Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

14
Membangun Nasionalisme dan Pertahanan di Perbatasan Negara 1 Oleh Ananta Kusuma Wibawa, S.H. Pendahuluan Jika melihat berbagai definisi mengenai nasionalisme yang telah pernah dirumuskan dan disampaikan oleh berbagai pakar dari berbagai belahan dunia, maka bisa diambil suatu persamaan pengertian dasar bahwa yang dimaksud adalah suatu kesadaran atau semangat atau kehendak untuk memiliki dan memelihara identitas bangsa dan negara. Apapun susunan definisi yang dibuat oleh para pakar, maka hasil akhirnya adalah keberadaan sebuah negara bangsa ( nation state ), yaitu suatu negara yang dibentuk dengan berbasis pada ikatan ”rasa sebangsa dan setanah air”, walau pada akhirnya istilah ”bangsa” itu masih akan menjadi perdebatan yang Insya Allah akan langgeng sampai pada akhir jaman. Menurut pengamatan saya, perdebatan itu lebih banyak muncul justru bukan dari para pakar namun pada para partisipan dan penyelenggara negara bangsa itu sendiri. Para pakar senyatanya hanya menyampaikan hasil pengamatan yang mereka lakukan dengan seobyektif mungkin dan para pakar itu harus dibedakan dengan para ”Ideolog” yang nyata-nyata telah menempatkan dirinya dengan jelas pada kelompok para partisipan dan penyelenggara negara bangsa, paling tidak sebagai pemberi dorongan atau bahkan terlibat sebagai pimpinan penyelenggara negara. Sementara itu, perdebatan yang muncul sudah bisa diklasifikasikan dengan jelas, yaitu lebih berkutat pada seputar komposisi suatu bangsa, hingga muaranya pada pertanyaan, ”Siapa yang disebut bangsa itu? ” 1 Disampaikan dalam Seminar bertema “Membina Nasionalisme di Tapal Batas” yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 2010 di Universitas Bhayangkara Surabaya

Transcript of Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Page 1: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Membangun Nasionalisme dan Pertahanan di Perbatasan Negara1

Oleh Ananta Kusuma Wibawa, S.H.

Pendahuluan

Jika melihat berbagai definisi mengenai nasionalisme yang telah pernah dirumuskan dan

disampaikan oleh berbagai pakar dari berbagai belahan dunia, maka bisa diambil suatu

persamaan pengertian dasar bahwa yang dimaksud adalah suatu kesadaran atau

semangat atau kehendak untuk memiliki dan memelihara identitas bangsa dan negara.

Apapun susunan definisi yang dibuat oleh para pakar, maka hasil akhirnya adalah

keberadaan sebuah negara bangsa ( nation state ), yaitu suatu negara yang dibentuk

dengan berbasis pada ikatan ”rasa sebangsa dan setanah air”, walau pada akhirnya istilah

”bangsa” itu masih akan menjadi perdebatan yang Insya Allah akan langgeng sampai

pada akhir jaman.

Menurut pengamatan saya, perdebatan itu lebih banyak muncul justru bukan dari para

pakar namun pada para partisipan dan penyelenggara negara bangsa itu sendiri. Para

pakar senyatanya hanya menyampaikan hasil pengamatan yang mereka lakukan dengan

seobyektif mungkin dan para pakar itu harus dibedakan dengan para ”Ideolog” yang

nyata-nyata telah menempatkan dirinya dengan jelas pada kelompok para partisipan dan

penyelenggara negara bangsa, paling tidak sebagai pemberi dorongan atau bahkan terlibat

sebagai pimpinan penyelenggara negara. Sementara itu, perdebatan yang muncul sudah

bisa diklasifikasikan dengan jelas, yaitu lebih berkutat pada seputar komposisi suatu

bangsa, hingga muaranya pada pertanyaan, ”Siapa yang disebut bangsa itu? ”

1 Disampaikan dalam Seminar bertema “Membina Nasionalisme di Tapal Batas” yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 2010 di Universitas Bhayangkara Surabaya

Page 2: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Mengapa hal ini perlu saya kedepankan, tidak lain untuk memberikan penekanan dari

awal, mengenai jenis nasionalisme macam apa yang hendak kita bicarakan terkait dengan

pengaruh dan manfaatnya bagi penguatan pertahanan negara Indonesia di sepanjang

daerah tapal batasnya.

