Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia
-
Upload
irza-anwar -
Category
Documents
-
view
119 -
download
4
description
Transcript of Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia
1
BAB IPENDAHULUAN
Sampai sekarang, Pendidikan Bahasa, khususnya Pendidikan
Bahasa Arab belum mempunyai identitas yang jelas. Di satu sisi,
ketika ia berada di bawah payung besar “Pendidikan”, ia dianggap
hanya menempel, tidak mempunyai peran yang tepat. Ia hanya
menunggu titah dari “Pendidikan” untuk menjalankan kegiatan
pendidikan kebahasaan. Selain hanya menempel, dalam bidang
penguasaan materi pun masih diragukan. Karena di dalam tubuh
“Pendidikan”, hanya teori dan praktik kependidikan secara
umumlah yang lebih dominan. Sedangkan Bahasa kalah, dan
determinan.
Di sisi lain, ketika Pendidikan Bahasa Arab berada di bawah
instruksi bahasa, ia miskin pengetahuan tentang praktik dan
perumus kebijakan pendidikan bahasa. Karena ia hanya mumpuni
dalam bidang kebahasaan; baik dari segi keilmuan, maupun
sebagai alat komunikasi. Taruhlah, ketika akan merancang
bagaimanakah kurikulum pendidikan bahasa yang baik,
bagaimana cara menghadapi peserta didik yang sangat sulit dalam
menyerap materi? Ia pasti sangat memerlukan uluran
pengetahuan dari Pendidikan.
Kedua posisi di atas menjadikan Pendidikan Bahasa Arab
selalu salah posisi. Ia bagaikan anak buangan, yang tidak diterima
di kedua ranah. Karena kalaupun ia diterima di salah satu ranah,
ia tetap tidak mampu mengesampingkan kebutuhan akan asupan
pengetahuan yang mapan dari ranah yang lain.
Di luar kedua paradigma tadi, ada yang mencoba menengahi
dengan mencoba membuat keduanya saling bersua, melalui
jembatan Linguistik Edukasional. Adalah JD Parera yang
mencetuskan teorinya tentang penempatan yang tepat bagi
Pendidikan Bahasa, khususnya Pendidikan Bahasa Arab.
2
Pendapat Parera ini, tidak ada posisi yang paling dominan di
antara keduanya. Yang ada hanyalah saling mengisi kekosongan
yang ada. Misalnya, ketika Bahasa akan merumuskan kebijakan
seputar pelaksanaan pendidikan bahasa Arab, maka ia meminjam
teori perencanaan milik pendidikan. Begitu juga sebaliknya, ketika
pendidikan akan mengaplikasikan metode pembelajaran, sudah
tentu ia harus mempertimbangkan materi milik bahasa yang akan
diajarkan.
Memang, secara skimming -meminjam istilah dalam teknik
membaca, yang berarti membaca secara cepat-, teori JD Parera
dapat dijadikan alternatif untuk “menyelamatkan muka”
Pendidikan Bahasa dari label “tidak berpendirian”. Namun lagi-
lagi timbul masalah. Dikatakan bahwa jika sebuah rumpun
keilmuan ingin dianggap mapan, maka ia harus mempunyai istilah
teknis untuk menyebut berbagai kegiatan di dalamnya. Sedangkan
Pendidikan Bahasa Arab masih bergantung kepada kedua wali
asuhnya, Pendidikan dan Bahasa. Dengan kata lain, sudah tidak
ada sekat lagi antara pendidikan dan bahasa, terlepas walaupun
dengan adanya jembatan Linguistik Edukasional. Yang ada
hanyalah “Pendidikan Bahasa”, yang bersifat mandiri, tidak ada
aspek yang dominan maupun determinan.
Secara “bahasa gambar”, perseteruan mengenai posisi
Pendidikan Bahasa, apakah di dalam payung Pendidikan atau
Bahasa, atau memakai alternatif Parera, atau bahkan bersifat
integratif, adalah sebagaimana berikut:
Gambar I: Pendidikan Bahasa yang BeradaDi dalam Pendidikan
3
Dokumentasi: Penulis
Gambar II: Pendidikan Bahasa yang BeradaDi dalam Bahasa
Dokumentasi: Penulis
Gambar III: Dialektika Pendidikan dan BahasaMelalui Jembatan Linguistik Edukasional
Dokumentasi: Penulis
Gambar IV: Integrasi Pendidikan Bahasa
4
Dokumentasi: Penulis
Keempat versi di atas, belum ditambah dengan kenyataan
bahwa setiap institusi pendidikan mempunyai paradigma yang
berbeda dalam filsafat keilmuan. Misalnya Amin Abdullah yang
mengusung “jaring laba-laba”1 sebagai falsafah ilmunya. Imam
Suprayogo yang mencetuskan “pohon ilmu”2 dalam memandang
berbagai keilmuan yang ada. Tentunya dengan adanya perbedaan
paradigma menjadikan Pendidikan Bahasa lebih bersifat variatif.
Dan bahkan, lebih jauh, Pendidikan Bahasa hanya mengekor pada
lembaga. Ironis memang, jika menghadapkan idealisme kepada
pragmatisme institusi.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada, penulis tidak
akan menengahinya. Bukannya membiarkan hal itu berlarut-larut,
namun tanpa adanya perbedaan pendapat dan saling baku
hantam, maka filsafat tidak akan hidup. Penulis hanya akan
menambah daftar panjang usulan yang realitanya sudah tumpah
ruah tak tertampung. Penulis akan memilih salah satu dari
keempat macam paradigma yang ditawarkan, yang tentunya
dianggap paling ideal, terlepas nantinya bahwa hasil idealisme
malah bertentangan dengan realita. Namun, begitulah 1 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 1072 Taufiqurrochman, Imam al-Jami’ah: Narasi Indah Perjalanan Hidup dan
Pemikiran Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 229
5
konsekuensi yang harus diambil. Karena walaupun mencoba
menengahi, suatu waktu akan ada kecenderungan yang lebih
menguasai.
Setelah memilih salah satu yang dianggap ideal, penulis
akan membuat studi kasus mengenai perguruan tinggi yang
membuka jalur Pendidikan Bahasa di dalamnya. Studi kasus ini
bukan untuk mencerca sistem yang dipakai, namun sebagai uji
coba pengejawantahan teori ke dalam situasi.
Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya,
bahwa adanya tulisan ini adalah untuk berkomitmen memilih salah
satu dari 4 macam paradigma yang ditawarkan. Atau bahkan
mungkin bisa saja menemukan paradigma baru bagi Pendidikan
Bahasa. Agar statusnya tidak terkatung-katung, diombang-
ambingkan oleh para ahli pendidikan maupun ahli bahasa.
