Mekanisasi Pertanian Dan ya

download Mekanisasi Pertanian Dan ya

of 26

Transcript of Mekanisasi Pertanian Dan ya

MEKANISASI PERTANIAN DAN PERKEMBANGANNYA Posted by SEA DRAGON ILMU PERTANIAN 14:19 Mekanisasi di Indonesia diperkirakan telah dimulai sejak tahun 1920-an sewaktu diperkenalkan dan digunakannya suatu bajak pengolahan tanah untuk menanam tebu dengan sistem Regnoso di pabrik gula Jati roto. Mekanisasi pertanian adalah ilmu yang mempelajari penggunaan dan pemanfaatan bahan dan tenaga alam untuk mengembangkan daya kerja manusia dalam bidang pertanian untuk kesejahteraan umat manusia. Secara umum tujuan mekanisasi pertanian adalah untuk memperbaiki : Hasil pertanian; produksi, pendapatan, perataan pendapatan. Hasi sosial dari pertanian; lapangan kerja, waktu dan beban kerja yang wajar, perbaikan gambaran. Meningkatkan produksi pertanian secara nasional. Memperbaiki produksi dan ekspor.

-

Pengembangan industri dan sektor-sektor lain. Peningkatkan lapangan kerja. Peningkatan devisa. Tugas Pokok Melaksanakan pengembangan mekanisasi pertanian. Fungsiy y

y

y

y

y

y

y

y

y y

Melaksanakan penelitian keteknikan pertanian. Melaksanakan rekayasa, rancang bangun dan modifikasi disain, model serta prototipe alat dan mesin pertanian. Melaksanakan uji fungsional calon prototipe alat dan mesin pertanian. Melaksanakan penelitian dan rekayasa sistem mekanisasi pertanian. Melaksanakan penelitian komponen teknologi sistem dan usaha agribisnis di bidang mekanisasi pertanian. Menyusun program dan evaluasi penelitian dan pengembangan mekanisasi pertanian. Pengelolaan informasi dan dokumentasi hasil penelitian dan pengembangan mekanisasi pertanian. Pengelolaan sarana teknis penelitian dan pengembangan mekanisasi pertanian. Pengelolaan kerjasama dan pendayagunaan penelitian dan pengembangan mekanisasi pertanian. Melaksanakan urusan tatausaha dan rumah tangga DAMPAK MEKANISASI PERTANIAN TERHADAP PEMBANGUNAN PEDESAAN

y

y

Posted by SEA DRAGON DAMPAK, Ditinjau Dari Segi Ketenaga kerjaan, ILMU EKONOMI, PEDESAAN, PEMBANGUNAN, PERTANIAN, Procesing Pembangunan, SDA, SDM, SOSIAL EKONOMI 21:14 Mekanisasi pertanian merupakan introduksi dan penggunaan alat mekanis untuk melaksanakan operasi pertanian. Mekanisasi pertanian disebut juga sebagai aplikasi ilmu engenering untuk mengembangkan, mengorganisir dan mengatur semua operasi. Mekanisasi pertanian sangat diperlukan untuk menghantar pertanian subsistence ke pertanian transisi menuju ke modernisasi dan mempersiapkan para petani untuk hidup di masa akan datang. Penerapan mekanisasi sangat berhubungan dengan kemajuan kemajuan bidang lain dari Agricultural Engenering dan berbentuk dalam satu atau lebih kombinasi dari bidang bidang tersebut. Agricultural Engenering meliputi bidang bidang Teknik Mesin Budidaya Pertanian (Farm Power and Machinery), Teknik Tanah dan Air (Soil and Water Engenering), Teknik Bangunan Pertanian (Farm Structures), Teknik Pengolahan Hasil Pertanian (Agricultural Product Procesing Engenering), Teknik Pelistrikan Pertanian (Farm Electrification), dan Teknik Pengolahan Pangan (Food Engenering). IMPACT MEKANISASI PERTANIAN TERHADAP PEMBANGUNAN PEDESAAN Ditinjau Dari Segi Ketenaga kerjaan Mempunyai cadangan tenaga kerja yang terampil serta fleksibel karena terus menerus mau mendalami kemajuan,

