Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

42
1 BAB I PENDAHULUAN Sampai sekarang, Pendidikan Bahasa, khususnya Pendidikan Bahasa Arab belum mempunyai identitas yang jelas. Di satu sisi, ketika ia berada di bawah payung besar “Pendidikan”, ia dianggap hanya menempel, tidak mempunyai peran yang tepat. Ia hanya menunggu titah dari “Pendidikan” untuk menjalankan kegiatan pendidikan kebahasaan. Selain hanya menempel, dalam bidang penguasaan materi pun masih diragukan. Karena di dalam tubuh “Pendidikan”, hanya teori dan praktik kependidikan secara umumlah yang lebih dominan. Sedangkan Bahasa kalah, dan determinan. Di sisi lain, ketika Pendidikan Bahasa Arab berada di bawah instruksi bahasa, ia miskin pengetahuan tentang praktik dan perumus kebijakan pendidikan bahasa. Karena ia hanya mumpuni dalam bidang kebahasaan; baik dari segi keilmuan, maupun sebagai alat komunikasi. Taruhlah, ketika akan merancang bagaimanakah kurikulum pendidikan bahasa yang baik, bagaimana cara menghadapi peserta didik yang sangat sulit dalam menyerap materi? Ia pasti sangat memerlukan uluran pengetahuan dari Pendidikan. Kedua posisi di atas menjadikan Pendidikan Bahasa Arab selalu salah posisi. Ia bagaikan anak buangan, yang tidak diterima di kedua ranah. Karena kalaupun ia diterima di salah satu ranah, ia tetap tidak mampu

description

Paradigma "Ideal" PBA

Transcript of Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

Page 1: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

1

BAB IPENDAHULUAN

Sampai sekarang, Pendidikan Bahasa, khususnya Pendidikan

Bahasa Arab belum mempunyai identitas yang jelas. Di satu sisi,

ketika ia berada di bawah payung besar “Pendidikan”, ia dianggap

hanya menempel, tidak mempunyai peran yang tepat. Ia hanya

menunggu titah dari “Pendidikan” untuk menjalankan kegiatan

pendidikan kebahasaan. Selain hanya menempel, dalam bidang

penguasaan materi pun masih diragukan. Karena di dalam tubuh

“Pendidikan”, hanya teori dan praktik kependidikan secara

umumlah yang lebih dominan. Sedangkan Bahasa kalah, dan

determinan.

Di sisi lain, ketika Pendidikan Bahasa Arab berada di bawah

instruksi bahasa, ia miskin pengetahuan tentang praktik dan

perumus kebijakan pendidikan bahasa. Karena ia hanya mumpuni

dalam bidang kebahasaan; baik dari segi keilmuan, maupun

sebagai alat komunikasi. Taruhlah, ketika akan merancang

bagaimanakah kurikulum pendidikan bahasa yang baik,

bagaimana cara menghadapi peserta didik yang sangat sulit dalam

menyerap materi? Ia pasti sangat memerlukan uluran

pengetahuan dari Pendidikan.

Kedua posisi di atas menjadikan Pendidikan Bahasa Arab

selalu salah posisi. Ia bagaikan anak buangan, yang tidak diterima

di kedua ranah. Karena kalaupun ia diterima di salah satu ranah,

ia tetap tidak mampu mengesampingkan kebutuhan akan asupan

pengetahuan yang mapan dari ranah yang lain.

Di luar kedua paradigma tadi, ada yang mencoba menengahi

dengan mencoba membuat keduanya saling bersua, melalui

jembatan Linguistik Edukasional. Adalah JD Parera yang

mencetuskan teorinya tentang penempatan yang tepat bagi

Pendidikan Bahasa, khususnya Pendidikan Bahasa Arab.

Page 2: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

2

Pendapat Parera ini, tidak ada posisi yang paling dominan di

antara keduanya. Yang ada hanyalah saling mengisi kekosongan

yang ada. Misalnya, ketika Bahasa akan merumuskan kebijakan

seputar pelaksanaan pendidikan bahasa Arab, maka ia meminjam

teori perencanaan milik pendidikan. Begitu juga sebaliknya, ketika

pendidikan akan mengaplikasikan metode pembelajaran, sudah

tentu ia harus mempertimbangkan materi milik bahasa yang akan

diajarkan.

Memang, secara skimming -meminjam istilah dalam teknik

membaca, yang berarti membaca secara cepat-, teori JD Parera

dapat dijadikan alternatif untuk “menyelamatkan muka”

Pendidikan Bahasa dari label “tidak berpendirian”. Namun lagi-

lagi timbul masalah. Dikatakan bahwa jika sebuah rumpun

keilmuan ingin dianggap mapan, maka ia harus mempunyai istilah

teknis untuk menyebut berbagai kegiatan di dalamnya. Sedangkan

Pendidikan Bahasa Arab masih bergantung kepada kedua wali

asuhnya, Pendidikan dan Bahasa. Dengan kata lain, sudah tidak

ada sekat lagi antara pendidikan dan bahasa, terlepas walaupun

dengan adanya jembatan Linguistik Edukasional. Yang ada

hanyalah “Pendidikan Bahasa”, yang bersifat mandiri, tidak ada

aspek yang dominan maupun determinan.

Secara “bahasa gambar”, perseteruan mengenai posisi

Pendidikan Bahasa, apakah di dalam payung Pendidikan atau

Bahasa, atau memakai alternatif Parera, atau bahkan bersifat

integratif, adalah sebagaimana berikut:

Gambar I: Pendidikan Bahasa yang BeradaDi dalam Pendidikan

Page 3: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

3

Dokumentasi: Penulis

Gambar II: Pendidikan Bahasa yang BeradaDi dalam Bahasa

Dokumentasi: Penulis

Gambar III: Dialektika Pendidikan dan BahasaMelalui Jembatan Linguistik Edukasional

Dokumentasi: Penulis

Gambar IV: Integrasi Pendidikan Bahasa

Page 4: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

4

Dokumentasi: Penulis

Keempat versi di atas, belum ditambah dengan kenyataan

bahwa setiap institusi pendidikan mempunyai paradigma yang

berbeda dalam filsafat keilmuan. Misalnya Amin Abdullah yang

mengusung “jaring laba-laba”1 sebagai falsafah ilmunya. Imam

Suprayogo yang mencetuskan “pohon ilmu”2 dalam memandang

berbagai keilmuan yang ada. Tentunya dengan adanya perbedaan

paradigma menjadikan Pendidikan Bahasa lebih bersifat variatif.

Dan bahkan, lebih jauh, Pendidikan Bahasa hanya mengekor pada

lembaga. Ironis memang, jika menghadapkan idealisme kepada

pragmatisme institusi.

Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada, penulis tidak

akan menengahinya. Bukannya membiarkan hal itu berlarut-larut,

namun tanpa adanya perbedaan pendapat dan saling baku

hantam, maka filsafat tidak akan hidup. Penulis hanya akan

menambah daftar panjang usulan yang realitanya sudah tumpah

ruah tak tertampung. Penulis akan memilih salah satu dari

keempat macam paradigma yang ditawarkan, yang tentunya

dianggap paling ideal, terlepas nantinya bahwa hasil idealisme

malah bertentangan dengan realita. Namun, begitulah 1 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan

Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 1072 Taufiqurrochman, Imam al-Jami’ah: Narasi Indah Perjalanan Hidup dan

Pemikiran Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 229

Page 5: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

5

konsekuensi yang harus diambil. Karena walaupun mencoba

menengahi, suatu waktu akan ada kecenderungan yang lebih

menguasai.

Setelah memilih salah satu yang dianggap ideal, penulis

akan membuat studi kasus mengenai perguruan tinggi yang

membuka jalur Pendidikan Bahasa di dalamnya. Studi kasus ini

bukan untuk mencerca sistem yang dipakai, namun sebagai uji

coba pengejawantahan teori ke dalam situasi.

Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya,

bahwa adanya tulisan ini adalah untuk berkomitmen memilih salah

satu dari 4 macam paradigma yang ditawarkan. Atau bahkan

mungkin bisa saja menemukan paradigma baru bagi Pendidikan

Bahasa. Agar statusnya tidak terkatung-katung, diombang-

ambingkan oleh para ahli pendidikan maupun ahli bahasa.

Dengan kata lain, penulis akan memaparkan paradigma ideal

pendidikan bahasa di (baca: bagi) PTAI Indonesia. Term “PTAI

Indonesia” ini diperjelas lagi dengan mengambil contoh secara

acak untuk memperkaya pandangan tentang pelaksanaan

Pendidikan Bahasa di PTAI tersebut. Agar sesuai dengan

spesifikasi keilmuan yang penulis ambil, maka tulisan ini akan

mengangkat “Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab

(Bagi) PTAI di Indonesia”.

Page 6: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

BAB IIPEMBAHASAN

A. Landasan Teori

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan inkonsistensi

pemakaian istilah, maka sebelum pembahasan tema, maka

penulis akan memaparkan definisi istilah yang akan dipakai

dalam tulisan ini.

1. Paradigma

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang

dimaksud dengan paradigma adalah 1 daftar semua

bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi

dan deklinasi kata tersebut; 2 model dalam teori ilmu

pengetahuan; 3 kerangka berpikir. Melihat definisi

paradigma dari KBBI, maka definisi yang tepat dimasukkan

dalam pembahasan ini adalah yang nomor 3, yaitu kerangka

berpikir.

Namun, Kamus Filsafat mendefinisikan paradigma

tidak sesederhana itu. Di kamus filsafat diterangkan bahwa

kata “Paradigma” berasal dari bahasa Inggris, Paradigm, dan

berasal dari bahasa Yunani para deigma, dari para (di

samping, di sebelah) dan dekynai (memperlihatkan; yang

berarti: model, contoh, arketipe, ideal).3

Istilah “Paradigma” semakin penting karena karya

ilmuwan Amerika Thomas Kuhn. Menurut Kuhn dalam

bukunya yang berjudul The Structure of Scientific

Revolutions, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan

pradigma tertentu. Paradigma itu memungkinkan sang

iluwan untuk memecahkan kesulitan yang muncul dalam

rangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang

3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 779-780

6

Page 7: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

tak dapat dimasukkan dalam kerangka ilmunya, dan menurut

revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.4

Sedangkan Moh. Anas dalam makalahnya yang

berjudul “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”, mendefinisikan

paradigma tidak hanya sekedar sudut pandang dan cara

berpikir. Ia mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat

konsep yang berhubungan satu sama lain secara rasional

dan logis membentuk

sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk

memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan

atau masalah yang dihadapi.5

Merujuk pendefinisian beberapa ahli, maka dapat

diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan

paradigma adalah seperangkat konsep yang berhubungan

satu sama lain secara rasional dan logis membentuk sebuah

kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami,

menafsirkan, menjelaskan dan memecahkan kesulitan yang

dihadapi oleh ilmuwan.

2. Pendidikan

Karena menjadi hal pokok dalam kehidupan manusia,

maka term “pendidikan” mempunyai banyak definisi,

berdasarkan dari cara pandang dan pengalaman pendefinisi.

Bahkan dalam buku Anas Salahuddin yang berjudul “Filsafat

Pendidikan”, disebutkan bahwa definisi pendidikan sampai

23 definisi dari berbagai ahli6. Hal ini menunjukkan bahwa

4 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005), hlm. 43

5 Moh. Anas, “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathali’ul Falah Tahun Akademik 2011/2012 pada tanggal 20 September 2011.

6 Anas Salahuddin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hlm. 18-22

7

Page 8: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

sebuah definisi tidak dapat dijadikan patokan secara pasti

atas term yang dijelaskan. Karena dalam kenyataannya,

definisi masih belum mampu mengakomodir dan membatasi.

Namun, secara garis besar, pendidikan dapat dibagi

menjadi 3; pendidikan seumur hidup, pendidikan sebagai

usaha sadar dan pendidikan sebagai sistem. Yang dimaksud

dengan pendidikan seumur hidup adalah sebagaimana yang

dilakukan oleh setiap manusia. “Pendidikan” ini tidak hanya

terpaku pada lembaga dan bangku sekolah, namun

lingkungan dan pengalaman turut andil dalam mendidik.

Maka memang pelakunya akan belajar sepanjang hayat.7

Adapun pendidikan sebagai usaha sadar adalah usaha

sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.8

Pendidikan sebagai sistem berbeda dengan sistem

pendidikan. Kalau sistem pendidikan adalah satu

keseluruhan terpadu dari semua satuan dan kegiatan

pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya, untuk

mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan.9

Sedangkan pendidikan sebagai sistem adalah semua

kesatuan komponen pendidikan yang diperlakukan dengan

pendekatan sistem.10 Sistem yang dimaksud bukan

7 Khabibi M. Luthfi, “Filsafat Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati

8 UU nomor 20 tahun 2003, tentang: Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 ayat 1.

9 Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 2

10 Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, … hlm. 21

8

Page 9: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

berbentuk “bundar”, yaitu semua komponen sistem

berhubungan dengan berkesinambungan. Namun sistem di

sini bersifat hirarki; ada pimpinan ada bawahan. Terdapat

garis instruksional yang tegas, membatasi wilayah kerja

masing-masing.11

Melihat konteks di Indonesia, ketiga bentuk pendidikan

ini berlaku secara luas. Pendidikan seumur hidup tentu telah

dan akan diterapkan oleh masing-masing individu.

Pendidikan sebagai usaha sadar telah diterapkan oleh

berbagai institusi pendidikan, baik formal, non formal

maupun juga informal. Sedangkan pendidikan sebagai sistem

telah diterapkan oleh pemerintah melalui aturan umum,

Sistem Pendidikan Nasional, yang tertuang dalam UU nomor

20 tahun 2003.

