Manuskrip Famela Asditaliana 0910015058
-
Upload
famela-asditaliana -
Category
Documents
-
view
230 -
download
8
description
Transcript of Manuskrip Famela Asditaliana 0910015058
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLAMBATAN PASIEN
FRAKTUR EKSTREMITAS DATANG BEROBAT
DI RSUD A.W. SJAHRANIE SAMARINDA
TAHUN 2013
Famela Asditaliana, Hary Nugroho, David H. Masjhoer
Korespondensi : Famela Asditaliana, Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman,
Jl. Kerayan, Kampus Gn. Kelua Samarinda, email : [email protected]
Abstrak
Angka kejadian fraktur ekstremitas makin meningkat tiap tahunnya. Keterlambatan pasien
fraktur ekstremitas untuk datang berobat ke sarana kesehatan membuat kasus fraktur
ekstremitas menjadi lebih sulit dan memerlukan penanganan yang lebih intensif. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan pasien
fraktur datang berobat di RSUD A.W. Sjahranie Samarinda. Penelitian ini bersifat analitik
dengan metode cross sectional. Sampel Penelitian adalah pasien fraktur ekstremitas yang
datang berobat di Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Rawat Jalan RSUD A.W. Sjahranie
Samarinda pada bulan Oktober-November 2013. Total responden berjumlah 70 orang,
didapat dari perhitungan besar sampel minimal dan dipilih secara Purposive Sampling.
Dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap responden. Data penelitian
ini menggunakan analisis univariat dan bivariat. Uji statistik yang digunakan adalah Chi
square dan Fisher Exact test. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 75,7% responden tidak
terlambat datang berobat (≤ 72 jam) dan 24,3% terlambat datang berobat (> 72 jam). Ada
hubungan bermakna antara sikap terhadap patah tulang (p=0,001) dan perilaku pencarian
pengobatan dalam penanganan awal patah tulang (p=0,000) dengan keterlambatan pasien
fraktur ekstremitas datang berobat. Tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan
(p=0,334), status ekonomi (p=0,262), tingkat pengetahuan terhadap patah tulang (p=0,495),
dan keterjangkauan sarana kesehatan (p=0,058) dengan keterlambatan pasien fraktur
ekstremitas datang berobat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
faktor sikap terhadap patah tulang dan perilaku pencarian pengobatan dalam penanganan
awal patah tulang memiliki hubungan yang signifikan dengan keterlambatan pasien fraktur
ekstremitas datang berobat.
Kata Kunci : keterlambatan berobat, fraktur ekstremitas
ABSTRACT
The incidence of extremity fractures is increasing each year. The delayed of extremity
fracture patients to health facilities for treatment made the cases for extremity fractures
become more difficult and require more intensive treatment. This study aims to determine the
factors that affect delayed extremity fracture patients coming for treatment in RSUD A.W.
Sjahranie Samarinda. The type of this research is cross sectional analytic. The sample of this
research were extremity fracture patients in the Inpatient and Outpatient Installation of RSUD
A.W Sjahranie Samarinda in October-November 2013. All respondents 70 persons, obtained
from the calculation of minimum sample size and selected by purposive sampling. Interviews
were conducted using a questionnaire to the respondents. The research data using univariate
and bivariate analysis. The statistical test used were Chi square and Fisher's Exact test. The
result showed there are 75.7% of respondents are not delayed for treatment (≤ 72 hours) and
24.3% of respondents came delayed for treatment (> 72 hours). There is a significant
relationship between attitudes toward fracture (p=0.001) and patient behaviors in searching
for initial treatment of fractures (p=0.000) with the delayed of extremity fracture patients
come for treatment. There is no significant relationship between the level of education
(p=0.334), economic status (p=0.262), the level of fracture knowledge (p=0.495), and
affordability of health facilities (p=0.058) with the delayed extremity fracture patients coming
for treatment. Based on the research result the conclusion is the patient attitudes toward
fracture and behaviors in searching for initial treatment of fractures has a significant
relationship with the delayed of extremity fracture patients come for treatment
Keywords : delayed treatment, extremity fracture
Pendahuluan
Fraktur (patah tulang) adalah
terpisahnya kontinuitas tulang normal yang
terjadi karena tekanan pada tulang yang
berlebihan.1 Sebagian besar fraktur dapat
disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba
dan berlebihan, yang dapat berupa
pemukulan, penghancuran, penekukan,
pemuntiran atau penarikan.2 Secara klinis,
fraktur diklasifikasikan menjadi fraktur
tertutup (simple fracture) yaitu fraktur
yang fragmen tulangnya tidak menembus
kulit dan fraktur terbuka (open fracture)
yang mempunyai hubungan dengan dunia
luar melalui luka pada kulit serta jaringan
lunak.3
Dari hasil penelitian didapatkan
jumlah kasus fraktur di RSUD A.W.
