Maukah Saya Menjadi Petani

download Maukah Saya Menjadi Petani

of 8

description

Artikel Ben White yang terbit di Inside Indonesia.

Transcript of Maukah Saya Menjadi Petani

  • Written by AKATIGA and Ben White

    Maukah saya menjadi petani? Print

    AKATIGA dan Ben White

    Diterjemahkan oleh Desti Maharani dan Martin Hoggart

    Afar (29) adalah anak seorang buruh tani yang tinggal di Wajo, Sulawesi Selatan. Dia bekerjasebagai pedagang kain di daerah pertambangan Bombana, sebelah timur laut Pulau Sulawesi,yang dapat ditempuh dalam beberapa jam dengan menggunakan kapal feri dari kampung asalnya.Baginya, tak ada keinginan untuk mengikuti jejak orang tuanya sebagai buruh tani. 'Lebih baikmenjadi pedagang daripada menjadi petani yang tidak memiliki tanah. Jika kita menyewa tanahdari orang lain, kita harus bekerja sejak pagi. Malu jika pemilik tanah melihat kita baru berangkatke sawah di siang hari. Tapi kalau punya tanah sendiri dan kadang-kadang merasa malas, kita bisaberangkat ke sawah kapan pun sesuka kita'. Selain itu, Afar juga menilai bahwa bertani adalahpekerjaan yang memiliki risiko tinggi, terutama jika terjadi kegagalan panen dan uktuasi hargayang tidak menentu.

    Pertanian, dan pertanian skala kecil khususnya, sampai sekarang masih menjadi mata pencaharianutama bagi kaum muda di pedesaan. Namun begitu, masyarakat di seluruh Indonesia dan juga disebagian besar negara lain, baik negara maju maupun berkembang mengatakan bahwa 'kaummuda tidak lagi tertarik pada pertanian'. Para petani sendiri berharap bahwa anaknya akan

    Bekerja di tempat penggilingan beras, Sulawesi Selatan Charina Chazali

  • mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi petani. Apakah ini berarti bahwa tidakakan ada lagi generasi penerus petani yang akan menyediakan beras dan bahan pangan lain untukpenduduk Indonesia yang jumlahnya kian meningkat?

    Beralih dari pertanian?Kami, para peneliti di lembaga swadaya masyarakat Akatiga, Bandung, telah mempelajari masalahini sejak tahun 2013 di 12 desa penghasil beras di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.Kami berbicara dengan laki-laki dan perempuan berusia 13 hingga 30 tahun dari berbagai latarbelakang. Beberapa merupakan anak tuan tanah maupun pemilik lahan kecil, dan yang lainnyaadalah anak dari petani penyewa atau buruh tani. Dari sudut pandang mereka, kami sadar bahwakeadaan ini merupakan kondisi yang cukup rumit, seperti yang tergambar dalam cerita beberapapemuda-pemudi Sulawesi Selatan di bawah ini.

    Ami (17) adalah seorang siswi SMA yang ayahnya mengolah lahan pertanian yang cukup besar,seluas tiga hektar, tetapi hanya memiliki sepertiga dari tanah tersebut. Sekalipun, ia belum pernahmembantu ayahnya bekerja di sawah. Ami berharap untuk dapat bersekolah di salah satuperguruan tinggi di kota Makassar, jauh dari desanya, untuk belajar akuntansi atau ekonomi dankemudian mendapatkan pekerjaan di sebuah bank. Akan tetapi, ibunya lebih suka jika Amimelanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Sengkang, sebuah kota kecil yang dekat dengantempat tinggalnya. Ami mengerti bahwa setelah ia menikah kelak, ia akan kembali tinggal di desa,supaya ibunya dapat membantu menjaga anak-anaknya. Kekasih barunya bercita-cita untukmenjadi seorang polisi. Namun, jika kekasihnya gagal mencapai cita-citanya dan akhirnya menjadipetani, Ami pun bisa menerima. 'Asal saya masih bisa melakukan pekerjaan pilihan dan dia bisamencari nafkah dengan bertani sehingga kami tidak perlu meminjam uang, tidak jadi masalah'.