Dengan kata lain, penulis akan memaparkan paradigma ideal
pendidikan bahasa di (baca: bagi) PTAI Indonesia. Term “PTAI
Indonesia” ini diperjelas lagi dengan mengambil contoh secara
acak untuk memperkaya pandangan tentang pelaksanaan
Pendidikan Bahasa di PTAI tersebut. Agar sesuai dengan
spesifikasi keilmuan yang penulis ambil, maka tulisan ini akan
mengangkat “Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab
(Bagi) PTAI di Indonesia”.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Landasan Teori
Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan inkonsistensi
pemakaian istilah, maka sebelum pembahasan tema, maka
penulis akan memaparkan definisi istilah yang akan dipakai
dalam tulisan ini.
1. Paradigma
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang
dimaksud dengan paradigma adalah 1 daftar semua
bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi
dan deklinasi kata tersebut; 2 model dalam teori ilmu
pengetahuan; 3 kerangka berpikir. Melihat definisi
paradigma dari KBBI, maka definisi yang tepat dimasukkan
dalam pembahasan ini adalah yang nomor 3, yaitu kerangka
berpikir.
Namun, Kamus Filsafat mendefinisikan paradigma
tidak sesederhana itu. Di kamus filsafat diterangkan bahwa
kata “Paradigma” berasal dari bahasa Inggris, Paradigm, dan
berasal dari bahasa Yunani para deigma, dari para (di
samping, di sebelah) dan dekynai (memperlihatkan; yang
berarti: model, contoh, arketipe, ideal).3
Istilah “Paradigma” semakin penting karena karya
ilmuwan Amerika Thomas Kuhn. Menurut Kuhn dalam
bukunya yang berjudul The Structure of Scientific
Revolutions, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan
pradigma tertentu. Paradigma itu memungkinkan sang
iluwan untuk memecahkan kesulitan yang muncul dalam
rangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang
3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 779-780
6
tak dapat dimasukkan dalam kerangka ilmunya, dan menurut
revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.4
Sedangkan Moh. Anas dalam makalahnya yang
berjudul “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”, mendefinisikan
paradigma tidak hanya sekedar sudut pandang dan cara
berpikir. Ia mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat
konsep yang berhubungan satu sama lain secara rasional
dan logis membentuk
sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk
memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan
atau masalah yang dihadapi.5
Merujuk pendefinisian beberapa ahli, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
paradigma adalah seperangkat konsep yang berhubungan
satu sama lain secara rasional dan logis membentuk sebuah
kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami,
menafsirkan, menjelaskan dan memecahkan kesulitan yang
dihadapi oleh ilmuwan.
2. Pendidikan
Karena menjadi hal pokok dalam kehidupan manusia,
maka term “pendidikan” mempunyai banyak definisi,
berdasarkan dari cara pandang dan pengalaman pendefinisi.
Bahkan dalam buku Anas Salahuddin yang berjudul “Filsafat
Pendidikan”, disebutkan bahwa definisi pendidikan sampai
23 definisi dari berbagai ahli6. Hal ini menunjukkan bahwa
4 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005), hlm. 43
5 Moh. Anas, “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathali’ul Falah Tahun Akademik 2011/2012 pada tanggal 20 September 2011.
6 Anas Salahuddin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hlm. 18-22
7
sebuah definisi tidak dapat dijadikan patokan secara pasti
atas term yang dijelaskan. Karena dalam kenyataannya,
definisi masih belum mampu mengakomodir dan membatasi.
Namun, secara garis besar, pendidikan dapat dibagi
menjadi 3; pendidikan seumur hidup, pendidikan sebagai
usaha sadar dan pendidikan sebagai sistem. Yang dimaksud
dengan pendidikan seumur hidup adalah sebagaimana yang
dilakukan oleh setiap manusia. “Pendidikan” ini tidak hanya
terpaku pada lembaga dan bangku sekolah, namun
lingkungan dan pengalaman turut andil dalam mendidik.
Maka memang pelakunya akan belajar sepanjang hayat.7
Adapun pendidikan sebagai usaha sadar adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.8
Pendidikan sebagai sistem berbeda dengan sistem
pendidikan. Kalau sistem pendidikan adalah satu
keseluruhan terpadu dari semua satuan dan kegiatan
pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya, untuk
mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan.9
Sedangkan pendidikan sebagai sistem adalah semua
kesatuan komponen pendidikan yang diperlakukan dengan
pendekatan sistem.10 Sistem yang dimaksud bukan
7 Khabibi M. Luthfi, “Filsafat Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati
8 UU nomor 20 tahun 2003, tentang: Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 ayat 1.
9 Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 2
10 Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, … hlm. 21
8
berbentuk “bundar”, yaitu semua komponen sistem
berhubungan dengan berkesinambungan. Namun sistem di
sini bersifat hirarki; ada pimpinan ada bawahan. Terdapat
garis instruksional yang tegas, membatasi wilayah kerja
masing-masing.11
Melihat konteks di Indonesia, ketiga bentuk pendidikan
ini berlaku secara luas. Pendidikan seumur hidup tentu telah
dan akan diterapkan oleh masing-masing individu.
Pendidikan sebagai usaha sadar telah diterapkan oleh
berbagai institusi pendidikan, baik formal, non formal
maupun juga informal. Sedangkan pendidikan sebagai sistem
telah diterapkan oleh pemerintah melalui aturan umum,
Sistem Pendidikan Nasional, yang tertuang dalam UU nomor
20 tahun 2003.
Berdasarkan konteks ke-Indonesia-an dan juga dengan
pertimbangan keumuman bentuk pendidikan, maka analisis
tentang pendidikan, lebih tepat jika bentuk ketiga yang
dianalisis, yaitu pendidikan sebagai sistem.
Selain melihat pendidikan yang ditinjau dari
bentuknya, juga perlu ditinjau dari orientasi lulusan yang
masuk dalam ranah fakultas pendidikan. Orientasi ini
dianggap perlu karena nantinya akan berhubungan dengan
PBA. Kedua orientasi tersebut adalah sebagai perumus
kebijakan dan praktisi di lapangan.
3. Bahasa Arab
Pendidikan yang mempunyai banyak definisi, begitu
pula dengan bahasa. Bahkan dalam buku Abdul Chaer yang
berjudul Linguistik Umum, disebutkan bahwa bahasa
11 Ni’matin Khomsiyah dan Irza Anwar S., “Sistem Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati
9
mempunyai banyak dimensi untuk diteliti. Di antaranya
adalah bahasa sebagai sistem, bahasa sebagai lambang,
bahasa adalah bunyi.12
Sementara yang dimaksud bahasa dalam tulisan ini
adalah bahasa yang dilihat dari “content” yang dimiliki.
