Memahami Dan Menjelaskan Anatomi Dan Fisiologi Nyeri

53
1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi dan Fisiologi Nyeri Neuroanatomi JALAN RAYA SENSORIK Berfungsi membawa informasi sensorik baik extroseptif dan propioseptif dari reseptor ke pusat sensorik sadar diotak. Informasi Ekstroseptif meliputi: Sakit Suhu (panas atau dingin) Sentuhan Tekanan Informasi Propioseptif meliputi: Keadaan otot sadar/otot lurik Keadaan sendi Keadaan ligamentum Untuk bisa mencapai pusat sadar pada GYRUS POSTCENTRALIS (area brodmann 3,2,1) maka semua informasi sensorik harus melewati sedikitnya 3 NEURON. 1. neuron orde pertama : terletak pada ganglion radix posterior s.ganglion spinale(ganglion adalah sel saraf yg terletak diluar susunan saraf pusat) dimana dendrite dari selsaraf tersebut datang dari reseptor, sedangkan axon-nya pergi memasuki medulla spinalisuntuk bersinapsis pada neuron orde kedua. 2. neuron orde kedua : pada cornu posterius medulla spinalis, axon-nya dapatmenyilang garis tengah atau langsung dalam columna lateralis pada sisi yang sama,selanjutnya dari medulla spinalis naik ke atas untuk bersinapsis pada neuron ordeketiga.

description

asdfg

Transcript of Memahami Dan Menjelaskan Anatomi Dan Fisiologi Nyeri

1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi dan Fisiologi NyeriNeuroanatomiJALAN RAYA SENSORIK

Berfungsi membawa informasi sensorik baik extroseptif dan propioseptif dari reseptor ke pusat sensorik sadar diotak.

Informasi Ekstroseptif meliputi: Sakit Suhu (panas atau dingin) Sentuhan Tekanan

Informasi Propioseptif meliputi: Keadaan otot sadar/otot lurik Keadaan sendi Keadaan ligamentum

Untuk bisa mencapai pusat sadar pada GYRUS POSTCENTRALIS (area brodmann 3,2,1) maka semua informasi sensorik harus melewati sedikitnya 3 NEURON.1. neuron orde pertama : terletak pada ganglion radix posterior s.ganglion spinale(ganglion adalah sel saraf

yg terletak diluar susunan saraf pusat) dimana dendrite dari selsaraf tersebut datang dari reseptor, sedangkan axon-nya pergi memasuki medulla spinalisuntuk bersinapsis pada neuron orde kedua.

2. neuron orde kedua : pada cornu posterius medulla spinalis, axon-nya dapatmenyilang garis tengah atau langsung dalam columna lateralis pada sisi yang sama,selanjutnya dari medulla spinalis naik ke atas untuk bersinapsis pada neuron ordeketiga.

3. neuron orde ketiga : pada thalamus, dimana axon-nya akan menuju pusat sensorik sadar pada gyrus postcentralis (area pusat sensorik-area brodmann 3,2,1)

JALAN RAYA SENSORIK YANG MENGANTARKAN SENSASI SAKIT DAN SUHU

Nama jalan : TRACTUS SPINOTHALAMICUS LATERALIS

Melewati medulla spinalis → medulla oblongata → pons → mesencephalon → diencephalon→ korteks cerebri1. Axon dari neuron orde pertama (ganglion spinale) memasuki ujung cornu posterius substansiagrissea

medulla spinalis dan segera bercabang Serabut yg naik Serabut yg turunSetelah masuk ke medulla spinalis, maka akan membentuk Traktus Posterolateral (Lissauri). Lalu

berlanjut ke neuron orde kedua yang terletak pada kelompok selsubstansia gelatinosa pada cornu posterius.Axon dari orde kedua menyilang garis tengah pada commisura anterior substansia grisseadan substansia alba, kemudian naik ke atas pada sisi kotralateral sebagai traktus spinothalamicus lateralis. Traktus tersebut berjalan medialis dari traktus spinocerebrallis anterius. Sewaktu jalan ke atas, serabut syaraf baru terus bertambah sesuai dengan banyaknya segmen medulla spinalis.

saraf berlanjut pada medulla oblongata, yaitu pada dataran lateral antara nucleus olivarius inferius dengan Nucleus tractus spinalis N. Trigeminus. Dan nantinya bergabung dengan

Tractus spinothalamicus anterius Tractus spinotectalis Ketiga tractus ini bersama-sama membentuk LEMNISCUS SPINALIS

2. berlanjut pada pons. Lemnicus spinalis naik ke atas dibagian belakang PONS3. berlanjut pada mesencephalon, Lemnicus spinalis jalan pada tegmentum , lateralis

dari Lemnicus medialis.4. diencephalon, serabut syaraf traktus spino thalamicus lateralis akan bersinapsis

denganneuron orde ketiga yaitu: Nucleus postlateral dari kelompok ventral thalamus (bagian darinucleus lateralis thalamus). DISINILAH TERJADI PENILAIAN KASAR SENSASISAKIT DAN SUHU DAN REAKSI EMOSI MULAI TIMBUL.

5. di Korteks cerebri, axon dari neuron orde ketiga memasuki Crus posterior capsula internadan Corona radiata untuk berakhir pada GYRUS POSTCENTRALIS (area brodmann 3,2,1) dari sini informasi sakit dan suhu akan diteruskan ke area MOTORIK dan areaasosiasi di cortex lobus parietale.

JALAN RAYA YANG MENGATUR SENSASI SENTUHAN RINGAN DAN TEKANAN

1. A x o n d a r i n e u r o n o r d e p e r t a m a ( g a n g l i o n s p i n a l e ) m e m a s u k i u j u n g c o r n u p o s t e r i u s s u b s t a n s i a grissea medulla spinalis dan segera bercabang 2:

Serabut yg naik Serabut yg turunSetelah masuk ke medulla spinalis, maka akan membentuk Traktus Posterolateral (Lissauri). Lalu

berlanjut ke neuron orde kedua yang terletak pada kelompok sel substansia gelatinosa cornu posterius substansia grissea.

Axon dari orde kedua menyilang garis tengah pada commisura anterior substansia grisseadan substansia alba, kemudian naik ke atas pada sisi kotralateral sebagai traktus spinothalamicus anterior. Traktus tsb berjalan medialis dari traktus spinocerebrallisanterius. Sewaktu jalan ke atas, serabut syaraf baru terus bertambah sesuai dengan banyaknya segmen medulla spinalis.

2. saraf berlanjut pada medulla oblongata, traktus spinothalamicus anterior nantinya bergabung dengan Tractus spinothalamicus lateralis & Tractus spinotectalis. Ketigatractus ini bersama-sama membentuk LEMNISCUS SPINALIS

3. Berlanjut ke PONS, MESENCEPHALON, DAN DIENCEPHALON. Lemniscus spinalis beriringan dengan Lemnicus Medialis bersinapsis pada neoron orde ketiga yaitu: Nucleus postlateral dari kelompok ventral thalamus (bagian dari nucleus lateralis thalamus). DISINILAH TERJADI PENILAIAN KASAR SENTUHAN DAN TEKANANMULAI DIINTERPRETASI.

4. Lanjut ke korteks cerebri, axon dari neuron orde ketiga memasuki Crus posteriorcapsula interna dan Corona radiata untuk berakhir pada GYRUS POSTCENTRALIS (area brodmann 3,2,1) dari sini sensasi sentuhan dan tekanan disadari.

JALAN RAYA PEMBEDAAN SENSASI DISKRIMINASI SENTUHAN, GETARAN SENDI/OTOT SADAR

NAMA JALAN : FASCICULUS GRACILIS DAN FASCICULUS CUNEATUS1. Jalan dalam medula spinalis memasuki cornu posterius substansia alba sisi yang

sama.Untuk segera bercabang 2 : CABANG TURUN

Jalan melewati beberapa segmen medulla spinalis sambil memberikan beberapa cabang collateral dan bersinapsis dengan neuron pada cornu posterius dan neuron pada cornu anterius pada segmen yang dilewati. Hubungan intersegmental iniberfungsi dalam refleks intersegmental.

CABANG NAIK Serabut sarafnya lebih panjang dan sebagian akan bersinapsis dengan neuron orde kedua pada cornu posterius dan anterius substansia grissea. Hubungan ini berperan dalam refleks intersegmental. Sebagian besar serabut saraf yang naik berjalan dalam columna posterius substansia alba sebagai:

Fasciculus gracilis Fasciculus cutaneus

2. J a l a n d a l a m m e d u l l a O b l o n g a t a Axon dari neuro orde pertama jalan keatas secara ipsilateral (tidak menyilang garistengah) dan bersinapsis dgn neuron orde kedua : nuclei gracilis dan nuclei cuneatus. Dari orde kedua akan membentuk serabut saraf disebut sebagai : fibra arcuata interna. Kemudian menyilang garis tengah membentuk decussiatio sensorik. Selanjutnya pergi ke dua tempat :

Ke cerebellum melalui pedunculus cerebelli inferior dan membantuk traktuscuneocerebellaris. Serabutnya sendiri mengelompok membentuk fibra arcuata eksterna. Fungsinya untuk mengirimkan informasi sensasi otot skelet dansensasi ke serebellum.

kepons3. Jalan ke pons, ke mesencephalon dan diencephalon setelah membentuk decussatio

(pada medulla oblongata saraf jalan ke atas sebagai lemniscus medialis untuk berakhir pada neuron orde ketiga: nuclei posterolateral dari kelompok ventral thalamus (bagian dari kelompok nuclei lateralis thalamus).

4. Ke korteks cerebri neuron orde ketiga melewati crus posterius capsula interna dan coronaradiata menuju gyrus postcentralis. DISINI BARU KITA MENYADARI PEMBEDAANSENSASI DISKRIMINASI SENTUHAN DAN GETARAN DARI SENDI ATAU OTOT SADAR.

JALA N RAYA SENSASI OTOT SADAR (OTOT LURIK) DAN SENDI KE CEREBELLUM ADA 3 JALAN :

1 . T R A K T U S S P I N O C E R E B E L L A R I S P O S T E R I U SAxon orde pertama memasuki medula spinalis pada collumna posterius substansiagrissea

untuk bersinapsis dengan neuron orde kedua: nucleus dorsalis (Clarki) yangterletak pada basis cornu posterius substansia grissea.Axon orde kedua memasuki poterolateral substansia alba pada sisi yang sama untuk naik keatas sebagai : TRAKTUS SPINOCEREBELLARIS POSTERIUS. Traktus spinocerebellaris posterius masuk ke peduncullus cerebellaris inferior untuk menuju corteks cerebellum.

