materi hkum humaniter

download materi hkum humaniter

of 24

Transcript of materi hkum humaniter

blog tetang hukum laut internasional dan hukum ekonomi islam

Selasa, 06 Maret 2012Bab II Sumber HHIBAB II SUMBER HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Dalam berbagai kepustakaan hukum internasional, kebiasaan internasioal dan perjanjian internasional kerap ditunjuk sebagai sumber hukum humaniter atau hukum perang Hukum perang. Lieutenant Colonel David P. Cavaleri misalnya, menyatakan hukum perang berasal dari dua sumber yang berbeda. Hukum ini sebagian didasarkan pada aturan-aturan umum tidak tertulis yang disebut hukum kebiasaan internasional (customary international law), sementara secara specific hukum humaniter internasional dihubungkan dengan kumpulan peraturan yang dikodifikasi yang disebut yang disebut hukum perjanjian internasional (conventional international law). Yang pertama, hukum kebiasaan internasional, diakui sebagai peraturan perilaku yang mengikat semua anggota masyarakat bangsa-bangsa, sedangkan yang belakangan, hukum perjanjian internasional, mencerminkan peraturan-peraturan terkodifikasi yang mengikat sebagai akibat dari persetujuan yang tegas (express consent). Mengutif the US Army JAG

School, Many principles of the Law of War fall into this [customary international law]category, sementara istilah traktat (juga konvensi, protocol, annexed regulation) best captures this concept [conventional international law]. Tiga hal yang sangat penting menjadi bukti. Pertama hukum perang terdiri atas dua komponen yang berbeda. Kedua, hukum perang memenuhi bentuknya yang sekarang berlaku dengan evolusi kebiasaan dan konvensi sebagai perkembangannya selama bertahun-tahun. Dan ketiga, segi kebiasaan dari hukum perang ini sama pentingnya pada konstruksi keseluruhan dengan sisi konvensionalnya, karena apabila sebuah prinsip mencapai kedudukan sebagai hukum kebiasaan internasioanl, hukum ini mengikat semua Negara, tidak hanya para penandatangan traktat.[1]

Pandangan ini juga diikuti oleh Fritz Kalsoven. Terkait dengan ini Kalshoven menyatakan bahwa hukum humaniter internasional pada mulanya bersumber dari kebiasaan yang merupakan praktik dari bangsa-bangsa pada zaman dahulu. Seiring dengan perjalanan waktu, praktik ini berkembang menjadi hukum kebiasaan perang yang harus dihormati para pihak pesengketa bersenjata sekalipun tidak ada pernyataan sepihak atau persetujuan timbale atas hal tersebut. Dalam waktu yang lama lingkup dan isi dari hukum kebiasaan ini samar dan tidak pasti. Cara yang paling efektif untuk menghilangkan ketidakpastian ini adalah dengan pembuatan traktat (treaty-making), yakni dengan merundingkan ragam peraturan dan membuat peraturan ini di dalam sebuah instrument mengikat yang diterima secara umum.[2] Namun, sebagai bagian dari hukum internasional, sumber hukum humaniter internasional tentu saja tidak hanya kebiasaan dan perjanjian internasional. Sebagaimana hukum internasional, sumber hukum humaniter internasional harus mengacu kepada Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional. Berdasarkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, maka sumber hukum internasional termasuk humaniter internasional adalah: perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuanketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidahkaidah hukum.[3]

A. Kebiasaan internasional Hukum kebiasaan internasional difahami sebagai peraturan hukum tidak tertulis yang mengikat semua masyarakat bangsa (the community of nations). Hukum

kebiasaan didefinisikan sebagai hukum yang timbul dari praktik umum dan ajeg yang berasal dari suatu perasaan mengenai kewajiban hukum (a sense of legal obligation). Ada kemungkinan bagi suatu Negara untuk tidak terikat pada kaidah kebiasaan hukum internasional jika Negara tersebut terus-menerus berkeberatan atas norma tersebut seperti terus-menerus menyatakan bahwa Negara tersebut tidak terikat oleh hukum kebiasaan internasional tersebut.[4] Banyak prinsip hukum perang masuk dalam kategori hukum initernasional ini. Hukum kebiasaan internasional juga dapat menjelaskan latar belakang untuk memahami kodifikasi hukum perang menjadi traktat. Namun, sekalipun banyak hukum perang yang sekarang sudah dikodifikasi, kebiasaan kebiasaan internasional mengenai perang tetap relevan.[5] Hukum kebiasaan internasional menurut satu sumber didedefinisikan sebagai seperangkat hukum praktik umum dan ajeg general Negara-negara yang diikuti mereka sebagai kewajiban hukum. Sumber lain menunjukkan bahwa hukum kebiasaan internasional dibentuk oleh negara-negara yang mengikuti suatu praktik umum dan ajeg, yang didorong oleh keyakinan bahwa hukum internasional membutuhkan perilaku tersebut. Sumber yang sama menemukenali dua ukuran yang harus dipenuhi untuk timbulnya hukum kebiasaan, yaitu harus ada perbuatan atau praktik nyata, dan Negaranegara harus yakin mereka melakukan perbuatan itu berdasarkan kewajiban internasional. Yang terpenting harus diingat bahwa hukum merupakan seperangkat hukum kebiasaan internasional terutama terdiri atas kaidah-kaidah kebudayaan tak tertulis (unwritten cultural norms) dan praktik-praktik yang diakui secara (generally

recognized practices), bahwa dua unsur penguji (perbuatan dan keyakinan (theact and the belief) menentukan hukum kebiasaan internasional, dan bahwa suatu Negara tidak dapat mengingkari kewajibannya untuk menjunjung tinggi hukum kebiasaan internasional.[6] Hukum sengketa bersenjata, atau hukum humaniter dalam wujud relative baru, memiliki sejarah yang panjang. Dalam suatu masa lalu yang sangat jauh, para pemimpin militer biasanya memerintahkan perajurit mereka menyelamatkan nyawa