Nasionalisme bagi bangsa Indonesia bukanlah barang baru atau sesuatu yang asing sama

sekali. Keberadaannya muncul sebagai suatu kesadaran bersama yang timbul akibat

perasaan disakiti, dilecehkan dan diinjak-injak oleh kaum penjajah. Mungkin akan ada

sejumlah kemiripan dengan sejumlah negara bangsa lain di dunia, namun demikian

nasionalisme Indonesia memiliki sejumlah perbedaan mendasar. Dibandingkan dengan

nasionalisme Jerman Raya ( Das große Deutschland ), misalnya, baik yang dintrodusir

oleh Otto von Bismarck pada tahun 1871 lewat Gerakan Penyatuan Jerman maupun oleh

Hitler pada tahun 1919 melalui ide ”Pemurnian Ruang Hidup bagi etnis Jerman yang

memiliki ras ”Arya”. Apalagi dengan nasionalisme yang diusung oleh Ibnu Saud melalui

gerakan Penyatuan Jazirah Arab.

Bangsa Indonesia yang sejak awal terdiri dari beragam suku bangsa, kebudayaan etnis,

adat, agama dan status daerah swatantra, memiliki beban konsekuensi yang cukup

signifikan dalam menentukan aspirasi kebangsaannya lebih lanjut, yang itu semua akan

bermuara pada jenis komunikasi apa yang paling cocok dilakukan di antara elemen

bangsa hingga sistem hukum apa yang paling cocok diberlakukan dalam negara bangsa

yang akan dibentuk.

Pluralitas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia tidak

mungkin hanya menyatukan aspirasi kebangsaannya dalam bentuk negara bangsa yang

berbasis satu kesatuan etnis, terlebih lagi dalam satu ikatan agama.

Poin-poin aspirasi kebangsaan yang mampu dirumuskan dengan jitu oleh para pendiri

negara ( founding fathers ), ternyata lebih berbasis pada adanya kesamaan nasib akibat

penderitaan yang dialami di bawah cengkeraman kaum penjajah serta berlakunya

2

Page 3: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

kesamaan nilai-nilai kehidupan yang sudah diterapkan secara turun temurun di seluruh

tataran geografis Nusantara ( istilah geografis bagi wilayah yang kini dikenal sebagai

Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI ).

Rumusan kebangsaan tersebut yang menjadi dasar bagi terbentuknya negara bangsa

Republik Indonesia dan selanjutnya dikenal dengan sebutan Pancasila ( five principles ).

Kelima sila itu merupakan identitas dari sejumlah suku bangsa yang bernaung dalam

NKRI, yang mana identitas tersebut mencerminkan nilai-nilai kehidupan yang dianut

oleh semua elemen masyarakat bangsa Indonesia, yaitu masyarakat yang Berke-Tuhanan

Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu dalam ikatan

kebangsaan, berjiwa kerakyatan dengan mendasarkan pada hikmah

kebijaksanaan/perwakilan serta bertujuan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh

bangsa Indonesia.

Dengan demikian, kelima prinsip identitas dan nilai kebangsaan itu menjadi dasar atas

segala bentuk pengelolaan dan perilaku dari para partisipan dan penyelenggara NKRI

dalam menjalani eksistensinya di bumi ini. Inilah nasionalisme Indonesia.

Penerapan Nasionalisme Indonesia dalam Pengelolaan Aset Kewilayahan

Salah satu unsur terbentuknya negara yaitu adanya suatu wilayah tertentu, di mana dari

wilayah tersebut dapat diidentifikasi adanya sejumlah rakyat yang beraspirasi untuk

membentuk suatu negara hingga memilih perwakilannya yang akan membentuk

pemerintahan negara yang berdaulat.

