MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi...

21
JURNAL ETIKA Volume 6, November 2014: 66 - 86 Manipulasi Foto dan Propaganda Politik 66 MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK * Rudi Setiawan Universitas Katolik Parahyangan, Bandung [email protected] Abstrak Propaganda politik merupakan upaya yang dilakukan baik oleh partai atau tokoh politik dalam rangka memperoleh dukungan dari rakyat. Pada pemilu presiden 2014 lalu, propaganda politik diwarnai dengan banyaknya penyalahgunaan foto untuk meraih dukungan suara. Manipulasi tersebut adalah berbentuk penipuan secara sengaja dengan memanfaatkan kekuatan dokumenter foto untuk mencari keuntungan dalam memenangkan dukungan publik. Untuk itu, tulisan ini difokuskan mengkaji persoalan etis manipulasi foto sebagai dokumen untuk kepentingan propaganda politis. Kata kunci: Foto, manipulasi, propaganda, etika politik 1. Pendahuluan Propaganda politik merupakan salah satu tema yang dapat kita refleksikan bersama dalam rangka penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 di Indonesia. Sebagai bentuk komunikasi politik, propaganda politik merupakan upaya yang dilakukan baik oleh partai maupun tokoh politik dalam rangka memperoleh dukungan sebagai pemimpin masyarakat. Melalui itu, para calon legislatif maupun calon presiden beserta wakilnya memperkenalkan dirinya maupun program-program kerjanya kepada masyarakat. Masyarakat pun menanggapinya dengan mengambil tindakan konkret berupa memilih kandidat yang dirasa layak. Dengan begitu, propaganda politik menjadi tanda terjadinya interaksi dinamis antara masyarakat dengan pemimpinnya. Berkat itu, komunikasi politik terjalin sedemikian rupa sehingga calon pemimpin memperoleh popularitas dan elektabilitasnya untuk dipilih, sementara rakyat mendapatkan pengetahuan * Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi HIDESI ke-XXIV, tanggal 15 - 16 Agustus 2014, dan telah disesuaikan untuk keperluan Jurnal Etika.

Transcript of MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi...

Page 1: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

66

MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK*

Rudi Setiawan Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

[email protected]

Abstrak

Propaganda politik merupakan upaya yang dilakukan baik oleh partai atau tokoh politik dalam rangka memperoleh dukungan dari rakyat. Pada pemilu presiden 2014 lalu, propaganda politik diwarnai dengan banyaknya penyalahgunaan foto untuk meraih dukungan suara. Manipulasi tersebut adalah berbentuk penipuan secara sengaja dengan memanfaatkan kekuatan dokumenter foto untuk mencari keuntungan dalam memenangkan dukungan publik. Untuk itu, tulisan ini difokuskan mengkaji persoalan etis manipulasi foto sebagai dokumen untuk kepentingan propaganda politis.

Kata kunci: Foto, manipulasi, propaganda, etika politik

1. Pendahuluan

Propaganda politik merupakan salah satu tema yang dapat kita refleksikan bersama dalam rangka penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 di Indonesia. Sebagai bentuk komunikasi politik, propaganda politik merupakan upaya yang dilakukan baik oleh partai maupun tokoh politik dalam rangka memperoleh dukungan sebagai pemimpin masyarakat. Melalui itu, para calon legislatif maupun calon presiden beserta wakilnya memperkenalkan dirinya maupun program-program kerjanya kepada masyarakat. Masyarakat pun menanggapinya dengan mengambil tindakan konkret berupa memilih kandidat yang dirasa layak. Dengan begitu, propaganda politik menjadi tanda terjadinya interaksi dinamis antara masyarakat dengan pemimpinnya. Berkat itu, komunikasi politik terjalin sedemikian rupa sehingga calon pemimpin memperoleh popularitas dan elektabilitasnya untuk dipilih, sementara rakyat mendapatkan pengetahuan

* Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi HIDESI ke-XXIV, tanggal 15 - 16

Agustus 2014, dan telah disesuaikan untuk keperluan Jurnal Etika.

Page 2: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

67

dan kesempatan untuk memenuhi apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam pemilu melalui cara-cara yang jujur, adil, dan demokratis. Lebih lanjut, di balik proses propaganda politik, yang terjadi bukan hanya pertukaran informasi dalam rangka mencerahkan masyarakat, namun juga transformasi atau pendewasaan sikap dalam berkomunikasi yang dilandasi oleh rasa saling percaya.

Berkenaan dengan itu, penulis membahas dalam makalah ini kajian etis mengenai propaganda politik ditinjau dari sudut pandang fotografi. Propaganda politik tidak hanya dilakukan dengan komunikasi verbal secara lisan atau tulisan, tetapi juga foto sebagai gambar. Lewat poster, selebaran, spanduk, majalah, tabloid, koran, atau jejaring media sosial di internet, kita mengamati bahwa foto juga digunakan sebagai alat propaganda politik untuk mempersuasi orang. Selain itu, di tengah kultur yang marak akan perayaan pencitraan dan selebritas, foto sebagai media reproduksi massal berperan besar untuk mempopulerkan (atau sebaliknya, menjatuhkan) tokoh tertentu.

Kultur kontemporer manusia ditandai oleh banjirnya imaji-imaji, termasuk imaji fotografis. Foto sebagai media gambar yang diperoleh dengan cara membekukan kenyataan sudah menjadi bagian keseharian kita. Foto, baik berbentuk cetak maupun elektronik, digunakan dalam berbagai bidang kehidupan, misalnya untuk keperluan pengujian sains, dokumentasi sejarah, seni, jurnalistik, iklan produk, maupun simbol identitas individual (misalnya dalam KTP, ijazah, status media sosial, dsb.). Imaji-imaji fotografis semakin melimpah, terutama setelah maraknya perkembangan teknologi digital yang ditandai dengan tersedianya berbagai kamera digital, gadget, software pengolahan gambar, serta jejaring sosial di internet. Konsekuensinya, produksi dan konsumsi foto oleh publik semakin hari justru semakin tinggi. Persentuhan manusia dengan dunia fotografi nyaris tidak bisa lagi dihindari. Logika fotografis pada akhirnya ikut menentukan cara–cara orang dalam memahami kenyataan hidupnya juga.

Fenomena Pemilu Presiden 2014 diwarnai dengan adanya penyalah-gunaan foto untuk meraih dukungan suara. Untuk itu, penulis tertarik untuk memfokuskan kajian pada persoalan etis manipulasi foto sebagai dokumen untuk kepentingan propaganda politis. Manipulasi yang dimaksud adalah penipuan secara sengaja dengan memanfaatkan kekuatan dokumenter foto untuk mencari keuntungan dalam memenangkan dukungan publik. Mani-pulasi itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui teknik rekayasa foto atau penerapan foto dalam konteks yang tidak tepat dengan tujuan membangun persepsi publik yang keliru. Penyesatan publik melalui foto itu bukan hanya merugikan pihak lawan politik, namun juga seluruh masyarakat karena menghancurkan kepercayaan (trust) publik sebagai basis

Page 3: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

68

komunikasi politis. Praktek-praktek manipulatif itu bertentangan dengan prinsip kejujuran, kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab dalam komu-nikasi politik, sehingga mencederai makna demokrasi itu sendiri.