musuh yang tertangkap dan memperlakukan mereka dengan baik, dan menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada saat berhentinya permusuhan pihak-pihak yang berperang (belligerent parties) dapat menyepakati pertukaran tawanan yang mereka kuasai. Selama waktu itu, praktik-praktik tersebut secara bertahap berkembang menjadi peraturan kebiasaan perang, peraturan-peraturan yang harus dihormati pihak-pihak pesengketa bersejata sekalipun tidak ada pernyataan sepihak (a unilateral declaration) atau persetujuan timbale balik di antara mereka (reciprocal agreement) atas hal tersebut. Untuk waktu yang lama, lingkup dan isi aturan kebiasaan perang ini, sebagaimana dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya, agak sulit difahami dan tidak pasti. Cara yang paling baik untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengundangkan perjanjian internasional jamak pihak di bidang ini.[7] Dan ini telah dimulai sejak tahun 1864. Akibatnya, sekarang banyak ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang telah diserap atau dimasukkan ke dalam hukum perjanjian internasional. Dengan dimasukkan ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan humaniter internasional ke dalam hukum perjanjian internsional tidak berarti hukum kebiasaan internasional di bidang ini kehilangan artinya. Hukum kebiasaan humanter internasional tetap penting. Ini disebab oleh dua hal. Pertama, traktat hanya berlaku kepada Negara-negara yang meratifikasinya. Ini berarti bahwa traktat-traktat dari hukum internasional yang berbeda berlaku dalam sengketa bersenjata yang berbeda tergantung pada traktat mana yang diratifikasi Negara bersangkutan. Sementara empat Konvensi Jenewa 1949 telah diratifikasi secara semesta, hal yang sama tidak berlaku untuk traktat-traktat hukum humaniter lainnya, misalnya Protokol-protokol Tambahannya. Sekalipun Protokol I telah diratifikasi lebih dari 160 negara, keampuhannya sekarang terbatas karena beberapa Negara yang terlibat dalam sengketa bersenjata tidak menjadi pihak pada Protokol ini. Demikian pula dengan Protokol Tambahan II yang juga telah diratifikasi oleh lebih dari 160 negara, beberapa Negara yang mengalami sengketa bersenjata internal tidak menghormatinya. Kedua, .hukum perjanjin internasional tidak mengatur dengan cukup

rinci bagian terbanyak sengketa bersenjata dewasa ini, yakni sengketa bersenjata non internasional karena sengketa-sengketa pengaturannya dalam traktat jauh lebih sedikit daripada pengaturan sengjketa bersenjata internasional. Sedikit sekali traktat yang berlaku pada sengketa bersenjata non internasional, yakni the Convention on Certain Conventional Weapons yang diperbaharuai, amended, the Statute of the International Criminal Court, the Ottawa Convention on the Prohibition of Anti-personnel Mines, the Chemical Weapons Convention, the Hague Convention for the Protection of Cultural Property and its Second Protocol dan, sebagaimana telah disebutkan, Additional Protocol II and Article 3 common to the four Geneva Conventions. Sementara common Article 3 sangat penting, Article 3 ini hanya memberikan kerangka kasar mengenai patokan minimum (minimum standards). Additional Protocol II melengkapi common Article 3, tetapi masih kurang rinci jika dibandingkan dengan aturan-aturan mengenai sengjketa bersenjata internsional dalam Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I.[8] Selain itu, perlu diketahui bahwa Negara-negara terikat pada ketentua-ketentuan hukum perjanjian perjanjian internasional, jika ketentuan-ketentuan tersebut dipandang oleh masyarakat internasionalk sebagai sudah menjadi hukum kebiasaan internasional. Di antara ketentuan-ketentuan hukum perjanjian internasional yang dianggap sudah menjadi bagian dari hukum perjanajian internasional adalah ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949, dan Konvensi-konven Den Haag 1899 dan 1977. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ian Scoby: bahwa the Study took into account the practice of States parties to conclude that the great majority of the provisions of the Geneva Conventions and Hague Regulations have customary status.[9] B. Perjanjian Internasional Menurut Oppenheim, perjanjian internasional adalah persetujuan yang bersifat kontrak di antara negara-negara atau organisasi negara-negara yang menimbulkan hak dan kewajiban hukum di antara para pihak.[10] Rumusan yang agak berbeda

dikemukan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu: perjanjian yang diadakan antara masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.[11] Jadi, perjanjian internasional merupakan perjanjian yang diadakan oleh negara dengan negara atau negara dengan organisasi internasional dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum terentu. Sebagaimana diuraikan di atas, lingkup dan isi aturan kebiasaan perang ini, sebagaimana dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya, agak sulit difahami dan tidak pasti. Cara yang paling efektif menghapuskan ketidakpastian ini adalah melalui pembuatan traktat (treaty-making), yakni, dengan merundingkan versi peraturan yang disepakati, dengan mewujudkan peraturan ini dalam instrumentinstrumen yang mengikat dan diterima secara internasional. Peraturan ini secara umum disebut traktat, beberapa di antaranya menyandang nama lain: seperti konvensi, deklarasi atau protocol. Sementara traktat dapat dibuat dan ditandatangani di antara dua Negara (bilateral treaties), yang menjadi perhatian kita di sini adalah traktat yang ditandatangani di antara banyak Negara (multilateral treaties).[12] Dapat ditunjuk sebagai awal perkembangan hukum perang melalui pembuatan traktat, sehingga dapat dipandang sebagai hukum perjanjian internasional (treaty law) adalah konferensi internasional 1860 merancang satu sisi khusus dari hukum perang. Ini menghasilkan penyelenggaraan konferensi: pertama, di Jenewa 1864 tentang nasib para perajurit yang terluka di medan perang; lainnya, di St. Petersburg 1868 tentang penggunaan peluru senapan yang meledak. Permulaan yang paling sederhana ini memiliki akar dari dua aliran yang berbeda, masing-masing ditandai dengan sudut pandangnya sendiri. Yang pertama, dikenal sebagai hukum Den Haag ( the law of The

