Maraknya Perceraian Memilih Cerai atau …jatim.kemenag.go.id/file/dokumen/304lensut2.pdfMPA 304 /...

3
7 MPA 304 / Januari 2012 Mungkin fenomena ini mengejutkan. Perceraian telah meningkat hampir di seluruh belahan dunia. Di Eropa dan Amerika, juga tak terbebas dari epidemi tersebut. Sebut saja misalnya di Swedia dan Norwegia. 50 persen pernikahan di sana berakhir dengan perceraian. Denmark dan Finlandia juga mengalami nasib yang tak jauh beda. Angka perceraian telah mencapai angka 40 persen. Begitupun dengan Rusia, Perancis, Jerman, Belgia, Luksemburg dan Britania, juga memiliki tingkat perceraian yang cukup tinggi. Di Amerika Serikat sendiri, tingkat perceraian hampir mencapai angka 55 persen. Penyebab utamanya, karena faktor gaya hidup. Karena model dan gaya hidup yang agak ber- beda, Italia, Spanyol dan Yunani – misalnya, tak ter- kena tren tersebut. De- ngan menempatkan nilai- nilai keluarga, per- ceraian tak jadi pilih- an yang gampang bagi mereka. Karena model dan gaya hi- dup negara-negara di benua Asia yang ber- lainan, membuat ting- kat perceraiannya re- latif jauh lebih kecil dibandingkan de- ngan mereka. Tapi di negara- negara Eropa dan Amerika, nilai-nilai dan sistem keluarga terlanjur runtuh. Sur- vei yang dilakukan Asosiasi Pengacara Perkawinan Amerika belakangan ini malah menyebutkan, bahwa facebook telah menduduki rangking teratas sebagai penyebab perceraian. Berawal dari kebebasan curhat antara sang istri dan pria lain di facebook, banyak yang berujung pada perceraian. Bagaimana dengan di Indone- sia sendiri? Dari berbagai riset telah ditemukan, jika gaya hidup seseorang juga sangat berpengaruh bagi keu- tuhan rumah tangga. Karena idola masyarakat adalah publik figur yang gampang melakukan kawin-cerai, per- ceraian di masyarakat pun mengalami peningkatan yang luar biasa. Terbuk- ti, perceraian di Pengadilan Agama setiap tahunnya cenderung mengala- mi peningkatan. Sebut misal maraknya acara in- fortainmen di televisi, ternyata ber- banding lurus dengan meningkatnya angka perceraian. Pada tahun 80-an, angka perceraian berada pada kisar- an 60 ribu pertahun. Tapi dalam lima tahun terakhir, angka perceraian men- capai 200 ribu perceraian pertahun dari 2 juta angka pernikahan. Khusus di tahun 2005, perceraian bahkan mencapai angka 500 ribu. Yang menarik, kasus perceraian di Jawa Timur tahun 2011 malah me- ngalami penurunan sedikit. Meski mengalami penurunan, Jatim tetap menjadi provinsi dengan tingkat per- ceraian tertinggi se-Indonesia. Jika pada tahun 2010 angka perceraiannya adalah 67.293 kasus, pada tahun 2011 (per Nopember) justru mengalami penurunan menjadi 66.799 kasus. Dan jumlah pernikahan selama satu tahun ini berkisar 380 ribu. Artinya dari to- tal angka pernikahan ada sekitar 17 persen yang mengalami kegagalan. Data statistik Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya menyebut- kan, ada beberapa daerah dengan tingkat perceraian tertinggi. Seperti kabupaten Jember dengan 5.798 ka- sus yang sudah diputus, kabupaten Malang 5.047 kasus, Blitar 4.609 ka- sus, Banyuwangi 4.515 kasus, dan kota Surabaya sebanyak 3.373 kasus. Dari data ini berarti ada sekitar 300 - 500-an kasus perceraian yang dipu- tus di daerah-daerah tersebut. Yang agak mengejutkan, di kota- kota besar malah ada tren baru. Per- ceraian malah timbul dari tuntutan pihak istri melalui pengajuan gugat- cerai. Angkanya cukup fantastis, mencapai 70 persen. Sedangkan yang dari pihak suami cu- ma 30 persen. Di Jawa Ti- mur pun juga mengikuti tren tersebut. Kasus per- ceraian didominasi oleh kasus cerai gugat. Dan dari tahun ke ta- hun jumlahnya relatif meningkat. Padahal sebelum tahun 2000 kasus perceraian di- dominasi talak cerai. Pada tahun 2010 kasus cerai gugat yang diajukan sebe- sar 44,728 perkara. Sedangkan setahun kemudian meningkat menjadi 45.069 per- kara. Padahal kasus cerai talak justru se- makin menurun dari 25,228 kasus pada ta- hun 2010 menjadi 23.920 kasus pada 2011. “Artinya saat ini antara kasus cerai gugat dan cerai talak berban- ding 2 : 1,” tukas Drs. H. Syamsul Falah, SH, MHum. Ada yang menilai, meningkat- nya angka perceraian saat ini salah satu penyebabnya adalah mudahnya Maraknya Perceraian Memilih Cerai atau Memperbaiki Rumah Tangga? Drs. H. Syamsul Falah, SH, MHum.

