Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

16
Brought By: Mazizaacrizal a.k.a Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com : www.facebook.com/mazizaacrizal E-mail : [email protected] 50

description

 

Transcript of Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

Page 1: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

Brought By: Mazizaacrizal

a.k.a

Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi

Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com

: www.facebook.com/mazizaacrizal

E-mail : [email protected]

50

Page 2: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

MENDUDUKKAN POSISI FILSAFAT DALAM IJTIHAD

(Studi Atas Pemikiran A. Azhar Basyir)

ABSTRAK

A. Azhar Basyir is typically a rationalist Muhammdiyah Leader. His opinions are objective, methodic and realistic. Sometime his concepts are stabbed downward and opposite with Muhammadiyah mainstream. His idea about philosophy and Ijtihad should get higher appreciation. He always stresses on the importance of philosophy thinking in learning religion. For him, Ijtihad is about a matter of religion and it is a same thing with philosophy.

Kata Kunci: Filsafat, Ijtihad dan Ta’lîlul Ahkâm

PendahuluanKH. A. Azhar Basyir MA (yang selanjutnya penulis sebut Kiai Azhar) adalah

salah satu mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang terkenal sederhana, jujur dan teguh dalam pendirian. Kesederhanaan, kejujuran dan keteguhan pendirian Ulama kelahiran Kauman, 21 November 1928 ini, sudah tampak sejak beliau masih kecil.

Kiai Azhar kecil memulai pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Muhammadiyah (SRM) Suronatan pada tahun 1940. Kiai pemilik nama lengkap Ahmad Azhar Basyir ini juga sempat nyantri di pondok pesantren Salafiyah, Termas, Pacitan-Jawa Timur, kurang lebih selama satu tahun. Selepas itu, anak pertama dari empat bersaudara ini melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Falah dan berhasil lulus pada tahun 1944. Setelah dua tahun berselang, beliau juga berhasil memperoleh ijazah dari Madrasah Tabligh (Tabligh School) Muhammadiyah di Yogyakarta.

Sementara itu, pendidikan tingginya ia selesaikan di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN, s/k UIN) Sunan Kalijaga (1956). Berkat kecerdasan dan ketekunannya, Kiai Azhar muda memperoleh beasiswa belajar ke Universitas Baghdad, Irak. Di Universitas Baghdad ia mengambil jurusan Sastra, Fakultas Adab. Setamat kuliah di Baghdad-Irak, ia melanjutkan studi strata-2 ke Universitas Kairo, Mesir mengambil jurusan Syariah, Fakultas Dar al-Ulum dan memperoleh gelar MA dalam bidang dirasat Islamiyah (1965).

Sepulang dari Mesir, ia kemudian melanjutkan studinya di program purnasarjana Filsafat di UGM (1971-1972). Kiai Azhar kemudian dipercaya mengajar di Fakultas Filsafat UGM, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Surakarta, Univeristas Islam Indonesia dan

51

Page 3: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

Universitas Indonesia. Bahkan, Kiai Azhar sempat menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat di UGM.

Keterlibatan di MuhammadiyahKiai Azhar mengawali pengabdiannya di Muhammadiyah benar-benar dari

bawah. Ia terlibat aktif di Muhammadiyah sejak masih di bangku sekolah menengah pada tahun 1945. Kala itu, Ia tercatat aktif sebagai anggota Sekretariat Majelis Tarjih. Tugas utamanya adalah mengetik dan mengantar surat. Baru pada tahun 1954, karena kelebihannya dalam bidang ilmu agama, PP Muhammadiyah kemudian menunjuknya sebagai ketua Pemuda Muhammadiyah, saat pertama kali organisasi ini dibentuk.

Kiai Azhar tidak terlalu lama menjabat sebagai ketua Pemuda Muhammadiyah, sebab setahun setelah beliau terpilih, ia harus terbang ke Irak untuk menyelesaikan tugas belajarnya1. Setelah itu Kiai Azhar langsung melanjutkan studi S-2 di Mesir. Purnastudi S-2 di Mesir, Kiai Azhar kembali aktif di Muhammadiyah, sebagai anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Otoritas Kiai Azhar dalam bidang ketarjihan tidak perlu diragukan lagi. Kiai Azhar selalu all out dalam menjalankan tugas yang diembannya, lebih-lebih dalam bidang yang berkesesuaian dengan ekspertasinya.