Hague), terkait dengan perilaku perang dan alat-alat dan cara perang yangdiperbolehkan. Yang kedua, disebut hukum Jenewa (the law of Geneva), lebih terkait dengan kondisi korban perang di tangan musuh (seperti tawanan perang, atau interniran sipil).[13] Sejak saat ini banyak sekali instrument-instrumen hukum humaniter yang dihasilkan melalui konferfensi internasional untuk mengundangkan perjanjian

internasional jamak pihak (multilateral convention) di bidang hukum humaniter internasional. Di sini disebutkan beberapa di antaranya. 1. Konvensi-konvensi Jenewa 1949, yang terdiri atas empat konvensu, yaitu: a. Convention (I) for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field. Geneva, 12 August 1949. b. Convention (II) for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. Geneva, 12 August 1949. c. Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War. Geneva, 12 August 1949. d. Convention (IV) relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva, 12 August 1949. 2. Protokol Tambahan pada Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Tahun 1977 terdiri atas: a. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977. b. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1977. 3. Instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan alat-alat perang a. The 1899 Hague Declaration concerning Expanding Bullets b. Convention On Prohibitions Or Restrictions On The Use Ofcertain Conventional Weapons Which May Be Deemed To Be Excessively Injurious Or To Have Indiscriminate Effects As Amended On 21 December 2001 C. Prinsip atau Asas Hukum Umum Menurut Baron Descamp (Belgia) asas hukum umum adalah aturan hukum internasional yang diakui oleh kesadaran hukum bangsa-bangsa beradab. Root dan Phillimore mengaitkan asas ini dengan pengertian peraturan yang diterima dalam hukum negara semua negara beradab.[14]Contoh asas-asas hukum nasional tersebut

meliputi asas kepatutan (equity), estopel, pacta sunt servanda, meperkaya diri secara tidak pantas (unjust enrichment), dan penggunaan pembuktian tak langsung (the use

of circumstantial evidence.)[15] William merumuskan asas umum hukum sebagai asasasas umum mengenai keadilan, hukum alam, analogi dengan hukum perdata, asas-asas perbandingan hukum atau konsepsi-konsepsi umum hukum internasional.[16] Demikian pentingnya asas-asas hukum ini, sehingga asas-asas ini kemudian banyak diserap kedalam berbagai instumen hukum humaniter internasional. Pengakuan akan pentingnya asas hukum dapat kita jumpai dalam penegasan pembukaan Konvensi Den Haag IV (1907), yang berbunyi: We look to a number of sources to ascertain principles of international law, including international conventions, international customs, treatises, and judicial decisions rendered in this and other countries.[17] Banyak prinsip atau asas hukum perang sekarang dituangkan dalam traktat dan hukum kebiasaan iternasional. Arti penting dari hal ini adalah apabila prinsip hukum telah memiliki status hukum kebiasaan internasional, maka prinsip ini mengikat bagi semua Negara, tidak hanya bagi para penandatangan traktat.[18]

D. Putusan Pengadilan Putusan pengadilan, bersama-sama dengan pendapat para sarjana terkemuka merupakan sumber pelengkap dari hukum internasional. Sebagai sumber pelengkap keputuan pengadilan dan juga pendapat para sarjana dapat dikemukakan sebagai bukti adanya suatu kaidah hukum internasional yang berlaku mengenai sesuatu hal tertentu. Putusan pengadilan sebagai sumber hukum internasional tidak hanya menunjuk kepada putusan Mahkamah Internasional tetapi juga pada putusan-putusan badan peradilan lainnya, seperti pengadilan nasional, pengadilan regional bahkan juga putusan badanbadan arbitrasi.[19]

Berbeda dengan Negara-negara Anglo Saxon yang menganut prinsip precedent yaitu pengadilan terikat untuk untuk memutus perkara dalam kasus yang sama mengikuti pengadilan-pengadilan tingkat yang lebih tinggi, Mahkamah internasional tidak menganut prinsip tersebut. Walaupun keputusan pengadilan ini tidak diikuti dalam putusan-putusan berikutnya tetapi putusan pengadilan ini mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hukum internasional.[20] Keputusan-keputusan pengadilan tersebut akan memperkaya dan mempekuat hukum internasional karena mengandung makna pengakuan dan penerimaan hukum internasional yang telah ada. Banyak kasus yang membuktikan bahwa lewat putusan Mahkamah Internasional mempengaruhi atau mengubah ketentuan hukum internasional lama.[21] E. Ajaran Para Ahli Hukum Seperti halnya dengan putusan pengadilan, ajaran para sarjana terkemuka di negaranya masing-masing, atau la doctrin menurut istilah yang berlaku di Perancis juga tidak mempunyai kekuatan mengikat. Sekalipun demikian ajaran atau pendapat para sarjana ini sangat besar artinya bagi perkembangan hukum internasional. Para pakar ini menyebarkan pemikiran-pemikiran baru dan pendapat yang lebih baik guna memperkaya hukum internasional.[22] Ajaran-ajaran para pakar ini digunakan secara luas. Pendapat-pendapat para pejabat hukum di Inggris misalnya, memuat rujukan kepada pendapat Vattel, Calvo, dan Hall.[23] Pendapat para ahli tesebut juga dijadikan sebagai bahan rujukan dalam berbagai kasus yang diajukan di pengadilan yang berkaitan dengan persoalan hukum internasional. Sama dengan pendapat para ahli tersebut adalah rancangan artikel-artikel yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional, Rancangan Penelitian Harvard (Harvard Research Draft), dasar-dasar pembahasan Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 dan Resolusi Lembaga-lembaga Hukum Internasional dan himpunan para ahli lainnya.[24]

Colonel David P. Cavaleri, US Army (Retired), The Law of War: Can 20thCentury Standards Apply to the Global War on Terrorism?, Combat Studies Institute[1]Lieutenant