    Orang tua Ladi juga mengolah lahan pertanian. Namun, hanya sebagian kecil dari lahan tersebutyang mereka miliki sendiri. Ladi adalah seorang mahasiswa di sebuah sekolah tinggi keguruantetapi ia seringkali bekerja membantu ayahnya di sawah. Ayahnya tidak memberi Ladi upah, tetapibeliau membayar biaya kuliah sang anak. Menurut Ladi, bertani adalah pekerjaan yangmelelahkan dan merangsang dahaga. Terkadang, ia juga tetap harus bekerja di kala hujan tiba.'Tetapi saya tidak malu. Lebih baik saya bekerja keras di sawah daripada hanya menganggur dirumah'. Kelak ketika sudah menjadi guru, Ladi berkata ia akan tetap bekerja di sawah. Teman-temannya yang sudah pindah dari desa mengatakan bahwa mereka memang bisa menghasilkanuang yang lebih banyak dibanding ketika mereka bekerja sebagai petani. Namun, sebagian besardari penghasilan tersebut habis untuk biaya akomodasi, makanan, dan kebutuhan lainnya. Merekajuga sering mengatakan kepada Ladi bahwa mereka merindukan kampung halaman.

  • Rian adalah anak seorang kepala desa yang memiliki lahan pertanian seluas dua puluh hektar.Sebagai mahasiswa tingkat akhir di Universitas Negeri Makassar, ia berharap untuk dapatberkarir sebagai guru olahraga. Menurut Rian, penduduk desa yang sukses adalah mereka yangmemiliki tanah tapi tidak mengolahnya sendiri. 'Sulit bagi seorang petani yang tidak memilikilahan untuk menjadi sukses'. Padahal, sebagian besar petani setempat tidak memiliki tanahsendiri dan pemilik tanah bukanlah penduduk lokal. Sebagian pemuda yang orang tuanya memilikilahan berharap untuk mendapatkan sebagian porsi dari lahan tersebut ketika mereka menikahatau sesudah orang tua mereka meninggal. Namun, tak sedikit pula pemuda yang merantau kePulau Sumatra untuk bekerja sebagai sopir di kilang minyak Tembilahan, dimana mereka bisamendapatkan upah lebih besar daripada upah sebagai petani. Kelak, jika Rian telah mengambilalih lahan milik ayahnya, ia akan mencari buruh tani untuk mengolah lahan tersebut danmembiarkan uang mengalir dengan sendirinya. 'Saya akan bisa menghasilkan uang tanpa haruspergi ke sawah'.

    Mesin penuai padi mengancam peluang kerja kaum muda dan rakyat miskin di pedesaan /Tyastana Kusumastanto

    Hara (17) berasal dari keluarga yang tidak memiliki lahan, ia sangat menyadari adanya perbedaanprospek antara petani yang memiliki tanah dan yang tidak memiliki tanah. Ketika kami bertanya,'Menurut Anda, apakah bidang pertanian bisa memberikan harapan bagi generasi muda?' Iamenjawab, 'Apakah yang dimaksud bagi mereka yang memiliki tanah, atau mereka yang tidak?

  • Bagi orang-orang seperti kami yang tidak memiliki tanah, tidak ada masa depan di bidangpertanian'. Hara sering bergabung dengan kelompok panen untuk mendapat sedikit upah. Namun,ia berharap suatu hari nanti dapat bekerja sebagai asisten toko di pasar yang terletak di kotadekat tempat tinggalnya, meskipun ia tahu bahwa penghasilan bulanannya akan sangat rendah.Dengan pendapatan yang hanya Rp300.000 (A$30) per bulan, ia tidak akan mampu membayarbiaya pulang-pergi sehari-hari dan terpaksa harus tidur di lantai toko.