Maksudnya adalah sesuatu yang berada di dalam bahasa itu
sendiri, yaitu keilmuan bahasa dan kemampuan berbahasa.
Yang dimaksud dengan keilmuan bahasa adalah seperangkat
pengetahuan yang dipergunakan untuk mempelajari struktur
dalam bahasa, atau dengan bahasa lain adalah ilmu tata
bahasa. Sedangkan kemampuan berbahasa adalah
memposisikan bahasa sebagaimana fungsi awal bahasa,
yaitu sebagai sarana komunikasi.13
Dengan demikian, ketika penulis menyinggung tentang
term bahasa, yang dimaksud adalah kedua ranah bahasa;
keilmuan dan kemampuan. Namun, hal ini tidak serta merta
menjadikan penulis condong untuk bersikap idealis dalam
penguasaan kedua ranah ini. Karena dalam memutuskan
sesuatu, tentu harus mempertimbangkan konteks yang ada.
Terkait dengan bahasa Arab, ia adalah bahasa yang
unik. Ia memiliki sistem gramatikal yang rumit. Berbagai
perubahan di dalamnya, secara tidak langsung akan
menjadikan seseorang menyangkanya sulit untuk dipelajari.
Ia juga memiliki banyak sekali kata-kata yang mempunyai
makna ganda, bahkan banyak. Misalnya perubahan susunan
huruf م – ل – ك . Huruf-huruf ini dapat berubah menjadi
ك – ل – م , dengan masih adanya hubungan makna (
12 Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 33-56
13 Five Sulistiyani R., “Pendidikan Bahasa Arab: Antara Eksklusifisme dan Inklusifisme”. Dimuat dalam Al-‘Arabiyah, Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, vol. 2, nomor 2, (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga), hlm. 49
10
تقاق.14(اش bermakna كلم berbicara, sedangkan ك ملadalah memiliki. Ketika dicari benang merah di antara kedua
kata tadi, maka makna intinya adalah “memiliki kesempatan
atau berkuasa”. Karena “berbicara” pun merupakan
kekuasaan yang dimiliki oleh manusia, jika ia tidak
dibungkam.
Melihat karakteristik bahasa Arab yang rumit, maka
ketika bahasa Arab menjadi obyek untuk diajarkan, para
pendidik tentu harus menguasai kesemua itu, agar mendapat
pemahaman yang komprehensif.
4. Pendidikan Bahasa
Setelah mendefinisikan dan memilih definisi dari
pendidikan dan bahasa manakah yang lebih tepat untuk
dicantumkan dalam tulisan ini, maka untuk selanjutnya
pendefinisian term “Pendidikan Bahasa”.
Sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwa yang
dimaksud “pendidikan” dalam tulisan ini adalah pendidikan
sebagai sistem, maka jika digabung dengan term bahasa
akan memunculkan definisi usaha sadar dan sistematis dari
berbagai lapisan masyarakat untuk mempersiapkan peserta
didik agar mempunyai kompetensi berbahasa (berbicara,
menulis, mendengarkan, menerjemahkan,membaca dan
berfikir kritis) sebagai persiapan masa depan dengan cara
pengajaran, bimbingan, dan latihan-latihan yang berada
dalam naungan lembaga.15
5. Filsafat Pendidikan
14 Muhammad bin Ibrahim, Fiqh Lugah: Mafhûmuh, Maudhû’âtuh, Qadhayâh, (Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah, 2005). Hlm. 207
15 Khabibi M. Luthfi, “Filsafat Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati
11
“Philosophy is mother of science”, begitulah slogan
yang dimiliki filsafat. Terkesan arogan memang, namun
demikianlah kenyataannya. Filsafat mampu masuk ke dalam
berbagai keilmuan untuk berpikir secara radikal (ontologi)
dan koheren untuk mendapatkan (epistemologi) hasil yang
sesuai dengan kemaslahatan manusia (aksiologi). Melihat
perannya yang sangat penting, maka pendidikan sebagai
kebutuhan pokok manusia tentu tidak lepas dari visitasi dan
koreksi dari filsafat.
Di dalam filsafat pendidikan, terdapat banyak aliran.
Setiap aliran merupakan tawaran untuk menyikapi konteks
yang dihadapi oleh para filsuf. Misalnya filsafat
pragmatisme, yang mengusung asas kemanfaatan adalah
kritikan bagi pendidikan yang hanya berkutat pada bagian
yang awang-awang, tidak jelas.
Namun, tidak setiap aliran akan selalu bertahan lama.
Karena orientasi masyarakat dan juga zaman pasti berubah.
Atas dasar inilah, maka bermunculan banyak aliran filsafat
pendidikan guna memberikan alternatif permasalahan
hidup.16
Terkait dengan pemilihan salah satu aliran filsafat
pendidikan dalam tulisan ini, tentu saja harus mengacu pada
pemilihan aliran filsafat bahasa. Karena nantinya akan di-
dialektika-kan antara keduanya.
6. Filsafat Bahasa
Ciri filsafat adalah pemikirannya yang sampai
mendalam, ke akar persoalan. Ia tidak berhenti pada
permukaan saja. Karena terkadang permukaan bersifat
semu. Misalnya saja, ketika ia masuk dalam ranah bahasa,
16 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 96-171
12
maka ia akan mengorek berbagai keterangan seputar bahasa
sampai mendalam. Namun, dikarenakan manusia bersifat
perspektif, maka hasilnya pun subjektif, yang memunculkan
berbagai aliran.
Dalam buku Chaedar Alwasilah yang berjudul Filsafat
Pendidikan dan Bahasa, dijelaskan bahwa aliran dalam
filsafat bahasa ada 3. Yaitu Filsafat Atomisme Logis, Filsafat
Positivisme Logis dan Filsafat Bahasa Biasa. Inti pemikiran
filsafat atomisme logis adalah penunjukan satu objek dengan
satu istilah. Karena selama ini masih banyak satu reference
mempunyai banyak istilah.
Sedangkan filsafat positivisme logis adalah aliran
filsafat bahasa yang menolak adanya wilayah yang
transenden, ngawang dan metafisik. Karena yang menjadi
dasar dari aliran ini adalah ranah empiris, yang mampu
diindra. Adapun filsafat bahasa biasa adalah aliran filsafat
yang mengusung pada penggunaan bahasa yang digunakan
setiap hari, yang tentunya merujuk pada pemainam bahasa.
