga dipercaya mendasari kehendak bebas bangsa

Indonesia dari penjajahan?

Salah satu pemikir yang terkenal liberal, Friedrich A. Hayek, mulai mencoba

mendefinisikan liberalisme dengan ungkapan Abraham Lincoln yang diplomatis:

“The world has never had a good definition of the word liberty, and the

American people just now are much in need one. We all declare for liberty:

but in using the same word, we do not mean the same thing…Here are two,

not only different but incompatible things, called by the same name,

liberty.”1

(Dunia tidak pernah memiliki satu definisi yang baik mengenai kata

kebebasan (liberty), dan masyarakat Amerika sekarang ini menginginkan

persatuan. Kita semua mendeklarasikan kebebasan: dengan menggunakan

kata yang sama, tapi kita tidak bermaksud sama…Di sini ada dua, bukan

hanya sesuatu yang berbeda bahkan tidak kompatibel, yang disebut dengan

nama yang sama, kebebasan.) 1 Abraham Lincoln, The Writings of Abraham Lincoln, ed. A. B. Lapsley, dikutip oleh Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty, (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), h. 1.

Page 12: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Persoalan definisi yang mengganggu Hayek di atas menemukan

penegasannya pada beragam peristiwa dunia yang dilatarbelakangi oleh konsep

liberalisme. Ide kebebasan individu dalam liberalisme ternyata telah menjadi momok

menakutkan bagi kebebasan itu sendiri. Perang Dunia I dan II adalah buah dari

liberalisme. Pembantaian kaum Yahudi pada masa Perang Dunia II adalah puncak

pembelengguan kebebasan individu oleh liberalisme. Munculnya rezim diktator

komunis di Uni Sovyet dan Cina juga adalah buah liberalisme. Mewabahnya

kemiskinan di Dunia Ketiga yang diyakini banyak orang sebagai akibat invasi

dominasi ekonomi kapitalis adalah dampak nyata liberalisme. Munculnya rezim

ultranasionalis dan politik aliran juga adalah buah perjuangan liberalisme.

Merebaknya terorisme pun tidak bisa dilepaskan dari liberalisme.

Tentu saja liberalisme juga banyak mendatangkan manfaat bagi ummat

manusia, misalnya progresifitas, kemajuan peradaban, perdamaian, demokrasi,

runtuhnya totalitarianisme, dan sebagainya. Tapi paradoks liberalisme yang terjadi

di dunia nyata tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa yang salah dalam liberalisme

yang dianut oleh banyak orang itu? Kenapa banyak contoh justru menunjukkan

bahwa liberalisme membunuh kebebasannya sendiri?

Isaiah Berlin adalah salah satu pemikir besar Abad 20 yang berusaha

mencari akar persoalan dalam liberalisme, sembari mengemukakan bagaimana

Page 13: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

mengkonseptualisasikan dan mengoperasikan paham yang bisa bunuh diri ini.

Kendati ada persoalan, bukan berarti liberalisme (kebebasan) tidak bisa

didefinisikan atau harus dibiarkan liar dan menjadi instrumen politik-ekonomi siapa

saja yang berkepentingan. Isaiah Berlin adalah salah satu tokoh yang berusaha

memperkenalkan konsep liberalisme secara genuin.

Kegelisahan Berlin berawal dari kenyataan sejarah, begaimana liberalisme

melahirkan fasisme, komunisme, politik identitas, dan Nazisme. Suatu ketika, Berlin

menulis sejarah pemikiran Karl Marx, Karl Marx: His Life and Environment.2

Sebetulnya, Marx bagi Berlin tidak begitu menarik, karena dari awal ia menentang

ide totalitariannya. Berlin terpukau ketika menemukan bahwa ide totalitarian Marx

ternyata berangkat dari tradisi pemikiran liberal Pencerahan, terutama dari filsafat

Pencerahan Perancis pada abad ke-18. Para pendahulu Marx itu adalah orang-

orang yang membuka mata dunia dengan pembebasan dari kegelapan, yakni

perlawanan terhadap dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayul, kebodohan,

dan ketertindasan.3 Dobrakan para filsuf Pencerahan diakui oleh Berlin sebagai

prestasi yang sungguh luar biasa, tetapi menimbulkan pertanyaan besar ketika ide

Pencerahan bermuara pada totalitarianisme.

Pertanyaan besar tentang muara totaliter Pencerahan inilah yang ingin

dipecahkan oleh Isaiah Berlin. Bukan berarti Berlin keluar dan menolak sepenuhnya

2 Lihat Isaiah Berlin, Karl Marx: His Life and Environment, (New York: A Galaxi Book, 1963) 3 Lihat Isaiah Berlin, The Powers of Ideas, (London: Pimlico, 2001), h. 4.

Page 14: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

ide Pencerahan, melainkan dia menjadi pengikut yang tidak penurut.4 Berlin

menyimpulkan bahwa inti kisruh Pencerahan adalah klaim universalisme yang

diembannya. Pencerahan, betapapun memperjuangkan pengejawantahan diri

individu melalui rasionalisme, tetapi ia mengklaim absolutisme dan universalisme

rasio atau kemampuan manusia. Menyandarkan segala kebenaran kepada

rasionalitas secara langsung telah melakukan klaim kebenaran absolut, sesuatu yang

sebetulnya ditolak oleh Pencerahan itu sendiri, melalui perlawanannya terhadap

klaim kebenaran absolut metafisika, agama, tradisionalisme, dan sebagainya.

Dengan demikian, Rasionalisme Pencerahan adalah bentuk baru dari Monisme.

Monisme adalah istilah untuk menyebut jenis universalisme yang

dikembangkan para pemikir sejak Yunani sampai sekarang. Monisme ditandai oleh

beberapa ciri pemikiran. Pertama, kaum monis meyakini bahwa semua pertanyaan

yang benar pastilah memiliki satu jawaban yang benar, dan hanya satu, semua

jawaban yang lain pasti salah. Jika jawaban ini tidak kita ketahui, pasti ada orang

lain yang mengetahui, generasi selanjutnya mungkin mengetahui, para nabi yang

mungkin mengetahui, atau setidaknya Tuhanlah yang mengetahui. Kedua, kebenaran

jawaban tersebut pasti bisa diketahui dengan menggunakan metode yang bisa

direalisasikan dan diajarkan kepada semua ummat manusia. Ketiga, kebenaran

4 Ahmad Sahal menggambarkan kondisi ini dengan ungkapan: "Berlin memang secara tajam melucuti universalisme Pencerahan, tapi dia tetaplah seoarang liberal. Dia, betapapun, tetaplah anak kandung yang sah dari Pencerahan, meski bukan anak yang penurut.” Lihat Ahmad Sahal, Isaiah Berlin dan Liberalisme Tanpa Universalisme, dalam Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan, (Jakarta: Freedom Institute dan LP3ES, 2004), h. X.

Page 15: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

diandaikan saling kompatibel dengan kebenaran yang lain.5 Kebenaran diandaikan

tunggal dan pasti bisa diketahui melalui berbagai macam cara yang menuju arah

yang sama: Plato percaya bahwa matematikalah jalan menuju kebenaran, Aristoteles

meyakini Biologi sebagai jalannya, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini bahwa

jalan kebenaran itu ada dalam Kitab Suci, Rousseau percaya bahwa kebenaran itu

terungkap oleh jiwa manusia yang bersih, anak yang masih suci, atau mungkin petani

biasa, dan lain-lain.6 Semua pertanyaan tentang moral, sosial, politik, pasti ada

jawaban yang benar tentangnya dan entah di mana.7

Universalisme Pencerahan memang adalah momok yang sangat menakutkan

bagi ide pembebasan itu sendiri. Universalisme Pencerahan membuat manusia

seolah-olah menjadi mesin yang bisa diarahkan oleh satu konsep tertentu yang rigid

yang terpola. Berlin menolak itu semua, sebab dunia, terutama manusia, bukanlah

benda mati yang bisa diukur dengan menggunakan pola perhitungan yang bersifat

pasti. Masing-masing individu memiliki keunikan. Berlin memulai kritiknya terhadap

universalisme Pencerahan dengan melakukan pembagian tradisi pemikiran.

Dalam buku The Hedgehog and The Fox, Berlin mengindetifikasi bahwa

dalam sejarah pemikiran, ada dunia kecenderungan utama, yakni pemikir pluralis

dan monistik. Berlin mengutip satu bait syair dari fragmen-fragmen penyair Yunani,

Archilochus, yang menyatakan: “The fox knows many things, but the hedgehog

5 Ahmad Sahal, h. xiii. Lihat juga Berlin, The Power, h. 5. 6 Berlin, The Power, h. 6. 7 Berlin, The Power, h. 8.

Page 16: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

knows one big thing” (rubah mengetahui banyak hal, sedangkan landak mengetahui

satu hal besar).8 Syair ini ingin menunjukkan bahwa segala kecerdikan rubah, yang

mengetahui banyak strategi penyerangan, bisa dikalahkan oleh satu sistem

pertahanan landak. Dalam tradisi pemikiran, oleh Berlin, syair itu diartikan bahwa

landak dan rubah adalah tipologi pemikiran: di satu sisi, ada orang yang

menghubungkan segala sesuatu kepada satu pandangan utama yang tunggal, satu

sistem yang kurang lebih bisa dicari koherensinya; di sisi lain, ada jenis pemikir

yang mengandaikan banyaknya tujuan, yang kerapkali tidak berhubungan bahkan

berkontradiksi.9 Landak adalah tipologi yang pertama dan rubah adalah yang kedua.

Berlin menulis:

“…Dante belongs to the first category, Shakespeare to the second; Plato,

Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust are, in varying

degrees, hedgehogs; Herodotus, Aristotle, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe,

Pushkin, Balzac, Joyce are foxes.”10

(“…Dante termasuk kategori pertama, Shakespeare masuk kategori kedua;

Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust, dalam

8 Dikutip oleh Isaiah Berlin, The Hedgehog and The Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History, (New York: Simon and Schuster, 1953), h. 1. 9 Berlin, The Hedgehog, h. 1. 10 Berlin, The Hedgehog, h. 2.

Page 17: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

tingkat yang berbeda, adalah landak; Herodotus, Aristoteles, Montaigne,

Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce adalah rubah.)

Berlin juga menyimpulkan bahwa tradisi pemikir Pencerahan cenderung

jatuh pada kategori pertama, landak atau monisme. Berlin kemudian mencurahkan

perhatian untuk mengembangkan jenis pemikir kedua, rubah. Berlin terutama

terpengaruh oleh tiga tokoh pengkritik Pencerahan: Giambattista Vico, Johann

Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder.

Berlin menemukan amunisi untuk menyerang Pencerahan langsung ke titik

pusatnya, ketika Vico melakukan kritik terhadap salah satu Bapak Pencerahan, Rene

Descartes. Vico mengkritik Descartes dan para pengikutnya yang menempatkan

peran vital matematika sebagai ilmu pengetahuan sains. Bagi Vico, matematika

adalah penemuan manusia, yang tentu saja tidak bisa keluar dari kemanusiaan.

Matematika, sebagai ciptaan manusia, tidak bisa objektif. Bukan matematika yang

mengetahui manusia, melainkan manusialah yang mengetahui matematika. Manusia,

oleh karenanya, hanya bisa diketahui segala detailnya oleh penciptanya, yaitu

Tuhan. Manusia hanya mungkin dipelajari dengan mengapresiasi segala motivasi,

tujuan, harapan, ketakutan, kekhawatiran, cinta, dan sebagainya yang ada pada

Page 18: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

manusia.11 Vico dengan tegas mempertahankan keunikan manusia yang tidak bisa

direduksi ke dalam pola-pola tertentu.

Dari teolog dan filsuf Königsberg, J.G. Hamann, Berlin menemukan kritikan

yang paling baik bagi tradisi rasionalisme Pencerahan. Hamann menegaskan bahwa

semua kebenaran itu partikular, tidak pernah bersifat umum. Rasio, bagi Hamann,

tidak cukup memiliki kemampuan untuk menunjukkan eksistensi segala sesuatu, dia

hanyalah alat untuk mengklasifikasi dan membawa data kepada satu pola tertentu,

yang sebetulnya tidak pernah bisa benar-benar absah sesuai dengan

realitas.12Realitas selalu memiliki kejutan-kejutan yang tak terduga. Rasionalisme

Pencerahan, bagi Hamann dan diamini oleh Berlin, mencoba membatasi sesuatu

yang sebetulnya tak pernah jelas batasnya, bahkan mungkin tanpa batas. Dari

Hamann, Berlin menyimpulkan, bahwa “what is real is individual” (apa yang riil itu

bersifat individual).13 Artinya, segala sesuatu memiliki keunikan yang selalu berbeda

dengan yang lain.

J. G. Herder juga memberi inspirasi bagi Berlin untuk menyerang

universalisme Pencerahan. Herder memperkenalkan konsep keragaman budaya,

dunia manusia, dan pengalamannya dalam sejarah. Herder percaya bahwa untuk

memahami setiap sesuatu, harusnya terlebih dahulu memahami individualitas dan

pembangunannya. Untuk itu, diperlukan kapasitas Einfühlung (feeling into atau

11 Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 246. 12 Berlin, The Proper, h. 249. 13 Berlin, The Proper, h. 250.

Page 19: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

empati) kepada pandangan, karakter individual dari satu tradisi kesenian, sastra,

organisasi sosial, masyarakat, budaya, atau tahapan-tahapan sejarah.14 Herder

menolak kriteria kemajuan absolut yang dianut di Paris15, sebab tidak ada budaya

yang benar-benar sepenuhnya bisa diterapkan kepada yang lain. Herder

mengemukakan tentang perbedaan dan keunikan masing-masing budaya, meskipun

perbedaan itu bisa disatukan dan memang mungkin. Pernyataan tentang budaya

yang satu adalah reduksi. Masing-masing budaya harus hidup dengan keunikannya,

kendatipun tetap ada prinsip yang sama. Kemanusiaan itu tidak satu, melainkan

banyak (mankind was not one but many).16 Bagi Herder, setiap prestasi manusia dan

semua masyarakat ditentukan oleh standar-standar internalnya sendiri.17

Dari sini Berlin masuk ke dalam pembahasan yang cukup paradoks, antara

konsep pluralisme dan liberalisme. Tiga pemikir yang mempengaruhi dia berada

pada jalur pluralis. Pluralisme cenderung membiarkan segala sesuatu tumbuh,

bahkan mengandaikan bahwa segala sesuatu selalu berbeda, yang sangat mungkin

saling berbenturan. Berlin juga tidak ingin jatuh ke dalam relativisme sempit.

Tepatnya, Berlin adalah seorang pluralis liberal. Penulis biografi pemikiran Isaiah

Berlin terkemuka, John Gray, menyebut Berlin bergerak di antara pluralisme dan

14 Berlin, The Proper, h. 253. 15 Paris diyakini sebagai pusat pemikiran Pencerahan. 16 Berlin, The Power, h. 9. 17 Berlin, The Proper, h. 255.

Page 20: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

liberalisme.18 Pluralis karena ia mengandaikan keragaman kebenaran, tapi juga

liberal karena ia mengandaikan kebebasan individu harus selalu terpenuhi.

Untuk menjernihkan posisi liberalismenya, Berlin menulis esai panjang, Two

Consepts of Liberty.19 Dalam esai “Two Consept of Liberty,” Berlin mengemukakan

dua konsep kebebasan yang bertolak belakang. Pertama, konsep kebebasan positif

(positive liberty) dan kebebasan negatif (negative liberty). Positive liberty diartikan

sebagai kebebasan yang mengarah ke luar. Jenis kebebasan ini adalah adopsi dari

nalar Pencerahan yang menempatkan rasionalisme sebagai unsur terpentingnya.

Sementara itu, negative liberty diartikan sebagai terbebasnya seseorang dari

halangan-halangan. Dalam kebebasan negatif, individu menjadi tuan bagi dirinya

sendiri.

Pada akhirnya, kebebasan positif dikenai beban moral untuk melakukan

ekspansi kebebasan. Kebebasan harus disebarluaskan demi tercapainya sebuah

kehidupan yang baik. Persoalannya, bagaimana mendefinisikan kebaikan itu sendiri?

Bagi penganut kebebasan positif, prinsip kebebasan bertumpu kepada rasionalitas.

Masalahnya, apa yang kita sebut sebagai rasionalitas, atau keberakalan, ternyata tidak

tunggal. Dari sinilah kemudian muncul keyakinan monistik, bahwa pasti ada satu

kebenaran rasio yang mengatasi kebenaran rasio yang lain yang beragam. Perbedaan

dalam tingkat rasionalitas bukan karena kebenaran itu beragam, melainkan tingkat

18 Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1996), h. 143. 19 Esai itu juga menjadi ceramah Berlin di Universitas Oxford pada tahun 1958. Lihat Isaiah Berlin, Empat Esai, h. 227 – 301.

Page 21: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

capaian rasiolah yang beragam. Dalam hal ini, tingkat yang lebih tinggi bisa

memberikan penerangan terhadap yang lebih rendah. Kerapkali hanya karena

kurangnya pengetahuan, orang tidak menyadari kebutuhan dan kepentingannya. Atas

dasar ini, pemaksaan atas dasar kebebasan dijustifikasi. Dengan demikian,

sebagaimana diakui oleh Berlin, totalitarianisme ternyata tidak berasal dari konsep

lain, ia justru berasal dari konsepsi kebebasan itu sendiri. Atas nama pembebasan dan

kebaikan umum, Hitler membantai jutaan orang.

Sementara itu, konsep kebebasan negatif tidak berpretensi untuk mencari

siapa yang menindas kebebasannya, melainkan sejauh mana ia dikontrol. Orang bisa

dikatakan bebas ketika semakin banyak hal yang dia bisa kerjakan secara bebas dan

di luar kontrol orang lain. Konsep ini mirip dengan konsepsi kuno mengenai hidup

zuhud, bahwa orang akan semakin bebas ketika ia mampu meredam sebanyak

mungkin keinginannya. Keinginan adalah sumber penderitaan. Oleh karenanya,

kebebasan sempurna adalah ketika seseorang telah mati.20 Berlin tentu tidak

memaksudkan kehidupan seperti ini dengan konsepsi kebebasan negatifnya. Sebab

apalah artinya hidup tanpa keinginan.

