MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER

242
Dr. A. Khalik, M.Pd. Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd. MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER Editor: Abdul Hakim El Hamidy

Transcript of MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |i

Dr. A. Khalik, M.Pd.

Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

MANAJEMEN

PENDIDIKAN ISLAM

KONTEMPORER

Editor: Abdul Hakim El Hamidy

ii | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

KONTEMPORER

Penulis:

Dr. A. Khalik, M.Pd. Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Layout & cover design: Tim Oman Publishing

Editor:

Abdul Hakim El Hamidy

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Oman Publishing, Oktober 2020

CV Oman Publishing Kompleks Panghegar

Jln. Pasangrahan VI No. 1 RT 03 RW 10 Kel. Cipadung Kulon Kec. Panyileukan

Bandung 40614 Telp. 081319544445

e-mail: [email protected]

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

242 hlm; 14.8 x 21 cm

ISBN:

Cetakan Pertama, Februari 2021

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |iii

Daftar Isi

Daftar Isi .......................................................................................... iii

Prakata Penulis.............................................................................. v

I. Manajemen Pendidikan Islam ........................................ 1

A. Pengertian Manajemen Pendidikan Islam ..................... 1

B. Fungsi Manajemen pendidikan Islam .............................. 4

C. Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan Islam ............ 13

II. Tinjauan Kritis Manajemen Pendidikan Islam ......... 29

A. Problem Manajemen Pendidikan Islam Klasik ............ 29

B. Problem manajemen Pendidikan Islam Kontem-

porer ................................................................................................ 41

C. Problem manajemen Organisasi Pendidikan Islam .. 51

III. Pendekatan, Konsep dan Teori, Serta

Implementasi Manajemen Pendidikan Islam ............ 59

A. Pendekatan Manajemen Pendidikan Islam ................ 59

B. Konsep Pengembangan Manajemen Pendidikan

Islam ............................................................................................. 70

C. Manajemen Pendidikan Islam Klasik-

Kontemporer ............................................................................ 81

D. Manajemen Pendidikan Islam di Pesantren .............. 83

E. Manajemen Pendidikan Islam di Madrasah .............. 99

F. Manajemen Pendidikan Islam di Sekolah .................. 105

iv | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

IV. Kepemimpinan dalam Dunia Pendidikan .................. 121

A. Ragam Teori Kepemimpinan ............................................ 121

B. Karakteristik Fungsi Leader dalam Pendidikan

Islam ............................................................................................. 125

C. Karakteristik Fungsi Manajer dalam Pendidikan

Islam ............................................................................................. 135

V. Manajemen Mutu dalam Pendidikan Islam ............... 139

A. Definisi Mutu dalam Pendidikan .................................... 139

B. Ragam Teori Mutu dalam Pendidikan ......................... 141

C. Budaya Mutu ............................................................................. 146

D. Total Quality Management dan Dunia

Pendidikan ................................................................................. 164

E. Implementasi Mutu di Lembaga Pendidikan

Islam ............................................................................................. 171

F. Karakteristik Standar Mutu Layanan Jasa

Pendidikan ................................................................................. 174

G. Konsep Sistem Penjaminan Mutu pada Layanan

Jasa................................................................................................. 181

VI. Pemasaran dan SDM dalam Pendidikan Islam.......... 193

A. Konsep dasar Pemasaran Layanan Jasa

Pendidikan ................................................................................. 193

B. Konsep dan Teori Pemasaran Perspektif

Pendidikan ................................................................................. 199

C. Konsep dan Teori SDM Perspektif Pendidikan ........ 210

D. Strategi Pengembangan SDM Lembaga

Pendidikan Islam .................................................................... 213

Daftar Kepustakaan ..................................................................................... 219

Tentang Penulis ............................................................................................. 233

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |v

Prakata

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. dengan

ucapan alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Sebab, dengan segala

inayah dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan buku

kedua yang terbit di Oman Publishing, Bandung, di mana

sebelumnya telah terbit buku berjudul Kapita Selekta

Pendidikan Islam: Dari Makna Sampai Analisis. Shalawat dan

salam senantiasa terlimpah-curah kepada Rasulullah saw.,

sebagai contoh terbaik (uswah hasanah) bagi kita sebagai

umatnya.

Buku yang ada di hadapan pembaca ini merupakan bentuk

ikhtiar kecil penulis untuk menghimpun berbagai informasi dan

menyampaikannya melalui goresan pena tentang manajemen

pendidikan Islam dan beberapa problematikanya. Memang,

persoalan pendidikan Islam merupakan persoalan yang sudah

selayaknya mendapatkan perhatian dari semua kalangan

dan/atau semua pihak. Apalagi saat ini, zaman semakin maju

dan terus berkembang, dan arus teknologi, dan derasnya

gelombang globalisasi tak dapat dibendung.

Tidak dapat dimungkiri, kebutuhan terhadap pendidikan

yang dulu berorientasi untuk meraup ilmu, kini berubah

menjadi sarana mendapatkan pekerjaan, karier, dan

sebagainya. Perubahan ini tentu harus disikapi dengan serius

oleh lembaga pendidikan Islam. Jika tidak, lembaga pendidikan

Islam akan termarjinalkan dan bahkan lebih ironis akan

ditinggalkan, tak dilirik lagi.

Untuk menjawab tantangan tersebut, buku ini penulis

susun, sebagai upaya perbaikan di dalam lembaga pendidikan

Islam dengan cara mengurai segala problematikanya. Oleh

vi | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

karena itu, penulis berterima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil

sehingga buku ini dapat sampai ke tangan pembaca. Secara

khusus, kepada Bapak Abdul Hakim El Hamidy, selaku editor

dan sekaligus Direktur penerbit Oman Publishing, Bandung,

yang telah bersedia menerbitkan buku ini. Hanya Allah jualah

yang dapat membalas semua kebaikan mereka, karena Dialah

sebaik-baik Pemberi balasan.

Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca, dan menjadi

jariyah bagi penulis, sebagai investasi di Hari Kemudian.

Jambi, Januari 2021

Penulis

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |1

BAB I

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Manajemen Pendidikan Islam

Sebelum mengkaji mengenai manajemen pendidikan Islam kita

terlebih dahulu mengetahui definisi dari manajemen. Kata

“manajemen” saat ini sudah banyak sekali dikenal di Indonesia,

baik di lingkungan swasta, perusahaan, maupun pendidikan.

Berdasarkan kenyataan yang ada ini menunjukan bahwa

manajemen telah diterima dan dibutuhkan kehadirannya di

masyarakat. Semula manajemen yang berasal dari bahasa

Inggris: Management dengan kata kerja to manage, diartikan

secara umum sebagai mengurusi. Selanjutnya banyak penulis

yang telah berusaha untuk memberikan definisi atau batasan

tentang pengertian manajemen. Berikut ini beberapa definisi

tentang manajemen sebagai berikut:

Marry Papker Follett, “Manajemen sebagai seni dalam

menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Pengertian ini

mengandung arti bawa para manajer mencapai tujuan-tujuan

organisasi melalui pengaturan orang-orang lain untuk

melaksanakan berbagai tugas yang memungkinkan di perlukan,

atau berarti dengan tidak melakukan tugas-tugas itu sendiri

kebutuhan yang meningkat ialah dengan melakukan

pengukuran (assessment).1

James A.F. Stoner mengemukakan bahwa manajemen

adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan

1Muwahid Shulhan dan Soim, Manajemen Pendidikan Islam, (Yogyakarta:

Teras, 2013), hlm. 6

2 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan peng-

gunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan

organisasi yang telah ditetapkan.2

Manajemen juga sering diartikan sebagai ilmu

pengetahuan karena manajemen dipandang sebagai suatu

bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha

memahami mengapa dan bagaimana seseorang bekerjasama

untuk mencapai tujuan dan membuat sistem kerja sama ini

lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.3

Menurut Muhaimin manajemen pendidikan adalah

manajemen yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan.

Dalam arti, ia merupakan seni dan ilmu mengelola sumber daya

pendidikan Islam untukmencapai tujuan pendidikan Islam

secara efektif dan efisien. 4

Arikunto mengartikan manajemen pendidikan sebagai

kegiatan atau rangkaian kegiatan yang berupa proses

pengolahan usaha kerja sama sekelompok manusia yang

tergabung dalam organisasi pendidikan, untuk mencapai tujuan

pendidikan yang telah di tetapkan sebelumnya secara efektif

dan efisien.5

Dalam pendidikan Islam dikenal juga manajemen

pendidikan Islam. Secara umum, manajemen pendidikan Islam

memiliki banyak kesamaan dengan manajemen pendidikan

secara umum, namun ada perbedaan dalam beberapa karakter.

Di antara karakteristik yang membedakan teori manajemen

dalam Islam dengan teori lain adalah fokus dan konsen teori

2 Ibid., h. 7 3Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Yogyakarya: Teras, 2009),

hlm. 8 4 Muwahid Shulhan dan Shoim, Manajemen Pendidikan Islam, hlm. 10 5 Sulistyorini dan M. Faturrohman, Esensi Manajemen Pendidikan Islam,

(Yogyakarta:Teras, 2014), hlm.11

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |3

Islam terhadap segala variabel yang berpengaruh (influence)

terhadap aktivitas manajemen dalam dan di luar organisasi

(perusahaan, negara), dan hubungan perilaku individu

terhadap faktor-faktor sosial yang berpengaruh. Teori Islam

memberikan injeksi moral dalam manajemen, yakni mengatur

bagaimana seharusnya individu berperilaku. Tidak ada

manajemen dalam Islam kecuali ada nilai atau etika yang

melingkupinya, sebagaimana tidak mungkin membangun

masyarakat Muslim tanpa didasari dengan akhlak.

Menurut Mujamil Qomar, manajemen pendidikan Islam

adalah suatu proses pengelolaan secara Islami terhadap

lembaga pendidikan islam dengan cara menyiasati sunber-

sumber belajar dan hal-hal yang terkait untuk mencapai tujuan

pendidikan Islam secara efektif dan efisien.”6

Ramayulis, sebagaimana dikutip Saefullah, mendefinisikan

manajemen pendidikan Islam sebagai proses pemanfaatan

sumber daya umat Islam yang dilakukan dengan kerja sama

yang efektif dan produktif demi mencapai kesejahteraan hidup,

baik di dunia maupun di akhirat.7

Kemudian dari beberapa definisi di atas maka pengertian

dari manajemen pendidikan Islam adalah suatu proses

penataan/pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang

melibatkan sumber daya manusia muslim dan non manusia

dalam menggerakannya untuk mencapai tujuan pendidikan

Islam secra efektif dan efisien.

Saat ini, manajemen pendidikan Islam merupakan bidang

keilmuan yang sangat penting untuk mencapai tujuan berupa

terciptanya kualitas pendidikan Islam yang lebih baik. Sebagai

bagian dari bidang keilmuan, manajemen pendidikan Islam

6 Ibid., h. 12 7 U. Saefullah, Manajemen Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia,

2012), hlm. 2

4 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

memiliki objek formal dan objek material yang harus dikuasai

dengan baik oleh setiap pengelola pendidikan.

Objek formal ilmu manajemen pendidikan Islam adalah

ilmu manajemen dalam pendekatan yang dapat digunakan oleh

riset ilmiah bidang manajemen. Sedangkan objek materialnya

adalah lembaga, pranata, serta organisasi pendidikan Islam baik

yang bersifat formal, nonformal, maupun informal.8 Dengan

demikian, para pengelola lembaga pendidikan Islam, mau tidak

mau, harus menguasai dengan baik dasar-dasar ilmu

manajemen serta menerapkannya dalam mengelola lembaga

pendidikan.

B. Fungsi Manajemen Pendidikan Islam

Istilah manajemen berhubungan dengan usaha untuk tujuan

tertentu dengan jalan menggunakan sumber daya-sumber daya

yang tersedia dalam organisasi/lembaga pendidikan islam

dengan cara yang sebaik mungkin.

Manajemen bukan hannya mengatur tempat melainkan

lebih dari itu adalah mengatur orang per orang. Dalam

mengatur orang diperlukan seni dengan sebaik-baiknya

sehingga kepala sekolah yang baik adalah kepala sekolah yang

mampu menjadikan setiap pekerja menikmati pekerjaan

mereka. Jika setiap orang yang bekerja menikmati pekerjaan

mereka hal itu menandakan keberhasilan seorang kepala

sekolah.

Di dalam proses manajemen digambarkan fungsi-fungsi

manajemen secara umum yang ditampilkan kedalam perangkat

8Irawan, “Paradigma Keilmuan Manajemen Pendidikan Islam”.

Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, (November 2016), hlm. 302-305

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |5

organisasi yang mulai dikenal dengan teori manajemen klasik.

Para ahli manajemen mempunyai perbedaan pendapat dalam

merumuskan proses manajemen sebagaimana penjelasan

berikut:

1. Menurut Skinner, fungsi manajemen meliputi:

planning, organizing, staffing, directing, and

controlling.

2. Steppen P. Robin, fungsi manajemen meliputi:

planning, organizing, laeding and controlling.

3. Gulick mengedepankan proses manajemen mulai dari

planning, organizing, staffing, directing, coordinating,

reporting, and budgetitng.

4. Fayol yang di kenal sebagai bapak manajemen ilmiah

(scientific Manajemen) mengedepankan proses

manajemen sebagai berikut: planning, organizing,

commanding, coordinating , controlling.9

Namun pada intinya terdapat beberapa bagian yang

mengandung kesamaan. Berdasarkan proses manajemen

sebagaimana telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka

pakar manajemen era sekarang mengabstraksikan proses

manajemen menjadi 4 proses yaitu: planning, organizing,

actuating, controlling, (POAC).

Dalam hal ini para pakar manajemen pendidikan islam

merumuskan proses manajemen pedidikan islam menjadi

perencanaan pendidikan Islam dan pengawasan pendidikan

Islam.

9 Sulistyorini dan M. Faturrohman, Esensi Manajemen Pendidikan Islam,

(Yogyakarta: Teras, 2014), hlm. 26

6 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

1. Fungsi Perencanaan

Fungsi perencanaan merupakan fungsi yang sangat urgen

dalam manajemen pendidikan Islam. Disebutkan bahwa semua

tindakan Rasulullah selalu membuat perencanaan yang teliti.

Proses manajemen pada dasarnya adalah perencanaan segala

sesuatu secara sistematis melahirkan keyakinan yang

berdampak pada melakukan sesuatu sesuai dengan aturan

serta memiliki manfaat.

من حسن إسلام المرء تركه ما لايعنيه “Di antara baiknya , indahnya keislaman seseorang adalah

yang selalu meninggalkan perbuatan yang tidak ada

manfaatnya”. (HR. at-Tirmidzi)

Perbuatan yang tidak ada manfaatnya sama saja perbuatan

yang tidak pernah direncanakan, jika perbuatan itu tidak

pernah direncanakan maka tidak termasuk dalam kategori

manajemen pendidikan Islam yang baik..10

Setiap proses perencanaan sedapat mungkin harus disusun

secara sistematis, rapi, dan rasional. Beberapa hal yang harus

tercakup dalam perencanaan antara lain:

a. Penentuan prioritas, sehingga pendidikan dapat

berjalan dengan efektif. Dalam menentukan prioritas

kebutuhan, seluruh komponen yang terlibat dalam

proses pendidikan, seperti masyarakat dan peserta

didik, harus terlibat di dalamnya.

b. Penetapan tujuan, yang berfungsi sebagai garis

pengarahan sekaligus evaluasi terhadap pelaksanaan

pendidikan berikut hasilnya.

