Media Massa

13
Hukum Media Massa 10 January 2013 - dalam Jurnalisme Oleh yayan-s-fisip HUKUM MEDIA PENYIARAN PERLANGGANAN HMM Pasal 25 Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mendefinisikan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan. Secara lebih khusus, dalam PP No 52 Tahun 2005 pasal (2), Lembaga Penyiaran Berlangganan adalah penyelenggara penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan. Indovision mengklaim dirinya sebagai perusahaan televisi berlangganan pertama dengan menggunakan satelit Palapa C-2 sejak pertama berdiri pada bulan Agustus 1988. Sembilan tahun kemudian, yakni pada tahun 1997, Indovision meluncurkan satelit barunya yakni IndoStar 1 atau yang lebih dikenal dengan satelit Cakrawarta1 yang digunakan sampai sekarang. Kini jumlah lembaga penyiaran berlangganan semakin bertambah. Bahkan, sampai sekarang telah ada delapan institusi yang sedang mengajukan ijin siaran: 1. PT. Indonesia Media Televisi (IM TV); 2. PT. Central TV Digital (Central Tivi); 3. PT. Mega Media Indonesia (Mega Vision); 4. PT. I Television (I-TV); 5. PT. Biznet Multimedia (Biznet); 6. PT. Mediatama Anugrah Citra (NexMedia); 7. PT. Triutama Kominakom (Visicom); 8. PT. Mentari Multi Media (M2V). Karena sifatnya yang komersial,

description

hukum media massa

Transcript of Media Massa

Hukum Media Massa10 January 2013 - dalam Jurnalisme Oleh yayan-s-fisipHUKUM MEDIA PENYIARAN PERLANGGANAN

HMM

Pasal 25 Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mendefinisikan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan. Secara lebih khusus, dalam PP No 52 Tahun 2005 pasal (2), Lembaga Penyiaran Berlangganan adalah penyelenggara penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan.

Indovision mengklaim dirinya sebagai perusahaan televisi berlangganan pertama dengan menggunakan satelit Palapa C-2 sejak pertama berdiri pada bulan Agustus 1988. Sembilan tahun kemudian, yakni pada tahun 1997, Indovision meluncurkan satelit barunya yakni IndoStar 1 atau yang lebih dikenal dengan satelit Cakrawarta1 yang digunakan sampai sekarang.

Kini jumlah lembaga penyiaran berlangganan semakin bertambah. Bahkan, sampai sekarang telah ada delapan institusi yang sedang mengajukan ijin siaran: 1. PT. Indonesia Media Televisi (IM TV); 2. PT. Central TV Digital (Central Tivi); 3. PT. Mega Media Indonesia (Mega Vision); 4. PT. I Television (I-TV); 5. PT. Biznet Multimedia (Biznet); 6. PT. Mediatama Anugrah Citra (NexMedia); 7. PT. Triutama Kominakom (Visicom); 8. PT. Mentari Multi Media (M2V). Karena sifatnya yang komersial, ekslusif dan didukung dengan partisipasi asing, lembaga penyiaran berlangganan kerap berhadapan dengan persoalan hukum. Persoalan ekonomi politik media penyiaran juga tidak lepas dari lembaga penyiaran berlangganan.

Kasus monopoli siaran Liga Premier Inggris oleh ASTRO, misalnya, menjadi salah satu saja dari deret kasus, sehingga melibatkan KPPU. AORA TV juga mengalami kendala hukum lantaran pengalihan status kepemilikan yang tidak jelas. Belum lagi kesulitan mekanisme hukum dalam membatasi siaran luar negeri berbau pornografi yang kerap ditayangkan oleh stasiun berlangganan.

Banyaknya kasus hukum dari lembaga penyiaran berlangganan ini bermuara pada meningkatnya respons pasar Indonesia dari tahun ke tahun yang sangat adaptif bagi pendirian stasiun penyiaran berlangganan. Perkembangan televisi berbayar atau berlangganan ini tergolong cukup signifikan di Indonesia. Menurut data yang diungkap Direktur Utama Indovision, Rudy Tanoesoedibjo, pasar potensial televisi berbayar di Indonesia pada dua tahun lalu (2006) berada di kisaran 12 juta orang atau sekitar 22% dari keseluruhan 57 juta pemilik TV rumahan. Dan bukan mustahil angka ini akan meningkat tajam. Konsumsi televisi berbayar ini selain melibatkan faktor ekonomi, faktor sosial pun menjadi pertimbangan. Monotomi siaran atau tayangan televisi terrestrial yang ada saat ini, sedikit banyak berpengaruh pada costumer sovereignity dalam memilih tayangan yang berkualitas. Alternatif inilah yang ditawarkan oleh televisi berbayar.