Dalam hubungan internasional, wilayah memiliki arti penting bagi filosofi kedudukan

berkuasa suatu negara, yang mana ”Semua sumber daya yang ada di wilayah tersebut

menjadi kekuasaan dari negara yang menguasainya”. Tentunya ini berkaitan erat dengan

tujuan dan kepentingan suatu negara dari segi kemakmuran internalnya. Sementara dari

segi pertahanan, ”aset wilayah” akan menimbulkan kerumitan tersendiri, terkait dengan

3

Page 4: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

tanggung jawab untuk melindungi kedaulatan pemerintah, segenap rakyat dan keutuhan

wilayah.

Kerumitan itulah yang senantiasa dialami oleh Indonesia ( RI ) selaku salah satu negara

kepulauan terbesar di dunia, sejak berdiri pada tahun 1945 hingga sekarang.

Sebagaimana yang dilansir oleh Bappenas dalam RPJM 2004-2009, RI memiliki garis

pantai sekitar 81.900 kilometer, serta memiliki wilayah perbatasan dengan banyak

negara, baik berupa perbatasan darat ( kontinen ) maupun laut ( maritim ). Wilayah Darat

RI berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea ( PNG ) dan

Timor Leste, yang mana perbatasan darat ini tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15

kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-

beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi

kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut RI

berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam,

Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini ( PNG ). Wilayah

perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan

termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan

yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara

tetangga yang bahkan dapat condong kepada terjadinya konflik terbuka.

Motif dari sejumlah konflik perbatasan yang pernah dan mungkin terjadi antara RI

dengan sejumlah tetangga dekatnya, dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Konlik yang dipicu oleh faktor ideologi yang berkembang di suatu wilayah.

Bermula dari berkembangnya suatu ideologi tertentu, baik di Indonesia maupun di negara

tetangga yang berbatasan langsung, namun tidak bersifat selaras satu sama lain dan justru

saling bertentangan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya ketegangan yang dapat

berakibat ke arah konflik.

4

Page 5: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Sejumlah contoh populer yang pernah terjadi adalah di masa perang dingin berlangsung,

yaitu ketika ideologi menjadi motif utama konflik dunia, antara Blok Barat

( Liberalis/Kapitalis ) yang dimotori AS dan Inggris melawan Blok Timur

( Komunis/Sosialis ) yang dimotori oleh Uni Soviet dan Cina. Pertama, ketika ideologi

kiri ( baca, komunis ) begitu menguat di Indonesia pada tahun 1950-1960an, maka

semangat anti liberalisme dan kapitalisme yang direpresentasikan melalui kekuatan Barat,

senantiasa menjadi salah satu pola sikap kebijakan luar negeri RI. Ini menjadi salah satu

pendorong timbulnya konflik antara RI dengan Malaysia, yang mana RI menganggap

bahwa pembentukan Malaysia merupakan proyek kolonialisme Inggris di Asia Tenggara

guna mengimbangi pengaruh RI di kawasan tersebut. Oleh karena itu penguasaan

wilayah Malaysia oleh Indonesia menjadi faktor penting bagi terpeliharanya pengaruh

Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Kedua, ketika krisis politik pecah di Portugis pada

tahun 1974, berimbas pada munculnya ketegangan antar kekuatan politik di Negara

Koloni Timor Portugis, maka akhirnya kekuatan komunis di Timor Portugis muncul

sebagai dominator di negara koloni tersebut dan mendeklarasikan kemerdekaan Timor

Leste. Hal ini menciptakan ketegangan pada sejumlah negara ASEAN yang anti komunis

seperti, RI, Malaysia, Singapura dan Thailand yang kuatir akan meluasnya pengaruh

komunis di kawasan Asia Tenggara. Situasi ini memberikan dorongan bagi RI yang

secara geografis berbatasan langsung dengan Timor Portugis dan dengan didukung oleh

mayoritas negara anti komunis, baik di Barat, maupun di kawasan Asia Tenggara, untuk

mengambil alih kekuasaan dan ketertiban di Koloni Timor Portugis dan menjadikannya

sebagai salah satu wilayah propinsi di Indonesia. Wilayah ini menjadi sangat berarti bagi

RI guna memperkuat penetrasi anti komunis di wilayah RI dan Asia Tenggara.