Berdasarkan konteks ke-Indonesia-an dan juga dengan

pertimbangan keumuman bentuk pendidikan, maka analisis

tentang pendidikan, lebih tepat jika bentuk ketiga yang

dianalisis, yaitu pendidikan sebagai sistem.

Selain melihat pendidikan yang ditinjau dari

bentuknya, juga perlu ditinjau dari orientasi lulusan yang

masuk dalam ranah fakultas pendidikan. Orientasi ini

dianggap perlu karena nantinya akan berhubungan dengan

PBA. Kedua orientasi tersebut adalah sebagai perumus

kebijakan dan praktisi di lapangan.

3. Bahasa Arab

Pendidikan yang mempunyai banyak definisi, begitu

pula dengan bahasa. Bahkan dalam buku Abdul Chaer yang

berjudul Linguistik Umum, disebutkan bahwa bahasa

11 Ni’matin Khomsiyah dan Irza Anwar S., “Sistem Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati

9

Page 10: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

mempunyai banyak dimensi untuk diteliti. Di antaranya

adalah bahasa sebagai sistem, bahasa sebagai lambang,

bahasa adalah bunyi.12

Sementara yang dimaksud bahasa dalam tulisan ini

adalah bahasa yang dilihat dari “content” yang dimiliki.

Maksudnya adalah sesuatu yang berada di dalam bahasa itu

sendiri, yaitu keilmuan bahasa dan kemampuan berbahasa.

Yang dimaksud dengan keilmuan bahasa adalah seperangkat

pengetahuan yang dipergunakan untuk mempelajari struktur

dalam bahasa, atau dengan bahasa lain adalah ilmu tata

bahasa. Sedangkan kemampuan berbahasa adalah

memposisikan bahasa sebagaimana fungsi awal bahasa,

yaitu sebagai sarana komunikasi.13

Dengan demikian, ketika penulis menyinggung tentang

term bahasa, yang dimaksud adalah kedua ranah bahasa;

keilmuan dan kemampuan. Namun, hal ini tidak serta merta

menjadikan penulis condong untuk bersikap idealis dalam

penguasaan kedua ranah ini. Karena dalam memutuskan

sesuatu, tentu harus mempertimbangkan konteks yang ada.

Terkait dengan bahasa Arab, ia adalah bahasa yang

unik. Ia memiliki sistem gramatikal yang rumit. Berbagai

perubahan di dalamnya, secara tidak langsung akan

menjadikan seseorang menyangkanya sulit untuk dipelajari.

Ia juga memiliki banyak sekali kata-kata yang mempunyai

makna ganda, bahkan banyak. Misalnya perubahan susunan

huruf م – ل – ك . Huruf-huruf ini dapat berubah menjadi

ك – ل – م , dengan masih adanya hubungan makna (

12 Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 33-56

13 Five Sulistiyani R., “Pendidikan Bahasa Arab: Antara Eksklusifisme dan Inklusifisme”. Dimuat dalam Al-‘Arabiyah, Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, vol. 2, nomor 2, (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga), hlm. 49

10

Page 11: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

تقاق.14(اش bermakna كلم berbicara, sedangkan ك ملadalah memiliki. Ketika dicari benang merah di antara kedua

kata tadi, maka makna intinya adalah “memiliki kesempatan

atau berkuasa”. Karena “berbicara” pun merupakan

kekuasaan yang dimiliki oleh manusia, jika ia tidak

dibungkam.

Melihat karakteristik bahasa Arab yang rumit, maka

ketika bahasa Arab menjadi obyek untuk diajarkan, para

pendidik tentu harus menguasai kesemua itu, agar mendapat

pemahaman yang komprehensif.

4. Pendidikan Bahasa

Setelah mendefinisikan dan memilih definisi dari

pendidikan dan bahasa manakah yang lebih tepat untuk

dicantumkan dalam tulisan ini, maka untuk selanjutnya

pendefinisian term “Pendidikan Bahasa”.

Sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwa yang

dimaksud “pendidikan” dalam tulisan ini adalah pendidikan

sebagai sistem, maka jika digabung dengan term bahasa

akan memunculkan definisi usaha sadar dan sistematis dari

berbagai lapisan masyarakat untuk mempersiapkan peserta

didik agar mempunyai kompetensi berbahasa (berbicara,

menulis, mendengarkan, menerjemahkan,membaca dan

berfikir kritis) sebagai persiapan masa depan dengan cara

pengajaran, bimbingan, dan latihan-latihan yang berada

dalam naungan lembaga.15

5. Filsafat Pendidikan

14 Muhammad bin Ibrahim, Fiqh Lugah: Mafhûmuh, Maudhû’âtuh, Qadhayâh, (Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah, 2005). Hlm. 207

15 Khabibi M. Luthfi, “Filsafat Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati

11

Page 12: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

“Philosophy is mother of science”, begitulah slogan

yang dimiliki filsafat. Terkesan arogan memang, namun

demikianlah kenyataannya. Filsafat mampu masuk ke dalam

berbagai keilmuan untuk berpikir secara radikal (ontologi)

dan koheren untuk mendapatkan (epistemologi) hasil yang

sesuai dengan kemaslahatan manusia (aksiologi). Melihat

perannya yang sangat penting, maka pendidikan sebagai

kebutuhan pokok manusia tentu tidak lepas dari visitasi dan

koreksi dari filsafat.

Di dalam filsafat pendidikan, terdapat banyak aliran.

Setiap aliran merupakan tawaran untuk menyikapi konteks

yang dihadapi oleh para filsuf. Misalnya filsafat

pragmatisme, yang mengusung asas kemanfaatan adalah

kritikan bagi pendidikan yang hanya berkutat pada bagian

yang awang-awang, tidak jelas.

Namun, tidak setiap aliran akan selalu bertahan lama.

Karena orientasi masyarakat dan juga zaman pasti berubah.

Atas dasar inilah, maka bermunculan banyak aliran filsafat

pendidikan guna memberikan alternatif permasalahan

hidup.16

Terkait dengan pemilihan salah satu aliran filsafat

pendidikan dalam tulisan ini, tentu saja harus mengacu pada

pemilihan aliran filsafat bahasa. Karena nantinya akan di-

dialektika-kan antara keduanya.

6. Filsafat Bahasa

Ciri filsafat adalah pemikirannya yang sampai

mendalam, ke akar persoalan. Ia tidak berhenti pada

permukaan saja. Karena terkadang permukaan bersifat

semu. Misalnya saja, ketika ia masuk dalam ranah bahasa,

16 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 96-171

12

Page 13: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

maka ia akan mengorek berbagai keterangan seputar bahasa

sampai mendalam. Namun, dikarenakan manusia bersifat

perspektif, maka hasilnya pun subjektif, yang memunculkan

berbagai aliran.