Akhirnya, Kiai Azhar terpilih sebagai ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah periode 1985-1990. Di bawah kepemimpinannya, Majlis Tarjih dipacu sedemikian kencangnya untuk selalu mengembangkan paradigma tajdid yang secara konseptual memang sudah mendarah daging di Muhammadiyah.

Kepemimpinan Kiai Azhar di Majlis Tarjih dapat dikatakan berhasil dan membawa banyak kemajuan. Sehingga puncaknya, pada Muktamar di Semarang tahun 1990, ia terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1990-1995. di bawah kepemimpinan Kiai Azhar, Muhammadiyah selalu diarahkan menjadi gerakan yang produktif dan inovatif dengan tetap menjaga spirit purifikatif. Kiai Azhar juga terkenal sangat toleransif, ia selalu berusaha meminimalisir resistensi antara warga Muhammadiyah dan NU, yang pada masa itu masih saja sering bersitegang akibat perbedaan-perbedaan furū’iyah.

S. Sinansari Ecip menuturkan2, Pak AR Fakhruddin dan Kiai Azhar memiliki hubungan yang sangat dekat dengan KH. Achmad Siddiq, Rais Aam Syuriah NU pada waktu itu. Bagi mereka, lanjut Ecip, siapapun yang menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah dan PBNU harus tetap menjaga kerukunan dan merukunkan (warga) kedua Ormas tersebut. Bagi Kiai Azhar, kerjasama antara NU dan Muhammadiyah akan sangat bermanfaat dalam memberikan dukungan positif tercapainya pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas. Karenanya, menurut Kiai Azhar, hendaknya segera dihentikan saling menuding kekurangan masing-masing. Lebih baik tenaga yang ada digunakan untuk mempererat hubungan, saling bekerjasama, dan memberikan solusi-solusi cerdas untuk kepentingan umat bangsa dan Negara3.

1 Hery Sucipto dan Nadjamuddin Ramly. Tajdid Muhammadiyah Dari Ahmad Dahlan Hingga A. Syafii Maarif. (Jakarta; Grafindo, 2005) hal. 217

2 S. Sinansari Ecip. NU-Muhammadiyah; Bersaudara atau Orang Lain, dalam Abd. Rohim Ghazali (ed). Dua yang Satu: Muhammadiyah dalam Sorotan Cendekiawan NU. (Bandung: Mizan, 2000) hal. 30-31

3 Azhar Basyir. Refleksi atas Persoalan Keislaman. (Jakarta; Mizan, 1996) hal. 285

52

Page 4: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

Di bawah kepemimpinan Kiai Azhar, Muhammadiyah menjadi Ormas yang kian besar. Namun Tuhan tampaknya berkehendak lain, setahun sebelum periode kepengurusan Kiai Azhar berakhir, malaikat Maut sudah menjemputnya, Inna lillâhi wa inna ilaihi rajiūn, wa Allâhu Yarhamhu. Posisi beliau kemudian digantikan Prof. Dr. M. Amien Rais, yang dalam perkembangannya juga tidak sampai menuntaskan periode kepemimpinannya, karena harus mengobarkan reformasi.

Selain di Muhammadiyah, Kiai Azhar juga sempat aktif sebagai salah satu pengurus Majlis Ulama Indonesia (MUI) pusat, dan sebagai anggota MPR RI (1993-1998). Kiai Azhar juga tercatat aktif sebagai salah seorang ketua Akademi Fikih Islam di Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Karya-karya beliau antara lain, Masalah Imamah dalam Filsafat Politik Islam (1981), Hukum Perkawinan Islam, Garis Besar Sistem Ekonomi Islam (1981), Hukum Waris Islam (1982), Falsafah Ibadah dalam Islam (1983), Hukum Adat di Indonesia, Hubungan Agama dan Pancasila, Citra Masyarakat Muslim (1984), Refleksi atas Persoalan Keislaman (1996), Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam dan lain sebagainya.

Konsep Ijtihad dan FilsafatKiai Azhar merupakan prototipe orang Muhammadiyah yang

mengembangakan corak berfikir rasional dan filosofis. Kiai Azhar terkenal sangat dekat dengan filsafat, selain karena memang sosok pribadinya yang kritis, pendidikan purnasarjananya di bidang filsafat, sedikit banyak juga ikut mempengaruhi pola berpikirnya.