Setelah mencermati aliran dari pendidikan dan bahasa,
maka proses selanjutnya adalah mendialektikakan keduanya
dan kemudian menentukan di mana posisi Pendidikan
Bahasa (Arab), yang tentunya mempertimbangkan realitas
pendidikan bahasa di Indonesia.
B. Realitas Pendidikan Bahasa di Indonesia
Di Indonesia, sistem pendidikan bahasanya mempunyai
dua kubu. Yang masing-masing mempunyai kebenaran yang
tentunya bersifat lokalitas. Artinya kebenaran itu hanya ada
pada lingkungan itu sendiri dan lingkungan lain yang seide
dengannya. Kubu pertama adalah yang mengatakan bahwa
pendidikan bahasa berorientasi pada mahârah, atau sarana
13
berkomunikasi. Kubu kedua memandang pendidikan bahasa
adalah pendidikan yang lebih menekankan pada aspek
penguasaan ilmu tata bahasa. Dengan bahasa lain, kubu
pertama lebih beriorientasi pada اللغة تعليم (pembelajaran
bahasa), sedangkan kubu kedua lebih menekankan pentingnya
belajar tentang bahasa ( اللغة عن التعليم ).
Dikotomi orientasi ini, tidak hanya sekedar asumsi.
Namun realita lapanganlah yang berkata demikian. Selain itu
juga, walaupun dalam 1 lembaga mengusung kedua paradigma
itu, namun tetap saja dalam pelaksanaannya akan ada
kecenderungan untuk memilih salah satu. Misalnya saja pondok
pesantren yang pendidikan (baca: pembelajaran) bahasanya
mengusung kedua paradigma itu, namun ketika terjadi
benturan atau kondisi yang mengharuskan memilih salah satu,
ia pasti akan memilih paradigma kedua, belajar tentang bahasa.
Karena orientasi pondok pesantren lebih condong kepada
pemahaman teks Arab yang notabene sebagai pegangan umat
Islam.
Walaupun demikian, penulis tidak boleh langsung saja
menjustifikasi untuk memilih salah satu yang dianggap paling
benar. Karena keduanya pasti mempunyai argumen yang kuat
untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Misalnya
alasan kubu pertama beranggapan bahwa pendidikan bahasa
Arab dikembalikan kepada fungsi bahasa itu sendiri, yaitu
komunikasi. Selama komunikasi yang terjalin antara pembicara
dan pendengar, maka kaidah atau tata bahasa bisa saja
dinafikan.
Sedangkan kubu kedua beranggapan bahwa dalam
mempelajari keilmuan dan khazanah keislaman tentu tidak
lepas dari tata bahasa Arab. Karena kebanyakan kitab tidak
berharokat. Inilah yang menjadikan kubu kedua lebih
mementingkan “belajar tentang bahasa”.
14
Realitas seperti inilah yang menjadikan simalakama bagi
pendidikan bahasa Arab. Ia tentu harus mampu mengakomodir
keduanya. Padahal untuk mewujudkan demikian, tentu bukan
perkara yang mudah.
C. Paradigma I: PBA di Payung Pendidikan
Agak rumit untuk menjelaskan berbagai posisi PBA di
bawah payung pendidikan. Karena secara sekilas, tidak akan
tampak “keanehannya”. Namun, jika meneliti lebih dalam lagi,
akan ditemukan banyak keganjalan di dalamnya.
Adanya paradigma seperti ini, bermula dari arogansi yang
dimiliki oleh pendidikan. Ia beranggapan bahwa semua
keilmuan dapat dimasukkan dalam cabang keilmuannya.
Karena untuk mentransfer dan memberikan pengetahuan,
bukankah harus mengacu pada asas-asas pendidikan?
Secara “kasar”, paradigma seperti ini akan memunculkan
konsekuensi berupa munculnya keilmuan yang determinan dan
dominan. Keilmuan yang determinan adalah bahasa, dan yang
dominan adalah pendidikan. Hal ini dikarenakan pemahaman
dan pematangan penguasaan keilmuan, hanya salah satu yang
ditekuni secara mendalam.
Gambar V: Posisi Beberapa Keilmuan Di bawah Pendidikan
Dokumentasi: Penulis
Dengan adanya keilmuan yang dominan dan determinan
itu, akan berbuntut pada permasalahan yang lain. Ketika
pendidikan menjadi dominasi atas bahasa, maka dalam tataran
15
konseptual dan praktis, sifat pendidikan kurang
mempertimbangkan bahasa. Misalnya, ketika dalam
pembelajaran mahârah qirâ`ah, pelaku hanya akan memikirkan
strategi pembelajaran berupa active learning misalnya, tanpa
memperkirakan karakteristik dan fase kemampuan yang ada di
dalam qirâ`ah. Jadi, ia hanya memandang bahasa tidak lebih
hanya “label tempelan” yang kurang perlu dipertimbangkan
karakteristiknya.
D. Paradigma II: PBA di Payung Bahasa
Berkebalikan dengan paradigma pertama, paradigma
kedua ini menganggap bahwa pendidikan bahasa (Arab) berada
di bawah naungan Bahasa. Hal ini disebabkan “Bahasa”-lah
yang lebih mengerti tentang sifat-sifat dan karakteristik yang
dimilikinya. Maka, yang mempunyai otoritas untuk
mengajarkannya kepada orang lain, hanya boleh dilakukan oleh
bahasa.
Gambar VI: Posisi Beberapa Keilmuan Di bawah Bahasa
Dokumentasi: Penulis
Jika seperti ini, sebagaimana yang terjadi di paradigma
pertama, maka akan ada keilmuan yang bersifat dominan dan
determinan. Keilmuan yang dominan adalah bahasa, sedangkan
yang determinan adalah pendidikan. Pelaku yang mengusung
paradigma ini akan gagap di medan pembelajaran. Alasannya
adalah ia tidak menguasai bagaimana perencanaan
16
pembelajaran yang tepat, tidak mengetahui bagaimana cara
menangani peserta didik yang beragam.
Contoh konkritnya adalah ketika dalam sebuah
pembelajaran, pendidik memakai metode mubâsyarah untuk
mahârah takallum. Metode ini memandang semua anak adalah
entitas yang sama, tidak ada karakter pembeda di dalamnya.
Padahal realitanya adalah sebaliknya, setiap anak mempunyai
karakter yang tentu penanganannya harus berbeda.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan, bahwa kedua
paradigma awal ini tidak membuah kan hasil yang tepat untuk
diterapkan di lapangan. Karena yang terjadi adalah adanya
keilmuan yang dominan dan determinan. Dan ini berbuntut
pada ketidak seimbangan konsep yang dimiliki untuk
melaksanakan sebuah pendidikan.
