Membela Kebebasan Beragama Percakapan...

17
a b Membela Kebebasan Beragama 458 Percakapan dengan Farid Wajidi Farid Wajidi Farid Wajidi Farid Wajidi Farid Wajidi Farid Wajidi, Direktur LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta. Ia memperoleh gelar MA bidang Sejarah Islam Indonesi di Universitas Leiden, Belanda (1999) dan sekarang sedang menyelesaikan disertasi berjudul “Muslim Civil Society in Transitional Indonesia: A study on Muslim NGOs and Alternative Informal Networks in Java” di Universitas Utrecht, Belanda.

Transcript of Membela Kebebasan Beragama Percakapan...

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

458

Percakapan dengan

Farid Wajidi

Farid WajidiFarid WajidiFarid WajidiFarid WajidiFarid Wajidi, Direktur LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta. Ia memperolehgelar MA bidang Sejarah Islam Indonesi di Universitas Leiden, Belanda (1999) dan sekarang

sedang menyelesaikan disertasi berjudul “Muslim Civil Society in Transitional Indonesia: A studyon Muslim NGOs and Alternative Informal Networks in Java” di Universitas Utrecht, Belanda.

a � b

Farid Wajidi

459

Tantangan bagi negara yang plural adalah bagaimana mener-jemahkan setiap ketentuan partikular dari agama menjadi nilaiyang bisa dirumuskan secara universal sehingga diterima olehmereka yang bukan penganutnya sekalipun. Karena itu janganselalu membatasi pada satu sistem bentukan masa lalu untukditerapkan pada kehidupan publik sekarang yang jauh lebihkompleks. Jangan pula negara diatur menurut ketentuan agamatertentu tanpa melalui proses deliberasi yang melibatkan seluruhpartisipasi warga secara setara. Nabi mengisyaratkan, Antum a‘lamubi-umûri dunyâkum. Inilah pentingnya sekularisme, yang sejatinyamalah menjaga eksistensi agama agar terhindar dari upaya-upayapemerosotan lantaran menjadi alat kekuasaan belaka.

a � b

Membela Kebebasan Beragama

460

Ramai pro dan kontra menyertai sekularisme. Bagi mereka yang pro, seku-larisme dianggap sebagai usaha untuk menyelamatkan agama dari kepentingankelompok tertentu ataupun segelintir orang. Sebaliknya, mereka yang kontramenganggap sekularisme justru akan membunuh agama. Di Indonesia, puncakdari pro dan kontra itu adalah munculnya fatwa Majelis Ulama Indonesia(MUI) yang mengharamkan sekularisme bersama liberalisme dan pluralisme.Bagaimana pandangan Anda mengenai paham ini?

Saya rasa ada kecenderungan untuk mereduksi pengertian sekularismeseolah-olah ia berarti pandangan antiagama. Pandangan ini terutama seringdikemukakan oleh kelompok keagamaan yang tidak menyetujuinya. Jadi,seolah-olah kalau kita memilih sekularisme kita bermaksud menolak hidupkita diatur oleh agama dan eksistensi agama menjadi terancam karenanya.Memang ada sebagian penganut sekularisme yang mengambil posisi sepertiitu, karena pengalaman traumatik di masa lalu, tetapi itu bukan seluruhpengertian mengenai kata itu.

Secara umum kita tahu bahwa sebagai sebuah konsep sekularismelahir sebagai respon terhadap sebuah situasi Eropa Abad Pertengahan dimana agama menjadi kekuatan yang sangat dominan, baik secara kultural,di mana ia menjadi alat ukur satu-satunya mengenai apa yang benar secaramutlak, maupun secara politik di mana kekuasaan yang ditopang olehGereja menjadi kekuasaan yang sangat otoriter. Sekularisme lahir darisituasi yang otoriter dan menindas kebebasan berpikir seperti itu. Dan iamenjadi gerakan perlawanan yang keras di hadapan kecenderungan untukmenjadikan agama sebagai pusat dari seluruh pandangan dunia. Hal initentu saja menimbulkan krisis di kalangan agama.

Dari sinilah, saya kira, asal mula dari pandangan negatif kalanganagamawan terhadap sekularisme. Jadi ada trauma besar atas sejarahperselingkuhan kekuasaan politik dan kekuasaan agama. Orang-orang yangberpikir bebas kemudian menganggap agama sudah tidak lagi memadaimenjawab persoalan kontemporer. Karena itu, kalangan konservatifmemandang bila sekularisme diterapkan maka agama akan semakinterpinggirkan. Kehadiran ilmu pengetahuan baru seolah-olah akan selaluberujung pada upaya menyudutkan agama. Jadi, saya bisa memahamipenolakan terhadap sekularisme, tetapi segera harus diberi catatan bahwaia tidak selalu harus berarti demikian.

a � b

Farid Wajidi

461

Bagi saya, sebagai sebuah konsep politik, sekularisme berarti pe-misahan antara otoritas agama dan negara, di mana urusan agama tidakdiintervensi oleh negara sebaliknya diserahkan sepenuhnya kepada parapenganutnya sendiri, begitupun negara tidak diatur menurut ketentuanagama tertentu, melainkan harus ditangani melalui proses deliberasi yangmelibatkan partisipasi semua warga negara secara setara.

