Mempertanyakan Orientasi World Class University

49
Mempertanyakan Orientasi World Class University 1 Oleh Edi Subkhan* Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini, kampus-kampus negeri maupun swasta heboh berupaya untuk menjadi universitas kelas dunia atau world class university (WCU). Bahkan dapat dikatakan semua kampus di Indonesia telah berorientasi untuk menjadi universitas kelas dunia. Kehebohan tersebut makin menjadi-jadi ketika pemerintah telah mengalokasikan anggaran bagi kampus-kampus tertentu agar mereka dapat segera menjadi universitas kelas dunia. Dalam hal ini, Dirjen Dikti menyatakan mendukung penuh perguruan tinggi agar dapat menjadi berkelas internasional. Pada tahun 2009 dinyatakan 17 perguruan tinggi akan sepenuhnya dibantu oleh pemerintah, terutama perguruan tinggi terkemuka di Indonesia seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, dan lainnya. Fasli Jalal ketika masih di Dirjen Dikti waktu itu mencontohkan UGM yang mendapat 70 miliar untuk mendukung program menuju world class university (Kompas, 20/05/09). Dalam berbagai kesempatan, pihak yang pro dengan kampus kelas dunia, baik dari Mendiknas, terutama Ditjend Dikti, 1 Disampaikan pada seminar nasional BEM FE Unsoed, 30 Oktober 2010. 1

Transcript of Mempertanyakan Orientasi World Class University

Page 1: Mempertanyakan Orientasi World Class University

Mempertanyakan Orientasi World Class University1

Oleh Edi Subkhan*

Pendahuluan

Beberapa tahun terakhir ini, kampus-kampus negeri maupun swasta heboh berupaya untuk

menjadi universitas kelas dunia atau world class university (WCU). Bahkan dapat dikatakan

semua kampus di Indonesia telah berorientasi untuk menjadi universitas kelas dunia.

Kehebohan tersebut makin menjadi-jadi ketika pemerintah telah mengalokasikan anggaran

bagi kampus-kampus tertentu agar mereka dapat segera menjadi universitas kelas dunia.

Dalam hal ini, Dirjen Dikti menyatakan mendukung penuh perguruan tinggi agar dapat

menjadi berkelas internasional. Pada tahun 2009 dinyatakan 17 perguruan tinggi akan

sepenuhnya dibantu oleh pemerintah, terutama perguruan tinggi terkemuka di Indonesia seperti

Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung

(ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro,

Universitas Brawijaya, dan lainnya. Fasli Jalal ketika masih di Dirjen Dikti waktu itu

mencontohkan UGM yang mendapat 70 miliar untuk mendukung program menuju world class

university (Kompas, 20/05/09).

Dalam berbagai kesempatan, pihak yang pro dengan kampus kelas dunia, baik dari

Mendiknas, terutama Ditjend Dikti, maupun pihak perguruan tinggi, argumen yang

mengemuka sebagai tujuan dari perlunya kampus-kampus untuk menjadi berkelas dunia pada

umumnya adalah: menjadi universitas kelas dunia yang dapat bersaing dengan kampus-kampus

kelas dunia dan sekaligus dapat menghasilkan lulusan yang juga dapat bersaing dengan lulusan

dari negara-negara maju di dunia internasional.

Argumen-argumen tersebut muncul pada dasarnya karena memang melihat beberapa

kenyataan mutakhir akibat dari globalisasi dalam berbagai hal dan sendi kehidupan manusia.

Pertama, globalisasi dalam bidang ekonomi yang mewujud dalam praktik ekonomi pasar

bebas. Kedua, globalisasi dalam bidang budaya yang mewujud dalam bentuk masuknya

budaya asing ke Indonesia. Ketiga, globalisasi tenaga kerja sebagai akibat dari praktik ekonomi

1 Disampaikan pada seminar nasional BEM FE Unsoed, 30 Oktober 2010. 1

Page 2: Mempertanyakan Orientasi World Class University

pasar bebas. Keempat, globalisasi bidang pendidikan dengan adanya pendirian lembaga

pendidikan di banyak negara berkembang dan beasiswa antar-negara.

Dalam globalisasi itulah orang-orang seakan dituntut untuk menguasai pengetahuan

dan kemampuan yang dapat digunakan sebagai modal utama dalam memasuki ekonomi pasar

bebas, tujuannya tentu agar dapat berkompetisi dan sukses di dalamnya. Globalisasi juga

membuat negara-negara berkembang merasa harus menyetarakan kualitas dirinya sejajar

dengan negara-negara maju dilihat dari human development index (HDI), program for

international student assessment (PISA), dan lainnya. Dari sinilah nilai-nilai kompetisi ditabur

dan tumbuh subur, terlebih ketika dipupuk oleh rasa inferioritas diri negara berkembang dalam

bentuk pengejaran angka-angka HDI, PISA, dan sejenisnya.

Pun pemerintah masih dibayang-bayangi oleh kompetisi yang terjadi antar-perguruan

tinggi dalam negeri dan luar negeri, baik dalam bentuk iming-iming beasiswa yang diberikan

oleh kampus-kampus asing pada putra-putra terbaik negeri ini, maupun pendirian lembaga

pendidikan asing di Indonesia, dan kompetisi antar-lulusan kampus-kampus negara-negara

maju dengan kampus-kampus dalam negeri. Dengan kondisi tersebut, maka dapat dipahami

mengapa pemerintah dan pihak kampus tampak begitu pro dengan world class university

(WCU) yang dianggap sebagai keniscayaan satu-satunya cara untuk dapat bertahan dan

berkompetisi di tengah globalisasi.

Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, kekhawatiran tersebut juga telah

memunculkan gagasan tentang sekolah bertaraf internasional (SBI). Dalam dokumen yang

menjadi acuan pelaksanaan SBI, tujuan digalakkannya SBI juga jelas untuk dapat menyiapkan

siswa-siswi yang nantinya akan dapat bersaing di dunia internasional. Dalam presentasi

Dirjend Mandiknasmen Kementerian Pendidikan Nasional (2010), alasan perlunya SBI adalah:

(1) meningkatkan kualitas dan daya saing lulusan di tingkat regional dan internasional sebagai

antisipasi peningkatan migrasi tenaga kerja internasional; (2) meningkatkan daya saing tenaga

kerja Indonesia di pasar kerja internasional; (3) mempertahankan peluang kerja tenaga kreja

Indonesia di pasar kerja nasional yang dibentuk oleh perusahaan asing di Indonesia.

Pengertian World Class University

Sekarang mari kita perluas cakrawala pengetahuan dan pemahaman kita mengenai apa yang

dimaksud dengan world class university atau universitas kelas dunia tersebut. Berikut akan

dikemukakan beberapa pendapat yang beredar luas di publik luas, terutama dari kalangan yang

2

Page 3: Mempertanyakan Orientasi World Class University

relatif sepakat dengan gagasan universitas kelas dunia. Mendiknas Bambang Sudibyo (kabinet

2004-2009) menyatakan:

Jika UI memiliki 150 program studi misalnya, apabila lebih dari 40 persen program

studi sudah berkelas internasional, maka perguruan tinggi itu layak disebut World Class

University. […] Kompetisi, lanjut dia (Mendiknas), akan menentukan apakah

perguruan tinggi negeri (PTN) atau perguruan tinggi swasta (PTS) tersebut layak atau

tidak. (Republika, 09/04/08)

Pernyataan Bambang Sudibyo tersebut juga tidak terlalu jelas menyatakan apa yang disebut

sebagai kampus berkelas internasional. Namun secara implisit ia menyatakan bahwa

pengertian berkualitas atau tidak dari sebuah kampus harus dilihat dari hasil kompetisi antara

satu kampus dengan kampus lainnya. Alur logika yang digunakan Bambang Sudibyo dapat

ditebak, bahwa kampus berkelas internasional adalah yang memiliki peringkat bagus dalam

kompetisi tersebut, dan kompetisi yang dimaksud tiada lain adalah kompetisi internasional.

Masih di media yang sama (Republika, 09/04/08), Wakil Rektor Bidang Akademik dan

Kemahasiswaan IPB, Prof. Yonny Koesmaryono menyatakan, agar 50 universitas unggulan di

Indonesia masuk world class university, maka mereka harus berlomba mendapat pengakuan

internasional melalui akreditas internasional. “Pengakuan internasional terhadap sebuah

universitas akan sangat berdampak positif pada kinerja setiap unit yang harus selalu prima,”

jelasnya. Pernyataan tersebut juga mengindikasikan perlunya kampus masuk dalam percaturan

global dan kemudian dinilai untuk mendapatkan pengakuan lembaga internasional.

Secara lebih teknis Kusmastanto (2007) mengemukakan beberapa kriteria world class

university, di antaranya adalah 40 persen tenaga pendidik bergelar Ph.D, publikasi

internasional 2 paper per staf per tahun, jumlah mahasiswa pascasarjana 40 persen dari total

populasi mahasiswa (student body), anggaran riset minimal US$ 1300 per staf per tahun,

jumlah mahasiswa asing lebih dari 20 persen, dan Information Communication Technology

(ICT) 10 KB per mahasiswa. Kriteria yang dikemukakan oleh Kusmastanto tersebut juga

relatif cenderung sepakat untuk memasukkan unsur-unsur yang berbau internasional agar dapat

disebut sebagai berkelas internasional, misalnya publikasi internasional dan mahasiswa asing.

Ketiga pendapat di atas merupakan contoh pendapat yang sepakat dengan ide dan

orientasi kampus untuk menjadi berkelas dunia, namun memang tidak mengemukakan secara

jelas apa yang dimaksud dengan kampus atau universitas berkelas internasional. Sekarang mari

kita lihat studi dari Levin, Jeong dan Ou (2006) yang juga mencoba untuk mengungkapkan apa

3

Page 4: Mempertanyakan Orientasi World Class University

yang dimaksud sebagai world class university. Hasil riset tentang definisi world class

university yang mereka kumpulkan dari beberapa literatur menyatakan bahwa memang tidak

ada definisi yang pasti tentang world class university (p. 3).