FUNGSI : membawa informasi dari otot sadar dan sendi, terutama dari reseptor Muscle spindle dan reseptor yang ada di tendo, ligamentum dan capsula articularedari tubuh dan anggota badan.

2 . T R A K T U S S P I N O C E R E B E L L A R I S A N T E R I U SJalan dari medulla spinalis, axon Axon orde pertama memasuki medula spinalis

padacollumna posterius substansia grissea untuk bersinapsis dengan neuron orde kedua:nucleus dorsalis (Clarki) berlanjut menjadi traktus spinocerebellaris posterius danmasuk ke peduncullus cerebellaris superior dan berakhir pada korteks cerebella

FUNGSI : MEMBAWA INFORMASI DARI RESEPTOR MUSCLE SPINDLE DAN TENDO DARI ANGGOTA BADAN ATAS DAN BAWAH

3 . T R A K T U S C U N E O C E R E B E L L A R I SPusatnya di nucleus cuneatus. Perjalannya mulai dengan memasuki pedunculuscerebelli

inferior menuju corteks cerbelli. Disebut juga fibra arcuata externa posterius.

FUNGSI: MENERUSKAN INFORMASI DARI MUSCLE SPINDLE DANTENDO KE CEREBELLUM.

JALAN RAYA NAIK LAINNYA1 . T R A K T U S S P I N O T E C T A L I S

Neuron orde pertama memasuki cornu posterius dan bersinapsis dengan neuron orde kedua yang letaknya pada cornu posterius.

Dari neuron orde kedua jalan menyilang garis tengah kemudian naik ke atas pada anterolateral substansia alba sebagai traktus spinotektalis.

Beriringan dengan traktus spinothalamicus lateralis et anterius, kemudian bersama-sama membentuk LEMNISCUS SPINALIS dan menuju ke otak

FUNGSI : MEMBAWA INFORMASI UNTUK REFLEKS SPINOVISUAL DAN AKAN MENIMBULKAN GERAKAN BOLA MATA DAN KEPALA YANG MENUNUJUK KE ARAH DATANGNYA SUMBER STIMULI.

2 . T R A K T U S S P I N O R E T I C U L A R I S Neuron orde pertama memasuki cornu posterius dan bersinapsis dengan neuron orde kedua

yang letaknya pada cornu posterius. Dari neuron orde kedua jalan menyilang garis tengah kemudian naik ke atas pada

anterolateral substansia alba dan bercampur dengan traktus spinothalamicus Traktus spinoreticularis jalan pada sisi yang sama dan akan bersinapsis denganneuron orde

ketiga: formatio retikulare dimedulla oblongata, pons, danmesencephalon.FUNGSI : MEMBAWA INFORMASI TENTANG TINGKAT-TINGKATKESADARAN

3 . T R A K T U S S P I N O O L I V A R I U S Neuron orde pertama memasuki cornu posterius dan bersinapsis dengan neuronorde ke2

yang letaknya pada cornu posterius. Dari neuron orde ke2 jalan menyilang garis tengah dan naik ke atas antara cornuanterius

dengan cornu laterale substansia alba sebagai TRAKTUSSPINOOLIVARIUS.

Traktus spinoolivarius bersinapsis dengan neuron ketiga : nuclei olivariusinferius. Neuron orde ketiga menyilang garis tengah dan memasuki cerebellummelalui peduncullus cerebelli inferius untuk pergi ke korteks cerebellum.

FUNGSI : MEMBAWA INFORMASI EXTEROSEPTIF DAN PROPRIOSEPTIFKE CEREBELLUM.

JALAN RAYA VISCERALAxon orde pertama dari thorax dan abdomen memasuki cornu posterius untuk bersinapsisdengan

neuron orde kedua dalam substansia grissea. Kemudian axon pada orde kedua bergabung dengan traktus spinothalamicus untuk berakhir pada neuron orde ketiga : nuclei posterolateral dari kelompok ventral thalami. Axon neuron ketiga diduga pergi ke gyrus postcentralis (area Brodmann 3,2,1)

FUNGSI : INFORMASI PRESSORECEPTOR DARI TUNICA MUCOSA RECTUM DAN VESICA URINARIA UNTUK KEPERLUAN DAFAECATIO DAN MIXTIO.

Fisiologi nyeri

MEKANISME NYERI

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.

Sensitisasi PeriferCidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada

akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

Sensitisasi SentralSama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat

mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.

Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.

NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produkproduknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

Proses Transmisi Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-

delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf

disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

Proses Modulasi Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak).

Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

PersepsiHasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang

pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.

KLASIFIKASI NYERI

Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan, kanker).

Nyeri Akut dan KronikNyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah nosiseptor

kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat.Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit

Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri.

Nosiseptif dan Nyeri NeuropatikNyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri

inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid.

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid.

Nyeri Viseral

Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otototot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.

Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan.

Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat sensitif pada nyeri.

Nyeri Somatik

Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak

Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah.

PENILAIAN NYERI

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.

Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini :1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale:

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-

anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

2. Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

3. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

4. Visual Analogue Scale (VAS)

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue

analgetic).

PENANGANAN NYERIPenanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain

pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).

2.8.1 Farmakologis Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral parenteral, blok

saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal.Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur dan

pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan.

2. Memahami dan Menjelaskan Nyeri Kepala1. Definisi

Nyeri kepala adalah rasa sakit atau tidak nyaman antara orbita dengan kepala yang berasal dari struktur sensitif terhadap rasa sakit ( sumber : Neurology and neurosurgery illustrated Kenneth).

2. Epidemiologi

Faktor resiko terjadinya sakit kepala adalah gaya hidup, kondisi penyakit, jenis kelamin, umur, pemberian histamin atau nitrogliserin sublingual dan faktor genetik. Prevalensi sakit kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%) atau 45 juta orang menderita sakit kepala kronik dan 20 juta dari 45 juta tersebut merupakan wanita. 75 % dari jumlah di atas adalah tipe tension headache yang berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar dan bekerja sebanyak 62,7 %. Menurut IHS, migren sering terjadi pada pria dengan usia 12 tahun sedangkan pada wanita, migren sering terjadi pada usia besar dari 12 tahun. IHS juga mengemukakan cluster headaache 80 – 90 % terjadi pada pria dan prevalensi sakit kepala akan meningkat setelah umur 15 tahun.

3. Etiologi

Sakit kepala bisa disebabkan oleh kelainan: (1) vaskular, (2) jaringan saraf, (3) gigi –geligi, (4) orbita, (5) hidung dan (6) sinus paranasal, (7) jaringan lunak di kepala, kulit, jaringan subkutan, otot, dan periosteum kepala. Selain kelainan yang telah disebutkan diatas, sakit kepala dapat disebabkan oleh stress dan perubahan lokasi (cuaca, tekanan, dll.).

4. Klasifikasi

Nyeri kepala dapat diklasifikasikan menjadi sakit kepala primer, sakit kepalasekunder, dan neuralgia kranial, nyeri fasial serta sakit kepala lainnya. Nyeri kepala primer dapat dibagi menjadi migraine, tension type headache, cluster headache dengan sefalgia trigeminal/autonomik, dan nyeri kepala primer lainnya. Nyeri kepala sekunder dapat dibagi menjadi sakit kepala yang disebabkan oleh karena trauma pada kepala dan

leher, nyeri kepala akibat kelainan vaskular kranial dan servikal, nyeri kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular intrakranial, nyeri kepala akibat adanya zat atau withdrawal, sakit kepala akibat infeksi, sakit kepala akibat gangguan homeostasis, nyeri kepala atau nyeri pada wajah akibat kelainan kranium, leher, telinga, hidung, dinud, gigi, mulut atau struktur lain di kepala dan wajah, nyeri kepala akibat kelainan psikiatri.

A. MigrenDefinisi Migren

Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri kepala dengan serangan nyeri yang berlansung 4 – 72 jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang samapai berat dan diperhebat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual muntah, fotofobia dan fonofobia.

Etiologi dan Faktor Resiko MigrenEtiologi migren adalah sebagai berikut : (1) perubahan hormon (65,1%), penurunan konsentrasi

esterogen dan progesteron pada fase luteal siklus menstruasi, (2) makanan (26,9%), vasodilator (histamin seperti pada anggur merah, natrium nitrat), vasokonstriktor (tiramin seperti pada keju, coklat, kafein), zat tambahan pada makanan (MSG), (3) stress (79,7%), (4) rangsangan sensorik seperti sinar yang terang menyilaukan(38,1%) dan bau yang menyengat baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, (5) faktor fisik seperti aktifitas fisik yang berlebihan (aktifitas seksual) dan perubahan pola tidur, (6) perubahan lingkungan (53,2%), (7) alkohol (37,8%), (7) merokok (35,7%). Faktor resiko migren adalah adanya riwayat migren dalam keluarga, wanita, dan usia muda.

Epidemiologi MigrenMigren terjadi hampir pada 30 juta penduduk Amerika Serikat dan 75 % diantaranya adalah wanita.

Migren dapat terjadi pada semua usia tetapi biasanya muncul pada usia 10 – 40 tahun dan angka kejadiannya menurun setelah usia 50 tahun. Migren tanpa aura lebih sering diabndingkan migren yang disertai aura dengan persentasi 9 : 1.

Klasifikasi MigrenMigren dapat diklasifikasikan menjadi migren dengan aura, tanpa aura, dan migren kronik

(transformed). Migren dengan aura adalah migren dengan satu atau lebih aura reversibel yang mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi batang otak, paling tidak ada satu aura yang terbentuk berangsur – angsur lebih dari 4 menit, aura tidak bertahan lebih dari 60 menit, dan sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit. Migren tanpa aura adalah migren tanpa disertai aura klasik, biasanya bilateral dan terkena pada periorbital. Migren kronik adalah migren episodik yang tampilan klinisnya dapat berubah berbulan- bulan sampai bertahun- tahun dan berkembang menjadi sindrom nyeri kepala kronik dengan nyeri setiap hari.

Patofisiologi MigrenTerdapat berbagai teori yang menjelaskan terjadinya migren. Teori vaskular, adanya gangguan

vasospasme menyebabkan pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga terjadi hipoperfusi otak yang dimulai pada korteks visual dan menyebar ke depan. Penyebaran frontal berlanjuta dan menyebabkan fase nyeri kepala dimulai. Teori cortical spread depression, dimana pada orang migrain nilai ambang saraf menurun sehingga mudah terjadi eksitasi neuron lalu berlaku short-lasting wave depolarization oleh pottasium-liberating depression (penurunan pelepasan kalium) sehingga menyebabkan terjadinya periode depresi neuron yang memanjang. Selanjutnya, akan terjadi penyebaran depresi yang akan menekan aktivitas neuron ketika melewati korteks serebri.