Di masa kini, saat perang dingin sudah berlalu lama sekali, Filipina masih memiliki

kewaspadaan tersendiri terhadap RI, khususnya terkait dengan masalah di wilayah

propinsi Mindanao, Filipina. Propinsi ini merupakan basis kekuatan Islam Moro yang

secara tradisional sering menyuarakan penentangan terhadap Kekuasaan Pemerintah

Republik Filipina yang didominasi oleh kalangan Katholik Roma. Wilayah Mindanao

sangat berdekatan dengan RI, sementara penduduk di wilayah tersebut, banyak yang

masih memiliki garis kekerabatan dengan penduduk RI yang berasal dari Sangir dan

5

Page 6: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Talaud. Selain itu RI adalah negara dengan populasi beragama Islam terbesar di dunia

yang dianggap oleh Filipina merupakan faktor yang harus diwaspadai, terutama pada saat

dunia digegerkan oleh gerakan teror dari para ekstrimis bersenjata yang menyatakan diri

sebagai seolah-olah ”gerakan umat Islam” melalui bendera Jama’ah Islamiyah atau Al

Qaeda. Dengan alasan solidaritas Islam, pemerintah Filipina cukup kuatir, apabila suatu

saat akan muncul alasan yang dapat dianggap cukup kuat memberi dorongan bagi RI

untuk menganeksasi wilayah Mindanao sebagai wilayah RI. Pada akhirnya Islam

senantiasa dianggap merupakan ”Topik Ideologi” penting dan relevan bagi pemerintah

Filipina dalam menyikapi posisi RI pada masalah perbatasan di kedua negara.

2. Konlik yang dipicu oleh faktor penentuan batas terluar dari yurisdiksi negara.

Keadaan semula adalah merupakan sesuatu yang wajar sehubungan dengan banyaknya

negara yang baru merdeka pasca perang dunia II di kawasan Asia Tenggara, di mana

negara-negara tersebut tadinya merupakan wilayah koloni negara-negara Barat yang

terlibat dalam perang serta memiliki sistem penerapan tersendiri terhadap yurisdiksinya.

Semenjak merdeka, negara-negara tersebut menghadapi masalah penentuan hukum baru

atas yurisdiksinya yang bisa lebih kecil atau bisa lebih luas ukuran geografisnya.

Ini tidak lepas dari sejumlah dampak yang timbul akibat perebutan wilayah kekuasaan

dan penerapan konsesi terhadap negara-negara koloni yang terpukul oleh, baik kekuatan

Axis selama perang dunia, maupun oleh kekuatan perjuangan kemerdekaan pasca perang

dunia. Hingga pada akhirnya, negara-negara yang baru merdeka itu harus menerima

warisan krisis yurisdiksi negara pendahulunya ( predecessor states ) serta harus saling

melakukan beberapa negosiasi dan perundingan baru di antara mereka sendiri, yang

sama-sama baru merdeka.

Semenjak berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Internasional pada tahun 1982, agenda negara-negara pantai harus ditambah dengan

upaya penyelesaian masalah batas wilayah laut yang harus menyesuaikan dengan

6

Page 7: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

ketentuan yang tidak hanya mengatur mengenai batas laut territorial, namun juga

ketentuan zona ekonomi eksklusif ( ZEE ) yang berkaitan dengan hak pengelolaan khusus

terhadap potensi ekonomi laut yang berada di seputar wilayah teritorialnya.

Saat ini, Indonesia memiliki sejumlah persoalan perbatasan darat maupun laut territorial

dengan tetangganya, sebut saja yang terkemuka adalah persoalan batas laut territorial

dengan Timor Leste, terkait dengan kedudukan atas sebuah pulau yang tidak berpenghuni

tetap, yaitu Pulau Batek/Fatu Sinai di sebelah Utara dan secara berbarengan menghadapi