E. Paradigma III: Dialektika “Pendidikan” dan “Bahasa”
Ketika 2 paradigma di atas tidak memenuhi syarat untuk
menjadi ideal, JD Parera dalam bukunya yang berjudul
“Linguistik Edukasional” mencoba menengahinya. Parera, yang
mengistilahkan teori yang dicetuskan oleh H.H. Stern,
memberikan alternatif untuk menempatkan PBA.17
Gambar VII: Skema Dialektika Pendidikan dengan BahasaDalam Linguistik Edukasional
17 JD Parera, Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 5
17
Dokumentasi: Penulis
Gambar di atas adalah pemikiran H.H. Stern tentang
posisi PBA18. Paradigma ketiga ini, tidak terdapat keilmuan
yang bersifat dominan maupun determinan. Kesemuanya
berfungsi secara seimbang, dengan mengambil serpihan-
serpihan dari keduanya, yang kemudian mengerucut ke jenjang
praktik.
Pada “jenjang dasar”, terdapat keilmuan-keilmuan dari
pendidikan dan bahasa. Keilmuan pendidikan memuat tentang
bagaimana perngorganisasian mata pelajaran, metode-metode
pembelajaran secara umum, bagaimana menghadapi peserta
didik yang beragam karakteristiknya, hingga ke hal yang lebih
rigid, membuat urutan pelaksanaan pembelajaran.
Sedangkan keilmuan dari bahasa adalah tentang
karakteristik yang dimiliki oleh bahasa yang akan diajarkan,
budaya seperti bagaimanakah yang ada di pengguna asli
bahasa tersebut, sampai bagaimana cara berkomunikasi yang
baik. Kesemuanya itu diramu dalam “jenjang antara”, untuk
18 Model diagram H.H. Stern: Kebijakan dan Proses Pengajaran Bahasa dalam JD Parera, Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa, … hlm. 2
18
menghasilkan sintesis yang tepat. Kemudian diaplikasikan ke
dalam “jenjang praktik”.
Memang, paradigma seperti ini mampu menjembatani
antara kedua domain utama, pendidikan dan bahasa. Namun,
sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa untuk
menjadi keilmuan yang mapan, PBA tentu tidak lagi tergantung
pada proses sintesa kedua ilmu. Bahkan ilmu yang mapan harus
mempunyai istilah teknis sendiri untuk menyebutkan
kegiatannya. Dan paradigma ketiga ini masih menggelayut
pada pendidikan dan bahasa. Terlepas dari kesemua itu,
paradigma ketiga ini merupakan model yang paling mungkin
digunakan. Karena tidak terdapat dominasi di antara keduanya.
F. Paradigma Ideal, Sebuah Konsekuensi
Pertanyaan yang diajukan dalam bab ini adalah,
paradigma manakah yang akan dipilih? Merujuk pada realitas
di Indonesia, paradigma manakah yang lebih tepat untuk
diaplikasikan? Menurut penulis adalah paradigma ketiga.
Paradigma ketiga merupakan penengah dari paradigma
pertama dan kedua. Ia memberikan solusi yang cerdas untuk
menjembatani kedua keilmuan yang sama sekali berbeda.
Dengan kemampuan dialektikanya, ia menciptakan “jenjang
antara” yang mampu meracik dan meramu karakteristik dari
masing-masing kedua keilmuan. Hasilnya adalah “jenjang
praktik” yang siap saji.
Pembelajaran yang ideal adalah diterapkannya
karakteristik masing-masing keilmuan. Dari pihak bahasa,
menyumbangkan sifat-sifat bahasa, teori berkomunikasi, dan
macam-macam kompetensi. Sedangkan dari pendidikan,
bermunculan konsep bagaimana merancang dan merencanakan
kurikulum, bagaimana membuat silabus, bagaimana
19
bersosialisasi dengan peserta didik yang beragam, bagaimana
seharusnya sikap pendidik dan apa sajakah kompetensi yang
harus dimiliki oleh pendidik. Jadi, penerapan Linguistik
Edukasional tidak hanya masuk dalam ranah pembelajaran.
Memang, dengan memilih Linguistik Edukasional,
keilmuan PBA belum mencapai tahap kemapanan. Karena
kemapanan harus dicapai dengan adanya proses tesis, antitesis,
sisntesis hingga berulang-ulang. Padahal untuk demikian, butuh
waktu yang tidak sebentar. Maka, untuk sementara, yang
mampu dianggap ideal adalah dengan menerapkan Linguistik
Edukasional.
G. Studi Kasus
1. PBA di STAI Mathali’ul Falah (STAIMAFA) Pati
STAI Mathali’ul Falah, adalah salah satu PTAI yang
berada di wilayah Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Pati.
Ia mengusung visi “Menjadi Kampus Riset Berbasis Nilai-
Nilai Pesantren” dan dengan mencanangkan paradigma
keilmuan Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah, yang biasa disebut
Aswaja.
Ia berpendapat bahwa semua paradigma keilmuan PBA
yang ada, dapat diterapkan. Sebagaimana salah satu asas
Aswaja, at-Tawassuţ yang bermakna berada di tengah, tidak
miring ke kanan atau kiri. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan Mustafied dalam tulisannya yang berjudul
“Paradigma Keilmuan STAIMAFA”:
“ ... Paradigma STAIMAFA merupakan refleksi keislaman ahlus sunnah wal-jamaah. Paradigma STAIMAFA bersifat normatif sekaligus historis, teoretis dan praksis, imanen dan transendental. Paradigma STAIMAFA merupakan paradigma yang hidup, yang tidak melakukan pemisahan antara ilmu dan amal, yang menyatukan teori dan praksis, yang enggan dengan berbagai rupa ekstremisme epistemologis. Paradigma STAIMAFA tidak berpijak pada
20
pemisahan ontologis dunia akherat, tidak memisahkan kesalehan individu dan sosial, serta tidak meletakkan nilai-nilai agama semata-mata dalam ruang privat. Paradigma STAIMAFA terangkum dalam metode berfikir, bersikap, dan bertindak…”19
Melihat paradigma yang demikian, memang akan
mendapatkan jalan aman untuk berpijak. STAIMAFA akan
mengambil paradigma dengan bentuk yang bagaimanapun,
tidak masalah. Karena sikap “tengah-tengah” yang
diusungnya merupakan solusi yang cerdas.
Terkait dengan PBA, maka STAIMAFA akan mengambil
semua paradigma; PBA berada di payung “Pendidikan”, PBA
berada di payung “Bahasa”, dan Dialektika antara keduanya.