Levin, Jeong dan Ou (2006: 32) mengutip pendapat Ambrose King dari Chinese

University of Hong Kong (dalam Mohrman, 2005), bahwa kampus berkelas internasional

adalah kampus dengan fakultas yang secara tetap mempublikasikan penelitian mereka pada

jurnal-jurnal yang diakui oleh disiplin keilmuan masing-masing, juga lulusannya dapat bekerja

diseluruh penjuru dunia. Mereka juga mengutip Niland (2000) bahwa kampus kelas dunia

dibangun di atas reputasi dan persepsi, yang seringkali subjektif dan tidak pasti . Selain itu juga

terdapat banyak lagi pendapat yang ditelusuri oleh Levin, Jeong dan Ou yang intinya

menunjukkan perbedaan pandangan dan definisi dari world class university tersebut.

Lebih lanjut, Levin, Jeong dan Ou dalam artikel tersebut memperlihatkan bahwa

stakeholder yang berbeda juga memiliki pemahaman tentang world class university yang

berbeda. Namun secara garis besar, hampir semua definisi tersebut mengacu pada lingkup

internasional, dengan penilaian dan pengakuan yang berskala internasional. Selanjutnya, dari

definisi yang tidak satu tersebut, Levin, Jeong dan Ou (2006: 33-35) membuat beberapa tolok

ukur dari apa yang disebut sebagai world class university sebagai berikut.

Pertama dilihat dari keunggulan penelitian (excellence in research), antara lain

ditunjukkan dengan kualitas penelitian, yakni produktivitas dan kreativitas penelitian, publikasi

hasil penelitian, banyaknya lembaga donor yang bersedia membantu penelitian, adanya hak

patent, dan sejenisnya. Kedua dilihat dari kebebasan akademik dan atmosfer kegembiraan

intelektual. Ketiga dilihat dari pengelolaan diri yang kuat (self-management). Keempat dilihat

dari fasilitas dan pendanaan yang cukup memadai, termasuk berkolaborasi dengan lembaga

internasional. Kelima dilihat dari keanekaragaman (diversity), antara lain kampus harus

inklusif terdahap berbagai ranah sosial yang berbeda dari mahasiswa, termasuk keragaman

ranah keilmuan.

Keenam dilihat dari internasionalisasi, misal internasionalisasi program dengan:

meningkatkan pertukaran mahasiswa, masuknya mahasiswa internasional atau asing,

internasionalisasi kurikulum, koneksi internasional dengan lembaga lain (kampus dan

perusahaan di seluruh dunia) untuk mendirikan program berkelas dunia. Ketujuh dilihat dari

kepemimpinan yang demokratis, yaitu dengan kompetisi terbuka antar-fakultas dan

mahasiswa, juga kolaborasi dengan konstituen eksternal. Kedelapan dilihat dari mahasiswa

4

Page 5: Mempertanyakan Orientasi World Class University

yang berbakat. Kesembilan dilihat dari penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi

(TIK). Kesepuluh dilihat dari kualitas pembelajaran dalam perkuliahan. Kesebelas adalah

koneksi dengan masyarakat atau kebutuhan komunitas. Keduabelas dilihat dari kolaborasi

internal kampus.

Keduabelas tolok ukur yang dikemukakan oleh Levin, Jeong dan Ou (2006) tersebut

didasarkan pada berbagai pendapat para pengelola kampus, peneliti dan penulis pendidikan

yang telah mereka himpun sebelumnya. Sampai akhir bahasan tentang tolok ukur yang mereka

kemukakan tersebut, kita dapat melihat betapa banyaknya perspektif yang digunakan dalam

memahami world class university. Dengan demikian tolok ukur yang mereka sarikan dari

beberapa literatur tersebut pun menjadi “subjektif” dan “relatif”. Walaupun begitu, secara garis

besar, pengertian world class university mereka dapat dipahami sebagai mekanisme

perankingan dalam skala internasional. Hal tersebut terlihat jelas ketika mereka membuat

perbandingan antara sistem perankingan universitas kelas dunia dari Times Higher Education

Supplement (THES) dan Shanghai Jiao Tong University (SJTU) sebagai berikut.

Gambar 1. Perbandingan Times Higher Education Supplement (THES) dan Shanghai Jiao

Tong University (SJTU). Diambil dari Levin, Jeong dan Ou (2006: 36).

Perbandingan tersebut makin menunjukkan secara jelas pada kita bahwa terdapat tolok ukur

yang berbeda dalam menilai sebuah kampus bisa menjadi world class university atau tidak.

Sekarang agaknya kita mulai bisa menangkap apa yang dimaksud dengan kampus berkelas

internasional secara umum, yakni kampus-kampus yang menempati peringkat besar dalam

5

Page 6: Mempertanyakan Orientasi World Class University

pemeringkatan yang dilakukan oleh lembaga dengan reputasi internasional. Levin, Jeong dan

Ou (2006) mengambil contoh dengan memperbandingkan antara THES dan SJTU.

Peringkat atau ranking inilah yang agaknya juga dimaksud oleh pemerintah dan pihak

kampus serta mereka yang sepakat dengan gagasan world class university di Indonesia

sekarang ini. Dapat kita lihat betapa gegap gempitanya ketika beberapa kampus di Indonesia

naik peringkat dalam pemeringkatan kampus ala THES misalnya. Dengan kata lain, kalau

kampus-kampus di Indonesia berorientasi menjadi unversitas berkelas dunia, maka sebenarnya

yang segala daya upaya kampus tersebut sedang diupayakan untuk naik kelas dalam

pemeringkatan THES dan sejenisnya. Sekarang mari kita lihat secara lebih dekat dua jenis

pemeringkatan yang banyak diacu di Indonesia, yakni THE, QS dan Webometric.

Tentang THE, QS dan Webometric

Pada dasarnya Times Higher Education-QS World University Rankings merujuk pada

publikasi yang dikeluarkan oleh Times Higher Education dan Quacquarelly Symonds (oleh

karenanya disebut THE-QS atau THES singkatan dari Times Higher Education Supplement)

antara tahun 2004 sampai 2009. Pada tahun 2010 Times Higher Education berpisah dengan

Quacquarelly Symonds dan kemudian menggandeng kerjasama dengan Thomson Reuters

dalam mempublikasikan Times Higher Education World University Rankings atau THE (tanpa

QS dan S). Pada tahun 2004 sampai 2009 Times Higher Education adalah milik News

Internasional yang merupakan bagian dari gurita kerajaan media Rupert Murdoch.

Semenjak lepas dari Rupert Murdoch, THES berubah menjadi Times Higher Education

dan diluncurkan ulang dalam bentuk majalah mingguan. THE sekarang menjadi milik dari

grup Charterhouse Capital Partners. Konon salah satu sebab pisahnya THE dengan QS karena

metodologi QS lebih mengunggulkan rumpun keilmuan sains ketimbang humaniora (sangat

mungkin juga karena faktor lain yang menyebabkan perpisahan tersebut, misal ekonomi dan

politik). Selanjutnya Quacquarelly Symonds tetap lanjut dengan mengeluarkan pemeringkatan

QS World University Rankings (dapat dilihat pada http://www.topuniversities.com) setelah

juga memperbarui metodologi perankingannya, sedangkan THE membuat satu metodologi

baru dan melucurkan publikasi pertamanya pada 16 September 2010 (dapat dilihat pada

http://www.timeshighereducation.co.uk).

QS menggunakan 5 (lima) kriteria, yakni: (1) academic peer review atau analisis dari

komunitas elit akademik (bobotnya 40 persen). QS bertanya pada para akademisi lintas negara

6

Page 7: Mempertanyakan Orientasi World Class University

mengenai universitas terbaik dalam bidang yang mereka kuasai; (2) recruiter review, hampir

sama dengan academic peer review, hanya saja statusnya tidak tetap (bobotnya 10 persen); (3)

faculty student ratio yang melihat kualitas perkuliahan (bobotnya 20 persen); (4) citation per

faculty atau publikasi ilmiah per fakultas yang dikutip dalam skala internasional (bobotnya 20

persen); (5) international orientation atau orientasi internasional yang dilihat dari prosentasi

mahasiswa internaasional dan staf internasional, masing-masing bobotnya 5 persen (bobotnya

10 persen) (lihat “Methodology: Simple Overview” 2010).

Informasi yang digunakan oleh QS sebagian berasal dari survei online oleh Scopus, dan

sebagian dari informasi tahunan yang didapat oleh QS sendiri. QS mengambil data dari

kampus-kampus secara langsung, dari website serta publikasi kampus, juga dari lembaga

nasional masing-masing negara seperti Kementerian Pendidikan Nasional, termasuk

mengandalkan National Center for Education Statistics di Amerika Serikat dan Higher

Education Statistics Agency di Inggris. Sementara itu THE meluncurkan metodologi barunya

dengan 13 (tigabelas) indikator yang dibagi dalam 5 (lima) kategori: (1) perkuliahan, terutama

lingkungan belajarnya (bobotnya 30 persen); (2) penelitian, volume, income dan reputasinya

(bobotnya 30 persen); (3) kutipan, imbas penelitian (bobotnya 32,5 persen); (4) pemasukan

industri, inovasi (bobotnya 2,5 persen); dan (5) staf dan mahasiswa internasional (bobotnya 5

persen). Lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini.

7

Page 8: Mempertanyakan Orientasi World Class University

Gambar 2. Kriteria Times Higher Education pada 2010 dengan Menggandeng Thomson

Reuters (diambil dari http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/2010-

2011/analysis-methodology.html).

Beberapa pegiat pendidikan menyatakan bahwa kriteria yang digunakan oleh THE lebih bagus

ketimbang QS, ibaratnya THE adalah sebagai koreksi atas kelemahan metodologi QS

sebelumnya. Proporsi mahasiswa internasional misalnya, pada THE bobotnya dikurangi,

karena memang dianggap justru akan memberi dampak negatif bagi kampus-kampus negara

berkembang. Keberadaan academic peer review pun diminimalkan, hingga dianggap akan

meminimalkan potensi subjektivitas penilaian. Akibat dari acuan metodologi yang berbeda

tersebut pada akhirnya hasil perankingan QS dan THE juga berbeda. Hasil perankingan terbaru

tahun 2010, THE menempatkan Harvard sebagai nomor satu dan Cambridge sebagai nomor

dua, sedangkan QS sebaliknya, yakni Camridge sebagai nomor satu dan Harvard nomor dua

(lihat di website QS dan THE).