Kajian mengenai persoalan etis manipulasi foto dalam propaganda politis membawa kita pada penyelidikan yang lebih mendalam tentang peran etika dalam merespons tantangan atas hakekat kebenaran foto sebagai dokumen di dalam kehidupan bermasyarakat. Sejak awal kemunculannya, foto sering digunakan sebagai dokumen, yakni rekaman atau bukti atas suatu kenyataan faktual di depan kamera. Foto bisa digunakan untuk sebagai dokumen untuk memberitakan suatu peristiwa (foto jurnalistik). Selain itu, foto sebagai dokumen nampak dalam potret (portrait photographs) yang merupakan bukti tampak atas seorang pribadi, yang memberi simbol identitas seseorang (misalnya dalam KTP atau paspor). Foto dipercaya sebagai dokumen atau bukti karena karakteristik indeksikalitasnya. Proses fotografis merupakan proses menghasilkan gambar sesuatu dengan cara membuat jejak (indeks) sesuatu itu di atas suatu permukaan dengan bantuan cahaya. Isu kausalitas menjadi pokok persoalan di sini. Artinya, ada relasi kausal antara realitas di depan kamera dan realitas dalam gambar fotografis. Munculnya realitas dalam gambar fotografis semata-mata disebabkan oleh kehadiran realitas itu di depan kamera. Dengan itu, foto memiliki karakter ontologis karena mensyaratkan kehadiran realitas di depan kamera. Selain itu, foto juga memiliki karakter epistemologis karena aspek kausalitas itu memberi jaminan kesesuaian (korespondensi) yang realistik antara apa yang nampak di foto dengan kenyataannya. Foto lantas dipandang sebagai representasi atas kenyataan. Foto diyakini memiliki aspek realistik yang begitu transparan, sehingga melihat foto bagaikan melihat kenyataan itu sendiri. Obyektivitas dan sisi realistik foto itu diperoleh berkat kinerja mekanis kamera. Dengan demikian, potret seorang tokoh politik tentunya menjadi jejak atau citra unik keberadaan sang tokoh politik tersebut. Potret itu menjadi bukti realistik dan faktual, sekaligus menjadi simbol “kehadiran” sang tokoh. Merekayasa atau mengubah konteks foto sang tokoh dapat mengubah persepsi orang atas identitas aktual sang tokoh.

Perkembangan teknologi digital dan internet membuka peluang pada praktek rekayasa foto secara lebih mudah dan masif. Dalam dunia fotografi digital, indeks atau jejak foto berupa kode-kode digital yang karakteristik dasarnya ialah mudah dimodifikasi, diduplikasi, disebarluaskan, atau bahkan dihilangkan. Peran dokumenter foto mendapat tantangan karena kini foto makin rentan akan penyesatan. Kredibilitas foto sebagai medium obyektif dan akurat untuk merepresentasi kenyataan semakin menurun. Sulit dibedakan lagi mana foto yang berperan sebagai dokumen (fakta) atau fiktif. Selain itu, perkembangan jejaring media sosial di internet membawa tantangan baru karena para blogger amatir bukan hanya berperan sebagai

Page 4: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

69

konsumen, melainkan juga produsen. Di media sosial, mereka dapat berperan menjadi fotografer, jurnalis, editor, penerbit, konsumen, atau kritikus sekaligus. Siapa saja dapat mengunggah atau mengunduh foto (entah fakta atau fiksi) untuk keperluan apa pun, kapan pun, di mana pun. Citizen photojurnalism seperti ini tidak dibatasi oleh kode etik jurnalistik konvensional.

Oleh karena itu, di balik berbagai fenomena penyesatan foto lewat propaganda politik ada tugas mendasar. Kesadaran warga negara dalam komunikasi publik perlu dibangun dengan mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran, kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab. Peran fotografi perlu dimaknai kembali dalam kerangka etis untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik.

2. Propaganda Politik dan Kampanye Politik

Istilah propaganda berasal dari kata Latin propagare yang berarti memekarkan. Istilah ini pada mulanya digunakan oleh Gereja Katolik Roma dalam rangka menghadapi gelombang Reformasi. Paus Geregorius XV membuat komisi Sacra Congregatio de Propaganda Fide (Kongregasi untuk Propaganda Iman) dengan tujuan misi penyebaran doktrin iman Katolik. Akan tetapi, mulai abad ke-17 hingga 20, istilah propaganda lebih dimaknai secara peyoratif. Propaganda sering diartikan sebagai alat untuk mengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas memiliki konotasi negatif karena diasosiasikan dengan soal kebohongan, penipuan, kekeliruan, penyesatan, ataupun cuci otak (Welch, 2003: xv).

Akan tetapi, mengacu pada pendapat David Welch dalam introduksi-nya pada Propaganda and Mass Persuasion: A Historical Encyclopedia, 1500 to the Present, propaganda sebenarnya tidak serta merta berkonotasi negatif. Welch mengatakan bahwa propaganda bukanlah kejahatan dan justru berguna ketika dilepaskan dari makna peyoratifnya. Welch berpen-dapat propaganda sering dipahami secara keliru yakni menjadi sekadar seni persuasi dan penyesatan. Menurutnya, propaganda bukan hanya sekadar menggunakan elemen irrasional manusia, melainkan elemen-elemen rasional dan kebenaran. Baginya, propaganda pada dasarnya secara etis netral. (Welch, 2003: xv-xviii).

Lebih lanjut, Welch menyatakan bahwa definisi propaganda berubah sejalan dengan perkembangan teknologi di abad ke-20. Propaganda tidak dikaitkan lagi dengan soal doktrin religius, melainkan sebagai suatu aktivitas persuasi politik yakni penyebaran ide untuk membangun keyakinan orang dalam berpikir dan bertindak. Welch mendefinisikan propaganda sebagai “upaya-upaya sengaja untuk mempengaruhi opini publik melalui

Page 5: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

70

pemberian ide dan nilai untuk tujuan persuasif tertentu, yang secara sadar direncanakan untuk melayani kepentingan diri sang propagandis, baik secara langsung maupun tidak langsung” (Welch, 2003: xix).

Bagi Welch, yang menjadi kekhasan propaganda ialah bukan hanya informatif atau edukatif, melainkan juga persuasif. Menurutnya, propaganda bukan sekadar mengedukasi atau menyampaikan informasi melalui paparan fakta-fakta. Propaganda lebih dari pada itu, yakni menampilkan fakta-fakta itu sedemikian rupa untuk agar bisa memberi pengaruh pada orang. (Welch: xix) Untuk itu, Welch menegaskan bahwa propaganda bisa saja muncul dengan kombinasi berbagai aspek, baik rasional maupun emosional, jelas maupun tersembunyi, benar maupun dusta, serius maupun penuh humor. Welch menegaskan bahwa propaganda pada akhirnya penting untuk mempengaruhi opini dan merangsang partisipasi aktif dalam proses demokratis. (Welch, 2003: xx).

Jika kita melepaskan tendensi peyoratifnya, propaganda politik dalam konteks durasi waktu yang spesifik dapat diartikan sebagai kampanye politik. Propaganda politik dilakukan secara jangka panjang dan berke-lanjutan, sementara kampanye politik dilakukan terbatas pada kurun waktu tertentu. Untuk selanjutnya, untuk keperluan tulisan ini penulis akan meng-gunakan kedua istilah ini (propaganda politik maupun kampanye politik) untuk menunjuk pada maksud yang sama, yakni kendaraan untuk mem-pengaruhi opini dan keyakinan publik.

Lilleker memberi definisi kampanye sebagai “rangkaian peristiwa yang didesain untuk mengkomunikasikan pesan kepada audiens dan mendapatkan dukungan darinya”. (Lilleker, 2006: 49). Sementara itu, Ronald E. Rice dan Charles K. Atkin mendefinisikan kampanye publik dengan melihat fungsi informatif dan persuasifnya. Rice dan Atkin memberi definisi kampanye sebagai “upaya-upaya yang ditujukan untuk meng-informasikan dan mempengaruhi perilaku audiens dalam skala besar, dalam suatu kurun waktu tertentu, dengan menggunakan seperangkat aktivitas komunikasi dan yang menonjolkan susunan pesan-pesan yang dimediasikan melalui berbagai saluran, yang umumnya menghasilkan benefit non-komersial pada individu dan masyarakat” (Rice & Atkin, 2013: 3). Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kampanye adalah suatu bentuk komunikasi publik yang bertujuan informatif, yakni menambah muatan pengetahuan atau kesadaran baru, sekaligus persuasif yakni mempengaruhi belief publik untuk mendapatkan persetujuan dan dukungan darinya.