Teori Neovaskular (trigeminovascular), adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan produksi NO akan merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga melepaskan CGRP (calcitonin gene related). CGRP akan berikatan pada reseptornya di sel mast meningens dan akan merangsang pengeluaran mediator inflamasi sehingga menimbulkan inflamasi neuron. CGRP juga bekerja pada arteri serebral dan otot polos yang akan mengakibatkan peningkatan aliran darah. Selain itu, CGRP akan bekerja pada post junctional site second order neuron yang bertindak sebagai transmisi impuls nyeri.

Teori sistem saraf simpatis, aktifasi sistem ini akan mengaktifkan lokus sereleus sehingga terjadi peningkatan kadar epinefrin. Selain itu, sistem ini juga mengaktifkan nukleus dorsal rafe sehingga terjadi peningkatan kadar serotonin. Peningkatan kadar epinefrin dan serotonin akan menyebabkan konstriksi dari pembuluh darah lalu terjadi penurunan aliran darah di otak. Penurunan aliran darah di otak akan merangsang serabut saraf trigeminovaskular. Jika aliran darah berkurang maka dapat terjadi aura. Apabila terjadi penurunan kadar serotonin maka akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial yang akan menyebabkan nyeri kepala pada migren.

Diagnosa MigrenAnamnesa riwayat penyakit dan ditegakkan apabila terdapat tanda – tanda khas migren. Kriteria

diagnostik IHS untuk migren dengan aura mensyaratkan bahwa harus terdapat paling tidak tiga dari empat karakteristik berikut : (1) migren dengan satu atau lebih aura reversibel yang mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi batang otak, (2) paling tidak ada satu aura yang terbentuk berangsur – angsur lebih dari 4 menit, (3) aura tidak bertahan lebih dari 60 menit, (4) sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit

Kriteria diagnostik IHS untuk migren tanpa aura mensyaratkan bahwa harus terdapat paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memenuhi kriteria berikut : (a) berlangsung 4 – 72 jam, (b) paling sedikit memenuhi dua dari : (1) unilateral , (2) sensasi berdenyut, (3) intensitas sedang berat, (4) diperburuk oleh aktifitas, (3) bisa terjadi mual muntah, fotofobia dan fonofobia.

Pemeriksaan Penunjang MigrenPemeriksaan untuk menyingkirkan penyakit lain ( jika ada indikasi) adalah pencitraan ( CT scan dan

MRI) dan punksi lumbal.

Diferensial diagnosa MigrenDiferensial diagnosa migren adalah malformasi arteriovenus, aneurisma serebri, glioblastoma,

ensefalitis, meningitis, meningioma, sindrom lupus eritematosus, poliarteritis nodosa, dan cluster headache.

Terapi MigrenTujuan terapi migren adalah membantu penyesuaian psikologis dan fisiologis, mencegah berlanjutnya

dilatasi ekstrakranial, menghambat aksi media humoral ( misalnya serotonin dan histamin), dan mencegah vasokonstriksi arteri intrakranial untuk memperbaiki aliran darah otak.

Terapi tahap akut adalah ergotamin tatrat, secara subkutan atau IM diberikan sebanyak 0,25 – 0,5 mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/24 jam. Secara oral atau sublingual dapat diberikan 2 mg segera setelah nyeri timbul. Dosis tidak boleh melewati 10 mg/minggu. Dosis untuk pemberian nasal adalah 0,5 mg (sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati 2 mg (4 semprotan). Kontraindikasi adalah sepsis, penyakit pembuluh darah, trombofebilitis, wanita haid, hamil atau sedang menggunakan pil anti hamil. Pada wanita hamil, haid atau sedang menggunakan pil anti hamil berikan pethidin 50 mg IM. Pada penderita penyakit jantung iskemik gunakan pizotifen 3 sampai 5 kali 0,5 mg sehari. Selain ergotamin juga bisa obat – obat lain (lihat tabel 6). Terapi profilaksis menggunakan metilgliserid malead, siproheptidin hidroklorida, pizotifen, dan propanolol. Selain menggunakan obat – obatan, migren dapat diatasi dengan menghindari aktor penyebab, manajemen lingkungan, memperkirakan siklus menstruasi, yoga, meditasi, dan hipnotis.

Komplikasi MigrenKomplikasi Migren adalah rebound headache, nyeri kepala yang disebabkan oleh penggunaan obat –

obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.Pencegahan Migren

Pencegahan migren adalah dengan mencegah kelelahan fisik, tidur cukup, mengatasi hipertensi, menggunakan kacamata hitam untuk menghindari cahaya matahari, mengurangi makanan (seperti keju, coklat, alkohol, dll.), makan teratur, dan menghindari stress.

B. Tension type headache

Definisi Tension Type Headache (TTH)Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus otot- otot kepala dan

tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis, M.maseter, M.sternokleidomastoid, M.trapezius, M.servikalis posterior, dan M.levator skapula).

Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH)Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress, depresi, bekerja dalam posisi

yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata, kontraksi otot yang berlebihan, berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan neurotransmitter seperti dopamin, serotonin, noerpinefrin, dan enkephalin.

Epidemiologi Tension Type Headache (TTH)TTH terjadi 78 % sepanjang hidup dimana Tension Type Headache episodik terjadi 63 % dan Tension

Type Headache kronik terjadi 3 %. Tension Type Headache episodik lebih banyak mengenai pasien wanita yaitu sebesar 71% sedangkan pada pria sebanyak 56 %. Biasanya mengenai umur 20 – 40 tahun.

Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)Klasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan Tension Type Headache kronik.

Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak mencapai 15 hari setiap bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat berlangsung selama 30 menit – 7 hari. Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan.

Patofisiologi Tension Type Headache (TTH)Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literatur dan hasil penelitian disebutkan

beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya TTH sebagai berikut : (1) disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem saraf perifer dimana disfungsi sistem saraf perifer lebih mengarah pada ETTH sedangkan disfungsi sistem saraf pusat mengarah kepada CTTH, (2) disfungsi saraf perifer meliputi kontraksi otot yang involunter dan permanen tanpa disertai iskemia otot, (3) transmisi nyeri TTH melalui nukleus trigeminoservikalis pars kaudalis yang akan mensensitasi second order neuron pada nukleus trigeminal dan kornu dorsalis ( aktivasi molekul NO) sehingga meningkatkan input nosiseptif pada jaringan perikranial dan miofasial lalu akan terjadi regulasi mekanisme perifer yang akan meningkatkan aktivitas otot perikranial. Hal ini akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter pada jaringan miofasial, (4) hiperflesibilitas neuron sentral nosiseptif pada nukleus trigeminal, talamus, dan korteks serebri yang diikuti hipesensitifitas supraspinal (limbik) terhadap nosiseptif. Nilai ambang deteksi nyeri ( tekanan, elektrik, dan termal) akan menurun di sefalik dan ekstrasefalik. Selain itu, terdapat juga penurunan supraspinal decending pain inhibit activity, (5) kelainan fungsi filter nyeri di batang otak sehingga menyebabkan kesalahan interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri, (6) terdapat hubungan jalur serotonergik dan monoaminergik pada batang otak dan hipotalamus dengan terjadinya TTH. Defisiensi kadar serotonin dan noradrenalin di otak, dan juga abnormal serotonin platelet, penurunan beta endorfin di CSF dan penekanan eksteroseptif pada otot temporal dan maseter, (7) faktor psikogenik ( stres mental) dan keadaan non-physiological motor stress pada TTH sehingga melepaskan zat iritatif yang akan menstimulasi perifer dan aktivasi struktur persepsi nyeri supraspinal lalu modulasi nyeri sentral. Depresi dan ansietas akan meningkatkan frekuensi TTH dengan mempertahankan sensitisasi sentral pada jalur transmisi nyeri, (8) aktifasi NOS ( Nitric Oxide Synthetase) dan NO pada kornu dorsalis.

Pada kasus dijumpai adanya stress yang memicu sakit kepala. Ada beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut yaitu (1) adanya stress fisik (kelelahan) akan menyebabkan pernafasan hiperventilasi sehingga kadar CO2 dalam darah menurun yang akan mengganggu keseimbangan asam basa dalam darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis yang selanjutnya akan mengakibatkan ion kalsium masuk ke dalam sel dan menimbulkan kontraksi otot yang berlebihan sehingga terjadilah nyeri kepala. (2) stress mengaktifasi saraf simpatis sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah otak selanjutnya akan mengaktifasi nosiseptor lalu aktifasi aferen gamma trigeminus yang akan menghasilkan neuropeptida (substansi P).

Neuropeptida ini akan merangsang ganglion trigeminus (pons). (3) stress dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu alarm reaction, stage of resistance, dan stage of exhausted. Alarm reaction dimana stress menyebabkan vasokontriksi perifer yang akan mengakibatkan kekurangan asupan oksigen lalu terjadilah metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob akan mengakibatkan penumpukan asam laktat sehingga merangsang pengeluaran bradikinin dan enzim proteolitik yang selanjutnya akan menstimulasi jaras nyeri. Stage of resistance dimana sumber energi yang digunakan berasal dari glikogen yang akan merangsang peningkatan aldosteron, dimana aldosteron akan menjaga simpanan ion kalium. Stage of exhausted dimana sumber energi yang digunakan berasal dari protein dan aldosteron pun menurun sehingga terjadi deplesi K+. Deplesi ion ini akan menyebabkan disfungsi saraf.

Diagnosa Tension Type Headache (TTH)Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang – kurangnya dua dari berikut ini : (1)

adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan – sedang, (3) lokasi bilateral, (4) tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada salah satu dari fotofobia dan fonofobia.

Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan- sedang – berat, tumpul seperti ditekan atau diikat, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit kepala, oksipital, dan belakang leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress, insomnia, kelelahan kronis, iritabilitas, gangguan konsentrasi, kadang vertigo, dan rasa tidak nyaman pada bagian leher, rahang serta temporomandibular.

Pemeriksaan Penunjang Tension Type Headache (TTH): Tidak ada uji spesifik untuk mendiagnosis TTH dan pada saat dilakukan pemeriksaa neurologik tidak ditemukan kelainan apapun. TTH biasanya tidak memerlukan pemeriksaan darah, rontgen, CT scan kepala maupun MRI.