Sementara itu, Webometrik adalah pemeringkatan berdasarkan pada eksistensi sebuah

kampus di dunia maya. Webometric merupakan sebuah inisiatif dari Cybermetrics Lab, sebuah

kelompok penelitian dari Centro de Ciencias Humanas y Sociales (CCHS), bagian dari Dewan

Riset Nasional di Spanyol. Dalam situs resminya, mereka menyatakan bahwa:

Cybermetrics Lab is devoted to the quantitative analysis of the Internet and Web

contents specially those related to the processes of generation and scholarly

communication of scientific knowledge. This is a new emerging discipline that has

been called Cybermetrics (our team developed and publishes the free electronic journal

Cybermetrics since 1997) or Webometrics. (lihat “About Us” 2010)

Perankingan Webometric secara resmi dimulai pada 2004 dan tiap enam bulan sekali

diperbarui peringkatnya. Indikator web yang digunakan berbasis pada scientometric tradisional

dan bibliometric, dan secara umum tujuannya adalah untuk meyakinkan komunitas akademik

dan politik mengenai pentingnya publikasi web yang tidak hanya bisa untuk diseminasi

pengetahuan akademik, melainkan juga untuk mengukur aktivitas ilmiah, kinerja dan

imbasnya.

Webometric juga tidak dilihat dari banyaknya pengunjung atau desain dari website

sebuah kampus tertentu, melainkan dari kualitas secara global dan keterlihatan (visibility)

kampus tersebut (lebih lengkapnya lihat www.webometrics.info). Webometric menjangkau

atau menilai aktivitas dari segenap sivitas akademika kampus, baik formal berupa e-journal

8

Page 9: Mempertanyakan Orientasi World Class University

dan sejenisnya maupun komunikasi informal. Webometric mendasarkan pada data kuantitatif

yang dapat dikumpulkan dari berbagai aktivitas kampus dan segenap sivitas akademikanya di

dunia maya yang sekiranya memenuhi indikator mereka.

Dalam hal ini Webometric memiliki empat indikator penilaian: (1) Size atau ukuran

keterjangkauan, yakni jumlah halaman web yang dapat dijangkau oleh empat mesin pencari,

Google, Yahoo, Live Search, dan Exalead; (2) visibility atau keterlihatan, yakni jumlah total

link eksternal yang unik dan dapat dijangkau oleh Yahoo Search; (3) Rich Files atau

banyaknya file yang relevan dengan aktivitas akademik dan publikasi dalam format Adobe

Acrobat (.pdf), Adobe PostScript (.ps), Microsoft Word (.doc) and Microsoft Powerpoint

(.ppt). Data tersebut diambil dari Google, Yahoo Search, Live Search and Exalead; (4) Scholar

atau jumlah paper dan kutipan tiap domain akademik berupa paper, laporan penelitian dan

lainnya yang masuk dalam Google Scholar.

Prosentasi perhitungan Webometric, visibility (external links) 50 persen, size (web

pages) 20 persen, rich files 15 persen, dan scholar 15 persen. Alasan prosentase visibility atau

keterlihatan yang sangat besar adalah:

The inclusion of the total number of pages is based on the recognition of a new global

market for academic information, so the web is the adequate platform for the

internationalization of the institutions. A strong and detailed web presence providing

exact descriptions of the structure and activities of the university can attract new

students and scholars worldwide. The number of external inlinks received by a domain

is a measure that represents visibility and impact of the published material, and

although there is a great diversity of motivations for linking, a significant fraction

works in a similar way as bibliographic citation. (lihat “About the Ranking” 2010)

Dengan kata lain, basis penilaian Webometric pada visibilitas web sebuah kampus adalah

berdasarkan pada pandangan “pasar global baru” mengenai informasi akademik, oleh karena

itu web menjadi sangat penting sebagai sarana internasionalisasi kampus. Salah satu tujuannya

salah satunya adalah: ketika web tersebut dapat menampilkan aktivitas kampus secara lebih

lengkap, diharapkan akan dapat menarik minat mahasiswa dan para sarjana dari seluruh

penjuru dunia. Basis penilaian tersebut meruju pada metodologi perankingan Berlin Principles

of Higher Education Institutions yang pada dasarnya sekarang telah menjadi perusahaan profit

—dan pihak Webometric mengakui itu (lihat “Methodology” 2010).

9

Page 10: Mempertanyakan Orientasi World Class University

Lebih lanjut Webometric memberikan beberapa catatan yang menekankan keunggulan

mereka dibandingkan dengan praktik perankingan oleh lembaga lain, antara lain: (1)

perankingan yang di-back up oleh perusahaan profit harus dicek secara serius; (2) survei tidak

lagi tepat digunakan sebagai alat untuk mengukur World Rankings, karena tidak ada individu

yang memiliki pengalaman mendalam, multinasional, dan multidisiplin yang masuk sebagai

sampel representatif di universitas-universitas; (3) analisis link (link analysis) lebih kuat untuk

evaluasi kualitas ketimbang analisis kutipan (citation analysis) yang hanya mengakomdasi

pengakuan formal dari sekelompok ahli, karena link tidak hanya mencakup kutipan

bibliografis, tapi juga melibatkan pihak ketiga yang terlibat dalam aktivitas kampus.

Apa yang dikemukakan oleh Webometric tersebut merupakan serangan terbuka bagi

lembaga perankingan lain, terutama THE dan QS. Sebagai institusi yang berbasis pada

lembaga penelitian resmi, Webometric agaknya mencurigai netralitas dan independensi THE

dan QS yang di-back up penuh oleh perusahaan profit Thompson Reuters, Scopus, Elsevier

dan Quacquarelly Symonds sendiri. Pernyataan bahwa survei tidak tepat lagi sebagai alat

mengukur pemeringkatan kampus kelas dunia juga jelas ditujukan pada THE dan QS yang

metode pengambilan datanya menggunakan survei terhadap individu-individu tertentu yang

dianggap berkualifikasi. Dengan mengunggulkan analisis link makin jelas terlihat bahwa

Webometric merendahkan model analisis kutipan yang bertumpu pada elit intelektual saja.

Selain THE, QS dan Webometric, hasil perankingan kampus yang juga selalu

diperhatikan di Indonesia adalah yang dikeluarkan oleh Shanghai Jiao Tong University, Cina.

Publikasi pertama perankingan mereka adalah pada tahun 2003 yang disebut sebagai Academic

Ranking of World Universities (ARWU) yang sebenarnya merupakan kerjasama Institute of

Higher Education of Shanghai Jiao Tong University dengan Center for World-Class

Universities. Sebagaimana telah sedikit dikemukakan oleh Levin, Jeong dan Ou (2006) di

depan, SJTU mendasarkan pada 6 (enam) indikator, termasuk alumni dan staf yang

memenangkan hadiah Nobel.

Imbas Sosial dan Penolakan terhadap World Class University

Di Indonesia, akibat dari adanya pemeringkatan oleh beberapa institusi tersebut kemudian

berbuah kegaduhan yang luar biasa pada universitas-universitas kita. Semuanya ingin dapat

masuk dalam jajaran kampus-kampus dunia dalam pemeringkatan oleh QS, THE, Webometric,

SJTU dan lainnya. Demi obsesi tersebut, di banyak kampus besar Indonesia, hampir semua

10

Page 11: Mempertanyakan Orientasi World Class University

energi dan aktivitasnya dilakukan untuk memenuhi prasyarat penilaian agar dapat masuk

dalam peringkat dunia menurut beberapa lembaga tersebut. Spanduk-spanduk kampus mohon

doa restu dari segenap sivitas akademika dan orangtua mahasiswa untuk menjadi universitas

kelas dunia ditebar di mana-mana. Seminar dan diskusi mengenai strategi untuk menjadi

universitas kelas dunia semarak diselenggarakan.

Beberapa kampus dalam upaya menjadi universitas kelas dunia telah mencoba

menggandeng kampus-kampus luar negeri dalam berbagai bentuk kerjasama. Universitas

Negeri Yogyakarta (UNY) misalnya, dalam portal beritanya menyatakan bahwa dalam rangka

menuju world class university telah meningkatkan kerjasama dengan berbagai universitas luar

negeri, antara lain MoU dengan Universitat Bremen (Jerman),The University of Bayreuth

(Jerman), The National University Corporation Aichi University of Education (Jepang),

Pukyong National University (Korea Selatan), Seameo Voctech (Brunei Darussalam),

Mindanao State University (Philippine), University of Malaya (Malaysia), North Illinois

University (USA) dan University of North Texas (USA) (lihat “Mendiknas: Peresmian Masjid

dan Pidato Dies Natalis UNY” 2010).

Hal itu dilakukan untuk memenuhi syarat kolaborasi kampus dengan institusi

internasional. Selain itu juga mencoba untuk menerima lebih banyak mahasiswa internasional

dari luar negeri. Pada ranah akademik, dorongan untuk mempublikasikan jurnal internasional

juga kuat, di Universitas Indonesia (UI) misalnya bahkan banyak bonus yang dijanjikan bagi

dosen yang berhasil mempublikasikan artikelnya di jurnal-jurnal internasional. Dari komposisi

dosen, semua berjuang untuk memperbanyak dosen yang bergelar doktor atau Ph.D. Penelitian

pun ditujukan agar sesuai dengan kepentingan pasar dan mendapat donor besar.

Di kampus lain, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, misalnya, terdapat upaya

serius dan sistematis agar kampus tersebut selalu naik dalam perankingan Webometrics. Istadi

(2010), Staf Ahli Pembantu Rektor Bidang Pengembangan dan Kerjasama, Undip, membuat

presentasi yang menunjukkan beberapa langkah praktis agar dapat makin menaikkan peringkat

Undip dalam perankingan Webometric. Misalnya adalah dengan menyarankan weblog

mahasiswa dan dosen Undip untuk menambah jumlah eksternal link yang dapat terdeteksi oleh

mesin pencari Google, Yahoo, Live Search, dan Exalead; tiap weblog tersebut harus link ke

website Undip; code website harus dapat diakses oleh semua browser seperti Firefox, Opera,

Safari, Internet Explorer; mendaftarkan situs di Google Schoolar; dan lainnya.