Dalam konteks politik, Lilleker membatasi pengertian kampanye politik pada kampanye pemilihan umum (elektoral) dalam skala nasional karena baginya kampanye pemilihan umum nasional adalah kampanye

Page 6: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

71

politik terpenting dinilai dari tingginya tingkat persaingan dan kompleksitas keterlibatan aktor politik, media, dan warganegara di dalamnya (Lilleker, 2006: 50). Kampanye politik dilakukan dengan tujuan: membangkitkan persoalan yang biasanya kemudian dipakai sebagai program atau agenda penting partai sekaligus mengantisipasi serangan kompetitor, mempersuasi orang mengenai suatu ide politik tertentu, memperkenalkan kandidat politik, serta memotivasi kembali para pendukung sehingga ingatan kolektif dan kesadaran politis mereka dibangkitkan untuk memberikan dukungan (Lilleker, 2006: 53).

Lebih lanjut, Lilleker menyatakan bahwa kampanye politik melibat-kan peran aktor politik, media massa, dan publik sebagai pemilih. (Lilleker, 2006: 50). Kampanye politik merupakan bentuk komunikasi politik yang melibatkan proses penyebarluasan informasi dalam kurun waktu pemilihan umum oleh aktor/ partai politik dalam rangka memperoleh dukungan publik, dengan memanfaatkan peran media. Aktor politik dapat memperoleh kesempatan untuk memperkenalkan diri maupun program-program kerjanya sehingga meraih popularitas dan akhirnya dipilih. Warganegara sebagai pemilih bisa memenuhi hak serta kewajibannya melalui pengetahuan utuh tentang kandidat akan dipilihnya yang didapatnya lewat cara-cara yang rasional, jujur dan adil. Sementara itu, media berperan memediasi relasi antara aktor politik dan pemilih sedemikian rupa sehingga komunikasi politik dapat dilakukan secara jujur, adil, dan dapat dipercaya. Selain menjadi sarana penyampaian pesan, media juga menjadi sarana untuk membangun kepercayaan (trust) di antara warganegara sebagai pemilih dan aktor politik. Dengan demikian, kampanye politik menjadi wujud komunikasi politik yang dewasa yakni komunikasi politik yang dilandasi sikap saling percaya.

Kehidupan demokrasi ditandai dengan kehidupan yang konstitu-sional, yang melibatkan partisipasi aktif, dan pilihan rasional dari para warganegara (McNair, 1995: 16-17). Maka, pemilihan umum sendiri merupakan wujud demokrasi. Pemilihan umum menjadi sarana untuk melegitimasi para pemimpin atau partai politik yang dipilih melalui prosedur atau aturan konstitusional. Pemilihan umum juga memberi bentuk bagi kehidupan demokratis yang ditandai dengan adanya partisipasi aktif warga secara bebas dan bertanggungjawab. Pemilihan umum membuka peluang bagi setiap warganegara untuk menggunakan hak dan kebebasan manusiawinya dengan cara memilih baik pemimpin atau partai tertentu yang diyakininya. Dengan memilih, tiap warganegara dapat mengekspresikan apa yang menjadi kepentingan atau aspirasinya masing-masing berdasarkan hati nurani dan akal sehatnya. Di samping itu, pemilihan umum menjadi sarana ekspresi setiap warganegara untuk menentukan sikap secara bertanggung jawab demi masa depan negaranya. Oleh karena itu, kampanye politik

Page 7: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

72

penting karena membuka jalan agar pemilu dapat sungguh-sungguh menjadi wujud demokrasi yang ideal.

3. Peran Foto dalam Propaganda Politik

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, media berperan penting dalam propaganda atau kampanye politik. Berkat media, para calon legislatif maupun capres-cawapres dapat mempromosikan dirinya untuk dipilih. Informasi tentang calon pemimpin yang akan dipilih berikut program kerjanya ditawarkan dalam rangka memperoleh dukungan publik. Berbagai jenis media digunakan dalam kampanye tersebut, baik berupa media cetak (pamflet, spanduk, baliho) maupun elektronik (TV, radio, internet). Foto menjadi salah satu media yang ikut berperan penting di dalamnya.

Fotografi berasal dari istilah Yunani, yaitu phos (yang artinya cahaya) dan graphe menulis atau menggambar, sehingga kalau kita kombinasikan secara sederhana fotografi berarti “menulis atau menggambar dengan menggunakan cahaya” (Bull, 2010: 5). Sementara itu, Patrick Maynard menyatakan bahwa fotografi lebih mudah dipahami dengan cara melihat aspek prosedur atau proses pembuatannya. Menurutnya, fotografi adalah kombinasi sains, seni maupun teknologi untuk memproduksi gambar lewat aktivitas “menandai” (marking) suatu permukaan sensitif melalui bantuan cahaya (Maynard, 1997: 9). Maynard melihat fotografi sebagai teknologi. Bagi Maynard, fotografi adalah langkah-langkah teknis atau prosedural dalam menghasilkan gambar fotografis dengan bantuan cahaya (termasuk misalnya pula radiasi sinar X) serta permukaan yang sensitif sebagai elemen utamanya (Maynard, 1997: 19). Proses penandaan itu didukung oleh peran teknologi optis-kimiawi (dalam fotografi analog) maupun teknologi optis-kimiawi (dalam fotografi digital). Proses penandaan itu memiliki tiga unsur, yakni: pertama, adanya radiasi cahaya, kedua, ada proses penandaan (marking), ketiga, adanya suatu permukaan khusus. Dengan demikian, kita bisa membuat definisi sementara tentang foto, yaitu gambar yang didapat melalui prosedur fotografis berupa penandaan di atas permukaan sensitif dengan bantuan cahaya.

Pendekatan fotografi menjadi pilihan dalam makalah ini untuk membahas persoalan etika dalam propaganda politik karena beberapa alasan. Pertama, imaji fotografis menjadi bagian keseharian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sosial politis kita saat ini, sehingga tidak bisa tidak ikut memberi warna pada model komunikasi kita. Kita senantiasa bersentuhan dengan imaji fotografis dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan, rumah sakit, terminal, mall, dan sebagainya. Kultur kontemporer ditandai oleh banjirnya imaji-imaji fotografis didukung perangkat

Page 8: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

73

komunikasi digital yang makin canggih seperti kamera, tab, telepon selular. Jejaring sosial di internet semakin banyak dengan beragam fitur fotografisnya. Produksi dan konsumsi foto semakin tinggi. Logika fotografis pada akhirnya ikut menentukan cara–cara orang dalam memahami kenyataan hidupnya. Azoulay menggambarkan situasi dunia kini sebagai “dunia yang telah dikuasai oleh foto”, hingga pada akhirnya kita pun tidak bisa menyingkirkan peran foto dalam hidup kita. (Azoulay, 2005: 38). Menurutnya, fotografi telah menjadi mediator utama dalam kehidupan sosial politik di antara warga negara. Baginya, di masa kini siapa pun dapat menjadi subyek atau obyek fotografi, sehingga sulit ditemukan aktivitas manusia tanpa penggunaan sisi fotografi. Kedua, dari fakta sejarah, foto terbukti berperan penting dalam mempopulerkan orang secara masif. Tidak dapat disangkal, fotografi dipakai untuk mendongkrak popularitas di bidang bisnis, fashion, maupun politik. Sejak pertengahan abad ke-20, fotografi menjadi mesin penggerak reproduksi gambar secara massal, mudah, dan murah. Fotografi ikut mewarnai perkembangan era reproduksi mekanis sebagaimana dinyatakan Walter Benjamin dalam “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”. Fotografi (termasuk juga media rekam lain seperti televisi), dengan kekuatan reproduktif mekanisnya, menjadi sarana untuk menjadikan seseorang terkenal dengan cara cepat dalam skala yang luas. Stephen Bull mencatat bahwa fotografi sebagai alat reproduksi massal telah berperan besar bagi munculnya “The Golden Age of Celebrity”, yakni era yang ditandai gencarnya produksi selebriti-selebriti baru secara cepat (sekaligus sebaliknya yakni kematian popularitas mereka dengan cepat juga) (Bull, 2010: 170–174).