Transcript of Maraknya Perceraian Memilih Cerai atau …jatim.kemenag.go.id/file/dokumen/304lensut2.pdfMPA 304 /...

7MPA 304 / Januari 2012

Mungkin fenomena inimengejutkan. Perceraian telah

meningkat hampir di seluruhbelahan dunia. Di Eropa dan

Amerika, juga tak terbebas dariepidemi tersebut. Sebut saja

misalnya di Swedia danNorwegia. 50 persen pernikahan

di sana berakhir denganperceraian. Denmark dan

Finlandia juga mengalami nasibyang tak jauh beda. Angka

perceraian telah mencapai angka40 persen. Begitupun dengan

Rusia, Perancis, Jerman, Belgia,Luksemburg dan Britania, juga

memiliki tingkat perceraian yangcukup tinggi. Di Amerika Serikat

sendiri, tingkat perceraian hampirmencapai angka 55 persen.

Penyebab utamanya, karenafaktor gaya hidup. Karena model dangaya hidup yang agak ber-beda, Italia, Spanyol danYunani – misalnya, tak ter-kena tren tersebut. De-ngan menempatkan nilai-

nilai keluarga, per-ceraian tak jadi pilih-an yang gampangbagi mereka. Karenamodel dan gaya hi-dup negara-negara dibenua Asia yang ber-lainan, membuat ting-kat perceraiannya re-latif jauh lebih kecildibandingkan de-ngan mereka.

Tapi di negara-negara Eropa danAmerika, nilai-nilaidan sistem keluargaterlanjur runtuh. Sur-vei yang dilakukanAsosiasi PengacaraPerkawinan Amerikabelakangan ini malah menyebutkan,bahwa facebook telah mendudukirangking teratas sebagai penyebabperceraian. Berawal dari kebebasancurhat antara sang istri dan pria laindi facebook, banyak yang berujungpada perceraian.

Bagaimana dengan di Indone-sia sendiri? Dari berbagai riset telahditemukan, jika gaya hidup seseorangjuga sangat berpengaruh bagi keu-tuhan rumah tangga. Karena idolamasyarakat adalah publik figur yanggampang melakukan kawin-cerai, per-ceraian di masyarakat pun mengalamipeningkatan yang luar biasa. Terbuk-ti, perceraian di Pengadilan Agamasetiap tahunnya cenderung mengala-mi peningkatan.

Sebut misal maraknya acara in-fortainmen di televisi, ternyata ber-banding lurus dengan meningkatnyaangka perceraian. Pada tahun 80-an,angka perceraian berada pada kisar-an 60 ribu pertahun. Tapi dalam limatahun terakhir, angka perceraian men-capai 200 ribu perceraian pertahundari 2 juta angka pernikahan. Khususdi tahun 2005, perceraian bahkanmencapai angka 500 ribu.

Yang menarik, kasus perceraian

di Jawa Timur tahun 2011 malah me-ngalami penurunan sedikit. Meskimengalami penurunan, Jatim tetapmenjadi provinsi dengan tingkat per-ceraian tertinggi se-Indonesia. Jikapada tahun 2010 angka perceraiannyaadalah 67.293 kasus, pada tahun 2011

(per Nopember) justru mengalamipenurunan menjadi 66.799 kasus. Danjumlah pernikahan selama satu tahunini berkisar 380 ribu. Artinya dari to-tal angka pernikahan ada sekitar 17persen yang mengalami kegagalan.

Data statistik Pengadilan TinggiAgama (PTA) Surabaya menyebut-kan, ada beberapa daerah dengantingkat perceraian tertinggi. Sepertikabupaten Jember dengan 5.798 ka-sus yang sudah diputus, kabupatenMalang 5.047 kasus, Blitar 4.609 ka-sus, Banyuwangi 4.515 kasus, dankota Surabaya sebanyak 3.373 kasus.Dari data ini berarti ada sekitar 300 -500-an kasus perceraian yang dipu-tus di daerah-daerah tersebut.