Homogenitas siaran komersial swasta dalam negeri pada akhirnya memiliki andil dalam menciptakan celah bagi LPB untuk mendirikan jejaring usahanya di Indonesia. Pasar yang potensial menjadi pelatuk bagi pertumbuhan industri yang wajar.

Persoalannya kemudian, sebagaimana penyiaran swasta-komersial yang mengandalkan logika pasar, hampir bisa dipastikan terjadi pula pelanggaran di wilayah hukum. Kasus ASTRO misalnya, melibatkan ragam kepentingan dan dugaan monopoli siaran. Komisi IV DPR (membidangi perdagangan) saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan sejumlah pengelola antara lain Indovision, Telkom Vision, Indosat dan Kabelvision, meminta KPPU menindaklanjuti dugaan praktek persaingan tak sehat pada industri televisi berlangganan di Indonesia.

Kasus tersebut bermula 14 September 2007, tiga operator televisi berlangganan yaitu Indovision, Telkomvision dan IM2 melaporkan PT Direct Vision, operator TV berlangganan Astro kepada KPPU karena diduga melakukan monopoli siaran Liga Inggris di Indonesia. Kasus ini memang lebih bertekanan pada hukum UU Anti Monopoli, yang sifatnya sedikit banyak melibatkan para pesaing usaha. Sekalipun kasus ASTRO juga memiliki beberapa persoalan menyangkut hak public, akan tetapi ranah hokum LPB seolah terbatasi hanya dalam lingkup horizontal antar pelaku usaha, bukan vertikal dengan masyarakat.

Konsekuensi penekanan hukum semacam ini sesungguhnya wajar saja, sebab LPB secara terang menempatkan audience sebagai konsumen. Oleh sebab itu, disamping ihwal persaingan usaha, konteks hukum seringkali juga diarahkan pada bagaimana konsumen tersebut mendapatkan haknya menggunakan perundang-undangan perlindungan konsumen.

PERKEMBANGAN HUKUM MEDIA DI INDONESIA

UU KIP

Pada 3 April 2008, Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) setelah disahkan lewat Rapat Paripurna DPR. Undang-undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi angin segar bagi publik atas hak-haknya dalam mengakses informasi, terutama dari lembaga-lembaga negara yang berurusan langsung dengan wilayah kemasyarakatan. Lihat pasal 2 ayat (1) hingga (3) yang menyatakan: (1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik. (2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. (3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu,biaya ringan, dan cara sederhana.

Secara universal hak publik atas informasi sesungguhnya telah sejak lama dikawal dalam pasal 19 Deklarasi Universal HAM PBB yang diterbitkan pada 1948 yang menyebutkan setiap orang memiliki hak asasi manusia untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan-gagasan melalui segala media dan tanpa memandang batas-batas wilayah.

UU KIP bersifat strategis, terutama jika diletakkan dalam perangkat nilai demokratisasi dan kontrol atas kekuasaan. Melalui UU ini, masyarakat memperoleh kesempatan supervisi yang bersifat langsung dan frontal terhadap penyelenggara acara atau urusan publik. Bersifat langsung, karena UU ini memberi peluang yang sama bagi setiap orang (sebagaimana dalam disebutkan dalam pasal 4 tentang Hak Pemohon Informasi Publik) untuk berhak memperoleh informasi, bukan lagi diwakili oleh institusi-institusi.

Disamping fungsi kontrol dan oposisional tersebut, warga negara juga dipandang sebagai partner kerja pemerintah yang bisa setiap saat memberikan masukan atau input bagi langkah-langkah kebijakan yang dijalankan.

UU KIP vs UU Rahasia Negara

Isi RUU Rahasia Negara pun cenderung bertentangan dengan RUU KMIP, terutama terkait dengan kategori rahasia negara, Dewan Rahasia Negara, juga telah menunjukkan keengganan, kekhawatiran, dan tarik ulur pemerintah dalam mengegolkan RUU KMIP. Otoritas pemerintah dan segenap instansinya yang diajukan dalam RUU Rahasia Negara telah menjadi penghambat proses pembahasan RUU KMIP.