Foto menjadi salah satu media visual yang cukup populer digunakan dalam kampanye politik. Dalam kampanye pemilu, foto menjadi sarana informatif dan persuasif untuk secara visual mempopulerkan identitas pribadi calon anggota legislatif maupun capres-cawapres. Berbagai cara digunakan dengan menampilkan foto-foto tokoh atau partai politik tertentu agar memenangkan simpati publik.

Dalam propaganda politik, salah satu jenis foto yang banyak dipakai adalah foto potret (portrait photograph) – atau sering kita kenal dengan istilah singkatnya yakni potret. David Bate dalam bukunya Photography, menggambarkan foto potret (portrait photography) sebagai foto yang digunakan untuk tujuan mendeskripsikan identitas seseorang secara visual (Bate, 2009: 66). Kekhasan potret terletak pada peran deskriptifnya dalam rangka menunjukkan identitas seseorang. Potret merupakan gambar yang merepresentasikan seseorang, dengan menampilkan wajah atau tubuh sedemikian rupa sehingga menjadi citra yang menegaskan identitas (atau bahkan status) orang tersebut. Potret sebagai imaji fotografis untuk mendeskripsikan identitas banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari,

Page 9: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

74

misalnya pasfoto yang kita gunakan dalam dokumen resmi (KTP, SIM, paspor, ijazah), foto keluarga (perkawinan, wisuda, perayaan ulang tahun), iklan, dan sebagainya (Bate, 2009: 66). Dalam dunia politik, foto jenis ini digunakan untuk mendeskripsikan identitas calon legislatif dari partai atau pemimpin politik untuk disebarluaskan kepada publik baik dalam bentuk cetak (pamflet, poster, spanduk, majalah, tabloid, koran, billboard), maupun elektronik (TV, internet). Foto sebagai deskripsi identitas ini umumnya dihadirkan dengan bersama unsur-unsur lain seperti logo partai maupun teks yang menginformasikan secara detil nama, nomor urut, jargon politik, atau latar belakang sang kandidat. Potret kita temukan juga dalam surat suara pemilihan umum untuk memberi citra visual yang menjadi identitas masing-masing kandidat.

Selain itu, foto juga digunakan untuk menyampaikan suatu berita terkait kandidat tokoh atau partai politik yang dikampanyekan. Dalam hal ini, foto digunakan untuk kepentingan jurnalistik, yakni menginformasikan suatu fakta obyektif dan dapat dipercaya kepada publik. Wheeler, dengan mengutip pandangan James D. Kelly, memberikan gambaran tentang foto jurnalistik sebagai foto yang dibuat dengan intensi menampilkan berita secara obyektif. (Wheeler: 83). Foto untuk kepentingan jurnalistik dibuat untuk memberitakan suatu peristiwa (misalnya perang, olah raga, krisis ekonomi, dan lainnya) kepada publik. Warburton menegaskan bahwa foto jurnalistik berperan sebagai suatu dokumen yang memberi bukti visual dan mengesankan untuk melengkapi teks dalam pemberitaan tertentu, misalnya di koran atau majalah. (Warburton: 124). Menurutnya, foto jurnalistik senantiasa memiliki kaitan dengan peristiwa yang direkam dan karenanya didasari oleh kepercayaan (trust).

Propaganda politik juga ditandai dengan penggunaan foto-foto dokumenter, yakni foto dipakai sebagai dokumen untuk membuktikan suatu fakta tertentu. Dalam propaganda politik, foto dokumenter sering ditampilkan dengan tema seputar isu sosial kemanusiaan dalam rangka menggugah simpati publik, misalnya bencana alam, kekerasan, pendidikan, kemiskinan, dan sebagainya. Dalam konteks propaganda politik ini, David Culbert mengatakan bahwa suatu foto dokumenter bukan hanya dibuat untuk merekam kenyataan yang tampak apa adanya, melainkan juga me-libatkan peran campuran antara fakta dan emosi, dalam rangka memanggil atau mengetuk nurani orang yang memandangnya untuk melakukan suatu aksi. (Culbert, 2003: 297) Culbert mencontohkan penggunaan isu-isu sosial pada foto dokumenter yang dipakai Presiden F.D. Roosevelt yang dibuat sekelompok fotografer di bawah Farm Security of Administration (FSA) untuk memotret problem kekurangan gizi, erosi tanah, dan kemiskinan endemis di daerah pedesaan. Selain itu, Culbert juga mencontohkan bagaimana foto dokumenter digunakan Jacob Riis untuk membangkitkan

Page 10: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

75

kesadaran kelas atas, menengah, dan pinggiran kota agar prihatin terhadap kondisi kemiskinan sebagian warga kota. (Culbert, 2003: 299)

Apa yang membuat foto dipilih sebagai alat untuk mempengaruhi publik dalam propaganda politik? Pertanyaan ini membawa kita pada pertanyaan lain yang lebih mendasar: apa kekuatan foto dibandingkan dengan media lain dalam mempengaruhi publik?

Propaganda politik dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan dokumenter foto untuk keperluan membuktikan, melengkapi teks, atau menggugah simpati massa. Potret memiliki kekhasan dibandingkan dengan sketsa untuk menggambarkan identitas faktual sang tokoh. Potret mewakili apa yang menjadi ekspresi faktual pikiran, sikap, maupun perbuatan sang tokoh. Potret merupakan rekaman atas fakta yang tampak tentang sang tokoh dan karenanya memberi bukti atau legitimasi keberadaan pribadi sang tokoh. Ketika dihadirkan dalam bentuk potret, ada sensasi “kontak” dengan sang tokoh secara langsung bagi orang yang mengamatinya. Aspek realistik dan transparan potret memberi impresi khas yang diyakini mewakili “keaslian” yang tampak dari sang tokoh. Pada akhirnya, potret menghasil-kan tingkat kepercayaan (trust) pengamat karena apa yang ditampilkan dalam gambar sesuai dengan kenyataannya. Itulah sebabnya, gambar kandidat dalam kertas suara yang dicoblos umumnya ditampilkan dalam bentuk potret (bukan karikatur atau sketsa misalnya).

Foto diyakini memiliki keunggulan karena aspek dokumenternya dibandingkan gambar buatan tangan manusia (misalnya sketsa atau karikatur) karena aspek indeksikalitasnya sebagai gambar yang didapat dari proses perekaman visual kenyataan. Foto adalah “jejak” atau indeks kenyataan. Foto menjadi bukti atas suatu peristiwa. Untuk itu, di bagian berikut pembahasan akan difokuskan pada karakter khas foto sebagai dokumen yang memberi gambaran tentang suatu fakta secara visual.