Australia yang juga mengajukan klaim atas pulau ini di sebelah Selatan. Pasca kekalahan

atas Malaysia dalam perebutan Pulau Sipadan Ligitan di Mahkamah Internasional pada

tahun 2002, berdampak pada konflik dengan Malaysia menyangkut posisi Karang

Unarang ( Unarang Rock ) yang juga menjadi titik untuk mengukur batas terluar wilayah

laut territorial dan ZEE Indonesia dan Malaysia, di mana pada area ini yang sering

disebut sebagai Ambang Batas Laut ( AMBALAT ), terdapat Blok Minyak Bumi yang

posisinya juga berdekatan dengan Laut Makasar. Indonesia dan Singapura juga masih

bersitegang tentang penentuan batas laut teritorial di kawasan Utara Pulau Batam dan

masih banyak lagi sederet kasus sengketa perbatasan darat dan kelautan yang lainnya.

3. Konflik yang dipicu faktor SARA.

Adanya ikatan etnis yang lebih kuat dari masyarakat di negara tetangga kita dan seputar

wilayah negara tetangga kita terhadap masyarakat di salah satu wilayah negara kita yang

berdekatan ternyata dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap pola

hubungan yang berlangsung di wilayah tersebut.

Contoh popular dari bentuk konflik ini, adalah di wilayah Papua yang rawan untuk

dipengaruhi oleh Spirit Melanisianisme yang sering muncul di Kawasan Pasifik Barat.

Gerakan Ras Melanisia yang sering digaungkan dari Fiji, Samoa dan Papua New Guinea,

merupakan bahaya laten bagi negara kita yang dapat berpotensi untuk terus mendorong

semangat disintegrasi dengan saudara-saudara kita di Papua.

7

Page 8: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Walau para pendukung gerakan ini adalah negara-negara di Kawasan Pasifik Barat yang

rata-rata lemah dalam perekonomian dan pengelolaan sumber dayanya, namun politik ini

bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga, baik berupa negara, badan internasional maupun

individu yang ingin memancing di air keruh. Mereka justru membutuhkan adanya bahan

dasar konflik yang setiap saat bisa dimanfaatkan untuk menjalankan kepentingan mereka

di Pasifik Barat dan Asia Tenggara.

4. Konflik yang dipicu oleh faktor ketidakseimbangan dalam penguasaan teknologi

dan penataan kesejahteraan.

Seiring dengan perkembangan zaman, sensitivitas isu-isu pengelolaan wilayah

perbatasan negara telah menjadi problem multilateral dan bahkan internasional, dimana

kemajuan tekonologi dan beroperasinya kepentingan negara dan korporasi yang lintas

negara memunculkan beragam persoalan terkait perbatasan suatu negara atau aktivitas

lintas batas negara.

Sebagai contoh, saat penulis bertugas di Satgas Sebatik, Kalimantan Timur.

Pesawat telepon selular anggota satgas yang tadinya masih menggunakan operator selular

Indonesia, tanpa harus dalam keadaan non aktif bahkan tanpa konfirmasi, langsung

beralih menjadi jangkauan area ( coverage ) operator selular ”Maxis” atau ”Celcom”

milik Malaysia. Begitu masuk dalam coverage mereka, maka pesawat selular kita tidak

dapat lagi menerima layanan melalui operator selular Indonesia, baik berupa sambungan

telepon maupun layanan pesan singkat ( short message service/SMS ). Perangkat selular

anggota satgas juga langsung menerima beragam informasi melalui layanan pesan

singkat, dengan diawali sapaan "Welcome to Malaysia" atau tawaran-tawaran jasa lainnya

seperti layanan taxi dan hotel tanpa terkendali.

Kita sering tidak menyadari bahwa kemudahan penguasaan saham suatu perusahaan

nasional melalui pasar modal internasional ”international stock market” menimbulkan

konsekuensi adanya kemampuan pelaku ekonomi dari negara lain mengatur pembagian

8

Page 9: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

tugas dan tanggung jawab pengelolaan wilayah korporasi yang notabenenya di lapangan

adalah wilayah suatu negara.

Ambil contoh, setahu kita P.T. Excelcomindo Pratama adalah perusahaan penyedia

jasa layanan cellular nasional. Namun sahamnya juga dikuasai oleh Cellcom Malaysia.