Press Fort Leavenworth, Kansas, 2001, p. 10. [2]Frits Kalshoven and Liesbeth Zegveld, Constraints on The Waging of War, An Introduction to International Humanitarian Law, International Committee of the Red Cross, Geneva, 2001, p. 15 [3]Lihat Supardan Mansyur, Diktat Hukum Internasional, 2009, hal.59. [4]MAJ Keith E. Puls, Law of War Handbook, 2005, International and Operational Law Department The Judge Advocate General's Legal Center and School Charlottesville, Virginia 22903, p. 21 [5]MAJ Keith E. Puls, Law of War Handbook, 2005, International and Operational Law Department The Judge Advocate General's Legal Center and School Charlottesville, Virginia 22903, p. 21 [6]Cavaleri, loc. cit.[7]Frits Kalshoven and Liesbeth Zegveld, Constraints on The Waging of War,

An Introduction to

International Humanitarian Law, International Committee of the Red Cross, Geneva, 2001, p. 15[8]Jean-Marie Henckaerts, Study on customary international humanitarian law: A contribution to the understanding and respect for the rule of law in armed conflict, International Review of the Red Croos, Volume 87 Number 857 March 2005 , pp. 177-178 [9] Elizabeth Wilmshurst And Susan Breau (ed), Perspectives On The ICRC Study On Customary International Humanitarian Law, Cambridge University Press, Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, So Paulo, 2007, pp. 169-170. [10]Oppenheim - Lauterpacht,International Law, 1955. p. 877. [11]Kusumaatmadja, op. cit., hal. 109. [12]Frits Kalshoven and Liesbeth Zegveld, loc. cit. [13] Ibid., p. 15 [14]Brownlie, op. cit., hal. 15-16. [15]Diane Penneys Edelman, loc. cit. [16]John W. Williams, Research Tips in International Law, 15 J. INTL L. & ECON. 1, 7-

10 (1981) dalam Diane Penneys Edelman, Ibid.

[17]Google, General Principle and the Source of the Law, http://lawofwar.org/principles.htm l, diunduh 24 Oktober 2011. [18]MAJ Keith E. Puls, Law of War Handbook, 2005, International and Operational Law

Department The Judge Advocate General's Legal Center and School Charlottesville, Virginia 22903, p. 21

[19]Supardan Mansyur, op. cit., hal. 75. [20]Kusumaatmadja, op. cit., hal. 141. [21]Efendi et. al., op. cit., hal. 82-83 [22]Brownlie, op. cit., hal. 25. [23]I b i d. hal. 25. [24]I b i d.

Diposkan oleh Supardan's Blog di 22:55 0 komentar Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Label: Hukurn Humaniter Internasional

Bab I Pendahuluan

BAB I PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNATIONAL A. PeristilahanDalam kepustakaan hukum humaniter internasional, hukum ini kerap disebut dengan berbagai macam istilah. Istilah-istilah itu adalah: hukum perang (law of war), hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict), internasional humanitarian law, dan di Indonesia digunakan oleh Hukum Perikemanusiaan Internasional (disingkat HPI). Istilah yang belakangan ini digunakan oleh Palang Merah Indonesia. Hukum perang, adalah istilah yang paling tua. Istilah ini telah lahir, sejak hukum bangsa-bangsa (the law of nations), dan bahkan dapat dipandang sebagai bidang hukum internasional yang tertua, karena sebagaimana diketahui sejak masa-masa awal perkembangan bangsa-bangsa di dunia sering terjadi perang di antara bangsa-bangsa itu. Bahkan pada masa ini, bangsa-bangsa di dunia mengembangkan pengaruh dan wilayahnya melalui perang.[1] Hukum perang adalah hukum yang mengatur tentang perang. Quincy Wright sebagaimana dikutip oleh Letnan Kolonel David P. Cavaleri, pensiunan Angkatan Bersejata AS memasukkan konsep ganda tentang petempur bersenjata (armed combatants) dan keabsahan(legality) dalam paparannya mengenai perang sebagai kondisi hukum yang membolehkan dua kelompok atau lebih untuk melakukan suatu konflik dengan angkatan bersenjata.[2] Definisi yang lebih lengkap dikemukan oleh

Oppenheim. Oppenheim sebagaimana dikutip oleh Yoram Dinstein menyatakan perang adalah suatu pertarungan di antara dua Negara atau lebih melalui angkatan bersenjata mereka dengan tujuan menaklukkan satu dengan lainnya dan memaksakan syaratsyarat perdamaian yang menguntungkan pihak pemenang.[3] Definisi ini mengandung empat unsur, yaitu: (1) harus ada pertaruangan di antara sekurang-kurangnya dua negara, (2) harus ada penggunaan angkatan bersenjata dari negara-negara tersebut, (3) tujuannya haruslah untuk menaklukkan musuh (juga memaksakan perdamaian dengan syarat-syarat yang ditetapkan pemenang, dan dapat disimpulkan khususnya dari kata-kata satu dengan lainnya (4) kedua pihak diduga memiliki tujuan yang sama (symmetrical goal), sekalipun bertentangan secara diametric.[4] Dari keempat unsur tersebut Dinstein menyatakan hanya unsu yang pertama yang dapat diterima, yaitu pertarungan antara dua Negara atau lebih, atau disebut perang antar Negara tanpa keberatan.[5] Akan tetapi harus diingat, bahwa Konvensi-konvensi Jenewa dalam Pasalpasal 3 yang bersamaan (Common Articles) mengakui selain sengketa bersenjata antar Negara (international armed conflict), juga dalam batas-batas tertentu mengakui perang saudara (sipil war (non international armed conflict)).[6] Istilah ini bahkan terus-menerus dipergunakan selama perjalanan hukum internasional, sampai kemudian meredup setelah terjadinya Perang Dunia II. Setelah usainya Perang Dunia II, orang merasa trauma mendengar kata perang. Oleh karena itu, istilah ini dihindari penggunaannya dalam hukum, dan dipergunakan istilah lain, yaitu hukum sengketa bersenjata (Law of Armed Conflict). Dalam arti luas hukum sengketa bersenjata diartikan sebagai hukum yang menentukan kapan Negara-negara dapat menggunakan angkatan (kekerasan) bersenjata dan bagaimana Negara-negara tersebut dapat melakukan permusuhan selama sengketa bersenjata. Dalam arti sempit hukum sengketa bersenjata, adalah seperangkat bersenjata.[7] Berbeda dengan perang, yang harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1) pertaruangan, (2) di antara sekurang-kurangnya dua negara, (3) menggunakan angkatan bersenjata, (4) untuk menaklukkan musuh, setelah Perang Dunia II, sengketa hukum yang mengatur tindakan permusuhan selama sengketa