10 Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam…, hlm. 29

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |7

c. Penetapan tahap rencana tindakan atau formulasi

prosedur.

d. Penyerahan tanggung jawab, baik terhadap individu

maupun kelompok kerja bersama.11

Fungsi perencanaan menuntut kemampuan berpikir yang

kreatif, imajinatif, serta harus mampu menjembatani berbagai

persoalan dalam lembaga pendidikan. Selain itu, fungsi

perencanaan berbagai persoalan dalam lembaga pendidikan.

Selain itu, fungsi perencanaan harus mampu menjawab

pertanyaan di mana peserta didik berada dan ke mana mereka

harus dibawa.12

Dalam menjalankan fungsi perencanaan, George R. Terry

mengidentifikasi beberapa hal yang harus dilakukan:

a. Menjelaskan dan memastikan serta memantapkan

tujuan yang ingin dicapai.

b. Berusaha meramalkan dan membaca peristiwa dan

keadaan yang akan terjadi di waktu mendatang.

c. Memperkirakan kondisi-kondisi pekerjaan yang akan

dijalankan.

d. Memilih dan menentukan tugas yang sesuai untuk

tercapainya tujuan.

e. Membuat perencanaan secara menyeluruh dengan

menitikberatkan pada aspek kreativitas sehingga

selalu mendapatkan hal-hal atau temuan yang lebih

baik.

f. Membuat kebijakan, prosedur, metode, dan juga

standar kerja yang harus dilaksanakan.

11 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), hlm.

271. 12 St. Marwiyah, dkk., Perencanaan Pembelajaran Kontemporer Berbasis

Kurikulum, (Yogyakarta: Deepublish, 2013), hlm. 19.

8 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

g. Memperkirakan peristiwa beserta setiap

kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

h. Membuat perubahan rencana berdasarkan petunjuk

dan hasil pengawasan atau evaluasi.13

Meskipun secara konseptual fungsi manajemen pendidikan

Islam tidak jauh berbeda dengan fungsi manajemen pendidikan

Islam pada umumnya, tetapi nilai-nilai Islami harus menjadi

sesuatu yang melekat dalam manajemen pendidikan Islam.

Karena itu, dalam mengelola lembaga pendidikan Islam, yang

dibutuhkan bukan sekadar profesionalisme yang tinggi,

melainkan juga ada misi dan niat yang suci serta sikap mental

yang besar dan benar sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.14

2. Fungsi Pengorganisasian

Pengorganisasian adalah suatu mekanisme atau suatu

struktur, yang terstruktur itu semua subjek, perangkat lunak

dan perangkat keras yang kesemuanya dapat bekerja secara

efektif, dan dapat dimanfaatkan menurut fungsi dan porsinya

masing-masing.

Sewaktu Rasulullah membentuk atribut-atribut negara

dalam kedudukan beliau sebagai pemegang kekuasaan

tertinggi, beliau membentuk organisasi yang di dalamnya

terlibat para sahabat beliau15 yang beliau tempatkan pada

kedudukan menurut kecakapan dan ilmu masing-masing. Kita

tidak dapat memungkiri bahwa Rasulullah itu adalah seorang

organisatoris ulung, administrator yang jenius, dan pendidik

13 M.Yayat Herujito, Dasar-dasar Manajemen.., hlm. 28. 14 Muhaimin, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan

Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2015), hlm. 5

15 Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam…, hlm. 30.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |9

yang baik, yang menjadi turutan dan panutan, karena beliau

berfungsi sebagai panutan yang baik (uswatun hasanah).

Dalam pengorganisasian manajemen pendidikan Islam,

terdapat prinsip-prinsip yang mesti dijalankan dengan

konsisten, karena prinsip itulah yang akan memberikan

gambaran seperti apa nantinya organisasi itu berjalan. Prinsip

tersebut meliputi kebebasan, keadilan, dan musyawarah.16

Dengan prinsip kebebasan, seseorang memiliki

kesempatan untuk merealisasikan gagasannya, pikiran,

perkataan, dan juga perbuatannya berlandaskan ajaran Islam.

Sementara, prinsip keadilan meniscayakan bahwa

implementasi putusan dan keputusan dengan mengayomi dan

memuaskan semua pihak. Sedangkan, prinsip musyawarah

bertujuan agar semua pihak dapat bertanggung jawab atas

keputusan yang telah ditetapkan secara bersama.

Thomas S. Bateman, dalam bukunya Manajemen

Kepemimpinan dan Kolaborasi dalam Dunia yang Kompetitif,

mengemukakan bahwa fungsi pengorganisasian bertujuan

mencipatakan organisasi yang dinamis.17 Dan untuk itu, hal-hal

yang dapat dilakukan dan fungsi pengorganisasian antara lain:

a. Membagi pekerjaan ke dalam tugas-tugas yang bersifat

operasional.

b. Melakukan pengelompokan tugas dalam setiap posisi

secara proporsional.

c. Melakukan penggabungan jabatan operasional ke

dalam unit yang saling berkaitan.

16 Maesaroh Lubis, Kapita Selekta Pendidikan (Tasikmalaya: Edu

Publisher, 2018), hlm. 49. 17 Thomas S. Bateman, Manajemen Kepemimpinan dan Kolaborasi dalam

Dunia yang Kompetitif, terj. Chriswan Sungkono dan Alo Akbar Yulianto (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hlm. 22.

10 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

d. Menempatkan orang untuk bekerja sesuai dengan

kapasitasnya.

e. Menyesuaikan tanggung jawab dan wewenang bagi

setiap anggota.

f. Menyediakan fasilitas bagi pegawai.

g. Memastikan bahwa organisasi berjalan sesuai dengan

petunjuk hasil dan pengawasan.18

3. Fungsi Penggerakan

Fungsi penggerakan (actuating) pada dasarnya adalah

bentuk aturan, motivasi, dan bimbingan yang diberikan kepada

semua sumber daya dalam organisasi agar mereka memiliki

kesadaran yang tinggi untuk menjalankan tugasnya dengan

baik. Dalam manajemen pendidikan Islam, fungsi ini

meniscayakan adanya keteladanan, keterbukaan, konsistensi,

keramahan, dan kebijaksanaan.

Berbagai arahan, motivasi, dan bimbingan itu perlu

dilandasi oleh prinsip religius kepada orang lain sehingga

mereka dapat bersungguh-sungguh dalam menjalankan

tugasnya serta menjadikan tugas mereka sebagai bentuk ibadah

dan tanggung jawab kepada Tuhan. Fungsi penggerakan dalam

manajemen lembaga pendidikan juga berarti upaya

menggerakkan semua sumber daya dalam institusi pendidikan

agar mereka bekerja dengan penuh semangat sesuai dengan

tugas masing-masing.19

Banyak kalangan yang menilai bahwa dalam manajemen,

fungsi penggerakan merupakan fungsi yang paling sulit di

antara keseluruhan fungsi manajemen. Sebab, fungsi

penggerakan bersinggungan dengan semua manusia yang

18 M. Yayat Herujito, Dasar-dasar Manajemen…, hlm. 28-29 19 Muhammad Kristiawan, dkk., Manajemen Pendidikan (Yogyakarta:

Deepublish, 2017), hlm. 19.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |11

terlibat dalam suatu organisasi di mana mereka memiliki sifat,

tingkah laku, keyakinan, harapan, emosi, kepuasan, serta

mental yang berbeda-beda. Tidak mengherankan penggerakan

terkadang diganti dengan istilah fungsi kepemimpinan

(leading).20

4. Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan bertujuan mengawasi berbagai

peristiwa yang terjadi dalam suatu organisasi, apakah ia telah

sesuai atau tidak dengan rencana yang sudah disusun. Dalam

manajemen pendidikan, khususnya manajemen pendidikan

Islam, pengawasan dilakukan terutama untuk mengetahui

berbagai kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam proses

pembelajaran.

Pengawasan dapat dikatakan sebagai langkah penentu atau

fungsi terakhir dalam manajemen. Dalam pengawasan, hal

pokok yang dilakukan antara lain adalah dengan melakukan

pengamatan sekaligus pengukuran yang dilakukan untuk

mengetahui apakah pelaksanaan dan hasil kerja yang dicapai

sudah sesuai dengan perencanaan atau tidak.21

Apabila dalam proses pengawasan itu diketahui bahwa

hasil kerja yang dicapai tidak sesuai dengan rencana, maka

penting diketahui apa penyebab dan kendalanya dan

bagaimana caranya agar hasil kerja sesuai dengan rencana yang

diharapkan. Dalam proses pendidikan, fungsi pengawasan tidak

harus dilakukan di akhir tahun, tetapi dapat dilakukan secara

berkala dalam waktu yang lebih pendek. Tujuannya, agar

20 Ibid. 21 Syahrizal Abbas, Manajemen Perguruan Tinggi: Beberapa Catatan

(Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2008), hlm. 102.

12 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

kendala yang ditemukan dapat segera ditangani dengan baik

dan cepat.

Menurut Sulistyoirini, tujuan pengawasan pendidikan

Islam haruslah positif dan konstruktif, yaitu memperbaiki,

mengurangi pemborosan waktu, uang, material dan tenaga di

lembaga pendidikan islam. Di samping itu juga bertujuan untuk

membantu menegakkan agar prosedur, program, standar dan

peraturan ditaati, sehingga dapat mencapai efisiensi lembaga

pendidikan islam yang setinggi-tingginya.22

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam fungsi

pengawasan antara lain:

a. Melakukan pembandingan secara menyeluruh antara

hasil kerja dengan rencana sebelumnya.

b. Memberikan penilaian terhadap hasil pekerjaan sesuai

dengan standar hasil kerja.

c. Melakukan identifikasi data secara terperinci sehingga

dapat diketahui perbandingan antara rencana, hasil

kerja, kendala dengan segenap penyimpangan-

penyimpangannya.

d. Membuat saran tindakan perbaikan.

e. Memberitahukan kepada anggota tentang hasil

pengawasan yang diperoleh.

f. Melaksanakan pengawasan sesuai standar

pengawasan.23

Dalam pendidikan Islam, fungsi pengawasan memiliki

karakter yang berbeda dengan manajemen pendidikan lain.

setidaknya, fungsi pengawasan ini harus diarahkan pada

terbangunnya kesadaran bagi semua pihak bahwa dengan

22 Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam…, hlm. 33. 23M. Yayat Herujito, Dasar-dasar Manajemen (Jakarta: Grasindo, 2001),

hlm. 29-30.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |13

menjalankan pekerjaan, mereka harus bertanggung jawab

karena senantiasa berada di bawah pengawasan Allah Swt.

Sementara, sikap tanggung jawab itu bukan hanya ditujukan

kepada atasan, manajer, tetapi juga kepada Tuhan. Kesadaran

semacam itu akan menjadikan fungsi pengawasan tidak hanya

berdimensi material, tetapi juga spiritual sehingga tujuan dari

pelaksanaan kegiatan dapat tercapai dengan efektif dan

efisien.24

C. Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan Islam bisa dikategorikan sebagai lembaga

industri mulia (noble industry) karena mengembangkan misi

ganda. Pertama, misi profit untuk mencapai keuntungan, ini

dapat dicapai ketika efisiensi dan efektivitas dana bisa tercapai

sehingga pemasukan (income) lebih besar daipada biaya

operasional). Kedua, misi sosial bertujuan untuk mewariskan

dan menginternalisasikan nilai luhur. Ini dapat dicapai secara

maksimal apabila lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki

modal human-capital dan social-capital yang memadai dan juga

memiliki tingkat keefektifan dan efisien yang tinggi.

Oleh karena itu, mengelola lembaga pendidikan Islam tidak

hanya dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, tetapi niat suci.

Sumber daya pendidikan Islam itu setidaknya menyangkut

peserta didik, pendidik, dari tenaga kependidikan (termasuk

didalamnya tenaga administrasi), kurikulum, sarana dan

prasarana, biaya, informasi, proses belajar mengajar,

24 Sri Marmoah, Administrasi dan Supervisi Pendidkan: Teori dan Praktik

(Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm. 86.

14 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

lingkungan, output dan outcome, serta hubungan kerja sama

dengan stakeholders dari lain-lain.25

Dalam membicarakan ruang lingkup manajemen

pendidikan, khususnya manajemen pendidikan Islam, terdapat

beberapa ruang lingkup manajemen, antara lain:

1. Manajemen Kurikulum

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan

yang berisi tentang tujuan, isi, serta bahan pelajaran yang

digunakan sebagai pedoman kegiatan pembelajaran yang harus

dikelola secara efektif dan efisien demi tercapainya tujuan

pendidikan. Di samping itu, manajemen kurikulum juga

menyangkut proses usaha bersama untuk memperlancar

tercapainya tujuan pengajaran dengan menitikberatkan pada

upaya peningkatan kualitas interaksi dalam proses belajar

mengajar.26

Menurut Asmendri, sebagaimana dikutip Indrawan, dalam

manajemen kurikulum, prinsip yang harus diperhatikan adalah

manajemen terciptanya sistem pengelolaan kurikulum secara

kooperatif, sistemik, komprehensif, dan sistemik. Semua itu

harus dijadikan acuan oleh setiap lembaga pendidikan sehingga

tujuan kurikulum atau tujuan pendidikan dapat tercapai.

Karena itu, dalam manajemen kurikulum, aktivitas

terpentingnya adalah aktivitas yang erat kaitannya dengan

tugas guru serta aktivitas yang berkaitan erat dengan proses

pembelajaran dan pengajaran itu sendiri.27

25 Muhalimin, dkk, Manajemen Pendidikan. (Jakarta: Kencana, 2010),

Hlm.5 26 Irjus Indrawan, Pengantar Manajemen Sarana dan Prasarana Sekolah

(Yogyakarta: Deepublish, 2015), hlm. 7. 27 Ibid, hlm. 32.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |15

Dalam masalah kurikulum, biasanya ada tiga yang menjadi

dasar penyusunan kurikulum, yaitu dasar psikologis yang

digunakan untuk mengetahui kemampuan yang diperoleh

peserta didik serta apa yang menjadi kebutuhannya, dasar

sosiologis yang digunakan untuk memenuhi tuntutan

masyarakat terhadap pendidikan, serta dasar filosofis yang

digunakan untuk mengetahui nilai yang akan dicapai.28

Tetapi, khusus kurikulum pendidikan Islam,

pengembangannya harus senantiasa mengacu kepada al-Qur’an

dan hadis sebagai landasan normatifnya. Al-Syaibani,

sebagaimana dikutip Umar, dkk., menerangkan kerangka dasar

tentang kurikulum, antara lain:

a. Dasar agama sebagai ruh dan target tertinggi dalam

kurikulum dengan mengacu kepada sumber utama

ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis.

b. Dasar falsafah yang memberikan pedoman secara

filosofis terhadap tujuan pendidikan Islam sehingga

tujuan, isi, dan organisasi kurikulum mengandung

nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran baik

ditinjau dari sisi ontologis, epistemologis, dan juga

aksiologisnya.

c. Dasar psikologis yang memberikan landasan dalam

perumusan kurikulum agar sejalan dengan

perkembangan psikis peserta didik.

d. Dasar sosial yang memberikan gambaran agar

pendidikan Islam mengakar dalam kehidupan dan

kebudayaan masyarakat.29

28 Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar

Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Bina Aksara, 2008), hlm. 49. 29 Umar, dkk., Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Transformatif (Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm. 101-102.

