Masyarakat Lebih Memilih Berzakat Langsung - gelora45.com · yang berhak menerima zakat. Kedua,...

1
[JAKARTA] Potensi peng- himpunan dana zakat dari masyarakat sangat besar, hingga mencapai ratusan triliun per tahun. Namun, sejauh ini jumlah yang ber- hasil dihimpun lembaga-lem- baga zakat resmi, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, belum optimal. Hal tersebut disebabkan masih rendahnya kepercaya- an masyarakat terhadap lembaga zakat yang ada. Selain itu, juga disebabkan faktor masyarakat lebih memilih berzakat secara langsung kepada mereka yang berhak. Demikian disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Dia menegaskan, masih belum optimalnya pengumpulan zakat, infak, dan sedekah (ZIS), bukan berarti umat Islam banyak yang tidak berzakat. “Umat Islam cenderung membagikan ZIS-nya sendi- ri-sendiri, langsung kepada mereka yang berhak mene- rima (mustahiq),” katanya, di Jakarta, Senin (12/6). Menurutnya, kecende- rungan tersebut disebabkan oleh lima hal. Pertama, pemahaman agama bahwa ZIS sebaiknya dibagikan langsung kepada mustahiq. Kedua, pembagian ZIS seca- ra langsung lebih memberikan kepuasan secara psikologis, ketenangan spiritual, dan kedekatan hubungan sosial. “Pembagian ZIS secara langsung dapat menjadi sarana membangun dan mempererat silaturahmi,” jelasnya. Ketiga, masih rendahnya kepercayaan umat kepada badan dan lembaga zakat. Hal ini terkait faktor trans- paransi dan akuntabilitas pelaporan, maupun peman- faatan yang dirasakan lang- sung oleh umat. Keempat , kurangnya koordinasi dan kerja sama antara BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dengan LAZ (Lembaga Amil Zakat), sehingga terkesan ada kom- petisi. “Hal ini bisa saja menimbulkan duplikasi, di mana mustahiq mungkin saja mendapatkan ZIS berulang kali,” ungkapna. Kelima, kreativitas peng- himpunan dan pendistribusi- an yang rendah. Menurutnya, kecende- rungan pembagian langsung membuat ZIS menjadi kari- katif, reaktif, sporadis, dan tidak berdampak luas dalam pemberdayaan umat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu lanjutnya, ada tiga langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan penghimpun- an dan pendistribusian ZIS. Pertama, reinterpretasi penafsiran ayat-ayat Alquran yang terkait dengan penger- tian ZIS dan mustahiq. Misalnya, tafsir tentang nishab dan jenis-jenis harta yang harus dibayarkan zakatnya. Begitu pula dengan tafsir delapan ashnaf (golongan) yang berhak menerima zakat. Kedua , membangun budaya berderma dan mengembangkan kederma- wanan sebagai kepribadian dan gerakan sosial. Budaya filantropi perlu ditumbuhkan dalam bentuk gerakan yang melembaga. “Bukan santunan karena belas kasihan tetapi bantuan untuk pemberdayaan, advokasi, dan bentuk-bentuk pemberdayaan produktif lain- nya,” jelasnya. Ketiga , memperkuat jejaring di antara muzakki dan mustahiq sebagai komu- nitas sosial yang solid. “Distribusi ZIS juga dapat diperluas tidak hanya untuk mereka yang beragama Islam tetapi juga untuk pemeluk agama lainnnya,” katanya. ZIS bisa dijadikan sebagai modal usaha dan investasi ekonomi yang membuat umat dan masyarakat lebih berda- ya dan sejahtera. ZIS diha- rapkan dapat mengatasi dan mengurangi kesenjangan sosial untuk pemerataan dan peningkatan kemakmuran. Senada dengan itu, tim ahli ekonomi sistem ekonomi Indonesia Raya Incorporated (IRI) Wahyu Ariani menilai, sejauh pengelolaan dana ZIS transparan dan akuntabel, umat akan dengan senang hati menyumbang. “Sebagai contoh, mengapa orang eng- gan bayar pajak? Karena penggunaannya tidak tampak. Jadi, kalau penggunaan dana ZIS itu jelas atau tampak hasilnya dan bisa dirasakan, maka orang-orang kaya akan dengan senang hati menyum- bang,” ucapnya. Selain itu, banyak lem- baga penerima dan pengelo- la ZIS yang belum bisa berpedan secara optimal. Untuk itu, dia berharap pemerintah harus lebih memaksimalkan lagi peran lembaga-lembaga tersebut. “Akreditasi atau izin saja tidak cukup. Tata kelola lembaga itu juga harus bagus sehingga masyarakat atau penyumbang yakin bahwa sumbangannya digunakan dengan benar,” katanya. Belum Maksimal Terkait hal tersebut, pakar ekonomi syariah Muhammad Syafi’i Antonio mengung- kapkan, dana dari ZIS memang bisa mendukung program pengurangan kemis- kinan. Bahkan, upaya itu bisa dipercepat mengingat mayo- ritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. “Zakat itu yang paling besar adalah menyangkut dampak yang terjadi dengan si penerima dan efek multi- plier terhadap perputaran ekonomi. Dalam arti ketika ada orang yang berzakat, berarti ada tambahan dua atau tiga yang memiliki daya beli,” jelasnya. Namun, dia mengakui, meskipun jumlah umat Muslim di Indonesia besar, atau hampir 85% dari pen- duduk Indonesia, tak semu- anya memberi dana ZIS. Dengan demikian, peran ZIS memang besar