Anda ingin mengatakan bahwasekularisme sebetulnya tidak me-minggirkan agama?

Ya. Sekularisme menyerahkansemua persoalan yang sifatnya publikterhadap orang-orang yang berke-pentingan di dalamnya. Berbagaipersoalan publik harus diatur olehsemua kelompok berdasarkankesepakatan bersama. Saya ber-anggapan bahwa Nabi Muhammadmengisyaratkan sikap ini ketikabeliau mengatakan: Antum a‘lamubi-umûri dunyâkum.

Saya sendiri memandang sekularisme sebagai sebuah keharusan,sebagian mungkin karena keyakinan dasar saya tentang kekuasaan. Ke-kuasaan selalu punya potensi untuk korup, dan tujuan utama penguasasetelah berkuasa pada umumnya adalah mempertahankan kekuasaannya.Jadi, sekularisme bagi saya berguna untuk menghalangi penggumpalankekuasaan yang sangat besar, menjadi totaliter, dan tidak bisa dikoreksi.

Nah, Abdullahi Ahmed An-Na’im, pemikir Islam asal Sudan, me-nambahkan aspek lain yang menarik dalam hal ini. Dia mengatakan,sekularisme justru diperlukan karena alasan untuk menjaga eksistensiagama itu sendiri, karena melalui sekularisme kita bisa menghindarkanagama mengalami pemerosotan lantaran menjadi alat politik kekuasaan.

Di Indonesia ada aspirasi dari sebagian kelompok Muslim untuk menerapkansyariat Islam. Menanggapi aspirasi ini, saya juga teringat An-Na’im pernah

Sekularisme berarti pemisahan

antara otoritas agama dan negara, di

mana urusan agama tidak

diintervensi oleh negara sebaliknya

diserahkan sepenuhnya kepada para

penganutnya sendiri, begitupun

negara tidak diatur menurut

ketentuan agama tertentu,

melainkan harus ditangani melalui

proses deliberasi yang melibatkan

partisipasi semua warga negara

secara setara.

a � b

Membela Kebebasan Beragama

462

mengatakan bahwa kita tidak dapat sepenuhnya menolak penerapkansyariat Islam secara membabi-buta, karena syariah memang ada bersamakita. Namun, pada saat yang sama, kita juga tidak bisa menerapkan syariahsecara mentah-mentah, meskipun itu oleh negara. Lantas rumusan sepertiapa yang memungkinkan agama dapat diterima dan diterapkan dalamruang publik?

Saya setuju dengan An-Na’im. Dia mengatakan kecenderunganseseorang atau sebuah komunitas terhadap syariah adalah positif. Dalamarti ada semangat untuk menjunjung tinggi hukum, dan ini adalah sehatdalam sebuah masyarakat. Akan tetapi hukum seperti apa yang bisadipakai? Dalam konteks masyarakat plural tantangannya adalah bagaimanamenurunkan ketentuan-ketentuan partikular dari agama menjadi nilai yangbisa dirumuskan secara universal, sehingga bisa diterima bahkan olehmereka yang bukan penganutnya. Misalnya, bila semangat menegakkansyariah kita terjemahkan ke dalam rumusan-rumusan yang mencerminkansemangat menegakkan keadilan, ia akan bisa lebih diterima dan berolehtitik temunya dengan komunitas lain. Semangat itu harus dihantarkankepada pencarian dan perumusan nilai-nilai substantif agama yang jugabisa diterima oleh penganut agama yang lain.

Yang amat menggelisahkan saya dari usaha penerapan syariah adalah,dan ini juga diungkapkan An-Na’im: pertama, kecenderungan untukmengeksklusi orang lain yang bukan penganut Islam; kedua, tampak sekaliadanya tendensi untuk meminggirkan perempuan; dan ketiga, secara teknisrumusan-rumusan yang mereka tawarkan umumnya tidak memadai,karena kecenderungan untuk menarik semuanya ke masa lalu. Padahalsituasi hidup kita jauh lebih rumit dan kompleks ketimbang masa-masaformatif ketika ketentuan-ketentuan syariah, atau lebih tepatnya fikih,dirumuskan dan dibakukan.