Sjahranie selama periode 2008-2010
sebanyak 794 kasus, 190 kasus pada tahun
2008, 366 kasus pada tahun 2009, dan 243
kasus pada tahun 2010. Penyebab
terjadinya fraktur paling sering adalah
kecelakaan lalu lintas sebanyak (83,02%),
dengan penyebab kecelakaan lalu lintas
terbanyak adalah motor (68,18%),
penyebab kedua terbanyak adalah jatuh
dari ketinggian sebanyak (7,55%), dan
sisanya merupakan penyebab lain seperti
tertembak dan kecelakaan kerja (9,43%).4
Dari semua jenis fraktur, fraktur
ekstremitas memiliki insiden yang cukup
tinggi.5 Fraktur ekstremitas mencakup
fraktur pada tulang lengan atas, lengan
bawah, tangan, tungkai atas, tungkai
bawah, dan kaki.6 Fraktur ektremitas yang
paling sering terjadi pada orang dewasa
adalah fraktur pada lengan bawah, hal ini
kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas. sedangkan pada anak-anak yang
paling sering terjadi adalah fraktur pada
kaki dikarenakan tendon dan ligamen
anak-anak lebih kuat dibanding tulang-
tulang mereka.7
Fraktur mempunyai dampak yang
mendalam pada aspek kehidupan pasien
yang mengalaminya.6 Melihat dampak
yang berpengaruh pada kehidupan pasien
dengan fraktur, penanganan yang tepat
sangatlah diperlukan. Prinsip penanganan
fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal
dengan rehabilitasi.8
Neglected fracture dengan atau
tanpa dislokasi adalah suatu fraktur yang
tidak ditangani atau ditangani dengan tidak
semestinya sehingga menghasilkan
keadaan keterlambatan dalam penanganan,
atau kondisi yang lebih buruk dan bahkan
kecacatan.9 Darmawan menyebutkan
bahwa neglected fracture adalah fraktur
yang penanganannya lebih dari 72 jam.10
Pada umumnya neglected fracture terjadi
pada orang yang berpendidikan dan
berstatus sosio-ekonomi rendah.11 Menurut
Subroto Sapardan (RSCM dan RS
Fatmawati Jakarta, Februari-April 1974),
Neglected Fracture adalah penanganan
fraktur yang salah oleh bone setter (dukun
ahli patah tulang) yang masih sering
dijumpai di masyarakat Indonesia.11
Penanganan fraktur bisa didapatkan
dari berbagai fasilitas pelayanan kesehatan
seperti, rumah sakit, praktik dokter,
puskesmas atau pustu.12 Selain
memanfaatkan pelayanan kesehatan
tersebut, tidak sedikit juga masyarakat
datang berobat ke dukun ahli patah tulang
atau pengobatan tradisional.6 Penggunaan
tempat tradisional masih menjadi pilihan
seseorang yang mengalami fraktur untuk
mengobati sakitnya.13 Data dari Profil
Kesehatan Indonesia pada tahun 2007
menyebutkan bahwa pengobatan
tradisional rata-rata masih 6,23% menjadi
pilihan masyarakat pada waktu mereka
sakit, yaitu 6,09% merupakan masyarakat
perkotaan dan 6,37% adalah masyarakat
pedesaan. Hal ini menyebabkan banyak
kasus fraktur tidak tertangani dengan cepat
oleh tenaga medis yang berkompeten.