tapi peneri- manya lebih besar daripada uang yang terkumpul. “Potensi besar tapi belum semua bayar. Padahal yang harus diberdayakan jauh lebih dari nilai itu,” ucapnya. Sementara itu, filantrop yang juga Chairman Tahir Foundation Dato Sri Prof Dr Tahir MBA mengungkapkan, sebagai pengusaha, adalah sebuah konsekuensi apabila mengembalikan sebagian keuntungan ke masyarakat yang membutuhkan. “Filantropi bukan sedekah atau CSR (corporate social responsibility/ tanggung jawab sosial perusahaan), tapi sebu- ah life commitment kepada hati nurani kita,” tandasnya. Menurutnya, kalau rakyat Indonesia bisa lebih makmur pada akhirnya juga bisa meningkatkan daya beli, dan pengusaha juga diuntung- kan. “To give is to gain (memberi adalah untuk menerima). Pada saat mem- beri, saat yang sama juga mendapatkan mungkin bukan bentuk uang tapi sukacita. Dalam ajaran semua agama, Gusti Allah Tidak pernah memberikan hak milik atas harta yang kita miliki, tapi hanya hak mengelola saja,” ucapnya. Oleh karena itu, semua pengusaha mempunyai kewa- jiban untuk berbagi sehingga bisa membantu pemerintah dalam upaya memperkecil jurang kemiskinan. [R-15/O-2] 3 Suara Pembaruan Senin, 12 Juni 2017 Utama Kepercayaan terhadap Lembaga Zakat Masih Rendah Masyarakat Lebih Memilih Berzakat Langsung P otensi penerimaan zakat di Indonesia sangat tinggi, bisa mencapai Rp 271 triliun. Meski angka penerimaan zakat yang masuk ke Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dari tahun ke tahun mening- kat, tetapi jumlahnya masih jauh dari potensi yang dimiliki Indonesia. Sebagai contoh, pada 2016, penerimaan dana Baznas sebesar Rp 5,02 triliun. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp 3,65 triliun. Pada tahun ini, Baznas menargetkan penerimaan zakat secara nasional sebesar Rp 6 triliun. Baznas mencatat, ada beberapa hal yang menyebabkan masih ada kesenjangan yang besar antara potensi zakat dan realitas penerima- an. Berdasarkan Outlook Zakat Indonesia 2017 yang dikeluarkan Baznas, ada tiga penyebab. Pertama, kesadaran wajib zakat (muzakki) yang masih rendah. Masyarkat juga belum memiliki kepercayaan yang cukup terhadap lembaga penerima zakat, baik milik pemerintah atau swasta. Perilaku muzakki juga masih berorientasi jangka pendek, desentralis, dan interpersonal. Kedua, basis zakat yang tergali masih terkonsentrasi pada beberapa jenis zakat tertentu, seperti zakat fitrah dan profesi. Ketiga, masih rendahnya insentif bagi wajib zakat untuk membayar zakat, khususnya terkait zakat sebagai pengurang pajak, yang membuat wajib zakat tidak terkena beban ganda. Meski masih jauh dari potensi yang ada, tren pemberian zakat semakin baik. Sudah ada pening- katan kesadaran masyarakat untuk berzakat melalui organisasi penge- lola zakat (OPZ). Perkembangan zakat di Indonesia meningkat secara signifikan saat UU Nomor 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan oleh pemerintah. Berdasarkan UU terse- but, zakat dapat dikelola oleh lem- baga zakat yang dibentuk pemerin- tah maupun lembaga zakat yang dibentuk oleh masyarakat (Lembaga Amil Zakat/LAZ). Namun, perubahan besar pada kerangka regulasi mengenai zakat di Indonesia terjadi saat UU 38/1999 itu diganti dengan UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Salah satu hal yang cukup penting dalam UU itu adalah adanya aturan menge- nai wewenang Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai koordi- nator pengelolaan zakat nasional. UU 23/2011 berfungsi sebagai dasar pelaksanaan dan pengelolaan zakat di Indonesia. Pengelolaan zakat ini bertujuan untuk mening- katkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat serta meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Kewajiban BUMN Peraturan lain terkait pengelolaan zakat di Indonesia terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14/2014 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3/2014. PP 14/2014 mengatur anggota tertinggi Baznas ditunjuk oleh presiden. Sementara, Inpres 3/2014 mewajibkan seluruh kementerian, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan seluruh lembaga pemerintahan untuk membayar dan mengumpulkan zakatnya melalui Baznas. Dana zakat dari perusahaan merupakan potensi yang paling besar dibandingkan individu. Dari total potensi zakat nasional Rp 271 trili- un/tahun, potensi dari perusahaan, baik BUMN maupun swasta, bisa mencapai Rp 181 triliun/tahun. Selain itu, Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 333/2015 juga telah menyusun klasifikasi untuk lembaga amil zakat (LAZ) resmi. Terdapat tiga kategori LAZ, yaitu LAZ nasional (jika penghim- punan zakat mencapai Rp 50 miliar), LAZ provinsi (jika penghimpunan zakat mencapai Rp 20 miliar), dan LAZ kabupaten/kota (jika penghim- punan zakat mencapai Rp 3 miliar). [O-1] Kesadaran Wajib Zakat Perlu Ditingkatkan