Secara teoritis dan konseptual, ia akan mengambil ide-ide
dari ketiganya. Ia mampu menyesuaikan berbagai paradigma
dengan sistem kontekstualisasi, sesuai kebutuhan. Dengan
kata lain, STAIMAFA telah membuat semi-integrasi bagi
keilmuan PBA.
Gambar VIII: Paradigma Keilmuan STAIMAFA
19 Mustafied, “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathali’ul Falah Tahun Akademik 2009/2010 pada tanggal 08 Oktober 2009.
21
Dokumentasi: Penulis
Dikatakan semi-integrasi karena STAIMAFA tidak serta
merta menggabungkan semua paradigma, namun ia
merangkul semua. Selain itu, ia hanya mengambil apa yang
diperlukan, ketika menghadapi konteks tertentu. Jadi,
keintegrasian STAIMAFA belum integrasi sempurna.
Namun, menurut penulis, jika STAIMAFA mengambil
kesemua paradigma tanpa adanya pemilihan salah satu,
maka ia sama saja menghidupkan “bom waktu”. Karena
STAIMAFA akan terlihat mampu diombang-ambingkan oleh
berbagai paradigma yang muncul. Memang, STAIMAFA
terlihat anggun dengan kemampuannya berjalan di tengah
berbagai paradigma. Akan tetapi, hal ini pula yang akan
menjegalnya. Misalnya ketika menghadapi suatu pilihan, ia
tidak akan mampu memutuskan mana yang lebih baik.
Karena bukankah ia beranggapan bahwa semua paradigma
itu baik?
Contoh selanjutnya adalah ketika personil perumus
kebijakan, yang tentunya mempunyai kecenderungan yang
berbeda ketika memandang paradigma. Tentunya,
STAIMAFA memiliki beberapa personil sebagai perumus.
Maka, ketika STAIMAFA (secara global) tidak mempunyai
pegangan 1 paradigma, ia akan mudah diombang-ambingkan
oleh personil tersebut.
Selain kedua keganjalan yang perlu dipertanyakan, ada
1 permasalahan lagi, dan menurut penulis, ini yang paling
utama. Setiap paradigma keilmuan, pasti mempunyai 3
dimensi pokok, sebagai landasan untuk berpijak. Dimensi
tersebut adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Proses
dialektika dan interkoneksi atau bahkan pemilihan serpihan-
serpihan yang “dikira” mampu mengakomodir kebutuhan,
22
akan menjadikan paradigma keilmuan STAIMAFA terlihat
rapuh. Ia tidak mengambil sepenuhnya, dan nantinya ia
dengan mudah akan diserang dari celah-celahnya.
STAIMAFA bersikap sombong, dengan merangkul
semua paradigma. Contoh kecilnya adalah ketika
merefleksikan “cara berpikir” yang sejalur dengan Aswaja,
sebagaimana yang ditulis oleh Mustafied:
“… Secara epistemologis, STAIMAFA tidak menganut kemutlakan rasionalisme-empirisisme, idealisme-materialisme, dhahiriah-batiniah. Rasionalisme terjebak pada pengagungan rasio, sedangkan empirisisme tidak menerima rasio sebagai sumber pengetahuan rasional. Idealisme terlalu mengabaikan kenyataan real, materialisme menganggap tidak bermakna kenyataan metafisik, tidak mengakui realitas yang ghoib. Sementara kaum dhahiriah jatuh dalam skripturalisme dan kaum batiniah seringkali menganggap enteng syariah. Berbagai posisi epistemologis tersebut tidak memungkinkan untuk memahami agama dan realitas social secara mendalam…”
Terlepas dari berbagai ganjalan dalam paradigmanya,
STAIMAFA telah menentukan jalan hidup keilmuannya
dengan memilih Aswaja. Dan Aswaja memang jalan aman
untuk dapat merangkul semua pihak. Namun, sebagai
catatan, STAIMAFA tentu harus tegas ketika memilih mana
yang terbaik bagi kelangsungan hidup keilmuannya.
2. PBA di UIN Maliki Malang
Lain ladang, lain ilalang. Lain perguruan tinggi, lain
pula paradigma keilmuannya. Kalau STAIMAFA mengusung
paradigma Aswaja, UIN Maliki mengusung paradigma
“pohon ilmu”. Paradigma keilmuan “Pohon Ilmu” ini
dicetuskan oleh rektor pertama UIN Malang, Imam
Suprayogo.
Gambar IX: Pohon Ilmu UIN Maliki Malang
23
Dokumentasi: http://www.uinmalang.ac.id
“Pohon Ilmu” memiliki beberapa bagian, yaitu akar,
batang, dahan, ranting, daun dan buah. “Akar”
melambangkan keilmuan dasar yang harus dipelajari oleh
manusia guna mampu mempelajari Alquran dan Hadis.
Keilmuan tersebut adalah bahasa Arab, bahasa Inggris,
Logika, Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Sebagai alat, tentunya
harus dikuasai sepenuhnya, sebelum beranjak mempelajari
Alquran dan Hadis.
Bagian kedua adalah “batang”, yang bermakna objek
kajian Islam, yaitu Alquran dan Hadis, pemikiran Islam dan
sîrah nabawiyah dan atau sejarah Islam lainnya yang lebih
luas. Di UIN Maliki Malang, semua mahasiswanya, dengan
berbagai jurusan, wajib mengambil mata kuliah yang
berkaitan dengan keilmuan “batang” ini.
Bagian selanjutnya adalah “dahan”, “ranting” dan
“daun” yang jumlahnya banyak. Bagian-bagian ini
melambangkan disiplin ilmu yang akan dipilih oleh setiap
mahasiswa. Berbeda dengan keilmuan “batang”, keilmuan
24
ketiga ini hukumnya sesuai dengan minat, bakat dan
kemampuan mahasiswa.
Bagian terakhir dari “pohon ilmu” adalah “buah”.
Bagian ini bermakna hasil kegiatan kajian agama yang
mendalam dan ilmu pengetahuan yang cukup, yaitu iman,
amal soleh dan akhlaq karimah.
Paradigma yang ditelurkan oleh Imam Suprayogo ini
cenderung menyerupai pandangan Al-Ghazali. Bahwa
mendalami ilmu agama wajib bagi semua orang (fardh ‘ain).