bersenjata tidak perlu memenuhi keempat unsur tersebut. Hukum perang berlaku terhadap sengketa bersenjata internasional jika timbul perselisihan di antara dua Negara dan menimbulkan sengketa bersenjata, terlepas berapa lama sengketa itu berlangsung dan bagaimana pembunuhan terjadi.[8] Istilah hukum humaniter digunakan untuk lebih menekankan sisi kemanusiaan dari hukum perang. Istilah ini banyak digunakan di berbagai fakultas hukum. Di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, hukum humaniter internasional juga digunakan untuk menyebut salah satu nama mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas tersebut. Untuk mengetahui tempat hukum humaniter internasional dalam hukum internasional, terlebih harus diketahui apa yang menjadi cakupan hukum perang. Hukum perang mencakup, apa yang dalam perkembangan hukum internasional dikenal sebagai: (1) jus ad bellum, dan (2) jus in bello.

1. Jus ad bellum Jus ad bellum berarti hak untuk menggunakan kekerasan atau hak untukmelakukan perang.[9] Jus ad Bellum adalah hukum yang berkaitan dengan pengelolaan konflik, hukum yang berkaitan dengan bagaimana Negara melakukan sengketa bersenjata, berdasarkan keadaan-keadaan bagaimana penggunaan kekuatan militer dibenarkan menurut hukum dan moral.[10] Istilah ini adalah istilah hukum dan filosofis yang memaparkan segi-segi hukum perang yang dimaksudkan untuk mencegah sengketa bersenjata, dan bila pencegahan ini gagal, untuk mempertegas kapan perang boleh dilakukan.[11] Terkait dengan dalam keadaan bagaimana dan kapan perang boleh dilakukan, dikembangkan konsep just war. Cicerolah yang pertama kali mencetuskan konsep ini. Ia menyatakan bahwa perang sama sekali tidak boleh dilakukan oleh suatu Negara kecuali untuk mempertahankan kehormatan atau keselamatan. Selanjutnya, ia menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk membenarkan perang: perang

harus diumukan oleh pemerintah yang sah (proper authority), musuh harus diberitahu tetang pengumuman perang tersebut, dan musuh harus diberi peluang merundingkan penyelesaian damai sebelum dimulainya permusuhan.[12] Konsep just war dikembangkan lebih jauh oleh para pakar Kriten masa-masa awal. St. Agustine dan St. Thomas Aquinas berusaha menyelaraskan ajaran gereja dengan pragmatism politik dengan mengganti kreteria hukum Romawi untuk membenarkan perang dengan sudut pandang moral atau agama.[13] St. Agustine mengembangkan konsepnya mengenai just war dengan mengakui definisi just war Cicero untuk membela kehormatan atau hak milik dan juga menerima tiga prinsip just

war Romawi, yaitu: alasan yang sah (legitimate cause), diumumkan oleh pemerintahyang sah, dan tujuan akhir perang adalah perdamaian (that peace is the final

objective), dengan menambahkan satu tujuan fundamental, bahwa perang adalahsarana yang digunakan Tuhan menghukum manusia atau membebaskannya dari dosadosanya. Atas dasar dalil ini, Agustin mennyatakan bahwa perang diperintahkan oleh Tuhan, dan dengan sendirinya, benar (just). Dengan demikian, menurut pandangan ini perang adalah kehendak Tuhan. Selaras dengan ini setiap pemimpin Negara yang memiliki landasan yang baik yang mengumumkan perang, jika ini dilakukan untuk mendukung kehendak Tuhan.

2. jus in bello,Jus in bello, menggambarkan segi-segi hukum perang yang dimaksukan untuk untukmengatur dan membatasi para petempur yang terlibat dalam sengketa bersenjata konsep ini menentukan caranya melakukan perang.[14]

Jus inb bello adalah hukum yang mengatur tindakan Negara-negara begitusengketa bersenjata dimulai; pembatasan-pembatasan hukum dan moral apa yang berlaku atas tindakan perang.[15] Jadi, jus in belo adalah hukum yang mengatur tentang cara dan alat perang serta perlindungan terhadap korban perang. Hukum yang mengatur: (a) cara dan alat perang (means and method of war), dan (b) perlindungan terhadap korban perang (protection of the victim of war) inilah yang dalam kepustakaan hukum internasional disebut sebagai hukum humaniter

internasional. Jadi, tidak termasuk dalam pengertian hukum humaniter internasional, dan tentu saja tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini, jus ad bellum. Yang terakhir ini, menjadi bidang kajian dalam hukum internasional umum. Ini sejalan dengan pengertian hukum humaniter internasional, yang dirumuskan sebagai berikut: International Humanitarian Law (IHL) is a set of norms applicable in times of armed conflict designed to protect people who are not, or no longer, participating in hostilities, as well as to limit the means and methods of warfare.[16] Hukum humaniter humaniter yang mengatur tentang cara dan alat perang lazim disebut Hukum Den Haag (the Hague Rules). Disebut demikian, karena cara dan alat perang diatur dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907. Sedangkan hukum yang mengatur perlindungan korban perang disebut Hukum Jenewa (the Geneva