Dalam kebijakan korporasi internasional mereka, ditentukan bahwa semua akses

pengelolaan layanan di wilayah Kalimantan Timur merupakan kewenangan Cellcom dan

bukan Excelcomindo Pratama. Konsekuensi dari pembagian kewenangan korporasi ini

ternyata berdampak pada penguasaan Malaysia tidak secara fisik terhadap Indonesia,

namun dari segi pengelolaan sumber daya layanan konsumen. Dengan demikian

Malaysia tidak perlu hadir secara fisik di Indonesia, tapi mereka sudah unggul dalam

menguasai akses layanan komunikasi publik melalui peran korporasi swastanya.

Konflik semacam ini yang tidak mudah dihadapi, karena medannya bersifat kasat

mata dan tanpa batas.

Seluruh potensi konflik perbatasan itu sangat berhubungan erat dengan identitas

kebangsaan Indonesia dan dapat mengancam eksistensi NKRI di kawasan Asia Tenggara

dan dunia. Sejumlah kepentingan nasional menjadi terlibat dalam pertaruhan ini dan

dapat berpengaruh, baik langsung maupun tidak langsung terhadap upaya pencapaian

tujuan nasional RI. Sementara itu kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan, pada

penerapannya di lapangan, masih menggunakan pendekatan yang keliru dan jauh dari

panggang.

Secara umum, pemerintah RI pada dasarnya mulai mengubah cara pandang terhadap

upaya pengelolaan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan, namun

demikian masih banyak para oknum pelaksana kebijakan, baik di tingkat departemen

maupun daerah masih belum dapat mensinkronkan kebijakan tersebut dalam

penerapannya di lapangan.

9

Page 10: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Dari segi komunikasi, misalnya pemerintah RI masih belum terlalu berdaya untuk

mengubah pola pikir para pejabat, pegawai dan masyarakat tentang citra daerah

perbatasan yang dianggap masih merupakan suatu wilayah yang sangat terpencil dan jauh

dari sejahtera. Kebiasaan buruk yang masih berlaku adalah adanya pola pikir ketakutan di

antara para pejabat dan pegawai untuk ditugaskan di tempat-tempat yang dianggap

terpencil dan jauh dari sejahtera ini. Sementara masyarakat yang lainpun jadi ikut

terbentuk pola pikirnya akibat teladan yang diberikan oleh para oknum pegawai dan

pejabat semacam ini, yang jumlahnya ternyata mayoritas. Pada akhirnya dukungan bagi

pelaksanaan penugasan pemerintah di wilayah-wilayah semacam ini tidak lebih dianggap

sebagai suatu ”tour of duty” yang tidak bisa ditinggalkan dan lebih bersifat rutinitas saja.

Para pelaksana tugas itu terpaksa melakukan tugasnya, bersikap setengah hati dan

berharap segera dapat berpindah dari wilayah tugasnya, tanpa pernah berpikir upaya-

upaya kreatif untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi kemajuan di wilayah tugasnya.

Pola pikir semacam ini yang paling berpengaruh besar bagi upaya pembinaan

nasionalisme di wilayah tapal batas.

Upaya pembinaan nasionalisme di tapal batas pada praktiknya lebih banyak dilakukan

dalam bentuk indoktrinasi dan pembangunan jargon. Konsumen terbesarnya adalah

masyarakat di wilayah perbatasan, yang senantiasa dianggap belum pintar atau lebih

buruk lagi dianggap tidak memiliki nasionalisme cukup untuk mempertahankan diri

terhadap pengaruh wilayah negara tetangga yang lebih maju taraf kehidupannya, atau

pengaruh negara tetangga yang memiliki kedekatan ikatan ras lebih dalam.

Krisis identitas kebangsaan di tapal batas memang sangat rawan, namun ini bukan

disebabkan warga negara kita yang ada di wilayah itu tidak punya harga diri dan jiwa

nasionalisme yang kuat. Semua itu tidak terlepas dari pelaksanaan pendekatan

kesejahteraan yang tidak akurat. Perbatasan sering dianggap sebagai the other frontiers

yang jauh dari sejahtera dan terpencil, hingga dampaknya pemenuhan kebutuhan

masyarakat perbatasan terabaikan. Sebut saja minimnya ketersediaan infrastruktur,

pasokan barang konsumsi, layanan kesehatan dan pendidikan. Ini sangat berpengaruh

terhadap identitas kebangsaan Indonesia di wilayah-wilayah tersebut.