Dalam bidang filsafat, Kiai Azhar termasuk orang yang mengidolakan kaum Mu’tazilah. Terlepas dari pro-kontra doktrin teologis yang dikembangkan, pemikiran-pemikiran kaum Mu’taziliy yang rasional dan objektif, kerap menjadi inspirasi dalam filsafat yang dikembangkan oleh Kiai Azhar.

Kiai Azhar mendefinisikan filsafat4 sebagai pemikiran yang rasional, sistematik dan radikal tentang sesuatu, yang objek formalnya dapat tentang manusia, alam dan Tuhan5. Bentuk aplikasi dari definisi ini, bahwa menurut Kiai Azhar fenomena-fenomena kemanusiaan, alam dan ke-Tuhan-an haruslah dapat dipahami dan dijelaskan secara rasional dan tuntas sampai ke akarnya. Meskipun penyingkapan terhadap fenomena yang disebut terakhir, akan terus memunculkan misteri-misteri baru. Inilah yang kemudian oleh Munir Mulkhan diintrodusir sebagai konsep Teologi Sisa.

Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Jember, yang juga Guru penulis, pernah mengisahkan bentuk konkrit cara berfikir filosofis Kiai Azhar ini. Ceritanya, saat Kiai Azhar diundang untuk memberikan stadium general. Ada salah seorang peserta yang bertanya kepadanya, mengapa sholat harus selalu

4 Azhar Basyir. Filsafat dalam Hukum Islam. Makalah yang disampaikan pada reuni alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga dan seminar hukum Islam pada tanggal 7-8 Juli 1996. (Yogyakarta, 1996) hal.1

5 Bandingkan dengan konsep teologi Mu’tazilah, bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui lewat pemikiaran yang mendalam. Bahkan, tanpa kehadiran wahyu sekalipun, menurut Mu’tazilah, dengan pemikiran yang mendalam dapat diketahui mana yang baik dan mana yang buruk. Syahrastani juga mengatakan bahwa Mu’tazilah satu dalam pendapat bahwa kewajiban mengetahui dan bersyukur kepada Tuhan, serta kewajiban menjalankan yang baik dan mengerjakan yang buruk dapat diketahui oleh akal. Lihat Harun Nasution. Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2002) hal. 82-83

53

Page 5: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

menghadap ke Barat, yang diasumsikan searah dengan kiblat. Padahal bentuk bumi bulat, karena itu meskipun menghadap ke berbagai penjuru arah, pada akhirnya akan sampai juga pada kiblat.

Dengan retorika yang filosofis, Kiai Azhar balik bertanya kepada sang penanya. Dengan nada kalem ia bertanya, “Mana telinga anda?” (penanya diminta menunjukkan seraya memegangnya). Spontan, orang tersebut langsung memegang telinga kanannya, menunjukkan pada Kiai Azhar. Setelah itu, Kiai Azhar berkomentar, “Mengapa anda memegang telinga kanan tanpa mutar dulu ke telinga kiri?” papar Kiai Azhar sambil berusaha menyadarkan.

Kiai Azhar menekankan agar filsafat dapat diterapkan sebagai cara berfikir dalam bidang apapun, lebih-lebih hukum Islam. Hukum Islam harus ditampilkan secara elegan. Hal itu berarti bahwa hukum Islam harus tetap relevan dengan perkembangan zaman. Agar hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman, dirasa sangat perlu interpretasi baru dalam menjawab tantangan konteks zaman. Konsep berfikir yang rasional, metodik dan radikal mutlak diperlukan dalam usaha reinterpretasi itu. Oleh karena itu, kerja akal yang filosofis menjadi sangat diperlukan dalam hal ini.

Kiai Azhar memiliki pandangan bahwa filsafat dalam hukum Islam adalah Ijtihad. Dalam pernyataannya, ia menandaskan:

Filsafat dalam hukum Islam tidak lain adalah ijtihad dalam hukum Islam. Ijtihad terutama sekali dipergunakan untuk menetapkan hukum yang tidak manshush. Hadits Muadz Ibn Jabal menyebutkan sumber-sumber hukum Islam, al-Qur’ân dan Sunnah; hal-hal yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’ân dan Sunnah ditetapkan dengan Ijtihad6

Ada beberapa poin yang harus digarisbawahi dari pernyataan Kiai Azhar tersebut, Pertama, bahwa aplikasi cara berfikir filosofis dalam hukum Islam adalah dengan Ijtihad. Oleh karena itu, dalam berijtihad, proses penggalian hukum haruslah rasional, sistematis dan radikal. Dalam kaitannya dengan pengkajian teks al-Qur’ân misalnya, maka pendekatan yang digunakan haruslah integral, komprehensif dan holistik. Kedua, ijtihad hanya dibolehkan terhadap penetapan hukum-hukum yang tidak manshush atau terhadap hal-hal yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’ân dan Sunnah. Hal ini mengindikasikan bahwa ijtihad terjadi pada dalil-dalil yang masih bersifat dzanniy.