Rules). Disebut Hukum Jenewa, karena perlindungan terhadap para korban perangdiatur dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Berbeda dengan, Konvensi-komvensi Den Haag yang mengatur tentang cara dan alat perang, dan Konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang mengatur perlindungan korban perang, Protokol I dan II yang ditambahkan pada Konvensi Jenewa 1949, Tahun 1977 (selanjutnya disebut Protokol Tambahan I dan II 1977), mengatur keduanya, cara dan alat perang, dan perlindungan korban perang. Bebeda dengan jus ad bellum yang mempersoalkan tentang keabsahan perang (legality of war),

jus in bello hukum humaniter melepaskan diri dari persoalan

tersebut. Hukum humaniter tidak mempersoalkan mengapa kekerasan bersenajata digunakan. Bagi hukum humaniter internasional tidak penting apakah ada pembenaran untuk mengangkat senjata, apakah penggunaan pasukan dimaksudkan untuk memulihkan hukum dan ketertiban, atau apakah itu merupakan agresi terang-terangan, juga tidak penting apakah itu dilakukan oleh kelompok perlawanan yang diserang atau tidak. Bagi hukum humaniter internasional penerapannya adalah persoalan kenyataan (fact). Dengan demikian, begitu ada sengketa bersenjata, begitu ada orang yang terluka, atau ada anggota angkatan bersenjata suatu pihak pesengketa bersenjata yang menyerah kepada pihak pesengketa bersenjata lainnya, atau orang sipil yang berada dalam kekuasaan mereka, begitu mereka menahan tawanan atau menguasai wilayah

negara musuhnya, maka mereka harus mematuhi konvensi terkait. Jumlah yang terluka atau jumlah tawanan, luas wilayah yang diduduki tidak penting, sebab persyaratan perlindungan tidak tergantung pada pertimbangan kuantitatif.[17]

B. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter InternasionalAda prinsip utama (primary principles) dalam hukum humaniter internasional, yaitu prinsi: (1) kepentingnan militer (militer neccessity), (2) kepentingan kamanusiaan (humanity neccessity), (3) keseimbangan (proporsionality), dan (4) Kekesatriaan (chivalry).[18] 1. Kepentingan militer Para pihak yang bersengketa dalam perang mereka menghendaki untuk mengalahkan musuh dalam waktu yang cepat dan tanpa menimbulkan kerugian di pihak mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut segala cara dan semua alat yang dibenarkan oleh hukum internasional akan dipergunakan. Dengan demikian, maka sekalipun pihak-pihak yang bersengketa dapat mempergunakan segala cara dan alat perang untuk mengalahkan musuhnya, mereka harus tunduk kepada ketentuan hukum internasional yang membatasi cara dan alat perang. National Defence Kanada, dalam Joint Manualnya menegaskan bahwa konsep kepentingan militer harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[19] a. the force used can be and is being controlled; b. the use of force is necessary to achieve the submission of the enemy; and c. the amount of force used is limited to what is needed to achieve prompt submission. Jadi, dalam menggunakan kekuatan militer para pihak harus memperhatikan, kekuatan militer itu harus dapat dikendalikan, diperlukan untuk membuat musuh menyerah, dan kekerasan yang digunakan dibatasi sampai batas yang diperlukan untuk membuat musuh cepat menyerah.

2. Prinsip kemanusiaan Sekalipun pihak-pihak yang bersengketa dapat mempergunakan segala cara dan semua alat perang yang diperbolehkan dalam hukum internasional, dalam melakukan serangan atau tindakan permusuhan lainnya pihak-pihak yang bersengketa harus memperhatikan segi-segi kemanusiaan terhadap lawannya di dalam perang. Di dalam sengketa bersenjata, para pihak dilarang menggunakan cara dan alat yang menimbulkan penderitaan tidak perlu terhadap lawannya, melukai atau menimbulkan kerugian atau kerusakan yang tidak perlu dari sudut militer, menyiksa lawan yang sudah menyerah, atau tindakan-tindakan lainnya yang tidak memiliki keuntungan militer. Prinsip kemanusiaan ini sejalan dengan Klausul Marten (Marten Clause). Klausul Marten terbut menyatakan sebagai berikut:[20] Until a more complete code of the laws of war is issued in cases not included in the Regulations populations and belligerents remain under the protection and empire of the principles of international law, as they result from the usages established between civilized nations, from the laws of humanity and the requirements of the public conscience. Klausul Marten ini menempatkan penduduk dan pihak-pihak pesengketa bersenjata yang tidak dilindungi oleh Hukum Den Haag, tetap dalam perlindungan dan dalam jangkauan perlindungan prinsip-prinsip hukum internasional, sebagai hasil dari kebiasaan yang berlaku di antara bangsa-bangsa yang beradab, dari hukum kemanusiaan, dan kesadaran masyarakat. Klausul Marten memuat ketentuan untuk memberikan perlindungan atas martabat kemanusiaan sampai batas minimum tertentu termasuk dalam keadaan sengketa bersenjata. Tindakan yang tidak dilarang dengan tegas tetap tunduk kepada uji kemanusiaan. Prinsip ini memainkan peran penting dalam Peradilan Nuremberg. Prinsip kemanusiaan menyatakan bahwa seorang tentara bertujuan melumpuhkan para

