Membuka Jendela Dunia

6
Membuka Jendela Dunia Sesorang yang gemar membaca akan mempunyai pandangan yang luas, membuatnya menjadi manusia yang utuh, sedangkan orang yang gemar berdiskusi membuat orang harus siap memberikan jawaban atau mengajukan pertanyaan, dan orang yang gemar menulis membuatnya menjadi mansia yang cermat (Francis Bacon) Budaya Baca ”Mengapa para penumpang di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di Bandung, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar-Banda Naira penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi main domino? Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1 yang mampu menulis proposal yang bagus atau rencana kerja yang baik? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang di Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 200 juta?” Itulah sejumlah pertanyaan yang diajukan Taufiq Ismail dalam sebuah kesempatan. Pertanyaan tersebut akan terasa kontras dengan sebuah pernyataan berikut ini: ” Saya ingin membaca lima judul buku sehari jika tidak terpaksa harus pergi ke sekolah”. Itulah kata Millie, anak berusia dua belas tahun warga Amerika . Dia dapat membaca cepat sekali. Dia telah selesai membaca buku Markham Real American Romance sejumlah 13 jilid dalam seminggu. Jawaban atas seluruh pertanyaan Taufiq Islmail dan kunci kesukesan Millie tidak lain adalah: minat baca. Maka kita dapat melihat bahwa jarak minat baca berbanding lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari kemiskinan dan menuju menjadi bangsa yang makmur adalah dengan membangkitkan minat baca masyarakat. Akar kemiskinan, yang menerpa sebagian rakyat Indonesia, adalah karena masih tingginya tingkat melek aksara dan sangat payahnya minat baca sebagian besar masyarakat. Kita tidak akan menemukan sebuah kenyataan di belahan bumi manapun ada orang berilmu dan luas pengetahuannya tapi hidupnya miskin, kecuali atas dasar pilihan hidup. ”Kalau kalain ingin mengusai dunia dan akhirat kuasailah ilmu,” demikian sabda Nabi Muhammad. ”Membaca bagaikan terbang ke sebuah titik pandang yang tinggi untuk menyaksikan hamparan wilayah yang luas: sejarah, ragam manusia, ide-ide, pengalaman, dan buah berbagai pencarian” kata AC Grayling dari Financial Times. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan pada kita bahwa membaca belum menjadi arus utama pembangunan di Indonesia. Juga memperlihatkan betapa buruknya kita menciptakan budaya membaca. Yang berkembang adalah budaya menonton. Kita mengalami sebuah ”lompatan budaya”, yaitu, kita melompat dari keadaan praliterer ke masa pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Masyarakat praliterasi adalah masyarakat yang hidup dalam tradisi lisan dan sulit mengakses sumber informasi. Kalaupun mudah, mereka tidak bisa mencernanya dengan baik. Kendala utama tentu saja pendidikan. Masyarakat literasi yang mewakili masyarakat terdidik. Walaupun memiliki akses terhadap bacaan, tidak berarti tradisi baca-tulis tumbuh subur di kalangan ini. Sedangkan masyarakat posliterasi yang mewakili segmentasi penduduk di kota-kota besar, terutama mereka yang memiliki akses ke teknologi informasi dan audiovisual seperti internet, TV kabel, multimedia, sarana telekomunikasi bergerak, dan sebagainya ( Adlin, 2006). Kita melompat senang menonton televisi, tanpa melalui tahap masyarakat gemar membaca. Dalam hal ini ada benarnya tesis pemikiran Neil Postman yang mengatakan bahwa dunia hiburan dapat membangkrutkan budaya sebuah bangsa, terutama bangsa dengan tradisi membaca yang lemah. Kondisi itu diperburuk semakin tidak pedulinya orang tua akan kegiatan membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku. Ironisnya, ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya, mereka hanya terpaku pada satu buku wajib. Masalah minat baca ini akan menjadi malapetaka bagi bangsa jika tidak segera diatasi bersama. Dan, mengatasinya pun tidak dengan tambal sulam. Keluarga harus menjadikan membaca sebagai kegemaran