Model kebebasan negatif Berlin sekaligus meneguhkan bahwa dia adalah

seorang liberal dan penganut setia Pencerahan, tapi tanpa universalisme. Liberalisme

negatif Berlin juga menjadi bantahan serius terhadap model liberalisme yang

dikembangkan para pendahulunya, seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan

tentu saja Imanuel Kant. Landasan rasionalitas yang menjadi tumpuan konsep 20 Berlin, The Power, h. 15.

Page 22: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

liberalisme Kant jelas tertolak melalui penjelasan di atas, bahwa rasionalitas tidak

bisa dipakai sebagai ukuran satu-satunya bagi kebenaran, ia bisa sangat menindas.

Bentham mendefinisikan kebebasan sebagai tiadanya halangan untuk terpenuhinya

hasrat manusia. Dengan demikian, bagi Bentham, manusia akan semakin bebas ketika

hasratnya dikurangi. Konsepsi seperti ini ditentang oleh Mill, yang menganggap

bahwa kebebasan justru adalah terpenuhinya kapasitas individu untuk memenuhi

segala hasrat yang ia inginkan.21

Kritikan Berlin terhadap dua pemikir utilitarian itu adalah karena

dicantumkannya tujuan dalam konsep liberalisme mereka. Tujuan yang dimaksud

adalah terpenuhinya hasrat bagi Bentham atau kemaslahatan bagi Mill. Liberalisme

bertujuan atau positif liberty mengandaikan bahwa liberalisme penting bukan pada

dirinya sendiri, melainkan adalah instrumen bagi kepentingan yang lain, yakni utility.

Melalui negative liberty, Berlin ingin menegaskan bahwa liberalisme atau kebebasan

penting pada dirinya sendiri. Di sinilah Berlin menjadi penganut liberalisme dan

Pencerahan sejati dengan menganulir tendensi universalisme di dalamnya.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berangkat dari pendahuluan di atas, penulis menemukan hal menarik dalam

pemikiran Isaiah Berlin. Berlin mengembangkan konsep baru mengenai kebebasan

untuk membersihkan proyek Pencerahan dari tendensi universalisme dan

totalitarianisme. Tulisan ini akan masuk ke dalam persoalan pokok dalam pemikiran 21 Lihat Rirhard Bellamy, Rethinking Liberalism, (London: Pinter, 2000), h. 26.

Page 23: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Berlin, yakni bagaimana memformulasikan konsep kebebasan tanpa harus mematok

diri pada rasionalitas yang menindas.

Penulis akan membatasi tulisan ini pada kritika utama Berlin terhadap

universalisme Pencerahan. Dengan demikian, penulis tidak akan terlalu jauh

mengemukakan semua bentuk pemikiran Berlin, seperti kajian-kajian sejarahnya,

yang sebetulnya juga begitu dominan dalam karya-karya Berlin. Untuk itu, beberapa

hal yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan ini adalah: pertama,

pandangan Berlin mengenai konsepsi Pencerahan secara umum; kedua, konsep

kebebasan menurut Berlin; ketiga, tawaran pluralisme sebagai kritik terhadap

universalisme Pencerahan; dan keempat mengenai posisi kritis Berlin ketika

berhadapan dengan konsep liberalisme dan pluralisme. Untuk lebih memperjelas,

penulis akan menyinggung beberapa percikan pemikiran lain yang berkaitan dengan

tema ini, terutama dari para tokoh yang berpengaruh kepada pemikiran Berlin.

Secara ringkas, tulisan ini ingin menjawab rumusan pertanyaan: pertama,

bagaimana Berlin mendefinisikan Pencerahan, hubungannya dengan konsep

monisme? Kedua, bagaimana Berlin bergerak di antara dua ekstrim: tendensi

monistik dalam liberalisme dan tendensi relativis dalam pluralisme? Rumusan

pertanyaan di atas akan menjadi titik soal penulis dalam keseluruhan pembahasan ini.

Page 24: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

C. Tinjauan Kepustakaan

Isaiah Berlin adalah pemikir yang terkenal melalui karya-karya sejarah

pemikirannya. Berlin mendokumentasi sejarah pemikiran dengan sangat baik, terutama

karena ia memberikan gambaran yang cukup jauh terhadap implikasi pemikiran maupun

asal muasal pemikiran dari pemikir yang ia kaji. Tokoh seperti Karl Marx dan Leo

Tolstoy menjadi begitu berbeda di tangan Berlin. Karl Marx digambarkan sebagai hasil

eksperimen filsafat Pencerahan yang pada mulanya memperjuangkan individualisme,

sesuatu yang kemudian bertentangan dengan pemikiran Marx yang memperjuangkan

kolektivisme. Di tengan Berlin, Leo Tolstoy menjadi pemikir Sovyet yang anti filsafat

Pencerahan tetapi juga tidak tunduk kepada komunisme Sovyet.

Dari pemikiran seperti ini, Berlin menjadi inspirasi bagi banyak pemikir

kontemporer khususnya mereka yang bergelut dalam tema-tema seperti liberalisme,

pluralisme dan multikulturalisme. Berlin juga memicu kontroversi pemikiran antara

liberalisme dan pluralisme. Berlin termasuk pemikir yang mengawali penemuan cacat

di dua pemikiran yang sedang digemari pemikir kontemporer tersebut. Ada beberapa

karya yang penulis temukan yang menjadikan konsep Berlin mengenai liberalisme

dan pluralisme sebagai landasan pemikirannya. Penulis-penulis itu antara lain adalah

John Gray, Isaiah Berlin, yang membahas secara detail tentang implikasi relativis

dari pemikiran pluralisme Berlin; William A. Galston, Liberal Pluralism, menulis

tentang implikasi konsep Berlin mengenai value pluralism terhadap praktik dan teori

politik; George Crowder, Liberalism and Value Pluralism, menulis tentang konsepsi

Page 25: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Berlin mengenai liberalisme dan pluralisme yang menuguhkan bahwa Berlin

bukanlah seorang relativis, melainkan pluralis yang liberal; Richard Bellamy,

Rethinking Liberalism, membahas kisruh antara pemikiran Berlin, John Struart Mill

dan T. H. Green mengenai konsep liberalisme; juga banyak esai-esai tentang

pemikiran Berlin yang ditemukan di pelbagai jurnal.

Sayangnya, penulis tidak menemukan satu karya utuh mengenai pemikiran

Berlin di Indonesia. Penulis hanya menemukan satu terjemahan karya Berlin berjudul

Four Essays on Liberty yang kemudian diterjemahkan menjadi Empat Esai

Kebebasan oleh A. Zaim Rofiqi dan diterbitkan oleh Freedom Institute dan LP3ES

tahun 2004. Penulis juga hanya menemukan satu esai yang ditulis oleh Ahmad Sahal

yang berjudul Isaiah Berlin dan Liberalisme tanpa Universalisme di Harian Kompas

tahun 2004, yang sekaligus dijadikan pengantar dalam buku terjemahan yang telah

disebutkan di atas. Sejauh pengetahuan penulis, memang tidak ada lagi karya

berbahasa Indonesia yang membahas pemikiran Isaiah Berlin selain yang telah

disebutkan di atas.

Kelangkaan buku berbahasa Indonesia yang membahas karya Isaiah Berlin ini

pulalah yang sedikit menyulitkan penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat

terbantu sebab beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Sekolah Tinggi Filsafat

Driyarkara, Perpustakaan Freedom Institute dan Perpustakaan CSIS menyediakan

buku-buku Isaiah Berlin maupun pemikiran tentang liberalisme dan pluralisme

dengan sangat lengkap. Perpustakaan-perpustakaan itu tidak hanya menyediakan

Page 26: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

buku, melainkan juga jurnal-jurnal ilmiah yang membahas perdebatan mutakhir

mengenai tema yang sedang penulis kerjakan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum

mengenai pemikiran Isaiah Berlin, khususnya konsep liberalisme, pluralisme serta

objek kritikannya terhadap universalisme Pencerahan. Di samping itu, penulis juga

ingin memperkenalkan lebih jauh pemikiran Isaiah Berlin ke publik intelektual

Indonesia. Penulis menyadari bahwa pemikir seperti Isaiah Berlin belum terlalu terkenal

di Indonesia, dilihat dari minimnya pemikiran Berlin yang menjadi objek kajian

intelektual Indonesia. Melalui tulisan ini, penulis juga ingin mengajak berbagai kalangan

untuk mengkaji liberalisme dan pluralisme yang kerapkali diperdebatkan secara tidak

proporsional dan keluar dari konteks pemikiran itu sendiri.

E. Metode Penelitian

Sebagaimana lazimnya sebuah kajian filsafat, apalagi itu menyangkut

percikan pemikiran dari salah satu tokoh, kajian ini murni menggunakan penelitian

kualitatif dengan metode studi pustaka. Studi pustaka yang dimaksud meliputi

pengumpulan informasi, baik dari buku, majalah, koran, jurnal, makalah-makalah,

maupun informasi-informasi yang sifatnya personal dengan narasumber ternama.

Pengumpulan bahan-bahan pustaka itu meliputi pustaka primer dan sekunder. Penulis

Page 27: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

tidak menutup kemungkinan memperoleh informasi dari manapun, termasuk bahan-

bahan diskusi di berbagai forum, sebab buku-buku mengenai Isaiah Berlin yang

beredar di Tanah Air demikian minim sehingga butuh usaha ekstra untuk

mengumpulkan segala informasi tersebut.

Bahan-bahan yang terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan

metode analisa deskriptif analitis. Deskriptif analitis digunakan sebagai instrumen

untuk menggambarkan fokus penelitian sambil mengajukan posisi kritis peneliti.

Penulis tidak berpretensi untuk untuk melakukan kajian kausalitas, yakni mencari

secara lebih jauh kenapa pemikiran ini muncul, melainkan sekedar memaparkan

bagaimana pemikiran ini apa adanya. Di samping itu, penulis juga tidak mau terjebak

dalam belenggu pesona pemikiran Isaiah Berlin, tetapi lebih jauh mengambil posisi

kritis.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memenuhi sistematika standar penulisan, tulisan ini akan dimulai dengan

Bab I, Pendahuluan. Di Bab I, penulis mengurai latar belakang persoalan yang ingin

dikemukakan penulis dalam tulisan ini. Bab ini juga akan mengemukakan Rumusan dan

Batasan masalah, Tinjauan Kepustakaan, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan. Bab ini penting untuk mengurai secara umum keseluruhan isi

tulisan. Pembahasan umum diperlukan agar tercipta pengetahuan yang utuh mengenai

keterkaitan antara satu bagian dengan bagian lain di dalam tulisan ini.

Page 28: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Bab II akan bicara tentang riwayat hidup, pemikiran, dan karya-karya Isaiah

Berlin. Bab ini penting untuk mengetahui konteks kehidupan Berlin di mana ia

melahirkan pemikirannya. Bab ini akan menunjukkan bahwa pemikiran Berlin benar-

benar memiliki akar dalam perjalanan hidup Berlin, termasuk dengan pilihan-pilihan

hidup yang ia ambil. Di samping itu, Bab ini akan menjadi semacam sarana untuk

menunjukkan konteks sosial di mana pemikiran Berlin muncul. Sebelum membahas

lebih jauh pemikiran Berlin, bagian penting diajukan menjadi Bab II karena akan

memberikan konteks bagi pemikiran Berlin.

Pada Bab III, penulis akan mengurai sekelumit pemikiran tiga tokoh yang sangat

berpengaruh dalam pemikiran Berlin. Ketiga tokoh itu adalah Giambattista Vico, Johann

Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder. Ketiganya, menurut Berlin, adalah

pengkritik Pencerahan yang paling utama. Vico dan Hamann adalah pengkritik utama

Pencerahan yang langsung menggugat klaim kebenaran rasional dan semua fondasi

logika yan diandaikan oleh Pencerahan. Herder kemudian akan melakukan gugatan

terhadap implikasi logika Pencerahan pada interaksi budaya. Bab ini mendahului

pembahasan mengenai inti pemikiran Berlin yang dibahas dalam tulisan ini sebagai

semacam konteks geneologi pemikiran yang muncul pada diri Berlin.

Bab IV berisi konsep utama Isaiah Berlin mengenai kebebasan. Bab ini akan

menunjukkan bagaimana kepiawaian Berlin mencari konsep baru mengenai kebebasan

(liberalisme) untuk menyerang konsep kebebasan lama yang dianut oleh Imanuel Kant,

Bentham, John Struart Mill, dan para pengikutnya. Di Bab ini juga akan dibahas konsep

value pluralism yang menjadi instrumen Berlin menolak universalisme Pencerahan dan

Page 29: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

tradisi berpikir monis secara umum. Pada bagian ketiga dari Bab ini, penulis mencoba

mengajukan penyelesaian pengenai perdebatan tentang bagaimana Berlin

memposisikan liberalisme dan pluralisme dalam konsepsinya, dan sebetulnya Berlin

berada pada posisi mana pada dua perdebatan besar itu. Di Bab ini, penulis mencoba

memberikan beberapa jawaban terhadap keraguan banyak komentator terhadap

validitas semua konsep Berlin dalam upayanya menyerang universalisme Pencerahan.

Sengaja pembahasan inti pemikiran Berlin ini ditempatkan pada Bab IV, setelah

pendahuluan, riwayat dan percik pemikiran tiga tokoh pengkritik Pencerahan yang

melandasi pemikiran Berlin secara umum, untuk memberikan semacam keterangan

bagaimana Berlin mengajukan gugatan terhadap universalisme Pencerahan. Di akhir

bab ini, dikemukakan sekelumit gagasan kebebasan yang berkembang dalam pemikiran

pemikir Islam. Tentu saja penjelasan pada bagian ini tidak terlalu detail, sebab penulis

hanya ingin menunjukkan bahwa gagasan kebebasan individu yang diperjuangkan oleh

Berlin, kendatipun kerapkali terlihat tidak konsisten dan dilematis, sebetulnya gagasan

telah muncul dan diterapkan dalam pemikiran Islam liberal, yang juga bermuara pada

penolakan terhadap absolutisme dan otoritarianisme. Bagian ini tentu bisa

dikembangkan lebih jauh, tetapi penulis sengaja membatasinya, karena pembahasan ini

memang berfokus kepada pemikiran Isaiah Berlin. Bagian ini hanya untuk memberikan

satu contoh bagaimana gagasan itu diterapkan dalam kondisi riil masyarakat tertentu.

Tulisan ini akan diakhiri dengan Bab Penutup. Pada Bab ini, penulis mencoba

mencari benang merah dari semua perdebatan yang ada dalam pemikiran Berlin

mengenai konsep kebebasan dan kritiknya terhadap universalisme Pencerahan. Di

Page 30: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

samping itu, penulis juga memberikan beberapa saran dalam membaca pemikiran

Berlin.

Page 31: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

BAB II

RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN

A. Riwayat Hidup

Isaiah Berlin dikenal sebagai pemikir yang berdiri pada posisi kritis antara

monisme dan pluralisme. Kendati ia menaruh perhatian serius kepada pluralisme, tapi

ia tidak pernah benar-benar meninggalkan monisme. Itulah sebabnya, pluralisme

yang dianut oleh Berlin adalah pluralisme yang tidak terjebak kepada relativisme atau

nihilisme. Banyak komentar yang meneguhkan posisi Berlin tersebut, sebagai pluralis

yang bukan relativis. Penegasan banyak komentator itu dilatarbelakangi oleh

kesalahpahaman sejumlah kalangan yang menganggap Berlin adalah seorang

relativis.

Di usia 88 tahun, Isaiah Berlin meninggal dunia di Oxford, Inggris, 6

November 1997. Kepergian Berlin meninggalkan luka, ia adalah seorang filsuf dan

sejarawan ide yang merekam dengan baik perkembangan dan masa depan intelektual

Barat. Berlin bahkan bisa dikatakan sebagai ensiklopedi pemikiran. Berbagai karya

dan buah pemikiran pelbagai tokoh begitu hidup di tangan Berlin.22

Berlin lahir dari keluarga Yahudi di sebuah apartemen bernama Albertsrasse,

lantai 4, di pinggiran ibu kota Latvia atau Livonia, Riga, 6 Juni 1909. Silsilah keluarga

22 Lihat Michael Ignatief, Isaiah Berlin: A Life, (New York: Henry Holt and Company, 1988), h. 10.

Page 32: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Berlin berasal dari Chabad Hasidim, yang sekarang disebut sebagai Lubavich. Keluarga

Berlin adalah kaum Yahudi yang taat, terutama kakeknya. Awalnya, kelahiran Isaiah

Berlin tidak terlalu diharapkan. Ibu Isaiah Berlin, Mussa Marie Berlin, sebelumnya

mengalami trauma ketika ia melahirkan anak pertama tahun 1907, anak itu meninggal.

Ibu Berlin bahkan dikatakan tidak akan mungkin melahirkan lagi. Religiusitas keluarga

Berlin tampak ketika ibunya mengandung. Di tengah kepanikan akan bahaya

melahirkan, keluarga Berlin selalu mengunjungi rumah ibadah untuk berdo’a agar

proses melahirkan tidak membawa bencana. Mereka juga menjadikan kisah-kisah Bible

sebagai pegangan.23

Livonia pada masa itu adalah salah satu provinsi imperium Tsar Rusia. Riga

adalah kota yang unik, ia masuk wilayah Imperium Rusia, tapi secara budaya dekat

ke Jerman. Warga Riga berkebangsaan Rusia, tapi menggunakan bahasa Jerman.24

Irisan dan pertemuan antar budaya membaur dalam keramaian kota. Riga juga

menjadi salah satu pusat pengembangan gereja atau catedral Ortodox. Di kota dengan

budaya yang unik inilah Berlin menghabiskan masa kecilnya, sampai akhirnya ia

pindah ke Andreapol tahun 1915.Berlin mengalami pahitnya berada di kota

perbatasan ketika Rusia dan Jerman meningkatkan kekuatan militer, saling

mengancam, dan akhirnya Jerman menduduki Livonia pada tahun 1914, ketika Berlin

berusia 5 tahun.25

23 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 10 24 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 11. 25 Situasi perang dan eskalasi politik global bisa dibaca secara lebih detail dalam Ignatief.