Diferensial Diagnosa Tension Type Headache (TTH)Diferensial Diagnosa dari TTH adalah sakit kepala pada spondilo-artrosis deformans, sakit kepala

pasca trauma kapitis, sakit kepala pasca punksi lumbal, migren klasik, migren komplikata, cluster headache, sakit kepala pada arteritis temporalis, sakit kepala pada desakan intrakranial, sakit kepala pada penyakit kardiovasikular, dan sakit kepala pada anemia.

Terapi Tension Type Headache (TTH)Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing untuk mengetahui arti dari

relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage, dan/ atau latihan biofeedback. Pengobatan farmakologi adalah simpel analgesia dan/atau mucles relaxants. Ibuprofen dan naproxen sodium merupakan obat yang efektif untuk kebanyakan orang. Jika pengobatan simpel analgesia (asetaminofen, aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital dan kafein ( dalam bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah efektifitas pengobatan.

Prognosis dan Komplikasi Tension Type Headache (TTH)TTH pada kondisi dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan tetapi tidak membahayakan.Nyeri ini

dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan menyelesaikan masalah yang menjadi latar belakangnya jika penyebab TTH berupa pengaruh psikis. Nyeri kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa analgesia. TTh biasanya mudah diobati sendiri. Progonis penyakit ini baik, dan dengan penatalaksanaan yang baik maka > 90 % pasien dapat disembuhkan.

Komplikasi TTH adalah rebound headache yaitu nyeri kepala yang disebabkan oleh penggunaan obat – obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.

Pencegahan Tension Type Headache (TTH)Pencegahan TTH adalah dengan mencegah terjadinya stress dengan olahraga teratur, istirahat yang cukup, relaksasi otot (massage, yoga, stretching), meditasi, dan biofeedback. Jika penyebabnya adalah kecemasan atau depresi maka dapat dilakukan behavioral therapy. Selain itu, TTH dapat dicegah dengan mengganti bantal atau mengubah posisi tidur dan mengkonsumsi makanan yang sehat.

C. Cluster headache

DefinisiCluster headache adalah suatu sindrom idiopatik yang terdiri dari serangan yang jelas dan berulang dari suatu nyeri periorbital unilateral yang mendadak dan parah. PatofisiologiPatofisiologi dari cluster headache belum sepenuhnya dimengerti. Periodisitasnya dikaitkan dengan pengaruh hormon pada hipotalamus (terutama nukleus suprachiasmatik). Baru-baru ini neuroimaging fungsional dengan positron emision tomografi (PET) dan pencitraan anatomis dengan morfometri voxel-base telah mengidentifikasikan bagian posterior dari substansia grisea dari hipotalamus sebagai area kunci dasar kerusakan pada cluster headache.

Nyeri pada cluster headache diperkirakan dihasilkan pada tingkat kompleks perikarotid atau sinus kavernosus. Daerah ini menerima impuls simpatis dan parasimpatis dari batang otak, mungkin memperantarai terjadinya fenomena otonom pada saat serangan. Peranan pasti dari faktor-faktor imunologis dan vasoregulator, sebagaimana pengaruh hipoksemia dan hipokapnia pada cluster headache masih kontroversial. PenyebabPenyebab cluster headache masih belum diketahui. Cluster headache sepertinya tidak berkaitan dengan penyakit lainnya pada otak.

Berdasarkan jangka waktu periode cluster dan periode remisi, international headache society telah mengklasifikasikan cluster headache menjadi dua tipe :1. Episodik, dalam bentuk ini cluster headache terjadi setiap hari selama satu minggu sampai satu tahun diikuti oleh remisi tanpa nyeri yang berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun sebelum berkembangnya periode cluster selanjutnya.2. Kronik, dalam bentuk ini cluster headache terjadi setiap hari selama lebih dari satu tahun dengan tidak ada remisi atau dengan periode tanpa nyeri berlangsung kurang dari dua minggu.

Sekitar 10 sampai 20 % orang dengan cluster headache mempunyai tipe kronik. Cluster headache kronik dapat berkembang setelah suatu periode serangan episodik atau dapat berkembang secara spontan tanpa di dahului oleh riwayat sakit kepala sebelumnya. Beberapa orang mengalami fase episodik dan kronik secara bergantian.

Para peneliti memusatkan pada mekanisme yang berbeda untuk menjelaskan karakter utama dari cluster headache. Mungkin terdapat riwayat keluarga dengan cluster headache pada penderita, yang berarti ada kemungkinan faktor genetik yang terlibat. Beberapa faktor dapat bekerja sama menyebabkan cluster headache.

Pemicu Cluster Headache : Tidak seperti migraine dan sakit kepala tipe tension, cluster headache umumnya tidak berkaitan dengan pemicu seperti makanan, perubahan hormonal atau stress. Namun pada beberapa orang dengan cluster headache adalah merupakan peminum berat dan perokok berat. Setelah periode cluster dimulai, konsumsi alkohol dapat memicu sakit kepala yang sangat parah dalam beberapa menit. Untuk alasan ini banyak orang dengan cluster headache menjauhkan diri dari alkohol selama periode cluster. Pemicu lainnya adalah penggunaan obat-obatan seperti nitrogliserin, yang digunakan pada pasien dengan penyakit jantung.

Permulaan periode cluster seringkali setelah terganggunya pola tidur yang normal, seperti pada saat liburan atau ketika memulai pekerjaan baru atau jam kerja yang baru. Beberapa orang dengan cluster headache juga mengalami apnea pada saat tidur, suatu kondisi dimana terjadinya kolaps sementara pada dinding tenggorokan sehingga menyumbat jalan nafas berulang kali pada saat tidur.

Peningkatan Sensitivitas dari Jalur SarafNyeri yang sangat pada cluster headache berpusat di belakang atau di sekitar mata, di suatu daerah yang dipersarafi oleh nervus trigeminus, suatu jalur nyeri utama. Rangsangan pada saraf

ini menghasilkan reaksi abnormal dari arteri yang menyuplai darah ke kepala. Pembuluh darah itu akan berdilatasi dan menyebabkan nyeri.

Beberapa gejala dari cluster headache seperti mata berair, hidung tersumbat dan atau berair, serta kelopak mata yang sulit diangkat melibatkan sistem saraf otonom. Saraf yang merupakan bagian dari sistem ini membentuk suatu jalur pada dasar otak. Ketika saraf trigeminus di aktivasi, menyebabkan nyeri pada mata, sistem saraf otonom juga diaktivasi dengan apa yang disebut refleks trigeminal otonom. Para peneliti percaya bahwa masih ada proses yang belum diketahui yang melibatkan peradangan atau aktivitas pembuluh darah abnormal pada daerah ini yang mungkin terlibat menyebabkan sakit kepala.

Fungsi Abnormal dari HipotalamusSerangan cluster biasanya terjadi dengan pengaturan seperti jam 24 jam sehari. Siklus periode cluster seringkali mengikuti pola musim dalam satu tahun. Pola ini menunjukkan bahwa jam biologis tubuh ikut terlibat. Pada manusia jam biologis terletak pada hipotalamus yang berada jauh di dalam otak. Dari banyak fungsi hipotalamus, bagian ini mengontrol siklus tidur bangun dan irama internal lainnya. Kelainan hipotalamus mungkin dapat menjelaskan adanya pengaturan waktu dan siklus pada cluster headache. Penelitian telah menemukan peningkatan aktivitas di dalam hipotalamus selama terjadinya cluster headache. Peningkatan aktivitas ini tidak ditemukan pada orang-orang dengan sakit kepala lainnya seperti migraine.

Penelitian juga menemukan bahwa orang-orang yang mempunyai tingkat hormon tertentu yang abnormal, termasuk melatonin dan testoteron, kadar hormon tersebut meningkat pada periode cluster. Perubahan hormon-hormon tersebut dipercayai karena ada masalah pada hipotalamus. Peneliti lainnya menemukan bahwa orang-orang dengan cluster headache mempunyai hipotalamus yang lebih besar daripada mereka yang tidak memiliki cluster headache. Namun masih belum diketahui mengapa bisa terjadi kelainan-kelainan semacam itu.

Tanda dan GejalaCluster headache menyerang dengan cepat, biasanya tanpa peringatan. Dalam hitungan menit nyeri yang sangat menyiksa berkembang. Rasa nyeri tersebut biasanya berkembang pada sisi kepala yang sama pada periode cluster, dan terkadang sakit kepala menetap pada sisi tersebut seumur hidup pasien. Jarang sekali rasa nyeri berpindah ke sisi lain kepala pada periode cluster selanjutnya. Jauh lebih jarang lagi rasa nyeri berpindah-pindah setiap kali terjadi serangan.

Rasa nyeri pada cluster headache seringkali digambarkan sebagai suatu nyeri yang tajam, menusuk, atau seperti terbakar. Orang-orang dengan kondisi ini mengatakan bahwa rasa sakitnya seperti suatu alat pengorek yang panas ditusukkan pada mata atau seperti mata di dorong keluar dari tempatnya.

Tanda dan gejala lainnya yang mungkin bersamaan dengan cluster headache antara lain :a. Lubang hidung tersumbat atau berair pada sisi kepala yang terserang.b. Kemerahan pada muka.c. Bengkak di sekitar mata pada sisi wajah yang terkena.d. Ukuran pupil mengecil.e. Kelopak mata sulit untuk dibuka.

Tanda dan gejala tersebut hanya terjadi selama masa serangan. Namun demikina pada beberapa orang kelopak mata yang sulit ditutup dan mengecilnya ukuran pupil tetap ada lama setelah periode serangan. Beberapa gejala-gejala seperti migraine termasuk mual, fotofobia dan fonofobia, serta aura dapat terjadi pada cluster headache.

Karakteristik Periode ClusterSuatu periode cluster umumnya berlangsung antara 2 sampai 12 minggu. Periode cluster kronik dapat berlanjut lebih dari satu tahun. Tanggal permulaan dan jangka waktu dari tiap-tiap periode cluster seringkali dengan sangat mengagumkan konsisten dari waktu ke waktu. Untuk kebanyakan orang, periode

cluster dapat terjadi musiman, sperti tiap kali musim semi atau tiap kali musim gugur. Adalah biasa untuk cluster bermula segera setelah salah satu titik balik matahari. Seiring dengan waktu periode cluster dapat menjadi lebih sering, lebih sulit untuk diramalkan, dan lebih lama.