11

Page 12: Mempertanyakan Orientasi World Class University

Tidak hanya UNY dan Undip sebagai contoh kampus di “daerah” yang juga telah

bersungguh-sungguh telah mendesain kampusnya agar dapat memenuhi persyaratan menjadi

kampus kelas dunia ala THE, QS, Webometric dan lainnya tersebut. Mereka lupa bahwa

institusi penyelenggara pemeringkatan kampus-kampus itu pun mendapat kritik tajam dari para

akademisi dan pegiat pendidikan lain. Misalnya Inggris yang berani memprotes perangkingan

world class university oleh Webometric.  Pasalnya, kampus-kampus di Inggris yang sudah

berumur lebih dari seribu tahun hanya ada 5 (lima) yang bercokol di urutan 1 sampai 100,

hanya universitas dari Amerika Serikat yang mendominasi (lihat Nurtjahjadi, 2010).

Tidak hanya itu, Simon Marginson (2006), profesor Higher Education di University of

Melbourne juga mengkritik metode survei yang digunakan oleh THES dengan menyatakan

bahwa:

Half of the THES index is comprised by university reputation with no necessary link to

university performance. As well as the 40 per cent comprised by a reputational survey

of academics, another 10 per cent is determined by a reputational survey of global

employers. [...] the THES index is too easily open to manipulation. By changing the

recipients of the two surveys, or the way the survey results are factored in, the results

can be shifted markedly.

Di sisi lain, Ian Diamon, direktur eksekutif Economic and Social Research Council, Inggris

juga menyatakan keberatannya pada metode kutipan (citation) yang digunakan Times Higher

Education 2007:

The use of a citation database must have an impact because such databases do not have

as wide a cover of the social sciences (or arts and humanities) as the natural sciences.

Hence the low position of the London School of Economics, caused primarily by its

citations score, is a result not of the output of an outstanding institution but the database

and the fact that the LSE does not have the counterweight of a large natural science

base. (lihat “Social Sciences Lose 1” 2007)

Dua kritik di atas yang dikemukakan oleh Marginson dan Diamond sama-sama meragukan

keabsahan metodologis dari survei dan kutipan sebagai indikator peringkat dunia dengan

bobotnya yang begitu besar. Marginson meragukan survei yang dilakukan karena rentan untuk

dimanipulasi. Bahkan Diamond bahkan menyatakan, metode kutipan dengan basis data yang

digunakan THE yang lebih banyak menjangkau ilmu-ilmu eksakta jelas tidak dapat

menjangkau artikel-artikel ilmu-ilmu sosial humaniora yang dihasilkan oleh London School of

12

Page 13: Mempertanyakan Orientasi World Class University

Economics (LSE), hingga wajar LSE tidak mendapat ranking dalam pemeringkatan THE

karena kelemahan cakupan basis data THE tersebut.

Kritik Ideologi World Class University

Contoh penolakan yang dikemukakan oleh Marginson dan Diamond tersebut lebih terlihat

sebagai sekadar menolak metodologi yang digunakan oleh lembaga-lembaga pemeringkatan

tersebut. Berikut akan kita lihat lebih jauh beberapa argumentasi penolakan terhadap world

class university yang lebih bersifat mendasar dan ideologis. Keberatan-keberatan ini mestinya

dijadikan dasar pijakan berpikir Kemendiknas, terutama Dirjend Pendidikan Tinggi (Dikti),

dan kampus-kampus untuk memikirkan ulang orientasi mereka menuju universitas kelas dunia.

Pertama, ketika pemerintah dan semua kampus berusaha keras ingin menjadi

universitas kelas dunia dengan memenuhi syarat-syarat agar dapat nyantol entah di hasil

pemeringkatan THE, QS, Webometric, SJTU, atau yang lainnya, maka artinya kampus-kampus

kita, bahkan sistem pendidikan Indonesia—terutama pendidikan tinggi kita yang mensuport

penuh obsesi kampus-kampus di Indonesia menuju world class university—praktis telah

merunduk di bawah dikte perusahaan penerbitan, lembaga penelitian dan kampus asing

tersebut. Bagaimana mungkin sebuah institusi selevel Kementerian Pendidikan Nasional dalam

praktiknya bisa didikte oleh majalah mingguan Times Higher Education; didikte oleh lembaga

Cybermetrics Lab yang levelnya adalah setara sebuah lembaga di bawah Dewan Riset Nasional

di Indonesia; dan juga didikte oleh kampus asing (SJTU)?

Padahal dalam hirarki struktur kenegaraan, Kementerian Pendidikan Nasional mestinya

levelnya adalah lebih tinggi dari sekadar perusahaan berlevel multinational corporate

sekalipun, terlebih hanya Times Higher Education yang terbit mingguan di Inggris. Jadi makin

jelas sekarang, betapa sistem pendidikan kita dan bahkan dunia telah ditundukkan oleh

korporasi yang berhasil membangun citra dirinya sebagai pihak yang paling tahu tentang

kualitas pendidikan di kampus-kampus seluruh dunia. Di sinilah, dalam mekanisme pasar

bebas kapitalis, praksis pendidikan didesain sedemikian rupa untuk melayani pasar. Bagi saya

sungguh tidak ketemu nalar bagaimana sebuah sistem pendidikan nasional sebuah negara—

dalam hal ini adalah Indonesia—bisa dengan mudah disetir oleh sebuah majalah mingguan

dengan mengiyakan apa yang dikatakan olehnya.

Dengan kata lain, kampus-kampus kita secara tidak langsung telah disetir oleh

Cybermetrics Lab di Spanyol, bahkan juga disetir oleh oleh Shanghai Jiao Tong University di

13

Page 14: Mempertanyakan Orientasi World Class University

Cina. Padahal level Cybermetrics Lab di Spanyol sebagai penyelenggara perankingan

Webometric adalah sama dengan sebuah divisi kecil dari Dewan Riset Nasional di Indonesia,

dan Shanghai Jiao Tong University juga sama dengan levelnya dengan banyak kampus di

Indonesia. Fakta tersebut menunjukkan relasi tidak setara antara korporasi dengan negara dan

kampus, antara lembaga penelitian sebuah negara tertentu dengan negara dan kampus lain, juga

antara kampus dengan kampus lain. Relasi tidak setara ini adalah praktik hegemoni korporasi

dan intelektual yang membodohkan (lihat Margolis, 2001 dan Nines & Hellsten [eds.], 2005).

Kedua, sebagai sebuah fakta hegemoni korporasi dan intelektual atau secara ekstrim

dapat dikatakan sebuah bentuk penjajahan baru dalam ranah pendidikan, maka pada hakikatnya

juga menunjukkan kepongahan narasi besar modernitas. Ini adalah fakta paradoks dalam

globalisasi, yakni ketika kemungkinan untuk menunjukkan identitas yang berbeda terbuka

lebar, nilai-nilai toleransi ditebar, hingga muncul pluralitas kebudayaan dalam bentuk

multikulturalisme, namun di sisi lain terdapat upaya besar-besaran untuk memunculkan hanya

satu bentuk kebudayaan, yakni budaya pop yang dijiwai oleh nilai-nilai modernitas.

Secara teoritis, Herbert Marcuse menyebutnya sebagai fenomena “One-Dimensional

Man”, yakni praktik untuk menggiring masyarakat pada satu sistem yang sama, yakni sistem

kapitalis melalui pendidikan, media dan lainnya (dalam Kellner, Lewis & Pierce, 2008). Dalam

pendidikan muncullah rezim pendidikan global yang juga turut mendesakkan satu standar

global pendidikan melalui pemeringkatan-pemeringkatan yang dilakukan oleh QS, THE,

Webometric tersebut.

Walaupun terjadi perang saingan antar-institusi penyelenggara pemeringkatan kampus-

kampus tersebut, namun ketika fakta menunjukkan bahwa kampus-kampus di dunia termasuk

di Indonesia tetap berusaha keras memenuhi syarat agar makin meningkatkan ranking mereka

di QS, THE, Webometric dan lainnya, maka pada dasarnya gerak untuk hanya mengakui satu

standar global dan universal tetap berjalan. Hal itu terjadi karena baik QS, THE, Webometric,

SJTU dan lainnya telah mengklaim bahwa penilaian dan perankingannya berskala

internasional, yang artinya mereka masing-masing menggunakan satu standar dengan kriteria

tertentu untuk menilai dan memeringkatkan kampus-kampus di seluruh penjuru dunia.

Satu standar yang diklaim oleh masing-masing institusi tersebut, sebagai sebuah

definisi dan cara paling baik untuk melihat kampus yang berkualitas tersebut tiada lain adalah

upaya untuk memaksa dunia internasional mengikuti sebuah cara pandang tertentu mengenai

bagaimanakah kampus yang berkualitas tersebut seharusnya. Di sisi lain, pemeringkatan atau

14

Page 15: Mempertanyakan Orientasi World Class University

perankingan adalah metode kompetisi untuk menentukan siapa yang terbaik, dengan merujuk

pada motivasi THE, QS, Webometric dan sejenisnya, maka dengan masuk dalam 100 atau 200

besar ranking dunia, sebuah kampus akan mendapatkan popularitas, prestise dan kebanggan.

Dan itu adalah modal kampus untuk dapat menarik minat calon mahasiswa, investasi, lembaga

donor, dan lainnya untuk masuk kampus (lihat motivasi pemeringkatan oleh Webometric di

depan). Makin luas lingkup popularitas dan prestise yang dapat dicapai—yakni lingkup

internasional karena klaim perankingan kampus tersebut adalah skala internasional—maka

kemungkinan masuknya modal dan investasi ke kampus juga makin besar.

Ketiga, fakta perbedaan metodologi, kriteria dan indikator penilaian tersebut, mestinya

menyadarkan bahwa masing-masing pihak memiliki cara pandang yang berbeda satu sama

lain. Masing-masing punya landasan filosofi dan ideologi yang berbeda dalam mendefinisikan

kampus yang berkualitas. Dengan kesadaran tersebut, para intelektual di kampus harus sadar

bahwa kita juga berhak dan layak berdiri sejajar dengan QS, THE, Webometric, SJTU dengan

merumuskan kriteria dan indikator kampus yang berkualitas dalam konteks Indonesia.