Mereka yang menolak sekularisme menawarkan konsep negara Islam. Merekapercaya bahwa Islam memiliki konsep yang jelas mengenai bagaimana negaramesti diatur, yaitu khilâfah Islamiyah. Apakah menurut Anda pemerintahanal-Khulafâ’ al-Râsyidûn hingga Turki Utsmani sebagai prototipepemerintahan Islam yang berbeda dari sistem lainnya?

a � b

Farid Wajidi

463

Saya kira tidak. Bila kita kembali ke sejarah, kita melihat bahwa sistempemerintahan Islam di masa lalu tampak berbeda-beda. Ada yang kerajaan,khilâfah, dan demokrasi terbatas. Dan perbedaan itu, terjadi pada fase-fase awal dalam sejarah Islam. Saya lebih setuju bahwa Islam tidak meng-ajarkan konsep baku tentang sistem kenegaraan, tapi lebih mengajarkanpada nilai-nilai. Khilâfah, menurut saya, tidak ada bedanya dengan sistemkekaisaran.

Menurut saya, sistem khilâfah tidak bisa disebut sebagai sistem yangislami, karena ia mewakili hanya satu episode dari perjalanan panjangsejarah Islam. Jadi, kenapa hanyaepisode itu yang diambil, bukanyang lain. Dari banyak episode,kita sebetulnya diberi banyakpilihan pula. Khusus mengenaimereka yang ingin membang-kitkan kembali gagasan mengenaikhilâfah islamiyah, terus terangsaya benar-benar tidak bisa me-ngerti. Pada level gagasan ia sangatproblematis, tetapi yang lebihrumit adalah membayangkanpada tingkat implementasinya.Dari mana mulainya, bagaimanamembuat negara-negara bangsayang sudah terpisah-pisah itumenyatu tunduk di bawah suatukekuasaan tunggal, bagaimanakesepakatan dibuat, dan seterusnya. Jadi, bagi saya, itu gagasan absurd. Tetapi,ya sudah, kalau itu menjadi keyakinan mereka. Sejauh tidak memaksa oranglain untuk ikut atau menempuh jalan kekerasan, biarkan saja.

Bila membaca Farag Fauda, tampak jelas bahwa konsep khilâfah sebetulnyasangat tidak ideal, pun al-Khulafâ’ al-Râsyidûn. Apakah Anda setuju denganpendapat yang mengatakan bahwa Piagam Madinah, yang kemudian meng-inspirasi lahirnya Piagam Jakarta, adalah sebuah rumusan pemerintahanIslam yang ideal?

Dalam konteks masyarakat plural

tantangannya adalah bagaimana

menurunkan ketentuan-ketentuan

partikular dari agama menjadi nilai

yang bisa dirumuskan secara universal

sehingga bisa diterima bahkan oleh

mereka yang bukan penganutnya.

Misalnya, bila semangat menegakkan

syariah kita terjemahkan ke dalam

rumusan-rumusan yang

mencerminkan semangat

menegakkan keadilan, ia akan bisa

lebih diterima dan beroleh titik

temunya dengan komunitas lain.

a � b

Membela Kebebasan Beragama

464

Memang ada warisan yang positif dari periode-periode awal pe-merintahan Islam. Piagam Madinah itu sangat bagus. Akan tetapi ketikakita menarik begitu saja satu model tertentu dari periode tertentu, yangmungkin terjadi justru akan memiskinkan referensi kita, karena meng-abaikan yang lain, dan akhirnya membuat kita terperangkap di masa lalu.

Prinsip menghargai keragaman di dalam Piagam Madinah adalahpandangan yang sangat maju, kalau kita melihat ke periode itu. Namunbegitu, saya tidak ingin mengatakan bahwa kita harus meninggalkanwarisan itu, tapi yang ingin saya tekankan adalah: jangan membatasi padasatu sistem yang dibentuk di masa lalu dan terus dibawa hingga sekarang.Menurut saya, upaya semacam itu justru tidak produktif, karena kinihidup kita lebih rumit dibanding masa itu. Soal pluralisme, misalnya,pada saat ini sudah sangat berbeda. Kita tidak bisa lagi melihat pluralismehanya sebagai kenyataan yang berbeda-beda. Tetapi, sekarang pluralismeadalah sesuatu yang harus kita gumuli, kita sikapi lebih positif, dan harusbermuara pada penghormatan yang setara kepada semua kelompok.Misalnya, bagaimana kita menghayati keimanan kita seraya akrabberhubungan dengan komunitas agama lain. Suasananya akan sangatberbeda. Kesediaan kita untuk mau menggumuli justru membuat kitalebih kaya.

Dengan begitu, apakah menurut Anda kemunculan wacana perda syariahmerupakan sesuatu yang justru tidak produktif?

Kalau itu menjadi produk tertentu dari satu lembaga legislatif di daerahtertentu berarti mewakili sebagian pendapat orang. Ada orang ataukelompok yang meyakini bahwa bangsa ini harus diselamatkan dengansyariah, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dan kelompok sepertiitu sebetulnya hanya kelompok kecil, tetapi sangat gigih sehingga kelihatanmencolok kehadiran mereka. Sementara di kelompok lain, terutama non-Muslim, ada kegelisahan. Mereka sampai bertanya-tanya: apakahkesepakatan nasional atas bentuk negara ini sudah diubah menjadi negaraIslam?