10

Page 11: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Contoh yang terjadi pulau Sebatik yang berbatasan dengan negara bagian Sabah,

Malaysia dapat menggambarkan situasi itu. Keterbatasan infrastruktur pendukung

kehidupan masyarakat di Pulau Sebatik ikut memperkuat berlangsungnya krisis tersebut,

semacam yang telah diuraikan sebelumnya mengenai pasokan listrik, air bersih,

transportasi, serta sarana informasi dan komunikasi. Kekurangan ini membuat

masyarakat Pulau Sebatik tidak terlalu banyak ”berteriak-teriak” kepada Pemerintah

Pusat di Jakarta, atau paling tidak pada Pemerintah Kabupaten Nunukan di Provinsi

Kalimantan Timur. Namun mereka berusaha bertahan hidup menggunakan cara yang

paling alami sebagai manusia, yaitu menjalin hubungan sebaik mungkin dengan

masyarakat di wilayah yang kehidupannya relatif lebih baik, yaitu Tawao, yang notabene

merupakan wilayah Sabah, Malaysia bagian Timur.

Secara geografis, Pulau Sebatik memang lebih dekat ke Tawao. Perjalanan ke Tawao

hanya membutuhkan waktu ± 15 menit menggunakan speed boat berdaya 60 PK., dengan

biaya yang dikeluarkan hanya mencapai RM 15 ( lima belas ringgit ), kira-kira jika

dikurskan dengan Rupiah, di mana saat satgas sedang berada di sana, nilai 1 ringgit sama

dengan tiga ribu rupiah, maka jumlahnya setara dengan Rp. 45.000,- ( empat puluh lima

ribu rupiah ). Sementara itu, menyeberang ke Pulau Nunukan membutuhkan waktu ± 1,5

jam dengan biaya yang bisa mencapai lebih dari Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah ).

Dari segi pertahanan perbatasan, pemerintah RI pada tataran pelaksanaan di lapangan,

juga masih terjebak pada upaya penjagaan militer konvensional, yang direpresentasikan

melalui penempatan kekuatan pasukan dan peralatan tempur semata. Masih belum

nampak upaya yang lebih nyata untuk melakukan upaya pendekatan pertahanan non

militer yang melibatkan potensi kemampuan dan profesi warga negara di luar militer

guna dimobilisasi untuk melakukan berbagai upaya kreatif yang bertujuan untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan serta sekaligus

memberdayakan potensi ekonomi yang ada di sana. Padahal kebijakan pertahanan RI

sejak reformasi, sudah meletakkan pola pendekatan yang lebih baik dalam membangun

pertahanan negara, yaitu melalui pendekatan kesejahteraan dan pendekatan pertahanan itu

sendiri. Kebijakan ini sebenarnya sangat baik, karena dalam teorinya, apabila masyarakat

11

Page 12: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

sejahtera maka otomatis pertahanan tidak lagi menjadi sekedar hak dan kewajiban,

namun lebih merupakan suatu kebutuhan. Seseorang atau badan yang mulai merasakan

kesejahteraan, walau itu kecil saja, umumnya akan mulai merasa membutuhkan akses

keselamatan dan pertahanan terhadap diri dan keberadaannya.

Kita tidak usah membayangkan atau mengharap akan berhadapan dengan kekuatan

bersenjata Malaysia di Ambalat, atau Singapura di Batam atau Australia di perairan

Banten. Pada kenyataannya produksi film kartun ”Upin dan Ipin” dari Malaysia sudah

merajai dan merasuk di benak anak-anak kita, karena teknik pembuatan yang sempurna

dan jalan cerita yang sederhana dan dapat diterima dengan cepat dalam logika berpikir

anak-anak kita membuatnya memiliki daya tarik tersendiri dan cepat populer.