Transcript of Membuka Jendela Dunia

Page 1: Membuka Jendela Dunia

Membuka Jendela Dunia 

Sesorang yang gemar membaca akan mempunyai pandangan yang luas, membuatnya menjadi manusia yang utuh,

sedangkan orang yang gemar

berdiskusi membuat orang harus siap memberikan jawaban atau

mengajukan pertanyaan, dan orang yang gemar menulis

membuatnya menjadi mansia yang cermat

(Francis Bacon)

 

Budaya Baca 

”Mengapa para penumpang di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya tidak membaca novel, tapi menguap dan

tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di Bandung, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap

rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi

main gaple? Kenapa di kapal Makassar-Banda Naira penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi main

domino? Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1 yang mampu menulis proposal yang bagus atau rencana

kerja yang baik? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak

membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang di Indonesia hanya cocok untuk negara

berpenduduk 20 juta, bukan 200 juta?” Itulah sejumlah pertanyaan yang diajukan Taufiq Ismail dalam sebuah

kesempatan.

Pertanyaan tersebut akan terasa kontras dengan sebuah pernyataan berikut ini: ” Saya ingin membaca lima

judul buku sehari jika tidak terpaksa harus pergi ke sekolah”. Itulah kata Millie, anak berusia dua belas tahun warga

Amerika . Dia dapat membaca cepat sekali. Dia telah selesai membaca buku Markham Real American

Romance sejumlah 13 jilid dalam seminggu.

Jawaban atas seluruh pertanyaan Taufiq Islmail dan kunci kesukesan Millie tidak lain adalah: minat baca. Maka

kita dapat melihat bahwa jarak minat baca berbanding lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan dapat

dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari kemiskinan dan menuju menjadi bangsa yang makmur adalah dengan

membangkitkan minat baca masyarakat. Akar kemiskinan, yang menerpa sebagian rakyat Indonesia, adalah karena

masih tingginya tingkat melek aksara dan sangat payahnya minat baca sebagian besar masyarakat. Kita tidak akan

menemukan sebuah kenyataan di belahan bumi manapun ada orang berilmu dan luas pengetahuannya tapi hidupnya

miskin, kecuali atas dasar pilihan hidup. ”Kalau kalain ingin mengusai dunia dan akhirat kuasailah ilmu,” demikian

sabda Nabi Muhammad.

”Membaca bagaikan terbang ke sebuah titik pandang yang tinggi untuk menyaksikan hamparan wilayah yang

luas: sejarah, ragam manusia, ide-ide, pengalaman, dan buah berbagai pencarian” kata AC Grayling dari Financial

Times. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan pada kita bahwa membaca belum menjadi arus utama pembangunan di

Indonesia. Juga memperlihatkan betapa buruknya kita menciptakan budaya membaca. Yang berkembang adalah

budaya menonton. Kita mengalami sebuah ”lompatan budaya”, yaitu, kita melompat dari keadaan praliterer ke masa

pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Masyarakat praliterasi adalah masyarakat yang hidup dalam tradisi lisan dan

sulit mengakses sumber informasi. Kalaupun mudah, mereka tidak bisa mencernanya dengan baik. Kendala utama

tentu saja pendidikan. Masyarakat literasi yang mewakili masyarakat terdidik. Walaupun memiliki akses terhadap

bacaan, tidak berarti tradisi baca-tulis tumbuh subur di kalangan ini. Sedangkan masyarakat posliterasi yang mewakili

segmentasi penduduk di kota-kota besar, terutama mereka yang memiliki akses ke teknologi informasi dan audiovisual

seperti internet, TV kabel, multimedia, sarana telekomunikasi bergerak, dan sebagainya ( Adlin, 2006).

Kita melompat senang menonton televisi, tanpa melalui tahap masyarakat gemar membaca. Dalam hal ini ada

benarnya tesis pemikiran Neil Postman yang mengatakan bahwa dunia hiburan dapat membangkrutkan budaya

sebuah bangsa, terutama bangsa dengan tradisi membaca yang lemah. Kondisi itu diperburuk semakin tidak pedulinya

orang tua akan kegiatan membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga

mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku. Ironisnya, ketika

anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk

berkreasi. Akhirnya, mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.