Yang agak mengejutkan, di kota-kota besar malah ada tren baru. Per-ceraian malah timbul dari tuntutanpihak istri melalui pengajuan gugat-cerai. Angkanya cukup fantastis,mencapai 70 persen. Sedangkan

yang dari pihak suami cu-ma 30 persen. Di Jawa Ti-mur pun juga mengikutitren tersebut. Kasus per-ceraian didominasi oleh

kasus cerai gugat.Dan dari tahun ke ta-hun jumlahnya relatifmeningkat. Padahalsebelum tahun 2000kasus perceraian di-dominasi talak cerai.

Pada tahun 2010kasus cerai gugatyang diajukan sebe-sar 44,728 perkara.Sedangkan setahunkemudian meningkatmenjadi 45.069 per-kara. Padahal kasuscerai talak justru se-makin menurun dari25,228 kasus pada ta-hun 2010 menjadi23.920 kasus pada

2011. “Artinya saat ini antara kasuscerai gugat dan cerai talak berban-ding 2 : 1,” tukas Drs. H. SyamsulFalah, SH, MHum.

Ada yang menilai, meningkat-nya angka perceraian saat ini salahsatu penyebabnya adalah mudahnya

Maraknya PerceraianMemilih Cerai atau

Memperbaiki Rumah Tangga?

Drs. H. Syamsul Falah, SH, MHum.

8 MPA 304 / Januari 2012

proses perceraian. Itu berarti peradil-an agama dianggap turut memiliki an-dil dalam meningkatkan angka per-ceraian. Tapi menurut analisis WakilKetua PTA Surabaya ini, tingginyaangka perceraian justru mengindi-kasikan bahwa kesadaran masyarakatakan hukum semakin meningkat. Apa-lagi ada program perkaraprodeo dan siding kelilingbagi masyarakat miskinyang ingin berperkara di PAatau Mahkamah Syariah.“Yang harus disadari juga,bahwa kasus perceraian se-jak dulu sudah banyak. Ha-nya saja tidak terungkap diPA,” kilahnya.

Sebenarnya pihak pe-ngadilan sudah berupayasemaksimal mungkin untukmencegah terjadinya perce-raian. Ini dibuktikan melaluimediasi yang ada. Bahkanseorang hakim selalu mena-warkan upaya damai kepadapara pihak yang berberkara.“Bahkan ketika tidak adaupaya perdamaian, makaperkara tersebut akan batal

demi hukum,” tandas suami dari Dra.Hj. Siti Mustainah, Apt ini denganmimik serius.

Menurut pria kelahiran Mage-lang 25 Maret 1947 ini, terjadinya ka-sus perceraian dipicu oleh berbagaifaktor. Di antaranya adalah ketiadaankeharmonisan dalam rumah tangga.

Angkanya cukup besar, yakni 22.571perkara. Disusul berturut-turut faktorketiadaan tanggung jawab (15.105),ekonomi (13.420), gangguan pihakketiga (6.806), cemburu (3.623), krisisakhlak (2.310) dan kawin paksa (834).

Faktor penyebab yang juga bisamemicu perceraian, adalah perseling-

kuhan, kekerasan dalam ru-mah tangga (KDRT), minim-nya pembinaan agama da-lam rumah tangga, serta be-berapa faktor lainnya. TapiImmarianis, S.Pd, M.Si,Konselor BKSF (Biro Kon-sultasi Keluarga SakinahAl-Falah) menemukan faktalain. Faktor penyebabnya,seperti ternukil dari kisahperjalanan rumah tanggaFirmansyah dan Anisa (bu-kan nama sebenarnya)yang pada awalnya berjalanbaik. Laiknya pasangan pe-ngantin baru, romansa kehi-dupan rumah tangganyabegitu indah.

Meski memiliki gajilebih tinggi dari suaminya,Anisa tak pernah menun-Immarianis, S.Pd, M.Si

9MPA 304 / Januari 2012

tut. Dia pun tak pernah merasa keberatan membagi peng-hasilannya demi memenuhi kebutuhan keluarganya. “Se-baiknya gaji bulananmu kamu tabung. Barangkali bisauntuk keperluanmu suatu hari nanti ketika sakit. Semen-tara untuk kebutahan sehari-hari, biarlah aku yang tang-gung. Gajiku lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhankeluarga kita,” tuturnya lembut kepada sang suami.

Hingga memiliki dua anak yang kini telah berusiaSekolah Dasar dan TK, pasangan itu masih terlihat har-monis. Sampai pada suatu ketika, Firmansyah berkenalandengan Masfufah (juga bukan nama sebenarnya), se-orang gadis desa yang sedang butuh bantuan. Merantauke kota, perempuan yang telah ditinggal mati suaminyaitu sangat butuh pekerjaan untuk menghidupi anak se-mata wayangnya di kam-pung halaman.