dan mendapatkan pelatihan dan penyuluhan yang berkelanjutan, yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan didalam sektor industri (industri pertanian agro industri ataupun sector lainnya). Transformasi struktural dalam tenaga kerja tersebut dari sektor pertanian ke sektor yang lain itu merupakan akibat yang wajar dari peningkatan produktifitas di dalam sektor pertanian. Kontribusi mekanisasi pertanian untuk tanaman pangan ditandai dengan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja pada pengolahan lahan, karena makin langkanya tenaga kerja manusia dan ternak pada daerah daerah beririgasi yang mempunyai intensitas tanam tinggi. Disamping itu, faktor budidaya tanam padi varietas unggul, memerlukan keserempakan tanam untuk dalam satu kawasan luas, untuk menghindari serangan hama dan memutus siklus hama. Oleh karena itu, volume pekerjaan menjadi meningkat waktu pengolahan lahan singkat sehingga jumlah curahan tenaga kerja untuk kegiatan tersebut meningkat. Kasus diatas dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan 18% pada traktor, dan terutama didominasi oleh traktor kecil. Di Jawa, meskipun penduduknya lebih padat dari pulau pulau lain, populasi traktor pada tahun 2000 mencapai 50% dari total populasi di Indonesia atau sekitar 49,000 unit dari 101,000 unit. Dari 50% tersebut, propinsi Jawa Barat dengan luas areal sawah 1.2 juta hektar memiliki populasi traktor terbanyak, diikuti oleh propinsi Jawa Tengah, kemudian propinsi Jawa Timur . Didaerah lain, traktor makin tahun juga meningkat jumlahnya, terutama pada daerah daerah yang mempunyai irigasi lebih baik seperti Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan Lampung. Namun demikian belum dapat diduga parameter statistiknya antara perkembangan traktor dan intensitas tanam disuatu wilayah, namun dapat diduga bahwa mekanisasi pengolahan lahan akan sangat berkorelasi dengan jumlah lahan sawah irigasi dan intensitas tanamnya. Pada kasus perluasan areal tanaman pangan, dapat disebutkan peranan pompa air irigasi, terutama untuk wilayah wilayah yang mempunyai air tanah dangkal didaerah Sragen (Jawa Tengah), Ngawi, Kediri, dan Madiun di Jawa Timur. Pompa air memungkinkan perubahan pola tanam 1 kali menjadi 2 atau lebih dalam setahun. Peningkatan intensitas tanam tersebut dimungkinkan karena faktor air sebagai kendala utama dapat dipecahkan, dan sekaligus meningkatkan kesempatan kerja, karena bertambahnya jumlah tanaman per tahun. Namun demikian, meskipun input teknologi pompa air-nya sendiri hanya memberikan margin keuntungan yang sedikit, karena biaya air tidak sesuai dengan biaya pokok yang harus ditanggung oleh pompa air (Ditjentan, 1979; Balai Besar, 2000, Ditjen Tananam Pangan 2000). Akan tetapi walaupun melimpahnya ketersediaan tenaga kerja di perdesaan kondusif bagi pertumbuhan sektor pertanian, namun di sisi lain merupakan beban bagi sektor pertanian karena pendapatan buruh tani dan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian semakin sulit ditingkatkan. Selain itu, melimpahnya tenaga kerja di sektor pertanian justru menciptakan persoalan baru yaitu terjadinya fragmentasi lahan dan menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga yang akan melahirkan lebih banyak kemiskinan di sektor pertanian untuk masa yang akan datang.

Sebagai akibatnya, penduduk miskin di sektor pertanian akan melimpah pula. Ditinjau Dari Segi Sosial Budaya Dan Agama Dengan mekanisasi pertanian yang modern dan berwawasan agribisnis dikembangkan dan dibangun dari pertanian tradisionil melalui proses modernisasi. Pada prinsipnya, modernisasi menuntut terjadinya perubahan dan pembaharuan sistim nilai dan budaya. Modernisasi berarti melakukan reformasi terhadap norma dan budaya yang tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman, kurang produktif, kurang efisien dan tidak memiliki daya saing. Perubahan tersebut perlu waktu, harus terjadi dalam lingkup integral dan tidak hanya mencakup aspek-aspek teknis, ekonomis, politis melainkan juga aspek penghidupan sosio-kulturil. Pengembangan mekanisasi pertanian dan teknologi pasca panen yang mampu memberikan kontribusi optimal kepada pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Dimana pengembangan tersebut bertujuan untuk memberikan landasan yang kuat bagi berlangsungnya pengembangan mekanisasi pertanian , sebagai wahana perubahan budaya pertanian tradisional ke budaya pertanian industrial atau modern. Adanya modernisasi mekanisasi/ tekhnologi pertanian di satu sisi mengakibatkan naiknya tingkat rasionalitas (nilai tiori), orientasi ekonomi dan nilai kuasa,sementara pada sisi lain modernisasi mengakibatkan lunturnya nilai-nilai kepercayaan (nilai agama), nilai gotong royong (solidaritas) dan nilai seni mengalami komersialisasi. Modernisasi dapat juga menaikan semua nilai budaya yang di uraikan di atas. Kenyataan memperlihatkan bahwa nilai yang sangat dominant

mengalami pergeseran adalah naiknya tingkat rasinolitas (nilai tiori), orientasi financial (nilai ekonomi) sebagai dampat kebijaksanaan pembangunan yang lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi yang diikuti oleh pesatnya penerapan ilmu dan technologi. Sehinga pergeseran nilai dan peransosial budaya terjadi, karena modernisasi menururt Schoorl (1991) tidak sama persis dengan pembangunan. Modernisasi lebih banyak diwarnai oleh gejala perubahan tekhnologi dan berkembangnya ekonomi pasar. Sedangkan pembangunan lebih menitik beratkan pada adanya perubahan struktur masyarakat. Dahulu, sebelum ada dan diterapkanya teknologi biologis dan teknologi biokimia, mulai dari pembukaan dan pengolahan lahan, menggarap sawah/ladang sampai pada menjelang dan pasca panen, nilai agama (kepercayaan) selalu mendominasi setiap langkah para petani. Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan adanya kebiasan para petani yang mencari dan menentukan hari dan bulan baik untuk bercacok tanam dan memanen hasil pertaniannya. Sebelum pelaksanaan panen padi misalnya, di sekeliling sawah/ladang selalu didahului dengan acara do a dan selamatan bersama agar hasil panenya meningkat dan mendapatkan perlindungan dan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Eksistensi nilai agama (kepercayaan) tersebut, setelah hadir dan diterapkanya teknologi biologis dan biokimia, telah bergeser dan bahkan ada yang telah hilang sama sekali diganti oleh nilai-nilai yang bersifat rasional. Wawasan dan cara berfikir mereka menjadi lebih terbuka bahwa meningkatnya hasil panen tidak semata-mata ditentukan oleh dilaksanakanya do a selamatan disekeliling sawah/ladang,tetapi ditentukan oleh penanaman bibit unggul, cara pengolahan, penggunaan pupuk, pemberantasan hama sampai kepada penanganan pasca panen. Hal ini