4. Foto Sebagai Dokumen

Foto adalah gambar berupa rekaman visual kenyataan yang dihasil-kan melalui prosedur fotografis. Dalam prosedur fotografis, cahaya yang mengandung informasi tentang suatu obyek masuk melewati suatu lensa di dalam kamera. Di dalam kamera, cahaya tersebut menyentuh permukaan sensitif (misalnya film - dalam fotografi analog), sehingga setelah melewati proses kimiawi muncul semacam “jejak” di atas permukaan sensitif (film) tersebut, yang apabila diproses kembali akan menghasilkan “jejak” berupa gambar di atas kertas. Apa yang tampak di atas film atau kertas adalah “jejak” atas kenyataan yang tampak di depan kamera. Singkat kata, foto adalah indeks atau jejak kenyataan. Indeksikalitas adalah ciri khas suatu foto. (Bull, 2010: 13-16)

Page 11: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

76

Indeksikalitas memungkinkan relasi kausal langsung antara foto dengan kenyataannya. Artinya, adanya gambar dalam foto disebabkan oleh adanya kenyataan yang dipotret di depan kamera. Obyek yang hadir di depan kamera adalah penyebab langsung obyek yang tampak dalam foto. Sebagai contohnya, gambar seekor ayam kampung muncul pada foto akibat adanya kenyataan ayam kampung yang dipotret di depan kamera. Ayam kampung menjadi penyebab bagi gambar ayam kampung dalam foto. Jadi, relasi kausal memungkinkan adanya kesesuaian (korespondensi) antara gambar dengan kenyataannya. Korespondensi antara gambar dengan kenyataan akibat kausalitas ini menjadi kerangka kerja dasar pemahaman kita tentang foto.

Relasi kausal langsung antara kenyataan dengan gambar memunculkan keyakinan atau asumsi kita ketika melihat suatu foto. Karena foto dihasilkan dari obyek yang dipotret di depan kamera, tidaklah mungkin ada gambar tentang suatu obyek dalam foto tanpa kehadiran obyek yang dipotret di depan kamera. Foto mensyaratkan kehadiran obyek secara aktual di depan kamera. Dengan demikian, melihat suatu foto memberi keyakinan pada orang yang melihatnya akan adanya keberadaan obyek di depan kamera. Melihat suatu foto singa mengandaikan adanya kehadiran singa tersebut di depan kamera pada saat momen pemotretan berlangsung.

Foto berdimensi ontologis karena menjadi bukti keberadaan kenyataan yang dipotret. Pandangan tentang foto sebagai bukti ini diungkapkan misalnya oleh Sontag, Bazin, maupun Savedoff. Dalam buku On Photography, Sontag berpendapat bahwa suatu foto, walaupun tidak nampak sesuai dengan kenyataannya sekalipun, adalah bukti atas sesuatu yang terjadi. Baginya, ketika melihat foto tentang sesuatu, seseorang selalu beranggapan bahwa sesuatu itu ada, sebagaimana pula mirip dengan tampak dalam gambarnya. (Sontag, 1973: 3). Sejalan dengan itu, André Bazin juga menegaskan identitas mendasar foto sebagai bukti, terlepas dari apakah yang tampak dalam gambar itu kabur atau berubah bentuk sekalipun. (Bull, 2010: 14). Sejalan dengan pandangan Sontag maupun Bazin, Savedoff juga menekankan peran foto sebagai bukti atas kenyataan. Menurut Savedoff, foto adalah bukti atas sesuatu yang ada (exist) di depan kamera, bukan rekaan imajinasi fotografer. Melihat foto seseorang berarti melihat bukti bahwa orang tersebut berada di depan kamera. Relasi kausal antara foto dengan kenyataan aktualnya menciptakan otoritas dokumenter foto. (Savedoff, 2008: 116).

Tema indeksikalitas juga membawa kita pada pertanyaan lebih lanjut: apa atau siapa yang berperan dalam proses fotografis? Beberapa filsfuf fotografi realis seperti Walden, Walton, maupun Scruton berpendapat bahwa fotografer hanya berperan sebatas memilih obyek, menentukan

Page 12: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

77

momen pemotretan, angle, kecepatan bukaan rana, dan sebagainya dalam pembuatan gambar fotografis. Fotografer hanya berperan hingga tombol shutter ditekan, selebihnya kamera lebih berperan dalam menghasilkan citra obyek di depannya. Kinerja mekanis kamera dipandang memberi kontribusi besar dalam membentuk kausalitas pada proses fotografis.

Walton menekankan karakter realistik foto untuk menjelaskan peran kinerja mekanis kamera. Menurut Walton, suatu foto tampil sedemikian realistik, sehingga mirip sekali dengan kenyataannya yang tampak. Walton mengistilahkan ciri realistik foto itu sebagai “transparansi”. Foto menampilkan sisi realistik yang luar biasa dibandingkan dengan gambar-gambar buatan manusia (misalnya sketsa ataulukisan). Ketika seseorang melihat foto, seakan-akan ia melihat kenyataan aslinya, bagaikan melihat dunia lewat jendela yang transparan (Walton, 2008: 22). Foto adalah representasi transparan atas kenyataan.

Bagi Walton, transparansi atau sisi realistik foto terjadi akibat kinerja mekanis kamera (Walton, 2008: 18). Ia menjelaskan bagaimana proses penciptaan gambar realistik dalam foto dengan membandingkannya dengan proses melukis. Dalam proses pelukisan, belief sang pelukis ikut berpengaruh sepanjang proses pembuatan gambar. Pelukis juga bisa menggambar berdasarkan khayalannya saja, tanpa perlu kehadiran obyek. Maka, unsur subyektif sang pelukis sangat mewarnai hasil lukisan. Akibatnya, sisi realistik sulit atau lama dicapai karena belief sang pelukis mempengaruhi seluruh proses pembuatan, disamping pula dibutuhkan ketelitian, ketekunan, maupun skill sang pelukis yang luar biasa. Sementara itu, dalam proses fotografis belief fotografer memang masih ikut menentukan proses pembuatan, namun hanya terbatas yakni hingga tombol shutter kamera ditekan. Kinerja mekanis kamera yang serba otomatis memberi kemudahan dan kecepatan dalam pencapaian sisi realistik foto, daripada kuas atau pensil dalam pelukisan. Dengan adanya otomatisasi itu, tidak dibutuhkan keahlian, ketekunan, ketelitian khusus untuk menciptakan suatu gambar realistik (selain keahlian memotret). Kamera yang mekanistis dan otomatis mereduksi kemungkinan distorsi atau kekeliruan dalam menggambarkan kenyataan akibat subyektivitas manusia. Terkait dengan peran mental dalam proses fotografis ini, Scruton juga memberi penegasan secara ekstrem. Menurutnya, dalam pelukisan relasi antara obyek dengan gambar buatan tangan bersifat intensional. Sementara itu, dalam proses fotografis relasi antara obyek dengan gambar tidak bersifat intensional, melainkan semata-mata bersifat kausal. (Scruton: 140).

Dengan demikian, foto dianggap memiliki keistimewaan dibandingkan dengan gambar buatan tangan manusia. Foto memiliki kredibilitas yang tinggi untuk menggambarkan kenyataan karena dianggap

Page 13: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

78

memberi kesesuaian (korespondensi) antara gambar dengan kenyataan secara meyakinkan. Realistik, akurat, dan transparan adalah belief yang sering muncul ketika melihat foto. Selain itu, foto dinilai obyektif dalam menggambarkan kenyataan karena kinerja mekanis kamera yang serba otomatis, impersonal, dan tidak intensional. Jadi, selain memberi kepastian secara ontologis akan keberadaan obyek di depan kamera, foto juga dinilai memberi keyakinan secara epistemologis dalam hal akurasi dan obyektivitas. Karena kredibilitasnya itu, foto kemudian digunakan sebagai bukti dalam dunia sains, medis, kepolisian, bukti di pengadilan, maupun jurnalisme. “Camera never lies!” adalah slogan yang menggambarkan kredibilitas foto tersebut.