Dampaknya orang akan berpikir bahwa Malaysia adalah representasi Indonesia, bahkan

lebih hebat lagi pesan ”Malaysia, The Truly Asia” masuk di Upin dan Ipin yang mampu

menghadirkan para tokoh multi etnis atau ”Tele Tubbies” yang diproduksi Inggris dan

disalurkan secara massif oleh Singapura serta memiliki kemampuan yang sama dengan

Upin dan Ipin dalam merasuki pikiran anak-anak kita, sehingga sejumlah konten dan

pesan informasi tentang kesamaan gender tanpa batas, persamaan hak hidup kaum gay

( homoseksual ), dan semangat kebebasan yang disampaikan melalui simbol-simbol

menarik dari para Tubbies mampu disampaikan dengan jelas, tenang dan tanpa gejolak

pada anak-anak kita di usia dini. Masih banyak lagi keunggulan negara-negara tetangga

kita yang berbatasan langsung dalam mengeksploitasi keunggulan non militernya untuk

menghancurkan mental dan budaya bangsa kita.

Harapan Nyata yang Bisa Dilakukan

Sudah waktunya kita mulai berpikir dan bertindak strategis mulai dari hal yang kecil

untuk mewujudkan Indonesia yang lebih peduli dan adil bagi masyarakatnya sendiri di

tapal batas.

12

Page 13: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Kegiatan yang digalang dan dilaksanakan oleh Menwa dan Alumni Menwa Mahasurya

dalam misi di Pulau Sebatik dapat menjadi contoh. Misi tersebut adalah memberikan

dukungan bagi penguatan proses belajar mengajar bagi anak-anak TKI di Malaysia, yang

tidak dapat lagi bersekolah setingkat SMP di Malaysia, karena tidak ingin mengubah

kewarganegaran Indonesia menjadi Malaysia. Penguatan yang diberikan adalah dalam

bentuk matrikulasi terhadap kemampuan baca, tulis, hitung agar memiliki standar yang

sama dengan sekolah-sekolah di wilayah Malaysia yang sudah berstandar Internasional.

Kegiatan ini bekerja sama dengan SMP berbasis Pesantren Mutiara Bangsa, yang

kebanyakan siswanya memang merupakan anak-anak TKI kita, alumnus sekolah dasar di

Malaysia, yang tidak dapat lagi melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan di sana

karena tidak mau mengganti kewarganegaraan.

Kegiatan yang dilakukan oleh menwa dan alumni menwa tadi memang bersifat sukarela

( voluntary ) pada awalnya, karena tidak ada dukungan dana dari pemerintah. Namun dari

hasil yang telah dicapai, diharapkan dapat menarik minat dan perhatian pemerintah untuk

mulai menjadikan menwa dan alumni menwa sebagai agen pemberdayaan masyarakat di

wilayah perbatasan.

Hal yang sama bisa dilakukan oleh para mahasiswa secara umum, untuk mulai

menggalang aktifitas sejenis namun dengan obyek garap yang berbeda terhadap berbagai

aspek di seluruh sektor kehidupan masyarakat . Penggalangan ini dapat dirupakan dalam

bentuk ”Aliansi Strategis Pro Kemajuan” antara mahasiswa dan pemuda untuk menjadi

agen pemberdayaan bagi kehidupan masyarakat di perbatasan melalui kerja sama dengan

badan-badan pemerintahan tingkat departemen maupun lintas pemerintahan daerah,

bahkan dengan sektor usaha melalui alokasi dana Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

( Corporate Social Responsibility /CSR ).

Sudah saatnya, para generasi muda terpelajar kita segera melakukan apa yang terbaik bisa

diberikan bagi kemajuan negara dan bangsa, tanpa menunggu perhatian negara.

Perbatasan menjadi lahan garap generasi muda serta tidak boleh lagi dicitrakan sebagai

13

Page 14: Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

wilayah terpencil dan jauh dari sejahtera. Namun demikian, pemberdayaan di perbatasan

harus tetap mengacu pada karakteristik daerah dan berbasis kearifan lokal.

14