menunjukan bahwa cara dan tingkat rasionalitas berfikir mereka semakin meningkat dan bertambah maju, sementara nilai-nilai agama (kepercayaan) makin luntur dan memudar. Majunya cara berfikir diatas didukung oleh adanya pelaksanaan program pemerataan pendidikan melalui kejar paket , wajib belajar dan media masa secara pasti mampu mengajak masyarakat untuk berfikir dan bertindak berdasar logika (nilai teori). Artinya baik buruknya sesuatu tidak lagi berdasarkan pada nilai-nilai kepercayaan. Fenomena ini tanpak jelas pada pola tingkah laku mereka sebagai refleksi dari cara berfikirnya yang telah mengalami pergeseran. Sebelum adanya program mekanisasi, para petani menggarap sawahnya dengan menggunakan tenaga kerbau atau sapi. Sekarang ;lahan pertanian sudah digarap dengan bantuan mesin (menyewa traktor milik pemodal). Demikian juga dalam pelaksanaan panen yang dulunya banyak melibatkan para tetangga memangterlihat tidak efesien-dengan adanya tresser (mesin perontok padi) penggunaan tenaga manusia menjadi berkurang. Penggunaan alat ini disatu sisi memang menguntungkan, tapi disisi lain pola hubungan antar masyarakat petani, jelas merenggankan kohesi social, dan secara ekologis karena gabahnya tidak ada yang tercecer menyebabkan populasi burung menurun atau bermigrasi ketempat lain. Padahal keberadan burung merupakan salah satu mata rantai makanan dalam suatu ekosistem masyarakat petani. Dahulu, nilai gotong royong sangat terasa sekali, jika ada tetangga yang melaksanakan hajatan. Ketika petani mau menanam padi atau kedelai di ladang atau panenan, pasti tidak bayar, upahnya hanya makan pagi dan siang atau makan kecil. Jadi, kalau ada diantara mereka menanam atau memanen, maka warga yang lainnya ikut gotong royong dan begitu sebaliknya, terjadi semacam barter tenaga. Sekarang

keadaanya telah bergeser, kalau mau bercocok tanam atau panenan sudah harus memperhitungkan upah. Bahkan sekarang jika ada gentong dipukul untuk menggotong rumah tetangga, banyak orang yang berfikir praktis, cukup memberi uang dan tidak udah ikut gotong royong. Persoalanya mengapa hal ini terjadi ? Adanya desakan ekonomi pasar yang kuat, memang terlalu sulit dan berat untuk mempertahankan model gotong royong seperti diatas, dan memang tidak harus dipertahankan benarasal proporsional. Pola pikir praktis dengan hanya memberi uang tanpa mau terlibat gotong royong jelas merupakan pertanda erosi nilai dan munculnya nilai baru yakni indivualisme pada masyarakat perdesaan, Munculnya nilai individualisme ini terjadi karena semakin terbatasnya kepemilikan tanah yang banyak dikuasai oleh tuan tanah lokal atau masuknya petani berdasi dari kota. Jika dahulu yang namanya pekulen itu sampai dilempar orang kampung karena tidak membayar pajak pada pemerintah. Banyak pekulen Yang memiliki sawah 1 Ha 2 Ha malas menggarapnya, karena kebanyakan tanah, tapi sekarang semua pada lapar tanah, bahkan banyak juga orang kota datang untuk menggusur orang desa untuk memperluas daerah bisnisnya. Dari sini lalu tumbuh benih benih individualisme di kampung kampung yang dulu damai dan penuh kekerabatan. Benih-benih individualisme di atas banyak dicontohkan oleh orang orang kampung yang relatif terpelajar. Diantara mereka sekarang banyak membuat pagar tembok sekeliling rumahnya dan ada juga yang membuat dasar lantai rumah yang tinggi, padahal dulu perbuatan ini dianggap angkuh dan dinilai tidak memiliki rasa kebersamaan. Jadi rasa kebersmaan yang dulu ada di kampung, sekarang tidak terlihat lagi, kalau di kota barangkali hal ini dapat dimengerti.

Dahulu jika ada orang yang hendak bertransmigrasi atau pindah tempat tinggal, itu pasti ditangisi oleh warga kampungnya. Keadaan sekarang sudah berubah, hendak pergi jauh atau mau pindah ke mana, mereka sudah tidak perduli, bahkan merasa bersyukur supaya kampung lebih sepi dan luas. Jadi rasa kegotong royongan itu bukan saja sudah tererosi, tapi malah lebih sedikit dari sisa yang tererosi itu. Fenomena di atas menjadi indikasi bahwa nilai gotong royong,nilai solidaritas sosial di perdesaan telah menurun tajam, sedangkan nilai kuasa semakin meningkat dan menguat. Penguatan nilai kuasa ini dapat dilihat dari kondisi riil bahwa para petani dipedesaan telah menggunakan kuasanya dalam menggarap sawahnya, memanen padi, menyewa traktor dan dalam berbagai kegiatan lainnya, yang sebelumnya mungkin karena ikatan-ikatan tradisional harus mereka kerjakan dengan mengikutsertakan petani tetangga atau petani sedesanya. Keadaan ini menjadi pertanda yang jelas bahwa masuknya teknologi mekanisasi pertanian memang menguntungkan sekaligus juga menumbuhkan benih benih individualisme masyarakat petani yang sebelumnya hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Nilai seni di masyarakat-pun mengalami pergeseran ke arah komersialisasi, padahal dulu seni lebih didominasi oleh rasa seni dan keindahan, terlepas dari pertimbangan material. Wayang kulit, wayang golek atau bentuk kesenian rakyat lainnya, kini sudah banyak diberi pesan sponsor, sehingga tidak lagi menghasilkan kesenian yang bermakna dalam memberi kontribusi nilai kepada kehidupan, bahkan dengan adanya pesan pesan sponsor, nilai kesenian menjadi jelek dan tidak mandiri lagi. Dahulu , kesenian ronggeng tidak bayar, habis penen langsung mengadakan pentas ronggeng dan penonton secara