Masalah minat baca ini akan menjadi malapetaka bagi bangsa jika tidak segera diatasi bersama. Dan,

mengatasinya pun tidak dengan tambal sulam. Keluarga harus menjadikan membaca sebagai kegemaran sejak dini.

Sekolah harus menerapkan sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan membaca. Dan pemerintah harus

menyediakan dana cukup bagi perpustakaan serta mendorong tumbuhnya budaya membaca.

Dari Mana MemulaiShakespeare pernah mengatakan bahwa ”seorang anak adalah ayah atau ibu dari seorang lelaki.”

Page 2: Membuka Jendela Dunia

Dalam hitungan detik, pengetahuan yang terkumpul di muka bumi ini bertambah lebih luas. Sepanjang masa,

pada diri manusia hadir pemikiran, kata-kta, dan kalimat-kalimat baru. Di seluruh dunia, saat ini jutaan anak tengah

membuat bahasa masa depan. Beberapa menyimpan semuanya untuk dirinya sendiri, sementara yang lain justru

menuliskannya. Puisi-puisi yang tak terselesaikan, kisah-kisah yang baru dimulai, kalimat-kalimat yang belum pernah

tertuliskan. Anak-anak itu penuh dengan pengetahuan, namun mereka sama seklai tah paham bahwa mereka memiliki

pengetahuan. Mereka telah mewarisi masa lalu sambil mengemban kemungkinan masa depan pada dirinya. (Gaarden,

2006)

Menumbuhkan minat baca adalah sebuah proses sosial yang memerlukan waktu. Banyak faktor yang harus

dilibatkan salah satunya adalah melalui pembiasaan yang dimulai dari masa kanak-kanak. Pengalaman Millie seperti

kita bahas di atas adalah terjadi setelah proses belajar dari orang tuanya. ” Ketika bayi saya berumur enam bulan saya

letakan karton putih setinggi empat kaki pada dinding di sekeliling kamarnya. Pada salah satu dinding saya tempelkan

huruf-huruf abjad yang saya gantung dari kertas merah mengkilap. Pada dinding yang lain, dengan huruf-huruf merah

yang sama saya susun kata-kata sederhana seperti: ’hat’,’ ba’t, ’cat’, ’mat, ’rat’, ’dog’, ’bog’. Dapat anda perhatikan

semua kata-kata dalam daftar ini adalah kata benda. Sesudah anak saya belajar semua huruf-huruf ini, saya mulai

mengajar kata-kata yang ditulis ditulis pada dinding dengan cara mengejanya secara berirama. Melalui permainan

pembentukan kata ini, dia sudah mulai belajar membaca pada usia enam belas bulan, tanpa secara khusus

memberikannya pelajaran membaca...”.

Masa kanak-kanan adalah waktu yang paling penting untuk menanamkan kebiasaan membaca. Banyak penelitian

yang dilakukan oleh para psikolog atau ahli pendidikan yang membuktikan kebenaran tersebut, seperti yang telah kita

bahas di atas.

Rita Dunn, direktur Center for the Study of Learning and Teaching Styles dan juga penulis buku Bringing Out

The Giftedness in Your Child, menawarkan strategi yang amat menolong untuk mempertimbangkan kapan anak siap

untuk memulai belajar membaca, memperkenalkannya dengan kata-kata sederhana dan membaca konsep, serta

membuat belajar itu menyenangkan.

Menurut Dunn, anak-anak pada umumnya siap untuk membaca ketika mereka memperlihatkan minat pada cerita-

cerita dan buku-buku pavorit. ”Ketika mereka meminta dibacakan cerita tertentu berulang-ulang, itulah pertanda yang

pasti” kata beliau. Pertanda lain ihwal kesiapan membaca ialah ketika anak-anak membuat cerita sendiri atau mulai

membuka-buka halaman buku cerita; Dunn juga mencatat bahwa usia anak-anak yang telah siap adalah umur dua

setengah tahun, akan tetapi yang lebih umum adalah usia tiga atau empat tahun. Di bawah ini akan dimuat beberapa

langkah atau tip yang dapat dilakukan orang tua dalam mempersiapkan anak mulai membaca. (Koran Tempo, 10 Juni

2001):

Pertama. Membacalah untuk anak anda setiap malam. Untuk mempercepat anak mencintai buku, Dunn menyebutkan

bahwa membaca akan ” membantu anak mengenal huruf-huruf dan kata-kata karena ia terbiasa dengan cerita.