    Cerita-cerita di atas menunjukkan bahwa ada banyak generasi muda yang bisa menjadi petani,tetapi tidak ingin, dan ada orang lain yang akan dengan senang hati menjadi petani, tetapi tidakmemiliki kesempatan untuk melakukannya. Apa yang ada di balik masalah ini?

    Halangan untuk menjadi petaniDi sebagian besar desa, sistem kepemilikan tanah yang tidak adil, membuat kaum muda tidakmemiliki kesempatan untuk menjadi petani paling tidak selama mereka masih muda. Jumlahpetani yang tidak memiliki lahan kian bertambah dan petani yang memiliki sendiri lahan yangdiolahnya tidak mencapai setengah dari jumlah seluruh petani yang ada. Orang-orang yangberkesempatan untuk memiliki tanah saat mereka masih muda hanyalah orang yang berasal darikeluarga kaya dan memiliki lahan yang luas. Namun, pada umumnya keturunan dari keluarga kayatersebut memilih untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dan meniti masa depanmelalui pekerjaan yang memberikan gaji tetap; dimana orang tua mereka juga memiliki sumberdaya untuk mendapatkan pekerjaan semacam ini bagi anaknya. Mereka mungkin suatu saat akanmewarisi dan memiliki tanah orang tuanya, tetapi mereka akan menggunakannya sebagai sumberpendapatan melalui sewa mereka tidak tertarik untuk mengolah sendiri tanah tersebut.

    Di sisi lain, kaum muda yang berasal dari keluarga petani sederhana mempunyai kemungkinanuntuk mewarisi sebidang tanah. Sayangnya, lahan yang dimiliki orang tua mereka terlalu kecilsehingga tidak mungkin untuk menyerahkan sebagian lahan tersebut bagi anak-anaknya ketikamereka masih muda. Mereka mungkin telah berusia sekitar empat puluh atau lima puluh ketikaakhirnya menerima tanah dari orang tua mereka. Bagi kaum muda yang orang tuanya tidakmemiliki lahan, kesempatan yang ada hanyalah menjadi petani penggarap atau buruh tani, kecualimereka dapat menemukan cara lain untuk memiliki sebidang tanah. Bagi Hara dan banyakpemuda-pemudi lainnya, satu-satunya cara untuk menjadi petani adalah dengan mencaripekerjaan di luar sektor pertanian (dan seringkali di luar desa) terlebih dahulu, kemudianberharap agar bisa menyimpan cukup uang untuk membeli atau menyewa sebidang tanah.

    Membeli tanah kini menjadi pilihan yang sangat tidak memungkinkan kecuali bagi orang kaya.Keadaan ini diakibatkan pembelian tanah secara spekulatif (oleh orang yang bukan petani) danharga tanah yang semakin mahal. Di dua belas desa yang termasuk dalam daerah penelitian kami,harga satu hektar lahan pertanian beririgasi berkisar antara Rp 100 juta hingga Rp 1,5 miliar.

  • Sedangkan upah setempat atau pendapatan dari sektor informal biasanya hanya mencapai Rp 1juta per bulan. Upah buruh migran di pabrik atau perkebunan kelapa sawit di Malaysia adalahsekitar Rp 2,5 juta per bulan. Dengan begitu, walaupun seorang pemuda dapat menyisihkan Rp500.000 dari gajinya tiap bulan untuk ditabung, akan membutuhkan waktu 7 tahun (untukkawasan paling murah di Sulawesi Selatan) sampai 100 tahun (di daerah paling mahal di JawaTengah) baginya untuk mampu membeli sawah yang hanya seluas 0,4 hektar.

    Maka tidak mengherankan jika begitu banyak kaum muda pedesaan yang memutuskan untukmerantau dan bekerja pada berbagai macam pekerjaan bergaji tetap atau bekerja di sektorinformal, baik di luar provinsi maupun di luar negeri, misalnya Malaysia. Akan tetapi, keputusankaum muda untuk bekerja di sektor pertanian atau tidak, dan untuk tinggal di desa ataubermigrasi, belum menjadi keputusan yang permanen. Banyak petani yang pernah bermigrasiketika mereka masih muda lalu kembali lagi ke desanya ketika mereka telah memiliki modal atauketika ada lahan yang tersedia bagi mereka.