Dalam buku Chaedar Alwasilah yang berjudul Filsafat

Pendidikan dan Bahasa, dijelaskan bahwa aliran dalam

filsafat bahasa ada 3. Yaitu Filsafat Atomisme Logis, Filsafat

Positivisme Logis dan Filsafat Bahasa Biasa. Inti pemikiran

filsafat atomisme logis adalah penunjukan satu objek dengan

satu istilah. Karena selama ini masih banyak satu reference

mempunyai banyak istilah.

Sedangkan filsafat positivisme logis adalah aliran

filsafat bahasa yang menolak adanya wilayah yang

transenden, ngawang dan metafisik. Karena yang menjadi

dasar dari aliran ini adalah ranah empiris, yang mampu

diindra. Adapun filsafat bahasa biasa adalah aliran filsafat

yang mengusung pada penggunaan bahasa yang digunakan

setiap hari, yang tentunya merujuk pada pemainam bahasa.

Setelah mencermati aliran dari pendidikan dan bahasa,

maka proses selanjutnya adalah mendialektikakan keduanya

dan kemudian menentukan di mana posisi Pendidikan

Bahasa (Arab), yang tentunya mempertimbangkan realitas

pendidikan bahasa di Indonesia.

B. Realitas Pendidikan Bahasa di Indonesia

Di Indonesia, sistem pendidikan bahasanya mempunyai

dua kubu. Yang masing-masing mempunyai kebenaran yang

tentunya bersifat lokalitas. Artinya kebenaran itu hanya ada

pada lingkungan itu sendiri dan lingkungan lain yang seide

dengannya. Kubu pertama adalah yang mengatakan bahwa

pendidikan bahasa berorientasi pada mahârah, atau sarana

13

Page 14: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

berkomunikasi. Kubu kedua memandang pendidikan bahasa

adalah pendidikan yang lebih menekankan pada aspek

penguasaan ilmu tata bahasa. Dengan bahasa lain, kubu

pertama lebih beriorientasi pada اللغة تعليم (pembelajaran

bahasa), sedangkan kubu kedua lebih menekankan pentingnya

belajar tentang bahasa ( اللغة عن التعليم ).

Dikotomi orientasi ini, tidak hanya sekedar asumsi.

Namun realita lapanganlah yang berkata demikian. Selain itu

juga, walaupun dalam 1 lembaga mengusung kedua paradigma

itu, namun tetap saja dalam pelaksanaannya akan ada

kecenderungan untuk memilih salah satu. Misalnya saja pondok

pesantren yang pendidikan (baca: pembelajaran) bahasanya

mengusung kedua paradigma itu, namun ketika terjadi

benturan atau kondisi yang mengharuskan memilih salah satu,

ia pasti akan memilih paradigma kedua, belajar tentang bahasa.

Karena orientasi pondok pesantren lebih condong kepada

pemahaman teks Arab yang notabene sebagai pegangan umat

Islam.

Walaupun demikian, penulis tidak boleh langsung saja

menjustifikasi untuk memilih salah satu yang dianggap paling

benar. Karena keduanya pasti mempunyai argumen yang kuat

untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Misalnya

alasan kubu pertama beranggapan bahwa pendidikan bahasa

Arab dikembalikan kepada fungsi bahasa itu sendiri, yaitu

komunikasi. Selama komunikasi yang terjalin antara pembicara

dan pendengar, maka kaidah atau tata bahasa bisa saja

dinafikan.

Sedangkan kubu kedua beranggapan bahwa dalam

mempelajari keilmuan dan khazanah keislaman tentu tidak

lepas dari tata bahasa Arab. Karena kebanyakan kitab tidak

berharokat. Inilah yang menjadikan kubu kedua lebih

mementingkan “belajar tentang bahasa”.

14

Page 15: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

Realitas seperti inilah yang menjadikan simalakama bagi

pendidikan bahasa Arab. Ia tentu harus mampu mengakomodir

keduanya. Padahal untuk mewujudkan demikian, tentu bukan

perkara yang mudah.

C. Paradigma I: PBA di Payung Pendidikan

Agak rumit untuk menjelaskan berbagai posisi PBA di

bawah payung pendidikan. Karena secara sekilas, tidak akan

tampak “keanehannya”. Namun, jika meneliti lebih dalam lagi,

akan ditemukan banyak keganjalan di dalamnya.

Adanya paradigma seperti ini, bermula dari arogansi yang

dimiliki oleh pendidikan. Ia beranggapan bahwa semua

keilmuan dapat dimasukkan dalam cabang keilmuannya.

Karena untuk mentransfer dan memberikan pengetahuan,

bukankah harus mengacu pada asas-asas pendidikan?

Secara “kasar”, paradigma seperti ini akan memunculkan

konsekuensi berupa munculnya keilmuan yang determinan dan

dominan. Keilmuan yang determinan adalah bahasa, dan yang

dominan adalah pendidikan. Hal ini dikarenakan pemahaman

dan pematangan penguasaan keilmuan, hanya salah satu yang

ditekuni secara mendalam.

Gambar V: Posisi Beberapa Keilmuan Di bawah Pendidikan

Dokumentasi: Penulis

Dengan adanya keilmuan yang dominan dan determinan

itu, akan berbuntut pada permasalahan yang lain. Ketika

pendidikan menjadi dominasi atas bahasa, maka dalam tataran

15

Page 16: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

konseptual dan praktis, sifat pendidikan kurang

mempertimbangkan bahasa. Misalnya, ketika dalam

pembelajaran mahârah qirâ`ah, pelaku hanya akan memikirkan

strategi pembelajaran berupa active learning misalnya, tanpa

memperkirakan karakteristik dan fase kemampuan yang ada di

dalam qirâ`ah. Jadi, ia hanya memandang bahasa tidak lebih

hanya “label tempelan” yang kurang perlu dipertimbangkan

karakteristiknya.

D. Paradigma II: PBA di Payung Bahasa

Berkebalikan dengan paradigma pertama, paradigma

kedua ini menganggap bahwa pendidikan bahasa (Arab) berada

di bawah naungan Bahasa. Hal ini disebabkan “Bahasa”-lah

yang lebih mengerti tentang sifat-sifat dan karakteristik yang

dimilikinya. Maka, yang mempunyai otoritas untuk

mengajarkannya kepada orang lain, hanya boleh dilakukan oleh

bahasa.

Gambar VI: Posisi Beberapa Keilmuan Di bawah Bahasa

Dokumentasi: Penulis

Jika seperti ini, sebagaimana yang terjadi di paradigma

pertama, maka akan ada keilmuan yang bersifat dominan dan

determinan. Keilmuan yang dominan adalah bahasa, sedangkan

yang determinan adalah pendidikan. Pelaku yang mengusung

paradigma ini akan gagap di medan pembelajaran. Alasannya

adalah ia tidak menguasai bagaimana perencanaan

16

Page 17: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

pembelajaran yang tepat, tidak mengetahui bagaimana cara

menangani peserta didik yang beragam.