Page 33: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Masa-masa itu adalah pergolakan revolusi Rusia. Berlin tumbuh di tengah

pergolakan revolusi. Kelak ia akan menjadi penetang komunisme yang sangat cerdas.

Tahun 1917, ketika revolusi Rusia benar-benar dimulai untuk pertama kalinya,

Berlin, sebagaimana keluarga yang lain, mengalami guncangan dan harus

menyelamatkan diri. Situasi buruk itu diperparah oleh invasi Jerman yang telah

menjadi sangat anti-Semit. Berlin kemudian dibawa serta keluarganya pindah ke

Petrograd.

Pelajaran pertama tentang agama diperoleh Berlin ketika ia masuk sekolah

Hebrew, sebuah sekolah untuk anak-anak Yahudi. Di sekolah ini, Berlin secara serius

mengikuti pelajaran tentang agama dan budaya Yahudi. Dari para rabbi, Berlin

mendengarkan tulisan-tulisan dalam bahasa asli Hebrew. Suatu ketika, rabbi

mengatakan, “anak-anak sekalian, ketika kamu beranjak dewasa, kalian akan

menyaksikan bagaimana setiap lembar tulisan ini adalah darah dan airmata Yahudi.”

Bertahun-tahun kemudian Berlin akan mengatakan bahwa kaum Yahudi memang

diliputi oleh trauma darah dan airmata.26 Di sekolah pertama ini, Berlin sudah

membaca War and Peace dan Anne Karenina karya Leo Tolstoy, pemikir dan

sastrawan yang pemikirannya diidentikkan dengan pemikiran Berlin.

Karena situasi yang selalu tidak bersahabat, bahkan cenderung mengerikan,

bagi kaum Yahudi, keluarga Berlin kemudian berusaha pindah ke London, Inggris.

London menjadi pilihan karena di kota ini, kaum Yahudi tumbuh subur dengan aman.

3 Februari 1921, keluarga Berlin benar-benar pindah ke kota kecil di pinggiran 26 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 21.

Page 34: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

London, Surbiton, tepatnya di St James Road. Berlin kemudian melanjutkan sekolah

di Arundel House School di Surbiton. Di London, keluarga Berlin hidup berpindah-

pindah. Tahun pertama, keluarga penuh cerita ini berpindah tempah sebanyak tiga

kali: St James Road, Surbiton; 8 Barrylands Road, Surbiton; dan Effingham Road,

Long Ditton, Surrey.27

Angan-angan keluarga Berlin tentang London yang damai dan ramah kepada

Yahudi ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Berlin bersusah payah

menyesuaikan diri dengan budaya dan bahasa yang relatif baru tersebut. Kendatipun

di Petrograd Berlin telah lulus bahasa Inggris, ia tetap kesulitan ketika harus

menggunakan bahasa tersebut sehari-hari di lingkungan yang berbahasa Inggris asli.

Bahasa Inggris Berlin yang tidak memadai itu kerapkali menjadi bahan cemoohan

teman-teman Berlin. Tapi lambat laun, Berlin berhasil mengatasi rasa inferior. Suatu

ketika Berlin diejek oleh teman-temannya dengan sebutan “dirty jew”, ia menjawab

dengan rasa percaya diri, “no, dirty German,”28

Pada musim gugur 1928, Berlin pindah ke Oxford. Kota ini kemudian akan

menjadi sangat berarti bagi Berlin. Berlin menyebut Oxford sebagai kota

pembebasan. Kota ini memperkenalkan Berlin kepada dunia yang sebenarnya. Berlin

mulai harus belajar berdansa dan bergaul dengan banyak kalangan. Tahun 1920-an

adalah tahun emas bagi para homoseksual. Berlin menyimak Harold Acton membaca

Sea and Sardinia karya D.H. Lawrence dalam sebuah ‘very oily, buttery voice dan

27 Ignatief, Isaiah Berlin. 28 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 40.

Page 35: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

sedang tenggelam dalam permainan erotik homo. Berlin pun bergaul dengan dunia

homoseksualitas ini. Pada masa itu, homoseksualitas adalah style dan menjadi

semacam bentuk perlawanan terhadap anti-intelektualisme di sekolah-sekolah

publik.29

Tahun 1930, Berlin semakin jauh masuk ke dalam pergaulan intelektual di

mana ia menjadi editor Oxford Outlook, sebuah penerbitan mahasiswa. Sekitar tahun

itu pula, Oxford menjadi pusat perhatian dunia filsafat. Di sana muncul nama-nama

terkenal seperti Bertrand Russell dan Wittgenstein. Bukan hanya intelektualisme, tapi

juga kesenian menjadi semacam instrumen Berlin untuk melakukan perlawanan

terhadap kampanye anti-Semitisme yang dilancarkan Nazi Jerman. Di Oxford

Outlook, Beethoven dan Schubert menjadi musik perlawanan. Berlin sendiri sangat

terpukau kepada Bach, Mozart, Beethoven, Schubert, Rossini, dan Donizeti.

Kecintaan Berlin kepada musik piano pertengahan abad ke-19, membuatnya tidak

mudah untuk berpaling dari tokoh seperti Wagner. Berlin kagum kepada Wagner,

meskipun ia tidak sepakat dengan gagasan kekerasan dan hasrat seksualnya.30

Sebagaimana umumnya diketahui, Wagner adalah musikus yang menginspirasi

Nietzsche. Sementara Nietzsche dipahami sebagai sumber idiologi totaliter NAZI.

Hari-hari selanjutnya dilewatkan Berlin di sebuah lembaga pendidikan yang

bernama All Soul College. Berlin mendaftar ke All Soul tahun 1932. Sebagai seorang

Yahudi, Berlin tidak cukup percaya diri untuk masuk ke All Soul. Teman-teman

29 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 43. 30 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 55.

Page 36: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

dekat Berlinlah yang meyakinkan bahwa All Soul adalah salah satu pilihan terbaik.

Teman-teman Berlin di All Soul memanggilnya Shaya, nama kecil Berlin yang

diambil dari Isaiah.

Darah keluarga Yahudi yang saleh ternyata tetap diwarisi secara kreatif oleh

Berlin. Kendati ia bergaul secara bebas, Berlin tidak pernah benar-benar meninggalkan

kesalehan sebagai seorang Yahudi. Identitas Yahudi yang masih dipegangnya

barangkali sebagai akibat dari represi terhadap kaum Yahudi ketika itu. Berlin bahkan

menjadi pengikut Zionis, sebuah sekte Yahudi yang memperjuangkan berdirinya negara

Israel di Palestina. Kendati Berlin mengaku sebagai Zionis, dia menolak anggapan

umum bahwa seluruh hidupnya diabdikan kepada kelompok ini. Berlin sendiri masih

bingung dengan mitos yang berkembang di kalangan kaum Zionis bahwa Palestina

yang merupakan tanah tanpa rakyat itu harus diberikan kepada rakyat tanpa tanah.

Akhirnya, Berlin memilih sebuah rekonsiliasi, bahwa tanah Yahudi di Palestina harus

menjadi awal bagi integrasi ekonomi seluruh bangsa Arab. Tapi setelah mengamati

secara bijak, ternyata pendirian negara Israel menyimpan banyak masalah yakni

munculnya sinkretisme, korupsi, dan fasisme. Tahun 1934, Berlin membatalnya

kunjungannya ke Tanah Yang Dijanjikan (the Promised Land), Palestina, ia memilih

berkunjung ke Italia.31

Dalam pengertian intelektual, Berlin dipengarhi oleh kehidupan ganda:

pertama, Rachmilievitch – sebagai pengembara, sejarahwan, yang dipenuhi oleh

literatur Rusia, Jerman, dan Yahudi, yang berada dalam kesatuan bahasa yang unik; 31 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 72.

Page 37: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

kedua, oleh kolega-kolega filosofis di Oxford – yaitu Anglo-Saxon, prosedural dan

rasionalis.32 Berlin menemukan sahabat akrab yang gagah, seorang berdarah setengah

Yahudi, A.J. Ayer, yang akrab ia panggil Freddie. Mereka berdua menjalin

persahabatan yang kompetitif selama 50 tahun. Keduanya begitu dekat, tapi juga

begitu berbeda dalam banyak hal. Perbedaan pandangan itu, misalnya, terlihat ketika

mereka mendefinisikan keyahudian yang mengalir dalam darah mereka. Bagi Ayer,

keyahudian adalah warisan atavistik dimana pemikiran rasional akan membuangnya;

sementara Berlin memandang keyahudian sebagai satu identitas yang dapat

dipertanyakan tetapi tidak pernah benar-benar bisa dibuang. Persaingan keduanya

memuncak ketika mereka berkompentisi mendapatkan tiket masuk ke All Soul, di

mana Berlin berhasil masuk, sementara Ayer tidak. Mereka berpisah: Berlin ke All

Soul, Ayer melanjutkan studi ke Vienna.33 Ayer kemudian muncul sebagai seorang

yang sangat terpengaruh positivistik, sebuah aliran filsafat yang sangat kuat di

Vienna.

Mazhab Vienna lambat laun merasuk ke dalam pemikiran Berlin. Sahabatnya,

Ayer, telah mempopulerkan doktrin-doktrin mazhab Vienna secara umum dan

terutama pemikiran Wittgenstein. Sebetulnya, Wittgenstein tidak murni menjadi

bagian lingkaran Vienna (Vienna Circle), ia menjadi begitu terkenal ketika karyanya,

Tractatus, dipublikasikan pada tahun 1921. Di semua tempat, Wittgenstein

dibicarakan. Wittgenstein menjadi bahan utama perbincangan di kafe-kafe, kendati

32 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 81. 33 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 82.

Page 38: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

tidak begitu banyak orang yang benar-benar mengerti dan pernah membaca karyanya.

Ayer dan Berlin berada di antara sekian pengagum Wittgenstein. Mereka kerapkali

mengulang-ulang diktum Wittgenstein, “whereaof one cannot speak, thereof one

must silent” (ketika seseorang tidak bisa berbicara, maka sebaiknya ia diam). Berlin

memang telah membaca Tractatus, tapi kalimat yang selalu terngiang di kepalanya

adalah “death is not an event in life” (mati bukanlah satu fase dari kehidupan).34

Di samping A.J. Ayer, sahabat lain yang begitu dekat dengan Berlin adalah J.L.

Austin. Austin terpilih masuk ke All Soul satu tahun setelah Berlin. Berlin dan Austin

melewatkan hari-harinya di All Soul bersama-sama. Mereka saling mempengaruhi, dan

kerapkali saling mengunjungi kamar masing-masing. Austin kerapkali membisikkan

sesuatu kepada Berlin:

“they all talk about determinism and say they believe in it. I’ve never met a determinist in my life, I mean a man who really did believe in it, as you and I believe than men a mortal. Have you?” 35 (mereka bicara tentang determinism dan mereka mengatakan bahwa mereka mempercainya. Saya belum pernah bertemu dengan seorang determinis dalam hidup saya, yang saya maksud adalah orang yang benar-benar mempercainya, sebagaimana kamu dan saya yang percaya bahwa manusia itu fana. Bukankah demikian?)

Kata-kata itu untuk menggambarkan komitmen mereka untuk ide tentang

kebebasan yang tak mungkin dihindarkan dalam kehidupan manusia. Pada akhirnya,

Berlin tampak berusaha menggabungkan kecenderungan pemikiran dua sahabat

34 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 83. 35 Lihat Henry Hardy (Ed.), Personal Impressions, dikutip oleh Michael Ignatief, Isaiah Berlin, h. 84.

Page 39: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

karibnya: antara positivisme logis (logical positivism) dari Ayer dan filsafat bahasa

yang skeptis dari Austin. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari di mana Berlin

terlibat aktif dalam dua arus pemikiran, antara kecenderungan universalistik dan

pluralistik, antara skeptisisme dan determinisme, antara antara kebebasan dan

ketergantungan, dan seterusnya. Semuanya itu terjadi dalam sebuah forum diskusi di

Brethrem.

B. Pemikiran

Perhatian Berlin terhadap filsafat dimulai ketika ia menjadi mahasiswa pada

akhir 1920-an dan awal 1930-an di Oxford. Saat itu memang kebanyakan mahasiswa

begitu terpesona dengan filfasat. Perhatian terhadap filsafat akhirnya membawa Berlin

kepada arus empirisme yang begitu kuat saat itu, terutama yang dibawakan oleh G.E.

Moore dan Betrand Russell. Pertama-tama, Berlin tertarik dengan konsep mengenai

dunia kebermaknaan, yang dihubungkan dengan paradigma kebenaran dan kesalahan,

pengetahuan dan opini, dan terutama mengenai kemungkinan satu preposisi dapat

diverifikasi ketika dia diekspresikan. Pandangan seperti ini dianut dan dikembangkan

oleh kelompok pemikir yang dikenal sebagai Vienna School (Mazhab Wina): mereka

adalah murid-murid Russell, antara lain Carnap, Wittgenstein, dan Schlick. Pandangan

mereka kira-kira adalah, bahwa makna sebuah preposisi adalah cara di mana ia

diverifikasi. Jika tidak ada cara dalam memverifikasi satu ungkapan, maka hal itu

bukanlah statement yang kapabel bagi analisa kebenaran atau kesalahan, tidak faktual,

Page 40: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

dan oleh karenanya tidak bermakna. Barangkali itu hanyalah ungkapan hasrat, imajinasi

sastrawi, atau ekspresi lain yang tidak layak berada dalam klaim kebenaran empiris.36

Kendatipun Berlin dipengaruhi oleh Mazhab Wina, ia tidak pernah benar-

benar menjadi pengikut setianya. Bagi Berlin, posisi Mazhab Wina berbahaya, karena

pada akhirnya semua preposisi akan dipertanyakan. Menyatakan bahwa semua angsa

itu putih adalah generalisasi yang bukan tanpa makna. Jika berpegang teguh pada

verifikasionalisme, maka keseluruhan konsep tentang angsa yang putih akan runtuh

jika ada satu saja angsa yang berwarna hitam. Semua preposisi dan kesimpulan akan

memiliki cacat verifikasional. Satu preposisi, bagi Berlin, sudah memiliki makna

sejak awal, kendatipun ada yang kurang dan ada yang sedikit lengkap.37

Sebagaimana yang telah diceritakan pada bagian awal Bab ini, Berlin juga

sempat bergaul dengan filsuf-filsuf semacam A.J. Ayer, J.L. Austin, dan Stuatr

Hampshire yang berada dalam bayang-bayang Oxford Empirisism, dan dalam

beberapa tingkat oleh Oxford Realism—yaitu kepercayaan bahwa ada dunia external

yang independen dari observasi manusia. Kendati demikian, Berlin masih percaya

bahwa pengalaman empiris adalah semua kata yang dapat diekspresikan, tidak ada

dunia yang lain. Dalam hal ini, verifikasi bukan hanya kriteria pengetahuan,

kepercayaan, atau hipotesis. Preposisi, pada dirinya sendiri, memiliki kebenaran.

Berlin juga bersentuhan dengan arus pemikiran fenomenalisme

(phenomenalism). Fenomenalisme berbicara seputar pertanyaan mengenai apakah

36 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2000), h. 2. 37 Berlin, The Power.

Page 41: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

pengalaman manusia dibatasi kepada apa yang diberikan oleh pengertian,

sebagaimana yang dipikirkan oleh filsuf Inggris, Berkeley dan Hume, ataukah di sana

ada satu entitas independen dari pengalaman. Bagi filsuf seperti John Lock dan

pengikutnya, di sana ada realitas, kendatipun tidak mungkin kita tidak bisa rasakan

secara langsung, namun ia menjadi penyebab atas pengalaman atas perasaan tersebut.

Filsuf lain menyatakan bahwa dunia eksternal adalah realitas material yang bisa

dicecap secara langsung. Pandangan semacam ini biasanya disebut sebagai realisme,

sebagai lawan dari pandangan bahwa dunia diciptakan oleh kecakapan-kecakapan

kemanusiaan, seperti akal imajinasi dan semacamnya.

Penolakan terhadap realisme ini muncul dari mereka yang disebut rasionalis

maupun idealis. Berlin menyatakan bahwa dia tidak pernah benar-benar bisa percaya

kepada semua klaim kebenaran metafisis—baik dari kebenaran kaum rasionalis, yang

dipelopori oleh Descartes, Spinoza, Leibniz dan, pada beberapa bentuk, Kant, juga

kebenaran dari penganut idealisme, yang dikomandoi oleh Fichte, Friedrich

Schellling dan Hegel.38 Dunia eksternal ini menyita perhatian Berlin: ia banyak

membicarakan dan menuliskan topik-topik ini.

Hidup Berlin yang dilatarbelakangi ancaman otoritarianisme membawanya

kepada pemikiran kontra-otoritarianisme tersebut. Ia menemukan bahwa sejarah

pemikiran Perancis berujung pada otoritarianisme. Ketika menulis buku Karl Marx:

His Life and Environment (1963), Berlin menyatakan bahwa sebetulnya bukan Marx

yang begitu menarik perhatiannya, melainkan ia ingin menginvestigasi para 38 Berlin, The Power, h. 4.