Agaknya mentalitas inferior sebagian dari kita telah menjadikan kita tidak percaya diri untuk

dapat merumuskan bagaimanakah mestinya kampus yang berkualitas tersebut, hingga

kemudian harus mengekor pada rumusan kampus berkualitas versi majalah mingguan THE,

lembaga penelitian Cybermetrics Lab, dan kampus asing seperti SJTU.

Ketundukan tersebut betul-betul merupakan penghinaan atas kedaulatan pendidikan

Indonesia yang justru dilunturkan oleh pemerintah dan kampus-kampus negeri ini sendiri.

Tidaklah patut bagi institusi asing—yang walaupun mengklaim diri berskala internasional—

untuk menentukan anatomi nilai-nilai intelektual yang harus dipatuhi oleh kampus-kampus di

Indonesia. Tidaklah layak mereka mendikte orientasi pendidikan tinggi di Indonesia untuk

sama seperti orientasi pendidikan tinggi di negara-negara lain, terlebih orientasi pendidikan

tinggi perspektif THE dan SQ yang dekat dengan kepentingan modal-kapital di pasar bebas.

Dengan begitu harusnya kita secara sadar membangun kedaulatan pendidikan kita sendiri

dengan mengabaikan dan tidak terlalu terpengaruh pada praktik pemeringkatan dunia tersebut.

Keempat, nalar pikir ideologis yang mendasari praktik pemeringkatan tersebut adalah

kapitalisme dan neoliberalisme. Hal tersebut dapat dilihat dari indikator yang digunakan oleh

THE misalnya, antara lain research income from industry (per staf akademik, bobotnya 2,5

persen), public research income/total research income (bobotnya 0,75 persen), research income

(scaled) (bobotnya 5,25 persen). Jadi, dengan ketentuan tersebut, maka kampus menjadi

15

Page 16: Mempertanyakan Orientasi World Class University

layaknya sebuah korporasi yang berupaya untuk meraup untung dari aktivitas intelektual

terutama penelitian. Terlebih pada penilaian pemasukan dari riset dunia industri, jelas

menunjukkan orientasi kampus untuk melayani pasar. Walaupun pemasukan tersebut

digunakan untuk operasional kampus, namun dapat dipastikan sebagian akan dialokasikan bagi

upaya mendongkrak posisi kampus dalam pemeringkatan world class university saja. Henry

Giroux (2006: 68) menyatakan:

In the corporate university, academics are now valued according to the grant money

they attract rather than the quality of education they offer to students. As the university

is annexed by defense, corporate, and national security interests, critical scholarship is

replaced by research for either weapons technology or commercial profits, just as the

private intellectual now replaces the public intellectual, and the public relations

intellectual supplants the engaged intellectual in the wider culture.

Jelas, bahwa kampus yang dikelola dengan logika korporasi dengan new public managerialism

mendasarkan pada nalar kapitalisme. Hal utama dalam doktrin kapitalisme adalah bagaimana

caranya agar sebuah institusi dapat beroperasi dengan meraup untung sebanyak-banyaknya.

Dengan predikat prestise dan popularitas sebagai universitas kelas dunia, maka diharapkan

akan dapat makin menarik minat mahasiswa kuliah di situ, yang artinya pemasukan dari

mahasiswa akan bertambah, terlebih mahasiswa internasional (bobotnya 2 persen pada

perankingan THE). Fakta di Indonesia, kampus-kampus banyak berargumen bahwa untuk

dapat menjadi kampus kelas dunia mereka butuh banyak dana, hingga wajar biaya kuliah

mahasiswa mahal dan dinaikkan tiap tahun.

Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan calon mahasiswa dari kalangan menengah

ke bawah tidak dapat melanjutkan kuliah, karena besarnya biaya kuliah yang hanya dapat

dipenuhi oleh calon mahasiswa kaya saja. Praktik kapitalisme di manapun memang akan

makin membuat kesenjangan sosial dan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin makin

lebar. Dalam orientasi menjadi kampus berkelas dunia tersebut, ketika yang kaya saja yang

mampu masuk di dalam kampus dan sebagian besar menjadi makin kuat nalar kapitalisme,

pada akhirnya mereka akan didistribusikan pada institusi-institusi kapitalis pasar bebas (lihat

Margolis, 2001 & Apple, 2004). Mereka itulah yang pada akhirnya nanti akan mengendalikan

dan mempermainkan pasar.

Pada praktik pendidikan berkultur korporasi dan kapitalisme tersebut, yakni ketika di

kampus mereka tidak lagi berinteraksi dengan mahasiswa yang berlatar sosial dan ekonomi

16

Page 17: Mempertanyakan Orientasi World Class University

menangah ke bawah, ketika mereka selalu diperlihatkan dengan gemerlap kehidupan urban,

modernitas, sosialita, selebritas, jejeran mobil di parkiran kampus, jejeran etalase elite di

lingkungan kampus, maka mereka tidak akan terasah kepekaan sosialnya (bandingkan dengan

Giroux, 2006: 69). Pada kampus yang kuat link-nya dengan dengan dunia industri dan

kekuasaan, maka ketika mahasiswa borjuis tersebut masuk dalam lingkaran korporasi dan

kekuasaan, niscaya mereka akan berkecenderungan abai terhadap praktik korporasi dan

kekuasaan yang menindas masyarakat menengah ke bawah. Inilah fakta penguatan rezim

kapitalisme dan neoliberalisme melalui dunia pendidikan.

Selain itu, kampus juga berharap agar dengan reputasi penelitian (bobotnya 19,5 persen

pada perankingan THE) yang tinggi dalam perhitungan THE misalnya, akan makin banyak

dunia industri yang bersedia membiayai penelitian mereka. Padahal tiada lain penelitian untuk

dunia industri kecuali ditujukan untuk makin memperkuat beroperasinya mekanisme

kapitalisme dan neoliberalisme, karena korporasi yang bersedia memberikan dananya untuk

penelitian biasanya adalah korporasi besar yang sudah punya alokasi dana untuk makin

memperlebar sayap usahanya. Di titik inilah, kampus berkelas internasional tersebut telah

menjadi bagian dari jejaring korporasi kapitalis yang mengamini kebenaran diktum-diktum

neoliberalisme. Naidoo & Jamieson (2005: 38) menyatakan bahwa:

The conception of higher education as a ‘public good’ has therefore become somewhat

eclipsed by the redeployment of higher education as an industry for enhancing national

competitiveness and as a lucrative service that can be sold in the international

marketplace.

Kelima, pijakan dasar ideologis selanjutnya dari perankingan yang dilakukan oleh

THE, QS, Webometric dan sejenisnya adalah nalar pikir globalisasi, yang mewujud dalam

klaim lingkup internasional dan satu standarnya. Secara lebih detail, nalar pikir globalisasi

tersebut terdapat pada indikator international mix-staff and students pada pemeringkatan THE

(bobotnya 5 persen), juga pada indikator international orientation pada pemeringkatan QS

(bobotnya 10 persen). Jadi, globalisasi dalam praktik kampus yang berkelas dunia tersebut

dimaknai sebagai harus menerima staf dan mahasiswa dari berbagai belahan dunia, juga

pembukaan program-program internasional dengan kurikulum yang mengenalkan nilai-nilai

globalisasi, termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai pasar bebas, demokrasi liberal dan

sejenisnya.

17

Page 18: Mempertanyakan Orientasi World Class University

Pada semua metodologi yang digunakan oleh THE, QS, Webometric dan SJTU tidak

memasukkan indikator konteks di mana kampus tersebut berdiri. Tidak ada indikator

kontribusi kampus untuk penguatan budaya bangsa, untuk kedaulatan pangan, untuk

memperkuat nilai-nilai nasionalisme, kerakyatan dan sejenisnya. Kalau kampus-kampus di

Indonesia menuruti kemauan tersebut, maka akan makin mengikis kesadaran kontekstual

kampus dan segenap sivitas akademika di dalamnya. Mereka akan belajar nilai-nilai dan

pengetahuan asing tanpa dasar pengetahuan dan praksis yang kuat untuk dikontekstualisasikan

pada Bumi Nusantara, mereka sibuk mempublikasikan artikelnya di jurnal internasional,

mengusahakan agar website mereka makin dicari di Google, Yahoo, Live Search, dan Exalead,

tapi kehilangan arah apa gunanya semua itu untuk bangsa, negara dan rakyat Indonesia.

Secara tidak langsung amatlah ironis ketika pemeringkatan internasional tersebut justru

akan menjadikan kampus sebagai menara gading, di mana para peneliti, intelektual, mahasiswa

dan birokratnya menjadi pintar untuk kepintaran itu sendiri, mengembangkan pengetahuan

untuk pengetahuan itu sendiri. Jenis intelektual elitis inilah yang ingin diciptakan oleh gerak

industrialisasi kapitalis dan pasar bebas, agar mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Tidak

peduli dengan realitas masyarakat sipil yang menderita akibat sistem ekonomi-politik pasar

bebas. Pada kampus menara gading yang disetir oleh pasar itulah, satu-satunya saluran ke luar

dinding kampus adalah untuk menggagas ide-ide yang dapat memperkuat dan menguntungkan

pasar, lain tidak (bandingkan dengan kondisi di Amerika, lihat analisis Giroux, 2006).

Keenam, indikator dan kriteria yang digunakan QS, THE, Webometric, SJTU dapat

dikatakan sebagai berkecenderungan untuk apolitik. Dengan kata lain, mereka mendasarkan

pada cara pandang bahwa ranah dan praksis pendidikan adalah netral dari kepentingan politik,

ekonomi dan ideologi. Cara pandang ini sebenarnya berakar pada ideologi pendidikan liberal

yang menganggap bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan mekanisme politik, hasrat

ekonomi, indoktrinasi ideologis dan sejenisnya (lihat Fakih et al, 2000). Oleh karena itu,

indikator dan kriteria kampus berkualitas yang mereka gunakan sama sekali tidak

menunjukkan perlunya kampus ikut berperan dalam transformasi sosial, kultural dan politik

sebuah negara. Tiadanya indikator tersebut dapat ditebak sebagai upaya untuk

menyembunyikan fakta relasi kuasa modal dan politik atas pengetahuan dan praksis

pendidikan, di mana QS dan THE misalnya adalah bagian dari pemainnya.