Hemat Kiai Azhar, di dalam al-Qur’ân dan sunnah ada banyak hal yang merangsang umat Islam untuk berijtihad. Masalah-masalah baru yang belum sempat muncul pada masa Rasul adalah objek ijtihad yang paling empuk. Lebih-lebih pada saat ini dakwah Islam semakin luas dan mencakup hampir seluruh ras/bangsa di dunia. Perbedaan budaya, adat-istiadat, sistem sosial dalam situasi dan kondisi yang juga berbeda sangat memungkinkan menuntut pembaharuan dan perluasan hukum Islam. Untuk memenuhi target itu, ijtihad adalah jalan satu-satunya.

Di dalam tulisan yang lain Kiai Azhar mempertegas arti ijtihad, ia menjelaskan bahwa ijtihad adalah penggunaan pikiran yang semaksimal mungkin untuk menemukan hukum Syara’7. Definisi ini mirip dengan definisi yang diintrodusir oleh

6 Azhar Basyir. Filsafat…….loc cit

7 Azhar Basyir. Pokok-pokok Ijtihad dalam Hukum Islam, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri. Ijtihad dalam Sorotan. (Bandung; Mizan, 1988) hal. 46

54

Page 6: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

Abdul Wahab Khalaf8 dan Khudari Bik, bahwa Ijtihad adalah pengerahan kemampuan menalar yang dimiliki oleh seorang Fakih dalam mencari hukum-hukum syar’i.

Penggunaan kerja akal dapat meliputi perumusan metode; pelacakan sumber-sumber lain yang mendukung; upaya pemaknaan terhadap teks dan konteks; atau apa saja senyampang relevan dan tidak bertentangan dengan al-Qur’ân dan Sunnah. Usaha yang demikian tidak boleh berhenti, sampai hukum syara’ yang dimaksud dapat ditemukan.

Oleh karena itu, Kiai Azhar menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dalam melakukan kerja Ijtihad. Khusus tentang hal ini secara tersirat beliau menetapkan,

Oleh sebab, yang dicari adalah ketentuan hukum syara’, maka yang melakukan ijtihad harus benar-benar Muslim; kukuh akidahnya, baik ibadahnya dan mulia akhlaknya. Karena dalam mencarinya menggunakan pikiran, maka pencarinya pun harus memenuhi syarat-syarat berfikir yang benar. Karena hukum yang dicari harus berdasarkan dalil-dalil, maka pencarinya harus mengetahui bahasa yang digunakan dalam dalil-dalil tersebut. Bahasa al-Qur’ân dan sunnah harus benar-benar diketahui, sejauh memungkinkan beristinbath (memetik kesimpulan hukum) dari al-Qur’ân dan Sunnah. Juga, seluk beluk al-Qur’ân dan sunnah harus diketahui secara baik. Mengetahui dengan benar ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang menyangkut masalah-masalah yang dibahas. Jiwa syari’at dan tujuannya untuk mewujudkan kebaikan hidup manusiapun harus diketahuinya dengan baik9.

Bagi Kiai Azhar orang yang hendak berijtihad (Mujtahid) haruslah seorang muslim yang memiliki integritas dan loyalitas terhadap Islam; memiliki kemampuan berfikir yang metodik dan sistematis; mengerti dan paham betul bahasa Arab beserta derivasinya; mengetahui dan memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan ketentuan hukum yang akan dibahas; lebih dari itu seorang mujtahid juga dituntut memahami maqâsid al-syarî’ah yang semuanya ditujukan untuk kemaslahatan manusia10.

Ta’lîlul ahkâm dan Maqâsidus Syarî’ahIjtihad, menurut Kiai Azhar, juga dapat terjadi dalam memahami hukum yang

sudah manshush. Namun dalam hal ini, Kiai Azhar hanya membolehkan dua macam jenis Ijtihad, yaitu ta’lîlul ahkâm (menemukan illat dari sebuah hukum) dan menemukan maqasidus syari’ah dari sebuah khitâb11.