sukarela menyumbang langsung. Tapi ronggeng sekarang sudah pasang tarif, demikian juga dalang. Jadi seni sudah mengalami komersialisasi yang sangat parah, kesenian kampung menjadi tidak asli lagi, karena pola konsumerisme sudah besar dan merambah kemana mana.

Ditinjau Dari Segi Procesing Pembangunan Mekanisasi pertanian dan Teknologi Pasca Panen merupakan wahana untuk transformasi dari pertanian tradisional ke arah pertanian dengan budaya industri. Dan juga mekanisasi merupakan sebagai suatu sub sistem IPTEK memiliki arti yang sangat strategis, karena dengan (mekanisasi pertanian ) termasuk teknologi pasca panen), akan didorong pergeseran kearah produktivtas dan efisiensi usaha tani tradisional ke usaha tani komersial atau modern.Adanya pengembangan kelembagaan mekanisasi pertanian dipedesaan. Dimana kelembagaan bukan terbatas hanya pada institusi fisik seperti organisasi pemerintah, namun juga berkaitan dengan supporting system yang dibutuhkan untuk melayani pengembangan mekanisasi pertanian dan teknologi pasca panen. Antara lain adalah keberadaan kelompok tani desa, asosiasi pengusaha, dealership, UPJA, lembaga kredit atau keuangan desa, lembaga penjamin kredit desa, asuransi ( jika appropriate pada saatnya), bengkel dan industri perawatan dan pemeliharaan yang perlu dihidupkan. Sehingga dengan adanya lembaga lembaga tersebut, keberlanjutan operasi mekanisasi pertanian dipedesaan dapat dijamin berlangsung terus. Juga pengentasan kemiskinan dan penghapusan kelaparan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan dan pengembangan mekanisasi pertanian dan perdesaan yang berkelanjutan, yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya beli masyarakat.

Bersamaan dengan penerapan berbagai macam teknologi pertanian di perdesaan, pemerintah juga memperkenalkan program pembangunan desa melalui bantuan desa. Pada program ini, pemerintah tidak membenarkan lagi proyekproyek desa dilaksanakan secara gotong royong tanpa disertai dengan imbalan gaji/upah. Akibatnya, dalam mengerjakan sawah, nilai tolong menolong (gotong royong) pun juga sudah lebih sedikit jika dibandingkan dengan dua atau tiga puluh tahun yang lalu. Pembangunan sekarang ini semakin menjauhkan jarak antara yang kaya dan yang miskin. Petani kaya dengan modal 2 Ha tanah semakin enak dan kaya , karena tanahnya disewakan jutaan rupiah pertahun dengan tanpa resiko rugi. Sebaliknya petani miskin bertambah miskin dan susah. Hendak naik gunung saja, sekarang jangankan kayu, daun jati saja sudah tidak boleh diambil, karena sudah dikuasai oleh pemegang HPH dari kota. Akibatnya, petani miskin mati kelaparan di Negaranya yang subur. Pembangunan sektor pertanian telah membawa pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya masysarakat petani. Hal ini tampak pada semakin meningkatnya orientasi ekonomi dan rasionalitas berpikir masyarakat petani, sementara nilai kepercayaan dan rasa solidaritas, kegotongroyongan terlihat sermakin luntur, bahkan sangat mungkin akan hilang sama sekali. Sekalipun demikian, pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya tidak semuanya buruk (negatif). Kecuali sebagai intensitas pelaksanaan pembangunan di satu sisi, pergeseran nilai sosial budaya bahkan- mungkin- menjadi kekuatan pendorong bagi keberhasilan pembangunan sektor pertanian. Pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya juga dapat menjelaskan seperti mengapa partisipasi

masyarakat perdesaan dalam kegiatan pembangunan rendah. Partisispasi ini mungkin dapat di tingkatkan dengan menyesuaikan nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya yang berlaku di masyarakat tersebut. Adanya pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya ini juga mengisaratkan kuatnya harapan masyarakat perdesaan untuk menuju perbaikan taraf kehidupan mereka. Oleh karena itu, dalam melakukan program pemberdayaan masyarakat pedesaan, kecuali perlunya perhatian terhadap aspirasi masyarakat yang tercermin dalam nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya mereka pada saat ini, juga perlu dan harus melakukan transformasi nilai dan ilmu pengetahuan terlebih dahulu yang sesuai dengan modernisasi, sehingga pelaksanaan program pembangunan (pemberdayaan masyarakat pedesaan) dapat mengena pada sasaran yang diinginkan. Ditinjau Dari Segi Sosial Ekonomi Berbagai studi menyebutkan, bahwa alat dan mesin pertanian memiliki kaitan sangat erat dengan dinamika sosial ekonomi dari sistem budidaya pertaniannya. Sumbangan alat dan mesin pertanian dalam pembangunan pertanian dapat diukur pada berbagai kasus, misalnya penggunaan pompa ai tanah di Jawa Imur yang mampu merubah pola tanam dari padi-bero menjadi padi - padi atau padi palawija palawija. Demikian pula penggunaan mesin perontok padi yang menurunkan susut panen dari > 5% menjadi kurang dari 2%. Penelitian terhadap perbaikan dan penyempurnaan mesin penggilingan padi mampu menaikkan rendemen giling cukup. Dan juga beberapa kasus pada pengolahan kakao dan kopi, juga memberikan indikasi, bahwa penggunaan alat dan mesin untuk sortasi, pengeringan, dan penanganan primer hasil kakao dan kopi mampu meningkatkan kualitas hasil dan pada