petempur lain untuk mencapai suatu tujuan militer tertentu, serangan serampangan dan serangan terhadap sasaran-sasaran sipil dilarang.[21] Acts not expressively forbidden are therefore still subject to a test of basic humanity. This principle played a major role in the Nuremberg Trials. The principle of humanity states that a soldier's aim is to disable other combatants in order to reach a defined military objective. Indiscriminate attacks and attacks against civilians or civilian targets are strictly prohibited. Keseimbangan Prinsip keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara kepentingan militer dan kepentingan kemanusiaan. Berdasarkan prinsip ini tindakan pihak-pihak yang bersengketa terhadap lawannya harus memperhatikan kepentingan mana yang lebih besar. Pihak-pihak yang berperang misalnya dapat menghancurkan jembatan, jalan raya, rel kereta apa yang pada hakikatnya merupakan obyek sipil jika serangan tersebut sangat diperlukan untuk kepentingan militer, misalnya dapat menghambat pergerakan lawan, memotong jalur pasokan perbekalan, atau melumpuhkan kekuatan lawan. Sebaliknya, pihak-pihak yang berperang harus membatalkan serangan mereka, jika serangan tersebut akan menimbulkan korban yang lebih dipihak sipil, misalnya seorang lawan yang melarikan diri ke pemukiman penduduk sipil, atau menunda serangan jika ini akan menimbulkan yang besar di kalangan sipil, misalnya, jika pihak lawan memusatkan peasukannya di dekat pemukiman sipil. Dalam kasus terakhir ini, pihak yang akan melakukan serangan harus memberikan kesempatan kepada penduduk sipil untuk keluar dari pemukiman mereka, dengan menyediakan lorong pengungsian bagi mereka. Dengan dengan demikian prinsip keseimbangan menghendaki kerugian sipil yang disebabkan tindakan militer tidak boleh berlebihan dikaitkan dengan keuntungan yang diharapkan. Prinsip ini mewajibkan pihak-pihak pesengketa menyeimbangkan

kepentingan militer dengan kerugian ikutan yang diperkirakan secara wajar terhadap orang-orang sipil dan obyek-obyek sipil.[22] Prinsip keseimbangan ini erat kaitannya dengan prinsip pembedaan (principle of distinction) antara petempur dan bukan petempur yang melarang serangan terhadap penduduk sipil yang melarang serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil. Jalan pikirannya adalah perang dilakukan di antara para perajurit, dan penduduk sipil sedapat mungkin hendaknya tetap tidak tersentuh oleh permusuhan.[23] . 3. Kekesatriaan Prinsip ini, yang berasal dari abad pertengahan, menghendaki pihak-pihak yang berperang tidak melakukan tindakan khianat (trachereous), tindakan yang bertentangan dengan kehormatan dan martabat kemanusiaan. Berdasarkan prinsip ini, maka pihak yang bersengketa tidak boleh menyalahgunakan seragam atau lencana musuh, bendera perdamaian (truce flag), ambulance untuk menyerang musuh. Perlu ditambahkan di sini, satu prinsip yang sangat terkait dengan pelaksanaan (operasi) hukum humaniter internasional, yaitu prinsip pembedaan. Prinsip ini mengharuskan komandan membedakan di antara sasaran-sasaran yang sah, obyek-obyek sipil dan penduduk sipil.[24] Jean Mari asas ini dituangkan dalam berbagai instrument dan paraktik nasional.[25] a. Prinsip atau asas pembedaan dalam instrument-instrumen internasional. Prinsip ini dimuat antara lain dalam: 1. Pasal 48 AP I menentukan bahwa Para Pihak yang bersengketa pada segala waktu harus membedakan di antara penduduk sipil dan petempur (combatants). 2. Pasal 24(1) rancangan . menentukan bahwa AP II untuk menjamin penghormatan penduduk sipil, para pihak yang bersengketa . Harus membedakan penduduk sipil dan petempur (combatants). Usul ini diubah dan disepakati dengan suara bulat di Komite III CDDH. Teks yang disetujui itu menentukan bahwa in order to ensure respect and

protection for the civilian population . . . the Parties to the conflict shall at all times distinguish between the civilian population and combatants. Usul ini akhirnya gagal dalam siding pleno, karena gagal memperoleh 2/3 suara mayoritas (36 setuju, 19 menentang dan 36 abstain). 3. Menurut pembukaan the 1997 Ottawa Convention, Negara-negara pihak mendasarkan persetujuan mereka atas berbagai prinsip IHL, termasuk the principle that a distinction must be made between civilians and combatants. b. Praktik Nasional Prinsip ini antara lain dimuat dalam praktik nasional dalam bentuk:

1) Military Manuals Argentinas Law of War Manual menentukan bahwa the parties to the conflict must distinguish at all times between the [civilian] population and combatants. Australias Defence Force Manual menyatakan bahwa hukum sengketa bersenjata establishes a requirement to distinguish between combatants and civilians, and between military objectives and civilian objects. This requirement imposes obligations on all parties to a conflict to establish and maintain the distinction. Belgiums Law of War Manual menyatakan a distinction must always be made between the civilian population and those participating in hostilities: the latter may be attacked, the former may not. Benins Military Manual menentukan bahw a distinction shall be made at all times between combatants and civilians.9 Cameroons Instructors Manual mengharuskan respect for the principle of distinction, that is to say, the definition and separation of soldiers and civilians. Manual ini menambahkan bahwa a soldier cannot fight without knowing exactly who is a combatant and who is not.

2) National Legislation

Berdasarakan Undang Konvensi Jenewa Irlandia (Irelands Geneva Conventions Act) yang diperbaharui, setiap pelanggaran ringan (minor breach) AP I, termasuk pelanggaran Pasal 48 AP I, adalah kejahatan yang dapat dipidana.

Berdasarkan Kitab Hukum Pidana Militar Norwegia (Norways Military Penal Code) yang diperbaharui, anyone who contravenes or is accessory to the contravention of provisions relating to the protection of persons or property laid down in . . . the two additional protocols to [the Geneva] Conventions . . . is liable to imprisonment.