Transcript of Masyarakat Lebih Memilih Berzakat Langsung - gelora45.com · yang berhak menerima zakat. Kedua,...

Page 1: Masyarakat Lebih Memilih Berzakat Langsung - gelora45.com · yang berhak menerima zakat. Kedua, membangun budaya berderma dan mengembangkan kederma-wanan sebagai kepribadian dan gerakan

[JAKARTA] Potensi peng-himpunan dana zakat dari masyarakat sangat besar, hingga mencapai ratusan triliun per tahun. Namun, sejauh ini jumlah yang ber-hasil dihimpun lembaga-lem-baga zakat resmi, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, belum optimal.

Hal tersebut disebabkan masih rendahnya kepercaya-an masyarakat terhadap lembaga zakat yang ada. Selain itu, juga disebabkan faktor masyarakat lebih memilih berzakat secara langsung kepada mereka yang berhak.

Demikian disampaikan Sekre t a r i s Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Dia menegaskan, masih belum optimalnya pengumpulan zakat, infak, dan sedekah (ZIS), bukan berarti umat Islam banyak yang tidak berzakat.

“Umat Islam cenderung membagikan ZIS-nya sendi-ri-sendiri, langsung kepada mereka yang berhak mene-rima (mustahiq),” katanya, di Jakarta, Senin (12/6).

Menurutnya, kecende-rungan tersebut disebabkan oleh lima hal. Pertama, pemahaman agama bahwa ZIS sebaiknya dibagikan langsung kepada mustahiq. Kedua, pembagian ZIS seca-ra langsung lebih memberikan kepuasan secara psikologis, ketenangan spiritual, dan kedekatan hubungan sosial.

“Pembagian ZIS secara langsung dapat menjadi sarana membangun dan mempererat silaturahmi,” jelasnya.

Ketiga, masih rendahnya kepercayaan umat kepada badan dan lembaga zakat. Hal ini terkait faktor trans-paransi dan akuntabilitas

pelaporan, maupun peman-faatan yang dirasakan lang-sung oleh umat.

Keempat, kurangnya koordinasi dan kerja sama antara BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dengan LAZ (Lembaga Amil Zakat), sehingga terkesan ada kom-petisi. “Hal ini bisa saja menimbulkan duplikasi, di mana mustahiq mungkin saja mendapatkan ZIS berulang kali,” ungkapna.

Kelima, kreativitas peng-himpunan dan pendistribusi-an yang rendah.