Kebanyakan mereka datang ke praktik
dokter apabila telah terjadi komplikasi
pada frakturnya.1 Namun, hal tersebut
menjadi sudah terlambat mengingat kasus
fraktur yang ditangani setelah 72 jam sejak
kejadian trauma, membuat kasusnya
menjadi lebih sulit serta membutuhkan
penanganan yang lebih intesif.2
Menurut Green (1980), perilaku
kesehatan dipengaruhi oleh 3 hal utama,
seperti faktor predisposisi (predisposing
factor) yang mencakup pengetahuan,
sikap, nilai, dan persepsi berkenaan
dengan motivasi seseorang atau kelompok
untuk bertindak. Faktor pemungkin
(enabling factor) menyangkut
keterjangkauan berbagai sumber daya.
Biaya, jarak, ketersediaan transpotasi, jam
buka, dan lain sebagainya merupakan
faktor pemungkinan dalam arti ini. Faktor
penguat (reinforcing factor) adalah faktor
yang menentukan apakah tindakan
kesehatan memperoleh dukungan atau
tidak. Faktor ini meliputi sikap dan
perilaku tokoh masyarakat (toma), sikap
dan perilaku para petugas termasuk para
petugas kesehatan.3
Sukardja telah menggolongkan
keterlambatan pengobatan menjadi 3 jenis
yaitu keterlambatan penderita,
keterlambatan dokter, dan keterlambatan
rumah sakit. Keterlambatan dari penderita
dapat disebabkan karena penderita merasa
tidak terganggu akan penyakitnya, kurang
menyadari bahaya dari penyakitnya,
adanya rasa takut, tidak mempunyai biaya,
keluarga tidak mengijinkan ke dokter serta
akses menuju kesehatan tidak terjangkau.4
Berdasarkan uraian diatas, maka
peneliti berkeinginan untuk melakukan
penelitian untuk mengetahui apakah
tingkat pendidikan, status ekonomi, tingkat
pengetahuan terhadap fraktur, sikap
terhadap fraktur, keterjangkauan sarana
kesehatan dan perilaku pencarian
pengobatan pada penanganan awal fraktur
berhubungan dengan keterlambatan pasien
fraktur ekstremitas datang berobat di
RSUD A.W. Sjahranie Samarinda.
Metode Penelitian
Metode penelitian adalah analitik
dengan desain cross sectional. Lokasi
penelitian di Instalasi Rawat Jalan dan
Instalasi Rawat Inap RSUD A.W.
Sjahranie Samarinda. Populasi penelitian
adalah semua pasien fraktur yang datang
berobat di Instalasi Rawat Jalan dan
Instalasi Rawat Inap RSUD A.W.
Sjahranie Samarinda dan sampel penelitian
adalah pasien fraktur ekstremitas yang
datang berobat di Instalasi Rawat Jalan dan
Instalasi Rawat Inap RSUD A.W.
Sjahranie Samarinda dan memenuhi
kriteria sampel yang ditetapkan oleh
peneliti dan diambil dengan teknik
Purposive Sampling dan di dapati sampel
sejumlah 70 responden. Instrumen yang
digunakan adalah kuesioner yang berisi
pertanyaan tentang tingkat pendidikan,
status ekonomi, pengetahuan terhadap
fraktur, sikap terhadap fraktur,
keterjangkauan sarana kesehatan dan
perilaku pencarian pengobatan pada
penanganan awal fraktur.
Hasil Penelitian
a. Analisis Univariat
a.1 Karakteristik Jenis Kelamin
Dari 70 pasien sebagai sampel
yang diteliti, sebanyak 48 orang (68,6%)
laki-laki dan 22 orang ( 31,4%) adalah
perempuan. Seperti yang terlihat pada
Gambar 1 jenis kelamin terbanyak adalah
laki-laki. Hal ini dikarenakan sebagian
besar responden pria memiliki mobilitas
yang lebih tinggi dibanding responden
perempuan.
Laki-laki Perempuan0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%69%
31%
a.2 Karakteristik Usia
Berdasarkan kelompok usia, didapatkan
14 orang (20%) pada rentang usia 11-20
tahun, 22 orang (31,4%) pada rentang usia
21-30 tahun, 15 orang (21,4%) pada
rentang usia 31-40 tahun, 12 orang
(17,1%) pada rentang usia 41-50 tahun, 7
orang (10 %) pada usia ≥ 51 tahun.