16 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

2. Manajemen Peserta Didik

Manajemen peserta didik adalah seluruh proses kegiatan

yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja serta

pembinaan secara kontinu terhadap seluruh peserta didik

(dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan) agar dapat

mengikuti proses belajar mengajar (PBM) secara efektif dan

efisien, demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah

ditetapkan. Secara kronologis operasional, rentangan

kegiatannya mulai dari penerimaan peserta didik baru sampai

mereka meninggalkan sekolah (eksit), karena telah tamat,

meninggal dunia, putus sekolah atau karena sebab-sebab lain

sehingga ia tidak terdaftar lagi sebagai peserta didik sekolah.

Pada prinsipnya, manajemen peserta didik merupakan

bentuk layanan lembaga pendidikan yang fokus perhatiannya

tertuju pada pengaturan, pengawasan, dan layanan siswa, baik

di dalam maupun di luar kelas, mulai dari pengenalan,

pendaftaran, sampai pelayanan individual.30

Menurut Eka Prihatin, sebagaimana dikutip Saihudin, agar

manajemen peserta didik dapat dikelola dengan baik, maka

perlu dipahami prinsip-prinsip pengelolaan peserta didik, di

antaranya:

a. Sebagai bagian dari manajemen sekolah, maka

manajemen peserta didik harus memiliki kesamaan

dengan visi, misi, dan tujuan manajemen sekolah

secara keseluruhan.

b. Segala bentuk kegiatan, manajemen peserta didik

harus mengemban visi dalam rangka mendidik siswa.

30 Irjus Indrawan, Op.Cit, hlm. 8.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |17

c. Kegiatan manajemen peserta didik diupayakan untuk

mempersatukan mereka yang sudah pasti memiliki

latar belakang serta bakat berbeda.

d. Kegiatan manajemen peserta didik harus dilihat

sebagai upaya pengaturan terhadap semua aktivitas

peserta didik.

e. Kegiatan manajemen peserta didik harus mendorong

terciptanya kemandirian peserta didik.31

Dilihat dari fungsi kegiatannya, maka fungsi kegiatan

manajemen peserta didik antara lain sebagai berikut:

a. Menangani penerimaan murid baru, yang bentuk

kegiatannya bisa berupa pembentukan panitia,

menentukan syarat pendaftaran, menyediakan

formulir pendaftaran, dan lain sebagainya.

b. Melakukan pencatatan biodata peserta didik.

c. Membuat tata tertib untuk peserta didik baru maupun

lama.

d. Membuat daftar peserta presensi peserta didik.32

Prinsip mendasar yang juga harus dipahami setiap

pengelola pendidikan Islam terkait manajemen peserta didik

adalah pemahaman terhadap peserta didik itu sendiri

berdasarkan perspektif Islam. Di dalam Islam, pendidikan yang

diberikan kepada peserta didik (murid) tidak semata-mata

ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual

mereka, membekali mereka dengan berbagai keterampilan.

Tetapi, hal yang tidak kalah penting juga adalah mengarahkan

mereka untuk menjadi manusia yang beradab.

31 Saihudin, Manajemen Istitusi Pendidikan (Ponorogo: Uwais Inspirasi

Indonesia, 2018), hlm. 95-96. 32 B. Suryobrroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: Rineka

Cipta, 2004), hlm. 74.

18 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Di samping itu, setiap peserta didik juga diarahkan untuk

menjadi manusia yang mampu beradaptasi dengan

perkembangan zaman tanpa harus melepaskan identitas

ketauhidannya. Dengan demikian, pengelola pendidikan Islam,

mau tidak mau, harus memiliki paradigma tentang anak atau

peserta didik serta bagaimana sehatusnya memperlakukan

mereka berdasarkan informasi yang terdapat di dalam al-

Qur’an dan hadis.33

3. Manajemen Kepegawaian

Manajemen kepegawaian atau tenaga pendidikan meliputi

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan

evaluasi kegiatan penerimaan pegawai baru, surat keputusan,

mutasi, surat tugas, berkas tenaga kependidikan, daftar umum

kepegawaian, upaya peningkatan SDM pegawai, serta kinerja

pegawai dalam insitusi pendidikan.34

Menurut Sulistyorini, manajemen kepegawaian (tenaga

pendidik dan kependidikan), termasuk dalam lembaga

pendidikan Islam, mencakup beberapa aspek, seperti

pembinaan dan pengembangan pegawai, promosi dan mutasi,

kompensasi, serta penilaian pegawai.35

Mereka yang termasuk tenaga pendidik dan tenaga

kependidikan memiliki peranan yang sangat penting dan

strategis dalam mencapai tujuan pendidikan. Karenanya,

manajemen kepegawaian dibentuk dengan tujuan

meningkatkan produktivitas dan prestasi kerja pegawai serta

33 Sudirman Anwar, Management of Student Development Perspektif al-

Qur’an dan as-Sunnah (Riau: Yayasan Indragiri, 2015), hlm. 21. 34 Cucun Sunaengsih, dkk., Pengelolaan Pendidikan (Sumedang: UPI

Sumedang Press, 2017), hlm. 4. 35 Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi, dan

Aplikasi (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 67

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |19

mendayagunakan potensi mereka agar mencapai hasil dan

tujuan pendidikan secara optimal.36

Kepegawaian atau disebut juga personalia dalam institusi

pendidikan, dapat dibedakan atas tenaga kependidikan dan

non-kependidikan (pendidik). Tenaga kependidikan meliputi

tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, pengawas,

peneliti, penilik, pustakawan, teknisi sumber belajar,

pengajaran, dan laboran. Sementara, tenaga non-kependidikan

atau tenaga pendidik meliputi pengajar, pembimbing, pelatih.

Di samping itu, ada juga pengelola satuan pendidikan yang

meliputi kepala sekolah, ketua, direktur, rektor, dan termasuk

pimpinan satuan pendidikan luar sekolah.37

4. Manajemen Keuangan

Sebagaimana dalam substansi manajemen pendidikan

Islam lainnya, manajemen keuangan juga harus dilakukan

melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,

pengawasan, dan juga pengendalian. Dalam mengelola institusi

pendidikan, masalah keuangan juga harus dikelola dengan

sebaik-baiknya karena ia akan ikut menentukan berjalannya

kegiatan pendidikan di sekolah.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam manajemen

keuanan antara lain adalah memperoleh dan menetapkan

sumber pendanaan, pelaporan, pemanfaatan dana,

pemeriksaan, dan pertanggungjawaban. Manajemen keuangan

yang menyangkut ketatausahaan yang meliputi pencatatan,

perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban, sehingga

36 Veithzal Rivai Zainal, dkk., Islamic Quality Education Management:

Pentingnya Mengelola Pendidikan Bermutu untuk Melahirkan Manusia Unggul Menurut Islam, Serta Mencerdaskan Umat dengan Pendidikan Bermutu dan Islami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 78.

37 Muhammad Kristiawan, Manajemen Pendidikan, hlm. 9.

20 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

secara keseluruhan manajemen keuangan merupakan

rangkaian aktivitas berupa pengaturan atau pengelolaan

keuangan sekolah.38

Manajemen keuangan lembaga pendidikan Islam harus

dikelola dengan efektif dan efisien. Sebab, dalam penerapannya,

manajemen keuangan akan selalu berkaitan dengan disiplin

keilmuan lainnya, seperti manajemen pemasaran, manajemen

sumber daya manusia, manajemen produksi, metode

kuantitatif, dan akuntansi.39

Dengan demikian, manajemen keuangan dalam institusi

pendidikan tidak hanya menyangkut pencatatan sumber

keuangan sekolah dan pemanfaatannya. Tetapi, di dalamnya

juga menyangkut bagaimana keuangan sekolah dapat

digunakan secara lebih produktif demi mencapai tujuan

pendidikan.

Dalam mengelola keuangan lembaga pendidikan, ada

beberapa prinsip yang harus diperhatikan, antara lain:

a. Prinsip keadilan, yang berarti besarnya pendanaan

pendidikan harus disesuaikan dengan kemampuan

masing-masing.

b. Transparansi, yang berarti adanya keterbukaan dalam

manajemen keuangan sekolah dari sumber dan

jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggung-

jawabannya.

c. Akuntabilitas, yang berarti penggunaan keuangan

sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan

rencana yang telah ditetapkan.

38 Irjus Irawan, Op.Cit, hlm. 6. 39 Mushtafa, Manajemen Keuangan (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), hlm.

2.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |21

d. Efektivitas, yang berarti pembiayaan terhadap

aktivitas sekolah dalam rangka mencapai tujuan

beserta hasil kualitatifnya sesuai dengan rencana

sekolah.

e. Efisiensi, yaitu lebih mengarah kepada adanya

perbandingan yang seimbang antara masukan dan

keluaran atau antara daya dan hasil.40

Hal yang tidak kalah penting diperhatikan adalah bahwa

pengelola pendidikan harus memahami dengan benar antara

manajemen keuangan dan fungsi keuangan. Sementara, fungsi

keuangan merupakan kegiatan utama yang harus dilakukan

oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang tertentu.41

Khusus untuk manajemen keuangan dalam lembaga

pendidikan Islam, prinsip dan nilai-nilai Islami yang

berlandaskan pada pesan moral al-Qur’an dan hadis harus

diperhatikan. Prinsip kejujuran dalam pengaturan keuangan

serta status kejelasan dan kesucian (kehalalan) dalam

mendapatkan sumber pendanaan merupakan aspek yang

penting dipertimbangkan.

Aspek inilah yang dapat membedakan manajemen

keuangan lembaga pendidikan Islam dengan konsep

manajemen pendidikan pada umumnya. Aspek transparansi,

kehalalan, dan terbebasnya sumber keuangan dari jalan yang

haram dan bahkan samar-samar (syubhat) merupakan syarat

untuk keberhasilan lembaga pendidikan Islam dalam

menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas secara

intelektual maupun spiritual.

40 Cucun Sunaengsih, Buku Ajar Pengelolaan…., hlm. 156. 41 Wijaya, dalam Agustinus Hermino, Asesmen Kebutuhan Organisasi

Persekolahan: Tinjauan Perilaku Organisasi Menuju Comprehensive Multilevel Planning (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm. 183.

22 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

5. Manajemen Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana pendidikan merupakan hal yang

berbeda. Sarana pendidikan berkaitan dengan semua fasilitas

atau peralatan yang secara langsung digunakan dalam proses

belajar mengajar, baik sarana itu bergerak atau tidak bergerak,

dan bertujuan agar proses pendidikan berjalan dengan lancar,

teratur, efektif, dan efisien. Gedung, ruang kelas, meja, kursi,

laboratorium, dan media pembelajaran merupakan sarana

pendidikan.

Sementara, prasarana berkaitan dengan fasilitas secara

tidak langsung turut menunjang proses jalannya pendidikan,

seperti halnya halaman, taman sekolah, tata tertib, akses

menuju sekolah, dan sebagainya. Dua hal ini, sarana dan

prasarana, harus dikelola dengan efektif agar tujuan pendidikan

dapat tercapai.

Secara umum, manajemen sarana dan prasarana berfungsi

mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan

sehingga dapat memberikan kontribusi optimal terhadap

proses pendidikan.42 Menurut Mujamil Qomar, sarana dan

prasarana dalam lembaga pendidikan, khususnya lembaga

pendidikan Islam, harus dikelola secara optimal dengan

memperhatikan beberapa prinsip kebutuhan antara lain:

a. Lengkap dan siap pakai setiap saat serta awet.

b. Rapi, indah, dan bersih sehingga menumbuhkan

perasaan senang dan semangat bagi siapa pun yang

memasuki kompleks pendidikan.

c. Kreatif dan inovatif sehingga dapat merangsang

imajinasi kreatif peserta didik.

42 Arinda Firdianti, Implementasi Manajemen Pendidikan Berbasis

Sekolah dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa (Yogyakarta: Gre Publishing, 2018), hlm. 48.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |23

d. Menghindari kecenderungan bongkar-pasang sarana

dengan cara membuat perencanaan pengadaan sarana

dan prasarana yang memiliki jangkauan panjang.

e. Memiliki tempat kegiatan yang bersifat sosio-religius

seperti halnya masjid atau mushalla.43

6. Manajemen Perkantoran

Secara umum, manajemen perkantoran diartikan sebagai

proses kerja sama di dalam kantor yang dilakukan untuk

mencapai tujuan kantor. Proses ini juga harus sudah ditetapkan

sebelumnya berdasarkan fungsi-fungsi manajemen pada

umumnya, yaitu melalui proses perencanaan, pengaturan,

pelaksanaan, dan pengawasan.44

Biasanya, manajemen perkantoran dipahami sebagai

pengelolaan kerja administrasi ketatausahaan. Tetapi,

ketatausahaan itu sendiri hanyalah bagian kecil dari

administrasi yang proses kerjanya memang banyak dilakukan

di dalam kantor. Pemahamana ini acap kali menimbulkan

kesalahpahaman karena tidak sedikit orang yang memahami

bahwa pekerjaan administrasi adalah pekerjaan ketatausahaan.

Administrasi adalah keseluruhan proses kerja sama yang

melibatkan banyak pihak dalam rangka mencapai tujuan secara

efektif. Dengan demikian, manajemen perkantoran dalam

lembaga pendidikan merupakan kerja administrasi yang tidak

hanya dibebankan pada seseorang yang menjabat sebagai

43 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga,

2007), hlm. 171. 44 Suparjati, dkk., Tata Usaha dan Kearsipan (Yogyakarta: Kanisius,

2004), hlm. 4.

24 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

ketatausahaan, melainkan melibatkan semua pihak yang

bekerja di lembaga pendidikan itu sendiri.45

7. Manajemen Hubungan Masyarakat

Salah satu tujuan dari manajemen hubungan masyarakat

atau humas antara lain adalah untuk mengetahui, menilai, dan

menyimpulkan sikap masyarakat terkait dukungan mereka

terhadap lembaga pendidikan. Dengan demikian, fungsi humas

bukan sekadar memberikan informasi kepada masyarakat

tentang fakta-fakta di dalam lembaga pendidikan, tetapi juga

sekaligus mampu menjelaskan banyak hal mengenai seluruh

proses dan kendala pendidikan.

Pengelolaan terhadap humas juga harus dilakukan secara

efektif melalui tahap perencanaan, pengaturan, pelaksanaan,

dan pengawasan. Melalui pengaturan yang efektif, maka humas

dapat memberikan informasi tentang proses pendidikan

sekaligus memperoleh informasi tentang pikiran, kritik, dan

solusi apa saja yang berkembang di masyarakat mengenai

lembaga pendidikan.