Page 42: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

pendahulu Marx, terutama pemikir-pemikir pencerahan Perancis. Berlin mengakui

dan memberikan apresiasi terhadap pemikiran Perancis yang telah melakukan

pembebasan dari kegelapan dan yang pertama kali melakukan perlawanan terhadap

dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayyul (superstition), kebodohan, tekanan,

dan semacamnya. Keberatan Berlin terhadap pemikiran Pencerahan Perancis terletak

pada konsekuensinya yang berakhir pada dogmatisme baru. Karl Marx adalah

dogmatisme baru yang lahir dari pemikiran Pencerahan Perancis.

Semasa perang, Berlin menjadi pegawai pemerintahan Inggris. Ketika ia

kembali ke Oxford untuk mengajar filsafat, ia terjebak ke dalam dua persoalan:

pertama, tentang monisme, tradisi pemikiran yang mempengaruhi semesta pemikiran

sejak Plato sampai saat itu; kedua, persoalan makna dan aplikasi pemikiran liberal.

Kedua masalah inilah yang akan mewarnai perjalanan intelektual Isaiah.

Para pemikir Pencerahan yang terpesona oleh kesuksesan ilmu pengetahuan

alam mengambil kesimpulan simplistis bahwa metode investigatif terhadap dunia luar

telah memperoleh kemenangan. Yang lain menyatakan bahwa metode saintifik adalah

satu-satunya kunci bagi pengetahuan. Saat itu, terjadi perdebatan sengit tentang

apakah metode ilmu alam bisa juga masuk ke dalam ranah kemanusiaan.39 Muncul

pemikiran bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan satu metode. Inilah dasar

monisme modern.

39 Saat itu terjadi apa yang disebut methodenstrait, perdebatan tentang metode. Perdebatan ini menyangkut tentang apakah metode ilmu alam bisa diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial.

Page 43: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Tesis umum dari kaum monis adalah bahwa semua pertanyaan yang benar

pasti memiliki jawaban satu jawaban yang benar dan hanya satu, sementara jawaban-

jawaban lain pasti salah. Pasti ada satu cara yang mengarahkan pemikir-pemikir

cemerlang untuk sampai kepada jawaban yang benar itu. Pada intinya, kaum monis

memercai satu solusi final bagi semua persoalan, baik sosial, moral, maupun politik.

Penjelasan lebih jauh mengenai monisme akan kita bahas pada Bab IV.

Pemikiran monistik, bagi Berlin, sungguh berbahaya. Dari bentuk pemikiran

inilah muncul kediktatoran dan otoritarianisme. Untuk itu, Berlin berusaha mencari

pemikiran alternatif sebagai counter terhadap tradisi monistik. Berlin kemudian

menemukan pluralisme sebagai jawaban. Pertama-tama, Berlin menggali kembali

tradisi pemikiran pluralis yang berkembang di masa-masa awal Pencerahan. Di sana,

Berlin menemukan pemikiran seperti Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder,

dan Johann Georg Hamann. Ketiga pemikir ini, oleh Berlin, disebut sebagai pemikir

pluralis murni. Giambattista Vico melancarkan serangan terhadap motode matematis

yang dikampanyekan oleh Bapak Pencerahan, Rene Descartes. Bagi Vico,

kemanusiaan tidak bisa direduksi ke dalam pengetahuan matematis. Bukan hanya

manusia, yang nota bene memiliki hasrat dan keinginan yang tak bisa ditebak,

melainkan keseluruhan alam. Pengetahuan hanya mungkin valid ketika ia berangkat

dari alasan kenapa dan bagaimana sesuatu itu ada. Pengetahuan, bagi Vico, identik

dengan penciptaan.40

40 Lihat Isaiah Berlin, Vico and Herder, dalam Isaiah Berlin, Three Critics of The Enlightenment: Vico, Haman, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 32.

Page 44: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Di samping Vico, Berlin juga membaca dengan serius pemikiran Herder dan

Hamann. Pada Herder, Berlin menemukan pemikiran yang bisa menolak tradisi

monisme. Herder mengembangkan apa yang disebut perbedaan dan keunikan masing-

masing budaya. Herder percaya bahwa setiap budaya memiliki jawaban yang

berbeda-beda terhadap satu pertanyaan utama. Bagi Herder, setiap budaya menempati

kedudukan di pusat grafitasinya masing-masing, dengan rujukan tradisi yang berbeda.

Herder menegaskan, bahwa toleransi universal memang mungkin, tapi univikasi

budaya adalah destruksi yang berbahaya.41 Sementara Hamann menunjukkan kepada

Berlin bahwa semua pengetahuan dan kebenaran adalah partikular. Rasio tak mampu

menangkap realitas secara utuh. Sebab realitas menyimpan banyak kejutan. Setiap

realitas selalu berbeda karena mereka memiliki individualitasnya masing-masing.

Yang paling riil adalah individualitas, bukan kesimpulan deduktif yang reduktif.42

Dari sinilah kemudian Berlin percaya kepada pluralisme. Teori yang muncul

dari pemahaman pluralisme ini, oleh Berlin, disebut value pluralism. Value pluralism

ingin menunjukkan bahwa adalah nilai-nilai yang beragam. Masing-masing nilai

berbeda, tidak mungkin dimusnahkan tapi juga tidak mungkin dipersatukan. Bukan

berarti Berlin kemudian jatuh ke dalam relativisme, sebab pada akhirnya Berlin akan

berdiri sebagai seorang liberal. Sebagai bentuk kritikan terhadap tradisi Pencerahan,

maka bentuk liberalisme Berlin cukup unik. Berlin menolak keras liberalisme model

Pencerahan yang universalistik (atau disebut juga sebagai pisitive liberty), melainkan

41 Berlin, The Power, h. 9. 42 Lihat Isaih Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 250.

Page 45: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

liberalisme pluralis (Berlin senang menyebut negative liberty untuk mewakili

pendiriannya ini). Posisi liberalisme Berlin yang unik, oleh John Gray, disebut

sebagai agonistic liberalisme.43 Perdebatan mengenai pluralisme dan liberalism akan

hadir secara lebih detail pada Bab V.

C. Karya-karya

Kebanyakan karya Berlin berbentuk esai panjang. Tapi karena esai-esai itu

begitu panjang, akhirnya kemudian terbit dalam bentuk buku utuh. Di antara karya-karya

Berlin itu adalah:

1. Karl Marx: His Life and Environment, ditemukan beredar pada tahun 1939.

Edisi keempat buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1978.

2. The Age of Enlightenment: The Eighteenth-Centure Philosphers (New York:

New American Library, 1956). Buku ini berisi kumpulan esai tentang uraian

karya-karya para filsuf abab ke-delapan belas.

3. Four Essays on Liberty (London: Oxford University Press, 1969). Buku ini

berisi empat esai tentang kebebasan. Esai-esai itu adalah Political Ideas in the

Twentieth Century, Historical Inevitability, Two Concepts of Liberty, dan

John Stuart Mill and the Ends of Life. Inilah satu-satunya buku Berlin yang

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Empat Esai

Kebebasan, diterjemahkan oleh A Zaim Rofiqi (Jakarta: Freedom Institute,

2004). 43 Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1996), h. 141-168.

Page 46: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

4. Vico and Herder: Two Studies in the History of Ideas (London: Hogarth

Press, 1976). Buku ini berisi dua esai yang membahas dua pemikir kontra

Pencerahan, Giambattista Vico dan Johann Gottfried Herder.

5. Russian Thinkers (London: Hogarth Press, 1978). Buku ini adalah kumpulan

esai panjang. Salah satu esai yang sangat terkenal dari Berlin di buku ini

adalah The Hedgehog and the Fox: on Tolstoy’s View of History. Esai tersebut

kemudian diterbitkan menjadi buku utuh dengan judul yang mirip, The

Hedgehog and the Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History (New York:

Simon and Schuster, 1953).

6. Concepts and Nategories: Philosophical Essays (London: Hogarth Press,

1978). Buku ini berisi kumpulan esai filosofis yang berisi gugatan terhadap

berbagai konsep filsafat, yang menurut Berlin berafiliasi terhadap tradisi

monisme, seperti verifikasinisme, empirisisme, positivisme, logika matematis,

rasionalisme dan lain sebagainya.

7. Against the Current: Essays in the History of Ideas (London: Hogarth Press,

1979). Ini adalah buku kumpulan banyak esai tentang tokoh-tokoh yang

berdiri di garis perlawanan terhadap universalisme Pencerahan. Buku ini juga

memuat satu esai mengenai Machiavellli yang diyakini oleh Berlin sebagai

salah satu tokoh yang melawan tradisi Pencerahan, di samping tokoh-tokoh

lain seperti Hamann dan Herzen.

Page 47: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

8. Personal Impressions (London: Hogarth Press, 1980). Buku ini berisi

kumpulan esai lepas tentang profil berbagai tokoh dunia, baik tokoh pemikir

maupun tokoh politik.

9. The Croocked Timber of Humanity: Chapters in History of Ideas (London:

John Murray, 1990). Buku ini juga berisi esai-esai tentang kritik terhadap

Pencerahan dan kultur pemikiran Barat.

10. The Magus of the North: J.G. Hamann and the Origins of Modern

Irrationalism (London: John Murray, 1993). Buku ini merupakan buku

sejarah pemikiran Hamann, satu tokoh yang sangat berpengaruh di dalam

perjalanan intektual Berlin.

Setelah Berlin meninggal pada tahun 1997, muncul beberapa buku yang

merupakan kumpulan esai maupun kumpulan karya Berlin. Penerbit Pimlico,

London, yang mengambil inisiatif menerbitkan kembali karya-karya dalam bentuk

yang berbeda. Kumpulan karya dan esai Berlin yang terbit setelah ia meninggal

adalah The Power of Ideas (2001), The Proper Study of Mankind (1998), The Roots of

Romanticism (2000), The Sense of Reality (1997), Three Critics of The

Enlightenment: Vico, Hamann, Herder (2000), Freedom and It’s Betrayal: Six

Enemies of Human Liberty (Princeton: Princeton University Press, 2002), dan Liberty

(Oxford: Oxford University Press, 2002).

Page 48: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

BAB III

TIGA KRITIK UNTUK PENCERAHAN

Berlin hidup di sebuah masa di mana superioritas Pencerahan, dengan

rasionalisme sebagai ujung tombaknya, sedang menunjukkan borok busuknya dengan

tampilnya Nazisme dan fasisme yang begitu mengancam peradaban dunia. Berlin

adalah anak kandung Pencerahan yang berusaha dengan sangat kritis menemukan

cacat epistemologis dari tradisi Pencerahan. Tanpa ragu, Berlin membuka kembali

risalah-risalah masa lalu yang telah dengan sangat tajam melakukan kritik terhadap

Pencerahan. Setidaknya, Berlin begitu terpukau kepada tiga pemikir kontra-

Pencerahan yang telah melakukan teoretisasi menggugat langsung kepada intik

konsep Pencerahan yang dikumandangkan para founding fathersnya. Tak ayal, tokoh

seperti Rene Descartes, Imanuel Kant dan pengikut Barat sentris menjadi para

pesakitan yang seolah tak mampu menemukan jawaban atas pertanyaan para

penggugat. Tradisi rasionalisme, empirisisme, positivisme dan saintisme merupakan

titik pusat kritikan. Tiga tokoh pengkritik Pencerahan, yang mendapat apresiasi dari

Berlin dengan sangat mencolok, adalah Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder

dan Johann Georg Hamann.

Page 49: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

A. Giambattista Vico

Gugatan utama Vico terfokus kepada klaim kebenaran subjektif yang

dideklarasikan oleh kaum Pencerahan, dalam hal ini diwakili oleh Rene Descartes.

Descartes telah mendaku menemukan satu pendasaran bagi kebenaran yang pasti

melalui apa yang dia sebut sebagai kesangsian metodis atau metode kesangsian (le

doute methodique).44 Untuk mencapai kebenaran, mula-mula kita harus meragukan

segala sesuatu. Keraguan harus ada sebab jangan-jangan semua kebenaran yang kita

andaikan adalah tipuan belaka dari semacam iblis yang begitu cerdik (genius

malignus), khayalan-khayalan yang tak berdasar, atau bahkan Tuhan itu sendirilah

yang telah menipu, bahkan tipuan itu sendiri.

Metode kesangsian menjadi penting bagi dasar kepastian adalah bahwa

dengan menyangsikan segala sesuatu, maka akan ditemukan satu kepastian, yakni

kesangsian itu sendiri. Yang pasti dari semua kesangsian adalah kesangsian itu

sendiri. Dari sana kemudian ditemukan bahwa aku yang sangsi benar-benar ada.

Semakin kita menyangsikan, termasuk menyangsikan bahwa kita sangsi, maka kita

semakin nyata. Menyangsikan adalah satu bentuk kegiatan berpikir, maka berpikir

adalah proses mengada. Descartes mengatakan je pense donc je suis atau cogito ergo

sum (aku berpikir, maka aku ada).45

44 Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 38. 45 Budi Hardiman, Filsafat Modern.

Page 50: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Descartes kemudian menemukan apa yang disebut res cogitans sebagai ide

bawaan yang melekat pada manusia sejak semula. Tapi pada kenyataannya, manusia

tidak hanya terdiri dari pikiran, melainkan juga sesuatu yang bisa diraba dan

dirasakan. Oleh karenanya, kejasmanian adalah sesuatu yang nyata. Kejasmanian ini

juga adalah ide bawaan. Descartes menyebut kejasmanian dengan istilah res axtensa.

Pada akhirnya, Descartes juga menemukan bahwa aku juga memiliki ide

kesempurnaan yang juga merupakan bawaan sejak lahir. Allah adalah ide bawaan.

Kendatipun Descartes mengakui bahwa bukan hanya res cogitans yang

menjadi ide bawaan, melainkan juga res extensa dan Allah, tetapi tampak nyata

bahwa res cogitans memiliki otoritas yang lebih tinggi. Aspek pikiran cenderung

mendominasi dalam filsafat Descartes, itulah sebabnya ia masuk dalam aliran

rasionalisme. Aliran ini berkeyakinan bahwa kebenaran pengetahuan diperoleh dari

rasio, bukan dari kenyataan di luarnya.

Pada titik inilah Vico masuk untuk melakukan gugatan terhadap Descartes.

Keyakinan Descartes pada kebenaran matematis dari realitas digugat, karena hal ini

mengabsolutkan kebenaran manusia atau subjek. Dualisme subjek-objek benar-benar

merupakan reduksi terhadap kebenaran sejati. Bagi Vico, manusia tidak serta merta

bisa mengetahui segala sesuatu dengan melakukan kesimpulan secara clear and

distinct karena realitas adalah proses yang terus berjalan.

Page 51: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Kriteria kebenaran bagi Descartes adalah sejauh klaim kebenaran itu berada

dalam kategori clear and distinct.46 Kemajuan intelektual sejati tergantung,

sebagaimana pandangan natural science, kepada reduksi atas sesuatu yang dipelajari

ke dalam clear and distinct, konsep dan keputusan yang bersifat matematis. Vico

mengatakan, jika begitu, maka para sejarawan dan ahli purbakala bisa menyampaikan

kepada kita tahun-tahun sejarah Republik Romawi hanya dengan informasi tidak

lebih dari pembantu Cicero. Inikah yang disebut science?47 Awalnya Vico menerima

pandangan semacam ini, tapi kemudian dengan sangat berani menyerangnya.

Bagi Vico, pengetahuan sempurna hanya diperoleh melalui kasus-kasus,

dalam bahasa Vico disebut per caussas. Mengetahui sesuatu secara sempurna hanya

jika, dan hanya jika, kita tahu kenapa ia ada sebagaimana adanya, bagaimana ia

datang untuk ada, untuk apa ia ada, atau apa dia, bukan semata-mata karena dia ada

dengan segala atributnya. Pemahaman tentang per caussas adalah ide kuno yang telah

ditemukan dalam filsafat skolastik.48

Dari sini kemudian Vico menghubungkan pengetahuan dengan proses

penciptaan. Francisco Sanchez, dalam Quod Nihil Scitur (1581), dalam satu diskusi

mengenai sukarnya mengetahui alam dan kekuatan jiwa, menyebutkan bahwa jika

manusia ingin memiliki pengetahuan ini dalam tingkat yang sempurna maka

46 Lihat Isaiah Berlin, Three Critics of the Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 30. 47 Berlin, Three Critics. 48 Berlin, Three Critics, h. 31

Page 52: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

hendaklah ia menjadi seperti Tuhan, atau menjadi Tuhan itu sendiri.49 Vico

mengatakan: “Kita mendemonstrasikan geometri karena kita memakainya.”50

Tuhan mengetahui dunia karena Ia yang membuatnya dengan cara dan alasan

yang hanya Ia yang tahu, sementara kita tidak pernah mengetahuinya secara

sempurna, karena bukan kita yang membuatnya – karena kita menemukannya siap

pakai – dia telah terberi sebagai sebuah ‘brute fact.’51 Hal yang sama bisa diajukan

bagi para pengarang novel, bahwa yang paling mengerti maksud dan tujuan satu

novel adalah pengarangnya sendiri. Tapi tidak semua apa yang dibuat oleh novelis

atau composer atau pematung benar-benar baru, ada saja hal yang ia ambil dari

sesuatu yang terberi. Berarti, dalam karya manusia selalu ada unsur ‘brute fact’nya.

Manusia hanya bebas menentukan pilihannya, tapi pilihan itu terbatas. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa, semakin kita memahami per caussas, maka

pengetahuan kita semakin memiliki kemungkinan benar (the more we can be said to

understand per caussas, the more we truly know).52

Thomas Hobbes dalam De Corpore mengungkapkan: “Si physica

demonstrare possemus, faceremus” (if we could demonstrate physics, we would make

it). Jika kita mampu menunjukkan kebenaran dan rahasia fisika, maka kita akan

menggunakan dan menciptakannya. Tetapi kita tidak pernah bisa, karena hanya

Tuhan yang mengetahuinya secara sempurna, dan Tuhan itu sendiri adalah kebenaran

49 Lihat Benedetto Crooce, The Philosophy of Giambattista Vico, (New York: Russel & Russel Inc, 1964), h. 4. 50 Crooce, The Philosophy.. 51 Crooce, The Philosophy, h. 32. 52 Crooce, The Philosophy.