Contoh konkritnya adalah ketika dalam sebuah

pembelajaran, pendidik memakai metode mubâsyarah untuk

mahârah takallum. Metode ini memandang semua anak adalah

entitas yang sama, tidak ada karakter pembeda di dalamnya.

Padahal realitanya adalah sebaliknya, setiap anak mempunyai

karakter yang tentu penanganannya harus berbeda.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan, bahwa kedua

paradigma awal ini tidak membuah kan hasil yang tepat untuk

diterapkan di lapangan. Karena yang terjadi adalah adanya

keilmuan yang dominan dan determinan. Dan ini berbuntut

pada ketidak seimbangan konsep yang dimiliki untuk

melaksanakan sebuah pendidikan.

E. Paradigma III: Dialektika “Pendidikan” dan “Bahasa”

Ketika 2 paradigma di atas tidak memenuhi syarat untuk

menjadi ideal, JD Parera dalam bukunya yang berjudul

“Linguistik Edukasional” mencoba menengahinya. Parera, yang

mengistilahkan teori yang dicetuskan oleh H.H. Stern,

memberikan alternatif untuk menempatkan PBA.17

Gambar VII: Skema Dialektika Pendidikan dengan BahasaDalam Linguistik Edukasional

17 JD Parera, Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 5

17

Page 18: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

Dokumentasi: Penulis

Gambar di atas adalah pemikiran H.H. Stern tentang

posisi PBA18. Paradigma ketiga ini, tidak terdapat keilmuan

yang bersifat dominan maupun determinan. Kesemuanya

berfungsi secara seimbang, dengan mengambil serpihan-

serpihan dari keduanya, yang kemudian mengerucut ke jenjang

praktik.

Pada “jenjang dasar”, terdapat keilmuan-keilmuan dari

pendidikan dan bahasa. Keilmuan pendidikan memuat tentang

bagaimana perngorganisasian mata pelajaran, metode-metode

pembelajaran secara umum, bagaimana menghadapi peserta

didik yang beragam karakteristiknya, hingga ke hal yang lebih

rigid, membuat urutan pelaksanaan pembelajaran.

Sedangkan keilmuan dari bahasa adalah tentang

karakteristik yang dimiliki oleh bahasa yang akan diajarkan,

budaya seperti bagaimanakah yang ada di pengguna asli

bahasa tersebut, sampai bagaimana cara berkomunikasi yang

baik. Kesemuanya itu diramu dalam “jenjang antara”, untuk

18 Model diagram H.H. Stern: Kebijakan dan Proses Pengajaran Bahasa dalam JD Parera, Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa, … hlm. 2

18

Page 19: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

menghasilkan sintesis yang tepat. Kemudian diaplikasikan ke

dalam “jenjang praktik”.

Memang, paradigma seperti ini mampu menjembatani

antara kedua domain utama, pendidikan dan bahasa. Namun,

sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa untuk

menjadi keilmuan yang mapan, PBA tentu tidak lagi tergantung

pada proses sintesa kedua ilmu. Bahkan ilmu yang mapan harus

mempunyai istilah teknis sendiri untuk menyebutkan

kegiatannya. Dan paradigma ketiga ini masih menggelayut

pada pendidikan dan bahasa. Terlepas dari kesemua itu,

paradigma ketiga ini merupakan model yang paling mungkin

digunakan. Karena tidak terdapat dominasi di antara keduanya.

F. Paradigma Ideal, Sebuah Konsekuensi

Pertanyaan yang diajukan dalam bab ini adalah,

paradigma manakah yang akan dipilih? Merujuk pada realitas

di Indonesia, paradigma manakah yang lebih tepat untuk

diaplikasikan? Menurut penulis adalah paradigma ketiga.

Paradigma ketiga merupakan penengah dari paradigma

pertama dan kedua. Ia memberikan solusi yang cerdas untuk

menjembatani kedua keilmuan yang sama sekali berbeda.

Dengan kemampuan dialektikanya, ia menciptakan “jenjang

antara” yang mampu meracik dan meramu karakteristik dari

masing-masing kedua keilmuan. Hasilnya adalah “jenjang

praktik” yang siap saji.

Pembelajaran yang ideal adalah diterapkannya

karakteristik masing-masing keilmuan. Dari pihak bahasa,

menyumbangkan sifat-sifat bahasa, teori berkomunikasi, dan

macam-macam kompetensi. Sedangkan dari pendidikan,

bermunculan konsep bagaimana merancang dan merencanakan

kurikulum, bagaimana membuat silabus, bagaimana

19

Page 20: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

bersosialisasi dengan peserta didik yang beragam, bagaimana

seharusnya sikap pendidik dan apa sajakah kompetensi yang

harus dimiliki oleh pendidik. Jadi, penerapan Linguistik

Edukasional tidak hanya masuk dalam ranah pembelajaran.

Memang, dengan memilih Linguistik Edukasional,

keilmuan PBA belum mencapai tahap kemapanan. Karena

kemapanan harus dicapai dengan adanya proses tesis, antitesis,

sisntesis hingga berulang-ulang. Padahal untuk demikian, butuh

waktu yang tidak sebentar. Maka, untuk sementara, yang

mampu dianggap ideal adalah dengan menerapkan Linguistik

Edukasional.

G. Studi Kasus

1. PBA di STAI Mathali’ul Falah (STAIMAFA) Pati

STAI Mathali’ul Falah, adalah salah satu PTAI yang

berada di wilayah Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Pati.

Ia mengusung visi “Menjadi Kampus Riset Berbasis Nilai-

Nilai Pesantren” dan dengan mencanangkan paradigma

keilmuan Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah, yang biasa disebut

Aswaja.

Ia berpendapat bahwa semua paradigma keilmuan PBA

yang ada, dapat diterapkan. Sebagaimana salah satu asas

Aswaja, at-Tawassuţ yang bermakna berada di tengah, tidak

miring ke kanan atau kiri. Hal ini senada dengan apa yang

dikatakan Mustafied dalam tulisannya yang berjudul

“Paradigma Keilmuan STAIMAFA”:

“ ... Paradigma STAIMAFA merupakan refleksi keislaman ahlus sunnah wal-jamaah. Paradigma STAIMAFA bersifat normatif sekaligus historis, teoretis dan praksis, imanen dan transendental. Paradigma STAIMAFA merupakan paradigma yang hidup, yang tidak melakukan pemisahan antara ilmu dan amal, yang menyatukan teori dan praksis, yang enggan dengan berbagai rupa ekstremisme epistemologis. Paradigma STAIMAFA tidak berpijak pada

20

Page 21: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

pemisahan ontologis dunia akherat, tidak memisahkan kesalehan individu dan sosial, serta tidak meletakkan nilai-nilai agama semata-mata dalam ruang privat. Paradigma STAIMAFA terangkum dalam metode berfikir, bersikap, dan bertindak…”19

Melihat paradigma yang demikian, memang akan

mendapatkan jalan aman untuk berpijak. STAIMAFA akan

mengambil paradigma dengan bentuk yang bagaimanapun,

tidak masalah. Karena sikap “tengah-tengah” yang

diusungnya merupakan solusi yang cerdas.