Ta’lîlul ahkâm merupakan bagian yang sangat pelik dalam ijtihad. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa, illat tidak selalu tercantum secara sharih mengiringi sebuah khitâb. Jika illat sudah manshush mengiringi khitâb, hal itu tidak

8 Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan ijtihad sebagai badzlul juhdi li al-wushūli ila al-hukmi al-syar’iy min dalîlin tafshiliyin min al-adillati al-syar’iyyati. Lihat Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushūli al-fiqhi. (Kairo: Darul Qalam, 1978) hal. 2169 Azar Basyir. Ibid, hal. 46-4710 Bandingkan dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh Imam al-Ghazali, baca dalam Abu Hamid

bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mushtashfa fi Ilmi al-Ushul. Jilid II (Beirut: Dar al-Ihya at-Turats, 1324 H) hal. 350-358

11 Azhar Basyir. Filsafat……loc cit

55

Page 7: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

terlalu menjadi masalah. Misalnya, illat tentang kewajiban suami mencukupi kebutuhan keluarganya, yang mengiringi khitâb tentang bagian waris yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan.

Masalahnya akan menjadi semakin pelik jika illat semacam itu tidak secara tegas manshush mengiringi khitâb. Ta’lîlul ahkâm terhadap masalah yang demikian inilah yang memerlukan ketajaman persepsi terhadap ruh syariah. Persoalan akan semakin rumit jika kemudian ternyata diketahui bahwa (yang dianggap) illat sebuah hukum dapat dihilangkan atau hilang dengan sendirinya seiring dengan perkembangan zaman.

Sebut saja misalnya, illat tentang diharamkannya daging babi. Orang selama ini percaya bahwa illat pengharamannya adalah karena di dalam daging babi ada banyak cacing pita yang dapat merusak kesehatan kalau dimakan. Namun, seiring perkembangan ilmu dan teknologi, kandungan cacing pita dalam daging babi dapat dinetralisir, sehingga tidak membahayakan lagi. Kalau sudah demikian, apa lantas khitâb pengaharaman daging babi gugur dengan sendirinya, seiring dihilangkannya (yang dianggap illat) pengharamannya.

Atau illat tentang kebolehan menjama’ dan mengqashar shalat. Banyak orang mengganggap bahwa illat menjama’ dan mengqashar shalat adalah rasa lelah yang dialami musafir selama melakukan perjalanannya. Lalu yang menjadi soal, dapatkah pekerja kasar selalu menjama’ dan mengqashar shalatnya dengan dalih illatnya sudah terpenuhi? Sebaliknya, bagi para musafir yang saat ini sudah dapat menggunakan jasa maskapai penerbangan dalam perjalanannya, apa juga masih berlaku illat di atas?

Kemusykilan-kemusykilan semacam itu sangat mungkin terjadi dalam proses ta’lîlul ahkâm. Contoh-contoh di atas kiranya mengindikasikan, benar apa yang dikatakan Kiai Azhar bahwa usaha menemukan illat hukum tidak semudah kelihatannya. Illat, disadari atau tidak, bisa saja berubah. Atau jangan-jangan illat pilihan kitalah yang kemudian menjadi tidak relevan kalau enggan dibilang salah. Karena jika ditelaah lebih dalam, ditemukan kenyataan bahwa illat itu tidak tunggal. Kemampuan ijtihad untuk mengembangkan alternatif-alternatif illat itulah yang oleh Kiai Azhar disebut sebagai usaha yang memerlukan ketajaman persepsi terhadap ruh syariah.

Masalah penentuan maqâsidus syarî’ah juga tak kalah rumitnya, jika para fuqaha merumuskan bahwa tujuan syari’ah terutama adalah untuk mashâlihul ibâd. Oleh karena itu, Kiai Azhar meyakini bahwa nash-nash hukum telah mengandung tujuan kemaslahatan itu12. Namun, dengan dalih maslahah baru menuntut ketentuan hukum yang baru pula, karena tidak sesuai dengan maslahah sewaktu al-Qur’ân diwahyukan, kemudian membatalkan hukum nash, mengganti dengan hukum baru, tidak dapat dibenarkan menurut Kiai Azhar.