3) Praktik Nasional lainnya

Sebuah laporan yang disampaikan kepada Senat Belgia 1991 menegaskan bahwa prinsip pembedaan (the principle of distinction) tetapi menjadi landasan hukum sengketa bersenjata. Dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan kepada Mahkamah Internasional dalam NuclearWeapons case dalam tahun 1995, Ecuador menyatakan bahwa the use of nuclear weapons does not discriminate, in general, military objectives from civilian objectives. Dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan kepada Mahkamah Internasional dalam NuclearWeapons case dalam tahun 1995, Mesir menyatakan bahwa: The distinction between combatants and non-combatants is one of the most important victories and accomplishments of international law since the early beginnings of the nineteenth century. Any authorization of nuclear weapons will definitely cause this principle to collapse.

c. Praktik Organisasi Internasional dan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1) Dalam Resolusi 2444 (XXIII), yang diundangkan dalam tahun 1968, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengukuhkan Resolusi XXVIII of the 20th International Conference of the Red Cross dan prinsip-prinsip kemanusia yang mendasar berlaku dalam semua konflik yang di dalamnya ditegaskan bahwa distinction must be made at

all times between personstaking part in the hostilities and members of the civilian population to the effect that the latter be spared as much as possible. 2) Dalam Resolusi 2675 (XXV), yang diundangkan dalam tahun 1970, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan bahwa in the conduct of military operations during armed conflict, a distinction must be made at all times between persons actively taking part in the hostilities and civilian populations. 3) Dalam Resolusi 2673 (XXV), yang diundangkan pada hari yang sama terkait dengan wartawan di kawasan konflik, menunjuk dalam pembukaannya kepada prinsip pembedaan. 4) Dalam tahun 1998, dalam sebuah laporan mengenai perlindungan bagi bantuan kemanusiaan kepad pengungsi dan lainnya dalam keadaan konflik, Sekretaris Jendral mengingatkan bahwa pola-pola konflik yang berubah dalam tahun-tahun beakangan ini secara dramatis memperburuk kepatuhan terhadap hukum intefnasional dan menyebutkan sebagai contoh in situations of internal conflicts, whole societies are often mobilized for war and it is difficult to distinguish between combatants and noncombatants. 5) Laporan sesuai dengan aline 5 Resolusi Dewan Keamanan PBB 837 (1993) tentang penyeleidikan 5 Juni 1993 serangan terhadap pasukan PBB di Somalia mengingatkan bahwa: The [Geneva] Conventions were designed to cover inter-State wars and largescale civil wars. But the principles they embody have a wider scope. Plainly a part of contemporary international customary law, they are applicable wherever political ends are sought through military means. No principle is more central to the humanitarian law of war than the obligation to respect the distinction between combatantsand noncombatants. That principle is violated and criminal responsibility thereby incurred when organizations deliberately target civilians or when they use civilians as shields or otherwise demonstrate a wanton indifference to the protection of non-combatants.58

d. Praktik Organisasi Internasional lainnyaDalam sebuah deklarasi yang diadopsi pada ulang tahun ke 50 Konvensi Jenewa dalam tahun 1999, EU menyatakan bahwa it deplored the persistence of violations of IHL. It added that present-day conflicts often did not make the important distinction between

combatants and civilians and that children and other vulnerable groups were targets of the conflicts.59

e. Konferensi InternasionalKonferensi Internasional Palang Merah dalam tahun 1965 menyatakan dengan hidmat bahwa: All Governments and other authorities responsible for action in armed conflicts should conform at least to the following principles: . . . that distinction must be made at all times between persons taking part in the hostilities and members of the civilian population to the effect that the latter be spared as much as possible.

e. Praktik Badan Pengadilan dan Quasi Pengadilan Internasional1) Dalam fatwa (advisory opinion)nya dalam Nuclear Weapons case dalam tahun 1996, ICJ mempertumbangkan prinsip pembedaan di antara para petempur dan bukan petempur menjadi salah satu dari cardinal principles contained in the texts constituting the fabric of humanitarian law dan juga salah satu dari intransgressible principles of international customary law. 2) Dalam putusannya dalam Blaskic case dalam tahun 2000, ICTY berpendapat bahwa the parties to the conflict are obliged to attempt to distinguish between military targets and civilian persons. 3) Dalam laporan akhirnya kepada ICTY Jaksa Penuntut Umum dalam tahun 2000, Komite menetapkan untuk Melakukan Review the 1999 NATO Bombing Campaign Against the Federal Republic of Yugoslavia menyatakan bahwa one of the principles underlying IHL is the principle of distinction, which obligates military commanders to distinguish between military objectives and civilian persons or objects.

C. Tujuan Hukum Humaniter InternasionalHukum sengketa bersenjata mengatur tindakan permusuhan dan melindungi para korban sengketa bersenjata. Dalam melakukan hal ini hukum sengketa bersenjata menjamin hak-hak asasi fundamental orang-orang yang jatuh ke tangan musuh, yakni para tawanan perang, orang-orang yang luka dan sakit. Hukum ini juga dirancang

untuk menyelematkan penduduk sipil dari bahaya-bahaya yang timbul dari operasi militer dan melindungi para petempur (combatant) dari penderitaan yang tidak perlu, dan mencegah timbulnya kekejaman di dalam perang, yang tentu saja akan mengganggu hubungan baik di masa yang akan dating,[26] atau seperti yang dikemukan Daniel M. Vadnais keberadaan hukum humaniter dimaksudkan untuk menghapuskan akibat konflik, mencegah penderitaan yang tidak perlu, menjamin hakhak fundamental, mencegah menurunnya sengketa bersenjata menjadi kejam dan bengis, dan membantu memulihkan perdamaian. Hukum ini juga menjamin patokan minimum peradaban.[27] Tegasnya, hukum humaniter bertujuan mengurangi penderita manusian sebagai akibat dari perang, dengan kata lain, tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang (to humanise war).[28] Untuk melakukan hal ini, hukum humaniter internasional memberikan wewenang kepada badan-badan pengadilan internasional untuk mengajukan mereka yang melanggar ketentuan hukum ini ke depan pengadilan, mengatur perilaku di dalam perang untuk mengurangi penderitaan dan yang terpenting membantu pemulihan perdamaian setelah perang usai.[29] Pematuhan hukum humaniter akan mengurangi menurunnya disiplin, melindungi sumber daya, dan menghindarkan dunia dari kemerosotan yang luas.