Sedangkan untuk mempelajari ilmu umum seperti teknik,
kedokteran dan perdagangan hukumnya fardh kifâyah.20
Terkait dengan PBA, posisi di manakah ia, jika
menganut pada paradigma “Pohon Ilmu”? Di bagian dahan
paling atas, terdapat “fakultas” tarbiyah, yang tentunya
menaungi PBA. Akan tetapi, jika ditelusuri sampai ke akar,
maka pintu masuknya adalah bahasa, yang kemudian
di”sowankan” ke Alquran dan Hadis. Hal ini terjadi karena
letak Bahasa Arab di akar, yang kemudian melewati al-‘Ulûm
al-Islâmiyyah; Alquran, Hadis, Sîrah Nabawiyyah dan
lainnya. Dan sudah pasti, di dalam batang akan terjadi
filtrasi (penyaringan) dan reduksi besar-besaran.
Setelah melewati akar dan batang, maka tibalah ia di
“dahan” Tarbiyah. Di sana, ia merupakan ilmu yang
independen. Namun, lagi-lagi di dalamnya masih rapuh. Jika
yang dipilih adalah wacana integrasi, seharusnya setiap
keilmuan mempunyai istilah teknis sendiri, karena dianggap
sudah mapan. Akan tetapi, sebagaimana literatur yang ada
20 Penulis tidak habis pikir dengan Taufiqurrochman. Dalam buknya, pada halaman 232 ia berpendapat bahwa metafora “Pohon Ilmu” ini sesuai dengan pandangan Al-Ghazali, yaitu pendikotomian keilmuan. Namun pada halaman 233-236, ia mencerca pendikotomian. Hal ini mengindikasikan 2 hal; apakah “Pohon Ilmu” ini masih sangat labil? Ataukah memang penulis yang bersifat inkonsistensi.
25
di UIN Malang, kesemuanya masih mendasarkan pada
“induk” Bahasa.
3. PBA di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Paradigma ketiga adalah “Jaring Laba-laba Keilmuan”
yang dicetuskan oleh Amin Abdullah, dan kemudian
diterapkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Paradigma ini
mengusung corak Teoantroposentris-Integralistik. Yang
dimaksud dengan Teoantroposentris adalah gabungan
antara sumber ilmu dari Tuhan yang berupa wahyu (Teo)
dengan ilmu yang bersumber dari manusia (antropo), yang
kemudian keduanya digabung-leburkan (integral).
Gambar X: Jaring Laba-laba KeilmuanTeoantroposentris-Integralistik
Dokumentasi: http://iscdic.blogspot.com/2007/03/
penundukan-paradigma-teori-laba-laba.html
Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini
muncul dari sebuah kegelisahan Amin Abdullah terkait
dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian
26
pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Teknologi
yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi sekat-sekat
antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, revolusi IPTEK,
genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM
dan lain sebagainya. Perkembangan zaman mau tidak mau
menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa tekecuali
pendidikan keislaman, karena tanda adanya respon yang
cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum
muslitimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan
menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah
ketatnya persaingan global. Menghadapi tantangan era
globalisasi ini, umat Islam tidak hanya sekedar butuh untuk
survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan
perubahan. Hal ini kemudian dibutuhkan reorientasi
pemikiran dalam pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem
kelembagaan.
Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam
antara “ilmu” dan “agama” dimana keduanya seolah menjadi
entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan,
mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formal-
material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang
dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya.
Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya
mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut tanpa
meleburkan satu sama lain tetapi berusaha mendekatkan
dan mengaitkannya sehingga menjadi “bertegus sapa” satu
sama lain.21
Berbeda dengan “Pohon Ilmu” Imam, “Jaring Laba-
laba” Amin berangkat dari Alquran dan Hadis, yang
kemudian dilingkupi oleh metode dan pendekatan.
21 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, …. hlm. 92-93
27
Selanjutnya, keilmuan yang muncul adalah Târîkh, Fiqh,
Lugah, Kalâm, Falsafah, Tasawuf dan Hadîs. Dan kemudian
berkembang sangat luas, dan bersifat kontekstual.
Terkait dengan PBA, ia tidak berangkat dari salah satu
3 paradigma yang penulis paparkan sebelumnya. Paradigma
Amin berangkat langsung berangkat dari Alquran dan
Hadis,22 yang notabene merupakan asas utama umat Islam.
Kedua asas tadi kemudian didekati dengan pelbagai
keilmuan, yang kesemuanya masuk pada lingkar selanjutnya.
Memang, sebagai umat Islam, dalam merujuk segala
keilmuan harus mengacu pada Alquran dan Hadis. Namun,
di sini akan timbul persoalan lain lagi. Bukankah Alquran
sangat multi tafsir? Dan pasti yang ada hanyalah tafsir
subyektif. Selain itu, jika diandaikan PBA masuk dalam
Jaring Laba-laba, maka ia akan masuk di lingkar lapis 2
bersama dengan Ethics, Archeology, History dan yang
lainnya. Hal ini menunjukkan kesamaan berangkat dari
Bahasa. Karena keilmuan Lugah berada di sebelum lingkar
lapis 2.
Walaupun demikian, menurut penulis, paradigma
keilmuan yang integral masih belum mampu dicapai secara
menyeluruh. Karena tetap pasti terdapat kecenderungan dan
juga pemikiran yang bersifat subyektif. Lain daripada itu,
pemilihan Alquran dan Hadis sebagai inti jaring merupakan
sebuah konsekuensi yang tinggi. Karena walaupun ditafsiri
dengan hermeneutik, seorang mufassir terkadang masih
mempunyai kepentingan.
Terlepas dari semua itu, pemikiran Amin Abdullah
telah memberi sumbangan wacana paradigma keilmuan 22 Penulis belum mengetahui jalur mana yang harus dilewati dahulu dalam
“labirin” Jaring Laba-laba Amin. Karena memang tidak terdapat pintu masuk. Untuk inisiatif, sebagaimana biasanya, pengambilan garis start bermula dari tengah, yaitu Alquran dan Hadis.
28
kepada masyarakat. Dan memang merupakan kelumrahan,
jika sampai sekarang belum ditemukan titik yang tepat
untuk merancang paradigma keilmuan. Karena filsafat pasti
akan mati, jika menemukan jawaban. Sebab seterusnya tidak
aka nada lagi dialog dialektika keilmuan.
H. Contoh Penerapan Paradigma Ideal Linguistik
Edukasional dalam Pembelajaran
Filsafat Bahasa Filsafat PendidikanFilsafat Bahasa Biasa: Filsafat yang lebih menekankan penggunaan bahasa yang sederhana, tidak berbelit-belit dan tidak absurd.