Gambar 2 menunjukkan responden
terbanyak berada pada rentang usia 21-30
tahun, hal ini dikarenakan rentang usia 21-
30 tahun merupakan usia produktif dengan
mobilitas yang tinggi.
11-20 thn
21-30 thn
31-40 thn
41-50 thn
≥ 51 thn0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
20.0%
31.4%
21.4%
17.1%
10.0%
a.3 Sikap terhadap fraktur
Sikap didasarkan pada sikap
responden terhadap penanganan fraktur
baik oleh tenaga medis maupun oleh
alternatif. Penilaian ditentukan
berdasarkan skor. Sikap kurang jika
skornya 0 – 2, cukup jika skor 3 – 4, dan
baik jika skor 5 – 6. Seperti yang terlihat
pada Gambar 3 terdapat 10 responden
(14,3%) mempunyai sikap yang kurang
Gambar 2 Persentase Usia Responden
Gambar 1 Persentase Jenis kelamin
Responden
dan 60 responden (85,7%) memiliki sikap
yang baik terhadap penanganan fraktur dan
tidak ada responden yang memiliki sikap
yang cukup.
Kurang Cukup Baik0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
14%
0%
86%
a.4 Perilaku pencarian pengobatan pada
penanganan awal fraktur
Dari hasil penelitian seperti yang
terlihat pada Gambar 4 didapatkan 14
responden (20%) memilih mendatangi
tukang pijat tulang, 6 responden (8,57%)
mendatangi sangkal putung, 7 responden
(10%) mendatangi puskesmas terdekat,
dan 43 responden lainnya (61,4%) memilih
langsung mendatangi Rumah Sakit.
Dukun Patah Tulang
Sangkal putung
Puskesmas RS0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
20.0%
8.6% 10.0%
61.4%
Gambar 4 Persentase Tempat Pengobatan Pertama
yang didatangi
Perilaku pencarian pengobatan
pada penanganan awal fraktur dibagi
dalam kategori medis dan non medis.
Perilaku medis apabila tempat pengobatan
yang pertama kali didatangi oleh pasien
adalah Puskesmas atau Rumah Sakit.
Sedangkan apabila pasien mencari atau
mendapatkan penanganan pertama dari
pengobatan alternatif (tukang pijat tulang
dan sangkal putung), maka disebut
perilaku non medis. Berdasarkan hasil
penelitian diatas, maka persentase tempat
pengobatan pertama yang didatangi
responden dapat dikelompokkan seperti
yang terlihat pada Gambar 5 dibawah ini.
Medis Non-medis0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%71.4%
28.6%
Gambar 5 Persentase Perilaku Pencarian pengobatan dalam penanganan awal patah tulang
Gambar 3 Persentase sikap terhadap fraktur
b. Analisis Bivariat
b.1 Hubungan sikap terhadap fraktur
dengan keterlambatan pasien
berobat
Nilai p hasil analisis hubungan
yang dilakukan dengan menggunakan
Fisher exact test antara sikap terhadap
fraktur dengan keterlambatan berobat pada
pasien fraktur ekstremitas adalah p =
0,001. Karena nilai p < 0,05 hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara sikap terhadap fraktur
dengan keterlambatan berobat pada pasien
fraktur ektremitas. Hasil analisis hubungan
sikap terhadap fraktur dengan
keterlambatan pasien fraktur ekstremitas
datang berobat dapat dilihat pada Tabel 1
dibawah ini.
Ter
lam
bat
Tid
ak
Tot
al
Nil
ai p
Sikap terhadap fraktur
Kurang
7
10
3
50
10
60
0,001
Cukup - Baik
Total 17 53 70
b.2 Hubungan perilaku pencarian
pengobatan pada penanganan awal
fraktur dengan keterlambatan
pasien berobat
Nilai p hasil analisis hubungan
yang dilakukan dengan menggunakan
Fisher exact test antara perilaku pencarian
pengobatan pada penanganan awal fraktur
dengan keterlambatan berobat pada pasien
fraktur ekstremitas adalah p = 0,000.