Nasakh-mansukh tidak lagi relevan diterapkan untuk periode ijtihad masa sekarang. Periode nasikh mansukh selesai bersamaan dengan selesainya al-Qur’ân diturunkan. Selain Allah, lanjut Kiai Azhar, tidak ada yang boleh menasakh hukum ataupun teks ayat al-Qur’ân 13. Hal itu berarti, apapun bentuk dan hasil Ijtihad tidak dapat menasakh al-Qur’ân.

12 Azhar Basyir, Filsafat…….., Ibid, hal. 2

13 Azhar Basyir, Filsafat…….., Ibid, hal. 2

56

Page 8: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

Ijtihad tentang Konsep NegaraMengenai konsep Negara, dengan tegas Kiai Azhar menyatakan bahwa tidak

ada satupun nash yang dengan jelas memerintahkan didirikannya Negara, apalagi yang berpredikat Negara Islam. Menurutnya, konsep Negara Islam merupakan hasil ijtihad fuqaha, yang kemudian menyimpulkan bahwa syariat Islam menuntut adanya Negara Islam bagi umat Islam demi terlaksananya ajaran Islam dalam masyarakat. Sedangkan, masih menurut Kiai Azhar, umat Islam Indonesia telah memiliki Negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang antara lain menganut sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karenanya tak lagi memerlukan bentuk Negara lain.

Pelaksanaan ajaran Islam dapat diperjuangkan lewat sistem demokrasi. Dengan mengutip naskah pidato kenegaraan Presiden Soeharto14, Kiai Azhar menyatakan bahwa sila-sila yang ada dalam Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam15. Bagi Kiai Azhar, yang penting ialah bagaimana dapat terpeliharanya keserasian antara agama dan Pancasila. Masing-masing berada pada fungsinya dan berjalan bersama-sama, tanpa yang satu mendesak yang lain. Misalnya, jangan sampai ketentuan dalam al-Qur’ân yang melarang Muslimah kawin dengan non-muslim, atau pelaksanaan qishas bagi pembunuh, karena dalih pengamalan sila persatuan Indonesia dan kemanusiaan yang adil dan beradab, dianggap tidak Pancasilais16.

Beberapa CatatanTanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap sosok sekaliber Kiai Azhar,

ada beberapa hal yang perlu dicatat dari percik pemikiran Kiai Azhar.Pertama, Filsafat yang dikembangkan oleh Kiai Azhar lebih bertumpu pada

konsep rasionalistik an sich. Hal yang demikian tampak pada definisi yang diintrodusir oleh Kiai Azhar tentang filsafat dan bagaimana aplikasinya dalam usaha penemuan hukum Islam (keduanya telah telah penulis kupas pada pokok bahasan yang mendahului).

14 Dalam pidatonya, presiden Soeharto mengatakan, Pancasila bukan agama. Pancasila tidak akan dan tidak mungkin menggantikan agama. Pancasila tidak akan diagamakan, begitu juga agama tidak akan dipancasilakan. Tidak ada sila-sila dari Pancasila yang bertentangan dengan agama. Dan tidak ada satu agama pun yang ajarannya memberi tanda-tanda pelarangan terhadap pelaksanaan sila-sila Pancasila. Karena itu, kita dapat menjadi pengamal agama yang sekaligus pengamal Pancasila yang baik. Maka dari itu, jangan sekali-kali ada yang mencoba mempertentangkan agama dan Pancasila, karena memang keduanya tidak bertentangan. Lihat Azhar Basyir, Refleksi...., (Bandung: Mizan,1996)

15 Dawam Raharjo juga termasuk tokoh yang tidak setuju dengan orang yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila. Karena Pancasila tidak bisa dibandingkan dengan Islam sebagai agama. Dawam mengumpamakan perbandingan seperti itu bukanlah perbandingan apel (buah) dengan apel (ziarah ke tempat pacar). Pancasila hanyalah ideologi atau asas, minimal untuk hidup kita bersama dalam sebuah bangsa yang majemuk. Pancasila intinya adalah persatuan, gotong royong, dan kebersamaan yang merupakan ideologi kita bersama. Sedangkan Islam merupakan agama bagi umatnya. Jadi, menurut Dawam, jangan dibandingkan Pancasila dengan Islam. Jangan menganggap Pancasila itu sebagai agama. Kalau Pancasila ditempatkan sebagai agama, jelas itu akan bertentangan dengan Islam. Demikian sebaliknya. Kalau Islam dijadikan ideologi negara, jelas ia akan bertentangan dengan Pancasila yang merangkul semua bentuk kemajemukan dalam berbangsa.