Orangtua harus berkonsentrasi pada keseluruhan kata, dan tidak menghindari kosakata sulit atau pun yang tidak

lazim.

Kedua. Beri label obyek-obyek di dalam kamar anak anda dengan kartu indeks berukuran tiga-kali-lima inci berwarna

cerah. Masukkan pula nama anak anda di kartu tersebut. Latihan sederhana ini membantu anak anda mengenali

keseluruhan kata atau kata-kata dalam hubungannya dengan obyek yang familiar.

Ketiga. Mainkan ”teka-teki” dengan kata-kata. Bila anak anda sudah menguasai beberapa kata sederhana (tempat

tidur, pakaian), tulislah masing-masing kata itu pada kartu indeks dan tambahkan gambar suatu obyek. Biasakan anak

anda bermain menggabungkan kata dan gambar-gambar yang terpisah.

Empat. Rekamlah suara anda ketika membaca cerita favorit anak anda, dan dorong dia untuk mengikuti suara

hasil rekaman itu sembari ”membaca” buku tersebut. Untuk memperkuat pengenalan kata membacalah dengan suara

keras.

Terakhir, Dr. Dunn mengatakan ”buatlah menyenangkan.” Permaian dan keterlibatan orang tua mendorong

anak-anak untuk menikmati dan menguasai keterampilan yang diperlukan untuk membaca.

Penelitian serupa dilakukan oleh Lesley Mandell Morrow, profesor dan pakar pendidikan belajar membaca

pada usia dini di Rutgers University, mengatakan orangtua hendaknya membiarkan anak belajar membaca dengan

cara alamiah. Dari kegiatan sehari-hari, anak dapat belajar membaca. Kegiatan memasak, berjalan-jalan, makan

bersama, berbelanja bisa menjadi kesempatan berharga untuk memacu anak belajar membaca secara bebas. "Anak

yang harus membaca buku akan merasa terpaksa untuk belajar," katanya.

Menurut Morrow, kemampuan membaca harus dipelajari dan dipraktikkan dengan sukarela tak ubahnya

kemampuan berbicara dan memahami. Tinggal bagaimana orangtua menjadikan kegiatan belajar membaca sebagai

bagian dari ritual sehari-hari. Kegiatan yang dilakukan bersama antara anak dan orang tua ini juga akan mendorong

orang tua untuk kembali gemar membaca. Lewat programnya yang diberi nama GAINS (Gaining Achievement in the

New Standard), Morrow dan rekannya Michael W. Smith dan Diane H. Tracey, menawarkan konsep belajar membaca

yang lebih bebas. Berikut saran mereka: Memasak bersama

Page 3: Membuka Jendela Dunia

Saat memasak, mintalah anak untuk membaca resep. Selain itu, ajak anak untuk ikut menyiapkan makanan

dengan cara membaca label yang tertera. Membaca daftar belanja juga menjadi bagian dari kegiatan belajar

membaca yang menyenangkan.

Berjalan-jalan bersama

Saat menikmati acara rekreasi bersama si kecil, Anda bisa mengajarnya membaca lewat nama-nama binatang,

tanaman, dan benda yang ditemui di jalan. Catat nama benda-benda itu dan minta si kecil membacanya. Begitu

pula saat malam tiba, Anda bisa mengajak si kecil menyaksikan benda-benda langit, menulis namanya dan

meminta anak membacanya kembali sambil menunjuk benda-benda yang dibacanya.

Saat makan bersama.