Apalagi ketika RUU Rahasia Negara yang awalnya (tahun 1994) hanya mengatur persandian negara diperluas cakupannya menjadi rahasia negara pada 1999 dengan alasan banyaknya dokumen negara yang bocor pada masa reformasi. Di sisi lain, RUU KMIP sebenarnya telah mengatur pengecualian informasi yang dapat diakses publik. Apalagi rahasia negara sendiri telah diatur, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU Kearsipan.

Sayangnya, UU KIP memasukkan ketentuan tentang sanksi bagi penggunaan dan penyediaan informasi publik. Ketentuan itu disebutkan dalam Pasal 51 UU KIP yang menyebutkan, Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 juta. Bahkan, sebelumnya pemerintah sempat mengajukan usul untuk hukuman yang lebih berat, yaitu dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp 30 juta. Sementara itu, Pasal 52 mengatur sanksi serupa untuk badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik. Argumen yang muncul adalah alasan keadilan bagi pengguna maupun penyedia informasi publik.

Padahal ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bisa diinterpretasikan secara beragam. Pasal-pasal karet tersebut pun juga rentan penyimpangan wewenang oleh pemerintah.

UU ITE

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. Akan tetapi ada sejumlah pasal dalam UU ITE yang potensial memberangus kebebasan pers dengan ancaman pidana lebih berat dibanding KUHP. Regulasi yang telah dirancang sejak 1999 itu mengatur banyak hal, mulai dari kegiatan hacking, transaksi via sistem elektronik, hingga soal hak kekayaan intelektual, berikut ketentuan tentang ancaman sanksi pidananya. Dewan Pers menyatakan keberatan dengan UU tersebut. Mereka merasa tidak dilibatkan sama sekali dalam proses legislasi. Padahal kemunculan UU ITE dengan sejumlah pasalnya, ternyata dinilai sebagai babak baru pemberangusan kebebasan pers. Salah satunya adalah kemunculan hatzaai artikelen gaya baru. Dewan Pers cukup terganggu dengan keberadaan pasal 28 UU ITE. Pada ayat (2) disebutkan, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, agama, dan antargolongan.

Pidana bagi yang melanggar aturan informasi dan transaksi elektronik tidak tanggung-tanggung. Maksimum enam tahun mendekam bui dan/atau denda paling banyak Rp1miliar. Uniknya, ketentuan serupa sebenarnya sudah termaktub dalam pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bedanya, ancaman hukuman yang digariskan KUHP lebih irit, maksimum empat tahun penjara.

Khusus untuk penodaan agama, KUHP mengatur lebih rigid dalam pasal 156a. Hukumannya maksimum juga masih kalah dengan UU ITE, cukup 5 tahun bui saja. Pun begitu, penerapan pasal itu juga tidak mudah karena pengenaannya harus melibatkan sejumlah instansi. Contoh yang dijerat menggunakan pasal tersebut adalah Musaddeqmantan pimpinan Al-Qiyadah Al Islamiyah.

Menurut Dewan Pers, selain pasal 28 ayat (2) tersebut, ternyata masih ada pasal 27 UU ITE yang tidak kalah mencengangkan. Di situ terdapat pemidanaan anyar buat penyebar dokumen elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman. Semua ketentuan itu sebenarnya sudah termaktub dalam KUHP. Baru-baru ini, Bersihar Lubisseorang wartawan seniordijatuhi hukuman oleh Pengadilan Depok gara-gara menulis kolom yang dianggap bermuatan unsur penghinaan terhadap institusi penguasa umum.

UU ITE ini juga mengandung kelemahan yang mendasar. Misalnya, dalam pasal 27 ayat 1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ada beberapa permasalahan: kesusilaan-memakai standar siapa? Bahkan dalam satu rumah tangga sekalipun, antara suami istri bisa memiliki standar kesusilaan yang berbeda, bagaimana pula dalam satu negara? Bagaimana kalau terdapat perbedaan mencolok antara standar kesusilaan pengirim dan penerima?

Pada pasal yang sama ayat 2, disebutkan bahwa: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Apa tepatnya definisi perjudian itu? Apabila definisi perjudian adalah suatu kegiatan yang melibatkan uang dan/atau barang berharga lainnya, dimana terjadi perpindahan kepemilikan uang dan/atau barang berharga tersebut atas dasar pertaruhan yang dimenangkan secara untung-untungan, maka perdagangan saham jelas-jelas masuk kategori perjudian; bahkan perebutan jabatan politik pun masih bisa masuk dalam kategori ini. Sama seperti ayat 1, ayat ini juga sebaiknya dihapus saja.

Selanjutnya, pada ayat 3, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Penghinaan, menurut siapa?

