Masalah HIV-AIDS Di Kalangan Pemakai Narkoba Suntik

7
Masalah HIV/AIDS di Kalangan Pemakai Narkoba Suntik Oleh: Yusuf Syaeful Nawawi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Sejak kasus HIV/AIDS dilaporkan pertama kali pada tahun 1981, masalah HIV/AIDS semakin menjadi ancaman global pada berbagai negara di berbagai belahan dunia. Diperkirakan pada tahun 2007, berkisar antara 30 hingga 36 juta orang di dunia menderita HIV. Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan Departemen Kesahatan Republik Indonesia pada tahun 1987, hingga sekarang kasus HIV/AIDS terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah kasus kumulatif hingga tahun 2009 dilaporkan sebanyak 6668 kasus infeksi HIV, 16.964 kasus AIDS dan 3492 orang di antaranya meninggal. Diperkirakan terdapat 7 hingga 8 orang tiap 100.000 penduduk Indonesia menderita AIDS. Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah peningkatan infeksi HIV yang semakin nyata di antara para pemakai narkoba suntik atau IDU (Injecting Drug User). Penularan HIV melalui jarum suntik di antara para pemakai narkoba menempati angka yang cukup signifikan. Secara global, sekitar 15,9 juta orang memakai narkoba suntik dan 3 juta di antaranya hidup dengan HIV. Ledakan epidemi HIV terjadi dalam populasi pemakai narkoba suntik, dimana umumnya terjadi pemakaian alat

Transcript of Masalah HIV-AIDS Di Kalangan Pemakai Narkoba Suntik

Page 1: Masalah HIV-AIDS Di Kalangan Pemakai Narkoba Suntik

Masalah HIV/AIDS di Kalangan Pemakai Narkoba Suntik

Oleh:

Yusuf Syaeful Nawawi

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Sejak kasus HIV/AIDS dilaporkan pertama kali pada tahun 1981, masalah

HIV/AIDS semakin menjadi ancaman global pada berbagai negara di berbagai

belahan dunia. Diperkirakan pada tahun 2007, berkisar antara 30 hingga 36 juta

orang di dunia menderita HIV. Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan

Departemen Kesahatan Republik Indonesia pada tahun 1987, hingga sekarang

kasus HIV/AIDS terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Departemen

Kesehatan, jumlah kasus kumulatif hingga tahun 2009 dilaporkan sebanyak 6668

kasus infeksi HIV, 16.964 kasus AIDS dan 3492 orang di antaranya meninggal.

Diperkirakan terdapat 7 hingga 8 orang tiap 100.000 penduduk Indonesia

menderita AIDS.

Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah peningkatan infeksi HIV yang

semakin nyata di antara para pemakai narkoba suntik atau IDU (Injecting Drug

User). Penularan HIV melalui jarum suntik di antara para pemakai narkoba

menempati angka yang cukup signifikan. Secara global, sekitar 15,9 juta orang

memakai narkoba suntik dan 3 juta di antaranya hidup dengan HIV. Ledakan

epidemi HIV terjadi dalam populasi pemakai narkoba suntik, dimana umumnya

terjadi pemakaian alat suntik bersama dan berulang. Di Indonesia, berdasarkan

data Departemen Kesehatan, angka kumulatif hingga 2009 terdapat sekitar 42 %

transmisi melalui jarum suntik di kalangan pemakai narkoba. Kekhawatiran

adanya peningkatan kasus infeksi HIV di kalangan pemakai narkoba suntik cukup

beralasan sebab sebagian besar pengidap AIDS yang menggunakan narkoba

berasal dari golongan remaja dan usia muda yang merupakan usia produktif yaitu

sekitar 66,4 %.