Karena nilai p < 0,05 hal ini menunjukkan
bahwa ada hubungan yang bermakna
antara perilaku pencarian pengobatan pada
penanganan awal fraktur dengan
keterlambatan berobat pada pasien fraktur
ektremitas. Hasil analisis hubungan
perilaku pencarian pengobatan dengan
keterlambatan pasien fraktur ekstremitas
datang berobat dapat dilihat pada Tabel 2
dibawah ini.
Ter
lam
bat
Tid
ak
Ter
lam
bat
Tot
al
Nil
ai p
Perilaku pencarian pengobatan dengan keterlambatan pasien berobat
Non medis
17 3 20 0,000
Medis
0 50 50
Total 17 53 70
Tabel 2 Hubungan perilaku pencarian
pengobatan fraktur dengan keterlambatan
Tabel 1 Hubungan sikap terhadap fraktur dengan keterlambatan
Pembahasan
a. Hubungan sikap terhadap fraktur
dengan keterlambatan pasien fraktur
ekstremitas datang berobat
Sikap didasarkan pada sikap
responden terhadap penanganan fraktur
baik oleh tenaga medis maupun oleh
alternatif. Penilaian ditentukan
berdasarkan skor. Sikap kurang jika
skornya 0 – 2, cukup jika skor 3 – 4, dan
baik jika skor 5 – 6. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 10 responden
(14,3%) mempunyai sikap yang kurang
dan 60 responden (85,7%) memiliki sikap
yang baik terhadap penanganan fraktur,
dan tidak ada responden yang memiliki
sikap yang cukup.
Dari hasil analisis dengan
menggunakan Fisher exact test antara
sikap terhadap fraktur dengan
keterlambatan pasien fraktur ekstremitas
datang berobat, didapatkan hasil p = 0,001.
Karena p < 0,005 maka H1 diterima,
sehingga dapat disimpulkan terdapat
hubungan yang bermakna antara sikap
terhadap fraktur dengan keterlambatan
pasien fraktur ekstremitas datang berobat.
Hasil penelitian menunjukkan 7 dari 10
responden yang sikap terhadap fraktur
termasuk kurang, datang terlambat untuk
mendapatkan penanganan awal di sarana
kesehatan baik Puskesmas atau Rumah
Sakit.
Sikap terhadap fraktur yang kurang
disebabkan responden merasa tidak setuju
jika saat mengalami fraktur harus segera
mendapatkan penanganan dari tenaga
medis. Menurut responden tersebut, lebih
baik pergi ke pengobatan alternatif dahulu.
Seperti pernyataan David dalam Muzaham
(1995), yang menyebutkan bahwa salah
satu alasan mengapa beberapa penderita
gejala penyakit yang cukup berat namun
tidak meminta pertolongan dokter ialah
karena mereka dapat pertoleransi pada rasa
sakit dan meragukan bahwa rasa sakit itu
akan membawa akibat negatif bagi
kehidupannya.5
b. Hubungan perilaku pencarian
pengobatan pada penanganan awal
fraktur dengan keterlambatan pasien
fraktur ekstremitas datang berobat
Perilaku pencarian pengobatan
pada penanganan awal fraktur dibagi
dalam kategori medis dan non medis.
Perilaku medis apabila tempat pengobatan
yang pertama kali didatangi oleh pasien
adalah Puskesmas atau Rumah Sakit.
Sedangkan apabila pasien mencari atau
mendapatkan penanganan pertama dari
pengobatan alternatif (sangkal putung),
maka disebut perilaku non medis.
Dari hasil penelitian, didapatkan 20
responden (28,6%) memilih mendatangi
pengobatan alternatif lebih dahulu
sedangkan 50 responden lainnya (71,4%)
memilih langsung mendatangi tenaga
kesehatan (puskesmas atau RS).
Dari hasil analisis menggunakan
Fisher exact test antara perilaku pencarian
pengobatan pada penanganan awal fraktur
dengan keterlambatan pasien fraktur
ekstremitas datang berobat, didapatkan
hasil p = 0,000. Karena p < 0,05 maka H1
diterima, dan dapat diambil kesimpulan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara perilaku pencarian pengobatan pada
penanganan awal fraktur dengan
keterlambatan pasien fraktur ekstremitas
datang berobat. Hasil penelitian
menunjukkan, 17 dari total 20 responden
yang berperilaku non medis datang
terlambat untuk mendapatkan penanganan
oleh tenaga medis. Responden tersebut
memilih mendatangi tempat pengobatan
alternatif terlebih dahulu dibandingkan ke
Rumah Sakit, membuat tenggang waktu
yang semakin panjang untuk mendapatkan
penanganan oleh tenaga medis.