Pada cara pendang tersebut, maka kampus yang baik adalah yang berkontribusi bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang dapat mendukung pasar bebas

18

Page 19: Mempertanyakan Orientasi World Class University

neoliberal. Sivitas akademika yang baik bukanlah yang berani mengkritik penguasa, bukan

pula yang berani berdemo menentang ketidakadilan, diskriminasi, dan membela kaum miskin,

melainkan yang tekun belajar dan berprestasi dalam kontes-kontes akademik. Berlawanan

dengan itu, Giroux (2006: 74) menggambarkan sivitas akademika yang baik sebagai seorang

intelektual publik yang harus melawan pemahaman bahwa kampus adalah netral dari ideologi

dan politik.

Public intellectuals need to resist the seductions of a narrow understanding of academic

labor with its specialized languages, its neutralization of ideology and politics. […]

Academics should enter into a dialogue with colleagues and students about politics and

the knowledge we seek to produce together, and connect such knowledge to broader

public spheres and issues.

Sementara itu, cara pandang yang tersirat pada indikator-indikator pemeringkatan kampus

tersebut tidak mengakui betapa pentingnya kampus dan sivitas akademika sebagai kekuatan

politik yang juga memiliki peran politik untuk menentukan atau minimal mengkritik arah

kebijakan penguasa. Ironisnya, cara pandang inilah yang sekarang menggejala di kampus-

kampus kita dengan banyaknya gelontoran dana untuk aktivitas kontes-kontes akademik yang

akan menjauhkan mahasiswa dan dosen dari aktivitas politik, sosial dan kebudayaan mereka.

Ketujuh, kompetisi yang dibuat dan dijalankan oleh QS, THE, Webometric, SJTU dan

lainnya tersebut bagi saya tiada lain kecuali permainan institusi kapitalis untuk tetap

menyalakan dan selalu menghidupkan tradisi liberalisme-neoliberalisme berupa kompetisi-

kompetisi (Nuryatno, 2008: 70-72; Huat, 2009). Mereka mendesain banyak sekali jenis

kompetisi budaya dan intelektual—termasuk perankingan kampus dalam skala internasional

tersebut. Di sinilah mereka yang masuk dalam jerat kompetisi tersebut akan merasa senang dan

gembira ketika mendapat prestise dan popularitas; juga enjoy dan terpenuhi hasrat berkuasanya

(will to power) dengan berkompetisi. Kesenangan dan kegembiraan atas popularitas, serta

kepuasan atas pemenuhan hasrat itulah yang dijual oleh peradaban modern dengan disokong

oleh demokrasi dan pasar bebas.

Herbet Marcuse mengajukan konsep “happy consciousness” atau yang kira-kira bisa

dimaknai sebagai kesadaran kebahagiaan (diulas dengan baik oleh Kellner, Lewis & Pierce,

2008: 11-12). Munculnya kesadaran ini menandakan hilangnya nalar kritis yang diikuti dengan

proses likuidasi atas media dan sumber-sumber potensial dari mereka yang anti-kapitalis,

dengan tujuan untuk memantapkan sistem masyarakat kapitalis.

19

Page 20: Mempertanyakan Orientasi World Class University

[…] happy consciousness is that cultural activities and practices that cultivate the

critical capacities of individuals and communities have been absorbed into the totality

of a hyper consumptive form of capitalism. […] then, it is not just that consumer

culture has assimilated potentially oppositional realms of culture but also that these

forms of negative and critical thought have been replaced with an operationalized way

of thinking and attendant sets of values: consumer attitudes and behavior, increasing

conformity to market logics, and a complacency to global militarization.

Pada praktik kompetisi antar-kampus, lama-kelamaan mendatangkan kesenangan dan kepuasan

bagi pelakunya, terutama ketika menang kompetisi, menjadi juara satu, yang artinya menjadi

berkuasa atas saingannya dan menjadi populer. Dengan penerimaan para pelaku kompetisi atas

praktik kompetisi yang menyenangkan dan memuaskan, maka tanpa disadari tumbuhlah dalam

diri mereka jiwa kompetisi dan jiwa selebritas.

Tujuannya adalah agar semuanya tetap percaya pada narasi besar modernitas,

kapitalisme global, pasar bebas neoliberal dan konco-konconya yang telah mendatangkan

gairah kehidupan dalam bentuk kompetisi, kepuasan ketika menang kompetisi, kesenangan dan

kegembiraan atas popularitas dan lainnya. Secara ideologis desakan untuk menerima

perankingan tersebut adalah cara untuk mengindoktrinasikan sebuah cara pandang bahwa:

kompetisi adalah cara untuk menentukan apakah sebuah kampus berkualitas atau tidak; bahwa

pengakuan QS, THE, Webometric, SJTU dan lainnya adalah penting; bahwa reputasi, citra dan

popularitas adalah penting, bahwa kampus harus ikut apa kata pasar. Praktik perankingan

world class university dengan demikian secara ekstrim adalah praktik pembelokan dan

pembiasan anatomi nilai-nilai intelektual dalam konteks Indonesia.

Problem Pengakuan dan Kebangaan Semu

Dari penolakan dengan analisisi dan kritik ideologi tersebut, kita dapat memperkirakan bahwa

sebenarnya terdapat motivasi bawah sadar kolektif berupa kebanggaan dan pengakuan, yakni

kebanggaan masuk dalam jajaran kampus-kampus bonafide negara maju dan dengan demikian

diakui keberadaannya sebagai kampus berkelas dunia. Namun di balik yang terlihat masuk akal

ini, pengakuan dan kebanggan tersebut harus dilihat secara mendalam dan kritis dari berbagai

perspektif.

Rakyat dan bangsa Indonesia mendapat keuntungan apa kalau kampus-kampus kita

diakui sebagai berkualitas oleh QS, THE, Webometric, SJTU dan lainnya? Mungkin sebagian

20

Page 21: Mempertanyakan Orientasi World Class University

besar di antara kita akan mengatakan bangga dengan posisi tersebut, karena dengan demikian

Indonesia eksis di dunia internasional melalui kampus-kampusnya. Mari kita lihat lebih jauh,

sebenarnya kebanggaan yang disebut itu kebanggaan macam apa? Jika dilihat dari gradasi atau

level kebanggaan, maka kebanggaan atas posisi kampus di perankingan dunia tersebut

bukanlah kebanggaan yang patut dirayakan. Karena kebanggaan substansial mestinya dilihat

dari bukti nyata berupa kontribusi dan sumbangsih kampus pada rakyat dan negara Indonesia.

Bukan dilihat dari artikel yang dimuat di jurnal internasional dan banyak dikutip,

melainkan dari artikel tersebut apakah bisa membuat perubahan berarti atau tidak? Bukan juga

dilihat dari produktivitas penelitian dosen hingga bisa mendatangkan banyak pemasukan bagi

kampus, melainkan dilihat dari penelitian dosen tersebut bisa membuat kehidupan rakyat lebih

baik atau tidak? Posisi-posisi popularitas kampus di mata dunia tidak punya korelasi langsung

dengan kontribusinya pada konteks sosial, ekonomi, kultural, dan politik di masyarakat dan

negara tempat ia berdiri. Pencerabutan kampus dari akar kontek sosialnya inilah yang harus

dihentikan, penggunaan maka “kebanggaan” yang dangkal dan semu inilah yang harus

diluruskan.

Ketika yang dikatakan sebagai universitas kelas dunia adalah mereka yang mampu

berkompetisi dan bertengger di seratus besar perankingan lembaga-lembaga perankingan

tersebut, pertanyaannya adalah: apakah pengakuan oleh mereka itu sedemikian penting? Jika

dibenturkan dengan konteks di mana kampus-kampus kita berdiri, apakah pengakuan institusi

pemeringkatan internasional tersebut lebih penting ketimbang pengakuan dari rakyat dan

bangsa Indonesia sendiri? Sama dengan problem kebanggaan semua di atas, maka problem

pengakuan yang diderita kampus-kampus kita juga tiada lain adalah pengakuan pada level

yang paling kulit. Adalah betul-betul fakta inferioritas dari kampus-kampus kita jika mereka

lebih suka mendapat pengakuan dari THE, QS, Webometric dan SJTU ketimbang pengakuan

dari rakyat dan bangsa Indonesia sendiri.

Kampus-kampus yang mengupayakan segala energinya agar mendapat pengakuan dari

institusi-institusi pemeringkatan tersebut adalah kampus-kampus yang lupa tugas yang jelas

tertera pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Mereka sibuk mencari pengakuan dunia internasional pada lembaga-lembaga yang mengklaim

dirinya memiliki reputasi internasional, energi kehidupan kampus sepenuhnya dipakai untuk

sekadar mendapat kebangaan dari ranking-ranking tersebut. Kampus-kampus itu ibarat seorang

guru yang sibuk ikut lomba-lomba agar mendapat pengakuan bahwa dia guru yang hebat, dia

21

Page 22: Mempertanyakan Orientasi World Class University

berpikir hal itu akan membanggakan siswa-siswi dan sekolah tempat ia mengajar, namun ia

sendiri lupa tugas utamanya adalah mendampingi siswa-siswinya dalam belajar. Ia guru yang

lupa konteks dan tugasnya, demikian juga dengan kampus-kampus tersebut.

Dengan demikian, negara, rakyat, dan bangsa hanya menjadi pertimbangan kesekian

setelah mementingkan intelektualisme elite yang lepas konteks dan prestise kampus di mata

dunia internasional. Pertanyaan yang muncul adalah: misal ada sebuah kampus di Indonesia

yang dapat menembus ranking 100 besar Times Higher Education World University Rankings

(THE), hingga sarjana lulusannya dapat berkompetisi dengan lulusan dari kampus-kampus

seperti Harvard atau Cambridge, apa untungnya bagi rakyat dan bangsa Indonesia? Tidak ada

orientasi, indikator dan ketentuan bahwa world class university dan lulusannya harus dapat

memberikan kontribusi bagi rakyat dan negaranya.