Menurutnya, kecende-rungan pembagian langsung membuat ZIS menjadi kari-katif, reaktif, sporadis, dan tidak berdampak luas dalam

pemberdayaan umat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu lanjutnya, ada tiga langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan penghimpun-an dan pendistribusian ZIS.

Pertama, reinterpretasi penafsiran ayat-ayat Alquran yang terkait dengan penger-tian ZIS dan mustahiq. Misalnya, tafsir tentang nishab dan jenis-jenis harta yang harus dibayarkan zakatnya. Begitu pula dengan tafsir delapan ashnaf (golongan) yang berhak menerima zakat.

Kedua , membangun budaya berderma dan mengembangkan kederma-wanan sebagai kepribadian dan gerakan sosial. Budaya

filantropi perlu ditumbuhkan dalam bentuk gerakan yang melembaga. “Bukan santunan karena belas kasihan tetapi bantuan untuk pemberdayaan, advokasi, dan bentuk-bentuk pemberdayaan produktif lain-nya,” jelasnya.

Ketiga, memperkuat jejaring di antara muzakki dan mustahiq sebagai komu-nitas sosial yang solid. “Distribusi ZIS juga dapat diperluas tidak hanya untuk mereka yang beragama Islam tetapi juga untuk pemeluk agama lainnnya,” katanya.

ZIS bisa dijadikan sebagai modal usaha dan investasi ekonomi yang membuat umat dan masyarakat lebih berda-ya dan sejahtera. ZIS diha-

rapkan dapat mengatasi dan mengurangi kesenjangan sosial untuk pemerataan dan peningkatan kemakmuran.

Senada dengan itu, tim ahli ekonomi sistem ekonomi Indonesia Raya Incorporated (IRI) Wahyu Ariani menilai, sejauh pengelolaan dana ZIS transparan dan akuntabel, umat akan dengan senang hati menyumbang. “Sebagai contoh, mengapa orang eng-gan bayar pajak? Karena penggunaannya tidak tampak. Jadi, kalau penggunaan dana ZIS itu jelas atau tampak hasilnya dan bisa dirasakan, maka orang-orang kaya akan dengan senang hati menyum-bang,” ucapnya.

Selain itu, banyak lem-baga penerima dan pengelo-la ZIS yang belum bisa berpedan secara optimal. Untuk itu, dia berharap pemerintah harus lebih memaksimalkan lagi peran lembaga-lembaga tersebut.

“Akreditasi atau izin saja tidak cukup. Tata kelola lembaga itu juga harus bagus sehingga masyarakat atau penyumbang yakin bahwa sumbangannya digunakan dengan benar,” katanya.

Belum MaksimalTerkait hal tersebut, pakar

ekonomi syariah Muhammad Syafi’i Antonio mengung-kapkan, dana dari ZIS memang bisa mendukung program pengurangan kemis-kinan. Bahkan, upaya itu bisa dipercepat mengingat mayo-ritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam.

“Zakat itu yang paling besar adalah menyangkut dampak yang terjadi dengan si penerima dan efek multi-plier terhadap perputaran ekonomi. Dalam arti ketika ada orang yang berzakat,

berarti ada tambahan dua atau tiga yang memiliki daya beli,” jelasnya.

Namun, dia mengakui, meskipun jumlah umat Muslim di Indonesia besar, atau hampir 85% dari pen-duduk Indonesia, tak semu-anya memberi dana ZIS. Dengan demikian, peran ZIS memang besar tapi peneri-manya lebih besar daripada uang yang terkumpul.

“Potensi besar tapi belum semua bayar. Padahal yang harus diberdayakan jauh lebih dari nilai itu,” ucapnya.

Sementara itu, filantrop yang juga Chairman Tahir Foundation Dato Sri Prof Dr Tahir MBA mengungkapkan, sebagai pengusaha, adalah sebuah konsekuensi apabila mengembalikan sebagian keuntungan ke masyarakat yang membutuhkan.

“Filantropi bukan sedekah atau CSR (corporate social responsibility/tanggung jawab sosial perusahaan), tapi sebu-ah life commitment kepada hati nurani kita,” tandasnya.