Pencemaran nama baik, menurut siapa? Seharusnya standar tidak jelas ini diganti menjadi memiliki muatan tuduhan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan cara ini, selama sesuatu masih bersifat pendapat maka tidak dapat dikategorikan sebagai tuduhan. Contoh: Menurut saya dia bodoh adalah pendapat, sedangkan Saya yakin IQ nya rendah adalah tuduhan.

UU Perfilman

Undang-undang perfilman No. 8 Tahun 1992 yang ada di Indonesia hanya berfungsi sebagai pengontrol belaka. Seperti persoalan perizinan produksi, perizinan investasi dibidang film, lembaga sensor film yang represif. Dalam hal LSF yang dinilai terlampau luas kewenangannya dalam menggunting adegan-adegan film, sekelompok sineas muda Indonesia pernah mempermasalahkannya. Mereka menempuh langkah uji materiil perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, gugatan mereka tidak dikabulkan.

Perundangan itu juga tidak menyentuh ke persoalan pengaturan funding film, pengaturan sistem distribusi, hak cipta, hubungan tenaga kerja, standar upah dan hal-hal prinsipil lainnya. Dengan kondisi serupa ini, semakin sulit kemungkinan modal kembali bagi biaya film yang dibuat dengan dana di atas satu milyar.

Karena beberapa kelemahan itulah, diajukan RUU Perfilman yang baru. Dalam RUU ini, mekanisme sensor lebih diperlonggar dan ditambahkan mekanisme pengklasifikasian jenis film ke dalam kelompok-kelompok umur penonton yang boleh mengonsumsi film tertentu. Cara ini sekaligus memperlunak LSF sebagai lembaga superbody yang selama ini diberi kewenangan yang terlampau luas dalam menggunting adegan-adegan film. LSF dianggap sebagai biang keladi dari tumpulnya demokratisasi di bidang film.

Memang, jika merunut pada sejarah LSF (dulu BSFBadan Sensor Film) pada Orde Baru, fungsi lembaga ini memang diperuntukkan untuk mengamankan kekuasaan penguasa dari kritisme media massa, termasuk dari serangan aktivis perfilman nasional. Jika didapati film yang dianggap menyinggung norma-norma dominan yang dianggap sebagai konsensus Orde Baru, maka LSF-lah penjaga pertama yang akan dengan senang hati membredelnya.

Kejadian ini nyatanya terus berlangsung hinga orde Reformasi. Terjadi beberapa kali pengguntingan atau sensor, bahkan diantaranya dilakukan dengan tidak konsisten. Misalnya, LSF membiarkan adegan yang memperdengarkan lagu Genjer-Genjer, lagu atau mars bagi Partai Komunis Indonesia, pada film GIE. Akan tetapi, LSF justru memotong adegan sejenis pada film Lentera Merah.

Peralihan dari masa politik Orba ke Reformasi, ternyata tidak ditandai perubahan kebijakan sensor film. Karena itulah, RUU Perfilman didesakkan sebagai antitesis guna menghindari gunting tajam yang tak konsisten tersebut.

CYBERCRIME

Cybercrime secara umum dapat diartikan sebagai sub katagori dari kejahatan komputer. Terminologi tersebut merujuk pada penggunaan internet atau jaringan komputer lainnya sebagai komponen dari kejahatan. Komputer dan jaringannya dapat dilibatkan dalam kejahatan terdiri dari beberapa jalan (Legal Framework For Combating Cybercrime 2002: 3-4):

Komputer sebagai alat (computer as a tool)Komputer sebagai media penyimpanan (computer as a storage device)Komputer sebagai target (computer as a target)Namun demikian dalam ranah akademisi dan praktisi belum ada kesepakatan definisi mengenai kejahatan komputer (cybercrime), hal ini disebabkan perbedan sudut pandang dan penekanan para ahli tersebut. Ian Walden ( 2007: 20) menjelaskan bahwa ada perubahan paradigma dari penyalahgunaan komputer (computer abuse) kepada kejahatan komputer (cybercrime). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa perbedaan pendefinisian tersebut terkait dengan 5 (hal), yaitu: (i) technology-based; (ii) motivation-based; (iii) outcome-based; (iv) communication-based; dan (v) information-based.

Pemahaman yang berdasar pada teknologi, memandang kejahatan tersebut dari teknologinya yaitu teknologi komputer. Pendekatan ini digunakan oleh Departemen Hukum Amerika Serikat[1] yang mengkatgorikan kejahatan ini menjadi 3 (tiga), yaitu: (i) komputer sebagai objek kejahatan, komputer sebagai subjek dari kejahatan, dan komputer sebagai instrumen kejahatan.