Apakah itu produktif? Di samping beberapa problem yang sudahsaya utarakan tadi, keberatan saya atas tuntutan seperti ini adalah kecende-rungannya untuk memecahkan semua persoalan semata-mata dari sisi

a � b

Farid Wajidi

465

moral. Satu contoh yang bisa saya sebutkan, misalnya, adalah kebijakanpemerintah Bantul untuk membuat Perda Larangan Pelacuran. Perda itumenimbulkan beberapa implikasi dan akhirnya mendorong beberapakelompok di Yogyakarta membentuk suatu aliansi untuk menolak PerdaLarangan Pelacuran. Contoh serupa gampang kita temukan di tempatlain. Padahal, persoalan pokoknya, pada hemat saya, bukan bahwa merekasetuju dengan pelacuran, tapi pendekatan yang diambil dianggap tidakakan menyelesaikan masalah. Karena, perda-perda semacam itu hanyamelihat masalah semata-mata secara moralistik. Daripada memecahkanmasalah, kebijakan semacam ituberpotensi menimbulkan ma-salah-masalah baru.

Problem pertama, bila kitamenggunakan pendekatan ini,kita tidak akan bisa memahamimasalah yang sebenarnya dankadang justru kita menghindarimasalah sebenarnya. Munculnyapelacuran, misalnya, umumnyaterkait dengan persoalan eko-nomi. Menangkapi orang-orangyang berada di luar rumah padamalam hari adalah pekerjaan yangtidak menyelesaikan masalah. DiParangkusuma, misalnya, ada istripejabat desa yang tertangkap karena kebetulan dia jalan-jalan di pantai.Di daerah tersebut ada tradisi di mana pada malam tertentu wargamelakukan tirakat di luar rumah. Karena ada perda ini mereka menjaditerganggu.

Menurut saya, membuat kebijakan semacam itu justru tidak akanmenyelesaikan persoalan. Masalahnya bukan apakah orang bermoral atautidak, tapi ada masalah lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ironis,bahwa upaya sekelompok orang untuk mendorong pendekatan moralistikini justru memperkuat kecenderungan pemerintah kita untuk menyele-saikan masalah secara gampangan. Seolah-olah pemerintah telah mela-kukan sesuatu. Padahal yang mereka kerjakan adalah, sengaja atau tidak,

Yang amat menggelisahkan saya dari

usaha penerapan syariah adalah, dan

ini juga diungkapkan An-Na’im:

pertama, kecenderungan untuk

mengeksklusi orang lain yang bukan

penganut Islam; kedua, tampak sekali

adanya tendensi untuk meminggirkan

perempuan; dan ketiga, secara teknis

rumusan-rumusan yang mereka

tawarkan umumnya tidak memadai,

karena kecenderungan untuk menarik

semuanya ke masa lalu.

a � b

Membela Kebebasan Beragama

466

menghindar atau mengelak dari persoalan intinya: menyelesaikan problemkemiskinan yang tentu saja memerlukan komitmen yang lebih kuat,kegiatan yang terencana, dan pasti lebih sulit. Jadi, pendekatan ini men-dorong pemerintah cuci tangan.

Bagi saya, pendekatan moralistik seperti itu pertama-tama tidakmengatasi masalah; kedua, melahirkan risiko lain, misalnya penyebaranHIV-AIDS yang lebih luas. Saya mendapat info dari seorang dokter bahwaangka pengidap HIV-AIDS di Bantul itu paling tinggi di wilayahYogyakarta. Menurut dokter yang melakukan studi persebaran HIV-AIDS,kelompok terbesar penderita adalah ibu rumah tangga. Mereka terjangkitHIV-AIDS diduga karena praktik medis yang tidak sehat di puskesmas-puskesmas yang ada di Bantul.

Dari sini kita bisa melihat bahwa pendekatan ini tidak mampu mengu-rangi angka penderita secara medis. Karena ia menyelesaikan dari tingkatyang lain. Pengalaman di banyak tempat menunjukkan, jika tindakandan pendekatan moralistik semacam itu yang dipilih, hal itu justru ber-potensi memperparah keadaan, karena orang menjadi cenderung tidakmau terbuka, akibat stigma terhadap orang-orang yang menderita HIV-AIDS. Alih-alih membantu memberantas HIV-AIDS, sebagaimana di-klaim dinas kesehatan Bantul, langkah itu justru menghilangkan saranauntuk mengontrol penyebarannya.

Bukankah model-model penerapan perda syariah seperti di Bantul yangcenderung restriktif dan hanya menyentuh persoalan moral secara sosialmenunjukkan lemahnya kapasitas negara?

Pada hal tertentu saya rasa memang demikian. Menyelesaikan kemis-kinan dan pelacuran, misalnya, memang pekerjaan yang luar biasa susah.Kita tahu itu sangat berat. Tapi itulah salah satu tugas pokok pemerintah.Sayangnya, mereka bergerak ke arah lain, bukan pemecahan masalah yangsebenarnya.