Menurutnya, kalau rakyat Indonesia bisa lebih makmur pada akhirnya juga bisa meningkatkan daya beli, dan pengusaha juga diuntung-kan. “To give is to gain (memberi adalah untuk menerima). Pada saat mem-beri, saat yang sama juga mendapatkan mungkin bukan bentuk uang tapi sukacita. Dalam ajaran semua agama, Gusti Allah Tidak pernah memberikan hak milik atas harta yang kita miliki, tapi hanya hak mengelola saja,” ucapnya.

Oleh karena itu, semua pengusaha mempunyai kewa-jiban untuk berbagi sehingga bisa membantu pemerintah dalam upaya memperkecil jurang kemiskinan. [R-15/O-2]

3Sua ra Pem ba ru an Senin, 12 Juni 2017 Utama

Kepercayaan terhadap Lembaga Zakat Masih RendahMasyarakat Lebih Memilih Berzakat Langsung

Potensi penerimaan zakat di Indonesia sangat tinggi, bisa mencapai Rp 271 triliun. Meski

angka penerimaan zakat yang masuk ke Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dari tahun ke tahun mening-kat, tetapi jumlahnya masih jauh dari potensi yang dimiliki Indonesia.

Sebagai contoh, pada 2016, penerimaan dana Baznas sebesar Rp 5,02 triliun. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp 3,65 triliun. Pada tahun ini, Baznas menargetkan penerimaan zakat secara nasional sebesar Rp 6 triliun.

Baznas mencatat, ada beberapa hal yang menyebabkan masih ada kesenjangan yang besar antara potensi zakat dan realitas penerima-an. Berdasarkan Outlook Zakat Indonesia 2017 yang dikeluarkan Baznas, ada tiga penyebab.

Pertama, kesadaran wajib zakat (muzakki) yang masih rendah. Masyarkat juga belum memiliki kepercayaan yang cukup terhadap lembaga penerima zakat, baik milik pemerintah atau swasta. Perilaku muzakki juga masih berorientasi jangka pendek, desentralis, dan interpersonal.

Kedua, basis zakat yang tergali masih terkonsentrasi pada beberapa jenis zakat tertentu, seperti zakat fitrah dan profesi. Ketiga, masih rendahnya insentif bagi wajib zakat untuk membayar zakat, khususnya terkait zakat sebagai pengurang pajak, yang membuat wajib zakat tidak terkena beban ganda.

Meski masih jauh dari potensi yang ada, tren pemberian zakat semakin baik. Sudah ada pening-katan kesadaran masyarakat untuk

berzakat melalui organisasi penge-lola zakat (OPZ).

Perkembangan zakat di Indonesia meningkat secara signifikan saat UU Nomor 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan oleh pemerintah. Berdasarkan UU terse-but, zakat dapat dikelola oleh lem-baga zakat yang dibentuk pemerin-tah maupun lembaga zakat yang dibentuk oleh masyarakat (Lembaga Amil Zakat/LAZ).

Namun, perubahan besar pada kerangka regulasi mengenai zakat di Indonesia terjadi saat UU 38/1999 itu diganti dengan UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Salah satu hal yang cukup penting dalam UU itu adalah adanya aturan menge-nai wewenang Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai koordi-nator pengelolaan zakat nasional.

UU 23/2011 berfungsi sebagai dasar pelaksanaan dan pengelolaan zakat di Indonesia. Pengelolaan zakat ini bertujuan untuk mening-katkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat serta meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

Kewajiban BUMNPeraturan lain terkait pengelolaan

zakat di Indonesia terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14/2014 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3/2014. PP 14/2014 mengatur anggota tertinggi Baznas ditunjuk oleh presiden. Sementara, Inpres 3/2014 mewajibkan seluruh kementerian, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan seluruh lembaga

pemerintahan untuk membayar dan mengumpulkan zakatnya melalui Baznas.

Dana zakat dari perusahaan merupakan potensi yang paling besar dibandingkan individu. Dari total potensi zakat nasional Rp 271 trili-un/tahun, potensi dari perusahaan, baik BUMN maupun swasta, bisa mencapai Rp 181 triliun/tahun.

Selain itu, Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 333/2015 juga telah menyusun klasifikasi untuk lembaga amil zakat (LAZ) resmi. Terdapat tiga kategori LAZ, yaitu LAZ nasional (jika penghim-punan zakat mencapai Rp 50 miliar), LAZ provinsi (jika penghimpunan zakat mencapai Rp 20 miliar), dan LAZ kabupaten/kota (jika penghim-punan zakat mencapai Rp 3 miliar). [O-1]

Kesadaran Wajib Zakat Perlu Ditingkatkan