Terkait dengan PBA, maka STAIMAFA akan mengambil

semua paradigma; PBA berada di payung “Pendidikan”, PBA

berada di payung “Bahasa”, dan Dialektika antara keduanya.

Secara teoritis dan konseptual, ia akan mengambil ide-ide

dari ketiganya. Ia mampu menyesuaikan berbagai paradigma

dengan sistem kontekstualisasi, sesuai kebutuhan. Dengan

kata lain, STAIMAFA telah membuat semi-integrasi bagi

keilmuan PBA.

Gambar VIII: Paradigma Keilmuan STAIMAFA

19 Mustafied, “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathali’ul Falah Tahun Akademik 2009/2010 pada tanggal 08 Oktober 2009.

21

Page 22: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

Dokumentasi: Penulis

Dikatakan semi-integrasi karena STAIMAFA tidak serta

merta menggabungkan semua paradigma, namun ia

merangkul semua. Selain itu, ia hanya mengambil apa yang

diperlukan, ketika menghadapi konteks tertentu. Jadi,

keintegrasian STAIMAFA belum integrasi sempurna.

Namun, menurut penulis, jika STAIMAFA mengambil

kesemua paradigma tanpa adanya pemilihan salah satu,

maka ia sama saja menghidupkan “bom waktu”. Karena

STAIMAFA akan terlihat mampu diombang-ambingkan oleh

berbagai paradigma yang muncul. Memang, STAIMAFA

terlihat anggun dengan kemampuannya berjalan di tengah

berbagai paradigma. Akan tetapi, hal ini pula yang akan

menjegalnya. Misalnya ketika menghadapi suatu pilihan, ia

tidak akan mampu memutuskan mana yang lebih baik.

Karena bukankah ia beranggapan bahwa semua paradigma

itu baik?

Contoh selanjutnya adalah ketika personil perumus

kebijakan, yang tentunya mempunyai kecenderungan yang

berbeda ketika memandang paradigma. Tentunya,

STAIMAFA memiliki beberapa personil sebagai perumus.

Maka, ketika STAIMAFA (secara global) tidak mempunyai

pegangan 1 paradigma, ia akan mudah diombang-ambingkan

oleh personil tersebut.

Selain kedua keganjalan yang perlu dipertanyakan, ada

1 permasalahan lagi, dan menurut penulis, ini yang paling

utama. Setiap paradigma keilmuan, pasti mempunyai 3

dimensi pokok, sebagai landasan untuk berpijak. Dimensi

tersebut adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Proses

dialektika dan interkoneksi atau bahkan pemilihan serpihan-

serpihan yang “dikira” mampu mengakomodir kebutuhan,

22

Page 23: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

akan menjadikan paradigma keilmuan STAIMAFA terlihat

rapuh. Ia tidak mengambil sepenuhnya, dan nantinya ia

dengan mudah akan diserang dari celah-celahnya.

STAIMAFA bersikap sombong, dengan merangkul

semua paradigma. Contoh kecilnya adalah ketika

merefleksikan “cara berpikir” yang sejalur dengan Aswaja,

sebagaimana yang ditulis oleh Mustafied:

“… Secara epistemologis, STAIMAFA tidak menganut kemutlakan rasionalisme-empirisisme, idealisme-materialisme, dhahiriah-batiniah. Rasionalisme terjebak pada pengagungan rasio, sedangkan empirisisme tidak menerima rasio sebagai sumber pengetahuan rasional. Idealisme terlalu mengabaikan kenyataan real, materialisme menganggap tidak bermakna kenyataan metafisik, tidak mengakui realitas yang ghoib. Sementara kaum dhahiriah jatuh dalam skripturalisme dan kaum batiniah seringkali menganggap enteng syariah. Berbagai posisi epistemologis tersebut tidak memungkinkan untuk memahami agama dan realitas social secara mendalam…”

Terlepas dari berbagai ganjalan dalam paradigmanya,

STAIMAFA telah menentukan jalan hidup keilmuannya

dengan memilih Aswaja. Dan Aswaja memang jalan aman

untuk dapat merangkul semua pihak. Namun, sebagai

catatan, STAIMAFA tentu harus tegas ketika memilih mana

yang terbaik bagi kelangsungan hidup keilmuannya.

2. PBA di UIN Maliki Malang

Lain ladang, lain ilalang. Lain perguruan tinggi, lain

pula paradigma keilmuannya. Kalau STAIMAFA mengusung

paradigma Aswaja, UIN Maliki mengusung paradigma

“pohon ilmu”. Paradigma keilmuan “Pohon Ilmu” ini

dicetuskan oleh rektor pertama UIN Malang, Imam

Suprayogo.

Gambar IX: Pohon Ilmu UIN Maliki Malang

23

Page 24: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

Dokumentasi: http://www.uinmalang.ac.id

“Pohon Ilmu” memiliki beberapa bagian, yaitu akar,

batang, dahan, ranting, daun dan buah. “Akar”

melambangkan keilmuan dasar yang harus dipelajari oleh

manusia guna mampu mempelajari Alquran dan Hadis.

Keilmuan tersebut adalah bahasa Arab, bahasa Inggris,

Logika, Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Sebagai alat, tentunya

harus dikuasai sepenuhnya, sebelum beranjak mempelajari

Alquran dan Hadis.

Bagian kedua adalah “batang”, yang bermakna objek

kajian Islam, yaitu Alquran dan Hadis, pemikiran Islam dan

sîrah nabawiyah dan atau sejarah Islam lainnya yang lebih

luas. Di UIN Maliki Malang, semua mahasiswanya, dengan

berbagai jurusan, wajib mengambil mata kuliah yang

berkaitan dengan keilmuan “batang” ini.

Bagian selanjutnya adalah “dahan”, “ranting” dan

“daun” yang jumlahnya banyak. Bagian-bagian ini

melambangkan disiplin ilmu yang akan dipilih oleh setiap

mahasiswa. Berbeda dengan keilmuan “batang”, keilmuan

24

Page 25: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

ketiga ini hukumnya sesuai dengan minat, bakat dan

kemampuan mahasiswa.

Bagian terakhir dari “pohon ilmu” adalah “buah”.

Bagian ini bermakna hasil kegiatan kajian agama yang

mendalam dan ilmu pengetahuan yang cukup, yaitu iman,

amal soleh dan akhlaq karimah.

Paradigma yang ditelurkan oleh Imam Suprayogo ini

cenderung menyerupai pandangan Al-Ghazali. Bahwa

mendalami ilmu agama wajib bagi semua orang (fardh ‘ain).