Page 53: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

sempurna. Isaiah Berlin menyebut hal ini adalah bentuk Platonisme Kristian atau

Neoplatonisme.53 Doktrin Pencerahan mengatakan bahwa mengetahui sesuatu

haruslah menjadi dirinya, atau setidaknya mendominasinya. Bukan hanya Hobbes

yang mendukung keyakinan Vico mengenai keidentikan pengetahuan dan penciptaan,

Patrizi mengatakan: “mengetahui haruslah disatukan dengan apa yang diketahui,”

Campanella juga menegaskan: “mengetahui haruslah menjadi apa yang diketahui.”54

Tidak diragukan bahwa, dalam Vico, doktrin pengetahuan sempurna identik

dengan penciptaan. Bagi Vico, hanya Allah yang bisa mengetahui realitas dengan

sebenar-benarnya, manusia tidak bisa melakukannya, mereka tidak dapat

mengkontemplasikan (merenungkan) esensi Platonik. Vico tidak sepakat, misalnya

dengan Leonardo, bahwa akal menyingkirkan kebutuhan bagi pengalaman. Bahkan

pada dasarnya, Vico melampaui pandangan Hobbes yang mengatakan bahwa

pengetahuan matematika tidak identik dengan pengetahuan dengan dunia riil.55 Vico

terutama menolak matematika sebagai sebuah alat bagi pengetahuan terhadap alam,

fisika, dan kemanusiaan. Matemetika, bagi Vico, hanya mungkin dipakai bagi dirinya

sendiri. Vico menegaskan, “The true (verum) and the made (factum) are convertible”

(kebenaran dan penciptaan dapat dipertukarkan).56

Isaiah Berlin tidak hanya terpengaruh oleh pemikiran Vico, pemikiran itu juga

dijadikan sebagai instrumen untuk menyerang tradisi berpikir modern yang

53 Crooce, The Philosophy, h. 33. 54 Crooce, The Philosophy. 55 Crooce, The Philosophy, h. 34. 56 Crooce, The Philosophy, h. 35.

Page 54: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

universalistik. Titik berat kebenaran kepada kemanusiaan adalah reduksi habis-

habisan terhadap realitas yang memiliki beragam nuansa yang berlapis-lapis. Adanya

realitas tidak mungkin dikurung dalam kategori-kategori simplistis. Realitas memiliki

latar belakang dan motivasi keberadaan yang terlalu panjang untu disimpulkan

dengan menggunakan kategori subjektif. Dari sini Berlin juga menyerang pangkal

totalitarianisme modern yang muncul secara sangat kejam dalam bentuk Nazisme,

fasisme dan anti-semitisme. Rasionalitas yang dikembangkan Descartes telah

merambah jauh membelenggu realitas dan kemanusiaan secara umum.

B. Johann Georg Hamann

Ketika Vico melakukan gugatan terhadap tradisi Pencerahan dengan

menggoncangkannya, maka teolog dan filsuf Königsberg, Johann Georg Hamann,

telah membanting tradisi universalistik itu. Isaiah Berlin menggambarkan peran

pemikir ini dalam menyerang tradisi pencerahan dengan berapi-api:

“The most passionate, consistent, extreme and implacable enemy of the Enlightenment and, in particular, of all forms of rationalism of his time (he lived and died in the eighteenth centure) was Johann Georg Hamann. His influence, direct and indirect, upon the romantic revolt against universalism and scientific method in any guise was considerable and perhaps crucial.”57

(Musuh yang paling bernafsu, konsisten, ekstrim dan berkepala dari Pencerahan

dan, terutama, dari semua bentuk rasionalisme pada masanya (dia hidup dan

57 Lihat Isaiah Berlin, The Magus of the North: J. G. Hamann and the Origins of Modern Irrationalism, dalam Three Critics of The Enlightenment, h. 255.

Page 55: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

meninggal di abad ke-delapan belas) adalah Johann Georg Hamann. Pengaruhnya,

baik langsung maupun tidak langsung, terhadap pemberontakan romantik melawan

universalisme dan metode saintifik dalam banyak bentuk sungguh krusial).

Penegasan utama dari Hamann adalah “all truth is particular, never general”

(semua kebenaran itu partikular, tidak pernah berlaku umum).58 Hamann adalah

seorang penganut agama yang taat. Ia penganut sekte Luteran. Awalnya, Hamann

adalah murid setia Pencerahan, tapi ketika terjadi goncangan spritual di dalam

dirinya, ia balik haluan menjadi penentang tradisi Pencerahan, bahkan ia dikenal

sebagai seorang anti-rasionalis yang sangat gigih.

Hamann mengkampanyekan bahwa rasio tidak kuasa mendemonstrasikan

seluruh kenyataan, rasio hanya satu instrumen untuk mengklasifikasi dan menyusun

data dalam satu pola tertentu, tetapi tidak pernah benar-benar bisa menunjukkan

kenyataan yang sebenarnya secara utuh.59 Alam semesta, bagi Hamann, sebagaimana

yang dipercai oleh kaum mistikus Jerman kuno, hanyalah semacam bahasa. Segala

sesuatu, tumbuhan atau binatang pada dirinya hanyalah simbol dimana Tuhan

berkomunikasi dengan ciptaannya. Hamann membuat satu ungkapan yang sangat

baik untuk menggambarkan pemikirannya, “God-intoxicated man” (manusia yang

dimabuk Tuhan). Bagi Hamann, semua hal—semua yang ada dan yang mungkin

58 Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind: An Onthology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 249. 59 Berlin, The Proper.

Page 56: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

ada—tidak hanya diciptakan oleh Tuhan, melainkan juga berbicara kepada kita.

Semua hal adalah wahyu. Segala sesuatu adalah keajaiban.60

Oleh karena itu, segala pengetahuan tidak bisa diperlakukan secara umum.

setiap entitas memiliki alasan keberadaan yang berbeda. Setiap sesuatu memiliki

keunikannya masing-masing. Pengetahuan tentang kebenaran hanyalah persepsi

langsung dari entitas individual. Semua konsep tidak akan pernah bisa merepreksikan

semua pengalaman individual. Hamann menegaskan, sebagaimana yang dibahasakan

oleh Berlin, “what is real is individual” (yang riil adalah yang individual).61

Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa setiap nilai memiliki keunikannya

sendiri-sendiri, mereka berbeda dari bentuknya, peristiwanya, pemikirannya, dan

tidak ada nilai yang berlaku umum.

Hamann sedikit memberi perhatian terhadap pelbagai teori dan spekulasi

tentang dunia eksternal, dia hanya peduli terhadap kehidupan personal individu, yaitu

kesenian, pengalaman religius, perasaan dan hubungan personal. Bagi Hamann,

Tuhan itu adalah penyair, bukan matematikawan yang bisa mereduksi dan membawa

kita ke dalam satu konstruksi verbal tanpa makna, sesuatu yang sangat rapuh tapi

dianggap seolah-olah pasti (dalam bahasa Goenawan Mohamad: “sesuatu yang kelak

retak dan kita membuatnya abadi”).

C. Johann Gottfried Herder

60 Berlin, Three Critics, h. 253. 61 Berlin, The Proper, h. 250.

Page 57: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Jika pada Vico dan Hamann Berlin menemukan amunisi untuk menyerang

Pencerahan pada fondasi konseptualnya, maka Herder menampilkan gugatan pada

implikasi cara berpikir Pencerahan yang universalistik. Implikasi universalistik ala

Cartesian itu tampak nyata dalam interaksi budaya dan peradaban manusia.

Sebagaimana dua tokoh terdahulu, keseluruhan pemikira Herder bermuara pada

serangan terhadap universalisme Pencerahan yang terrepresentasi dalam keunggulan

budaya Barat. Doktrin Pencerahan yang datang dari para pemikir Perancis benar-benar

telah memuakkan dan merangsang hasrat intelektual Herder menghancurkan

pengandaian-pengandaian Pencerahan yang menurutnya rapuh itu. Herder dengan

tegas menolak doktrin Pencerahan Perancis yang mengklaim diri memiliki kebenaran

universal, tak lekang oleh waktu dan merupakan kebenaran yang tak perlu

dipertanyakan serta berlaku bagi semua orang, di manapun dan kapanpun.

Herder meyakini bahwa budaya-budaya yang berbeda memiliki jawaban yang

berbeda terhadap persoalan utama yang mereka hadapi.62 Herder begitu peduli

terhadap aspek kemanusiaan, apa yang hidup dalam sebuah masyarakat, daripada

mencari esensi dunia eksternal yang tidak jelas dan membingungkan. Herder percaya

bahwa apa yang baik bagi orang Portugis, mungkin tidak begitu baik bagi orang Persia.

Menurut Berlin, Montesquieu telah menyatakan hal yang mirip dengan menyatakan

bahwa manusia dan kemanusiaan terbagi menurut lingkungannya. Dia menyebut istilah

‘climate’ untuk menggambarkan kematian universalisme budaya.

62 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2000), h. 8.

Page 58: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Tentu saja perbedaan budaya dan nilai secara umum harus membawa

konsekuensi perpecahan dan benturan. Jauh sebelum Samuel P. Huntington

meramalkan tentang akan terjadinya benturan antar-peradaban yang dilatarbelakangi,

terutama, oleh budaya dan nilai kemanusiaan tertentu, Herder telah menegaskan

perbeda-bedaan budaya yang tak mungkin disatukan. Kemungkinan terjadinya benturan

memang ada, tapi itu bisa diatasi dengan toleransi. Kendati toleransi universal itu

mungkin, tetapi unifikasi adalah destruksi. Dan sebenarnya, tidak ada yang lebih jelek

daripada imperialisme.63

Herder terus mempertahankan pendapatnya bahwa setiap periode sejarah,

aktivitas, situasi dan peradaban memiliki karekter uniknya sendiri-sendiri. Oleh

karenanya, percobaan untuk mereduksi fenomena itu ke dalam serangkaian elemen

yang terpola, dan menggambarkan serta menganalisis mereka dalam term aturan

universal, cenderung memberangus perbeda-bedaan krusial yang telah membangun

kualitas spesifik dari objek yang dipelajari, baik itu alam maupun sejarah.64 Lebih

daripada itu, Herder juga menolak distingsi radikal antara metode yang diterapkan

kepada ilmu pengetahuan fisik dan ilmu yang mempelajari sprit kemanusiaan, atau ilmu

sosial. Baginya, segala sesuatu memiliki keunikan, kita harus menciptakan metode yang

berbeda terhadap segala keunikan itu. Barangkali kita bisa mengajukan kesimpulan,

tetapi jangan pernah bermimpi kesimpulan yang berhasil ditarik dari sebuah realitas

yang unik benar-benar memotret realitas.

63 Berlin, The Power, h. 9. 64 Berlin, Three Critics, h. 168.

Page 59: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Pada titik ini, dapat dipahami bahwa sebetulnya Herder adalah bapak

nasionalisme budaya. Tentu Herder bukanlah seorang nasionalis yang politis, tetapi ia

percaya dan meyakini pentingnya kemerdekaan budaya dan kebutuhan untuk menjaga

keunikannya. Bagi Herder, kemanusiaan itu tidak satu, melainkan banyak.65

Sumbangan paling besar yang diberikan ketiga tokoh di atas kepada Berlin

adalah munculnya amunisi yang sangat jitu untuk menggugat klaim kebenaran

universal yang diperjuangkan kaum Pencerahan. Keberserakan nilai kebenaran

membuat konsep kebenaran tunggal menjadi tidak relevan. Demikian juga, setiap

klaim kebenaran tidak bisa diabsolutkan, sebab selalu ada celah untuk dibantah dan

dihancurkan.

65 Berlin, The Power, h. 9.

Page 60: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

BAB IV

PENCERAHAN MINUS UNIVERSALISME

Kendati begitu terpengaruh oleh tiga pengkritik Pencerahan yang telah

dipaparkan pada bab sebelumnya, Isaiah Berlin mengaku tidak total menjadi

pengikutnya. Berlin mengambil jarak dengan tidak menjadi pluralis relativis

sebagaimana ketiga gurunya tersebut. Dua konsep kebebasan yang dirumuskan oleh

Berlin menjadi satu tanda bagaimana Berlin begitu berhati-hati menempatkan posisi.

Berlin tidak pernah benar-benar meninggalkan Pencerahan kendati ia menegaskan

tentang nilai yang berserak atau value pluralism. Akhirnya, Berlin, setidaknya

menurut kebanyakan komentatornya, berdiri pada posisi liberalis pluralis. Artinya,

Berlin tidak serta merta membuang keseluruhan universalisme. Berlin masih

mengandaikan universalisme, hanya saja universalisme yang diandaikan itu bersifat

pluralis. Mari kita bahas beberapa konsepsi yang sekaligus sebagai penegas posisi

Berlin dalam perdebatan ini.

A. Dua Konsep Kebebasan

Berlin menulis satu esai khusus mengenai dua konsep kebebasan yang ia

andaikan. Dua konsep kebebasan ini dipakai untuk menunjukkan bahwa kendati

Berlin menolak Universalisme Pencerahan dan ide kebebasan yang menjadi

Page 61: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

konsekuensinya, setidaknya tidak semua konsepsi itu ditinggalkan. Di awal tulisan ini

telah dijelaskan bahwa Berlin sesungguhnya memberikan apresiasi yang begitu besar

kepada tradisi Pencerahan yang telah mendobrak dogmatisme, feodalisme,

teologisme, dan kekakuan berpikir abad pertengahan. Berlin kagum terhadap prestasi

Pencerahan yang benar-benar telah membuka pintu bagi kemajuan dunia. Eksistensi

manusia yang telah terkubur, berhasil dibangkitkan oleh para pejuang Pencerahan dan

menciptakan sebuah peradaban dunia yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Kendati demikian, Berlin kemudian kecewa terhadap tradisi Pencerahan itu yang

terlalu mengagungkan rasionalitas. Rasionalitas menjadi sangat berbahaya ketika ia

diabsolutkan. Sebab ternyata dalam kenyataannya, rasionalitas menjadi semacam

belenggu yang demikian kejam. Rasionalitas menjadi semacam legitimasi bagi

segelintir diktator untuk mengklaim diri paling rasional, lalu memiliki hak untuk

melakukan proses rasionalisasi bagi yang lain, bahkan dengan cara-cara kekerasan.

Sebetulnya, sebagaimana yang diakui oleh Berlin sendiri, semua pemikir

bersepakat tentang kebebasan manusia. Manusia harus dibebaskan dari bentuk-bentuk

kekangan yang membelenggu. Tapi di sisi yang lain manusia juga diharapkan patuh

kepada aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Para pemikir kemudian berselisih

pada persoalan tentang seberapa besar kebebasan harus diberikan dan seberapa besar

pula kepatuhan yang diterapkan. Sampai batas mana manusia dikatakan bebas? Lalu

bagaimana pula bentuk kebebasan tersebut? Apa landasan kebebasan? Tradisi

pemikiran Barat hampir sepakat bahwa ukuran kebebasan terletak pada rasionalitas. Hal

ini kemudian digugat ketika kebebasan berdasar rasionalitas itu telah menjadi legitimasi

Page 62: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

totalitarianisme dan kediktatoran. Di titik ini, Berlin menyatakan bahwa identitas

rasional yang diletakkan kepada prinsip kebebasan menyimpan masalah, karena ia

cenderung menuju kepada totalitarianisme.

Untuk mendukung sikap oposisinya terhadap model kebebasan rasional, Berlin

membedakan dua bentuk kebebasan: kebebasan positif (positive liberty) dan kebebasan

negatif (negative liberty). Kebebasan positif adalah bentuk jawaban terhadap

pertanyaan “Apa, atau siapa, yang merupakan sumber kontrol atau campur tangan yang

dapat menentukan seseorang untuk melakukan atau menghendaki satu hal, hal ini dan

bukan hal itu?” Kebebasan negatif merupakan jawaban atas pertanyaan, “Dalam

wilayah apa suatu subjek—seorang manusia atau sekelompok manusia—harus

dibiarkan bertindak dan berkehendak sebagaimana yang ia sendiri ingin dan mampu

lakukan, tanpa campur tangan dari yang lain?”66

Kebebasan negatif biasa juga disebut sebagai freedom from (kebebasan dari).

Yang dimaksud dengan “kebebasan dari” adalah terciptanya satu kondisi di mana tak

ada orang atau sekelompok orang yang ikut campur atau mengintervensi apa yang saya

lakukan. Saya dinyatakan bebas dalam pengertian kebebasan negatif adalah ketika saya

tidak dihalang-halangi oleh orang lain. Berlin menyebut batas minimum kebebasan yang

tidak bisa diintervensi. Berlin menyatakan:

“If I am prevented by others from doing what I could otherwise do, I am to that degree unfree; and if this area is contracted by other men beyond a

66 Lihat Isaiah Berlin, Four Esssays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2004), h. 231.

Page 63: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

certain minimum, I can be described as being coerced, or, it may be, enslave.”67

(Jika saya dihalang-halangi oleh orang lain untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan, maka pada tingkat tertentu saya bisa disebut sebagai orang yang tidak bebas; dan jika wilayah ini semakin dipersempit oleh orang lain

melebihi satu batas minimum, maka saya bisa dianggap sebagai orang yang dikekang, atau, mungkin, diperbudak).

Sementara kebebasan positif adalah bentuk kebebasan yang mengarah ke luar,

tentang bagaimana manusia bisa menentukan apa yang ingin ia lakukan. Pengertian

positif dalam kebebasan berasal dari keinginan yang ada dalam diri individu untuk

menjadi tuan bagi dirinya sendiri (self mastery).68 Kebebasan positif adalah suatu

kondisi di mana individu merasa bebas untuk menentukan sendiri apa yang terbaik

untuk ia putuskan dan lakukan bagi dirinya sendiri. Keputusan-keputusan itu tidak

bergantung kepada orang lain atau sekelompok orang lain. Individu menjadi subjek atas

dirinya sendiri, bukan menjadi objek. Individu kemudian memiliki otoritas penuh untuk

bertindak sesuai dengan rasionalitas, akal sehat, dan tujuan-tujuan hidupnya sendiri.