akhirnya mengangkat nilai tambah hasil pertanian Dalam sistem agribisnis yang terbagi dalam empat sub sistem yaitu sub sistem agribisnis hulu sampai pada sub sistem agribisnis hilir (pengolahan dan pemasaran), peran alsintan diperlukan. Ditinjau Dari Segi Perluasan Areal Baru Peran mekanisasi pertanian pada perluasan areal baru, terutama pada lahan pasang surut, sulfat masam, lahan bergambut, memberikan prospek yang cukup baik dalam kaitannya dengan usaha pelestarian swa sembada beras. Hasil penelitian, studi dan pengamatan di berbagai ekosistem tersebut memberikan indikasi bahwa marginalitas lahan tersebut bersifat dinamis, dimana unsur waktu, perkembangan teknologi budidaya padi, kelembagaan alih teknologi memegang peranan penting dalam mematangkan tanah (Puslitbangtan, 1996). Unsur kepekaan (sensitivity) mekanisasi pada lahan tersebut ditunjukkan oleh keberadaan gambut, pirit, kematangan lahan (n-faktor) dan indeks konis (cone indeks) dan tinggi genangan air. Dengan determinan tersebut, mekanisasi pertanian pada ekosistem rawa, pasang surut dan lahan bergambut harus selektif dan memandu dilakukannya suatu pemilihan alsintan yang spesifik, manajemen operasi dan kelembagaan pengaturannya (Tim Studi Mekanisasi Lahan Rawa/ Gambut, 1997). Ditinjau Dari Segi Sumber Daya Manusia Dengan adanya pengembangan mekanisasi pertanian maka akan meningkatkan sumber daya manusia atau juga meningkatkan keberdayaan masyarakat desa. Karena kemampuan Sumber Daya Manusia dibutuhkan tidak hanya untuk mengoperasikan mekanisasi pertanian secara fisik sebagai operator teknologi, namun juga diperlukan dalam manajemen sistem teknologi. Manajemen Sistem Teknologi

tersebut dimulai dari pemilihan ( seleksi), pengujian dan evaluasi, serta penciptaan teknologi baru yang sepadan dengan perkembangan zaman. Pergeseran sistem pertanian dari padat tenaga kerja ke padat modal dengan menggunakan mekanisasi pertanian memerlukan keahlian dalam merencanakan, menganalisa, dan memberikan keputusan keputusan yang tepat. Masyarakat perdesaan-orang kampung- sebetulnya banyak yang tidak mengerti bahwa pembangunan itu untuk siapa, karena terlampau sedikit hasil pembangunan dirasakan oleh orang desa. Modernisasi pertanian, misalnya hasilnya memang dirasakan, tetapi oleh mereka yang awalnya sudah kenyang (kaya), karena mereka punya tanah. Petani yang tanahnya sedikit, apalagi yang tidak punya, kehadiran traktor dan instrumen pertanian modern lainya sama sekali tidak ada artinya. Pembangunan yang menyangkut bibit-bibit unggul memang mereka rasakan, tetapi untuk menaikan derajat kehidupan, sama sekali tidak ada perubahan yang mendasar. Petani yang pada tahun 1970-an sebagai derap- buruh upah panenansampai sekarang masih sebagai buruh derap. Berbeda dengan para petani yang sejak awal memiliki tanah 1-2 Ha, sekarang relatif bertambah kaya dan makmur, jadi yang teranggkat bukan lapisan bawahnya. Hal tersebut terjadi karena modernisasi yang dibawa kedesa tanpa adanya pertimbangan dan analisa yang matang. Mestinya, modernisasi harus melalui tahapan persiapan sarana pengetahuan lebih dahulu yang sesuai dengan rencana modernisasi. Karena itu perlu disiapkan agar masyarakat di perdesaan memiliki rasa kemandirian- transformasi semangat dan rasa optimis. Demikian juga dengan kehadiran traktor dan instrumen pertanian modern lainya. Karena tidak diberi wawasan

terlebih dahulu tentang traktor dan instrumen pertanian lainya, untuk 1-2 hari mungkin tidak ada masalah, tetapi untuk sekian bulan berikutnya, bila ada metalnya klok, murnya copot, spuyernya lepas, terpaksa menyerah bulatbulat kebengkel Cina. Tukang bengkel bilang bayarnya Rp. 100.000,- terpaksa harus membayar Rp. 100.000.-. Jika hal ini terjadi, berarti nilai produktifitas mesin menjadi hilang bahkan bisa menjadi minus. Hal ini bisa saja terjadi, jika sebelumnya tidak ada transformasi nilai atau ilmu penetahuan mengenai hal tersebut. Ditinjau Dari Segi Pangan Dengan adanya mekanisasi pertanian maka akan ada pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini dikarenakan pada umumnya penghidupan masyarakat pedesaan dari sektor pertanian. Ditinjau Dari Pengaruh Globalisasi Globalisasi perdagangan merupakan masalah sekaligus peluang dalam pembangunan/ pengembangan mekanisasi pertanian. Beberapa implikasi dari dinamika lingkungan internasional tersebut, adalah: (1) setiap negara harus meningkatkan dayasaing produknya agar tidak tersisih oleh produk-produk impor, di sisi lain kita dapat memanfaatkan pasar global yang semakin terbuta; dan (2) globalisasi disatu sisi akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat dalam negeri dalam hal keragaman, mutu dan keamanan produk pangan.