Dalam konteks banyaknya eksistensi kepercayaan lokal dan munculnyakelompok baru harus dipahami sebagai gejala dari proses transisi. Negarayang dulunya teramat kuat menjadi kehilangan kemampuannya untukmengontrol beberapa kelompok agama tertentu yang menghendaki bubarnya

a � b

Farid Wajidi

467

Ahmadiyah dan paham keagamaan lainnya yang berbeda. Celakanya,negara bukan hanya membiarkan, bahkan juga aktif menjebloskan merekayang dianggap sesat oleh mainstream ke dalam penjara. Apakah ini bentukmangkirnya pemerintah untuk melindungi dan menjamin hak-hak warga?

Dalam hal ini memang terlihat jelas bahwa pemerintah sekarang tidakmemfungsikan diri sebagaimana mestinya yaitu sebagai pelindung atashak-hak dasar warga negaranya.Sebetulnya, bagi saya, ini soalkekuasaan. Pemerintah meng-ambil sikap yang cenderungmembenarkan sebuah fatwa yangdiskriminatif, karena takutdianggap memusuhi Islam yangdianut mayoritas, atau tidakmencerminkan komitmennyapada Islam. Jadi, dalam hal inimemang konteksnya secara po-litik negara lemah. Implikasinya,negara tidak mampu melindungiwarga negaranya. Padahal, soalkeyakinan adalah hak dasar dantidak bisa dilanggar siapapun. Negara harus melindungi semua warganegaranya secara sama.

Apakah itu juga disebabkan negara yang terlalu mengurusi banyak persoalan,sementara kekuatan yang dimilikinya terlampau kecil?

Saya kira pemerintah itu bekerja tidak pada persoalan-persoalan yangriil. Situasinya juga sangat politis. Tapi secara teoretis memang benar, bahwaketika negara terlalu banyak mengurusi pekerjaan seperti itu maka akanterlalu banyak pekerjaan penting yang terlewatkan.

Sampai batas mana menerjemahkan agama dalam konteks yang mutakhir,yang lebih sesuai dengan tafsir HAM, kebebasan berpikir, dan kehidupanpublik yang plural?

Sekularisme menyerahkan semua

persoalan yang sifatnya publik

terhadap orang-orang yang

berkepentingan di dalamnya. Berbagai

persoalan publik harus diatur oleh

semua kelompok berdasarkan

kesepakatan bersama. Saya

beranggapan bahwa Nabi Muhammad

mengisyaratkan sikap ini ketika beliau

mengatakan: Antum a‘lamu

bi-umûri dunyâkum.

a �0 b

Membela Kebebasan Beragama

468

Titik berangkatnya saya kira adalah penghormatan atas martabatmanusia. Saya percaya kepada adanya HAM yang tak bisa diingkari olehsiapapun. Dan kepercayaan seperti itu kemudian membentuk bagaimanasaya bersikap dan beriman. Kepercayaan itu menjadi bagian dari keyakinanIslam yang saya anut. Pandangan diskriminatif, kalau itu didasarkan atasteks-teks keagamaan tertentu, menurut saya, harus ditafsir ulang. Kitaharus sadar bahwa semua pandangan keagamaan adalah hasil interpretasimanusia atas teks-teks keagamaan. Artinya, dia mencerminkan carapandangan yang sangat dipengaruhi oleh konteks waktu, kebudayaan,dan posisi sosial tertentu. Jadi, tidak bisa dibekukan untuk berlaku dalamsemua waktu dan konteks lainnya. Kita harus melihat ulang pandangan-pandangan keagamaan yang ada dengan meletakkannya dalam konteksawalnya, baru kemudian mentransfer nilai-nilainya ke dalam konteks sosialdan budaya yang baru.

Dalam konteks ini seluruh kecenderungan untuk menutup diskusidan memaksa kita mengikuti pandangan yang mapan, sekalipun tidakrelevan, harus dilawan. Kebebasan berpikir adalah syarat dari beragamayang hakiki. Kelompok konservatif begitu gemar mengkampanyekanbahwa ketika orang menggunakan akal sebebas-bebasnya, maka orangakan kehilangan imannya. Itu pandangan yang aneh. Justru sebaliknya,orang baru bisa beragama secara genuine ketika dia memproses modelkeberagamaan dari kepalanya sendiri. Menolak kebebasan berpikir sendiri,menurut saya, tidak masuk akal. Karena kita sendiri tidak bisa meyakiniapa-apa bila tidak diawali dari akal kita sebagai sesuatu yang diyakini daripemberian Tuhan untuk menemukan kebenaran. Kita tidak akankehilangan iman, melainkan beriman dengan cara baru yang mestinyalebih kokoh dan kontekstual.