Dua gagasan kebebasan di atas, yakni gagasan kebebasan berdasarkan prinsip

tuan atas dirinya sendiri (positif) dan tiadanya kekangan dari pihak luar (negatif), secara

sepintas tampak bisa berjalan beriringan bahkan saling mengandaikan. Akan tetapi,

menurut Berlin, pada kenyataannya, kedua gagasan itu menempuh jalur yang berbeda

bahkan berkontradiksi dan saling berbenturan.

67 Lihat Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty, dalam Michael J. Sandel (ed.), Liberalism and Its Critics, (New York: New York University Press, 1984), h. 16. 68 Berlin, Empat Esai Kebebasan, h. 244.

Page 64: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Berlin mencontohkan momen kemerdekaan sebagai bentuk yang bisa menipu

konsep kebebasan. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, diandaikan bahwa individu

memperoleh momentumnya untuk menjadi tuan bagi diri sendiri. Tetapi, kata Berlin,

bukankah manusia kemudian jatuh lagi ke dalam perbudakan politik, nasionalisme,

spritualisme, dan keberakalan tertentu?69 Ketika kita menjadi tuan bagi diri sendiri,

maka sebetulnya kita kemudian bisa diperbudak oleh nafsu-nafsu atau hasrat-hasrat

pribadi dan bahkan oleh rasionalitas individual kita.

Jika rasionalitas menjadi ukuran, maka bukankah jika mengatakan bahwa

pilihan hidup tertentu lebih rasional daripada pilihan hidup yang lain adalah sebuah

represi bahkan eksklusi terhadap apa yang disebut tidak rasional atau kurang rasional

tersebut? Lalu individu akan mencoba melakukan rasionalisasi terhadap pilihan

perbuatannya berdasar kepada kategori-kategori yang ia buat sendiri. Kenaifan

mungkin bisa dihindari dengan mengatakan bahwa pilihan “rasional” diperlukan demi

kebaikan individu.

Sebelum melangkah jauh, ada baiknya disinggung sedikit objek kritikan Berlin

atas konsep kebebasan positif ini. Sebetulnya kriteria kebebasan positif yang, bagi

Berlin, berbahaya ini dilekatkan kepada semua arus pemikiran rasional yang

mendiminasi jagad pemikiran Barat. Salah satu yang paling dominan adalah mereka

yang disebut sebagai pemikir utilitarian. Utilitarianisme, dalam berbagai variannya, telah

mendominasi pemikiran liberal Barat. Utilitarianisme sendiri bisa ditelusuri sampai pada

akar Pencerahan Eropa. 69 Berlin, Empat Esai Kebebasan, h. 245.

Page 65: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Dengan ditemukannya individu atau manusia sebagai subjek oleh para

penggagas Pencerahan, terutama Descartes, manusia kemudian menjadi tuan bagi

dirinya sendiri. Keputusan-keputusan manusia kemudian tidak lagi harus berdasarkan

mitos-mitos atau berasal dari hasrat di luar dirinya, melainkan berdasar sepenuhnya

kepada kebutuhan individual itu sendiri. Kebebasan yang dicanangkan oleh Pencerahan

kemudian disimpulkan dalam bentuk terpenuhinya hasrat individual manusia. Hal ini

disistematisasi oleh para pemikir utilitarian awal seperti James Mill dan Jeremy

Bentham. Hal itu terjadi mungkin karena euforia terbebasnya manusia dari belenggu

agama yang begitu lama mengekang dan membatasi kebebasan manusia secara

ekstrim. Secara umum, kaum utilitarian memaknai kebebasan dengan terpenuhinya

hasrat kemanusiaan individu.

Will Kymlicka membagi utilitarianisme dalam empat varian sesuai dengan

sejarah perkembangannya. Pada tahap pertama, utilitarianisme diartikan sebagai

walfare hedonism (hedonisme kesejahteraan). Ini adalah bentuk utilitarianisme paling

awal yang memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia terletak pada

terpenuhinya hasrat kesenangan manusia yang bersifat ragawi.70 Akan tetapi, model

utilitarianisme ini sangat tidak tepat sasaran, sebab boleh jadi apa yang terasa nikmat

belum tentu baik bagi individu. Oleh karena itu, muncul jenis utilitarianisme kedua, non-

hedonistic mental-state utility (utilitas bagi keadaan mental yang tidak beriorientasi

hedonis). Pada perkembangan ini, aspek hedonistik dihilangkan dan diganti dengan

70 Lihat Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, (Oxford: Clarendon Press, 1990), h. 12.

Page 66: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

kesenangan yang menjamin kebahagiaan. Utilitarianisme dipahami sebagai

terpenuhinya semua pengalaman individu yang bernilai, darimanapun hal itu berasal.71

Utilitarianisme model kedua juga menyimpan persoalan, karena pengalaman

yang bernilai ternyata tidak satu, dan tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu

terpenuhi dalam satu waktu. Individu harus memilih. Utilitarianisme model ketiga adalah

terpenuhinya pilihan-pilihan individu. Utilitarianisme tahap ini disebut sebagai

preference satisfaction (pemenuhan pilihan). Utilitarianisme tahap ini mengandaikan

adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas.72 Pada tahap terakhir,

utilitarianisme diartikan sebagai terpenuhinya pilihan-pilihan rasional individu yang

berdasar kepada pengetahuan dan informasi yang utuh mengenai pilihan-pilihan

tersebut. Utilitarianisme ini disebut informed preference (pilihan yang berbasis

informasi).73

Perkembangan ini juga menandai bagaimana utilitarianisme bergerak dari

pendefinisian manusia yang awal diidentikkan dengan binatang menjadi manusia yang

seutuhnya. Aspek rasionalitas menjadi begitu penting dalam utilitarianisme.

Utilitarianisme sebagai pemenuhan hasrat pada Jeremy Bentham telah mensejajarkan

manusia dengan binatang. Sementara aspek happiness dalam pengertian rasionalitas

yang dikembangkan John Stuart Mill telah memanusiakan manusia dan

membedakannya secara jenius dari binatang.

71 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 13. 72 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 15. 73 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 16.

Page 67: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Akan tetapi, persis proyek pemanusiaan manusia dengan rasionalitas inilah

yang mengusik ketenangan Berlin. Proyek pemanusiaan manusia, bagi Berlin,

menyimpan bibit petaka yang demikian besar. John Stuart Mill sendiri, oleh Berlin,

dimasukkan ke dalam kategori pemikir liberalisme positif. Utilitarianisme secara umum,

kendatipun awalnya sebagai proyek pembebasan manusia, telah menetapkan satu

tujuan tertentu dalam proyek pembebasannya, yaitu kebahagiaan atau utility.

Demikianlah kenapa J. S. Mill disebut sebagai pemikir liberal negatif di permulaannya,

akan tetapi masuk ke kubangan liberal positif di akhir proyeknya. Sebetulnya, fondasi

awal yang dibangun oleh orang semacam Bentham dan J. S. Mill adalah tegaknya

individualisme. Keduanya mengutuk dengan sangat setiap bentuk kekangan terhadap

kebebasan individu. Yang paling berharga dari para pemikir utilitarian ini adalah

penolakannya terhadap klaim moral religius dalam kebebasan individu. Mereka

menyatakan bahwa setiap manusia merupakan hakim terbaik bagi kebahagiaannya

sendiri.74

Tak mungkin mungkir, bahwa utilitarianisme menjadi semacam proyek

teleologis yang mengejar satu pengandaian masa depan.75 Rasionalitas atau informed

preference bukan malah semakin membebaskan manusia dan menunjukkan jalan

terbaik bagi pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi legitimasi bagi

totalitarianisme. Apalagi, utilitarianisme terkenal dengan semboyan “The greatest

happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak

74 Berlin, Empat Esai, h. 309. 75 Lihat Richard Bellamy, Rethingking Liberalism, (London & New York: Pinter, 2000), h. 32.

Page 68: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

mungkin orang).76 Aspek mayoritarianisme adalah ancaman lain yang mungkin muncul

dari utilitarianisme, dan tradisi liberalisme positif secara umum.

Paradoks kebebasan ini terus ada dalam masyarakat modern yang

memproklamirkan kebebasan positif. Segelintir orang kemudian merasa berhak

melakukan “rasionalisasi” terhadap mereka yang tidak dianggap tidak atau kurang

rasional. Proyek modernisasi dan demokratisasi yang dipaksakan oleh Amerika Serikat

dan sekutunya kepada Dunia Ketiga adalah bentuk penerapan model kebebasan positif.

Berlin mengusulkan dipakainya model kebebasan negatif untuk menghindari

paradoks kebebasan yang ditimbulkan kebebasan positif. Kebebasan negatif tidak

berpretensi untuk mengejar satu nilai tertentu dari proyek kebebasannya. Jika pada

pengertian positif kebebasan diletakkan sebagai instrumen untuk mengejar tujuan

dalam kategori tertentu, maka pengertian negatif dari kebebasan adalah menjadikan

kebebasan sebagai instrumen sekaligus tujuan. Utilitarianisme dengan sangat baik

menerapkan konsep kebebasan positif di dalam dirinya. Mill sendiri, menurut Berlin,

seringkali tampak membela kebebasan dengan alasan bahwa tanpanya kebenaran tidak

dapat ditemukan. Dengan demikian, bagi Mill, kebebasan bernilai sebagai sarana dan

bukan sebagai tujuan.77 Kebebasan tidak hanya penting sejauh ia berguna untuk tujuan

tertentu, akan tetapi kebebasan penting pada dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa

model kebebasan positif atau positive liberty adalah bentuk monisme baru.

76 Kymlicka, Contemporary Political Philophy, h. 12. 77 Berlin, Empat Esai, h. 312.

Page 69: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

B. Value Pluralism

Sebagai pemikir yang berusaha menentang dominasi pemikiran monisme, tapi

tetap berada dalam arus Percerahan minus universalisme, Berlin mensistematisasi

sebuah konsep yang ia sebut value pluralism. Sekalipun istilah ini dianggap oleh para

komentator otentik dari Berlin,78 tetapi tampak jelas bahwa pemikiran ini adalah buah

dari pembacaan dan ketertarikan dia kepada para pengkritik Pencerahan di abad ke-

18, yakni Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder dan Johann Georg Hamann.

Ketiga pemikir yang dibahas pada Bab III itu adalah pemikir yang mengembangkan

gagasan pluralisme, terutama pluralisme nilai (value pluralismi).

Gagasan value pluralism Berlin ditemukan dalam esai terkenalnya, Two

Concepts of Liberty. Berlin sangat percaya bahwa nilai itu beragam. Keragaman

manusia selalu mengejar nilai-nilai yang beragam pula. Keberagaman itu tidak

memiliki batas, atau setidaknya batasannya tidak terprediksi. Musuh utama

pluralisme adalah monisme, suatu gagasan kuno yang mengandaikan satu harmoni

kebenaran yang tunggal.79 Menurut Berlin, monisme, dan keyakinan akan adanya

suatu standar-standar tunggal, senantiasa merupakan suatu sumber kepuasan baik

78 Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1984) lihat juga George Crowder, Liberalism and Value Pluralism, (London & New York: Continuum, 2002), bandingkan dengan William A. Galston, Liberal Pluralism: The Implications of Value Pluralism for Political Theory and Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002). 79 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2001), h. 14.

Page 70: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

bagi akal pikiran, maupun bagi emosi.80 Dengan demikian, pemikir jenis monis

senantiasa mengabsolutkan kategori-kategori dan kriteria kebenaran yang mereka

buat. Andai saja kategori-kategori itu dibuat lentur, maka mereka akan menemui

perkembangan manusia yang tak terduga, yang boleh jadi meruntuhkan kategori-

kategori yang mereka yakini sebelumnya. Berlin menyatakan:

”To preserve our absolut categories or ideals at the expense of human lives offends equally against the principles of science an of history; it is an attitude found in equal measure on the right and left wings in our days, and is not reconciliable with the principles accepted by those who respect the facts.”81

(Melindungi kategori-kategori dan tujuan-tujuan absolut kita dengan mengorbankan kehidupan manusia tidak ada bedanya dengan melawan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan sejarah; inilah sikap, dalam tingkat yang sama, yang bisa ditemukan baik pada diri kaum sayap kanan maupun sayap kiri, dan tidak dapat didamaikan dengan prinsip-prinsip yang diyakini oleh mereka yang memberikan penghargaan kepada fakta).

Harus ditegaskan bahwa value pluralism adalah sebuah proyek yang memang

diperuntukkan untuk menentang dominasi gagasan monisme, khususnya monisme

moral.82 Bukan hanya utilitarianisme (seperti yang telah dibahas pada sub bab

sebelumnya) yang menjadi contoh paling jelas dari monisme moral, melainkan juga

imperatif kategoris Kant dan ide tentang hukum alam. Menurut Berlin, pemikiran

monis adalah dasar bagi pemikiran otoritarianisme politik, dan menemukan puncak

daya rusaknya pada abad ke-20. Satu garis antara monisme dan otoritarianisme

80 Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind, (London: Pimlico, 1998), hlm. 241. 81 Berlin, The Proper. 82 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, hlm. 11 – 14 dan The Proper Study of Mankind, h. 6-16.

Page 71: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

adalah utopianisme. Monisme dan otoritarianisme membayangkan pengejawantahan

angan-angan utopis tentang sebuah masyarakat yang sempurna di mana akan terjadi

persetujuan universal pada jalan hidup yang tunggal. Itulah kepercayaan dan mimpi

tokoh seperti Plato, Rousseau, Hegel dan Marx. Bagi Berlin, monisme tidak hanya

berbahaya, tapi juga salah.83

Penting untuk dikatakan bahwa, menurut Berlin, ada nilai-nilai tertentu yang

mungkin diciptakan oleh satu generasi tertentu dan itu tidak ditemukan sebelumnya:

seperti ide tentang keragaman sesuatu yang dianggap baik, bahwa suatu masyarakat

di mana banyak opini tentang kebaikan itu muncul, lalu semuanya bisa hidup dalam

toleransi, itu lebih baik daripada masyarakat monolitik yang hanya mengakui satu

pendapat tentang kebaikan dari satu orang atau sekelompok orang saja. Ide seperti ini

tidak ditemukan sebelum abad ke-18, di mana pemikiran yang berkembang adalah

bahwa kebenaran itu tunggal, variasi kebenaran yang lain itu salah dan bertentangan

dengannya.84 Singkretisme juga adalah ide yang baru. Akhirnya, keragaman nilai

adalah fakta yang tak mungkin dihindari.

Beberapa komentator Berlin mencoba mensistematisasi dan mendefinisikan

konsep value pluralism ini. William A. Galston menyebut sedikitnya empat ciri value

pluralism: pertama, value pluralism bukanlah relativisme. Pembedaan antara

kebaikan (good) dan keburukan (bad), juga antara kebaikan (good) dan kejahatan

(evil), adalah sesuatu yang objektif dan secara rasional dapat dipertahankan. Kedua,

83 Lihat George Crowder, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin, (esai yang dipresentasikan di Universitas Tasmania, Hobart, 29 September – 1 Oktober 2003). 84 Berlin, The Power, h. 13.

Page 72: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

segala sesuatu yang objektif tidak dapat diurut berdasarkan tingkatan. Ini bermakna

bahwa semua hal yang objektif tidak memiliki takaran umum, karena mereka secara

kualitatif heterogen. Oleh karena itu, semua nilai berlaku individual dan unik pada

dirinya sendiri. Tidak ada nilai tertinggi atau nilai pertama yang menjadi acuan bagi

nilai-nilai yang lain. Ketiga, tiap-tiap nilai bisa menjadi dasar bagi individu untuk

menentukan pilihan hidup, yang itu bisa sangat berbeda antara satu dengan yang

lainnya. Keempat, melampaui upaya untuk membuat klasifikasi nilai berdasarkan

pada kualitas tertentu, maka ada satu ruang yang luas yang memberikan legitimasi

bagi keragaman nilai untuk hidup dan berkembang. Kelima, tentu saja value

pluralism dibedakan dari berbagai macam varian nilai yang disebut monisme.

Monisme, kira-kira, melegitimasi reduksi terhadap nilai ke dalam satu takaran umum

dan menciptakan hirarki dan aturan yang komprehensif bagi semua nilai.85

Sementara itu, George Crowder menyebut ada empat elemen dalam value

pluralism: pertama, universal values (nilai-nilai universal). Elemen pertama ini ingin

mengatakan bahwa ada nilai-nilai tertentu yang universal dan objektif. Pandangan ini

tampak tidak mendukung gagasan umum Isaiah Berlin yang menolak universalisme

Pencerahan, hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada bagian sub bab berikutnya. Yang

bisa dikatakan di sini adalah bahwa universalitas value pluralism adalah instrumen

bagi adanya distingsi yang jelas antara value pluralism dan relativisme. Pembedaan

dengan relativisme sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa value pluralism

mengakui adanya nilai-nilai yang bersifat transhistoris dan bergerak melampaui 85 Galston, Liberal Pluralism, h. 5 – 6.