Mekanisasi Pertanian Politeknik Banjarnegara Kuliah Mekanisasi Pertanian (AGR 301) di Politeknik Banjarnegara dimulai pada hari Sabtu, 2 Oktober 2010. Perkuliahan dibagi menjadi 2 kelas, yaitu kelas A dan kelas B dengan jumlah mahasiswa masing-masing 34 dan 35 orang. Kuliah ini diampu oleh 2 orang dosen, yaitu Susanto Budi Sulistyo, S.TP., M.Si. (Unsoed) dan Dwi Ari Cahyani, S.TP. (Poltek Banjarnegara). Koordinator dari mahasiswa adalah Aris Ridho Afan (kelas A) dan Weda Asmara Dewi (kelas B). Metode pembelajaran mata kuliah ini meliputi ceramah dosen dan presentasi-diskusi oleh mahasiswa. > pembagian kelompok dan materi menyusul. Materi perkuliahan meliputi: 1. Pengantar Mekanisasi Pertanian 2. Sumber Daya dan Tenaga di Bidang Pertanian a. Manusia, Hewan, Angin b. Air, Listrik c. Matahari, Motor bakar 3. Motor Bakar Torak 4. Traktor dan peralatan tambahan pada traktor 5. Peralatan Pengolahan Tanah 6. Alat dan Mesin Penanam

7. Alat dan Mesin Pemupukan Tanaman 8. Alat dan Mesin Panen Padi REFLEKSI MEKANISASI PERTANIAN INDONESIA DI 65 TAHUN KEMERDEKAAN Agustus 26, 2010 at 2:14 am (Tulisan Pemikiran Fikri) LEKSREFLEKSI MEKANISASI PERTANIAN INDONESIA DI 65 KEMERDEKAAN Oleh : Fikri Al-Haq Fachryana * Mekanisasi pertanian adalah aplikasi mekanis berupa mesin atau alat pada proses produksi pertanian (dalam arti luas) baik on-farm maupun off-farm. Mekanisasi pertanian di Indonesia telah dilakukan sejak tahun. Mekanisasi pertanian yang tepat berperan sangat signifikan untuk peningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian serta pengolahannya. Mekanisasi pertanian mencakup keuntungan efisiensi, efektifitas, kualitas dan produktifitas pertanian. Kemudian berdampak sistemik pada kesejahteraan petani dan pemenuhan kebutuhan pangan , energi dan bahan produksi masyarakat. Namun demikian sangat ironis, di tengah menjamurnya institusi penelitian (termasuk peneliti), pendidikan (termasuk orang terdidik), serta lembaga pemberdayaan masyarakat di bidang mekanisasi pertanian, saat itulah pula mekanisasi pertanian belum berkembang dan benar-benar termanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Saat ini alsintan lebih banyak diadopsi bukan diadaptasi . Jika sudah demikian, keuntungan-keuntungan di atas belum didapatkan. Lalu apa permasalahannya? Dan bagaimana solusinya? Tidak hanya bagi pemerintah, namun bagi

akademisi/peneliti, pengusaha juga yang terpenting petani sendiri sebagai subjek utama. Dalam tulisan ini akan dikaji secara komprehensif dari berbagai faktor penentu mekanisasi pertanian. 1. 1. Ekonomi Ekonomi adalah faktor yang paling diprioritaskan oleh petani dalam memutuskan pengunaan mesin pertanian (Al-Haq, 2009). Petani secara sendiri-sendiri merasa belum mampu dalam investasi alat dan mesin pertanian (jika mereka belum merasa sangat membutuhkannya). Hal ini tentu tidak akan terlalu berat jika kelembagaan kelompok tani, koperasi, ataupun Unit Pelayanan Jasa Alsintan masih banyak yang aktif. Karena dengan mengelompok, maka kemampuan beli petani serta biaya pemeliharaan akan terjangkau. Yang menjadi permasalahan adalah, pasca orde baru kelembagaan UPJA, KUD banyak yang bubar dan sampai saat ini banyak yang belum dibangun. Akhirnya alat mesin pertanian hanya dikuasai oleh petani kaya atau rentenir saja. Sebenarnya, dalam jangka panjang, ketika biaya variabel dapat menurun karena efisiensi waktu dan beberapa komponen biaya seperti tenaga kerja, ditambah dengan kenaikan pemasukan hasil penjualan karena produktifitas naik, maka secara otomatis besarnya biaya pokok akan turun dan pendapatan petani akan meningkat. Ini jika saja alsintan dapat digunakan. 1. 2. Teknis Hasil penelitian pada studi kasus alat mesin perontok padi, di lapangan ditemukan banyak sekali alat mesin hasil penyebaran proyek pemerintah yang tidak dapat digunakan karena bahannya sangat mudah rusak. Ini dikarenakan oleh proyektor yang nakal alias Makelar Proyek. Proyek dilakukan asal jalan dan