Acara makan bersama bisa pula menjadi ajang belajar membaca bagi si kecil. Mintalah si kecil untuk

mengambilkan botol atau kemasan bertulisan. Dengan 'tantangan' itu anak akan mencoba membaca tulisan yang

ada pada botol atau kemasan. Riset menunjukkan, semakin banyak waktu yang dilewatkan bersama keluarga di

meja makan, semakin besar kemungkinan bagi si kecil untuk menguasai berbagai kosa kata. "Keluarga yang

terbiasa berdiskusi di meja makan biasanya akan memberikan kesempatan berbicara pada anak-anaknya dan itu

bermanfaat untuk melatih perbendaharaan kosa kata si kecil dan dengan sendirinya membantu mereka saat

belajar membaca," kata Morrow.

Belanja bersama

Sebelum pergi berbe-lanja bersama si kecil, buatlah daftar barang belanjaan terlebih dulu. Lantas, dengan gaya

pemburu, minta anak Anda mencari barang yang dimaksud dengan membawa daftar belanjaan. Si kecil akan

membiasakan untuk mencocokkan daftar belanjaan dengan barang yang ia temu-kan di rak. Membaca tanda-

tanda yang ada di toko juga akan menjadi kegiatan yang mengasyikkan bagi si kecil. Membaca koran. Koran

memberi peluang besar pada anak untuk belajar membaca. Rubrik yang memikat seperti komik dan perjalanan

yang penuh warna akan menarik mata si kecil. Diskusikan dengan si kecil apa saja yang Anda baca

bersamanya. Kalau mungkin, kliping bagian yang ia sukai. Bercerita bergantian

Membiasakan bercerita pada si kecil dengan cara membaca akan mendorong anak untuk membaca juga. Mintalah

ia membacakan cerita untuk Anda. Setelah itu ajak ia berdiskusi mengenai cerita yang baru saja Anda baca

bersamanya.

Menonton aktif

Jangan jadi penonton pasif bila ada di depan tele-visi. Saat menonton TV bersama anak Anda, mintalah ia belajar

membaca teks, tulisan atau apa pun yang muncul di layar. Diskusikan bersama anak. Orangtua suportif

Jika tak tahu, tak ingat, atau tak memahami apa yang ditanyakan si kecil pada Anda, jangan ragu untuk

mengakuinya, namun berjanjilah untuk mencari jawabannya. Bukalah buku, ensiklopedia, kamus, atau Internet

bersama si kecil untuk mencari jawaban. Bacalah bersama.

Usia Anak dan Bacaannya.Selama dua dekade Mary Leonhardt berkecimpung dalam kegiatan membantu anak agar mencintai buku.

Berdasarkan pengalamannya, pembaca yang bergairah kerap menemukan kecintaan membaca di rumah, dari orang

tua mereka. ”Mereka bukan saja berbagi bacaan dengan teman dan saudaranya, tetapi juga—yang terpentng—

memiliki kebebasan untuk membaca apapun yang ingin mereka. baca.”

Yang perlu diingat, setiap anak adalah individu yang berbeda. Saran yang berlaku untuk satu anak mungkin

tidak berlaku bagi anak yang lain. ”Kunci penting yang harus diingat, apapun yang dilakukan dengan membaca dan

menulis haruslah menyenangkan ” kata Mary. Agar anak senang membaca dibutuhkan pendekatan yang berbeda

untuk rentang usia yang berlainan. (Koran Tempo, 10 Juni 2001):

Usia 2-5 tahun adalah usia ajaib. Anda sulit menemukan di usia lain kegairahan untuk mendengarkan dongeng,

bermain, belajar menulis, maupun menggambar dengan pensil dan crayon. Bila andak anda siap untuk membaca,

cobalah hal-hal kecil seperti mengenalkannya dengan permainan yang melibatkan huruf. ”Jangan menekannya,” ujar

Mary mengingatkan.Jauh lebih penting, pada rentang usia tersebut, untuk melakukan apa saja terhadap bukunya.

Keterampilan membaca dapat dipelajari kemudian.

Page 4: Membuka Jendela Dunia

Bila anda bepergian, biasakanlah membawa serta buku bergambar dengan sedikit huruf dan kata. Bawa pula

boneka atau robot kesukaan anak. Di waktu istirahat, anda bisa membacakan cerita bergambar yang sesuai dengan

mainan kegemaran anak anda.