    Bertani menjadi cukup menarik bagi kaum muda ketika musim panen padi tiba. Dengan bekerjadalam kelompok menggunakan sabit dan alat penuai padi, para pemanen bisa mendapatkan upahyang relatif baik sebesar Rp 40.000-50.000 per hari. Kegiatan ini masih merupakan sumberpendapatan yang diandalkan oleh para kaum muda yang berasal dari keluarga yang tidak memilikilahan atau hanya memiliki sedikit lahan. Selain itu, musim panen adalah kesempatan bagi parapemuda dan pemudi untuk bertemu. Beberapa anak, mulai dari usia sepuluh tahun, bersediauntuk membolos sekolah supaya dapat mengikuti kegiatan panen. Pada pagi hari, para pemanentidak bisa saling mengenal satu sama lain karena wajah mereka ditutup agar terlindung dari panasdan cahaya matahari. Namun, selama masa istirahat di siang hari mereka melepaskan topi,berbincang-bincang, dan saling bertukar nomor telepon. Melalui cara inilah, banyak kaum mudamendapatkan kekasih, atau bahkan pasangan hidup yang akan mereka nikahi di masa depan.

    Namun begitu, tradisi musim panen tersebut kini terancam oleh datangnya mesin penuai padi dariJepang atau Cina yang tergolong murah. Mesin ini biasanya dimiliki oleh beberapa pemilik tanahterkaya di desa.

    Satu mesin penuai padi (yang dioperasikan oleh dua pekerja) dapat menggantikan peran limapuluh pemanen padi yang bekerja dengan sabit. Mesin-mesin ini, yang bernilai sekitar Rp 390 juta,telah beroperasi di beberapa desa yang menjadi lokasi penelitian kami di Sulawesi Selatan danjuga telah tersedia di pulau Jawa. Bahkan, Kementerian Pertanian telah menghibahkan mesinpenuai padi kepada beberapa kelompok tani dengan tujuan agar mereka dapat merasakanmanfaat 'teknologi modern'. Namun, dalam konteks meningkatnya jumlah pengangguran diIndonesia, terutama tingkat pengangguran pada kaum muda, tentunya penerapan teknologi inidirasa tidak sesuai. Alih-alih meningkatkan produktivitas atau memperbaiki kualitas hidup

  • masyarakat, mesin ini hanya mengalihkan keuntungan yang seharusnya didapatkan oleh parapemanen padi ke kantong para pemilik mesin dan juga beberapa pekerja yang beruntung dapatmengoperasikan mesin tersebut.

    Masalah citra?Mungkin saja ada alasan lain mengapa meninggalkan desa menjadi hal yang menarik bagi kaummuda. Media massa sering menggambarkan kehidupan desa dan petani sebagai kehidupan yangmiskin dan tertinggal. Padahal, banyak segi kehidupan di desa yang kini sedang berubah dengancepat. Di banyak desa, konektivitas kini sebaik di kota; sepeda motor murah dan banyak tersedia;dan kaum muda terlihat sibuk dengan akun Facebook masing-masing. Beberapa tahun yang lalu,segala jenis telepon seluler (ponsel) adalah barang langka dan jarang dimiliki orang. Saat ini,masalahnya hanya terletak pada pilihan antara ponsel pintar atau ponsel biasa dan ponselberkualitas tinggi atau ponsel murah buatan Cina. Di desa Kali Loro, Yogyakarta, misalnya, banyakanak yang telah mempunyai ponsel pribadi saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Kalaupunorang tuanya tidak mampu membelikan ponsel, mereka mungkin akan mendapat bantuan darisaudara kandung atau sepupu yang telah memiliki pekerjaan di luar desa. Anak-anak yang tidakmemiliki ponsel pun masih dapat mengakses Facebook dengan meminjam ponsel temannya.Generasi muda saat ini telah terlibat secara aktif dengan ide-ide dan gaya hidup global, yangmungkin membuat mereka menanggapi kehidupan pedesaan dan pertanian dari sudut pandangyang berbeda dibandingkan dengan orang tua mereka.