16 Azhar Basyir. Refleksi.....Ibid, hal. 245-250

57

Page 9: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

Prinsip berfikir yang demikian itu berdampak pada semakin tidak di-kembangkannya nuansa-nuansa esoteris dalam filsafat. Mungkin orang lebih menganggap nuansa-nuansa esoteris adalah objek kajian dalam khazanah sufisme. Pendapat yang demikian memang benar, tetapi juga tidak dapat di-salahkan kalau kemudian hal itu dikembangkan dalam ranah filsafat.

Bagi penulis, terlalu berlebihan jika ada klaim yang secara tegas memisahkan bahwa esoterisme adalah milik tasawuf. Sedangkan filsafat hanya berkutat dalam rasionisasi. Sebab, kalau dikaji lagi akan kita temukan bahwa khazanah filsafat juga pekat dengan nuansa esoterisme. Simak saja pengertian filsafat menurut al-Kindi, baginya filsafat secara teoritis adalah pengetahuan untuk memperoleh kebenaran, dan secara praktis agar dapat berperilaku sesuai dengan kebenaran itu17. Lebih spesifik Seyyed Hossein Nasr mengutip beberapa definisi filsafat yang sering digunakan oleh filsuf Muslim, yang juga banyak diadopsi dari khazanah filsafat Yunani. Bahwa filsafat adalah (upaya) menjadi seperti Tuhan dalam kadar kemampuan manusia; dan filsafat adalah mencari perlindungan dalam kematian (cinta pada kematian)18.

Secara gamblang, pernyataan-pernyataan di atas memasukkan unsur-unsur esoterisme-spiritualistik dalam filsafat. Hal ini penting, karena pada saat-saat tertentu spiritualitas akan lebih menemukan momentumnya dibandingkan dengan rasionalitas.

Kedua, bagi penulis usaha ta’lîlul ahkâm tidak hanya terbatas pada illat mansuhsh yang mengiringi sebuah khitâb, sebagaimana yang diuraikan Kiai Azhar. Lebih dari itu, usaha mengembangkan alternatif illat juga dapat merambah illat-illat yang sudah dijelaskan secara sharih, yang mengiringi khitâb. Guna memperjelas argumentasi itu, berikut adalah gambarannya; Ayat tentang pengharaman meminum khamr, misalnya. Illat sharih yang mengiringinya adalah bahwa haramnya meminum khamr adalah karena jenis minuman ini memabukkan dan manfaatnya lebih kecil dibanding mudharatnya. Masalahnya, kalau seandainya seiring dengan perkembangan teknologi, dapat direkayasa sehingga khamr dapat disulap menjadi sesuatu yang justru manfaatnya lebih besar dari pada madharatnya. Apa lantas tidak perlu berusaha mencari illat baru untuk menggantikan illat yang sudah dihilangkan? Jika ingin mempertahankan keharaman khamr.

Hal inilah yang kemudian menjadikan usaha ta’lîlul ahkâm menjadi pelik dan membutuhkan pemikiran yang tidak asal-asalan. Belum lagi kalau kemudian illat yang sudah ditemukan, diintrodusir untuk menemukan hukum persoalan yang lain. Tapi, pelik bukan berarti tidak mungkin. Kapan orang Islam bisa maju kalau hanya karena melihat sesuatu yang dianggap sulit lalu kemudian menyerah, tidak lagi mau mengambil inisiatif dan konkritisasi.

Ketiga, tentang konsep negara yang diajukan Kiai Azhar. Baginya Indonesia bukan negara Islam dan tidak perlu dijadikan sebagai negara Islam, dengan alasan sebagaimana telah disebutkan. Salah satunya adalah karena konsep negara tidak secara tegas diatur dalam al-Qurân, dan lebih merupakan hasil ijtihad fuqaha. Padahal, di dalam ijtihadnya ulama Fiqh membagi Negara menjadi tiga macam;

(1). Negara Islam, yakni Negara yang sebagian warganya memeluk agama Islam dan menjalankan hukum-hukum Islam atau Negara yang dikuasai oleh kaum Muslimin, meskipun penduduknya mayoritas bukan Islam, bisa juga berarti Negara

17 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003) hal. 31

18 Ibid, hal. 30

58

Page 10: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

yang dikuasai oleh non muslim, tapi penduduknya mayoritas Islam dan menjalankan hukum-hukum agamanya. (2). Negara yang berperang dengan Islam, yaitu Negara yang harta, jiwa dan kekuasaannya tidak dijamin oleh Islam, selama tidak ada perjanjian damai dengan Negara Islam. (3). Negara yang berdamai dengan Negara Islam, yakni Negara yang berada di bawah lindungan Negara Islam sesuai dengan perjanjian keamanan.