Menurut Kristiawan, dalam manajemen humas, ada

beberapa asas yang harus diperhatikan:

a. Objektif dan resmi. Artinya, setiap informasi yang

dikeluarkan tidak bertentangan dengan kebijakan

yang dilaksanakan serta merupakan informasi resmi

dari instansi pendidikan bersangkutan.

b. Memiliki kerja organisasi yang tertib, disiplin, dan

efektif sehingga hubungan dengan masyarakat juga

berjalan dengan efektif.

45 Wildan Zulkarnain dan Raden Bambang Sumarsono, Manajemen

Perkantoran Profesional (Malang: Gunung Samudera, 2015), hlm. 2.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |25

c. Setiap informasi yang dikeluarkan lembaga

pendidikan diupayakan dapat mendorong keinginan

masyarakat untuk ikut berpartisipasi sekaligus

memberikan dukungan kepada masyarakat.

d. Informasi dari humas harus bersifat konsisten

sehingga masyarakat selalu memperoleh informasi

baru atau sesuai dengan kebutuhan mereka.

e. Respons masyarakat harus diperhatikan dengan

sepenuhnya.46

8. Manajemen Unit Penunjang

Untuk mencapai tujuan pendidikan, setiap lembaga

pendidikan tidak hanya memerlukan perangkat pembelajaran

seperti halnya buku dan media pembelajaran lainnya. Tetapi di

samping itu, juga memerlukan unit-unit penunjang lainnya yang

secara langsung maupun tidak langsung mendukung

tercapainya tujuan pendidikan.

Sebagaimana dalam manajemen lainnnya, manajemen unit

penunjang juga harus dikelola melalui proses perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Beberapa hal

yang dapat dikategorikan sebagai unit penunjang pendidikan

antara lain bimbingan dan konseling, perpustakaan, UKS,

olahraga, Pramuka, dan sebagainya.47

Unit penunjang biasanya juga disebut unit layanan khusus.

Unit ini merupakan upaya yang tidak secara langsung berkaitan

dengan proses belajar mengajar di dalam kelas, tetapi pihak

sekolah memberikannya kepada peserta didik dengan tujuan

agar mereka semakin optimal menjalankan proses belajarnya.

46 Muhammad Kristiawan, Manajemen Pendidikan…., hlm. 11-12. 47 Cucun Sunaengsih, Op.Cit, hlm. 5.

26 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Kristiawan mengidentifikasi beberapa unit penunjang atau

layanan khusus yang perlu diberikan kepada peserta didik,

antara lain perpustakaan, UKS, kafetaria, keamanan sekolah

atau sekuriti, serta tempat ibadah. Sekalipun unit-unit tersebut

tidak berkaitan langsung dengan proses belajar mengajar di

dalam kelas, tetapi pengadaannya harus dikelola dengan efektif

dan efisien berdasarkan prinsip manajemen yaitu melalui

proses perencanaan yang matang, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan pengawasan.48

9. Manajemen Ekstrakurikuler

Tercapainya tujuan pendidikan tidak sepenuhnya

ditentukan oleh proses belajar mengajar di dalam kelas. Tetapi,

berbagai kegiatan bersifat mendidik yang diselenggarakan di

luar kelas juga menjadi penunjang bagi keberhasilan

pendidikan itu sendiri. Salah satunya adalah kegiatan

ekstrakurikuler.

Sekalipun kegiatan ekstrakurikuler tidak berkaitan

langsung dengan proses belajar mengajar di dalam kelas, tapi

kegiatan tersebut dapat memberikan peluang kepada peserta

didik untuk memperkaya identitas dan sekaligus meningkatkan

kapasitas belajar mereka.49

Manajemen ekstrakurikuler perlu dikelola melalui proses

perencanaan yang matang, pengorganisasian, pelaksanaan,

serta pengawasan yang tepat sehingga dapat memberikan hasil

yang optimal bagi peserta didik. Dalam lembaga pendidikan

Islam, kegiatan ekstrakurikuler yang perlu mendapat perhatian

48 Muhammad Kristiawan, Op.Cit, hlm. 12. 49 A. Mappadjanti Amien, Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan

Organisasi dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 383.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |27

adalah kegiatan ekstra dalam bidang keagamaan atau

keislaman.

Namun demikian, dalam membuat rencana pengelolaan

kegiatan ekstrakurikuler, terdapat beberapa prinsip yang harus

diperhatikan:

a. Kegiatan ekstrakurikuler harus individual dalam arti

disesuaikan dengan potensi, bakat, dan minat masing-

masing peserta didik.

b. Kegiatan ekstrakurikuler bersifat pilihan atau sesuai

dengan keinginan dan diikuti secara sukarela oleh

peserta didik.

c. Kegiatan ekstrakurikuler menuntut keikutsertaan

peserta didik secara penuh.

d. Kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan dalam suasana

yang disukai dan menggembirakan.

e. Dapat membangun semangat peserta didik untuk

bekerja dengan baik dan berhasil.

f. Memiliki kemanfaatan sosial.

g. Kegiatan ekstrakurikuler dapat mengembangkan

kemampuan dan tanggung jawab sosial bagi peserta

didik.

h. Kegiatan ekstrakurikuler dapat membantu mengem-

bangkan potensi peserta didik untuk kesiapan karier

masa depan mereka.50

Ruang lingkup manajemen tersebut di atas merupakan

komponen-komponen yang saling berkaitan dan tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Dengan kata lain, untuk mencapai

tujuan pendidikan, maka manajemen dalam ruang lingkup

50 Trianto Ibnu Badar at-Taubany dan Hadi Suseno, Desain

Pengembangan Kurikulum 2013 di Madrasah (Depok: Kencana, 2017), hlm. 353.

28 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

manajemen tersebut harus sama-sama dikelola dengan tepat

dan seimbang sehingga dapat memberikan hasil yang efektif

dan efisien.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |29

BAB II

TINJAUAN KRITIS MANAJEMEN

PENDIDIKAN ISLAM

A. Problem Manajemen Pendidikan Islam Klasik

Terjadinya problem manajemen pendidikan Islam klasik bukan

hanya berkaitan dengan belum dijalankannya fungsi-fungsi

manajemen dalam seluruh ruang lingkup manajemen

pendidikan. Tetapi, problem tersebut adakalanya juga berakar

pada sikap masyarakat Islam, termasuk pengelola pendidikan,

terhadap lembaga pendidikan Islam itu sendiri.

Menurut Maesaroh Lubis, pendidikan Islam tidak dapat

dilepaskan dari persoalan-persoalan yang yang melingkupi-

nya,51 yang salah satunya berkaitan dengan keberadaan

masyarakat di dalamnya. Karena itu, membicarakan problem

lembaga pendidikan Islam, mau tidak mau, kita harus

meletakkan keberadaan lembaga pendidikan Islam dalam

kerangka kehidupan masyarakat.

Di tengah-tengah masyarakat, lembaga pendidikan Islam

terkadang masih dipandang secara dikotomis. Artinya, lembaga

pendidikan Islam hanya dipahami sebagai lembaga yang lebih

memprioritaskan pendidikan agama, hanya konsen

mengajarkan aspek ibadah, serta berorientasi pada kehidupan

ukhrawi dan terlepas dari kepentingan duniawi.

Namun demikian, paradigma yang dikotomis terhadap

keberadaan lembaga pendidikan Islam tersebut, satu sisi, juga

51 Maesaroh Lubis, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Tasikmalaya: Edu

Publisher, 2018), hlm. 12

30 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

merupakan problem historis. Dengan kata lain, paradigm

tersebut dibentuk oleh sejarah perkembangan dan praktik

pendidikan Islam sendiri di Indonesia.

Secara historis, praktik pendidikan Islam di Indonesia

sudah berlangsung sejak masuknya agama Islam ke negara

kepulauan ini.52

Menurut Mohammad Kosim, kendati praktik pendidikan

Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke

Nusantara sekitar 15 abad yang lampau, namun kajian

pendidikan Islam di Indonesia sendiri masih terbatas, baik dari

aspek filosofis, sosiologis, dan historis.53

Hal senada juga diungkapkan oleh Azyumardi Azra, yang

mengatakan bahwa kajian kependidikan Islam di Indonesia

belum tergarap secara serius dalam bidang studi Islam lainnya.

Dengan demikian, dapat dipahami jika pemikiran kependidikan

Islam tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan.54

Meskipun kajian sejarah pendidikan Islam di Indonesia

oleh sebagian kalangan dipandang masih belum cukup

memadai, tapi keadaan itu tidak menyurutkan para akademisi

untuk terus mengkaji seperti apa praktik, sejarah, dinamika,

termasuk manajemen pendidikan Islam di Nusantara dari

waktu ke waktu.

52 Selama ini, terdapat beberapa teori berkenaan dengan masuknya

Islam di Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang dari Gujarat dan Malabar. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dan dibawa langsung dari Arab oleh kaum sufi yang menjalankan dakwah Islam di Nusantara. Uraian lebih rinci tentang masalah ini dapat dilihat dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-17 dan 18 (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 24-36

53 Mohammad Kosim, “Kajian Historis Pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal Tadris, Volume I. Nomor 1. (2006), hlm. 30-31

54 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 85

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |31

Potret pendidikan Islam awal di Indonesia sebelum masa

penjajahan acap kali dikategorikan sebagai pendidikan

tradisional. Praktik pendidikan Islam di masa itu lebih

diarahkan untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam, terutama

yang berkaitan dengan pemantapan keimanan dan praktik

ibadah. Sistem yang digunakan pada masa itu masih berupa

halaqah (pengenalan Islam) yang diselenggarakan di langgar

(surau) dan masjid sampai kemudian berdiri lembaga

pesantren yang waktu itu banyak berpusat di pedalaman-

pedalaman pedesaan.

Didirikannya lembaga pendidikan Islam berupa pesantren

di pedalaman pedesaan ini bukannya tanpa alasan. Sebelumnya,

praktik pendidikan Islam banyak dilakukan di kota-kota

pelabuhan. Hal ini dapat dipahami mengingat para penyebar

Islam yang masuk ke Indonesia sebagian besar banyak datang

melalui jalur perdagangan laut, sehingga daerah-daerah dekat

pelabuhan secara perlahan menjadi kota yang tidak saja

berfungsi sebagai pusat ekonomi, tapi sekaligus menjadi pusat

pendidikan Islam itu sendiri.55

Selanjutnya, ketika kota-kota pelabuhan yang menjadi

pusat kaum muslim dan pusat pendidikan Islam jatuh ke tangan

Portugis pada abad ke-16, proses penyebaran Islam yang

menandai praktik awal pendidikan Islam Nusantara ini beralih

ke daerah pedalaman. Di daerah pedalaman atau pedesaan

inilah, kemudian berkembang pesantren-pesantren sebagai

institusi pendidikan Islam di Indonesia.56

55 Hary J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit di Indonesia pada Masa

Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakide (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 28.

56 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 35.

32 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Menurut Nurhayati Djamas, kehadiran Belanda sejak abad

ke-16 tidak hanya membawa misi dagang, tapi sekaligus

menjalankan ekspansi politik kolonial mereka. Kenyataan

tersebut telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap

masyarakat Indonesia, salah satunya terhadap dunia

pendidikan Islam.

Diterapkannya politik etis oleh pemerintah kolonial

Belanda pada abad ke-20 menjadi salah satu tonggak awal

terbentuknya sistem sekolah di Indonesia. Sejak itulah,

masyarakat Indonesia mengenal sistem sekolah dengan

pengetahuan umum sebagai muatan kurikulumnya.57

Didirikannya lembaga pendidikan Islam berupa sekolah-

sekolah oleh Belanda ini juga merupakan awal bagi dimulainya

proses modernisasi pendidikan di Indonesia, termasuk

pendidikan Islam.

Berdasarkan kajian sejarah, sampai paruh kedua abad ke-

19, pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan di

masjid dan pesantren masih merupakan lembaga pendidikan

yang dominan bagi masyarakat Indonesia. Tapi secara perlahan,

mulai terjadi pergeseran terutama sejak diperkenalkannya

model pendidikan sekolah yang dirancang oleh pemerintah

Belanda. Terjadinya pergeseran ini, dalam pandangan

Azyumardi Azra, merupakan awal dari terbentuknya dualisme

pendidikan bagi masyarakat Indonesia yang bersifat dikotomis

(agama dan umum).58

Terjadinya dualisme sistem pendidikan di Indonesia ini

diakibatkan oleh perkembangan dan perluasan lembaga

pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh kalangan Islam

57Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca

Kemerdekaan (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 10. 58 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…., hlm. 97.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |33

pribumi di satu sisi dan didirikannya sekolah-sekolah umum

oleh pemerintah Belanda di sisi yang lain.

Terciptanya dualisme sistem pendidikan Islam di

Indonesia pada waktu itu bukan sekadar melahirkan muatan

pengetahuan yang berbeda, tapi juga menjadi faktor penyebab

lahirnya produk pendidikan dengan corak dan orientasi yang

berbeda pula. Bahkan, menurut Nurhayati, keduanya cenderung

berhadapan sebagaimana dua faksi yang berbeda, di mana

lembaga pendidikan Islam melahirkan para ahli bidang

keislaman namun minim pengetahuan umum, sementara

sekolah umum melahirkan ahli dalam pengetahuan umum tapi

minim ilmu keislaman.59

Cara pandang yang dikotomis terhadap keberadaan

lembaga pendidikan Islam ini, menurut Hambali dan Mu’alimin,

merupakan problem yang sebenarnya sangat klasik. Meskipun

demikian, saat ini tidak menutup kemungkinan ada sebagian

masyarakat, termasuk sebagian pengelola lembaga pendidikan

Islam, yang masih memiliki cara pandang seperti itu.60

Akibat cara pandang yang dikotomis seperti itu, sebagian

lembaga pendidikan Islam terkadang dijalankan tanpa

pengelolaan yang optimal. Sebab, hal yang menjadi prioritas

adalah bagaimana proses transfer pengetahuan tentang ajaran-

ajaran keisalaman bisa tetap berjalan secara rutin tanpa ada

inoovasi yang berarti.

Selain berkaitan dengan cara pandang yang dikotomis,

problem yang dihadapi lembaga pendidikan Islam adalah

menyangkut manajemen atau pengelolaan pendidikan Islam itu

59 Nurhayati Djamas, Op.Cit, hlm. 13. 60 Hambali dan Mu’alimin, Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer:

Stretagi Pengelolaan dan Pemasaran Pendidikan Islam di Era Industri 4.0 (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), hlm. 69.