    Ponsel dan sepeda motor adalah bagian penting dari gaya hidup kaum muda di daerahpedesaan Yogyakarta / Bakti Utama

  • Dalam menyikapi migrasi kaum muda dan keputusan mereka untuk tidak menjadi petani, kitamemerlukan perspektif jangka panjang dan lebih menyeluruh. Jika di masa depan kitamenginginkan kebutuhan beras dan pangan lainnya di Indonesia dipenuhi oleh petani kecil, bukanoleh perusahaan perkebunan dan industri makanan besar yang disokong para teknokrat, makakehidupan pedesaan dan pertanian harus dibuat lebih menarik bagi kaum muda. Kita perlumemiliki gagasan yang jelas tentang hambatan utama baik secara praktis maupun budaya yangmenghalangi niat kaum muda untuk menjadi petani, baik saat masih muda, atau sebagai pilihanhidup kemudian. Pertama, masalah kaum muda dan aksesnya ke lahan perlu ditanggapi secaraserius. Masalah lintas-generasi tersebut belum mendapat banyak perhatian di Indonesia,meskipun baru-baru ini beberapa penasihat Presiden yang baru terpilih sudah mulai mengangkatisu ini.

    Kita perlu meninjau ulang kemungkinan untuk mengambil alih lahan sawah dari pasar pemilikanpribadi dan mengalokasikannya dalam bentuk hak guna bagi kaum muda; dan juga menemukancara untuk mencegah adanya kegiatan investasi spekulatif yang melibatkan lahan pertanian.Spekulasi pada tanah adalah sesuatu yang buruk bagi perekonomian (karena merupakan kegiataninvestasi yang tidak produktif dan merugikan), buruk bagi hubungan sosial di daerah pedesaan,dan seperti yang telah diutarakan di atas, buruk bagi masa depan kaum muda. Meskipun laki-lakidan perempuan secara formal mempunyai hak yang sama atas kepemilikan tanah, secara praktisterdapat banyak perbedaan dan hambatan yang menghalangi akses perempuan terhadap tanahdan kesempatan bertani.

    Generasi muda Indonesia adalah sumber potensi yang paling penting dalam hal inovasi, energi,dan kreativitas dalam mengembangkan praktik pertanian baru yang produktif dan bertanggungjawab terhadap lingkungan. Masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki citra daripertanian dan kehidupan pedesaan melalui pendidikan dan media, terutama media sosial. Contohnyata mengenai petani muda, baik laki-laki maupun perempuan, yang mempraktikkan cara baru,cerdas, dan kreatif dalam bertani dan kemudian sukses mencapai taraf hidup yang layak,berpotensi untuk memberikan dampak yang kuat. Bagi sebagian besar kaum muda yang kamiwawancarai, bukanlah kehidupan pedesaan atau pertanian yang mendorong mereka untukmeninggalkan desa dan gaya hidup orang tuanya, tapi kurangnya pekerjaan dan pendapatan yanglayak.

    Yayasan AKATIGA (www.akatiga.org) telah aktif sejak tahun 1991 dalam penelitian, advokasi danberbagi pengetahuan untuk menyokong transformasi sosial bagi kelompok rakyat tertinggal. BenWhite adalah Profesor Emeritus Sosiologi Pedesaan di International Institute of Social Studies,Den Haag. Artikel ini mengacu pada tulisan Yogaprasta A. Adinugraha dan Rina Herawati yangditerbitkan di Jurnal Analisis Sosial 19 no. 1 (2015) dan penelitian Ben White yang sedangberlangsung pada kaum muda di desa Kali Loro, Yogyakarta. Nama-nama yang digunakan bukannama asli.

  • Read article in English (/would-i-like-to-be-a-farmer-3)

    Inside Indonesia 120: Apr-Jun 2015