Filsafat Pendidikan Pragmatisme: Filsafat pendidikan yang merujuk pada aspek kemanfaatan bagi umat manusia
Karena karakteristiknya yang lebih condong pada pemakaian bahasa yang sederhana, maka asas kemanfaatannya pun akan lebih banyak diperoleh. Karena bukankah berbahasa adalah proses interaksi dengan yang lain?, yang tentunya berhasil akhir pada pemahaman antara kedua belah pihak.
Dengan bermadzhab pada pragmatisme, maka pengajaran bahasa tentunya dilihat dari sudut pandang sejauh mana ia bermanfaat bagi manusia.
Maka, hasil dialektika seperti ini akan memunculkan:Pendekatan Sosiolinguistik dan antropolinguistik;
karena aspek kemanfaatan yang berujung pada penilaian manusia, tentu pendekatannya harus bersifat humanis, baik ditinjau dari interaksinya maupun budaya yang melingkupinya.
Teori Lingua franca, kreol pijin dan “bahasa menunjukkan budaya”: agar nantinya tercipta kesepahaman dengan native, tentunya kita harus mengetahui seluk beluk bahasa native. Nah, dengan adanya bahasa resmi dan bahasa antara yang bersifat temporal, aspek kemanfaatan akan lebih tampak. Juga, jika kita ingin mengetahui budaya orang lain, maka dengan jendela bahasa, kita sudah bisa mengetahuinya.
Strategi Active learning: agar membentuk para
29
peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran. Karena bukankah tujuannya adalah aspek kemanfaatan bagi peserta didik?
Materi Hiwâr yaumiyyah, mufrodât ‘âmiyah, yaitu adanya hari bahasa dan kewajiban untuk berkomunikasi dengan bahasa Arab. Selain itu juga, pembelajaran seperti ini akan difasilitasi dengan kartu bergambar
Metode Intiqâ’iyyah, yaitu metode yang sangat fleksibel, tidak ada patokan utama
Model Kartu bergambar. Karena dengan adanya kartu bergambar ini, peserta didik akan lebih terbantu dalam berkomunikasi. Dan tentunya kartu harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Teknik Membahas tema-tema yang diperlukan ketika penggunaan bahasa, dengan kata lain, tema yang tidak sesuai bisa dihilangkan.
Prosedur Inti dari prosedur ini adalah lebih didominasi oleh keaktifan peserta didik. Agar kemanfaatannya lebih terlihat.
30
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya penyelamatan muka PBA yang dilakukan oleh JD
Parera belum mampu membuatnya menjadi keilmuan yang
mapan. Alasannya adalah untuk menjadi sebuah keilmuan yang
mapan, harus memenuhi berbagai syarat. Bahkan hingga istilah
teknis pun sudah tidak merujuk pada dua wali asuhnya,
Pendidikan dan Bahasa. Namun, tidak menutup kemungkinan
harus memilih salah satu dari 3 paradigma yang diajukan.
Karena merupakan sebuah konsekuensi untuk menjalankan
paradigma yang ideal, tentu harus melewati berbagai tahap
dialog dialektika antara Pendidikan dan Bahasa.
Akan tetapi, ketika paradigma ideal telah dipilih, masih
terdapat “halangan” lagi untuk menerapkannya, paradigma
keilmuan masing-masing institusi pendidikan. Tiap institusi
pendidikan pasti mempunyai karakteristik yang berbeda sesuai
dengan tujuan dan visi misi yang diusungnya. Misalnya
STAIMAFA yang mengusung paradigma keilmuan Aswaja, yang
mampu merangkul semua paradigma. Namun sebenarnya hal
ini juga yang akan membuatnya mudah terombang-ambing.
Karena tidak terdapat pijakan yang kuat.
Contoh lain adalah UIN Maliki Malang yang mencetuskan
“Pohon Ilmu” sebagai paradigmanya. Paradigma ini berangkat
dari bahasa, yang kemudian disaring oleh “batang” Alquran dan
Hadis. Paradigma ini juga masih lemah. Karena integrasinya
belum mencapai kemapanan.
Dan studi kasus terakhir adalah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang mengusung paradigma “Jaring Laba-laba
Keilmuan”. Wacana yang digaungkan oleh Amin Abdullah ini
mengusung corak Teoantroposentris-Integralistik. Sebagaimana
31
Imam Suprayogo, Amin Abdullah juga berangkat dari Bahasa,
untuk keilmuan PBA. Dan hal ini “diperparah” dengan memilih
Alquran dan Hadis -yang masih multi tafsir- sebagai landasan
dalam berpijak untuk menentukan arah keilmuan.
Terlepas dengan berbagai kelebihan dan kekurangan
paradigma yang diajukan oleh masing-masing institusi
pendidikan, adanya pemikiran tersebut merupakan langkah
yang inovatif untuk meneruskan tradisi dialog dialek
interkoneksi dan integrasi dalam filsafat. Karena tanpa adanya
itu, filsafat akan mati.
B. Saran
Setelah melewati berbagai fase dalam makalah, maka
saran yang penulis ajukan adalah konsekuensi untuk memilih
satu paradigma. Karena itu adalah merupakan suatu
keniscayaan. Memang, ketika menjadi penengah, keilmuan
akan lebih fleksibel dan leluasa dalam bergerak. Namun hal itu
juga yang akan menjadi bom waktu dikemudian hari, ketika
dihadapkan pada pilihan.
32
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Anas, Moh. “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathali’ul Falah Tahun Akademik 2011/2012 pada tanggal 20 September 2011.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003.
Ibrahim, Muhammad bin. Fiqh Lugah: Mafhûmuh, Maudhû’âtuh, Qadhayâh. Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah. 2005.
Khomsiyah, Ni’matin dan Irza Anwar S., “Sistem Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati
Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 2005.
Luthfi, Khabibi M. “Filsafat Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati
Mustafied, “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathali’ul Falah Tahun Akademik 2009/2010 pada tanggal 08 Oktober 2009.
Parera, JD. Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa. Jakarta: Erlangga. 1987.
R., Five Sulistiyani. “Pendidikan Bahasa Arab: Antara Eksklusifisme dan Inklusifisme”. Dimuat dalam Al-‘Arabiyah, Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, vol. 2, nomor 2, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2007.
Salahuddin, Anas. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia. 2011.
33
Soenarya, Endang. Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000.
Taufiqurrochman. Imam al-Jami’ah: Narasi Indah Perjalanan Hidup dan Pemikiran Prof. Dr. H. Imam Suprayogo. Malang: UIN Maliki Press. 2010.
UU nomor 20 tahun 2003, tentang: Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 ayat 1.
http://iscdic.blogspot.com/2007/03/penundukan-paradigma-teori-laba-laba.html
http://www.uinmalang.ac.id
34