34 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

sendiri. Hemat penulis, secara garis besar, problem manajemen

pendidikan Islam klasik menyangkut tiga masalah utama:

1. Problem Manajemen Kepemimpinan

Faktor kepemimpinan dalam lembaga pendidikan Islam

juga menjadi problematika tersendiri yang dihadapi lembaga

pendidikan Islam klasik. Secara umum, kepemimpinan

merupakan persoalan yang esensial dalam Islam. Hal ini tersirat

salah satunya dalam sabda Rasulullah saw., kullukum ra’in wa

kullukum mas`ulun ‘an raiyyatihi (setiap diri kalian adalah

pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggung-

jawabannya.61

Dengan menempatkan setiap individu sebagai pemimpin,

maka terkandung sebuah pesan bahwa setiap manusia dituntut

agar mampu menjalankan tugas kepemimpinan atas dirinya

dengan sebaik-baiknya. Sebab, mereka kelak akan diminta

pertanggungjawaan atas kepemimpinan yang dipikulnya.

Apabila setiap individu memiliki keharusan untuk

memimpin dirinya sendiri dengan baik dan benar, tentu

demikian halnya dengan kepemimpinan dalam sebuah

organisasi. Termasuk kepemimpinan dalam lembaga

pendidikan Islam.

Dalam lembaga pendidikan Islam, kepemimpinan

dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada manusia, tetapi

yang tidak kalah penting adalah pertanggungjawaban kita

kepada Allah Swt. Spirit inilah yang menjadikan kepemimpinan

dalam lembaga pendidikan Islam harus benar-benar dijalankan

dengan sebaik-baiknya sebagai bentui ketundukan kita kepada

Sang Pencipta atas amanah kepemimpinan yang dibebankan

kepada kita.

61 HR. Al-Bukhari: 4789

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |35

Masalahnya, sampai saat ini, lembaga pendidikan Islam

masih memiliki problem kepemimpinan yang harus dibenahi.

Tidak sedikit lembaga pendidikan Islam manajemen

kepemimpinannya kurang ideal sehingga tidak mampu

menjalankan tuagsnya dengan efektif.62 Upaya ini penting

dilakukan, sebab membiarkan problem kepemimpinan dalam

lembaga pendidikan Islam terus berlarut-larut akan

berimplikasi pada terganggunya pengelolaan pendidikan secara

umum.

Problem kepemimpinan dalam manajemen pendidikan

Islam dapat dikatakan sebagai problem yang lebih bersifat

filosofis. Dalam manajemen pendidikan Islam klasik, makna

kepemimpinan lebih banyak didasarkan pada pemahaman

bahwa yang disebut pemimpin adalah mereka yang dianugerahi

sifat-sifat unggul dan istimewa yang menjadikannya berbeda

dari orang lain.63 persepsi kepemimpinan seperti ini, secara

tidak langsung, mengandung pemahaman bahwa seorang

pemimpin harus mampu memberikan pengaruh serta dapat

membawa orang lain kepada kondisi tertentu yang

dikehendaki.

Kepemimpinan seorang kiai dalam lembaga pendidikan

pesantren, barangkali merupakan contoh yang tepat dalam hal

ini. Seorang kiai dipandang layak dan pantas untuk dijadikan

sebagai pemimpin karena ia dianggap memiliki keistimewaan

dan keunggulan dibanding orang lain.

Akan tetapi, kepemimpinan dalam pendidikan Islam,

idelanya, tidak hanya didasarkan pada aspek berupa adanya

62 Abdur Rauf, “Transformasi dan Inovasi Manajemen Pendidikan Islam”.

Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, (November 2016), hlm. 335.

63 Muhaimin, Manajemen Pendidikan Islam: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2015), hlm. 29.

36 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

sifat keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki suatu

individu. Sebab, saat ini, kepemimpinan juga bisa ditentukan

oleh tuntutan-tuntutan situasional serta dapat diserahkan

kepada mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukan

langkah revolusioner dan mampu bersifat adaptif terhadap

perkembangan zaman.

Merujuk pada hasil penelitian Mastuhu, bahwa

kepemimpinan dalam lembaga pendidikan Islam terkadang

masih memperlihatkan adanya pola kepemimpinan yang

sentralistik, otoriter, dan karismatik,64 serta lebih

mempertimbangkan popularitas ketokohan seseorang. Pola

kepemimpinan seperti ini, kemunginan besar, dipengaruhi oleh

pemahaman kepemimpinan klasik yang mengartikan bahwa

pemimpin adalah mereka yang memiliki sifat unggul dan

istimewa yang menjadikannya berbeda dengan orang lain.

Untuk mengatasi problem tersebut, sudah saatnya

kepemimpinan dipahami sebagai cara menghadapi peranan

organisasi pendidikan sehingga dapat menjembatani

terlaksanya langkah-langkah pengelolaan manajemen

pendidikan secara menyeluruh.65 Sehingga, dengan demikian,

diperlukan manajemen kependidikan yang benar-benar

memahami tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan

dalam mewujudkan manajemen pendidikan yang efektif secara

menyeluruh demi tercapainya cita-cita pendidikan yang

optimal.

64 Mastuhu, Modernisasi Pondok Pesantren (Jakarta: INIS, 1998) hlm. 22. 65 Muh. Hambali, “Kepemimpinan Berbasis Core Values Sekolah

Unggulan di Malang”. Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 2, Nomor 1, (Mei 2017), hlm. 23.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |37

2. Problem Manajemen Stokeholder

Persoalan klasik lembaga pendidikan Islam yang masih

terasa sampai saat ini adalah kemampuan melakukan

pengelolaan terhadap stakeholder. Sebuah lembaga pendidikan

Islam akan sangat sulit berkembang apabila tidak memiliki

kemampuan menciptakan perubahan yang siginifikan seiring

perkembangan zaman.

Tetapi, untuk dapat melakukan perubahan, lembaga

pendidikan Islam harus terlebih dahulu memahami kebutuhan

dan harapan stakeholder yang melingkupinya. Menurut

Muhaimin, kemampuan sebuah organisasi dalam memahami

harapan dan kebutuhan stakeholder merupakan faktor penting

yang dapat menentukan berjalan atau tidaknya suatu

organisasi. Termasuk lembaga pendidikan.66

Tanpa memahami kebutuhan dan harapan stakeholder-nya,

sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekadar mengalami

kelambanan dalam merespons harapan masyarakat seiring

perkembangan zaman. Tetapi, problem tersebut juga akan

berimplikasi pada terhambatnya proses manajemen pendidikan

Islam secara umum dan menghambat tercapainya tujuan

pendidikan.

Perlunya lembaga pendidikan Islam, seperti halnya

madrasah dan pesantren, memahami kebutuhan dan harapan

stakeholder-nya tidak lain karena keberadaan lembaga

pendidikan Islam bukan lagi semata-mata bertujuan

memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mempelajari

ilmu keislaman. Menurut Karni, lembaga pendidikan Islam saat

ini sudah menjadi aktivitas manusiawi dengan tujuan

meningkatkan peluang serta kemampuan masyarakat agar

66 Muhaimin, Manajemen Pendidikan Islam…., hlm. 23-24

38 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

dapat membantu tercapainya tujuan hidup secara luas.67

Karena itu, keberadaan lembaga pendidikan Islam terkait

dengan bagaimana memahami kebutuhan dan harapan

stakeholder ini mengharuskan dirumuskannya manajemen

strategi oleh setiap lembaga itu sendiri. Sementara, perlunya

manajemen staregi oleh setiap lembaga pendidikan Islam tidak

dapat dilepaskan setidaknya oleh dua faktor penyebab, yaitu

ketatnya persaingan antarlembaga pendidikan dan semakin

banyaknya tuntutan masyarakat atau stakeholder seiring

perkembangan zaman.68 Dua faktor ini merupakan situasi yang

akan terus dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam yang

seandainya tidak disikapi dengan tepat, bukan tidak mungkin

lembaga pendidikan Islam akan semakin ditinggalkan oleh

masyarakat.

Persoalannya adalah lembaga pendidikan Islam klasik

terkadang mengabaikan tuntutan stakeholder-nya. Maka tidak

mengherankan kemudian bila sebagian masyarakat

memandang lembaga pendidikan Islam tradisional yang sulit

menghadapi perkembangan zaman dan memenuhi tuntutan

masyarakat.

3. Problem Manajemen Pembelajaran

Masalah pembelajaran dalam lembaga pendidikan Islam

juga kerap menjadi sasaran kritik dari banyak pakar. Padahal,

aspek ini dapat dikatakan merupakan bagian yang paling

penting dari seluruh proses pendidikan itu sendiri.

Pembelajaran berkaitan erat dengan proses belajar mengajar.

Karena itu, antara belajar, mengajar, dan pembelajaran harus

67 Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam

(Bandung: Mizan, 2009), hlm. 411. 68

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |39

berlangsung secara bersamaan.69 Ketika pembelajaran tidak

dapat berjalan dengan efektif dan efisien, maka tujuan yang

diharapkan akan sangat tercapai.

Salah satu persoalan pembelajaran yang masih sering

ditemukan di lembaga pendidikan Islam klasik antara lain

adalah dominannya penggunaan metode ceramah yang

dilakukan oleh guru sehingga proses transfer ilmu lebih

mendominasi dalam seluruh aktivitas pembelajaran. Dengan

metode seperti itu, guru terkesan lebih berposisi sebagai

sentral daripada mitra peserta didik. dalam materi-materi

tertentu, metode pengajaran semacam itu memang diperlukan,

meskipun tetap diperlukan adanya inovasi dan kreativitas

masing-masing pendidik sehingga tujuan pendidikan dapat

tercapai.

Dari pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa

problem pembelajaran yang terdapat dalam lembaga

pendidikan Islam adalah berkaitan dengan kurangnya

kemampuan dan profesionalitas tenaga pengajarnya.70 Problem

ini pula yang menjadikan pendidikan Islam kerap dipandang

sebagai proses indoktrinatif terhadap peserta didik.

Menurut Moh. Wardi, problem pembelajaran yang dihadapi

lembaga pendidikan Islam klasik secara umum dapat dilihat

sebagai bagian dari problematika landasan epistemologi

pendidikan Islam itu sendiri.71 Padahal, dalam struktur

bangunan pengetahuan, landasan epistemologi merupakan

pijakan utama yang memberikan pemahaman tentang dari

69 Tulus Musthofa, Agung Setyawan, dan Ja’far Shodiq, “Manajemen

Pembelajaran Bahasa Berbasis Integrasi-Interkoneksi Menuju World Classs University”. Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 1 (Mei 2016), hlm. 118.

70 Maesaroh Lubis, Op.Cit, hlm. 15. 71 Moh. Wardi, “Problem Pendidikan Islam dan Solusi Alternatifnya”.

Jurnal Tadris, Volume 8, Nomor 1, (Juni 2013), hlm. 58.

40 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

mana ilmu pengetahuan diperoleh dan bagaimana cara

mendapatkannya.

Lemahnya pemahaman akan landasan epistemologi ini

menjadikan proses pembelajaran dalam pendidikan Islam

melahirkan problem lainnya, antara lain:

a. Pendidikan Islam acap kali dipandang sebagai

pendidikan tradisional dan konservatif karena

lemahnya penggunaan metodologi pembelajarannya

yang kurang menarik.

b. Pendidikan Islam dipandang kurang namun mampu

mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif

menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan

dalam diri seseorang lewat berbagai media dan cara.

c. Metodologi pengajaran dipandang konvensional karena

menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual

dan menekankan kemampuan menghafal daripada

merangsang anak didik menghadapi isu-isu yang ada di

era modern.72

Berangkat dari problem inilah, maka manajemen

pembelajaran di lingkungan pendidikan Islam perlu

dikembangkan dengan terlebih dahulu memahami aspek

ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari konsep pendidikan

Islam itu sendiri.

Ketiga problem manajemen tersebut merupakan persoalan

yang paling banyak dihadapi lembaga pendidikan Islam.

Kepemimpinan yangt tidak dapat menjalankan fungsi-fungsi

manajemen dalam dunia pendidikan menyebabkan efektivitas

pengelolaan seluruh ruang lingkup manajemen pendidikan

kurang optimal. Sementara, kurangnya memahami kemauan

72 Ibid, hlm. 59-60.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |41

dan harapan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan

menjadikan pendidikan seperti berjalan di tempat. Hal ini juga

berimbas pada tidak adanya inovasi dan kreasi dalam proses

pembelajaran sehingga menjadikan lembaga pendidikan Islam

kerap dipandang tradisional dan konservatif.

B. Problem Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer

Meskipun pada awalnya terjadi dualisme dan paradigm yang

dikotomis dalam sistem pendidikan Islam (agama-umum),

tetapi sejak awal abad ke-20, problem tersebut perlahan mulai

mencair. Hal ini seiring dengan diintroduksinya mata pelajaran

umum, seperti membaca huruf Latin, ilmu bumi, dan ilmu

umum lainnya ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Meskipun

demikian, dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan agama Islam

masih tetap diutamakan.

Tetapi, walaupun demikian, pendidikan Islam di Indonesia

yang awalnya menitik beratkan pada kajian keisalaman, mulai

berubah. Kurikulum dan mata pelajaran umum mulai

diperkenalkan, termasuk di pesantren. Dan perubahan ini

sebenarnya juga merupakan akibat dari interaksi yang makin

intens antara umat Islam Indonesia dengan dunia luar beserta

sistem pendidikan yang mereka kenyam di luar sana.

Mahmud Yunus mengemukakan bahwa modernsasi

pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak

tahun 1931, seiring dengan lahirnya ide-ide pembaruan

pendidikan Islam oleh masyarakat pribumi sekembalinya

mereka belajar dari Timur Tengah, khususnya Makkah.73 Hal ini

mengindikasikan bahwa modernisasi pendidikan Islam di

Indonesia bukan semata-mata dipengaruhi oleh didirikannya

73 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:

Hidakarya Agung, 1984), hlm. 198.

42 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

sistem dan lembaga pendidikan berupa sekolah oleh Belanda.

Tapi juga dipengaruhi oleh persentuhan orang-orang pribumi

dengan dunia-dunia Islam sehingga berimplikasi terhadap

terjadinya pembaruan dalam sistem pendidikan Islam di masa

itu.

Seiring berjalannya waktu, pendidikan Islam di Indonesia

yang awalnya masih sangat tradisional kemudian bergeser dan

berubah menjadi pendidikan Islam yang modern.74 Perubahan

ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor dan unsur kemodernan

dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia. Hal itu ditandai

antara lain oleh:

Pertama, didirikannya lembaga pendidikan berupa

madrasah. Keberadaan madrasah sebagai lembaga pendidikan

Islam sebenarnya bukan hal yang baru. Lembaga pendidikan

madrasah mulai diperkenalkan sekitar abad ke-5 H, yaitu sejak

didirikannya Madrasah Nizhamiyan di Baghdad oleh penguasa

Nizham al-Muluk dari Dinasti Bani Seljuk pada tahun 459

H/1067 M. Berdirinya Madrasah Nizhamiyah ini kemudian

diikuti oleh kota-kota lain di Timur Tengah, seperti kota

Makkah dan Madinah. Di Makkah, madrasah yang mula-mula

didirikan adalah Madrasah al-Usrufiyah pada tahun 571

74 Di antara faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya modernisasi

pendidikan Islam di Indonesia adalah (1) diperkenalkannya sistem sekolah oleh Belanda (2) kembalinya orang-orang pribumi ke Tanah Air setelah mereka mengenyam pendidikan, terutama di Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah dan menggulirkan ide-ide pembaharuan Islam yang berimplikasi terhadap dunia pendidikan Islam; (3) didirikannya lembaga pendidikan berupa madrasah dengan sistem klasikal sebagaimana Belanda mendirikan sekolah; (4) diintroduskinya ilmu pengetahuan umum di madrasah dan pesantren; (5) tuntutan zaman yang meniscayakan masyarakat untuk menguasai tidak saja ilmu agama, namun juga ilmu umum dan keterampilan lainnya; (6)diintegrasikannya pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Lihat Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam…., hlm. 15-30

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |43

H/1175 M atas prakarsa Afif Abdullah Muhammad al-Ursufi.75

Hemat penulis, didirikannya madrasah di Indonesia ini juga

tidak lepas dari pengaruh adanya madrasah di Makkah dan

Madinah, mengingat sebagian masyarakat pribumi ada yang

menimba ilmu di sana.