Hasil peneltian diatas senada dengan
penelitian yang telah dilakukan Sunaryo
tentang hubungan pengetahuan, sikap, dan
perilaku dengan penanganan patah tulang
pada kelompok pasien bekas dukun di RS
Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS
Fatmawati Jakarta (1998). Dari hasil
peneltian tersebut, didapatkan p = 0,003.
Karena p < 0,005 maka H1 diterima
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
terdapat hubungan antara perilaku dengan
penanganan patah tulang pada kelompok
pasien bekas dukun.1
Hasil penelitian diatas juga sejalan
dengan peneltian yang sebelumnya
dilakukan oleh Sari (2012) mengenai
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
keterlambatan berobat pada pasien patah
tulang yang menggunakan sistem
pembiayaan Jamkesmas di Bangsal Bedah
RSUP dr. Kariadi Semarang 2012. Dari
hasil penelitian tersebut, sebanyak 5
responden yang berperilaku non medis,
terdapat 3 responden yang datang
terlambat untuk pengobatan frakturnya.
Dalam peneltian tersebut juga tidak
didapati pasien fraktur yang berperilaku
medis dan datang terlambat. Hasil analisis
kemudian menghasilkan p = 0,003.
Sehingga, bisa disimpulkan bahwa
terdapat hubungan bermakna antara
perilaku dengan keterlambatan pasien
fraktur yang menggunakan Jamkesmas
datang berobat.2
Hasil penelitian diatas juga senada
dengan penelitian Ismono tentang jejak
bone setter pada Neglected fraktur (2011).
Dalam penelitannya tersebut, didapati
bahwa terdapat hubungannya yang
signifikan antara perilaku pasien fraktur
dengan perilaku pencarian pengobatan ke
bone setter. Beberapa responden terlambat
berobat karena mengharapkan kesembuhan
dari pengobatan tradisional dengan
menunggu berhari-hari sampai berbulan-
bulan, namun tidak ada perubahan dan
tidak kunjung membaik, sehingga pada
akhirnya pun harus menjalani penanganan
oleh dokter Orthopaedi di Rumah Sakit.6
Perilaku pencarian pengobatan pada
penanganan awal fraktur menjadi faktor
yang mempengaruhi keterlambatan pasien
fraktur datang berobat pada penelitian ini.
Hal ini bisa terjadi tentunya tidak lepas
dari faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku itu sendiri, misalnya juga dapat
dikarenakan informasi dari lingkungan
sekitar mengenai pengobatan alternatif,
kurangnya informasi mengenai
penanganan fraktur yang benar dari segi
medis, serta tradisi dan kepercayaan di
masyarakat desa yang lebih cenderung
pada pengobatan alternatif.7
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan data yang diperoleh
sebesar 23,4 % responden fraktur
ekstremitas mendatangi tempat pelayanan
kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit)
lebih dari 72 jam sejak kejadian trauma
(terlambat), dan 75,7% reponden lainnya
mendatangi tempat pelayanan kesehatan
kurang dari 72 jam sejak kejadian trauma
(tidak terlambat).
Sikap terhadap fraktur dan perilaku
pencarian pengobatan pada penanganan
awal fraktur memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian keterlambatan
pasien fraktur ekstremitas datang berobat.
Tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat pendidikan, status
ekonomi, tingkat pengetahuan mengenai
fraktur, dan keterjangkauan sarana
kesehatan dengan keterlambatan pasien
fraktur ekstremitas datang berobat.
Berdasarkan kesimpulan diatas,
maka peneliti menyarankan:
1. Untuk dilakukan studi pendahuluan
sebelum dilakukan penelitian sejenis,
serta dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai hubungan jenis pembiayaan,
biaya pengobatan, dan status
kepemilikan Jamkesmas dengan
neglected fracture dari segi klinis,
dengan menggunakan desain yang
lebih tepat dan jumlah sampel yang
lebih banyak serta dengan
meminimalisir bias yang ada.