Page 73: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

batas-batas kultural. Arti lain dari universalitas value pluralism adalah bahwa nilai ini

sangat objektif. Pengertian objektif di sini tidak hanya dalam arti bahwa nilai-nilai itu

benar-benar adalah nilai, tetapi memang bernilai bagi keberadaan manusia dan

perkembangannya.86

Kedua, Pluralitas. Meskipun bersifat universal, gagasan value pluralism juga

mengandung unsur pluralitas. Berlin sendiri selalu menekankan adanya variasi nilai,

tujuan dan arti hidup. Banyak komentator lain yang menegaskan adanya variasi nilai

ini dalam beragam klasifikasi. Thomas Nagel menganalisisi “the fragmentation of

values” (fragmentasi nilai-nilai) ke dalam empat tipe fundamental: specific obligation

(kewajiba khusus), general rights (hak-hak umum), utility (utilitas), perfectionist ends

or values (tujuan atau nilai-nilai perfeksionis), dan commitments to one’s own

projects (komitmen kepada proyek pribadi).87 Pluralitas yang ada dalam value

pluralism menunjukkan bahwa pada dirinya, secara inheren, nilai-nilai itu kompleks

dan mengandung banyak komponen.88

Ketiga, segala komponen yang kompleks yang terkandung dalam nilai-nilai

begitu berbeda, sehingga pada tingkat yang radikal nilai-nilai itu tidak bisa

diperbandingkan atau incommensurable. Incommensurability setidaknya memiliki

tiga makna: incomparable, immeasurable, dan unrankable.89 Makna pertama adalah

bahwa nilai-nilai tidak bisa diperbandingkan, cannot be compared. Kita tidak

86 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 45. 87 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 47. 88 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 2. 89 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 49 – 54.

Page 74: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

mungkin melakukan perbandingan terhadap nilai-nilai yang memang berbeda. Karena

perbedaan itu, maka nilai-nilai juga tidak bisa ditakar dengan menggunakan ukuran

dan kategori nilai tertentu. Jika ingin menakar nilai, maka takaran harus dibuat

menurut prinsip-prinsip yang dimiliki oleh nilai-nilai itu. Tapi karena semuanya

berbeda, maka takaran menjadi tidak relevan. Karena menakar nilai adalah sesuatu

yang tidak relevan, maka mencoba mengklasifikasi nilai berdasarkan mutu dan

kualitas tertentu juga menjadi tidak relevan.

Keempat, karena nilai-nilai itu berbeda, maka konflik adalah konsekuensi

yang kerapkali tidak bisa dihindarkan. Nilai-nilai yang berbeda itu, pada tingkat

tertentu, akan masuk dalam kancah konflik antara satu dengan yang lainnya. 90

Konflik antar nilai tidak hanya terjadi pada tataran objektif di luar individu, tetapi

konflik nilai terlah terjadi ketika seseorang akan menjatuhkan pilihan nilai yang akan

dianut atau digunakan. Di dalam diri individu, telah ada nilai yang rasional, yang

kurang rasional, yang emosional, dan lainnya, mereka berebut posisi untuk

mendominasi kehidupan individu. Konflik antar nilai adalah sebuah keniscayaan

dalam value pluralism.

Pluralisme secara umum memiliki banyak sumber yang bervariasi. Diantara

variasi sumber itu dapat ditarik benang merah bahwa kaum pluralis percaya kepada

adanya keragaman nilai, baik moral maupun non moral, yang tidak kompatibel secara

90 Crowder, Liberalism and Value Pluralism.

Page 75: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

inheren dan berkesinambungan, bahkan tidak bisa dibandingkan.91 Menurut Bellamy,

perbedaan nilai serta konfliknya adalah bentuk pengetahuan bagi kita: mereka adalah

sesuatu yang objektif.

D. C. Liberalisme Pluralis

Upaya Berlin untuk menjernihkan posisinya dengan mengemukakan gagasan

value pluralism dan penolakannya terhadap universalisme atau monisme ternyata

tidak tanpa masalah. Persoalan posisi ini bahkan menjadi sangat rumit. Pelbagai

komentator berdebat serius tentang bagaimana memposisikan Berlin dalam ranah

perdebatan kaum pluralis dan kaum liberalis. Persoalan ini rumit karena ketika Berlin

ingin ditempatkan sebagai kaum liberal, maka ia akan masuk ke dalam labirin

universalisme yang dikritik sendiri oleh Berlin. Kita telah membahas bagaimana

Berlin menemukan tendensi monis dalam upaya memberikan otonomi bagi individu

atau liberalisme. Tetapi memasukkan Berlin ke dalam kubu pluralis akan rentan

terseret arus relativisme. Ketiadaan nilai universal yang diandaikan kaum pluralis

adalah ungkapan yang bisa menjebak ke dalam kesimpulan relativisme. Hal ini

diperparah oleh ungkapan Berlin yang selalu menolak disebut sebagai universalis

atau monis tapi juga menolak disebut relativis. Ada ketegangan yang sangat kuat,

kendati juga sangat tipis, di antara kedua konsep ini.

91 Lihat Richard Bellamy, Liberalism and Pluralism: Toward a Politics of Compromise, (London and New York: Routledge, 1999), h. 3.

Page 76: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Dalam pelbagai kesempatan, terutama ketika membahas pluralisme atau value

pluralism, Berlin selalu menegaskan bahwa ia bukanlah seorang relativis. Berlin

mengatakan, “I am not a relativist; I do not say ‘I like my coffee with milk and you

like it without; I am in favour of kindness and you prefer concentration camps’—each

of us with his own values, which cannot be overcome or integrated” (saya bukanlah

seoarang relativis; saya tidak mengatakan bahwa saya suka kopi dengan susu saya

dan kamu menyukai kopi tanpa susu; saya senang dengan kesenangan dan kamu

memilih kamp konsentrasi’—setiap kita memiliki nilai masing-masing yang tidak

bisa diatasi atau diintegrasikan).92

Tampaknya Berlin sadar betul bahwa gagasan pluralismenya bisa

menjerumuskan ia ke dalam relativisme, dan ini adalah makanan empuk bagi para

kritikusnya. Gagasan pluralisme yang dikembangkan oleh Berlin bukanlah

relativisme. Bagi Berlin, nilai-nilai itu objektif, yakni bahwa mereka memiliki

karakter dan menjadi bagian dari kehidupan manusia, dan ini adalah sesuatu yang

terberi secara objektif. Fakta bahwa laki-laki adalah laki-laki dan perempuan adalah

perempuan, bukan anjing, kucing, meja, sepatu atau yang lainnya adalah sebuah fakta

objektif; dan bagian dari fakta objektif ini adalah bahwa ada nilai tertentu yang bisa

dicapai oleh manusia.93 Jika saya adalah laki-laki atau perempuan yang memiliki

imajinasi yang memadai, maka saya bisa masuk ke dalam sistem nilai yang

sebetulnya bukan milik saya. Hal ini mungkin, menurut Berlin, karena ada

92 Berlin, The Power, h. 11. 93 Berlin, The Power, h. 12.

Page 77: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

komunikasi dan dengan itulah toleransi menjadi mungkin. Dengan demikian,

pluralisme ala Berlin jelas bukanlah relativisme.

Kendati Berlin berusaha menjelaskan bahwa konsep pluralismenya atau

penolakannya terhadap monisme dan universalisme bukan relativisme, tetapi Berlin

ternyata tidak cukup mampu memberikan keyakinan yang utuh kepada para

komentatornya. John Gray mencoba melacak konsistensi Berlin mengenai liberalisme

dan value pluralism yang diandaikannya. Menurut Gray, jika Berlin konsisten dengan

value pluralism, di mana semua nilai memiliki unsur incommensurability atau tidak

bisa diperbandingkan, maka sebetulnya liberalisme, juga dalan pengertian liberalisme

negatif, hanyalah merupakan produk budaya tertentu. Dengan demikian, liberalisme

tidak bisa dibandingkan dengan equality (kesamarataan), misalnya. Jika konsisten

dengan value pluralism, seharusnya Berlin tidak cenderung mengafirmasi nilai

tertentu, yakni liberalisme dan pluralisme, sementara nilai yang lain dieksklusi.94

Keyakinan seperti ini memiliki implikasi yang cukup jauh sampai kepada

level kebijakan negara. Jika value pluralism membenarkan pendapat bahwa nilai

kejahatan dan kebaikan adalah sesuatu yang tidak bisa diperbandingkan, maka negara

seharusnya tidak bisa mengambil satu justifikasi rasional untuk melakukan klasifikasi

nilai yang ada di masyarakat. Akibatnya, negara juga seharusnya bisa memberikan

peluang bagi munculnya nilai-nilai otoritarian atau mengeluarkan kebijakan-

kebijakan yang tidak membebaskan.

94 Gray, Isaiah Berlin, h. 144.

Page 78: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

John Gray mengakui kebenaran konsep value pluralism yang dikembangkan

oleh Berlin, tetapi konsep itu memiliki sebuah ‘enormous subversive force’ (kekuatan

subversif yang amat besar).95 Dalam hal ini, bagi Gray, pluralisme tidak hanya gagal

mendukung liberalisme, bahkan secara positif ia merusak banyak bentuk pemikiran

politik liberal. Kontradiksi pluralisme dan liberalisme terletak pada pokok klaim

pluralisme yang mengatakan bahwa nilai itu tak dapat diperbandingkan

(incommensurability) yang berimplikasi secara langsung kepada culture

incommensurability. Oleh karenanya, pluralisme meniadakan formula universal bagi

tingkatan kebaikan seperti kebebasan dan equality. Akhirnya, semua budaya memiliki

kearifan lokal sesuai dengan takarannya masing-masing, dan mereka hanya mungkin

dievaluasi melalui standar-standar yang ditetapkan oleh masing-masing budaya itu.

Budaya liberal, dengan demikian, dipahami berasal dari budaya tertentu, yang belum

tentu baik bagi budaya yang lain. Bagi Gray, Berlin memang berangkat dari

liberalisme, tapi ia jatuh ke dalam pluralisme, yang dipahami sebagai relativisme,

sesuatu yang berulangkali ditegaskan oleh Berlin tidak dianut.

Pembacaan Gray terhadap Berlin tentu bukan satu-satunya bacaan. Ada

banyak komentator lain yang mencoba menjelaskan penegasan Berlin mengenai

penolakan ia disebut sebagai relativis. Di samping penolakannya disebut sebagai

relativis, ada beberapa fakta yang tidak boleh diabaikan. Di satu sisi Berlin

memperkenalkan konsep value pluralism sebagai bentuk perlawanan terhadap

monisme. Berlin juga membuat dikotomi dua bentuk kebebasan, yakni kebebasan 95 Gray, Isaiah Berlin, h. 1.

Page 79: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

positif dan kebebasan negatif, di sisi lain. Dua fakta ini tentu tidak hadir begitu saja

tanpa ada rasionalisasi yang jelas.

Menurut George Crowder, kritikan Gray terhadap model liberalisme Berlin

menyimpan kesalahan yang cukup mendalam. Gray tampak tidak bisa secara jernih

membedakan antara value pluralism dan cultural relativism (relativisme kultural).

Cultural relativism adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip atau nilai-nilai moral

yang dapat diterapkan secara universal, yang ada hanya keputusan-keputusan moral

tertentu yang berasal dari kode moral budaya tertentu. Interaksi antar budaya tidak

dimungkinkan, sebab standar budaya luar dianggap sebagai asing dan tidak kapabel

untuk budaya sendiri. Cultural relativism mengandaikan bahwa budaya-budaya

memiliki otoritas moralnya masing-masing. Dengan begitu, liberalisme, dalam

pandangan ini, tidak lebih dari suara politis dari budaya tertentu, yang tidak memiliki

makna apa-apa bagi budaya lain. Bagi Crowder, pendapat Gray ini menyesatkan

sebab Berlin sendiri menegaskan bahwa pluralisme dan relativisme adalah dua

gagasan yang sungguh berbeda.96 Sementara Gray mengatakan bahwa gagasan

pluralisme Berlin memiliki implikasi relativisme.97

Crowder berusaha mempertahankan keyakinannya bahwa liberalisme dan

value pluralism atau pluralisme yang dianut oleh Berlin tidak harus dipertentangkan.

Gagasan pluralisme Berlin, bagi Crowder, bukanlah gagasan final, gagasan ini justru

berimplikasi atau mengandaikan liberalisme. Crowder menyatakan bahwa argumen

96 Lihat George Crowder, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin. 97 Gray, Isaiah Berlin, h. 63 – 65.

Page 80: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Berlin mengenai ‘dua konsep kebebasan’ sebetulnya memiliki dua fondasi utama dari

pertautan antara pluralisme dan liberalisme. Pertama, ada argumen yang sangat

eksplisit dalam pluralisme, yaitu bahwa kita diberi alasan bagi pilihan nilai, yang oleh

karenanya kebebasan memilih menjadi niscaya, sesuatu yang sangat ditekankan oleh

kaum liberal. Kedua, penegasan Berlin mengenai konflik antar nilai dan

incommensurability membutuhkan pendekatan politik yang anti-utopianisme.98 Bagi

kaum pluralis, skema-skema politik yang bertujuan pada realisasi harmonis dari

semua kebaikan manusia harus dicurigai dan memang mengandung utopianisme.

Yang dengan demikian, anti-utopianisme mencermintan penolakan terhadap rival

tradisional liberalisme, yaitu Marxisme dan anarkhisme.

Bagi Berlin, menurut Crowder, jika nilai-nilai itu plural dan tidak bisa

diperbandingkan, maka kita harus membuat pilihan serius di antara nilai-nilai yang

berkonflik itu, lalu dengan demikian kita musti menempatkan sebuah nilai spesial

yang kita pilih secara bebas.99 Pada titik ini, pengorbanan menjadi satu hal yang

niscaya. Bagi Crowder, Berlin bukanlah relativis karena ia menekankan klaim moral

legitimate yang dibingkai oleh serangkaian kebaikan universal. Variasi tujuan

manusia tidak bisa tidak dibatasi, karena bagaimanapun kodrat manusia itu selalu

berbeda dan memiliki tujuan-tujuan hidup yang beragam.100

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Berlin adalah seorang liberal pluralis.

Pertentangan pluralisme dan liberalism menjadi tidak relevan dalam pemikiran

98 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 78 99 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 79 100 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 80

Page 81: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Berlin. Pilihan liberalisme negatif dan value pluralism bukan tanpa alasan. Berlin

seolah-olah ingin mengatakan bahwa pilihan liberalisme dan pluralisme secara tajam

menyimpan masalah yang besar. Oleh karena itu, Berlin berdiri pada posisi yang

tragis. Berlin masuk ke dalam dunia remang yang di sana terdapat irisan yang sangat

tipis antara liberalisme dan pluralisme. Ketika mengkritik liberalisme, Berlin bisa

tampak seperti seorang pluralis tulen. Tetapi ketika menolak pluralisme, Berlin

berlagak liberal. Akhirnya, Berlin bisa disebut sebagai seorang liberal pluralis. Berlin

adalah penganut liberalisme pluralis. Pluralisme nilai yang ia andaikan bersifat

universal. Akan tetapi nilai universal yang ia andaikan juga harus bersifat pluralis.

Gagasan Kebebasan dalam Islam

Gagasan kebebasan model Isaiah Berlin mungkin adalah gagasan yang sangat

unik, karena ia menolak universalisme Pencerahan dengan memakai logika dasar

Pencerahan itu sendiri, yakni kebebasan individu. Fakta bahwa Berlin bergelut

dengan dilema antara liberalisme yang cenderung universalis dan pluralisme yang

kerap dinilai relativis menyimpan semangat untuk menolak segala bentuk

pengkultusan atau absolutisme terhadap satu nilai. Sebab, setiap nilai memiliki cacat

dan potensi yang sangat berbahaya jika nilai-nilai itu tidak diantisipasi.

Universalisme dalam liberalisme bisa membawa kepada otoritarianisme, sementara

relativisme dalam pluralisme cenderung melegitimasi anarkisme. Baik

otoritarianisme maupun anarkisme adalah dua hal yang begitu mengganggu

kehidupan modern. Berlin seolah-olah ingin mengatakan bahwa mari kita menjalani

Page 82: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

hidup dengan sebuah kewaspadaan. Kita harus mampu mengantisipasi kecenderungan

otoritarianisme dan anarkisme yang mungkin muncul dari pilihan sistem kehidupan

yang kita pakai, apapun itu.

Dalam konteks pemikiran Islam, gagasan ini memperoleh legitimasi ketika

kita membaca bagaimana gagasan liberalisme itu mulai tumbuh dalam pemikiran

Islam. Menurut M. Dawam Rahardjo, gagasan liberalisme Islam telah dimulai oleh

dua ulama besar Islam, Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani.101 Dari

kedua tokoh ini, menurut Dawam, terutama Abduh, lahir rentetan pemikir Islam yang

mengawal gagasan liberalisme. Di antara murid Abduh yang paling terkenal adalah

Ali Abd al-Raziq. Raziq, misalnya, telah mempertanyakan tentang apakah

kekhalifahan itu perlu? Raziq juga menggugat bahwa apakah memang ada konsep

atau sistem pemerintahan yang islami? Bagi Raziq, beberapa bentuk kekuasaan

politik memang diperlukan, tetapi tidak mesti dalam bentuk khusus. Bahkan, umat

pun tidak harus dipersatukan secara politik. Raziq meyakini bahwa Islam tidak

menetapkan bentuk rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut

persyaratan yang dibuat oleh sistem itu sendiri: Islam justru memberi kebebasan

sepenuhnya untuk membentuk negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan

ekonomi dengan pertimbangan tuntutan sosial dan perkembangan zaman.102

101 Dawam Rahardjo mengemukakan hal itu dalam ceramah diskusi Jejak-jejak Liberalisme di Indonesia, Jakarta, 16 November 2006 (hasil ceramah belum dipublikasikan). 102 Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism, terj. Imam Muttaqin, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 193 – 195.