Selama periode cluster, sakit kepala biasanya terjadi tiap hari, terkadang beberapa kali sehari. Suatu serangan tunggal rata-rata berlangsung 45 sampai 90 menit. Serangan terjadi pada waktu yang sama dalam tiap 24 jam. Serangan pada malam hari lebih sering daripada siang hari, seringkali berlangsung 90 menit sampai 3 jam setelah tertidur. Waktu tersering terjadinya serangan adalah antara jam satu sampai jam dua pagi, antara jam satu sampai jam tiga siang dan sekitar jam sembilan malam.

Cluster headache dapat menakutkan penderita serta orang-orang di sekitarnya. Serangan yang sangat membuat lemah sepertinya tak tertahankan. Namun nyerinya seringkali hilang mendadak sebagaimana ia di mulai, dengan intensitas yang menurun secara cepat. Setelah serangan, kebanyakan orang bebas sepenuhnya dari rasa sakit namun mengalami kelelahan. Kesembuhan sementara selama periode cluster dapat berlangsung beberapa jam sampai sehari penuh sebelum serangan selanjutnya.

DiagnosisCluster headache mempunyai ciri khas tipe nyeri dan pola serangan. Suatu diagnosis tergantung kepada gambaran dari serangan, termasuk nyeri, lokasi dan keparahan sakit kepala, dan gejala-gejala lainnya yang terkait. Frekuensi dan lama waktu terjadinya sakit kepala juga merupakan faktor yang penting. Keterlibatan fenomena otonom yang jelas adalah sangat penting pada cluster headache. Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah rinorea dan hidung tersumbat ipsilateral, lakrimasi, hiperemi pada konjungtiva, diaforesis pada wajah, edema pada palpebra dan sindrom Horner parsial atau komplit, takikardia juga sering ditemukan. Pemeriksaan neurologis dapat membantu untuk mendeteksi tanda-tanda dari cluster headache. Terkadang pupil terlihat lebih kecil atau palpebra terjatuh bahkan diantara serangan.

Cluster headache adalah suatu diagnosis klinis, pada kasus-kasus yang jarang lesi struktural dapat menyerupai gejala-gejala dari cluster headache, menegaskan perlunya pemeriksaan neuroimaging. Uji yang dilakukan adalah CT- Scan dan MRI.

Diagnosis Banding Anisocoria Atypical Facial Pain Basilar Artery Thrombosis Brainstem Gliomas Cavernous Sinus Syndromes Chronic Paroxysmal Hemicrania Craniopharyngioma Headache: Pediatric Perspective Intracranial Hemorrhage Migraine Headache Migraine Variants Pituitary Tumors Postherpetic Neuralgia Subarachnoid Hemorrhage Temporomandibular Joint Syndrome Tolosa-Hunt Syndrome Trigeminal Neuralgia

TerapiTidak ada terapi untuk menyembuhkan cluster headache. Tujuan dari pengobatan adalah menolong menurunkan keparahan nyeri dan memperpendek jangka waktu serangan. Obat-obat yang digunakan untuk cluster headache dapat dibagi menjadi obat-obat simtomatik dan profilaktik. Obta-obat simtomatik bertujuan untuk menghentikan atau mengurangi rasa nyeri setelah terjadi serangan cluster headache,

sedangkan obat-obat profilaktik digunakan untuk mengurangi frekuensi dan intensitas eksaserbasi sakit kepala.

Karena sakit kepala tipe ini meningkat dengan cepat pengobatan simtomatik harus mempunyai sifat bekerja dengan cepat dan dapat diberikan segera, biasanya menggunakan injeksi atau inhaler daripada tablet per oral. Pengobatan simtomatik termasuk :

1. Oksigen. Menghirup oksigen 100 % melalui sungkup wajah dengan kapasitas 7 liter/menit memberikan kesembuhan yang baik pada 50 sampai 90 % orang-orang yang menggunakannya. Terkadang jumlah yang lebih besar dapat lebih efektif. Efek dari penggunaannya relatif aman, tidak mahal, dan efeknya dapat dirasakan setelah sekitar 15 menit. Kerugian utama dari penggunaan oksdigen ini adalah pasien harus membawa-bawa tabung oksigen dan pengaturnya, membuat pengobatan dengan cara ini menjadi tidak nyaman dan tidak dapat di akses setiap waktu. Terkadang oksigen mungkin hanya menunda daripada menghentikan serangan dan rasa sakit tersebut akan kembali.2. Sumatriptan. Obat injeksi sumatriptan yang biasa digunakan untuk mengobati migraine, juga efektif digunakan pada cluster headache. Beberapa orang diuntungkan dengan penggunaan sumatriptan dalam bentuk nasal spray namun penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk menentukan keefektifannya.3. Ergotamin. Alkaloid ergot ini menyebabkan vasokontriksi pada otot-otot polos di pembuluh darah otak. Tersedia dalam bentuk injeksi dan inhaler, penggunaan intra vena bekerja lebih cepat daripada inhaler dosis harus dibatasi untuk mencegah terjadinya efek samping terutama mual, serta hati-hati pada penderita dengan riwayat hipertensi.4. Obat-obat anestesi lokal. Anestesi lokal menstabilkan membran saraf sehingga sel saraf menjadi kurang permeabel terhadap ion-ion. Hal ini mencegah pembentukan dan penghantaran impuls saraf, sehingga menyebabkan efek anestesi lokal. Lidokain intra nasal dapat digunakan secara efektif pada serangan cluster headache. Namun harus berhati-hati jika digunakan pada pasien-pasien dengan hipoksia, depresi pernafasan, atau bradikardi.

Obat-obat profilaksis :1. Anti konvulsan. Penggunaan anti konvulsan sebagai profilaksis pada cluster headache telah dibuktikan pada beberapa penelitian yang terbatas. Mekanisme kerja obat-obat ini untuk mencegah cluster headache masih belum jelas, mungkin bekerja dengan mengatur sensitisasi di pusat nyeri. 2. Kortikosteroid. Obat-obat kortikosteroid sangat efektif menghilangkan siklus cluster headache dan mencegah rekurensi segera. Prednison dosis tinggi diberikan selam beberapa hari selanjutnya diturunkan perlahan. Mekanisme kerja kortikosteroid pada cluster headache masih belum diketahui.

Pembedahan Pembedahan di rekomendasikan pada orang-orang dengan cluster headache kronik yang tidak merespon dengan baik dengan pengobatan atau pada orang-orang yang memiliki kontraindikasi pada obat-obatan yang digunakan. Seseorang yang akan mengalami pembedahan hanyalah yang mengalami serangan pada satu sisi kepal saja karena operasi ini hanya bisa dilakukan satu kali. Orang-orang yang mengalami serangan berpindah-pindah dari satu sisi ke sisi yang lain mempunyai resiko kegagalan operasi.

Ada beberapa tipe pembedahan yang dapat dilakukan untuk mengobati cluster headache. Prosedur yang dilakukan adalah merusak jalur saraf yang bertanggungjawab terhadap nyeri.

Blok saraf invasif ataupun prosedur bedah saraf non-invasif (contohnya radio frekuensi pericutaneus, gangliorhizolisis trigeminal, rhizotomi) telah terbukti berhasil mengobati cluster headache. Namun demikian terjadi efek samping berupa diastesia pada wajah, kehilangan sensoris pada kornea dan anestesia dolorosa.

Pembedahan dengan menggunakan sinar gamma sekarang lebih sering digunakan karena kurang invasif. Metode baru dan menjanjikan adalah penanaman elektroda perangsang dengan menggunakan penunjuk jalan stereostatik di bagian inferior hipotalamus. Penelitian menunjukkan bahwa perangsangan

hipotalamus pada pasien dengan cluster headache yang parah memberikan kesembuhan yang komplit dan tidak ada efek samping yang signifikan.

Pencegahan Karena penyebab dari cluster headache masih belum diketahui dengan pasti kita belum bisa mencegah terjadinya serangan pertama. Namun kita dapat mencegah sakit kepala ulangan yang lebih berat. Penggunaan obat-obat preventif jangka panjang lebih menguntungkan dari yang jangka pendek. Obat-obat preventif jangka panjang antara lain adalah penghambat kanal kalsium dan kanal karbonat. Sedangakan yang jangka pendek termasuk diantaranya adalah kortikosteroid, ergotamin dan obat-obat anestesi lokal. Menghindari alkohol dan nikotin dan faktor resiko lainnya dapat membantu mengurangi terjadinya serangan.

Prognosis 80 % pasien dengan cluster headache berulang cenderung untuk mengalami serangan berulang. Cluster headache tipe episodik dapat berubah menjadi tipe kronik pada 4 sampai13 % penderita. Remisi spontan dan bertahan lama terjadi pada 12 % penderita, terutama pada cluster headache tipe episodik. Umumnya cluster headache adalah masalah seumur hidup. Onset lanjut dari gangguan ini teruama pada pria dengan riwayat cluster headache tipe episodik mempunyai prognosa lebih buruk.

a. Patofisiologi

Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminal sentral.

lnervasi sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari ganglion trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptid dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar adalah CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2) bradikinin, serotonin(5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor2. Khusus untuk nyeri kepala klaster clan chronic parox-ysmal headache ada lagi pelepasan VIP (vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya gejala nasal congestion dan rhinorrhea. Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri adalah opioid dynorphin, sensory neuron-specific sodium channel(Nav 1.8), purinergic reseptors(P2X3), isolectin B4 (IB4) , neuropeptide Y , galanin dan artemin reseptor (GFR-∝3 = GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-∝3). Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi sensoris sebahagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur sistem limbik lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan modulator sefalgi.

Stimuli elektrode, atau deposisi zat besi Fe yang berlebihan pada periaquaduct grey(PAG) matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren (migraine like headache). Pada penelitian MRI(Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada penderita migren, CDH(Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang non sefalgi, didapat bukti adanya peninggian deposisi Fe di PAG pada penderita migren dan CDH dibandingkan dengan kontrol.

Patofisiologi CDH belumlah diketahui dengan jelas. Pada CDH justru yang paling berperan adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat), produksi NO dan supersensitivitas akan menaikkan produksi neuropeptide sensoris yang bertahan lama. Kenaikan nitrit Likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan kadar cGMP(cytoplasmic Guanosine Mono phosphat) di likuor. Kadar CGRP, SP maupun NKA juga tampak meninggi pada likuor pasien CDH.

Reseptor opioid di down regulated oleh penggunaan konsumsi opioid analgetik yang cenderung menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari sistem opoid endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overused maka terjadi desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari migren menjadi CDH.