Kedua, diintegrasikannya ilmu umum ke dalam madrasah,

dan sebaliknya ilmu agama di sekolah umum. Terjadinya

integrasi ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga pendidikan Islam,

seperti madrasah dan pesantren, juga menandakan terjadinya

proses modernisasi dalam pendidikan Islam. Dengan demikian,

lembaga pendidikan Islam dalam perkembangannya tidak

memokuskan diri pada pengajaran materi-materi keislaman an

sich. Di samping itu, lembaga pendidikan Islam juga mulai

terbuka untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan umum

sebagaimana materi-materi itu sebelumnya banyak diajarkan di

sekolah-sekolah umum.

Menurut catatan sejarah, lembaga pendidikan Islam yang

mula-mula merintis langkah pengintegrasian ini adalah

Madrasah Mambul Ulum (memasukkan ilmu umum ke

madrasah) Surakarta dan Sekolah Adabiyah (memasukkan ilmu

agama ke sekolah yang menerapkan sistem persekolahan

Barat). Lembaga ini didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di

Padang sekitar tahun 1915. Rintisan ini menurut Deliar Noer,

merupakan langkah awal pengintegrasian pendidikan Islam ke

dalam sistem persekolahan umum.76

Terjadinya integrasi ini, pada akhirnya, juga menginspirasi

lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya, seperri pesantren.

Sehingga, materi pelajaran umum juga dipelajari dalam

lembaga pendidikan Islam tersebut. Beberapa pesantren yang

75 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, hlm. 62-63. 76 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES,

1980), hlm. 45.

44 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

mulai melakukan proses pengintegrasian ini antara lain Pondok

Pesantren Tebu Ireng Jombang, Surau Jembatan Besi

Minangkabau, dan Sumatera Thawalib. Semua itu, menurut

Azyumardi Azra, merupakan bagian dari modernisasi

pendidikan Islam yang berlangsung sejak abad ke-20.77

Ketiga, modernisasi pendidikan Islam Indonesia juga

ditandai oleh adanya payung kebijakan pemerintah yang

menjadi landasan bagi terbentuknya Sistem Pendidikan

Nasional. Dengan adanya payung kebijakan tersebut, maka

lembaga pendidikan Islam juga memperoleh perhatian yang

sama dari pemerintah sebagaimana sekolah-sekolah lain,

terutama dalam mengembangkan kurikulum, aspek

kelembagaan, manajemen, kreativitas, materi, dan metode.

Dengan adanya kebijakan tersebut, maka dikotomi antara

sistem pendidikan Islam dan persekolahan umum yang

mengadopsi Barat dapat terjembatani,78meskipun di tengah-

tengah masyarakat sendiri persepsi tentang adanya pendidikan

agama dan umum masih dapat ditemukan hingga saat ini.

Setelah masa kemerdekaan hingga masa reformasi,

kebutuhan umat Islam Indonesia terhadap pendidika semakin

meningkat. Hal ini secara tidak langsung menuntut pemerintah

dan praktisi pendidikan mengapresiasi kebutuhan tersebut.

Salah satunya, dengan semakin memodernisasi sistem

pendidikan nasional, termasuk dalam sistem pendidikan Islam.

Menurut Marwan Saridjo, perlunya untuk terus melakukan

modernisasi pendidikan itu dilatarbelakangi oleh fungsi

pendidikan pada masyarakat yang semakin modern, yang

meliputi sosialisasi, pembelajaran, dan pendidikan (education).

77 Azyumardi Azra, “Pembaharuan Pendidikan Islam, Sebuah Pengantar,”

dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amisco, 1996), hlm. 12.

78

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |45

Sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan merupakan wahana

integrasi bagi anak untuk mencapai dan menempati kedudukan

sosial ekonomi tertentu.

Karena itu, pendidikan diarahkan untuk membekali

peserta didik dengan kualifikasi tertentu agar dapat men-

jalankan peran sosial ekonominya di masyarakat. Sementara

fungsi pendidikan dalam bentuk edukasi merupakan wahana

untuk menciptakan kelompok yang elite yang akan mem-

berikan sumbangan besar bagi kelangsungan pembangunan

masyarakat. Untuk mencapai ketiga fungsi dan tujuan

pendidikan itu, maka pendidikan, dalam proses modernisasi,

mengalami perubahan-perubahan fungsional dan perubahan

sistem.79

Dari sini, dapat digarisbawahi bahwa pendidikan Islam di

Indonesia sejak akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 ini

mengalami banyak sekali perubahan. Perubahan-perubahan itu

menyangkut aspek kelembagaan, manajemen, sistem pen-

didikan yang diterapkan, pola atau model pendidikan, dan

seterusnya. Perubahan-perubahan itu merupakan sesuatu yang

wajar. Selain karena mengikuti peraturan dan kebijakan

pemerintah, hal itu juga dipengaruhi oleh tuntutan masyarakat

muslim dan paradigma mereka terhadap pendidikan.

Bahkan, perubahan itu juga banyak dipengaruhi oleh

makin instensifnya interaksi masyarakat muslim Indonesia

dengan dunia luar, baik sejak masa kolonial hingga saat ini. Dari

interaksi itulah, kemudian muncul gagasan untuk semakin

memodernisasi pendidikan Islam yang menuntut keselerasan

dengan perkembangan zaman. Situasi itulah kemudian yang

menandai lahirnya pemikiran pendidikan Islam kontemporer

Indonesia.

79 Marwan Saridjo, Op.Cit, hlm. 3-4.

46 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Implementasi dari pemikiran pendidikan Islam kontem-

porer Indonesia ini dapat ditandai oleh beberapa perubahan

mendasar. Pertama, terjadinya perubahan kelembagaan mulai

dari pesantren, madrasah, hingga berdirinya sekolah-sekolah

Islam unggulan. Kedua, diutamakannya penguasaan sains dan

keterampilan teknologi. Ketiga, tersedianya infrastruktur

pendidikan yang modern dan canggih untuk mendukung

tercapainya tujuan yang diharapkan. Keempat, terbentuknya

sistem klasikal dan metode pendidikan baru. Kelima,

berubahnya bentuk hubungan antara guru dan murid, dari yang

semula personal (intruktif) menjadi formal (fasilitatif). Keenam,

berubahnya otoritas kiai ke manajemen pendidikan terkini.80

Ketujuh, berdirinya perguruan tinggi Islam dengan berbagai

konsentrasi keilmuan serta tenaga pengajar profesional dengan

latar belakang pendidikan mereka yang beragam, modern, dan

lulusan luar negeri.

Meskipun demikian, ada problem dan tantangan tersendiri

yang dihadapi lembaga pendidikan Islam di Indonesia di zaman

modern seperti sekarang. Menurut Ali Maksum, berdirinya

pendidikan modern saat ini justru memunculkan lahirnya

ketidakpuasan paradigma modern.81 Secara sederhana dapat

dikatakan bahwa berdirinya pendidikan modern sekarang ini

dengan segala aktivitasnya justru dipandang masih belum

mampu menyelesaikan persoalan manusia. Bahkan, terkadang

sangat bertolak belakang dengan persoalan kemanusiaan itu

sendiri.

Kemudian, terkait dengan pendidikan Islam, meskipun saat

ini tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang mengadopsi

80 Nurhayati Djamas, Op.Cit, hlm. 195-206. 81 Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhaendi, Paradigma Pendidikan

Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari Visi “Baru” Atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), hlm. 13.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |47

ide-ide modernisasi dalam seluruh aktivitasnya, tetapi hal itu

belum bisa mewujudkan hasil yang memuaskan. Salah satu

problem kontemporer yang menghantui lembaga pendidikan

Islam saat ini adalah terkait dengan paradigm tentang

pendidikan Islam.

Salah satu pertanyaan yang menjadikan kajian paradigma

pendidikan Islam ini selalu relevan adalah ke mana arah

pendidikan Islam di masa depan akan dibawa?

Fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa

terkadang pendidikan Islam cenderung mengikuti begitu saja

arus perubahan yang terjadi. Kenyataan ini, cepat atau lambat,

pada akhirnya akan membuka peluang bagi hilangnya jati diri

pendidikan Islam. Pendidikan Islam hadir hanya sebagai

pengikut arus perubahan, namun tidak dapat memainkan dan

memberikan peranan yang aktif dalam arus perubahan dan laju

modernisasi yang ada.

Pada saat pendidikan Islam hanya mampu menjadi

pengikut dari arus modernisasi tanpa bisa memainkan peranan

yang aktif di dalamnya, maka upaya pengelolaan pendidikan

Islam hanya disibukkan untuk mengurusi hal-hal yang sifatnya

teknis belaka. Adapun hal yang menjadi perhatian utama para

pengelola pendidikan Islam kemudian bukan lagi mem-

pertimbangkan aktivitas pendidikan yang lebih substansial dan

esensial. Tetapi justru sekadar fokus pada bagaimana

menyiapkan lulusan pendidikan Islam agar bisa juga dipakai

sesuai dengan tuntutan industri global.

Berangkat dari uraian di atas, maka problem mendasar

yang dihadapi lembaga pendidikan Islam di era kontemporer

seperti sekarang ini adalah terjadinya pergeseran pemahaman

di kalangan pengelola pendidikan tentang tujuan substansial

dan esensial dari pendidikan Islam itu sendiri. Terjadinya

48 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

pergeseran ini akan memengaruhi pengelolaan pendidikan

Islam secara keseluruhan.

Oleh karena itu, para pengelola pendidikan Islam perlu

merumuskan kembali tujuan pendidikan Islam. Meskipun

pendidikan Islam sudah dikelola secara modern, tapi jika

tujuan-tujuannya dibiarkan hanya mengikuti atau memenuhi

arus modernisasi, seperti menyiapkan lahirnya generasi yang

siap bersaing dalam dunia industrialisasi. Lebih dari itu, tujuan

pendidikan Islam juga menyangkut pada terciptanya perbaikan

kehidupan sosial, kehidupan umat, serta menjadikan peserta

didik selalu memiliki kesadaran aktual akan kehadiran Allah

dalam setiap langkah, perilaku, dan pilihan hidupnya.82 Dengan

tujuan seperti itu, pendidikan Islam diharapkan agar tetap

dapat mempertahankan jati dirinya sebagai upaya

memanusiakan manusia, dan bukannya menjadikan manusia

sekadar sebagai mesin-mesin industri.

Abdurrahman Saleh Abdullah merumuskan bahwa ada

empat tujuan dalam pendidikan Islam. Pertama, pendidikan

Islam bertujuan mengembangkan potensi akal atau intelegensi

manusia melalui serangkaian upaya menemukan kebenaran,

sebab-sebab, serta tanda-tanda kekuasaan Allah serta

menangkap pesan dari setiap ayat-ayat-Nya sehingga

membawanya kepada keimanan kepada Sang Pencipta. Tujuan

ini, di dalamnya, terkandung tahap pencapaian kebenaran

empiris sekaligus meta-empiris atau metafisika.

Kedua, pendidikan Islam bertujuan mendidik rohani

manusia. Artinya, pendidikan Islam itu harus dapat

meningkatkan jiwa kepasrahan atau kesetiaan kepada Allah

dan merealisasikan ajaran moral Islami sebagaimana pesan

82 Abdul Munir Mulkhan, “Manajer Pendidik dalam Rekonstruksi

Kesalehan Makrifat”. Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volome 1, Nomor 1, (Mei 2016), hlm. 2.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |49

moral dalam al-Qur’an serta yang dicontohkan oleh Nabi

Muhammad saw. Ketiga, pendidikan Islam bertujuan

mengembangkan kecakapan jasmani, dalam arti harus mampu

mempersiapkan peserta didik sebagai generasi yang siap

menjalankan tugasnya sebagai khalifah berdasarkan pada

dimilikinya kecakapan dan keterampilan fisik. Keempat,

pendidikan Islam bertujuan mengembangkan kecakapan sosial,

yaitu terbentuknya manusia yang kuat secara rohani, cerdas

secara akal, terampil, serta dapat memanfaatkan semua potensi

yang dimilikinya untuk dapat memberikan manfaat bagi sesama

manusia dan lingkungannya.83

Dalam konteks yang lebih modern, Ali Asraf, dalam Horison

Baru Pendidikan Islam, merumuskan enam tujuan pendidikan

yang harus dipahami oleh pengelola pendidikan Islam. Pertama,

pendidikan Islam bertujuan mengembangkan wawasan

spiritual sekaligus pemahaman rasional tentang Islam dalam

konteks kehidupan yang semakin modern.

Kedua, pendidikan Islam bertujuan membekali peserta

didik dengan pengetahuan dan kebajikan, pengetahuan praktis,

kesejahteraan, lingkungan sosial, bahkan pembangunan

nasional. Ketiga, pendidikan Islam bertujuan mengembangkan

kemampuan peserta didik agar percaya diri dalam menghargai

dan membenarkan kebudayaan Islam sebagai kebudayaan yang

lebih tinggi dari kebudayaan lain melalui pemahaman yang

mendalam terhadap kebudayaan Islam itu sendiri.

Keempat, pendidikan Islam bertujuan memperbaiki

dorongan serta motivasi peserta didik untuk mengetahui norma

Islam yang salah dan meninggalkannya. Kelima, pendidikan

Islam bertujuan melatih kemampuan peserta didik agar

83 Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory: Qur’anic Outlook

(Makkah: Ummul Qura Universiy, 1982), hlm. 119.

50 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

sanggup berpikir logis, hipotesis, dan sistematis berdasarkan

semangat memperoleh kebenaran sebagaimana digariskan al-

Qur’an. Keenam, pendidikan Islam bertujuan mengembangkan

dan memperdalam kemampuan peserta didik dalam

berkomunikasi baik lisan maupun tulisan.84

Dari uraian di atas, dapat penulis garis bawahi bahwa

problem yang dihadapi manajemen pendidikan Islam di era

kontemporer ini dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, ide-ide

modernisme yang dijadikan sebagai pijakan utama dalam

mengelola pendidikan Islam berpeluang besar menjadikan

lembaga pendidikan Islam kehilangan jati dirinya. Alih-alih

melahirkan melahirkan generasi yang kuat secara keimanan

dan keilmuan, pendidikan Islam justru hanya akan disibukkan

untuk berkompetisi menciptakan lulusan-lulusan yang sekadar

siap pakai, siap kerja dalam era industrialisasi yang modern

yang semakin mengglobal. Sejatinya berdampak pada

penddidikan karakter dan kecerdasan akal tidak paralel dalam

menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan

berkarakter jujur. Hal ini dapat dicermati dalam pembelajaran

yang lebih menekankan keberhasilan menguasai rumus-rumus

daripada mendalami nilai-nilai dalam membentuk karakter

kejujuran sebagai bekal menjalani kehidupan bersama.