menghabiskan anggran saja (sebab jika anggaran tidak habis, tahun depan kecil kemungkinan akan diberi lagi). Akhirnya alsintan diproduksi dengan asal-asalan. Ini jelas sangat merugikan petani. 1. 3. Fungsional Banyak data yang menyebutkan kapasitas suatu alsintan tinggi. Studi kasus pada alat perontok padi pedal thresher buatan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian yang menurut data dijelaskan kapasitas 100 kg/jam. Namun faktanya, 25 kg/jam saja sulit, dan petani memilih menggunakan manual karena lebih mudah. Penelitian-penelitian dan percobaan kapasitas tidak dinormalisasi terlebih dahulu. Kapasitas 100 kg mungkin jika digunakan oleh petani yang sudah terbiasa, namun bagi yang belum terbiasa, akan sulit. Disinilah perlunya pembiasaan penggunaan alsintan (teknologi baru). 1. 4. Ergonomi Beberapa alsintan dirasakan petani tidak ergonomis. Hal ini disebabkan alsintan hanya diasopsi, bukan diadaptasi. Alsintan dari luar apalagi impor tentunya secara ergonomi belum tentu sesuai dengan antropometri masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Disinilah diperlukan adaptasi dan modifikasi alsintan agar sesuai dengan kondisi masyarakat di setiap daerah di Indonesia. 1. 5. Kesehatan dan keselamatan kerja Pekerjaan yang tidak tersentuk aspek kesehatan dan keselamatan adalah pertanian subsistem petani kecil. Berbeda dengan industri non-pertanian yang sangat memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Kalaupun ada, K3 hanya dilakukan pada

perusahan pertanian level besar. Sedangkan petani kecil di lahan tidak pernah diprioritaskan menggunakan sepatu but ketika ke lahan, menggunakan masker ketika menyemprot pestisida, petani cenderung tak berpakaian lengkap ketika bekerja. Padahal resiko kecelakaan kerja di lahan sangat besar. Pemerintahpun belum menuju kea rah sana sepertinya. Jika sudah seperti ini, pertanian terus dianggap pekerjaan yang rendahan. Padahal jika alsintan akan dikembangkan, maka aspek K3 harus disertakan karena resiko kesehatan dan keselamatan pada saat menggunakan alat mesin lebih besar dibandingkan manual. 1. 6. Kondisi lapangan Mekanisasi pertanian terhambat oleh kondisi lahan petani Indonesia yang hanya 0,2 ha/orang. Kondisi ini dipersulit lagi dengan ketidakkompakan petani dalam menanam dan masa tanam. Teringat dulu ketika orde baru petani sangat kompak dalam menanam dan masa tanam. Padahal jika saat inipun petani kompak dalam masa tanam, maka luasan tanah yang 0,2 ha bisa menjadi 2-3 ha, di mana alsintan akan mudah masuk dan efisien akhirnya. Lagi pula sebenarnya masa tanam yang serempak dapat mengurangi penyebaran hama penyakit. Selain luasan tanah yang sempit, kondisi lapangan yang berbukitbukit menyebabkan alsintan sulit masuk ke lahan. Dari dua permasalahan tadi, solusi terbaiknya adalah adanya konsolidasi lahan. Jika sudah seperti ini mau tidak mau petani harus mengurangi egoismenya untuk saling aku dan aku (ini tanahku, terserah aku mau tanam apa dan kapan . 1. 7. Fasilitas penunjang operasi Alsintan membutuhkan fasilitas penunjang operasi untuk dapat digunakan dengan baik. Fasilitas itu adalah BBM, suku cadang,

perbengkelan, operator dan jalan akses transportasi alsintan. Pada faktanya, BBM sulit didapatkan, terlebih setelah adanya PP No 09 2006 dimana tidak diperbolehkan membeli bensin selain kendaraan bermotor. Jika ada pun BBM di daerah pedesaan harganya sudah lebih mahal (Rp. 5500/lt bensin) dan itu pun tidak dipastikan murni bensin. Suku cadang alsintan lebih banyak produk luar negeri dan harus diimpor jika ada kerusakan. Inilah penjajahan bentuk baru luar negeri. Sampai saat ini merek-merek yang digunakan adalah merek luar negeri untuk alsintan dan mesin. Padahal sudah banyak hasil riset alsintan. Penyebabnya adalah karena pengusaha tidak berani berinvestasi untuk produk anak bangsa sendiri. Selain itu fasilitas paling penting untuk aksesibilitas alsintan adalah jalan pertanian yang memadai. Saat ini di beberapa daerah belum memiliki fasiltas jalan pertanian yang dapat dengan mudah alsintan masuk ke lahan. Ini juga yang menjadi alasan para petani enggan menggunakan alsintan, karena mereka merasa kerepotan dalam mengangkut ke lahan. 1. 8. Sosial budaya Di beberapa tempat sentra padi, seperti karawang, ada anggapan jika power thresher masuk, maka masyarakat akan beramai-ramai membakarnya. Ini terjadi karena ada konflik kepentingan antara buruh tani degan alsintan. Paradigma berfikir masyarakat adalah bahwa alsintan dapat mengurangi jatah pekerja tani. Padahal, seharusnya paradigma yang harus diazamkan adalah konsep pengalihan tenaga kerja dari on-farm menjadi off-farm. Dengan masuknya alsintan, maka produktivitas akan meningkat dengan waktu yang lebih cepat. Dengan demikian input produksi akan lebih besar dan cepat, sehingga tenaga kerja di off-farm lebih banyak dibutuhkan.