UNAIDS menyebutkan bahwa Indonesia juga menghadapi an IDU Led-

epidemic, epidemi HIV akibat pemakaian narkoba suntik, dengan menunjukan

lebih 90% pengguna narkoba suntik menggunakan jarum tidak steril (unclean

needle) yang terdistribusi di 3 kota utama di Indonesia. Tingginya penularan

Page 2: Masalah HIV-AIDS Di Kalangan Pemakai Narkoba Suntik

HIV/AIDS di antara para pemakai narkoba suntik membutuhkan perhatian serius.

Sangat jelas bahwa upaya penurunan angka HIV/AIDS sekaligus ditujukan

melalui kebijakan dan penanganan lebih lanjut terhadap kasus-kasus

penyalahgunaan narkoba.

Kita mencoba berrefleksi terhadap apa yang telah dilakukan oleh negara

lain dalam upaya mengurangi angka HIV/AIDS di negerinya melalui kebijakan

terhadap narkoba. Kita ambil contoh negara Belanda. Pemerintah Belanda

memiliki kebijakan berbeda dalam menyikapi masalah penyalahgunaan narkoba

di negerinya. Pembuat kebijakan di Belanda percaya bahwa masalah narkoba

merupakan masalah yang tidak dapat dihilangkan dan cara terbaik yang dapat

dilakukan adalah dengan melakukan pengendalian terhadapnya dibandingkan

melakukan eradikasi melalui jalur penegakan hukum.

Belanda adalah negara yang menganut kebijakan harm reduction yang

berarti memprioritaskan pengurangan dampak buruk dari penggunaan narkoba.

Oleh sebab itu diluncurkan beberapa kebijakan yang dikhususkan untuk pemakai

narkoba. Pemerintah Belanda melegalkan penjualan ganja serta beberapa soft drug

dengan syarat dan ketentuan tertentu, untuk mencegah pasar gelap penjualan

narkoba, mereka juga memiliki program syringe exchange dengan menyediakan

akses gratis terhadap jarum suntik yang bersih demi keamanan para pengguna

narkoba suntik. Pendampingan sosial dan medis juga dilakukan terhadap pemakai

narkoba, berupa pelatihan, konseling dan klinik rehabilitasi.

Hasilnya terjadi penurunan angka penderita HIV/AIDS yang begitu

mencengangkan. Insidensi infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba suntik di

Belanda menurun sejak tahun 1986. Dari data Amsterdam Cohort Studies, 2007

sejak tehun 1999 hingga 2004 tidak terdapat infeksi HIV di antara kalangan

pengguna jarum suntik, pada tahun 2005 terdapat 2 kasus infeksi HIV, sementara

tahun 2006 lagi-lagi tidak ditemukan kasus infeksi HIV. Insidensi HIV di

kalanggan pengguna narkoba suntik sekitar 1,2 dari 100 orang tiap tahunnya.

Sebuah penelitian evaluasi menyimpulkan kombinasi dari upaya harm reduction

(antara lain, klinik methadone, penggantian jarum suntik, pelatihan dan konseling)

telah menunjukkan hasil berupa perubahan perilaku seksual dan pemakaian

Page 3: Masalah HIV-AIDS Di Kalangan Pemakai Narkoba Suntik

narkoba yang lebih aman. Hasil yang lain dari data Amsterdam Cohort Studies,

2007, didapatkan pula jumlah pemakai narkoba di Belanda yang relatif lebih

rendah dibandingkan dengan banyak negara dan kecenderungannya yang makin

menurun tiap tahun. Satu bukti yang menunjukkan bahwa penerapan harm

reduction tidak meningkatkan angka pengguna narkoba di Belanda.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia berdiri di atas dualisme kebijakan dalam menyikapi masalah

narkoba. Pihak Kepolisian Indonesia menganut kebijakan abstinence, yang mana

menghindarkan diri sama sekali dari narkoba. Menurut undang-undang, produsen,

pengedar dan pengguna narkoba merupakan tidakan pidana yang dapat ditangkap,

diadili dan dimasukan ke penjara. Di sisi lain, Memorandum of Understanding

antara Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA Nasional) dan Badan

Narkoba Nasional (BNN), telah melahirkan Peraturan Menko Kesra No 2/2007

tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan

Dampak Buruk Pengguna Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik. Strategi

yang dipilih adalah melalui pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba atau

harm reduction dan bukan kebijakan abstinence.