Kedua, kurangnya pemahaman tentang tujuan pendidikan

Islam berpotensi menjadikan lembaga pendidikan Islam

kehilangan substansi dan esensinya. Akibatnya, berbagai upaya

modernisasi manajemen pendidikan Islam dilakukan hanya

untuk menjadikan lembaga pendidikan Islam semakin ‘laku’

dijual di tengah-tengah masyarakat. Tak hanya itu, berbagai

tuntutan kemauan, dan harapan masyarakat di era industri

seperti saat ini kerap disikapi secara tidak kritis. Hal ini

84 Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan (Jakarta: Firdaus, 1989), hlm. 130.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |51

mengakibatkan lembaga pendidikan Islam hanya menjadi

pengikut arus modernisasi tanpa bisa mewarnai di dalamnya.

Aspek realita di masyarakat, pola pembelajaran mulai bergeser

dari manual menuju era digital yang terkoneksi internet

manakala mencari sumber rujukan, tidak percaya kepada guru,

namun percaya pada jenis aplikasi.

C. Problem Manajemen Organisasi Pendidikan Islam

Problematika manajemen pendidikan Islam secara global dibagi

menjadi masa klasik dan masa kontemporer. Keduanya

menghadapi krisis eksistensi sebagai wadah berhimpun dalam

mengembangkan inovasi pendidikan Islam. Sejatinya,

organisasi pendidikan Islam merupakan sebuah wadah untuk

merancang pembentukan karakter yang memiliki daya tahan

dan daya saing untuk menghadapi masa depan.

Organisasi pendidikan Islam, dalam mewujudkan daya

tahan dan daya saing, meletakkan inovasi bukan sekadar pada

performa organisasi sebagai wadah, namun organisasi sebagai

proses membentuk karakter yang dilandasi filosofi bahwa

pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Bukan juga

menggeser eksistensi peran manusia dan digantikan

keceradasan buat berupa robot atau kecanggihan teknologi

komunikasi dan informasi.

Kedudukan kemajuan teknologi merupakan penunjang

peranan manusia dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen.

Lebih khusus lagi adalah masalah manajemen organisasi

pendidikan Islam. Manajemen menempatkan organisasi sebagai

wadah ekosistem yang menyelaraskan keragaman kebutuhan

anggota organisasi yang bertujuan memenuhi kebutuhan dasar

manusia sebagai makhluk individu maupun sosial. Kebutuhan

52 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

interaksi sosial melekat pada setiap manusia sebagai makhluk

sosial. Dalam perkembangan sejarahnya, manusia membentuk

kelompok-kelompok atau organisasi kemasyarakatan, termasuk

juga organisasi pendidikan.

Perkembangan pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan

dari kondisi kelembagaan dan bangunan tempat belajar yang

dimulai pada masa Rasulullah saw. dan pasca beliau.85 Sejarah

mencatat nama-nama tempat yang mengalami perubahan dan

ruang lingkup materi yang merupakan cikal bakal lahirnya

inovasi pendidikan Islam dalam beragam bentuk organisasi

yang relevan pada zamannya, meskipun hal itu masih terbatas

pada fasilitas, seperti bangunan gedung, metode pembelajaran

serta kurikulum yang telah digunakannya.

No Nama Tempat

Belajar

Wilayah

1 Dar al-Arqam Rasulullah saw. awalnya menggunakan

rumah Arqam bin Abi al-Arqam di al-

Safa

2 Masjid Setelah Hijrah ke Madinah, Rasulullah

saw. menggunakan Masjid Quba’

sebagai tempat pendidikan pertama

kalinya.

3 Shuffah Masjid Nabawi mempunyai Shuffah,

suatu tempat ibadah yang ber-

hubungan langsung dengan tempat

belajar dan juga tempat tinggal.

4 Kuttab Tempat ini didirikan oleh bangsa Arab

sebelum kedatangan Islam, dan

85

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |53

bertujuan memberi pendidikan kepada

anak-anak

5 Manzil Ulama

dan Istana

Majelis ilmu ini berkembang di

kalangan para ilmuwan, rumah Ibnu

Sina, Muhammad Ibnu Tahir Bahram,

dan Abu Sulaiman, serta di Khalifah

Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan.

6 Perpustakaan

Umum

Khalifah Harun al-Rasyid mendirikan

perpustakaan umum (Baitul Hikmah)

di Kota Baghdad.

7 Perpustakaan

Semi Umum

Perpustakaan ini dimiliki oleh para

khalifah atau raja-raja yang dibangun

dalam kompleks istana. Misalnya,

Kerajaan Fatimiyah mendirikan per-

pustakaan besar di Istana Kaherah

untuk menyaingi perpustakaan

khalifah-khalifah Baghdad (Abbasiyah).

8 Perpustakaan

Khusus

Perpustakaan ini biasanya bersifat

privat, seperti perpustakaan Hunain

Ibnu Ishaq.

9 Madrasah Tempat ini pengganti masjid yang tidak

mampu menampung kegiatan pem-

belajaran. Madrasah Baihaqiyah meru-

pakan madrasah madrasah pertama

yang didirikan oleh penduduk

Naisabur.

Nama-nama tempat belajar tersebut menggambarkan

bahwa setiap zaman mengalami perubahan organisasi

pendidikan, termasuk inovasi orientasi pendidikan Islam

bentuknya yang mempunyai karakteristik beragam di zaman

klasik. Keragaman ini mencirikan kebutuhan dasar organisasi

54 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

sebagai ekosistem terselenggaranya tujuan pendidikan Islam

secara holistik. Tujuan pendidikan bukan pada capaian yang

bersifat persial, yaitu kemahiran penguasaan konsep ilmu

pengetahuan dan keahlian vokasional. Namun, sejatinya, tujuan

pendidikan secara utuh adalah membentuk kepribadian yang

berkarakter kuat yang berbasis pada kedalaman pengetahuan

dan vokasi. Hal ini ditunjukkan saat Nabi Muhammad saw.

memulai tugasnya sebagai rasul, yaitu melaksanakan tugas

menyempurnakan akhlak manusia. Ini artinya bahwa

pendidikan dan organisasi mempunyai relasi dalam mem-

bangun ekosistem pendidikan yang berbasis masyarakat yang

tidak dibatasi oleh standardisasi sistem pendidikan, seperti di

masa kontemporer saat ini. Organisasi pendidikan pada masa

Nabi saw. tidak lebih sebagai wadah dalam membentuk

ekosistem, suatu masyarakat yang beradab (madinah). Hal ini

ditunjukkan saat Nabi Muhammad saw. memulai tugasnya

sebagai rasul, yaitu melaksanakan tugas menyempurnakan

akhlak manusia melalui pendidikan Islam.

Organisasi pendidikan yang digunakan oleh Nabi

Muhammad saw. telah menggunakan rumah Al-Arqam bin al-

Arqam. Hal ini merupakan bentuk kesetiaan Al-Arqam kepada

Nabi Muhammad saw. Pilihan tempat ini juga didasarkan pada

aspek geografisnya karena terlindung dari ancaman kaum

Quraisy sehingga akan memberikan keamanan dan ketenangan

bagi kaum muslimin yang sedang mengadakan kegiatan dan

pertemuan untuk menerima pelajaran atau wahyu yang

disampaikan oleh Rasulullah saw.

Demikian juga, selama proses pendidikan di Madinah,

beliau membangun fondasi terlebih dahulu dalam melaksana-

kan dakwah Islam, yaitu dengan membangun membangun

masjid. Masjid Quba’ merupakan masjid pertama yang dijadikan

pusat pendidikan Rasulullah saw. setelah hijrah ke Madinah. Di

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |55

masjid inilah, beliau mengajarkan dan menyampaikan prinsip-

prinsip ajaran Islam.86 Masjid sebagai wadah transformasi nilai-

nilai pendidikan dalam membentuk kepribadian yang baik. saat

itu, masjid tidak sekadar tempat untuk kegiatan ritual

keagamaan, namun juga sebagai pusat organisasi yang

menyemaikan dasar-dasar bertauhid yang benar dan mengasah

kemampuan intelektual. Organisasi pendidikan merupakan

wadah pengembangan potensi agar mampu membaca logika

masa depan. Sebab, pendidikan merupakan investasi yang

hasilnya diperoleh dalam jangka waktu yang panjang. Aspek

yang dibutuhkan inovasi minimal mencakup aspek diferensiasi

mutu layanan jasa dan pembaruan teknologi sebagai penunjang

infrastruktur organisasi pendidikan Islam.

Aspek diferensiasi mutu layanan jasa adalah mendekatkan

standarisasi layanan organisasi pendidikan dengan harapan

stakeholder pendidikan. Organisasi pendidikan merupakan

wadah yang dinamis agar dapat merespons kebutuhan

masyarakat. Persoalan mendasar adalah meletakkan mindset

dari organisasi regulator menjadi organisasi layanan. Ini artinya

mengubah cara berpikir pengeola pendidikan dengan pengguna

pendidikan sehingga paralel dalam membuat standar layanan

yang mempunyai keunggulan, kekhususan, dan kegunaan.

Standar layanan tersebut mempunyai pembeda dari organisasi

pendidikan lainnya, yang diharapkan melahirkan ekosistem

baru.

Sedangkan, aspek pembaruan teknologi membantu akse-

lerasi organisasi pendidikan Islam dalam menyajikan layanan

pendidik yang semula manual menjadi digital. Sejatinya,

organisasi merupakan wadah interaksi sosial antara guru

86 Muhammad al-Sadiq Argun, Rasulullah SAW (Beriut: Dar al-Qalam,

1985), hlm. 33.

56 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

dengan guru maupun guru dengan murid, dan tentunya juga

antara murid dengan murid, dan ditambah lagi dengan interaksi

itu terjadi di rumah masing-masing.87 Kedudukan teknologi itu

bukan utama, namun sebagai penunjang akselerasi organisasi

pendidikan agar dapat melampaui harapan masyarakat luas.

Saat ini kebutuhan organisasi pendidikan tidak sebagai-

mana yang terjadi pada zaman klasik yang cukup tersedia ruang

belajar yang sangat sederhana, baik sarana belajar, standar

kompetensi pendidik, dan tenaga kependidikan. Kebutuhannya

adalah kemampuan organisasi pendidikan melakukan inovasi

secara terus-menerus baik substansi materi yang relevan

dengan zamannya maupun performa kelembagaan yang unggul.

Kebutuhannya itu akan tercapai manakala penguasaan

teknologi yang mengalami lompatan-lompatan inovasi di dunia

industry yang bergerak pada layanan jasa, jika banyak

organisasi yang menjamur dalam menawarkan layanan jasa

yang beragam dan memilih segmentasi tertentu yang tidak

menjangkau semua lapisan ekonomi masyarakat. Hal itu

merupakan wadah dalam mempertahankan layanan jasa yang

spesifik dan diharapkan standar mutu sesuai dengan harapan

pengguna.

Demikian juga manajemen menganjurkan inovasi yang

konsisten fungsi-fungsinya dalam mengelola organisasi

87 Syafaruddin pun menguatakan bahwa dalam organisasi pendidikan

ada sejumlah orang yang berinteraksi. Di rumah tangga, peranan orang tua sangat menentukan dalam membimbing anak. Secara kodrati orang tua mengharapkan anak menjadi anak yang sholeh. Dalam pelaksanaan tanggung jawabnya, maka ada interaksi edukatif antara orang tua dengan anak. Hal itu dilakukan orang tua melalui kegiatan pembiasaan dan latihan, keteladanan dalam perbuatan baik, nasihat kearah yang kebaikan, hukuman atas kesalahan dan pelanggaran hukum serta aturan, dan pemberian hadiah kepada yang berbuat baik melebihi harapan dan berprestasi. Lihat Syafaruddin, Manajemen Organisasi Pendidikan, (Medan: Perdana Publishing, 2015), h. 66

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |57

pendidikan. Setiap organisasi pendidikan berusaha menun-

jukkan diferensiasi standar mutu, berusaha menampakkan

kekhususan dalam kurikulum muatan lokal dan kegiatan

ekstrakurikuler nonakademik maupun keagamaan. Pengelola-

annya tentu merujuk pada orientasi pengembangan yang

dikehendaki, bagaimana pola mengemasnya dalam ekosistem

pembelajaran, serta fasilitas pembelajarannya.

Untuk itulah, bahwa inovasi sejatinya adalah melahirkan

kebaruan yang dapat mewujudkan diferensiasi standar mutu

layanan maupun penggunaan teknologi sebagai akselerasi

efektivitas pengembangan organisasi. Hal ini sangat mendasar

bahwa inovasi adalah keniscayaan yang tidak mungkin

terbendung, sebagaimana kita tidak dapat menghalangi

keinginan manusia yang senantiasa berubah dari zaman ke

zaman.

Berikut adalah beberapa kecenderungan yang umum

sebagai latar belakang keharusan inovasi pendidikan, termasuk

organisasinya, yang merupakann kebutuhan bagi keber-

langsungan pendidikan sesuai ketahanan dan kemajuan yang

lebih baik. Pertama, pasar bebas, yaitu interaksi antarnegara di

dalam investasi, perdagangan barang atau jasa, termasuk

pertukaran pelajar di dunia pendidikan. Kedua, reorientasi

otonomi. Ini berdampak pada kehendak masing-masing

organisasi pendidikan untuk melakukan inovasi yang berbasis

keunikan, kekhususan, keunggulan, dan kegunaan bagi layanan

jasa yang maksimal. Ketiga, adanya masyarakat digital. Yaitu,

peradaban manusia yang dibangun dalam transaksi yang

terbuka, mudah, cepat, dan mandiri. Hal tersebut karena adanya

hukum ketergantungan pada jejaring internet sebagai cara

melakukan komunikasi di sekolah, rumah, dan masyarakat.

58 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |59

BAB III

PENDEKATAN, KONSEP DAN

TEORI, SERTA IMPLEMENTASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendekatan Manajemen Pendidikan Islam

Pendekatan merupakan cara pandang yang digunakan untuk

menjelaskan sesuatu.88 Cara pandang atau pendekatan yang

dilakukan setiap orang untuk menjelaskan sesuatu umumnya

berbeda-beda, sehingga disebut sebagai perbedaan sudut

pandang. Karena ada perbedaan-perbedaan atau cara pandang,

maka kesimpulan yang dihasilkan juga pasti berbeda-beda.

Manajemen merupakan kajian keilmuan yang memiliki

pendekatan-pendekatan tersendiri. Demikian pula ketika

manajemen hendak diterapkan dalam pendidikan, khususnya

pendidikan Islam, para pengelola pendidikan perlu memahami

apa saja pendekatan-pendekatan dalam manajemen pendidikan

tersebut.