Pemahaman kedua adalah pemahaman yang berdasarkan pada motivasi atau dorongan pelaku tindak pidana (motivation-based) dari kejahatan komputer. Misalkan pendapat Thomas dan Loader ( 2000 : 6 -7)[2] yang mendefinisikan 3 (tiga) katagori pelaku kejahatan yaitu: (i) hacker dan phreaks, (ii) Information merchants, mercenaries dan terrorist, dan (iii) exremist dan deviants. Motivasi utama kelompok pertama adalah rasa keingintahuan bukan niat jahat. Sementara kelompok kedua, motivasinya ekonomi yaitu mendapatkan keuntungan berupa uang. Sementara kelompok terakhir, motivasinya lebih ke arah politik dan aktivitas sosial. Pemahaman ketiga adalah berdasarkan

pemahanan yang berlandaskan hasil ( outcome-based). Penganut pemahaman misalkan BloomBacker dalam The EDP Auditor Jurnal II (1999 : 39)[3] bahwa kategori dari kejahatan ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu kejahatan terhadap orang (person), properti (property) dan negara. Sehingga dari ketiga kejahatan tersebut lebih lanjut menurutnya kejahatan dimaksud dapat dikelompokan menjadi 4 (empat), yaitu: (i) cyber-violance, (ii) Cyber-obsenity, (iii) cyber-theft, dan (iv) cyber-trespass.

Pemahaman keempat berdasarkan pada jaringan komunikasinya dibandingkan dengan perangkat komputernya (communication-based). Para ahli hukum dan praktisi yang melihat kejahatan ini berdasarkan sistem komunikasinya berpedapat bahwa kejahatan ini dapat dikatagorikan menjadi beberapa jenis, misalkan (i) ilegal communication misalkan penyebaran virus, barang-barang hasil pelanggaran hak cipta, pornografi); (ii) Unsolicited communication, misalkan Spam; (iii) unauthorized communication, misalkan hacking, DdoS attack.

Pemahaman terakhir adalah melihat kejahatan ini berdasarkan informasi (information-based). Informasi dapat menjadi target dari para pelaku kejahatan bahkan motivasi untuk melakukan kejahatan. Informasi sebagai target misalkan data kartu kredit dari website keuangan yang di-hack.

Pendefinisan cybercrime yang dianut dalam The Council of Europe Convention on Cybercrime. Menurut Walden (2007: 24) Apabila dilihat melalui pendekatannya maka konvensi ini mengantut pendekatan teknologi (technology-based) serta informasi (information-based). Kovensi tersebut secara subtansif membagi kejahatan komputer (cybercrime) menjadi empat, dimana disini direduksi menjadi tiga, yaitu: computer-related crime, content-related crime dan computer integrity offences.

Kategori pertama, merupakan kategori tradisional dari kejahatan yang menggunakan komputer sebagai instrumen kejahatan, misalkan penipuan. Kategori kedua, content-related crime, seperti pelanggaran terhadap hak cipta, pornografi, menekankan penggunaan komputer dan jaringannya sebagai sarana untuk pendistribusian informasi yang ilegal atau informasi yang melawan hukum. Walapun keduanya sama-sama menggunakan komputer sebagai alat atau instrumen dalam melakukan tindak pidana, namun keduanya tetap dapat dibendakan. Ian Walden (2007: 23) mengatakan perbedaannya ialah dalam computer-related crime, data atau informasi yang merupakan hasil pemerosesan merupakan juga termasuk dalam pengertian alat atau instrumen untuk melakukan tindak pidana.

Sementara dalam content-related crime, data atau informasi adalah tindak pidana, bukan sebagai alat atau instrumen. Kategori ketiga, adalah tindak pidana yang lebih difokuskan khususnya pada aktivitas yang menyerang keutuhan atau integritas dari sistem komputer dan komunikasinya, seperti menyebarkan virus komputer.

Di ranah hukum positif Indonesia, persoalan Cybercrime termasuk masalah serius, sebab kejahatan dengan menggunakan Internet hingga kini sangat sulit dapat dibawa ke jalur hukum, apalagi biasanya para pelaku (carding) ataupun (hacking) dapat secara mudah menghilangkan barang bukti, karena biasanya mereka ahli dalam bidang TI.

http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70765-Jurnalisme%20-Hukum%20Media%20Massa.html