Anak-anak juga senang berlibur dan suka menonton acara khusus TV di hari libur. Mary menuturkan, orangtua

dapat mengambil manfaat dari liburan ini dengan menciptakan ”holiday book special.” Kunjungi toko buku atau

perpustakaan dan carilah buku yang bagus untuk mengisi liburan.

Lebih tua dari mereka adalah anak-anaka usia 6-8 tahun, yang disebut oleh Mary sebagai ”usia penemuan”.

Inilah tahun-tahun ketika sebagian mulai membaca sendiri. Pastikan bahwa mereka mempunyai banya bacaan yang

mudah dicerna, karena anda menginginkan mereka merasa selayak ”pembaca besar.” Jangan lupa merayakan

tonggak-tonggak prestasi mereka”, tutur Mary. ”misalnya buku pertama yang mereka baca.”

Dengan melakukan hal-hal yang sepele itu, anak seakan diberi tahu bahwa bisa membaca merupakan prestasi

besar layaknya memenangkan pertandingan sepak bola. Anak harus dibimbing untuk berpindah secara bertahap dari

buku bergambar ke buku dengan teks yang lebih banyak. Sebagian anak, khususnya yang tergolong lebih kuat

kemampuan visualnya, lebih menyukai buku bergambar pada usia-usia tersebut.

Dengan memilih salah satu kegiatan favorit anak, dan merencanakan buku aktivitas untuknya, anda sudah

memperlihatkan kepada anak bahwa buku merupakan cara yang hebat untuk belajar lebih banyak mengenai kegiatan

yang ia cintai.

Banyak anak yang mulai menyukai cerita misteri dan fantasi pada usia 9-10 tahun, yang merupakan tahun-

tahun petualangan. Mary mengingatkan para orangtua agar waspada, karena pada usia ini anak-anak kerap terlibat

banyak kegiatan. Sepak bola atau olah raga lain akan mengancam kesukaan membaca yang sudah mulai tumbuh.

Usia 9-10 tahun juga merupakan usia bersosialisasi, lantaran itu memadukan pertemanan dan buku

merupakan gagasan yang bagus. Mary menyarankan agar ini dimulai dari lingkungan rumah dan tetangga. Sebagai

orangtua, anda bisa pula mengadakan pesta menulis dongeng. Bagi anak-anak ke dalam kelompok yang terdiri atas 3-

4 orang. Seorang anak, pada tiap kelompok menulis beberapa kalimat pembuka, lalu dilanjutkan oleh anak yang lain

dalam kelompok yang sama. Begitu seterusnya sehingga seluruh anak memperoleh giliran menulis dan menyumbang

bangunan cerita. Sudah selesai menulis? Mintalah masing-masing kelompok membacanya keras-keras secara

bergantian.

Usia 11-12 tahun, menurut Mary, merupakan usia ketika anak-anak mulai bosan dengan buku anak-anak dan

mulai beralih ke buku-buku remaja. Mereka juga lebih mandiri dalam memilih buku yang ingin dibaca. Teman adalah

bagian penting kehidupan anak seusia ini, karena itu kegiatan sosial yang melibatkan buku merupakan gagasan yang

bagus. Misalnya, jika anak menyukai atletik, pertimbangkan untuk berlanganganan majalah olahraga. Cobalah cermati

bila anda bisa berbagi biaya dengan anggota keluarga lain dengan bersama-sama berlangganan majalah. Kunjungan

ke tempat-tempat bersejarah dapat pula memancing minat anak kepada sejarah dan membaca fiksi-historis.

Di zaman serba audiovisual ini, mary mengingatkan aga para orang tua tidak meltakaan pesawat televisi di

dalam kamar tidur anak. Di satu sisi, kehadiran TV dapat dimanfaatkan untuk menunjang minat baca, namun lebih

besar kekuatannya dalam menyedot perhatian anak dari kegiatan membaca.

Karena itu, Mary menyarankan agar anak-anak diajari diet menonton televisi. Bayangkanlah! Kenikmatan yang

anda peroleh sepulang dari bekerja: membaca koran sore di teras ditemani isteri dan anak-anak yang asyik dengan

bacaan masing-masing. Inilah kenikmatan yang murah, meriah, dan sangat bermanfaat.