Program harm reduction telah mulai diperkenalkan di Indonesia sejak

1998. Pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat di beberapa propinsi

telah berupaya keras mengendalikan epidemi HIV dengan melaksanakan kegiatan

intervensi kepada pengguna narkoba suntik, dengan menyediakan layanan

penyediaan jarum suntik steril, terapi oral pengganti (methadon), serta serta

pengobatan dan perawatan HIV yang diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan

masyarakat. Berkat penerapan harm reduction kasus penyebaran HIV di kalangan

pengguna narkoba jarum suntik memiliki kecenderungan terjadi penurunan.

Memang berdasarkan data dari Departemen Kesehatan sejak tahun 2007 telah

terjadi penurunan dibandingkan tahun sebelumnya sekitar 5,3 %, dan pada 2008

sebanyak 12,7 % dibandingkan pada tahun 2007, hanya saja seperti yang

dituliskan di awal, angka penularannya masih cukup signifikan sekitar 42 %

kumulatif hingga tahun 2009.

Page 4: Masalah HIV-AIDS Di Kalangan Pemakai Narkoba Suntik

Agaknya ada yang perlu dibenahi menyangkut kebijakan mengenai

narkoba di Indonesia. Apa yang dilakukan pemerintah Belanda dan beberapa

negara Eropa, tidak serta merta dapat diterima sebagai landasan kebijakan untuk

diberlakukan di Indonesia, namun perlu kajian lebih lanjut dan adaptasi menurut

sosio kultural masyarakat Indonesia.

Upaya-upaya supply reduction tetap perlu dilakukan untuk mengurangi

jumlah peredaran narkoba ilegal di masyarakat, namun tindakan hukum yang

diberlakukan antara produsen, distributor dan konsumen perlu dibedakan.

Pengguna janganlah dianggap sebagai pelaku kriminal, melainkan pasien atau

korban yang memerlukan bantuan. Harus pula diingat bahwa penjara tidak serta

merta membuat orang jera menjadi pengguna narkoba. Penjara bahkan menjadi

salah satu pusat perdagangan narkoba. Di situlah prinsip harm reduction

diterapkan. Belajar dari apa yang telah dilakukan Iran dalam menerapkan prinsip

harm reduction di kalangan nara pidana di penjara dengan hasil yang cukup

efektif, jangkauan inilah yang ingin dicapai yaitu berupa komunitas atau individu-

individu pemakai narkoba yang memerlukan bantuan. Menyentuh komunitas atau

individu pemakai narkoba inilah yang masih akan sulit, jika mereka terus

mendapat stigma negatif dari masyarakat dan lembaga kepolisian sebagai pelaku

kriminal.

Dalam tataran yang lebih tinggi, kalangan lembaga tinggi negara perlu

mereduksi egosentris ataupun egosektoral masing lembaga dalam menangani

kasus narkoba dan dampak buruk yang ditimbulkannya. Sebab ketika masing-

masing lembaga mengunggulkan egosentris masing-masing, maka kebijakan yang

satu dapat menelan yang lain, yang berarti kontraproduktifitas.

Di sisi lain, mulai pada tingkatan terendah, tindakan pencegahan

merupakan upaya primer yang perlu diprioritaskan. Mencegah seorang individu

terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba merupakan hal yang paling penting

untuk dilakukan. Hal itu perlu dimulai dengan membangun kesadaran individu,

keluarga dan masyarakat melalui upaya-upaya kampanye yang efektif.

Kita berharap semoga masalah HIV/AIDS dan narkoba di Indonesia dapat

diberantas!