Firmansyah pun ikhlasmemberikan sebagian hasiltabungan yang dikumpul-kannya selama ini. Merekakian lama semakin dekatdan bersahabat. SeringnyaFirmansyah memberi ban-tuan, membuat Masfufahmenjadi tak enak hati kare-na tak tahu bagaimanamembalas kebaikannya.Masfufah juga gundah, se-bab teman dan tetangga-nya kerap membicarakanhubungan dekat keduanya.

Hingga suatu ketika,Masfufah mengutarakan isihatinya. Ia rela dinikah sirriuntuk menghindari fitnahmasyarakat. Bak gayungbersambut, Firmansyah ju-ga tak keberatan. Sebabbersama Masfufah, Firman-syah merasa lebih berhargadan dibutuhkan – suatu halyang belum pernah dia ra-sakan selama ini.

Niatan Firmansyah untuk menikah lagi, tentu sajamembuat hati Anisa mendidih. Sumpah serapah pun ke-luar dari mulut istrinya itu. Dirinya merasa dikhianati danmenganggap sang suami tak pernah menghargai jerihpayahnya. Apalagi untuk memenuhi kebutuhan keluar-ganya, dialah yang menanggung semuanya.

Sepenggal kisah di atas, hanyalah salah satu dariratusan permasalahan keluarga yang pernah ditanganiImmarianis. Menurutnya, permasalahan seperti di atasseharusnya tak akan pernah terjadi jika kedua pasangansaling terbuka dan memahami. “Dalam kasus di atas, Anisatak memahami apa yang dibutuhkan oleh seorang suami.Sementara Firmansyah, juga memilih diam menahanperasaannya yang terluka selama bertahun-tahun,”terang perempuan kelahiran Payakumbuh Sumatera Barat,9 Desember 1967 itu menjelaskan. “Sangat jelas ada ke-buntuan komunikasi di sini,” tegasnya.

Pengasuh Rubrik Beranda Keluarga di MajalahJendela Santri ini mengungkapkan, tingkat independensiwanita yang kian tinggi, kerapkali menjadi pemicu ke-retakan dalam rumah tangga. Wanita karir yang mandirisecara ekonomi, cenderung untuk berani menuntut ceraisuaminya dari mereka yang berprofesi sebagai ibu rumahtangga biasa. Sebab wanita karir merasa bisa hidup sendiritanpa bergantung kepada pasangan.

Sementara bagi suami, dirinya akan sangat gembiradan merasa dihargai jika perannya sebagai suami diakui.Berkurangnya eksistensi suami dalam sebuah keluarga,akan memicu ketidakharmonisan dalam rumah tangga.Ketidakharmonisan inilah yang akan memicu terjadinyaperselingkuhan hingga menyebabkan perceraian.

Kasus perselingkuh-an, diakui Immarianis masihmenjadi faktor utama yangmenyebabkan perceraian.Angka itu semakin mening-kat akhir-akhir ini. Gaya hi-dup masyarakat yang hedo-nis, diyakininya telah men-jadi penyebab mengapa kiniorang-orang lebih memilihcerai ketimbang memper-baiki biduk rumah tangga-nya. Ironisnya, kasus perse-lingkuhan yang berujungperceraian itu tak mengenalbatas latar belakang sosialmaupun pendidikannya.

Luasnya informasi,menjadikan sekat antara de-sa dan kota tak lagi ada. Baikyang berpendidikan tinggimaupun yang tidak sekolah.Bahkan yang memiliki pe-ngetahuan agama tinggipun, tak menjamin perila-kunya sebaik pengetahuan-nya. “Ini adalah akibat aga-ma tidak dijalankan sebagai-

mana mestinya. Hati-hati juga dalam memanfaatkanlayanan jejaring sosial seperti Facebook dan yang lain-nya. Sebab tak jarang permasalahan rumah tangga timbuldari dunia kecil itu,” tukasnya mengingatkan.

Membangun rumah tangga, seharusnya menjadimedia dakwah dan memperbaiki kualitas kepribadian tiappasangan. Suami istri ibarat rel kereta api. Tak pernahketemu, tapi harus tetap berjalan beriringan. Sebab merekadatang dari latar belakang keluarga yang tak sama denganpola pengasuhan yang berbeda pula.

Karenanya, setiap pasangan harus cerdas mengha-dapi keadaan. Mereka harus sabar menunggu waktuperubahan ke arah perbaikan itu terjadi. “Dan itu cumaakan terjadi, jika niat awal membangun biduk rumah tanggadidasari dengan niatan yang lurus hanya mencari ridhaAllah,” tutur pengurus Yayasan Ummi Fadhilah Surabayaini menandaskan. Laporan: Dedy Kurniawan, AhmadSuprianto (Surabaya).