Adanya inflamasi steril pada nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag melepaskan sitokin lL1 (Interleukin .1), lL6 dan TNF∝ (Tumor Necrotizing Factor ∝) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast cell melepas/mengasingkan metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan arachidonic acid dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa reseptor (VR1, sensory specific sodium/SNS, dan SNS-2)dan peptides(CGRP, SP).

b. Manifestasi klinis dan diagnosis

3. Memahami dan Menjelaskan Somatoform

DefinisiGangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan, ditandai dengan keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005). Pada gangguan somatoform, orang memiliki simptom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.

EtiologiTerdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non dominan (Kapita Selekta, 2001).Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005):a. Faktor-faktor BiologisFaktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada gangguan somatisasi).b. Faktor Lingkungan SosialSosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti “peran sakit” yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.

c. Faktor PerilakuPada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:- Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).- Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”- Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatan atau kerusakan fisik yang dipersepsikan.d. Faktor Emosi dan KognitifPada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda yang terlibat adalah sebagai berikut:- Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simptom fisik sebagai tanda dari adanya penyakit serius (hipokondriasis).- Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impuls-impuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simptom fisik (gangguan konversi).- Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis).

Manifestasi KlinisManifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya (Kapita Selekta, 2001). Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau ada yang “menekan di dalam tenggorokan”. Masalah-masalah seperti ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik, yang dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simptom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti “kelumpuhan” pada tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat ditemukan manifestasi dimana seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan (Nevid, dkk, 2005).Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut (PPDGJ III, 1993). Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.

Gambaran keluhan gejala somatoform:Neuropsikiatri:- “Kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik” ;- “Saya tidak dapat menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya”Kardiopulmonal:- “ Jantung saya terasa berdebar debar…. Saya kira saya akan mati”Gastrointestinal:- “Saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum ada dokter yang dapat

menyembuhkannya”Genitourinaria:- “Saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan pemeriksaan namun tidak di

temukan apa-apa”Musculoskeletal- “Saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang waktu”Sensoris:- “Pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan kacamata tidak akan membantu”Beberapa tipe utama dari gangguan somatoform adalah gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan

dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi.

Klasifikasi dan Diagnosis

Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi :F.45.0 gangguan somatisasiF.45.1 gangguan somatoform tak terperinciF.45.2 gangguan hipokondriasisF.45.3 disfungsi otonomik somatoformF.45.4 gangguan nyeri somatoform menetapF.45.5 gangguan somatoform lainnyaF.45.6 gangguan somayoform YTT

DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama dengan klasifikasi awal dari PPDGJ ditambah dengan gangguan konversi, dan gangguan dismorfik tubuh.

Pada bagian psikiatri, gangguan yang sering ditemukan di klinik adalahgangguan somatisasi dan hipokondriasis.

F. 45.0 Gangguan SomatisasiDefinisiGangguan somatisasi (somatization disorder) dicirikan dengan keluhan somatik yang beragam dan berulang yang bermula sebelum usia 30 tahun (namun biasanya pada usia remaja), bertahan paling tidak selama beberapa tahun, dan berakibat antara menuntut perhatian medis atau mengalami hendaya yang berarti dalam memenuhi peran sosial atau pekerjaan.Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya mencakup sistim-sistim organ yang berbeda seperti nyeri yang samar dan tidak dapat didefinisikan, problem menstruasi/seksual, orgasme terhambat, penyakit-penyakit neurologik, gastrointestinal, genitourinaria, kardiopulmonar, pergantian status kesadaran yang sulit ditandai dan lain sebagainya. Jarang dalam setahun berlalu tanpa munculnya beberapa keluhan fisik yang mengawali kunjungan ke dokter. Orang dengan gangguan somatisasi adalah orang yang sangat sering memanfaatkan pelayanan medis. Keluhan-keluhannya tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik atau melebihi apa yang dapat diharapkan dari suatu masalah fisik yang diketahui. Keluhan tersebut juga tampak meragukan atau dibesar-besarkan, dan orang itu sering kali menerima perawatan medis dari sejumlah dokter, terkadang pada saat yang sama.

EtiologiBelum diketahui. Teori yang ada yaitu teori belajar, terjadi karena individu belajar untuk mensomatisasikan dirinya untuk mengekspresikan keinginan dan kebutuhan akan perhatian dari keluarga dan orang lain

Epidemiologi- Wanita : pria = 10 :1, bermula pada masa remaja atau dewasa muda- Rasio tertinggi usia 20- 30 tahun- Pasien dengan riwayat keluarga pernah menderita gangguan somatoform (berisiko 10-20 kali lebih

besar dibanding yang tidak ada riwayat).

Kriteria diagnostik untuk Gangguan SomatisasiUntuk gangguan somatisasi, diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut: Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar

adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik

yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat

keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.atau: Keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun, terjadi selama periode beberapa tahun Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan,- 4 gejala nyeri: sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut,

punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi)

- 2 gejala gastrointestinal: sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)

- 1 gejala seksual: sekurangnya satu gejala selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).

- 1 gejala pseudoneurologis: sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).

Salah satu (1) atau (2):- Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan sepenuhnya

oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)

- Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.

Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau pura-pura).

Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial:Aksis I: Gangguan somatoform, somatisasiAksis II: tidak ada diagnosis aksis IIAksis III: tidak ada diagnosis aksis IIIAksis IV: masalah dengan keluarga Aksis V: GAF Scale 51-60: gejala sedang, disabilitas sedang

Tatalaksana Tujuan pengobatan1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala

hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-

obatan yang tidak perlu 3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama2. Buat jadwal regular ddengan interval waktu kedatangan yang memadai3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosialStrategi dan teknik farmakologikal dan fisik1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi3. Anti anxietas dan antidepressan

PrognosisDubia et malam. Pasien susah sembuh walau sudah mengikuti pedoman pengobatan. Sering kali pada pasien wanita berakhir pada percobaan bunuh diri. F.45.1 Gangguan Somatoform Tak Terperinci

EtiologiTidak diketahui

EpidemiologiBervariasi, di USA 10%-12% terjadi pada usia dewasa dan 20 % menyerang wanita.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang tak terperinci Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi gambaran klinis yang

khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak terpenuhi Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan tetapi tidak boleh ada

penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.atau :- Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan gastrointestinal

atau saluran kemih)- Salah satu (1) atau (2)· Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum

yang diketahui atau oleh efek langsung dari suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)

· Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.

- Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.

- Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan psikotik).

- Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura)

Contoh Penulisan Diagnosis multiaksialAksis I: Gangguan somatoform Tak TerperinciAksis II: tidak ada diagnosis aksis IIAksis III: tidak ada diagnosis aksis III Aksis IV: Aksis V: GAF Scale 61-70

Tatalaksana Tujuan pengobatan1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala

hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-

obatan yang tidak perlu 3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosialStrategi dan teknik farmakologikal dan fisik1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi3. Anti anxietas dan antidepressant (kalau perlu)

PrognosisBervariasi, sulit diprediksi karena prognosisnya bergantung pada gejala yang lebih dominan.

F.45.2 Gangguan HipokondriasisDefinisiHipokondriasis adalah keterpakuan (preokupasi) pada ketakutan menderita, atau keyakinan bahwa seseorang memiliki penyakit medis yang serius, meski tidak ada dasar medis untuk keluhan yang dapat ditemukan. Berbeda dengan gangguan somatisasi dimana pasien biasanya meminta pengobatan terhadap penyakitnya yang seringkali menyebabkan terjadinya penyalahgunaan obat, maka pada gangguan hipokondrik pasien malah takut untuk makan obat karena dikira dapat menambah keparahan dari sakitnya.Ciri utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simptom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung. Rasa takut tetap ada meskipun telah diyakinkan secara medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar. Gangguan ini paling sering muncul antara usia 20 dan 30 tahun, meski dapat terjadi di usia berapapun.Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar berpura-pura akan simptom fisiknya. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik, seringkali melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan nyeri. Berbeda dengan gangguan konversi yang biasanya ditemukan sikap ketidakpedulian terhadap simptom yang muncul, orang dengan hipokondriasis sangat peduli, bahkan benar-benar terlalu peduli pada simptom dan hal-hal yang mungkin mewakili apa yang ia takutkan.Pada gangguan ini, orang menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri. Padahal kecemasan akan simptom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik itu sendiri, misalnya keringat berlebihan dan pusing, bahkan pingsan. Mereka memiliki lebih lanjut kekhawatiran akan kesehatan, lebih banyak simptom psikiatrik, dan mempersepsikan kesehatan yang lebih buruk daripada orang lain. Sebagian besar juga memiliki gangguan psikologis lain, terutama depresi mayor dan gangguan kecemasan.

Etiologi Masih belum jelas

EpidemiologiBiasanya terjadi pada usia dewasa, rasio antara wanita dan pria sama

Kriteria Diagnostik untuk HipokondriasisUntuk diagnosis pasti gangguan hipokondrik, kedua hal ini harus ada: Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi

keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham)

Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya

Ciri-ciri diagnostik dari hipokondriasis:- Perokupasi (keterpakuan) dengan ketakutan menderita, ide bahwa ia menderita suatu penyakit serius

didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh.- Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat.- Tidak disertai dengan waham dan tidak terbatas pada kekhawatiran tentang penampilan (seperti pada

gangguan dismorfik tubuh).- Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi

sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.- Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif-

kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan somatoform lain.

Contoh Penulisan Diagnosis multiaksialAksis I: Gangguan somatoform, hipokondriasisAksis II: tidak ada diagnosis aksis IIAksis III: tidak ada diagnosis aksis III

Aksis IV: Aksis V: GAF Scale 51-60 gejala sedang, disabilitas sedang

Tatalaksana Tujuan pengobatan1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala

hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-

obatan yang tidak perlu 3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial4. Therapi kognitif-behaviourStrategi dan teknik farmakologikal dan fisik1. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi2. Usahakan untuk mengurangi gejala hipokondriasis dengan SSRI (Fluoxetine 60-80 mg/ hari)

dibandingkan dengan obat lain.

Prognosis10 % pasien bisa sembuh, 65 % berlanjut menjadi kronik dengan onset yang berfluktuasi, 25 % prognosisnya buruk.