Sedangkan untuk mempelajari ilmu umum seperti teknik,

kedokteran dan perdagangan hukumnya fardh kifâyah.20

Terkait dengan PBA, posisi di manakah ia, jika

menganut pada paradigma “Pohon Ilmu”? Di bagian dahan

paling atas, terdapat “fakultas” tarbiyah, yang tentunya

menaungi PBA. Akan tetapi, jika ditelusuri sampai ke akar,

maka pintu masuknya adalah bahasa, yang kemudian

di”sowankan” ke Alquran dan Hadis. Hal ini terjadi karena

letak Bahasa Arab di akar, yang kemudian melewati al-‘Ulûm

al-Islâmiyyah; Alquran, Hadis, Sîrah Nabawiyyah dan

lainnya. Dan sudah pasti, di dalam batang akan terjadi

filtrasi (penyaringan) dan reduksi besar-besaran.

Setelah melewati akar dan batang, maka tibalah ia di

“dahan” Tarbiyah. Di sana, ia merupakan ilmu yang

independen. Namun, lagi-lagi di dalamnya masih rapuh. Jika

yang dipilih adalah wacana integrasi, seharusnya setiap

keilmuan mempunyai istilah teknis sendiri, karena dianggap

sudah mapan. Akan tetapi, sebagaimana literatur yang ada

20 Penulis tidak habis pikir dengan Taufiqurrochman. Dalam buknya, pada halaman 232 ia berpendapat bahwa metafora “Pohon Ilmu” ini sesuai dengan pandangan Al-Ghazali, yaitu pendikotomian keilmuan. Namun pada halaman 233-236, ia mencerca pendikotomian. Hal ini mengindikasikan 2 hal; apakah “Pohon Ilmu” ini masih sangat labil? Ataukah memang penulis yang bersifat inkonsistensi.

25

Page 26: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

di UIN Malang, kesemuanya masih mendasarkan pada

“induk” Bahasa.

3. PBA di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Paradigma ketiga adalah “Jaring Laba-laba Keilmuan”

yang dicetuskan oleh Amin Abdullah, dan kemudian

diterapkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Paradigma ini

mengusung corak Teoantroposentris-Integralistik. Yang

dimaksud dengan Teoantroposentris adalah gabungan

antara sumber ilmu dari Tuhan yang berupa wahyu (Teo)

dengan ilmu yang bersumber dari manusia (antropo), yang

kemudian keduanya digabung-leburkan (integral).

Gambar X: Jaring Laba-laba KeilmuanTeoantroposentris-Integralistik

Dokumentasi: http://iscdic.blogspot.com/2007/03/

penundukan-paradigma-teori-laba-laba.html

Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini

muncul dari sebuah kegelisahan Amin Abdullah terkait

dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian

26

Page 27: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Teknologi

yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi sekat-sekat

antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, revolusi IPTEK,

genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM

dan lain sebagainya. Perkembangan zaman mau tidak mau

menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa tekecuali

pendidikan keislaman, karena tanda adanya respon yang

cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum

muslitimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan

menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah

ketatnya persaingan global. Menghadapi tantangan era

globalisasi ini, umat Islam tidak hanya sekedar butuh untuk

survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan

perubahan. Hal ini kemudian dibutuhkan reorientasi

pemikiran dalam pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem

kelembagaan.

Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam

antara “ilmu” dan “agama” dimana keduanya seolah menjadi

entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan,

mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formal-

material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang

dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya.

Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya

mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut tanpa

meleburkan satu sama lain tetapi berusaha mendekatkan

dan mengaitkannya sehingga menjadi “bertegus sapa” satu

sama lain.21

Berbeda dengan “Pohon Ilmu” Imam, “Jaring Laba-

laba” Amin berangkat dari Alquran dan Hadis, yang

kemudian dilingkupi oleh metode dan pendekatan.

21 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, …. hlm. 92-93

27

Page 28: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

Selanjutnya, keilmuan yang muncul adalah Târîkh, Fiqh,

Lugah, Kalâm, Falsafah, Tasawuf dan Hadîs. Dan kemudian

berkembang sangat luas, dan bersifat kontekstual.

Terkait dengan PBA, ia tidak berangkat dari salah satu

3 paradigma yang penulis paparkan sebelumnya. Paradigma

Amin berangkat langsung berangkat dari Alquran dan

Hadis,22 yang notabene merupakan asas utama umat Islam.

Kedua asas tadi kemudian didekati dengan pelbagai

keilmuan, yang kesemuanya masuk pada lingkar selanjutnya.

Memang, sebagai umat Islam, dalam merujuk segala

keilmuan harus mengacu pada Alquran dan Hadis. Namun,

di sini akan timbul persoalan lain lagi. Bukankah Alquran

sangat multi tafsir? Dan pasti yang ada hanyalah tafsir

subyektif. Selain itu, jika diandaikan PBA masuk dalam

Jaring Laba-laba, maka ia akan masuk di lingkar lapis 2

bersama dengan Ethics, Archeology, History dan yang

lainnya. Hal ini menunjukkan kesamaan berangkat dari

Bahasa. Karena keilmuan Lugah berada di sebelum lingkar

lapis 2.

Walaupun demikian, menurut penulis, paradigma

keilmuan yang integral masih belum mampu dicapai secara

menyeluruh. Karena tetap pasti terdapat kecenderungan dan

juga pemikiran yang bersifat subyektif. Lain daripada itu,

pemilihan Alquran dan Hadis sebagai inti jaring merupakan

sebuah konsekuensi yang tinggi. Karena walaupun ditafsiri

dengan hermeneutik, seorang mufassir terkadang masih

mempunyai kepentingan.

Terlepas dari semua itu, pemikiran Amin Abdullah

telah memberi sumbangan wacana paradigma keilmuan 22 Penulis belum mengetahui jalur mana yang harus dilewati dahulu dalam

“labirin” Jaring Laba-laba Amin. Karena memang tidak terdapat pintu masuk. Untuk inisiatif, sebagaimana biasanya, pengambilan garis start bermula dari tengah, yaitu Alquran dan Hadis.

28

Page 29: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

kepada masyarakat. Dan memang merupakan kelumrahan,

jika sampai sekarang belum ditemukan titik yang tepat

untuk merancang paradigma keilmuan. Karena filsafat pasti

akan mati, jika menemukan jawaban. Sebab seterusnya tidak

aka nada lagi dialog dialektika keilmuan.

H. Contoh Penerapan Paradigma Ideal Linguistik

Edukasional dalam Pembelajaran

Filsafat Bahasa Filsafat PendidikanFilsafat Bahasa Biasa: Filsafat yang lebih menekankan penggunaan bahasa yang sederhana, tidak berbelit-belit dan tidak absurd.