Itulah beberapa tip untuk mengkondisikan anak supaya kelak menjadi insan yang gemar membaca. Sedangkan

untuk orang yang sudah bisa membaca akan tetapi memerlukan peningkatan Wilson Nadeak memberikan beberapa

tip untuk membantu seseorang, terutama orang dewasa, sebelum membaca(Pikiran Rakyat, 8 April 2001):

Pertama, tujuan. Membaca yang sistematis ialah membaca dengan tujuan. Ia membaca bukan karena

kebetulan ada bacaan di depannya. Atau karena ia menonton televisi lalu ia membaca teks yang terdapat di dalam

layar. Seorang guru yang setia pada profesinya, ia akan membaca secara sistematis buku yang berhubungan dengan

disiplin ilmunya. Dosen yang mengajar di perguruan tinggi tidak mandek dalam diktat yang itu-itu saja dari tahun ke

tahun.

Kedua, jenis bacaan. Seorang pembaca yang cermat akan memulai bacaannya dari kata pengantar.

Umumnya, pengarang yang baik ”menjanjikan” sesuatu mengenai apa yang dikemukakakn dalam isinya. Pengarang

yang baik akan menyajikan gagasan yang disiratkan dalam kata pengantar itu. Ada bacaan yang sama sekali tidak

bermutu, bacaan itu harus disingkirkan sejak pembacaan awal karenya hanya membuang-buang waktu saja. Ada

bacaan yang harus dicerna karema memerlkan pemikiran dan renungan yang bermakna, sementara itu ada bacaan

yang patut ditelah begitu saja. Jangan membaca buku yang mutunya lebih rendah dari pengetahuan Anda sendiri.

Bacalah buku yang meningkatkan mutu kecendekiaan, yang meluaskan wawasan dan memperkaya batin dan intelek.

Ketiga, kecepatan. Kemampuan membaca harus diperhatikan seorang pembaca yang ingin meningkatkan

keterampilannya. Kemampuan yang rendah dapat ditingkatkan. Misalnya kadar kecepatan membaca orang yang

berkemampuan rendah berkisar antara 175-250 kata per menit, sedangkan orang yang berkemampuan sedang antara

250-350 kata, dan orang yang berkemampuan tinggi berkisar pada 400-500 kata per menit. Tentu ada orang yang

Page 5: Membuka Jendela Dunia

mempertanyakan apakah orang yang cepat membaca akan lebih kuat daya serap bacanya? Jawabnya ada pada seni

membaca. Misalnya, dalam sebuah buku bacaan ada ilustrasi –ilustrasi untuk menegaskan gagasan yang ditekankan,

tempo yang digunakan untuk membacanya dapat dipercepat. Begitu pula pada alinea yang diulang-ulang, pembacaan

dapat dilakukan lebih cepat.

Keempat, sikap. Sikap duduk pembaca juga menentukan daya baca yang efektif. Posisi punggung dengan

posisi tegak, tempat duduk yang tidak terlalu lunak atau terlalu rendah, membuat daya baca dapat dilakukan dengan

efektif. Hal ini juga dibantu oleh cahaya yang menyinari lingkungan, huruf yang tidak terlalu kecil, atau kendaraan

yang bergerak (dapat membuat kepala pusing) atau membuat mata lelah.

Kelima, hambatan. Bagaimana supaya kita dapat terus membaca, tidak cepat mengantuk? Hal ini dipengaruhi

oleh minat terhadap topik yang dibicarakan dalam buku itu. Guna membentuk kebiasaan yang baik, sebaiknya orang

yang mengembangkan hobi membaca itu, membaca buku yang diminatinya. Minat merupakan faktor penting dalam

segala hal. Tidak seorang pun dapat manju apabila ia tidak berminta atas sesuatu yang dilakukannya.