F.45.3 Gangguan Disfungsi Otonomik SomatoformKriteria diagnostik yang diperlukan :- Ada gejala bangkitan otonomik seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka panas, yang sifatnya

menetap dan mengganggu- Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (tidak khas)- Preokupasi dengan penderitaan mengenai kemungkinan adanya gangguan yang serius yang

menimpanya, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan maupun penjelasan dari dokter- Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari sistem/organ yang

dimaksud- Kriteria ke 5, ditambahkan :F.45.30 = Jantung dan Sistem KardiovaskularF.45.31 = Saluran Pencernaan Bagian AtasF.45.32 = Saluran Pencernaan Bagian BawahF.45.33 = Sistem PernapasanF.45.34 = Sistem Genito-UrinariaF.45.38 = Sistem atau Organ Lainnya

F. 45.4 . Gangguan Nyeri Yang MenetapDefinisiGangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor psikologis atau

secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis. Pasien sering wanita yang merasa mengalami nyeri yang penyebabnya tidak dapat ditemukan. Munculnya secara tiba-tiba, biasanya setelah suatu stres dan dapat hilang dalam beberapa hari atau berlangsung bertahun-tahun. Biasanya disertai penyakit organik yang walaupun demikian tidak dapat menerangkan secara adekuat keparahan nyerinya (Tomb, 2004).

Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Sedangkan pada nyeri somatoform, pasien malah bertindak sebaliknya.

EtiologiTidak diketahui

EpidemiologiTerjadi pada semua tingkatan usia, di USA 10-15% pasien datang dengan keluhan nyeri punggung.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri- Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis- Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,

pekerjaan, atau fungsi penting lain.- Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan, eksaserbasi atau

bertahannya nyeri.- Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan

atau berpura-pura).- Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan psikotik

dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.

Contoh Penulisan Diagnosis MultiaksialAksis I: gangguan somatoform, nyeri menetapAksis II: tidak ada diagnosis aksis IIAksis III: tidak ada Aksis IV: Aksis V: GAF Scale 51-60 gejala sedang, disabilitas sedang

Tatalaksana Tujuan pengobatan1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala

hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-

obatan yang tidak perlu 3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)4. Jika nyerinya akut (< 6 bulan), tambahkan obat simptomatik untuk gejala yang timbul5. Jika nyeri bersifat kronik (>6 bulan ), fokus pada pertahankan fungsi dan motilitas tubuh daripada

fokus pada penyembuhan nyeriStrategi dan teknik psikoterapi dan psikososial1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial4. Nyeri kronik: pertimbangkan terapi fisik dan pekerjaan, serta terapi kognitif-behaviouralStrategi dan teknik farmakologikal dan fisik1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi3. Akut: acetaminophen dan NSAIDS (tidak dicampur) atau sebagai tambahan pada opioid4. Kronik: Trisiklik anti depresan, acetaminophen dan NSAID5. Pertimbangkan akupunktur

Prognosis :Jika gejala terjadi < 6 bulan, cenderung baik, dan jika gejala terjadi > 6 bulan, cenderung buruk (cenderung

menjadi kronik).

F.45.8 Gangguan Somatoform LainnyaPedoman Diagnostik :- Keluhan yang ada tidak melalui saraf otonom, terbatas secara spesifik pada bagian tubuh/sistem

tertentu- Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan

- Termasuk didalamnya, pruritus psikogenik, ”globus histericus”(perasaan ada benjolan di kerongkongan>>>disfagia) dan dismenore psikogenik

Tambahan DSM IVGangguan KonversiDefinisiAdalah suatu tipe gangguan somatoform yang ditandai oleh kehilangan atau kendala dalam fungsi fisik, namun tidak ada penyebab organis yang jelas. Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke simptom fisik. Simptom-simptom itu tidak dibuat secara sengaja atau yang disebut malingering. Simptom fisik biasanya muncul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Tangan seorang tentara dapat menjadi “lumpuh” saat pertempuran yang hebat, misalnya. Dinamakan gangguan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke simptom fisik. Gangguan ini sebelumnya disebut neurosis histerikal atau histeria dan memainkan peranan penting dalam perkembangan psikoanalisis Freud.Menurut DSM, simptom konversi menyerupai kondisi neurologis atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik (gerakan) yang volunter atau fungsi sensoris. Beberapa pola simptom yang klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah dalam koordinasi, kebutaan, dan tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat di depan mata), kehilangan indra pendengaran atau penciuman, atau kehilangan rasa pada anggota badan (anastesi).Simptom-simptom tubuh yang ditemukan dalam gangguan konversi sering kali tidak sesuai dengan kondisi medis yang mengacu. Misalnya konversi epilepsi, tidak seperti pasien epilepsi yang sebenarnya, dapat mempertahankan kontrol pembuangan saat kambuh; konversi kebutaan, orang yang penglihatannya seharusnya mengalami hendaya dapat berjalan ke kantor dokter tanpa membentur mebel; orang yang menjadi “tidak mampu” berdiri atau berjalan di lain pihak dapat melakukan gerakan kaki lainnya secara normal.

Etiologi- Teori psikoanalisis, (1895/1982), Breuer dan freud: disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa

yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran.

- Teori behavioral, Ullman & Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), terjadi karena individu mengadopsi simptom untuk mencapai suatu tujuan. Individu berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi.

EpidemiologiTerjadi pada 11-500 per 100.000 penduduk. Biasanya terjadi pada usia anak-anak (akhir) hingga dewasa (awal). Jarang terjadi sebelum usia 10 tahun dan setelah 35 tahun.

Kriteria diagnostik untuk Gangguan KonversiCiri-ciri diagnostik dari gangguan konversi adalah sebagai berikut: Paling tidak terdapat satu simptom atau defisit yang melibatkan fungsi motorik volunternya atau

fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik. Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena onset atau kambuhnya

simptom fisik terkait dengan munculnya Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simptom fisik tersebut atau berpura-pura

memilikinya dengan tujuan tertentu. Simptom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respon, juga tidak dapat

dijelaskan dengan gangguan fisik apa pun melalui landasan pengujian yang tepat. Simptom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau lebih area fungsi,

seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian medis. Simptom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi seksual, juga tidak dapat

disebabkan oleh gangguan mental lain. Akan tetapi, beberapa orang dengan gangguan konversi

menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutkan terhadap simptom-simptom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la belle indifference (“ketidakpedulian yang indah”).

Tatalaksana Tujuan pengobatan1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala

hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-

obatan yang tidak perlu 3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial4. Akut: yakinkan, sugesti pasien untuk mengurangi gejala5. Pertimbangkan narcoanalisis (sedatif hipnotik), hipnoterapi, behavioural terapi6. Kronik: Eksplorasi lebih lanjut mengenai konflik yang bersifat interpersonal pada pasienStrategi dan teknik farmakologikal dan fisik1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi3. Pertimbangkan narcoanalisis (sedatif hipnotik)

PrognosisBaik, jika onset awal ada faktor presipitasi yang jelas, intelegensia masih baik, segera dilakukan treatment.

Prognosis buruk jika terjadi hal sebaliknya.

Gangguan Dismorfik TubuhDefinisiGangguan dismorfik tubuh (body dismorphic disorder) ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat. Orang dengan gangguan ini terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, seperti menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan, menarik diri secara sosial atau bahkan diam di rumah saja, sampai pada pikiran-pikiran untuk bunuh diri. Orang dengan gangguan dismorfik tubuh sering menunjukkan pola berdandan atau mencuci, atau menata rambut secara kompulsif, dalam rangka mengoreksi kerusakan yang dipersepsikan. Contoh lain, seseorang merasa wajahnya seperti piringan, terlalu rata, sehingga tidak mau difoto. Mereka dapat melakukan apa saja untuk memperbaiki keadaan yang “rusak” tersebut.Pada gangguan dismorfik tubuh, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka. Membuatnya bisa berlama-lama berkaca di depan cermin memandang bentuk tubuh yang dianggapnya kurang, sering pasien mendatangi spesialis bedah dan kecantikan.

EtiologiTidak Diketahui

EpidemiologiMuncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia sosial, gangguan kepribadian (Phillips & McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh- Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh,

kekhawatiran orang tersebut menjadi berlebihan.- Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi

sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

- Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).

Tatalaksana Tujuan pengobatan1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala

hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-

obatan yang tidak perlu 3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)4. Khususnya menghindari pembedahanStrategi dan teknik psikoterapi dan psikososial1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial4. Terapi kognitif-behaviouralStrategi dan teknik farmakologikal dan fisik1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi3. Usahakan untuk mengurangi gejala hipokondriacal dengan SSRI (Fluoxetine 60-80 mg/ hari)

dibandingkan dengan obat lain

PrognosisBervariasi

Pendekatan PenangananBeberapa pendekatan yang digunakan untuk menangani gangguan somatoform adalah sebagai berikut:- Penanganan BiomedisPada penanganan biomedis dapat digunakan antidepresan yang terbatas dalam menangani hipokondriasis yang biasanya disertai dengan depresi.- Terapi Kognitif-BehavioralTerapi ini dapat berfokus pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder (keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan coping untuk mengatasi stres, dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan seseorang. Terapi ini berusaha untuk mengintegrasikan teknik-teknik terapeutik yang berfokus untuk membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya pada perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan dan sikap yang mendasarinya.Terapi kognitif-behavioural, untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada pasien. Teknik behavioral, terapis bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara meyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.

4. Memahami dan Menjelaskan Konsultasi Pernikahan dan Membina Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Warahmah

I. Arti Pernikahan dalam Islam

Dalam menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan, Islam tidak semata-mata beranggapan bahwa pernikahan merupakan sarana yang sah dalam pembentukan keluarga, bahwa pernikahan bukanlah semata sarana terhormat untuk mendapatkan anak yang sholeh, bukan semata cara untuk mengekang penglihatan, memelihara fajar atau hendak menyalurkan biologis, atau semata menyalurkan naluri saja. Sekali lagi bukan alasan tersebut di atas. Akan tetapi lebih dari itu Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai

aspek kemayarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam.

II. Fungsi Keluarga dalam Islam

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, perlu diberdayakan fungsinya agar dapat mensejahterakan ummat secara keseluruhan. Dalam Islam fungsi keluarga meliputi :

A. Penerus Misi Ummat Islam

Dalam sejarah dapat kita lihat, bagaimana Islam sanggup berdiri tegap dan tegar dalam menghadapi berbagai ancaman dan bahaya, bahkan Islam dapat menyapu bersih kekuatan musryik dan sesat yang ada, terlebih kekuatan Romawi dan Persia yang pada waktu itu merupakan Negara adikuasa di dunia.Menurut riwayat Abu Zar’ah Arrozi bahwa jumlah kaum muslimin ketika Rasulullah Saw wafat sebanyak 120.000 orang pria dan wanita [1]. Para sahabat sebanyak itu kemudian berguguran dalam berbagai peperangan, ada yang syahid dalam perang jamal atau perang Shiffin. Namun sebagian besar dari para syuhada itu telah meninggalkan keturunan yang berkah sehingga muncullah berpuluh “singa” yang semuanya serupa dengan sang ayah dalam hal kepahlawanan dan keimanan. Kaum muslimin yang jujur tersebut telah menyambut pengarahan Nabi-nya: “Nikah-lah kalian, sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian dari ummat lainnya, dan janganlah kalian berfaham seperti rahib nashrani” [2].