5. Digitalisasi: Tantangan Bagi Peran Foto Sebagai Dokumen

Munculnya teknologi digital membawa pemahaman baru tentang fotografi. Digitalisasi membawa tantangan baru bagi peran foto sebagai dokumen. Dahulu, foto diyakini sebagai gambaran akurat dan obyektif atas kenyataan. Kinerja mekanis kamera yang serba otomatis tanpa melibatkan banyak peran manusia menjadikan foto dipercaya sebagai bukti atas suatu peristiwa. Setelah teknologi digital muncul, pemahaman fotografi ber-dasarkan konsep indeksikalitas atau kausalitas mengundang berbagai perdebatan. Digitalisasi menjadi ancaman utama bagi foto-foto yang dipergunakan untuk tujuan dokumenter. Kini, foto hadir dengan melibatkan lebih banyak unsur intensi manusia. Digitalisasi membuat foto sebagai data digital mudah direkayasa, semakin sulit untuk dideteksi dari unsur rekayasa, serta semakin mudah untuk direproduksi dan disebarluaskan. Wheeler menyatakan bahwa kini tingkat kepercayaan orang terhadap foto sebagai medium yang dianggap tepercaya, akurat, obyektif, dan netral untuk merekam kenyataan semakin menurun. (Wheeler, 2002: 33).

Apa karakter dasar teknologi digital sehingga mampu membawa perubahan besar dalam dunia fotografi? Lev Manovich menggambarkan karakter teknologi digital dengan lima prinsip berikut, yakni representasi numerik, modularitas, otomatisasi, variabilitas, dan transkode. (Weaver, 2005: 79-80). Prinsip pertama adalah representasi numerik, yaitu seluruh informasi diterjemahkan ke dalam bentuk kode angka yakni angka nol dan satu. Yang terjadi di sini adalah reduksi informasi dalam bentuk apa pun ke dalam kode numerik biner tersebut. Prinsip kedua ialah modularitas yang diartikan sebagai semua bentuk informasi baik yang berformat gambar, suara, maupun video pada akhirnya adalah kode-kode yang disimpan dalam struktur yang sama yaitu file digital. Prinsip ketiga ialah otomatisasi, yakni adanya fungsi komputer yang menggantikan peran manusia secara otomatis. Prinsip keempat adalah variabilitas, yaitu kemudahan untuk dapat direkayasa atau dikombinasi secara baru ke dalam berbagai variasi karena

Page 14: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

79

berbentuk kode nol dan satu. Prinsip kelima ialah transkode, yakni seluruh file digital dapat ditransmisikan atau diubah ke format lain secara mudah.

Ciri khas fotografi analog ditandai dengan proses penandaan (indeksikalitas) secara analog di atas film. Penandaan tersebut bersifat permanen secara fisik. Karena bersifat fisik, segala bentuk perubahan jejak akan berimplikasi juga pada adanya perubahan medium. Berbeda dengan itu, penandaan dalam fotografi digital bersifat virtual. Segala bentuk informasi (teks, gambar, suara) disimpan dalam format yang sama yakni kode numerik biner. Artinya, tidak ada lagi jejak fisik, melainkan yang ada hanya simulasi. (Rodowick, 2001: 37). Fotografi analog ditandai dengan proses materialisasi di mana foto dihadirkan sebagai obyek material fisik, sementara fotografi digital justru ditandai dengan adanya proses dematerialisasi di mana foto tampil berupa imaji. (Bull, 2010: 23-27). Digitalisasi menggeser pemahaman tentang foto, yakni dari foto sebagai suatu jejak fisik, ke arah imaji sebagai jejak virtual.

Karena penandaan bersifat fisik, duplikasi analog film sulit dilakukan dan selalu berakibat pada adanya penurunan kualitas. Rekayasa foto sulit dilakukan sebab membutuhkan ketelitian dan teknik yang tinggi, serta masih menyisakan kemungkinan kejanggalan sehingga dapat dengan mudah dideteksi. Sementara itu, duplikasi digital mudah dilakukan, dan menghasilkan kualitas yang nyaris tidak berbeda dengan aslinya karena penandaannya bersifat virtual dengan kode-kode biner. Rekayasa foto semakin mudah dilakukan, serta semakin mungkin tidak terdeteksi. Dalam fotografi digital, sulit dibedakan lagi antara foto asli dengan duplikasinya.

Digitalisasi memungkinkan adanya kemudahan suatu foto untuk direkayasa, diduplikasi, dikirim, dihapus, atau bahkan digabungkan dengan berbagai jenis informasi lainnya (misalnya teks atau suara) karena semuanya berbasis sama yakni kode digital. Digitalisasi mempermudah dan menyempurnakan proses rekayasa foto. Dengan teknologi digital, foto makin mudah direkayasa dengan hasil yang semakin halus, realistik, dan sulit dideteksi. Teknik montase (menggabungkan beberapa potongan foto) dapat dilakukan dengan hasil yang semakin baik. Selain itu, digitalisasi juga membuka peluang bagi semakin canggihnya pelukisan digital, yakni pembuatan gambar serealistik foto tanpa melalui prosedur pemotretan, melainkan pelukisan dengan komputer. (Flagan, 2002: 10-12). Kini sisi realistik foto tidak mutlak didapat berkat kinerja mekanis kamera saja. Komputer dapat semakin memudahkan manusia untuk membuat gambar serealistik foto. Proses fotografis menjadi semakin mirip proses melukis, yang melibatkan unsur personal dan intensional dalam pembuatannya. Digitalisasi membuat foto semakin terbuka pada sisi intensional manusia.

Page 15: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

80

Penandaan (indeksikalitas) secara virtual dalam foto digital juga memungkinkan foto semakin cair, lentur, dan rentan untuk terus menerus diubah. Setiap foto yang diproduksi terbuka untuk selalu dapat diolah kembali (dipotong, diganti warna, atau dikombinasikan dengan foto lainnya, dan sebagainya). Foto tidak berhenti sebagai jejak fisik yang permanen tentang kenyataan. Foto menjadi jejak virtual, yang membuka kemungkinan bagi perubahan tanpa henti (Bull, 2010: 27-29).

6. Manipulasi Foto dalam Propaganda Politik

Penipuan dibedakan dengan pembohongan. Menurut Bertens, berbohong adalah “dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar agar orang lain percaya” (Bertens: 266). Bertens menegaskan bahwa tindakan berbohong mengandaikan adanya tiga unsur. Pertama, berbohong pada dasarnya melibatkan aktivitas menyatakan sesuatu yang tidak benar. Kedua, berbohong melibatkan unsur niat atau intensi si pelaku, sehingga tindakan berbohong merupakan tindakan yang pada dasarnya dilakukan dengan sengaja. Ketiga, berbohong selalu ditujukan agar orang yang dibohongi menjadi percaya. Sementara itu, menipu mengandaikan adanya keberhasilan, berbohong tidak berurusan dengan soal keberhasilan. Walaupun tidak berhasil, berbohong tetap saja berbohong. Menurut Bertens, menipu adalah “dengan sengaja mengatakan atau melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain percaya apa yang tidak benar, dan hal itu dikatakan atau dilakukan dengan maksud agar orang lain percaya.” (Bertens: 369).

Manipulasi foto dalam hal ini dimaksudkan sebagai upaya-upaya pengkomunikasian foto dengan tujuan menipu. Penipuan tersebut umumnya dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan dokumenter foto. Artinya, manipulasi dilakukan dengan memanfaatkan belief orang terhadap indeksikalitas foto. Ketika melihat suatu foto yang realistik, seseorang akan menggunakan kerangka pikir kausalitas, sehingga ia akan berasumsi bahwa kenyataan di dalam foto menggambarkan kenyataan di depan kamera. Dalam kasus ini, suatu foto dapat saja dimodifikasi sehingga apa yang tampak bukanlah lagi jejak langsung atas kenyataan. Akan tetapi, dengan teknologi digital modifikasi semakin halus, sehingga pengamat sulit mengetahui apakah foto tersebut dimodifikasi atau tidak. Akibatnya, foto tersebut dapat menyesatkan karena pengamat akan menilai bahwa apa yang tampak dalam foto itu sungguh terjadi di dalam kenyataan aktualnya. Maka, penipuan terjadi ketika orang meyakini foto itu sebagai fakta, padahal kenyataannya hanyalah fiksi belaka.