Memang di beberapa tempat sudah menjadi budaya, masyarakat yang selalu memegang teguh tradisional dan enggan berganti dengan teknologi baru. Disinilah pentingnya pendekatan sosial kultural untuk mengadaptasikan teknologi. Proyek pemerintah dalam memberikan bantuan alsintan seringkali tidak memperhatikan sosial kultural masyarakat yang menjadi target. Disinilah pentingnya orang-orang mekanisasi juga belajar persoalan sosial. Intinya seorang engineer juga harus berjiwa sosial. 1. Kebijakan Wajar jika kebijakan pengembangan mekanisasi pertanian belum benar. Suatu kebijakan didasarkan atas data dan informasi di lapangan. Namun yang menjadi ironi, data alsintan mana yang bisa dianggap valid? Jawabannya jarang, bahkan tidak ada. Data alsintan diperoleh dari UPTD alsintan di setiap Kabupaten. Dan data temuan di lapangan (kasus Kab Bogor), data tersebut didapatkan hanya berdasarkan kira2. Data sangat mudah dirubahrubah tergantung kebutuhan. Jika ingin bantuan, maka data dikurangi. Jika ingin dinilai baik, data ditambahkan. Itulah wajah pengelolaan data alsintan negeri ini. Banyak kebijakan yang salah sasaran akhirnya. Sehingga banyak juga traktor yang menganggur tak digunakan karena masyarakat yang tidak disiapkan sebelumnya. 10. Koordinasi antar sektor Menjadi persoalan yang tak berujung. Setiap seminar, kita terus mempersoalkan ini. Kesimpulan diskusi, seminar adalah selalu koordinasi, koordinasi ya sebuah kata yang mudah diucapkan tapi sulit direalisasikan. Fakta-faktanya adalah : 1) jangankan koordinasi antar pihak, intra 1 pihak saja belum beres. Faktanya sebuah riset alsintan dikembangkan oleh banyak pihak dari mulai Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Balai Besar Pengolahan

Pascapanen, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Perkebunan (ini padahal masih dalam 1 departemen pertanian). Biodiesel (topik yang sama) saja dikembangkan bukan hanya di berbagai lembaga di departemen pertanian, tapi di departemen perindustrian pun mengerjakannnya. 2) Riset alsintan juga ternyata dikembangkan oleh BPPT LIPI, kementrian ristek. Hal semacam ini jelas membingungkan kita, sebenarnya siapa yang mengkomandoi mengembangkan alsintan? Akhirnya pengembangan alsintan tidak jelas, karena semua buat roadmape. Anggrana riset juga akhirnya tidak efisien, karena sebuah riset yang sama, dikerjakan oleh banyak lembaga. Inilah yang disebut MARSET atau makelar riset . Semua berlomba melakukan riset agar diberikan anggaran, atau hanya sekedar eksistensi lembaga. Koordinasi juga terlihat ketika kegiatan sosialisasi alsintan dilakukan. Sangat jarang sekali pengusaha yang mau datang di seminar alsintan. Maklum, pengusaha selalu menghitung untung ruginya. Kedepan, koordinasi ABGC harus terus dilakukan. Lembaga-lembaga independen keteknikan pertanian memiliki potensi untuk dapat menjadi fasilitator koordinasi antar pihak tersebut. 11. Informasi Sosialisasi alsintan sudah dilakukan, namun belum optimal. Penyuluh pertanian yang saat ini ada belum banyak diantara mereka yang memiliki wawasan alsintan. Mereka lebih banyak kepada proses budidaya. Sosialisasi alsintan hanya sebatas di seminar. Expo, yang jelas-jelas acara seperti itu tidak dapat leluasa diakses petani di daerah. Maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi yang lebih menyeluruh kepada masyarakat luas. Disinilah peran mahasiswa, dan lembaga keteknikan pertanian untuk dapat

membantu dalam mensosialisasikan alsintan kepada masyarakat luas. Selain itu kurangnya publikasi ke tataran grassroot/petani dibuktikan dengan banyaknya hasil riset yang hanya tersimpan di perpustakaan atau di lemari, menjadi tantangan kita semua. Begitu banyak tantangan kita dalam pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia. Akhirnya apa yang bisa kita lakukan sebagai diri sendiri, sebagai akademisi. Politik mercusuar yang selama ini banyak digunakan oleh kita hendaknya sudah harus kita ganti. Bayangkan jika setiap institusi riset dan pengembangan di negeri ini fokus ke sekitarnya (tidak hanya mengejar lever World Class University atau apapun itu levelnya, betapa majunya negeri ini. Begitu juga dengan alsintan. Jikalau IPB, UNPAD dengan Jawa Barat nya, UGM, UNSOED, INSTIPER dengan Jawa Tengah nya, UNIBRAW, UNEJ dengan Jawa Timur nya, UNILA dengan Lampungnya, atau UNIPA dengan Papua nya. Organisasi akademisi keteknikan pertanian pun segera memberi contoh pada masyarakat soal koordinasi. Antara PERTETA, IMATETANI, setiap Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian di setiap perguruan tinggi, S1 dan pascasarjana mari saling berkoordinasi, lepaskan eksistensi lembaga kita demi berkontribusi bagi rakyat. Jika sudah demikian, dan jika Tuhan berkehendak, sudah bisa dipastikan tidak ada lagi petani sekitar kampus yang masih menggunakan kerbau untuk mengolah lahannya. Dan adaptasi alsintan menurut kondisi daerah dapat dilakukan dengan baik. * Penulis adalah Ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana Keteknikan Pertanian (FORMATETA) dan Ketua Institut Teknologi Pertanian Indonesia

Sumber : Bagian dari penelitian penulis tahun 2009 dan rangkuman diskusi di beberapa kota , IMATETANI tahun 20072008.