Pada tiap mekanisme kompetisi yang menjadi ruh dari sebuah praksis pendidikan,

maka yang diasah adalah ego institusi sekolah atau kampus tersebut. Pada lingkup mikro, yang

diasah adalah ego individualisme siswa dan mahasiswa. Tidak peduli betapa banyaknya medali

emas Olympiade fisika, matematika, kimia dan lainnya yang dimenangkan oleh pelajar-pelajar

Indonesia, bahkan ketika mereka menyatakan kemenangan tersebut adalah kemenangan

Indonesia, pada hakikatnya tidak ada artinya ketika mereka kemudian nanti tidak bisa

memberikan kontribusi riil bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Ironisnya, sekarang ini juga

sudah banyak lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang lebih mementingkan prestasi individu

ketimbang kolektivitas sosial mereka di ranah sosial.

Lalu bagaimanakah sikap kita mestinya terhadap euforia dan obsesi kampus-kampus

negeri ini yang ingin menjadi universitas kelas dunia? Hasanuddin Abidin, anggota senat

akademik Institut Teknologi Bandung menyatakan:

Percuma jika punya peringkat yang tinggi, tetapi tidak berkontribusi bagi masyarakat.

World Class University penting, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana perguruan

tinggi itu bermanfaat bagi negara dan masyarakat. (Kompas, 27/10/09)

Ia menambahkan, mestinya perguruan tinggi Indonesia berkaca pada perguruan-perguruan

tinggi di Jepang. Mereka tidak memikirkan bagaimana peringkatnya di dunia internasional.

Bagi mereka, yang lebih penting adalah bagaimana hasil penelitian bisa bermanfaat untuk

masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut, Revrisond Baswir, dosen dan ekonom dari

Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan:

22

Page 23: Mempertanyakan Orientasi World Class University

Tugas perguruan tinggi seperti dalam tujuan nasional itu kan untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa. Tidak untuk menjadi World Class University. Gara-gara diarah-

arahkan melalui sejumlah indikator agar memenuhi standar internasional, lalu kita

melupakan fungsi kita ke dalam. Nomor satu itu kan negara, termasuk universitas,

harus bermanfaat bagi negerinya. Walaupun diakui hebat secara internasional, kalau

tidak bermanfaat untuk apa. (lihat “Ini Komersialisasi Kampus” 2010)

Dua pendapat di atas tentu lebih masuk akal dibandingkan sekian banyak argumen dari mereka

yang pro orientasi kampus menjadi world class university, lebih-lebih ketika dibenturkan pada

konteks sosio-kultural Indonesia, amanat konstitusi (Pancasila dan UUD 1945), dan konsepsi

pedagogi kritis yang menggariskan dengan jelas tugas kampus dalam proses transformasi

intelektual dan sosial di masyarakat.

Visi dan Orientasi Kampus dalam Konteks Indonesia

Kalau bukan World Class Univeristy, lalu apa? Akan ada banyak jawaban yang dapat

diberikan dari berbagai perspektif yang berbeda, namun yang jelas adalah: tidak mendasarkan

pada pijakan argumentasi perankingan sebagaimana dikemukakan di depan yang lepas

konteks, apolitik, elit intelektual, menara gading, hegemonik, dan monolitik dari ideologi

kompetisi neoliberal, pasar bebas, dan kapitalisme.

Secara filosofis, pertimbangan visi sebuah kampus juga harus mendasarkan pada: (1)

konteks di mana kampus tersebut berada, dan (2) hakikat peran dan tugas universitas. Konteks

kampus meliputi konteks geografis kampus, apakah secara geografis ia di daerah perkotaan

atau pedesaan; potensi lingkungan sekitarnya apa; kebutuhan dasar daerah atau negaranya apa;

kebutuhan dasar masyarakat di sekitaranya apa; dan masalah yang terjadi di sekitarnya apa.

Sedangkan hakikat peran dan tugas kampus meliputi peran dan tugasnya terhadap segenap

sivitas akademika yang ada di dalam kampus, yakni dalam pengolahan potensi-potensi mereka;

tugasnya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan; tugasnya dalam menjaga nilai-nilai etis-

kebaikan dan kebenaran-intelektual.

Dengan merujuk pada konteks sosial dan hakikat serta posisi kampus di atas, maka bagi

saya kampus-kampus di Indonesia minimal merumuskan visi dan orientasi kampusnya pada 4

(empat) hal sebagai berikut.

23

Page 24: Mempertanyakan Orientasi World Class University

(1) Visi kampus harus mendasarkan pada konteks sosial-masyarakat di mana kampus

tersebut berada. Pada konteks pendidikan yang lebih luas Ki Hadjar Dewantara, 2004

[1928], 3) menyatakan:

Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang akan berfaedah bagi perikehidupan

bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat.

Oleh karena itu wajiblah kita menyelidiki segala kekurangan dan kekecewaan

dalam hidup kita berhubung dengan sifatnya masyarakat seperti apa yang kita

kehendaki.

Dalam hal ini kampus harus melihat secara jeli potensi lingkungan dan masyarakat

sekitar, termasuk melihat secara kritis peristiwa dan masalah yang terjadi di masyarakat

—terutama dalam lingkup terdekatnya. Dari pembacaan yang kritis, jelas, mendalam

dan komprehensif, maka kampus dapat merumuskan visinya dalam upaya

mengembangkan potensi daerah tersebut, baik potensi alam maupun manusianya.

Termasuk menjaga, mendampingi, dan membelanya ketika kekuatan ekonomi global

dalam bentuk multinational corporate (MNC), usaha waralaba (franchise) global, dan

serbuan produk-produk impor masuk ke daerah tersebut untuk menghisap darah

penghidupan rakyat.

Di sinilah kampus mesti berpihak pada kekuatan-kekuatan lokal dan nasional yang

menjadi tanggung jawabnya, bukan sebaliknya membela kepentingan ekonomi global-

kapitalis dengan menjadi konsultan korporasi kapitalis (Giroux, 2006). Kampus tidak

boleh menjadi menara gading yang tercerabut dari akar masalah dan konteks sosial

daerah dan negaranya. Kampus tidak boleh masuk dalam jejaring neoliberal dalam

rangka mengeksploitasi rakyat dan negaranya sendiri. Kampus tidak boleh merunduk di

bawah ketiak korporasi tanpa nurani. Kampus hanya boleh—dan bahkan wajib—

merunduk di bawah amanat penderitaan rakyat, untuk memformulasikan gagasan-

gagasan perbaikan kondisi rakyat, untuk membela mereka dari gerusan kapitalisme

global. Intinya, kampus harus berdiri kokoh di depan rakyat sebagai benteng intelektual

penjaga rakyat, bangsa dan negara dari segela bentuk penjajahan baru.

24

Page 25: Mempertanyakan Orientasi World Class University

(2) Visi kampus harus mendasarkan pada konteks ideologi-kebangsaan di mana kampus

tersebut berada. Kampus harus mendasarkan diri pada kesadaran kebangsaan,

kerakyatan dan keindonesiaan—dalam konteks Indonesia. Oleh karena itu, visi

universitas tidak boleh lepas dari pijakan kesadaran kebangsaan, kerakyatan dan

keindonesiaan tersebut. Visi inilah yang kemudian harus dirujuk ketika

memformulasikan kebijakan kampus, seperti orientasi kerjasama dengan lembaga lain

terutama yang berasal dari luar; perumusan kurikulum; pendirian program studi; dan

berbagai aktivitas lainnya.

Dengan begitu, kampus jangan sampai larut dalam pusaran globalisasi yang akibatnya

adalah melunturkan kesadaran kontekstual berbangsa dan bernegara. Kampus juga

harus berupaya untuk menjaga tegangan antara globalisasi dengan lokalitas dan

etnisitas, untuk tetap mengambil sisi-sisi positif di antara dua kutub yang tampak saling

beroposisi tersebut. Kampus juga harus memformulasikan praksis pendidikan yang

akan membentuk mahasiswa memiliki kesadaran sebagai warga negara Indonesia

(citizen) dan warga dunia. Kampus juga harus mampu memformulasikan segenap

aktivitasnya untuk menjaga integrasi bangsa dengan mengembangkan dialog

multikultural antar-etnis, agama, dan suku, di Indonesia.

Di titik ini, kampus mempunyai peran dan fungsi politik kenegaraan, bukan politik

kekuasaan. Henry Giroux (2006: 72) menyatakan:

Part of the struggle for the university as a democratic public sphere and as asite

of resistance against the growing forces of militarism, corporatism,

neoconservatism, and te religious fundamentalism…demand a new

understanding of what it means to be a public intellectual, which in turn

suggests a new language for politics itself.

Oleh karena itu, kampus menjadi salah satu bagian dari gerakan sosial dan politik untuk

tetap mengingatkan penguasa ketika melenceng dari amanat konstitusi, entah lewat

gerakan mahasiswa atau lewat rekomendasi dan kritik kebijakannya yang elegan. Jadi,

kampus tidak dikerdilkan definisinya hanya sebagai tempat belajar, pengembangan

ilmu pengetahuan, dan pengabdian masyarakat saja. Kampus tidak juga disetir menjadi

25

Page 26: Mempertanyakan Orientasi World Class University

korporasi kecil yang bekerja untuk korporasi besar dengan menyalurkan tenaga-tenaga

siap pakai bagi dunia industri kapitalis. Kalaupun muaranya adalah dunia kerja dan

kekuasaan, maka kampus mesti dapat mendistribusikan lulusannya pada dunia kerja

yang pro-rakyat, bukan yang pro-pasar; maka kampus harus dapat menghasilkan

negarawan yang bermoral dan memiliki komitmen kebangsaan, kerakyatan dan

keindonesiaan yang kuat.

(3) Visi kampus harus mendasarkan pada hakikat dan tujuan pengolahan manusia segenap

sivitas akademika kampus. Di sini kampus mesti memiliki mata pandang kebudayaan

yang luas, peta filosofi dan ideologi yang lengkap, hingga dapat merumuskan visi dan

orientasi pengolahan potensi mahasiswa akan mengarah ke mana. Dengan tetap

berpijak para realitas konteks sosial, ekonomi, budaya, dan politik, namun juga dengan

merujuk pada hakikat manusia, kampus harus dapat merumuskan karakter mahasiswa

seperti apa yang sekiranya akan dibentuk dalam kaitannya dengan konteks sosial

negara, masyarakat dan ilmu pengetahuan, tentu dengan tidak membunuh kekhasan

karakter masing-masing mahasiswa.