Dalam konsep beragama, agama apa pun, kita kenal berbagai mazhab.Dengan munculnya beragam mazhab dan teologi memungkinkan setiaporang menjadi berbeda-beda, padahal bagi kebanyakan orang beragamamemerlukan satu pegangan dan kepastian tertentu?

Iman bagi saya adalah sesuatu yang personal, dan kepastian itu haruskita tentukan sendiri. Mungkin dalam hal tertentu kita harus mengikutipandangan seorang ulama karena keterbatasan waktu dan kemampuan

a �� b

Farid Wajidi

469

kita untuk menjelejahi seluruh khazanah pemikiran keagamaan mengenaiisu tertentu, tetapi yang penting adalah bahwa itu terjadi tetap denganmemikirkan seluruh argumennya. Dan dalam hal-hal tertentu, saya kira,kita bisa memilih.

Jadi, selalu ada pengecualian-pengecualian. Ada teman saya yangMuslim, tapi dia tidak suka dengan praktik penyembelihan kambing saatIdul Adha, dia bertanya: “Me-ngapa ekspresi keberagamaanharus diungkapkan dalam bentukini?” Saya kira dalam hal itu diabisa membuat pengecualian. Sayakira eklektisisme dalam beragamaitu sah-sah saja.

Tapi sebagian besar orang Islammenganggap pandangan liberal,yang memberikan ruang bagiperbedaan keberagamaan, sangatberbahaya?

Semua orang mempunyaihak untuk setuju atau tidak atassuatu pandangan keagamaan ter-tentu. Tidak jadi soal, malah ba-gus, kalau itu mendorong terjadi-nya dialog terus-menerus. Yang penting tidak ada pemaksaan, dan janganpernah menggunakan instrumen agama untuk memberlakukan aturantertentu. Penting diingat, ini sama sekali bukan pemikiran yang baru dantidak dikenal dalam tradisi Islam klasik. Para imam mazhab dalam masaformatif Islam tampaknya selalu sadar akan potensi perbedaan ini, danmereka saling menenggang satu sama lain.

Menarik, dulu Imam Ahmad, misalnya, pernah menolak ketika khalifahal-Mansur berkeinginan agar kitabnya al-Muwaththa’ mau ditetapkansebagai kanon resmi negara saat itu. Beliau terkenal sebagai orang yang sangatketat dalam pandangan keagamaannya, tapi toh tetap menolak formalisasisemacam itu. Beliau menolak penyeragaman pandangan seperti yang

Prinsip menghargai keragaman di

dalam Piagam Madinah adalah

pandangan yang sangat maju, kalau

kita melihat ke periode itu. Namun

begitu, saya tidak ingin mengatakan

bahwa kita harus meninggalkan

warisan itu, tapi yang ingin saya

tekankan adalah: jangan membatasi

pada satu sistem yang dibentuk di

masa lalu dan terus dibawa hingga

sekarang. Menurut saya upaya

semacam itu justru tidak produktif,

karena kini hidup kita lebih rumit

dibanding masa itu.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

470

sekarang diinginkan banyak kalangan islamis. Saya kira beliau sangat sadarbahwa sekali otoritas itu diberikan kepada kekuasaan politik, upayamengontrolnya agar tidak menjadi absolutis menjadi sangat berat.

Apakah sikap liberal dalam pemikiran dan pandangan keagamaan jugaharus diikuti dengan dukungan terhadap liberalisme ekonomi?

Ini isu penting yang harus didiskusikan, terutama sehubungan denganbanyak diskusi mengenai kapitalisme global (atau neo-liberalisme) yangberjalan seiring dengan proses globalisasi sekarang. Saya kira jawabannyatidak harus demikian, tidak harus sama sebangun antara keduanya. Tentusaja, saya kira, kita harus menekankan adanya hak individu atas hak milikyang merupakan salah satu hak dasar dalam pandangan Islam, sebagaimanayang sering disebut dalam diskusi mengenai maqâshid al-syarî‘ah.

Tetapi bagi saya sendiri selain prinsip kebebasan, prinsip keadilanadalah nilai yang juga sangat mendasar dalam pandangan Islam. Disamping sumbangannya terhadap perkembangan ekonomi modern,liberalisme ekonomi dipandang sangat berpotensi menciptakanketimpangan ekonomi yang membuat ketidakadilan dalam kehidupansosial kita semakin mencolok. Banyak studi juga mengatakan bahwaketidakadilan sosial yang mencolok itu juga telah menyumbang kepadapengerasan dalam pandangan keagamaan yang menjurus pada tindakkekerasan. Jadi, saya kira, upaya untuk mendorong perkembanganpemikiran keagamaan yang moderat dan toleran itu harus juga dibarengidengan upaya menyelesaikan problem ketidakadilan ekonomi sampai padatingkat yang bisa kita tolerir.