Manipulasi foto memang sudah terjadi tidak lama sejak foto ditemukan. Sebelum era digital muncul, berbagai penipuan dengan

Page 16: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

81

menggunakan foto untuk mempengaruhi publik sudah dilakukan. Ribuan foto analog di era Komunis direkayasa dengan cara menghilangkan tokoh-tokoh tertentu untuk kepentingan politis. Walaupun demikian, manipulasi foto analog masih menyisakan berbagai kelemahan.

Kini melalui teknologi digital, manipulasi foto dapat dilakukan dengan semakin canggih. Apa yang tampak sebagai foto belum tentu didapat dari proses fotografis. Tidak dapat diketahui secara kasat mata lagi batas-batas yang membedakan foto dengan lukisan digital serealistik foto (Cosman, 2012: 274). Dalam hal ini, sulit untuk menentukan mana gambar yang dihasilkan dari proses fotografis, maupun mana yang dihasilkan dari lukisan digital. Bagi Jay David Bolter dan Richard Grusin gambar serealistik foto pada akhirnya akan dipandang sebagai foto oleh pengamatnya, apa pun proses pembuatannya. (Bolter & Grusin: 105). Bolter dan Grusin menyelidiki peran yang lebih penting antara fotografi maupun komputer grafis dalam rangka membuat gambar serealistik foto. Bagi Bolter dan Grusin, fotografi maupun komputer grafis sama pentingnya dan saling mengisi. Komputer grafis dapat digunakan untuk membuat suatu gambar serealistik foto. Sebaliknya, foto juga dipakai dalam komputer grafis. Maka, penentuan mana yang lebih berperan tidaklah penting.

Bagi Bolter dan Grusin, yang terpenting dalam menentukan suatu gambar itu foto atau bukan foto melainkan justru pengamat. Ketika mengamati foto, kita tidak ada informasi tentang bagaimana gambar itu dibuat. Sulit menentukan apakah suatu gambar serealistik foto dibuat dari proses fotografis atau bukan (misalnya dari komputer grafis). Namun, pada akhirnya pengamat akan menerima dan memperlakukan gambar-gambar itu seperti foto. Bagi Bolter dan Grusin, intensi mendasar fotografer maupun desainer grafis realis dalam membuat gambar serealistik foto pada akhirnya ialah agar gambar mereka diterima dan diperlakukan sebagai foto. (Bolter & Grusin: 105).

Ketika mengamati foto, orang hanya melihat hasilnya, tetapi bukan proses pembuatannya. Foto yang tampak tidak menyediakan informasi yang cukup mengenai prosedur pembuatannya untuk pengamat. Penipuan dapat terjadi dengan memanfaatkan situasi ini. Penipuan terjadi ketika seseorang secara sengaja menampilkan suatu gambar yang seakan-akan memiliki relasi kausal dengan kenyataan (padahal tidak), sehingga berakibat orang lain mendapatkan gambaran yang keliru akibat meyakini bahwa gambar itu mewakili kenyataan yang sesungguhnya. Oleh karenanya, foto perlu diberi label atau keterangan untuk menjelaskan konteks maupun maksud pembuatnya agar orang tidak salah memahami makna foto tersebut. Tanpa keterangan yang jelas, foto dapat menyesatkan ketika dihadirkan sebagai bukti (Warburton: 128), seperti misalnya dalam foto jurnalistik.

Page 17: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

82

Dalam propaganda politik, foto sering dimanfaatkan untuk keperluan manipulatif. Lewat foto, seseorang dengan sengaja menghadirkan informasi yang tidak benar sehingga mengakibatkan orang lain mempercayai informasi yang tidak benar tersebut. Penipuan semacam ini dilakukan untuk menjatuhkan pamor lawan politik. Misalnya, dalam kampanye politik, seseorang menampilkan foto lawan politiknya yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga menampilkan fakta yang keliru, sedemikian rupa sehingga masyarakat menyetujui gambaran yang keliru tentang tokoh tersebut.

Dalam konteks propaganda politik, manipulasi atau penipuan melalui foto dapat dilakukan dengan berbagai cara. Menurut Scot, penipuan dengan menggunakan foto dalam propaganda politik dapat dibagi menjadi lima kategori. (Scot, 2007: 10-23). Penipuan yang dimaksud adalah:

a). Penipuan dengan cara memfokuskan diri pada sesuatu, yakni fotografer secara sengaja memfokuskan diri pada suatu obyek atau peristiwa dengan mengabaikan peristiwa lain, sehingga mengakibatkan munculnya distorsi di mata pengamat.

b). Penipuan melalui aktivitas staging foto, yakni fotografer melakukan penipuan dengan mengatur peristiwa pemotretan sedemikian rupa bagaikan suatu sandiwara di atas panggung, misalnya dengan mengatur pose dan layar sebagai latar belakang untuk menghasilkan ilusi tertentu.

c). Penipuan melalui alterasi (rekayasa) foto atau film, yakni rekayasa gambar dengan teknik tertentu dengan cara menambah atau mengurangi detil tertentu.

d). Penipuan melalui false captioning, yakni pemberian secara sengaja label atau keterangan yang keliru atas suatu gambar.

e). Penipuan lewat photomontage, yakni membuat kombinasi dua atau lebih foto (atau gambar lain) dalam satu karya.

Scot mencontohkan penipuan dengan memfokuskan diri pada suatu hal misalnya dengan kasus foto Presiden F.D. Roosevelt. Menurutnya, sejumlah pemimpin, termasuk Roosevelt, melakukan kerjasama dengan media untuk memfokuskan perhatian pada suatu hal dalam rangka penghilangan suatu hal lain. Dari 35.000 foto F.D. Roosevelt yang dipublikasikan pada saat ia masih hidup, tidak ada satu pun foto dirinya di atas kursi roda. Roosevelt meminta agar media tidak menunjukkan cacat fisiknya. (Scot, 2007: 10).

Manipulasi dengan menggunakan alterasi foto analog misalnya terjadi lewat penghilangan bagian-bagian tertentu dalam foto. Selama era komunis berlangsung, ada banyak penghilangan bagian-bagian tertentu dari foto, dalam foto tokoh-tokoh politik Soviet. (Wheeler: 20). Setelah era

Page 18: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

83

digital muncul, penghilangan bagian tertentu dari gambar semakin mudah dilakukan.

Foto montase (photomontage) banyak dipakai dalam kampanye politik, terutama setelah teknologi digital berkembang pesat. Kasus penerapan foto montase yang buruk misalnya terjadi dalam kampanye politik di Amerika Serikat antara Tyding dari partai Demokrat berhadapan dengan John Butler dari partai Republik. Beberapa hari sebelum pemilihan sebuah tabloid membuat gambar montase yang buruk yang menggabungkan gambar Tyding dengan Earl Browder, seorang pemimpin komunis. Dalam foto itu, kepala Browder dibuat besar. Gambar palsu ini memang mudah dideteksi. Tyding menuntutnya pembuat gambar itu yang ternyata adalah salah satu pendukung lawan politiknya. Menurut Tyding, foto montase itu dinilai menjadi penyebab kekalahannya di pemilihan tersebut. (Scot, 2007: 22). Contoh lainnya, foto montase misalnya juga dipakai dalam kampanye pemilu Presiden 2014 di Indonesia dengan menggabungkan potongan foto gambar dan nomor partai tertentu ke foto seorang penyanyi yang mengenakan kaos sehingga menimbulkan kesan seolah-olah sang penyanyi mendukung kandidat partai tersebut.