Jika terminologi tersebut kita jadikan sebagai mindset untuk memotret Indonesia, kira-kira Indonesia masuk pada terminologi yang mana, pertama, kedua atau ketiga?

KesimpulanKiai Azhar adalah tipe pemimpin Muhammadiyah ordo filsafat. Pemikirannya

tentang filsafat dan ijtihad cukup inspiratif dan iluminatif. Ijtihadnya tentang konsep negara betapa telah menjadi bukti bahwa ia adalah tipe pemikir Islam yang rasionalistis sekaligus realistis. Gagasan-gagasan cerdasnya malampaui bahkan tak jarang menjungkirbalikkan pemikiran-pemikiran umum di masanya. Tidak hanya bagi Muhammadiyah, letupan-letupan pemikiran Kiai Azhar juga patut dijadikan sebagai rujukan bagi semua golongan yang hendak mengembangkan corak pemikiran filosofis.

Lebih penting lagi, sonar pemikiran Kiai Azhar tentang ijtihad harus terus dikembangkan untuk menjaga agar pintu ijtihad tetap terbuka dan banyak yang memasukinya. Karena kecenderungan saat ini, meskipun pintu ijtihad sudah dinyatakan terbuka, tapi tidak banyak orang yang memasukinya. Hal ini disebabkan banyak kalangan yang minder lebih dulu melihat syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum berijtihad. Sehingga, ijtihad terkesan elitis dan eksklusif.

Bagi penulis, terbukanya pintu ijtihad ibarat terbukanya pintu restoran. Meskipun menu makanan di dalamnya lebih enak dan pasti variatif, tapi masih banyak orang yang silau jika harus makan di restoran, takut harganya terlalu mahal. Padahal kalau sudah singgah betul, belum tentu harganya lebih mahal. Oleh karenanya, kalau sudah mengetahui ada restoran buka, tidak perlu sungkan untuk mampir, silahkan makan sepuasnya. Perkara nanti uangnya tidak cukup, tinggalkan saja KTP sebagai jaminan, selesai kan?

Begitu juga halnya dengan kerja ijtihad. Jika sudah terang-terangan dinyatakan pintu ijtihad terbuka, mari ramai-ramai berijtihad. Kalau toh nanti hasilnya dirasa kurang tepat, proses pembetulan dalam ijtihad bukanlah hal yang tabu. Ijtihad sangat penting untuk menjawab problematika hukum baru, atau hukum lama yang membutuhkan pembaharuan. Tidak baik terlalu banyak men-tawaquf-kan perkara. Wa Allâhu a’lam bi al- shawâb

59

Page 11: Mendudukkan Posisi Filsafat dalam Ijtihad

Daftar Pustaka

al-Ghazali, Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad. 1324 H. al-Mushtashfa fi Ilmi

al-Ushul Jilid II. (Beirut: Dar al-Ihya at-Turats) Bagir, Haidar dan Syafiq Basri. Ijtihad dalam Sorotan. (Bandung; Mizan, 1998)Basyir, Azhar. Refleksi atas Persoalan Keislaman. (Jakarta; Mizan, 1996) --------------. Filsafat dalam Hukum Islam (Makalah tidak diterbitkan). (Yogyakarta,

1996) Ghazali, Abd. Rohim (ed). Dua yang Satu: Muhammadiyah dalam Sorotan

Cendekiawan NU. (Bandung: Mizan, 2000) Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (eds). Ensiklopedi Tematis FilsafatIslam,

(Bandung: Mizan, 2003)Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushūli al-fiqhi. (Kairo: Darul Qalam, 1978)Nasution, Harun. Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2002) Sucipto, Hery dan Nadjamuddin Ramly. Tajdid Muhammadiyah Dari Ahmad Dahlan

Hingga A. Syafii Maarif. (Jakarta; Grafindo, 2005)

60