Demikianlah, berlomba-lomba untuk mendapatkan keturunan yang bermutu merupakan faktor penting yang telah memelihara keberadaan ummat Islam yang sedikit. Pada waktu itu menjadi pendukung Islam dalam mempertahankan kehidupannya.

B. Perlindungan Terhadap Akhlaq

Islam memandang pembentukan keluarga sebagai sarana efektif memelihara pemuda dari kerusakan dan melidungi masyarakat dari kekacauan. Karena itulah bagi pemuda yang mampu dianjurkan untuk menyambut seruan Rosul.

“Wahai pemuda! Siapa di antara kalian berkemampuan maka menikahlah. Karena nikah lebih melindungi mata dan farji, dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah shoum, karena shoum itu baginya adalah penenang” ( HR.AL-Khosah dari Abdullah bin Mas’ud ).

C. Wahana Pembentukan Generasi Islam

Pembentukan generasi yang handal, utamanya dilakukan oleh keluarga, karena keluargalah sekolah kepribadian pertama dan utama bagi seorang anak. Penyair kondang Hafidz Ibrohim mengatakan: “Ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya. Bila engaku mendidiknya berarti engkau telah menyiapkan bangsa yang baik perangainya“. Ibu sangat berperan dalam pendidikan keluarga, sementara ayah mempunyai tugas yang penting yaitu menyediakan sarana bagi berlangsungnya pendidikan tersebut. Keluarga-lah yang menerapkan sunnah Rosul sejak bangun tidur, sampai akan tidur lagi, sehingga bimbingan keluarga dalam melahirkan generasi Islam yang berkualitas sangat dominan.

D. Memelihara Status Sosial dan Ekonomi

Dalam pembentukan keluarga, Islam mempunyai tujuan untuk mewujudkan ikatan dan persatuan. Dengan adanya ikatan keturunan maka diharapkan akan mempererat tali persaudaraan anggota masyarakat dan antar bangsa.

Islam memperbolehkan pernikahan antar bangsa Arab dan Ajam (non Arab), antara kulit hitam dan kulit putih, antara orang Timur dan orang Barat. Berdasarkan fakta ini menunjukkan bahwa Islam sudah

mendahului semua “sistem Demokrasi ” dalam mewujudkan persatuan Ummat manusia. Bernard Shaw mengatakan:

“Islam adalah agama kebebasan bukan agama perbudakan, ia telah merintis dan mengupayakan terbentuknya persaudaraan Islam sejak Seribu Tiga Ratus Lima Puluh tahun yang lalu, suatu prinsip yang tidak pernah dikenal oleh bangsa Romawi, tidak pernah ditemukan oleh bangsa Eropa dan bahkan Amerika Modern sekalipun “.

Selanjutnya mengatakan:

“Apabila Anda bertanya kepada seorang Arab atau India atau Persia atau Afganistan, siapa anda? Mereka akan menjawab “Saya Muslim (orang Islam)”. Akan tetapi apabila anda bertanya pada orang Barat maka ia akan menjawab “Saya orang Inggris, saya orang Itali, saya orang Perancis”. Orang Barat telah melepaskan ikatan agama, dan mereka berpegang teguh pada ikatan darah dan tanah air” [3].

Untuk menjamin hubungan persudaraan yang akrab antara anak-anak satu agama, maka Islam menganjurkan dilangsungkannya pernikahan dengan orang-orang asing (jauh), karena dengan tujuan ini akan terwujud apa-apa yang tidak pernah direalisasikan melalui pernikahan keluarga dekat.

Selain fungsi sosial, fungsi ekonomi dalam berkeluarga juga akan nampak. Mari kita simak hadist Rosul “Nikahilah wanita, karena ia akan mendatangkan Maal” (HR. Abu Dawud, dari Urwah RA). Maksud dari hadist tersebut adalah bahwa perkawinan merupakan sarana untuk mendapatkan keberkahan, karena apabila kita bandingkan antara kehidupan bujangan dengan yang telah berkeluarga, maka akan kita dapatkan bahwa yang telah berkeluarga lebih hemat dan ekonomis dibandingkan dengan yang bujangan. Selain itu orang yang telah berkeluarga lebih giat dalam mencari nafkah karena perasaan bertanggung jawab pada keluarga daripada para bujangan.

E. Menjaga Kesehatan

Ditinjau dari segi kesehatan, pernikahan berguna untuk memelihara para pemuda dari kebiasaan onani yang banyak menguras tenaga, dan juga dapat mencegah timbulnya penyakit kelamin.

F. Memantapkan Spiritual (Ruhiyyah)

Pernikahan berfungsi sebagai pelengkap, karena ia setengah dari keimanan dan pelapang jalan menuju sabilillah, hati menjadi bersih dari berbagai kecendrungan dan jiwa menjadi terlindung dari berbagai waswas.

III. Menegakkan Keluarga Sakinah sebagai Salah SAtu Fungsi Keluarga

Selain fungsi keluarga tersebut di atas, fungsi kesakinahan merupakan kebutuhan setiap manusia. Karena keluarga sakinah yang berarti: keluarga yang terbentuk dari pasangan suami istri yang diawali dengan memilih pasangan yang baik, kemudian menerapkan nilai-nilai Islam dalam melakukan hak dan kewajiban rumah tangga serta mendidik anak dalam suasana mawaddah warahmah. Sebagaimana dianjurkan Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang artinya:

“Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ia ciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenang kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa cinta dan kasih saying. Sesungguhnya dalam hal ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memikirkan”. (QS. Ar-Ruum:21)

Faktor-Faktor Pembentukan Keluarga Sakinah

A. Faktor Utama:Untuk membentuk keluarga sakinah, dimulai dari pranikah, pernikahan, dan berkeluarga. Dalam berkeluarga ada beberapa hal yang perlu difahami, antara lain :1. Memahami hak suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami

a. Menjadikannya sebagai Qowwam (yang bertanggung jawab) Suami merupakan pemimpin yang Allah pilihkan Suami wajib ditaati dan dipatuhi dalam setiap keadaan kecuali yang bertentangan dengan syariat

Islam.b. Menjaga kehormatan diri Menjaga akhlak dalam pergaulan Menjaga izzah suami dalam segala hal Tidak memasukkan orang lain ke dalam rumah tanpa seizin suamic. Berkhidmat kepada suami Menyiapkan dan melayani kebutuhan lahir batin suami Menyiapkan keberangkatan Mengantarkan kepergian Suara istri tidak melebihi suara suami Istri menghargai dan berterima kasih terhadap perlakuan dan pemberian suami

2. Memahami hak istri terhadap suami dan kewajiban suami terhadap istria. Istri berhak mendapat maharb. Mendapat perhatian dan pemenuhan kebutuhan lahir batin Mendapat nafkah: sandang, pangan, papan Mendapat pengajaran Diinul Islam Suami memberikan waktu untuk memberikan pelajaran Memberi izin atau menyempatkan istrinya untuk belajar kepada seseorang atau lembaga dan

mengikuti perkembangan istrinya Suami memberi sarana untuk belajar Suami mengajak istri untuk menghadiri majlis ta’lim, seminar atau ceramah agamac. Mendapat perlakuan baik, lembut dan penuh kasih saying Berbicara dan memperlakukan istri dengan penuh kelembutan lebih-lebih ketika haid, hamil dan

paska lahir Sekali-kali bercanda tanpa berlebihan Mendapat kabar perkiraan waktu kepulangan Memperhatikan adab kembali ke rumah

B. Faktor Penunjang1. Realistis dalam kehidupan berkeluarga

Realistis dalam memilih pasangan Realistis dalam menuntut mahar dan pelaksanaan walimahan Realistis dan ridho dengan karakter pasangan Realistis dalam pemenuhan hak dan kewajiban

2. Realistis dalam pendidikan anakPenanganan Tarbiyatul Awlad (pendidikan anak) memerlukan satu kata antara ayah dan ibu, sehingga tidak menimbulkan kebingungan pada anak. Dalam memberikan ridho’ah (menyusui) dan hadhonah (pengasuhan) hendaklah diperhatikan muatan:

Tarbiyyah Ruhiyyah (pendidikan mental) Tarbiyah Aqliyyah (pendidikan intelektual) Tarbiyah Jasadiyyah (pendidikan Jasmani)

3. Mengenal kondisi nafsiyyah suami istri4. Menjaga kebersihan dan kerapihan rumah5. Membina hubungan baik dengan orang-orang terdekat

a. Keluarga besar suami / istrib. Tetangga

c. Tamud. Kerabat dan teman dekat

6. Memiliki ketrampilan rumah tangga7. Memiliki kesadaran kesehatan keluarga

C. Faktor Pemeliharaan1. Meningkatkan kebersamaan dalam berbagai aktifitas2. Menghidupkan suasana komunikatif dan dialogis3. Menghidupkan hal-hal yang dapat merusak kemesraan keluarga baik dalam sikap, penampilan maupun

prilaku

DAFTAR PUSTAKA

1. Davidson, Gerald, dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada Press

2. ISH Classification ICHD II ( International Classification of Headache Disorders)

available at http://ihs-classification.org/_downloads/mixed/ICHD-IIR1final.doc

3. Kaplan, H.I., Sadock B.J. (1997). Sinopsis Psikiatri Jilid II Edisi ke-7. Jakarta.

Binarupa Aksara.

4. Kowalak, Jennifer P., William Welsh. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta.

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

5. Mansjoer, A.A.,etc. (2004). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta. Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6. Mardjono & Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat

7. Nevid S.Jeffrey dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT.Gelora Aksara

8. Price.Sylvia A.,Wilson.Lorraine M, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit., Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9. Tomb, David. A. 2000. Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC

10. Umar Fayami, Sakinah, mawaddah, warahmah di http://ariana-

myjourney.blogspot.com/2009/04/sakinah-mawadah-wa-rahmah.html

11. V. Mark Durank & Dvid H.Barlow.2006.Psikologi Abnormal. Jilid 1 dan

2.Yogyakarta:Pustaka Pelajar