2. Bagi masyarakat agar dapat semakin
meningkatkan pengetahuan mengenai
fraktur dan penanganan yang benar
sesuai kaidah kedokteran.
3. Bagi RSUD A.W. Sjahranie
Samarinda agar dapat
mempertahankan dan meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan, baik dari
segi fasilitas. Pelayanan medis,
maupun pelayanan administrasinya.
4. Hendaknya pemerintah melalui
instansi terkait bisa lebih banyak
mensosialisasikan tentang penanganan
awal pada penderita fraktur yang
sesuai dengan kaidah kedokteran,
sehingga bisa meminimalisir
keterlambatan pasien fraktur datang
berobat ke sarana kesehatan yang ada.
Ucapan Terima kasih
Terima kasih kepada Dekan FK
Unmul yang telah memberikan
kesempatan untuk melakukan penelitian
ini, kepada dosen-dosen pembimbing dan
penguji yang telah banyak meluangkan
waktunya dan memberikan arahan demi
penyempurnaan laporan penelitian ini.
Terimakasih kepada RSUD A.W. Sjaranie
Samarinda, seluruh staf Ruang Cempaka
dan Poliklinik Bedah Orthopaedi serta
kepada teman-teman angkatan 2009 FK
Unmul yang telah memberikan semangat
dalam penyelesaian laporan penelitian ini.
Daftar Pustaka
1. Black, Joycer M and Matassarin, Esther.
Medical Surgical Nursing. A Psychophy
siologic Approach 4th Edition Book 2.
Philladelpia : WB Sounders Company,
1993.
2. Apley, A. Graham and Solomon, Louis.
Apley's System of Orthopaedics and
Fracture. Oxford : Butterworth-
Heinemann, 2001.
3. Muttaqin, A. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC, 2008.
4. Savitri, Cininta. Samarinda : FK Unmul,
Pola distibusi patah tulang panjang
terbuka.
5. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu
Bedah Ortopedi: Kelainan Neuromuskuler
Bab 12. 286-287. Makassar : Bintang
Lamumpatue, 2003.
6. Sari, Ayu Puspita. Faktor-faktor yang
berhubunngan dengan keterlambatan
berobat pada pasien patah tulang yang
menggunakan sistem pembayaran
JAMKESMAS. Universitas Diponegoro.
[Online] 2012. [Cited: February 2, 2012.]
http://eprints.undip.ac.id/7668.
7. Anggraini. Patah Tulang pada Anal.
Jakarta : Cipta Karya Press, 2012.
8. Suzanne, Smeltzer C. Brunner and
Suddarth's Textbook of Medical-Surgical
Nursing 9th ed. Philadelphia, PA :
Lippincott Williams and Wilkins, 2000.
9. Wahab, Sapardan and Kadar. Neglected
trauma of the extremities due to treatment
by bone setter. Majalah Orthopaedi
Indonesia. 1979, pp. 36-42.
10. Darmawan, Arif. Konsep Dasar
Fraktur. Jakarta : Karya Bintang Press,
2011.
11. Ismono, D. Jejak Bone Setter pada
Neglected Fracture. Department of
Orthopaedic Surgery and Traumatology
School of Medicine Padjajaran University.
[Online] 2011. [Cited: September 27,
2012.]
http://satpt.fk.unpad.ac.id/UserFiles/file/N
EGLECTED_FRACTURE.pdf.
12. Notoadmojo, S. Ilmu Perilaku
Kesehatan. Jakarta : Rinneka Cipta, 2010.
13. Sunaryo. Hubungan Pengetahuan,
sikap, dan perilaku penanganan patah
tulang pada kelompok pasien bekas dukun.
Jakarta : FKUI, 1998.
14. Sukardja, I Dewa Gede. Onkologi
Klinik. Surabaya : Airlangga University
Press, 2000.
15. Muzaham, Fauzi. Sosiologi Kesehatan.
Jakarta : UI Press, 1995.
16. Notoadmojo, S. Promosi Kesehatan
dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta,
2007.