Page 83: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Menurut Dawam, Gagasan liberalisme dari murid-murid Abduh itulah yang

nantinya menginspirasi para pemikir Islam liberal di Indonesia. Para pemikir liberal

awal Indonesia itu adalah Haji Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, Syafruddin

Prawiranegara dan yang lainnya. Dawam menegaskan bahwa sebetulnya gagasan

Islam liberal bahkan liberalisme itu sendiri sebetulnya dipelopori oleh Soekarno,

meskipun secara verbal Soekarno menolak istilah liberalisme. Di antara gagasan

liberal Soekarno adalah wacana pengembangan kesetaraan gender dan penolakannya

terhadap gagasan negara Islam. Jejak liberalisme Islam juga bisa ditemukan dalam

pemikiran Haji Agus Salim ketika ia menolak pemisahan tempat duduk antara

perempuan dan laki-laki dalam acara-acara pertemuan umum.103

Tentu saja, puncak gagasan liberalisme Islam di Indonesia ada di tangan

Nurcholish Madjid. Gagasan pemikiran Islam liberal Cak Nur (panggilan akrab

Nurcholis Madjid) dideklarasikan ketika ia menulis artikel berjudul, “Keharusan

Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”, yang disampaikan

pada pertemuan silaturrahmi para aktivis Persami, HMI, GPI, dan PII yang

diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta di Jakarta, 3 Januari 1970.104 Dalam artikel

tersebut, Cak Nur memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah

kemajuan dan integrasi umat Islam yang mulai dilemahkan oleh keterpecahbelahan

karena paham-paham dan kepartaian politik. Melalui ide sekularisasi dan Islam Yes,

103 Dawam Rahardjo, Jejak-jejak LIberalisme. 104 Lihat Budhy Munawar-Rachman (ed.), Ensiclopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran di Kanvas Peradaban, (Jakarta: Paramadina, CSL dan Mizan, 2006), h. Lx – lxi.

Page 84: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Partai Islam No?105 Cak Nur hendak mengajak ummat Islam untuk memecahkan

kebuntuan pemikiran dan kreativitas ummat Islam yang terpasung oleh pelbagai

bentuk kejumudan. Karena itulah Cak Nur mengumandangkan pentingnya kebebasan

berpikir, the idea of progress (ide tentang kemajuan), sikap terbuka, serta kelompok

pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan apa yang menurut istilah Cak Nur

psikological striking force (daya tonjok psikologis) yang akan menumbuhkan

pemikiran-pemikiran segar.106

Setelah Cak Nur, gagasan liberalisme Islam itu terus berkembang bahkan

semakin mencapai titik radikal. Muncul tokoh seperti Abdurrahman Wahid, M.

Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ulil Abshar-Abdallah dan yang lainnya.

Radikalisasi pemikiran Islam liberal itu tampak pada penegasan mereka tentang

liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Abdurrahman Wahid, misalnya, tidak lagi

ragu untuk mengakui keberadaan kelompok-kelompok lain. Gus Dur (panggilan

akrab Abdurrahman Wahid) tanpa sungkan dan bahkan sangat rajin melakukan

advokasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang tertindas, sesuatu yang cukup

sulit ditemukan dalam kehidupan Cak Nur. Jika Cak Nur berusaha menghindari

sekularisme dalam gagasannya, lalu ia menawarkan konsep sekularisasi yang dinilai

lebih halus, maka tokoh seperti M. Dawam Rahardjo malah menegaskan konsep

105 Islam Yes, Partai Islam No? Menjadi salah satu sub bab dalam artikel Cak Nur tersebut. Lihat Rachman. H. Lxi, lihat juga Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Soucebook, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 485. 106 Rachman, Ensiklopedi.

Page 85: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

sekularisme.107 Bagi Dawam, bukan sekularisme yang harus ditolak, melainkan kita

harus mencari konsep atau model sekularisme yang bisa diterapkan di Indonesia.

Secara umum, gagasan kebebasan yang diusung oleh Isaiah Berlin

memperoleh legitimasi dalam kancah pemikiran liberal Islam. Para pemikir liberal

Islam begitu kuat menentang segala bentuk dogmatisme tradisional, tetapi juga tidak

terjebak dalam perangkap absolutisme pemikiran Barat. Posisi seperti inilah yang

diharapkan muncul oleh Berlin. Berlin jelas menolak dogmatisme atau

otoritarianisme tradisional, tetapi juga begitu takut dan melawan kemungkinan

munculnya absolutisme modernitas. Dilema harus selalu ada sebab dengan begitu

kritisisme akan selalu hadir. Sementara jika satu konsep telah ditetapkan absolut,

maka pada saat itu pula kemungkinan sikap kritis menjadi tertutup. Berlin tidak

hendak menjadi kaum utopis yang membayangkan kehidupan harmoni tanpa celah.

Dilema pemikiran Berlin justru sebagai penegas bahwa kehidupan ini memang

dipenuhi dengan duri dan konflik. Meskipun demikian, kita tetap bisa menata

kehidupan itu, agar dampak luka dan konfliknya tidak terlalu besar. Mari mengatur

kehidupan ini secara alamiah, tanpa harus membayangkan sesuatu yang tampak indah

namun utopis.

107 Dawam Rahardjo menegaskan pendiriannya itu dalam pelbagai forum, sayang hasil publikasinya belum maksimal.

Page 86: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengalaman hidup Berlin yang diwarnai peristiwa-peristiwa besar dunia

seperti Perang Dunia dan munculnya idiologi-idiologi totalitarian membuatnya

menjadi pemikir yang sangat kritis terhadap semua pemikiran yang berkembang di

dunia modern. Berlin tidak larut dalam euforia kemenangan modernitas dengan

rasionalisme sebagai panglimanya. Berlin tumbuh sebagai pemikir rasional yang

tidak penurut. Ia mengkritik secara rasional rasionalitas yang ia miliki sendiri.

Pertama-tama, Berlin mengungkap ketidaksahihan kebenaran yang diandaikan oleh

rasionalitas dan semua pengandaikan kebenaran yang berasal dari eksplorasi

kecakapan kemanusiaan. Melalui tiga pengkritik Pencerahan, Vico, Hamann dan

Herder, Berlin menemukan bahwa klaim kebenaran kaum Pencerahan, yang

merayakan kemanusiaan (subjektivitas), menyimpan tendensi universalistik atau

monisme, sesuatu yang sebetulnya ditolak oleh Pencerahan itu sendiri. Manusia

sangat tidak valid bicara kebenaran, apalagi kebenaran yang kemudian diabsolutkan,

karena manusia memiliki banyak kelemahan dan terutama karena manusia bukanlah

pencipta.

Page 87: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Sebagai anak kandung Pencerahan, Berlin kemudian tumbuh menjadi pemikir

liberal. Akan tetapi, liberalisme yang ia anut harus bersih dari tendensi universalisme.

Berlin kemudian membuat dua ketegori liberalisme: liberalisme positif (positive

liberty) dan liberalisme negatif (negative liberty). Berlin mengatakan bahwa hampir

semua pengendaian kebebasan yang dianut dalam tradisi Pencerahan mengadopsi

model kebebasan positif. Kebebasan positif adalah bentuk kebebasan yang

menempatkan individu sebagai subjek yang bebas mengekspresikan diri sesuai

dengan keinginannya. Refleksi diri inilah yang ditolak oleh Berlin, karena ia akan

menjadi legitimasi bagi praktek dominasi, dan pada tingkat yang ekstrim akan

menjadi alasan bagi otoritarianisme. Sementara kebebasan negatif sekedar ingin

menyatakan bahwa seseorang dikatakan bebas ketika ia tidak terhalangi dalam

mencapai apa yang ia inginkan. Jika kebebasan positif ingin menjawab pertanyaan

“apa atau siapa yang menentukan atau menjadi kontrol terhadap apa yang ingin

dilakukan oleh individu?,” maka kebebasan negatif menjawab pertanyaan, “sampai

batas mana individu bebas bertindak sesuai dengan apa yang ia inginkan?”

Penolakan keras Berlin terhadap universalisme Pencerahan adalah ketika ia

mengkonsepsikan value pluralism. Value pluralism mengandaikan bahwa ada banyak

nilai yang satu sama lain tidak bisa diperbandingkan (incommensurabity). Nilai-nilai

ini memiliki karakter yang unik dan berada pada wilayah yang berbeda-beda,

sehingga kita tidak mungkin melakukan klasifikasi dan perbandingan. Di sana tidak

ada klaim baik dan buruk. Tetapi bukan berarti bahwa dengan demikian Berlin

Page 88: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

menjadi penganut relativisme. Value pluralism bukan relativisme, sebab value

pluralism diandaikan belaku universal dalam sebuah budaya dan nilai yang ada.

Dengan demikian, negative liberty dan value pluralism adalah wilayah abu-

abu yang bergerak antara liberalisme dan pluralisme. Berlin menolak tendensi

universalisme dalam liberalisme, tetapi juga berhati-hati terhadap kecenderungan

relativisme dalam pluralisme. Berlin adalah seorang liberal yang pluralis.

B. Evaluasi Kritis

Membaca karya seorang pemikir, kendatipun begitu luar biasa hebat, tidak

mesti membuat pembaca larut dan kehilangan jati dirinya. Hemat penulis, pemikiran

tokoh seperti Berlin memang kerapkali begitu memukau, tetapi dengan itu pula

pembaca seringkali terjebak dalam penjara taklid. Oleh karena itu, sikap kritis harus

selalu muncul dalam proses pembacaan ini.

Penulis menyarankan agar hati-hati dengan perangkap inkonsistensi yang

sengaja dipasang oleh Berlin dalam karya-karyanya. Umumnya, kritikan utama yang

diajukan kepada Berlin adalah bahwa ia tampak tidak konsisten terhadap pilihan

konsep yang ia ajukan, yakni pilihan liberalisme yang tidak universalis tapi juga

pluralisme yang bukan relativis. Posisi ini, meski sangat unik, sangat rentan menjadi

pintu masuk para kritikus untuk membongkar pengandaian-pengandaian dasar dari

semua bangunan konsepsi Berlin. Argumentasi Berlin untuk menolak universalisme

Pencerahan dengan memakai alat Pencerahan yang ditolaknya adalah paradoks yang

luar biasa. Bagaimana mungkin menolak pengejawantahan diri rasional dengan

Page 89: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

melakukan pengejawantahan diri yang lain? Argumen utama dari tradisi Pencerahan

adalah penolakannya terhadap dogmatisme, absutisme dan universalisme. Bukankah

penolakan Berlin terhadap universalisme Pencerahan adalah bentuk kerja Pencerahan

itu sendiri?

Perangkap lain yang sengaja diciptakan oleh Berlin adalah mengenai dikotomi

dua bentuk kebebasan, yakni kebebasan positif dan kebebasan negatif. Berlin seolah

tidak cukup mampu memberikan penjelasan yang jernih mengenai dua pembedaan

konsep kebebasan itu. Freedom to dan freedom from tampak menjadi sesuatu yang

identik belaka. Kebebasan individu untuk melakukan sesuatu atau untuk

mengejawantahkan diri menjadi mungkin jika ia tidak terhalangi. Konsepsi ini bisa

diterima jika kita sadar bahwa proyek utama Berlin adalah untuk menolak tendensi

monisme dan ingin agar kebebasan menjadi suatu konsep yang tidak terlalu ideal

kemudian jatuh ke dalam utopianisme. Tetapi, sebagai konsep, pembedaan itu tampak

tetap rapuh.

Ketidak-jelasan posisi Berlin terhadap pluralisme dan liberalisme tentu

menjadi kritikan yang cukup besar bagi Berlin. Penolakannya terhadap universalisme

kebebasan dan relativisme pluralisme menjadikannya pemikir yang seolah tanpa

pijakan. Berlin menyerang universalisme dengan menggunakan logika relativisme,

tetapi menolak relativisme dengan menggunakan pengandaian universalisme.

Faktanya, kedua-duanya ditolak, dan pada saat yang sama juga diafirmasi.

Dengan demikian, semua konsepsi Berlin menjadi sangat politis. Konsep-

konsep itu dipergunakan pada saat menghadapi hal-hal tertentu. Konsep Berlin tidak

Page 90: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

mungkin diambil secara utuh untuk menyelesaikan problem yang berbeda. Kita hanya

mungkin mengambil salah satu konsep Berlin untuk menyelesaikan persoalan

tertentu, sambil mencoba menyembunyikan konsep lain agar tidak menjadi perusak,

demikian sebaliknya. Akhirnya, bisa dikatakan, bahwa sebetulnya Berlin tidak berdiri

pada posisi manapun.

Sekalipun demikian, tingkat ketajaman berpikir dan kritisisme yang

dikembangkan oleh Berlin tetap merupakan sumbangan yang sangat berarti. Berlin

menjadi penganut Pencerahan dalam pengertian yang sebenarnya. Berlin selalu

diliputi keraguan, sehingga tidak ada konsep yang bisa berdiri utuh di hadapannya,

karena akan selalu ia periksa dan, jika perlu, dihancurkan. Penghancuran itu sendiri

akan menjadi konsepsi baru yang akan diperiksa kembali oleh Berlin. Kemudian, ia

mungkin akan melakukan rekonstruksi atau pemulihan.

Page 91: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

DAFTAR PUSTAKA

A. Rujukan Primer

Berlin, Isaiah, Concepts and Categories: Philosophical Essays, London: Pimlico, 1999.

---------, Four Essays on Liberty, Oxford: Oxford University Press, 1992. ---------, Four Essays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan,

Jakarta: Freedom Institute dan LP3ES, 2004. ---------, Freedom and It’s Betrayal: Six Enemies of Human Liberty, Princeton:

Princeton University Press, 2002. ---------, Karl Marx: His Life and Environment, New York: A Galaxi Book, 1963. ---------, Liberty, Oxford: Oxford University Press, 2002. ---------, The Hedgehog and The Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History, New

York: Simon and Schuster, 1953. ---------, The Magus of The North: J. G. Hamann and The Origins of Modern

Irrationalism, London: John Murray, 1993. ---------, The Power of Ideas, London: Pimlico, 2001. ---------, The Proper Study of Mankind, London: Pimlico, 1998. ---------, The Roots of Romanticism, London: Pimlico, 2000. ---------, The Sense of Reality, London: Pimlico, 1997. ---------, Three Critics of The Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, London:

Pimlico, 2000.

Page 92: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

B. Rujukan Sekunder Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, terj. Alois A. Nugroho dan J. M.

Subijanta, Asal-usul Totalitarianisme: Jilid II, Imprealisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

---------, The Origins of Totalitarianism, terj. J. M. Subijanta, Asal-usul

Totalitarianisme: Jilid III, Totalitarianisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Beiser, Frederick C., The Cambridge Companion to Hegel, Cambridga: Cambridge

University Press, 1993. Bellamy, Richard, Rethinking Liberalism, London & New York, Pinter, 2000. ---------, Liberalism and Pluralism: Towards a Politics of Compromise, London dan

New York: Routledge, 1999. Bertens, K., Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT Gramedia, 1981. Binder, Leonard, Islamic Liberalism, terj. Imam Muttaqin, Islam Liberal: Keritik

terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Boaz, David (ed.), The Libertarian Reader: Classic and Contemporary Readings

from Lao-tzu to Milton Friedman, New York: The Free Press, 1997. Cohen, Marshall, The Philosophy of John Stuart Mill: Ethical, Political, and

Religious, New York: The Modern Library, 1961. Crowder, George, Liberalism and Value Pluralism, London & New York:

Continuum, 2002. ---------, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin, (esai yang

dipresentasikan di Universitas Tasmania, Hobart, 29 September – 1 Oktober 2003).

Flatman, Richard E., Toward A Liberalism, Ithaca and London: Cornell University

Press, 1989.

Page 93: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992.

---------, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social

Order, terj. Masri Maris, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Galston, William A., Liberal Pluralism: The Implikations of Value Pluralism for

Political Theory and Practice, Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Gray, John, Isaiah Berlin, New Jersey: Princeton University Press, 1995. ---------, Post Liberalism: Studies in Political Thought, London and New York:

Routledge, 1993. Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2004. Hayek, Friedrick A., The Constitution of Liberty, Chicago: The University of Chicago

Press, 1960. Jerry Z. Muller, The Mind and The Market: Capitalism in Modern European

Thought, New York: Alfred A. Knope, 2002. Kurzman, Charles (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook, terj. Bahrul Ulum dan Heri

Junaidi, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003.

Kymlicka, Will, Contemporary Political Philosphy: A Introduction, New York:

Oxford University Press, 1990. ---------, Multicultural Citizenship, New York: Oxford University Press, 1995. ---------, The Rights of minority Cultures, New York: Oxford University Press, 1995. Lilla, Mark dkk. (ed.), The Legacy of Isaiah Berlin, New York: New York Review

Book, 2001. Mendos, Susan, Toleration and The Limits of Liberalism: Issues in Political Theory,

London: The MIT Press, 1995. Mill, John Stuart, On Liberty, New Haven: Yale University Press, 2003.

Page 94: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

---------, Utilitarianism, Oxford: Oxford University Press, 2001. ---------, Willful Liberalism: Voluntarism and Individuality in Political Theory and

Practice, Ithaca & London: Cornell University Press, 1992. Nozick, Robert, Anarchy, State, and Utopia, New York: Basic Books, Inc.,

Publishers, 1974. Rapar, J. H., Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta:

Rajawali Pers, 2001. Rachman, Budhy Munawar (ed.), Ensoklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam

di Kanvas Peradaban, Jakarta: Paramadina, CSL dan Mizan, 2006. Rawls, John, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press, 2000. ---------, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1996. Ruggiero, Guido de, The History of European Liberalism, Oxford: Oxford University

Press, 1927. Sandel, Michael J., Liberalism and The Limits of Justice, Cambridge: Cambridge

University Press, 1982. --------- (ed.), Liberalism and It’s Critics, New York: New York University Press,

1984. Sen, Amartya, Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, New

York: Oxford University Press, 1982. ---------, Development as Freedom, New York: Alfred A. Knop, Inc., 2000. Straus, Leo and Joseph Cropsey (ed.), History of Political Philosphy, Chicago and

London: The University of Chicago Press, 1987. Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. Williams, Robert R. (ed.), Beyond Liberalism and Communitarianism: Studies in

Hegel Philosphy of Right, New York: State University of New York Press, 2001.

Page 95: Meneguhkan Kembali Kebebasan Individurepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8588/1/SAIDIMAN... · Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai

Zakaria, Fareed, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, New York: W. W. Norton and Company, 2003.