Hambatan berikutnya adalah kebiasan lisan yang selam ini menjadi kebiasaan masyarakat kita (verbalistis)

dibantu oleh teknologi canggih di bidang visual yang menyajikan gambar melulu dan suara yang muncul dari dalam

tayangan. Hal lain yang menjadi hambatan ialah ketidaktahuan dalam hal teknik membaca. Seorang pembaca yang

efektif perlu mengadakan kegaitan membaca selintas guna mengenali objek bacaan, berhenti sejanak pada paragraf

yang perlu dicerna otak. Ia menulis kata kunci di pinggir halaman dan segera bergegas dari paragraf yang kurang

penting.

Keenam, gangguan. Gangguan yang menghambat keterbacaan mungkin pada sikap fisik, misalnya mulut

yang komat-kamit ketika membaca, menelusuri baris kalimat demi kalimat dengan jari atau menggunakan pinsil,

menggerak-gerakan kaki sambil mendengarkan irama musik, berhenti lama pada setiap awal kalimat dan sering

kembali kepada paragraf yang sudah dibaca.

Ketujuh, pandangan salah. Banyak orang beranggapan bahwa membaca adalah sebuah kegiatan yang pasif.

Menurut mereka, membaca berarti tunduk kepada apa yang dikatan oleh penulisnya dan menerima apa adanya.

Sebenarnya, membaca adalah proses berpikir yang aktif. Ketika orang membaca, ia mengelaah isi bacaan secara kritis

dan kreatif. Bacaan yang mempunyai tokoh yang baik dan yang buruk memberi peluang bagi pembaca untuk

menempatkan diri sebagai pemeran serta dalam diri tokoh itu (tentu secara tidak sadar!). Jadi, membaca bukan

sekadar proses untuk mengingat sesuatu yang telah dibaca, tetapi pada saat yang bersamaan ia melakukan proses

berpikir yang kreatif-sintesis yang menilai, menimbang, bahkan mungkin sekali menyimpulkanmana yang baik

digunakan dalam kehidupannya sehari-hari.

Kedelapan, faedah membaca. Seorang pembaca yang baik dan efektif pada akhirnya, sadar atau tidak sadar,

akan memiliki intelektualisme yang tinggi, memiliki pengetahuan yang luas, sikap terbuka, lebih mamahami

lingkungan sesamanya, membuatnya arif, mengetahui apa yang memang diketahuinya serta membuat ia rendah hati

dan taingguh menghadapi bebagai situasi dengan pendekatan alternatif. Seseorang yang memilki cita-cita, akan dapat

mewujudkan cita-citanya karena mampu menerapkan gagasan ke dalam kehidupan sehari-hari dan tahu menghadapi

berbagai rintangan.

Memang, kalau kita telusuri semua buku yang berkaitan dengan dengan peningkatan minat baca, tidak ada

satu pun yang sanggup memberikan sebuah formula atau resep ”cespleng” . Hampir semua penulis sepakat bahwa

cara yang paling efektif adalah pengkodisian. Untuk anak-anak maka cara terbaik adalah dengan teladan dari orang

tuanya. Sedangkan untuk orang dewasa yang menginjak pada membaca secara cepat (speed reading) rumusnya

adalah ”3L” yaitu: latihan, latihan, dan latihan. Kalau dianalogikan, bagaikan orang yang sedang belajar mengendarai

mobil. Bagaimana pun fasihnya pengusaan materi tentang menyetir, kalau tanpa latihan tentu tidak akan bisa.

” Tapi aku tahu”, kata Jostein Gaarder, ” seberapa banyak aku membaca seumur hidupku, aku tak akan pernah

mampu membaca sepermiliar dari seluruh kalimat yang tertuliskan. Karena di dunia ini terdapat begitu banyak kalimat

seperti banyaknya bintang di langit sana. Dan kalimat-kalimat akan selalu bertambah dan akan menjadi semakin

banyak sepanjang waktu laksana sebuah ruang yang tak pernah berujung. Namun, pada saat itu aku pun tahun bahwa

setiap kali membuka sebuah buku, aku akan bisa memandang sepetak langit. Dan jika membaca sebuah kalimat baru,

aku akan sedikit lebih banyak tahu dibanding kan sebelumnya. Dan segala yang kubaca akan membuat dunia dan

diriku sendiri menjadi lebih besar dan luas.”