Pengolahan potensi mahasiswa misalnya, mesti dengan memahami betul filosofi hak

asasi manusia (HAM), tanggung jawab kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan dan

ketuhanan yang diyakini mahasiswa. Agar tidak terjerembab pada filosofi liberalisme

dalam pengertian liberal-individual, yakni liberalisme yang memupuk hak individu,

hingga menyuburkan egoisme diri. Liberalisme inilah yang juga menjadi basis filosofi

kapitalisme.

(4) Visi kampus harus mendasarkan hakikat dan tujuan dikembangkannya pengetahuan-

intelektual. Kampus mesti dengan tepat memahami bahwa pengetahuan dibuat dan

dikembangkan tidaklah netral, ia menempati konteks ruang-ruang sosial tertentu. Oleh

karena itu, visi pengembangan ilmu pengetahuan di kampus, dalam bentuk penelitian,

diskusi-diskusi intelektual dan sejenisnya harus ditujukan pada upaya untuk

memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, kedaulatan manusia, kedaulatan

dan ketahanan pangan, konservasi biodiversitas, dan sejenisnya. Lagi-lagi bukan

pengetahuan yang dikembangkan untuk pengetahuan itu sendiri, bukan pula

pengetahuan yang dikembangkan di atas asumsi bebas nilai dengan basis paradigma

26

Page 27: Mempertanyakan Orientasi World Class University

positivisme. Bukan penelitian yang ditulis untuk tujuan agar dimuat di jurnal

internasional untuk kebanggaan semu, pengakuan kulit, dan popularitas semata.

Rumusan hal-hal yang harus diacu dalam memformulasikan ulang visi dan orientasi kampus di

atas dikemukakan dengan tidak memalingkan muka dari globalisasi sekarang. Globalisasi

adalah keniscayaan, tapi yang belum pasti adalah pembadaan dan penyikapan atas globalisasi

itu sendiri. Cara pandang yang hanya melihat sisi baik akan cenderung selalu optimis dan

terbuka menyambut globalisasi, mereka lupa bahwa terdapat banyak nilai-nilai, kultur dan

ideologi yang di bawa globalisasi sangat berpotensi merusak anatomi nilai-nilai kehidupan

manusia dan bangsa Indonesia. Cara pandang yang mengambil konsepsi teori sosial-kritislah

yang dapat membedah fakta hegemoni intelektual dan budaya, penjajahan gaya baru di ranah

ekonomi dan lain sebagainya, dan itulah yang dilakukan dalam analisis singkat ini.

Penutup

Pasca dibatalkannya Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP)

oleh Mahkamah Konstitusi, kampus-kampus sekarang banyak beralih pada mekanisme

pengelolaan yang tetap berupaya untuk mandiri dan tidak ribet dalam pengelolaan keuangan,

yakni menggunakan konsep Badan Layanan Umum (BLU), selain itu ada juga yang kembali

ke konsep lama yang semua pemasukan kampus harus disetor ke Pusat dulu. Hal yang harus

diperhatikan adalah: BLU itu bukan konsep pengelolaan institusi pendidikan, ia hanya

merupakan konsep pengelolaan keuangan sebuah institusi agar lebih otonom. Jadi adalah salah

ketika sebuah kampus yang memiliki visi pedagogik dan transformasi sosial dikelola dengan

konsep manajemen keuangan.

Dengan demikian, biarlah BLU porsinya hanya sebagai konsep manajemen keuangan

kampus, namun kampus sendiri harus memiliki konsep manajemen pendidikan tinggi yang

jelas. Ketika ancangan visinya sudah dikemukakan di atas, maka yang perlu dilakukan

sekarang adalah: merumuskan manajemen atau konsep pengelolaan kampus bagaimanakah

yang sekiranya akan dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab kampus sesuai dengan visinya

dalam konteks kebangsaan, kerakyatan dan keindonesiaan. Memang pada pertengahan tahun

2010 ini pemerintah telah mengeluarkan PP No. 66/2010 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, namun

itu hanya sebagai sebuah acuan legal formal saja. Di situ hanya terdapat hal-hal teknis tentang

27

Page 28: Mempertanyakan Orientasi World Class University

pengelolaan perguruan tinggi seperti tugas rektor, senat universitas, lingkup otonomi kampus

dan lainnya.

Memang bukan wilayahnya sebuah peraturan pemerintah untuk memasukkan dasar-

dasar ideologis dari visi sebuah kampus, di sinilah kampus memiliki ruang kebebasan

memformulasikan visinya serta strateginya untuk menjadi kampus yang diakui dan

dibanggakan oleh rakyat dan bangsa Indonesia. Dan itu artinya bukanlah kampus berlabel

world class university yang masuk dalam prankingan THE, QS, Webometric, SJTU dan

sejenisnya yang justru akan mencerabut dirinya dari konteks sosial, kultural, ekonomi dan

politik rakyat dan bangsanya. [ ]

* Edi Subkhan, pegiat di Darmaningtyas Institut of Education and Globalization Studies

(Digest), Jakarta, dan Komunitas Embun Pagi, Semarang. Dapat dihubungi via email di:

[email protected].

Referensi

Apple, Michael W. (2004). Ideology and Curriculum, 3rd Edition. New York & London:

RoutledgeFalmer.

About the Ranking. (2010). Diunduh dari website resmi Webometrics pada 13 Oktober 2010:

http://www.webometrics.info/ about_rank.html.

About Us. (2010). Diunduh dari website resmi Webometrics pada 27 Oktober 2010:

http://www.webometrics.info/about.html.

Analysis Methodology. (2010). Diunduh dari website resmi Times Higher Education pada 20

Oktober 2010:

http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/2010-2011/analysis-

methodology.html.

Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Pendidikan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Majelis Luhur

Perguruan Tamansiswa.

Diamond, Ian. (2007). “Social Sciences Lose 1”. Times Higher Education. Diunduh pada 20

Oktober 2010: http://www.timeshighereducation.co.uk/story.asp?sectioncode=26&

storycode=311132.

Dirjend Mandikdasmen. (2010). Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional. [Presentasi ppt]

Dirjend Mandikdasmen Kemendiknas. Jakarta: Dirjend Mandikdasmen Kemendiknas. 28

Page 29: Mempertanyakan Orientasi World Class University

Fakih, Mansour, et al. (2000). Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:

ReaD Book, Insist.

Giroux, Henry. (2006). “Higher Education Under Siege: Implications for Public Intellectuals.”

The NEA Higher Education Journal. Fall.

Huat, Chua Beng. (2009). Disrupting Liberalism in East Asia. [Presentasi ppt] Disampaikan

dalam “The First International Graduate Student Conference in Indonesia” di Sekolah

Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), 1—2 Desember. Yogyakarta: tidak

diterbitkan.

Ini Komersialisasi Kampus. (2010). Diunduh dari website resmi Badan Penerbitan dan Pers

Mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 20 Oktober 2010:

http://www.balairungpress.com/2010/08/ini-komersialisasi-kampus/.

Istadi. (2010). Disain Webiste dan Weblog Berbasis Webometric. [Presentasi ppt] Universitas

Diponegoro. Semarang: Universitas Diponegoro.

Kelnerr, Douglas., Lewis Tyson E., & Pierce, Clayton. (2008) On Marcus: Critique,

Liberation, and Reschooling in the Radical Pedagogy of Herbert Marcuse. Rotterdam,

Netherlands: Sense Publisher.

Kompas. (2009). “Miliaran Rupiah, demi Universitas Berkelas Internasional.” Kompas.

Jakarta: 20 Mei.

Kompas. (2009). “ITB: ‘World Class University’ Bukan Tujuan Utama!” Kompas. Jakarta: 27

Oktober.

Kusmastanto, Tridoyo. (2007). Etika Akademik Menuju World Class University. Draft Etika

Akademik Institut Pertanian Bogor. Bogor: tidak diterbitkan, Juli.

Levin, Henry M., Jeong, Dong Wook, & Ou, Dongsu. (2006). What is World Class

University? Paper for The Conference Of The Comparative and International Education

Society, Honolulu, Hawaii, March, 16.

Marginson, Simon. (2006). “Ranking Ripe for Misleading”. The Australian. Diunduh pada 20

Oktober 2010 dari http://www. theaustralian.com.au/higher-education/rankings-ripe-

for-misleading/story - e6frgcjx - 1111112637978 .

Margolis, Eric (ed.). (2001). The Hidden Curriculum in Higher Education. New York &

London: Routledge.

Mendiknas: Peresmian Masjid dan Pidato Dies Natalis UNY. (2010). Diunduh dari website

resmi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada 20 Oktober 2010:

29

Page 30: Mempertanyakan Orientasi World Class University

http://www.uny.ac.id/berita/uny/mendiknas-peresmian-masjid-dan-pidato-dies-natalis-

uny.

Methodology. (2010). Diunduh dari website resmi Webometrics pada 20 Oktober 2010:

http://www.webometrics.info/methodology.html.

Methodology: Simple Overview. (2010). Diunduh dari website resmi Top Universities pada 27

Oktober 2010: http://www.topuniversities.com/university-rankings/world-university-

rankings/methodology/simple-overview.

Naidoo, Rajani & Jamieson, Ian. (2005). “Knowledge in the Marketplace: the Global

Commodification of Teaching and Learning in Higher Education.” Dalam Nines, Peter

& Hellsten, Meeri (eds.). Internationalizing Higher Education: Critical Exploration of

Pedagogy and Policy. Dordrecht, Netherlands: Springer.

Nurtjahjadi. (2010). “Inggris Protes Ranking WCU.” Diunduh dari website resmi Edukasi

Kompasiana pada 20 Oktober 2010: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/16/

inggris-protes-ranking-wcu/.

Nuryatno, Agus. (2008). Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik

dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

Republika. (2008). “Menuju World Class University.” Republika. Jakarta: 9 April.

World University Rankings. (2010). Diunduh dari website resmi Times Higher Education.

pada 20 Oktober 2010: http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-

rankings/.

30