Menggunakan cara-cara manipulatif atau menipu dengan memanfaatkan kekuatan dokumenter foto dalam rangka meraih dukungan publik dalam kampanye politik pada hakekatnya adalah tidak etis. Pertama, menggunakan kekuatan foto untuk menipu bertentangan dengan prinsip kejujuran. Kejujuran adalah prima facie dalam berkomunikasi, kewajiban yang harus dilakukan dengan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kebenaran adalah hal yang harus dijunjung tinggi dalam memberikan informasi maupun persuasi publik. Orang bukan alat, melainkan tujuan dalam kampanye politik. Maka, orang tidak boleh dijadikan obyek demi keuntungan semata. Kedua, dari sudut pandang utilitarianisme, akibat-akibat yang ditimbulkan dari penipuan sudah sangat jelas merugikan masyarakat. Bukan hanya lawan politik yang dirugikan, tetapi pada akhirnya seluruh masyarakat dirugikan karena penipuan semacam ini menghilangkan kepercayaan (trust) publik. Penipuan dengan demikian mengkhianati hakekat demokrasi sebab menghancurkan kepercayaan sebagai tulang punggung membangun relasi komunikatif antarmanusia.

7. Penutup

Kini kita berhadapan dengan kultur yang dikuasai oleh produksi dan rekayasa foto terus menerus. Kredibilitas foto sebagai dokumen semakin terancam. Semakin hari semakin banyak foto diproduksi untuk kemudian dimodifikasi. Dengan demikian, semakin besar pula kemungkinan akan penyesatan-penyesatan lewat foto. Dunia bukan hanya dibanjiri foto, tetapi

Page 19: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

84

juga foto-foto yang mengundang pada penyesatan. Bentuk-bentuk komunikasi politik seperti kampanye politik, pada akhirnya tidak bisa tidak semakin rentan untuk dipengaruhi kondisi tersebut.

Dengan berkembangnya jejaring media sosial di internet, semakin banyak gambar muncul dengan berbagai variasinya. Para blogger amatir seperti ini berkontribusi besar pada citizen photojournalism. Mereka tidak hanya berperan sebagai konsumen, melainkan juga produsen (termasuk produsen akan berbagai penyesatan), dengan berperan sebagai fotografer, jurnalis, editor, penerbit, konsumen, atau kritikus sekaligus. Setiap warga dapat memanfaatkan foto untuk keperluan apapun, kapan pun, di mana pun. Jalur-jalur untuk mempengaruhi opini publik melalui foto-foto entah secara rasional maupun emosional, semakin terbuka. Seperti kita amati dalam pemilihan umum 2014 lalu, peredaran foto-foto dalam rangka kampanye pemilu semakin luas, kreatif, sekaligus personal. Citizen photojurnalism seperti ini tidak dibatasi oleh kode etik jurnalistik konvensional. Otoritas dan tanggung jawab moral pun dikembalikan pada masing-masing orang.

Untuk itu, kita sebagai warga negara senantiasa dipanggil untuk bersikap etis. Komunikasi politik kita perlu dijiwai oleh keutamaan moral berikut:

1). Kejujuran Komunikasi perlu dilandasi sikap mau menampilkan diri apa adanya, sekaligus serta mau memperlakukan orang secara konsekuen sebagai-mana apa yang diharapkan dari orang lain untuk memperlakukan kita. Dengan itu, komunikasi mesti dilandasi oleh sikap terbuka dan fair (Magnis, 1987: 142)

2). Keberanian moral Komunikasi perlu dilandasi oleh keyakinan teguh untuk melakukan apa yang telah menjadi pilihan bebas dan tanggungjawab dirinya (Magnis, 1987: 147)

3). Bonum commune Komunikasi perlu dilandasi sikap tidak mementingkan dirinya sendiri (egois), melainkan mau rela berkorban demi kebaikan dan kebahagiaan bersama.

Daftar Pustaka

Azoulay, Ariella. “The Ethics of The Spectator: The Citizenry of Photography”, dalam Afterimage, Vol. 33, No.2, September/oktober (2005): 38-44.

Page 20: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

85

Bate, David. Photography: The Key Concept. Oxford: Berg. 2009.

Bertens, Kees. Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius. 2000.

Bolter, Jay & Grusin, Richard. Remediation: Understanding New Media. Massachusetts: The MIT Press. 1999.

Bull, Stephen. Photography. New York: Routledge. 2010.

Cosman, Teodora, “The Metaphors of Photography and The Metaphors of Memory, Artistic Reflections on an Album of Family Photographs”, dalam Philobiblon, Vol. XVII, No. 1. (2012).

Culbert, Nicholas J. “Photography”, dalam Cull, Nicholas J., Culbert, David & Welch, Propaganda and Mass Persuasion: A Historical Encyclopedia, 1500 to the Present. Santa Barbara: ABC-CLIO, Inc. 2003.

Flågan, Are. “Layers: Looking at Photography and Photoshop” dalam Afterimage, Vol. 30, No.1, Juli/Agustus (2002): 10-12.

Lilleker, Darren G. Key Concept in Political Communication. London: Sage Publications Ltd. 2006.

Maynard, Patrick. The Engine of Visualization: Thinking Through Photography. London: Cornell University Press. 1997.

Macdonald, Scot. Propaganda and Information Warfare in The Twenty-First Century: Altered Images and Deception Operations. New York: Routledge. 2007.

McNair, Brian. An Introduction to Political Communication, 5th edition. New York: Routledge. 1995.

Rice, Ronald E. & Atkin, Charles K. (ed.). Public Communication Campaigns. Washington: Sage Publications Inc. 2013.

Rodowick, D.N. Reading The Figural, or, Philosophy after the New Media. London: Duke University Press. 2001.

Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius. 1987.

Savedoff, Barbara. “Documentary Authority and The Art of Photography”, dalam Scott Walden (ed.), Photography and Philosophy: Essay on the Pencil of Nature. Malden: Blackwell Publishing. 2008.

Scruton, Roger. “Photography and Representation” in Scott Walden (ed.), Photography and Philosophy: Essay on the Pencil of Nature, Malden: Blackwell Publishing. 2008.

Sontag, Susan. On Photography. New York: Rosetta Books LLC. 2005.

Page 21: MANIPULASI FOTO DAN PROPAGANDA POLITIK · PDF filemengontrol opini publik atau memobilisasi orang untuk berpartisipasi dalam perang, sebagaimana dilakukan Hitler. Istilah ini lantas

JJUURRNNAALL EETTIIKKAA Volume 6, November 2014: 66 - 86

Manipulasi Foto dan Propaganda Politik

86

Trent, Judith; Friedenberg, Robert V., Denton Jr., Robert E. Political Campaign Communication, 7th edition. Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. 2011.

Walton, Kendall. “Transparent Pictures: On The Nature of Photographic Realism”, dalam Scott Walden (ed.), Photography and Philosophy: Essay on the Pencil of Nature. Malden: Blackwell Publishing. 2008.

Warburton, Nigel. “Ethical Photojournalism InThe Age of The Electronic Darkroom”, dalam Matthew Kieran (ed.), Media Ethics. London: Routledge. 1998.

Weaver, John A. “Digital Aesthetics”, dalam Journal of Curricullum Theorizing, Vol. 21, No.1, Spring (2005): 77-94.

Welch, David. “Introduction: Propaganda In Historical Perspective”, dalam Cull, Nicholas J., Culbert, David & Welch, Propaganda and Mass Persuasion: A Historical Encyclopedia, 1500 to the Present. Santa Barbara: ABC-CLIO, Inc. 2003.

Wheeler, Thomas H. Phototruh or Photofiction? Ethics and Media Imagery in the Digital Age. London: Lawrence Erlbaum Associates. 2002.