Filsafat Pendidikan Pragmatisme: Filsafat pendidikan yang merujuk pada aspek kemanfaatan bagi umat manusia

Karena karakteristiknya yang lebih condong pada pemakaian bahasa yang sederhana, maka asas kemanfaatannya pun akan lebih banyak diperoleh. Karena bukankah berbahasa adalah proses interaksi dengan yang lain?, yang tentunya berhasil akhir pada pemahaman antara kedua belah pihak.

Dengan bermadzhab pada pragmatisme, maka pengajaran bahasa tentunya dilihat dari sudut pandang sejauh mana ia bermanfaat bagi manusia.

Maka, hasil dialektika seperti ini akan memunculkan:Pendekatan Sosiolinguistik dan antropolinguistik;

karena aspek kemanfaatan yang berujung pada penilaian manusia, tentu pendekatannya harus bersifat humanis, baik ditinjau dari interaksinya maupun budaya yang melingkupinya.

Teori Lingua franca, kreol pijin dan “bahasa menunjukkan budaya”: agar nantinya tercipta kesepahaman dengan native, tentunya kita harus mengetahui seluk beluk bahasa native. Nah, dengan adanya bahasa resmi dan bahasa antara yang bersifat temporal, aspek kemanfaatan akan lebih tampak. Juga, jika kita ingin mengetahui budaya orang lain, maka dengan jendela bahasa, kita sudah bisa mengetahuinya.

Strategi Active learning: agar membentuk para

29

Page 30: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran. Karena bukankah tujuannya adalah aspek kemanfaatan bagi peserta didik?

Materi Hiwâr yaumiyyah, mufrodât ‘âmiyah, yaitu adanya hari bahasa dan kewajiban untuk berkomunikasi dengan bahasa Arab. Selain itu juga, pembelajaran seperti ini akan difasilitasi dengan kartu bergambar

Metode Intiqâ’iyyah, yaitu metode yang sangat fleksibel, tidak ada patokan utama

Model Kartu bergambar. Karena dengan adanya kartu bergambar ini, peserta didik akan lebih terbantu dalam berkomunikasi. Dan tentunya kartu harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Teknik Membahas tema-tema yang diperlukan ketika penggunaan bahasa, dengan kata lain, tema yang tidak sesuai bisa dihilangkan.

Prosedur Inti dari prosedur ini adalah lebih didominasi oleh keaktifan peserta didik. Agar kemanfaatannya lebih terlihat.

30

Page 31: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

Upaya penyelamatan muka PBA yang dilakukan oleh JD

Parera belum mampu membuatnya menjadi keilmuan yang

mapan. Alasannya adalah untuk menjadi sebuah keilmuan yang

mapan, harus memenuhi berbagai syarat. Bahkan hingga istilah

teknis pun sudah tidak merujuk pada dua wali asuhnya,

Pendidikan dan Bahasa. Namun, tidak menutup kemungkinan

harus memilih salah satu dari 3 paradigma yang diajukan.

Karena merupakan sebuah konsekuensi untuk menjalankan

paradigma yang ideal, tentu harus melewati berbagai tahap

dialog dialektika antara Pendidikan dan Bahasa.

Akan tetapi, ketika paradigma ideal telah dipilih, masih

terdapat “halangan” lagi untuk menerapkannya, paradigma

keilmuan masing-masing institusi pendidikan. Tiap institusi

pendidikan pasti mempunyai karakteristik yang berbeda sesuai

dengan tujuan dan visi misi yang diusungnya. Misalnya

STAIMAFA yang mengusung paradigma keilmuan Aswaja, yang

mampu merangkul semua paradigma. Namun sebenarnya hal

ini juga yang akan membuatnya mudah terombang-ambing.

Karena tidak terdapat pijakan yang kuat.

Contoh lain adalah UIN Maliki Malang yang mencetuskan

“Pohon Ilmu” sebagai paradigmanya. Paradigma ini berangkat

dari bahasa, yang kemudian disaring oleh “batang” Alquran dan

Hadis. Paradigma ini juga masih lemah. Karena integrasinya

belum mencapai kemapanan.

Dan studi kasus terakhir adalah UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta yang mengusung paradigma “Jaring Laba-laba

Keilmuan”. Wacana yang digaungkan oleh Amin Abdullah ini

mengusung corak Teoantroposentris-Integralistik. Sebagaimana

31

Page 32: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

Imam Suprayogo, Amin Abdullah juga berangkat dari Bahasa,

untuk keilmuan PBA. Dan hal ini “diperparah” dengan memilih

Alquran dan Hadis -yang masih multi tafsir- sebagai landasan

dalam berpijak untuk menentukan arah keilmuan.

Terlepas dengan berbagai kelebihan dan kekurangan

paradigma yang diajukan oleh masing-masing institusi

pendidikan, adanya pemikiran tersebut merupakan langkah

yang inovatif untuk meneruskan tradisi dialog dialek

interkoneksi dan integrasi dalam filsafat. Karena tanpa adanya

itu, filsafat akan mati.

B. Saran

Setelah melewati berbagai fase dalam makalah, maka

saran yang penulis ajukan adalah konsekuensi untuk memilih

satu paradigma. Karena itu adalah merupakan suatu

keniscayaan. Memang, ketika menjadi penengah, keilmuan

akan lebih fleksibel dan leluasa dalam bergerak. Namun hal itu

juga yang akan menjadi bom waktu dikemudian hari, ketika

dihadapkan pada pilihan.

32

Page 33: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.

Anas, Moh. “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathali’ul Falah Tahun Akademik 2011/2012 pada tanggal 20 September 2011.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003.

Ibrahim, Muhammad bin. Fiqh Lugah: Mafhûmuh, Maudhû’âtuh, Qadhayâh. Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah. 2005.

Khomsiyah, Ni’matin dan Irza Anwar S., “Sistem Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati

Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 2005.

Luthfi, Khabibi M. “Filsafat Pendidikan Bahasa”. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jum’at, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathali’ul Falah Pati

Mustafied, “Paradigma Keilmuan STAIMAFA”. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathali’ul Falah Tahun Akademik 2009/2010 pada tanggal 08 Oktober 2009.

Parera, JD. Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa. Jakarta: Erlangga. 1987.

R., Five Sulistiyani. “Pendidikan Bahasa Arab: Antara Eksklusifisme dan Inklusifisme”. Dimuat dalam Al-‘Arabiyah, Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, vol. 2, nomor 2, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.

Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2007.

Salahuddin, Anas. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia. 2011.

33

Page 34: Mencari Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia

Soenarya, Endang. Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000.

Taufiqurrochman. Imam al-Jami’ah: Narasi Indah Perjalanan Hidup dan Pemikiran Prof. Dr. H. Imam Suprayogo. Malang: UIN Maliki Press. 2010.

UU nomor 20 tahun 2003, tentang: Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 ayat 1.

http://iscdic.blogspot.com/2007/03/penundukan-paradigma-teori-laba-laba.html

http://www.uinmalang.ac.id

34