Nah, dalam konteks ini, kembali ke diskusi kita di atas, saya kira kitaperlu merumuskan pandangan yang lebih tepat mengenai sekularisme yangtidak dengan sendirinya berarti peminggiran sepenuhnya terhadap peranagama dalam menangani problem-problem kemanusiaan yang riil. Adabeberapa konsep yang pernah ditawarkan sejauh ini, apakah itu yangdisebut dengan deprivatisasi atau public religion sebagaimana yang di-tawarkan Casanova. Menurut saya kita sebenarnya berada dalam posisiyang baik untuk merumuskan sejenis sekularisme yang tidak dilahirkandari sebuah pengalaman traumatis sebagaimana terjadi dalam sejarahEropa.

a �� b

Farid Wajidi

471

Terkait dengan relasi negara dan masyarakat. Apakah konstitusi negarasaat ini, Pancasila dan UUD 45, Anda nilai sudah final dan cukup memadaidalam mengatasi berbagai persoalan sosial di masyarakat sekarang ini?

Untuk konteks sekarang saya kira cukup memadai. Dalam arti iamemberikan pijakan bagi setiap kelompok dalam rangka mempertahankaneksistensinya masing-masing, sehingga mereka diakui sebagai bagian yangsah dari warga negara. Jadi, dalamkonteks itu, konstitusi sudahmemadai, dibanding pandanganyang berkeinginan untuk meng-ekslusi kelompok lain. Di situbisa dirumuskan etika dan polahubungan di antara berbagaikelompok. Konstitusi kita mem-berikan ruang bagi setiap kelom-pok, sosial dan agama, walaupunia tetap harus diwarisi dengansikap terbuka, yaitu tetap terbukadengan penafsiran-penafsiran yangsesuai dengan perkembanganmasyarakat. Sayangnya, penga-laman kita selama Orde Barutelah memacetkan upaya kita untuk mengembangkannya lebih jauh sesuaidengan kebutuhan perkembangan sosial kita. Kendati demikian, diskusiseperti ini harus dimulai sekarang.

Bagaimana Anda melihat fatwa MUI yang menurut sebagian pihak berten-tangan dengan konstitusi, sebagaimana fatwa mengenai sesatnyaAhmadiyah, dan beberapa kelompok keagamaan seperti Komunitas Edendan Usman Roy?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya rasa kita perlu mengklarifikasiterlebih dahulu mengenai bagaimana sebenarnya posisi fatwa dalam sistemhukum Islam. Problemnya kadang-kadang bukan muncul dari fatwa itusendiri, tetapi juga karena ada kesalahpahaman mengenai makna fatwa

Kebebasan berpikir adalah syarat dari

beragama yang hakiki. Kelompok

konservatif begitu gemar

mengkampanyekan bahwa ketika

orang menggunakan akal sebebas-

bebasnya, maka orang akan

kehilangan imannya. Itu pandangan

yang aneh. Justru sebaliknya, orang

baru bisa beragama secara genuine

ketika dia memproses model

keberagamaan dari kepalanya sendiri.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

472

ini dan bagaimana umat seharusnya bersikap ketika sebuah fatwadikeluarkan.

Secara definisi fatwa adalah sebuah hasil perumusan hukum yangdiambil oleh mereka yang dipandang otoritatif dalam bidang agama.Katakanlah, ia adalah hasil ijtihad. Tetapi yang jarang disadari orang adalahbahwa fatwa adalah pendapat hukum yang sifatnya tidak mengikat. Dalambanyak hal, sejak lama ulama kita seringkali berbeda pendapat, sehinggamenyediakan banyak pilihan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapatyang mana yang dia rasakan cocok. Itu yang seringkali dikatakan bahwaperbedaan pendapat itu adalah rahmat. Implikasinya, seorang Muslimtidak harus merasa berdosa kalau tidak mengikuti MUI, dan boleh meng-ikuti pendapat yang lain. Salah satu masalah kita, lagi-lagi, adalah adanyakecenderungan untuk menyeragamkan pandangan keagamaan tertentudan kesalahpahaman bahwa setiap fatwa harus diikuti oleh seluruh umatIslam, kalau perlu dengan cara paksaan dan mengintimidasi orang yangtidak menerimanya.

Lalu, soal fatwa itu sendiri, kita harus menempatkannya dalamkonteks yang tepat. Terlepas dari setuju atau tidak dengan fatwa yangdikeluarkan, kita harus melihatnya sebagai bentuk upaya untuk mem-berikan salah satu panduan keagamaan kepada umat. Hanya saja, dia harusberhenti pada titik itu, dan tidak menuntut negara untuk menjadikannyasebagai pendapat resmi sebuah negara mengenai isu keagamaan. Memangmemprihatinkan bahwa MUI sekarang didominasi oleh kelompokkonservatif, sehingga produk fatwanya lebih mencerminkan kepanikanmoral yang akut di hadapan dunia yang berubah. Itulah realitas kita hariini. Tapi MUI akan diting-galkan oleh sebagian besar umat Islam kalauterus begitu.

Berkenaan dengan sebuah fatwa mengenai eksistensi suatu kelompokkeagamaan yang hak-haknya dihormati dalam konstitusi, negara harusberdiri tegak di atas prinsip konstitusinya sendiri. Dan itulah, saya kira,posisi yang tak bisa ditawar dari sebuah negara yang tidak berdasarkanagama tertentu, melainkan Pancasila yang mengakui eksistensi semuakelompok dan aliran agama. Apalagi negara kita juga sudah meratifikasiDeklarasi Umum HAM. Ratifikasi itu harus secara konsisten diikuti olehpemerintah dengan tindakan nyata di dalam setiap kebijakannya.

a �� b

Farid Wajidi

473

Banyak orang sekarang dibuat gelisah oleh gejala merosotnya penghargaanterhadap pluralitas yang sejak lama menjadi bagian inheren dalam masyarakat.Di kalangan umat Islam, setelah keluarnya fatwa MUI, masyarakat menjadijengah dengan kata pluralisme. Asumsi yang dibangun adalah pluralismeakan melahirkan sinkretisme dan relativisme. Menurut Anda, apakah maknapluralisme itu benar sesuai dengan apa yang ditafsirkan MUI?

Dalam pengertian tertentu, saya memang seorang relativis. Sayamemahami tindakan beragama adalah usaha untuk menangkap danberhubungan dengan realitasabsolut yang disebut Tuhan.Dalam arti itu, seberapa pundalamnya keyakinan saya sendiriatas cara beragama yang saya pilih,saya tetap harus meletakkannyasebagai pandangan yang relatifdan tidak bisa saya klaim secarapasti sebagai cara beragama yangpasti benar menurut Tuhan dankarena itu menjadi kebenaran bagisetiap orang. Itu sudah cukup bagisaya dan tidak bisa lebih dari itu.Saya hanya bisa beragama dalam kapasitas saya sebagai manusia, yangmemilik kelemahan dan keterbatasan. Itu terjemahan saya atas maknatauhid.

Posisi ini pula yang akan saya pakai ketika saya bertemu orang lain,sehingga saya tidak bisa memutlakkan pikiran saya sendiri dan tidak merasamempunyai hak untuk menilai iman orang lain. Karena itu saya berusahamenempatkan semua keyakinan secara sejajar. Yang demikian itu membuatsaya menghargai pluralisme. Dalam arti bahwa pandangan kelompok lainharus diberi kesempatan untuk menunjukkan bahwa mereka juga punyapotensi benar.

Menurut saya, pandangan seperti ini bisa ditemukan dasarnya dalamal-Quran. Tuhan memberi tempat kepada orang Yahudi, Kristen, danagama lainnya, dan berjanji memberikan ganjaran atas perbuatan baikyang mereka lakukan secara tulus.

Salah satu masalah kita, lagi-lagi,

adalah adanya kecenderungan untuk

menyeragamkan pandangan

keagamaan tertentu dan

kesalahpahaman bahwa setiap fatwa

harus diikuti oleh seluruh umat Islam,

kalau perlu dengan cara paksaan dan

mengintimidasi orang yang tidak

menerimanya.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

474

Apakah itu bisa menjadi pembenaran akan sebuah pandangan bahwa adakeselamatan di luar Islam, seperti halnya doktrin Katolik yang mengakuiadanya keselamatan di luar gereja. Tanggapan Anda?

Ya. Tuhan, saya kira, tidak peduli dengan kotak-kotak agama. Yangterpenting adalah perbuatan baik, ketulusan, dan kerendahan hati. Bagisaya itulah yang masuk akal dan adil. Karena, kalau saya lahir dan besardalam dan dengan komunitas agama Kristen, misalnya, saya tidak akantumbuh kecuali dalam kapasitas sebagai seorang Kristen. Dengan caraberpikir seperti ini, maka saya tidak bisa mengatakan bahwa tidak adakeselamatan di luar Islam.

Bagaimana konsep pluralisme yang dipahami sebagai sinkretisme agama?

Kalau saya mendefinisikan beragama sebagai proses pencarian, sebagai-mana saya sebut di atas. Maka saya juga tidak punya problem dengansinkretisme. Kita akhirnya sadar bahwa yang terjadi adalah bahwa kitameramu sendiri bangunan keimanan kita melalui proses bongkar pasangterus-menerus atas sejumlah warisan kultural, agama, pemahaman atasberbagai kitab suci, pemikiran filosofis, dan seterusnya. Sinkretisme dalampengertian ini tidak terhindarkan. Dan itu terjadi pada setiap orang, sayakira. Masalahnya, apa kita mau melihat ini secara jujur atau tidak. Inipersis seperti kalau kita merenungi identitas diri kita, yang kalau kita pretelisatu per satu, kita mungkin tidak bisa lagi mendefinisikan siapa diri kitapada akhirnya.

Wawancara dilakukan pada 22 Maret 2008