Pemahaman terhadap berbagai pendekatan dalam

manajemen akan memudahkan para pengelola pendidikan

Islam merumuskan pola manajemen seperti apa yang akan

diterapkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Namun,

sebelum membahas pendekatan dalam manajemen pendidikan

Islam, berikut akan dibahas pendekatan manajemen secara

umum.

88 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PrenadaMedia, 2016),

hlm. 130

60 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Secara garis besar, pendekatan manajemen pendidikan

Islam kiranya perlu dipahami berdasarkan pendekatan-

pendekatan dalam manajemen pada umumnya, yang

pendekatan tersebut dibagi empat.89

1. Pendekatan Klasik

Pendekatan manajemen klasik memiliki dua aliran utama.

Pertama, manajemen yang meniscayakan penggunaan metode

ilmiah. Tujuannya adalah untuk menentukan cara yang paling

baik terhadap suatu pekerjaan yang harus dilakukan.

Pendekatan ini juga disebut manajemen ilmiah. Penggagas

utamanya adalah Frederick W. Taylor. Dalam manajemen

ilmiah, keberadaan karyawan dalam suatu organisasi serta

cara-cara untuk meningkatkan produktivitas mereka menjadi

fokus utama dalam pendekatan ini. Tetapi, melalui pendekatan

ini, manajemen cenderung menjadi alat yang menyebabkan

manusia layaknya mesin.90 Manusia, dalam suatu organisasi

yang menerapkan manajemen ilmiah sebagaimana gagasan

Taylor di atas, diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan

profit semata.

Dalam konteks Islam, tentu saja penerapan manajemen

dengan pendekatan ilmiah sebagaimana gagasan Taylor di atas

sangatlah problematis dan bertentangan dengan nilai-nilai

pendidikan Islam sendiri. Salah satu tujuan pendidikan Islam

antara lain menempatkan manusia pada statusnya sebagai

makhluk fisikal, spiritual, dan sosial. Karena itu, manusia

89 Bob Foster dan Iwan Sidharta, Dasar-dasar Manajemen (Yogyakarta:

Diandra Kreatif, 2019), hlm. 30-38. 90 I Gde Kanjeng Baskara, “Perkembangan Pemikiran Manajemen Dari

Gerakan Pemikiran Scientific Management Hingga Era Modern”. Jurnal Manajemen Strategi Bisnis daan Kewirausahaan, Vol. 7, No. 2 (Agustus 2013), hlm. 147.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |61

diciptakan untk terus-menerus dipacu produktivitas mereka

demi menghasilkan profit sehingga melupakan tugas dan

kewajibannya yang lain, baik yang berhubungan dengan Tuhan,

dirinya sendiri, maupun dengan sesama.

Kedua, manajemen yang menganut teori administrasi lebih

fokus pada organisasi secara keseluruhan dan cara untuk

membuatnya lebih efektif dan efisien. Tokoh utamanya antara

lain Henri Fayol dan Max Weber.91 Gagasan-gagasan tentang

bagaimana mengatur organisasi secara universal inilah yang

kelak menjadi landasan dan acuan utama manajemen modern.

Teori administrasi sebagaimana digagas Fayol dan Weber

di atas satu sisi menitikberatkan pada apa yang seharusnya

dilakukan oleh seorang manajer dan seperti apa manajemen

yang baik itu. Untuk itu, Fayol kemudian mengemukakan 14

prinsip dalam teori manajemennya ini yang bisa diterapkan

dalam semua organisasi. Di antaranya adalah divisi kerja,

disiplin, wewenang, kesatuan komando, kesatuan arah,

kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, sentralisasi,

remunerasi, keadilan, hierarki, stablitias staf, inisiatif, dan setia

kawan.92

2. Pendekatan Perilaku

Manajemen dengan pendidikan pendekatan perilaku ini

memiliki beberapa pandangan. Pertama, keberadaan atau

perilaku orang atau karyawan dalam suatu organisasi harus

diperhatikan sehingga diperlukan tahap seleksi dan penelitian

sebelum mempekerjakan mereka, serta diperlukan tersedianya

tempat kerja yang idealis setelah mereka diterima untuk

91 Ricky W. Griffin, Manejemen Jilid I, terj. Gina Gania (Jakarta: Erlangga,

2004), hlm. 43. 92 Bob Foster dan Iwan Sidharta, Op.Cit, hlm. 31.

62 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

bekerja. Tokoh di balik pandangan tersebut antara lain Robert

Owen dan Mary Follet.

Menurut Follet, suatu organisasi dapat dilihat dari perilaku

individu dan kelompok. Tapi, suatu organisasi harus didasarkan

pada etika kelompok, bukan individu. Pendekatan ini juga

disebut pendekatan hubungan manusia, yang menyimpulkan

bahwa dalam suatu organisasi, faktor keberadaan manusia

memberikan kontribusi lebih besar dibanding faktor-faktor lain

yang bersifat teknis.93

Kedua, produktivitas dalam suatu organisasi ditentukan

oleh kepuasan karyawan. Karena itu, sikap baik manajer yang

meningkatkan kepuasan karyawannya dapat meningkatkan

kinerja dan produktivitas organisasi sehingga tidak diperlukan

lagi adanya motivasi. Pandangan ini juga disebut pendekatan

perilaku ilmiah. Salah satu inspiratornya adalah Abraham

Maslow.94

3. Pendekatan Kuantitatif

Pendekatan kuantiatif dalam manajemen merupakan

pendekatan yang fokus pada penyediaan alat bagi manajer

untuk membantu memudahkan tugas-tugasnya. Pendekatan ini

diarahkan pada, misalnya, penerapan statistik, simulasi

komputer, model informasi, dan teknik kuantitatif lainnya yang

digunakan untuk kegiatan manajemen. Dengan kata lain,

pendekatan kuantiatif dalam manajemen lebih mengutamakan

pada penyediaan alat dan hal-hal yang bersifat teknis lainnya

demi memudahkan kerja-kerja manajemen.

93 Badri Munir Sukoco, Manajemen Administrasi Perkantoran Modern

(Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 6. 94 Ibid, hlm. 7-8

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |63

Pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh W.

Edwards Deming dengan memperkenalkan digunakannya alat

statistic dan bagaimana mendesain perbaikan sistem dalam

manajemen perusahaan.95 Hemat penulis, dengan digunakan-

nya alat statistik dan teknis-teknis lainnya, kemungkinan besar

akan mudah mengetahui apa saja problem yang dihadapi suatu

organisasi sehingga dapat segera dicarikan solusi penye-

lesaiannya. Melalui langkah-langkah semacam itu, nantinya

akan diperoleh hasil produksi yang optimal, baik berkaitan

dengan kualitas produksi maupun jasanya.

Ada empat elemen pokok penerapan manajemen dengan

menggunakan pendekata kuantitaif ini. Pertama, manajemen

harus fokus pada kepuasan pelanggan. Kedua, pengembangan

dan layanan merupakan hasil organisasi. Ketiga, kerja

didasarkan pada kepercayaan dan kerja sama tim. Keempat,

dilakukan pengukuran statistik yang didesain serta digunakan

untuk selalu mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi

dalam menghasilkan produksi.96

Pendekatan ini, menurut Saefullah, pada dasarnya

mengembangkan prosedur penelitian operasional dalam meng-

atasi permasalahan organisasi, serta berusaha memecahkan

masalah secara matematis.97 Dengan menggunakan pendekatan

ini, problem yang dihadapi suatu organisasi dapat diketahui

dengan baik serta dapat dilakukan upaya penyelesaian secara

terukur sehingga memberikan hasil yang efektif dan optimal.

95 Badri Munir Sukoco, Loc. Cit, hlm. 8. 96 Ibid, hlm. 9. 97 Saefullah, Manajemen Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia,

2012), hlm. 65.

64 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

4. Pendekatan Kontemporer

Jika pada periode awal manajemen lebih banyak melihat

pada bagian internal organisasi, maka memasuki periode 1960-

an, para peneliti manajemen mulai melihat hal-hal eksternal

yang terjadi di luar organisasi. Periode ini dikenal dengan

periode kontemporer.

Pada periode ini, pendekatan kontemporer banyak

dipengaruhi oleh perkembangan ilmu sains, sehingga

pendekatan ini juga dikenal sebagai pendekatan sains, terutama

pandangan mengenai sistem sebagai konsep dasar ilmu fisika.98

Pandangan inilah yang kemudian melahirkan kesimpulan-

kesimpulan bahwa organisasi merupakan seperangkat sistem

yang saling berkait dan berketergantungan yang disusun

menghasilkan suatu kesatuan.

Sebagai seperangkat sistem, suatu organisasi tidak lagi

bersifat tertutup. Sebaliknya, ia bersifat terbuka sehingga

keberadaan suatu organisasi juga sangat ditentukan oleh

lingkungan luar atau kondisi-kondisi yang terjadi di luar

organisasi. Dengan demikian, agar sebuah organisasi berjalan

secara optimal, maka seorang manajer harus mengelola semua

bagian dari sistem secara efektif untuk mencapai tujuan yang

diharapkan.

Dalam pendekatan kontemporer, pengelolaan terhadap

sebuah organisasi dapat dilakukan secara menyeluruh. Hal ini

terutama dengan dikembangkannya sistem komputerisasi

daam manajemen sehingga setiap orang dalam suatu organisasi

dapat terhubung secara mudah. Bahkan, suatu organisasi dapat

terhubung dengan organisasi lain di berbagai belahan dunia.

98 Bob Foster dan Iwan Shidarta, Op.Cit, hlm. 36.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |65

Berdasarkan uraian tentang pendekatan manajemen di

atas, maka pendekatan manajemen pendidikan Islam

setidaknya harus bertumpu pada dua macam pendekatan

utama sebagai berikut:

1. Pendekatan Musyawarah

Musyawarah merupakan sebuah cara yang diperintahkan

oleh Allah untuk dilakukan manusia dalam memutuskan setiap

persoalan. Sedemikian pentingnya musyawarah ini sehingga

Allah menamakan salah satu surat dalam al-Qur’an dengan

nama Al-Syûra’, yang artinya adalah ‘musyawarah’. Surat Al-

Syûra’ merupakan surat ke-42 dalam al-Qur’an, dan surat ini

dimulai dengan huruf-huruf yang terputus atau al-ahrufu al-

muqatha’ah berupa Hâmim dan ‘Ain sin qâf.

Dalam studi Ulumul Qur’an, sebuah surat yang diawali

dengan huruf-huruf yang terputus seperti itu mengandung

sebuah pesan bahwa ada suatu informasi yang sangat penting

yang terkandung di dalam surat tersebut.99 Salah satu pesan

penting yang terdapat dalam surat Al-Syûra’ tersebut adalah

anjuran untuk melakukan musyawarah sebagaimana terdapat

dalam ayat ke-38:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)

seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan

mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka;

dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami

berikan kepada mereka.”

Dalam surat Ali Imran ayat 159, Allah dengan tegas

memberikan perintah untuk bermusyawarah, “Maka

99 Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj H. Aunur Rofiq

El Mazni (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hlm. 76.

66 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati

kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.

karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi

mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan

itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka

bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Kedua ayat di atas merupakan bukti bahwa musyawarah

merupakan sebuah pendekatan yang harus dilakukan dalam

mengurus dan memutuskan suatu persoalan. Tetapi menurut

Hasbullah Masudin Yamin, musyawarah yang dikehendaki

Islam bukanlah musyawarah yang didasarkan hanya pada

kekuatan mayoritas dalam menentukan suatu persoalan.

Sebaliknya, prinsip musyawarah dalam Islam harus

berdasarkan pada kualitas kebenaran.100 Prinsip ini

menunjukkan bahwa sekalipun suatu persoalan diputuskan

berdasarkan musyawarah dan melalui persetujuan mayoritas,

tetapi jika kualitas kebenaran di dalamnya justru diabaikan,

maka hal itu bukanlah musyawarah sebagaimana dikehendaki

oleh Islam sendiri. Sebaliknya, sekalipun suara minoritas, tapi

jika di dalamnya mengandung kualitas kebenaran sebagaimana

digariskan oleh Islam, maka justru suara minoritas itulah yang

sebaiknya diutamakan.

Untuk mencapai tujuan yang optimal, musyawarah

merupakan pendekatan yang sudah seharusnya digunakan

dalam manajemen pendidikan Islam. Dalam musyawarah,

setiap persoalan yang dihadapi lembaga pendidikan dikaji

secara bersama. Selain itu, keputusan atau strategi yang akan

100 Hasbullah Masudin Yamin, Perpsektif Demokrasi untuk Islam

Indonesia (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm. 13.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |67

dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan juga dirumuskan

melalui kajian dan kesepakatan berdasarkan prinsip kebenaran

dan keadilan serta tidak menyalahi ajaran Islam.

Menurut Ahmad Fauzi, pendekatan musyawarah dalam

pendidikan Islam menjadi salah satu cara yang dapat digunakan

untuk menghapus stigma negatif terhadap kepemimpinan

dalam pendidikan Islam yang selama ini dipandang sentralistik

dan indoktriner.101 Tetapi, ada tujuan yang lebih besar terkait

pendekatan musyawarah dalam manajemen pendidikan Islam.

Melalui pendekatan musyawarah, kita dapat mengidentifikasi

banyak ide kreatif dari setiap individu yang bekerja dalam

dunia pendidikan sehingga ide tersebut dapat dijadikan sebagai

acuan untuk mengembangkan dan memajukan lembaga

pendidikan Islam.

Pendekatan musyawarah dalam manajemen pendidikan

Islam dilakukan dalam seluruh ruang lingkup manajemen

pendidikan, mulai dari manajemen kurikulum sampai dengan

manajemen ekstrakurikuler. Hal itu dilakukan mengingat salah

satu tujuan dari pendidikan Islam adalah menciptakan lahirnya

generasi-generasi masyarakat muslim. Sementara, upaya untuk

mencapai tujuan tersebut juga harus didasarkan pada semangat

dan ajaran Islam, salah satunya adalah musyawarah. Kenyataan

ini tentu sejalan dengan tipologi masyarakat muslim di bawah

kepemimpinan Nabi saw. yang konon dibangun dan ditegakkan

di atas prinsip musyawarah. Karena itu, tidak heran bila agama

Islam memandang musyawarah sebagai pangkal kebijaksanaan

(ra’sul hikmah al-masyûrah). Tujuan organisasi pendidikan

Islam mengutamakan kepentingan bersama yang dapat

dilaksanakan manakala kepemimpinan mempunyai keahlian

101 Ahmad Fauzi, “Model Manajemen Pendidikan Islam: Telaah atas

Pemikiran dan Tindakan Sosial”. At-Ta’lim: Jurnal Pendidikan, Volume 2, Nomor 2, (Juni 2016), hlm. 9.

68 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

berdiskusi di dalam musyawarah. Konsep musyawarah selaras

dengan pemikiran Kartono bahwa kemampuan berdiskusi

dengan baik tentu merupakan salah satu persyaratan yang

mutlak bagi setiap pemimpin. Sebab, diskusi merupakan salah

satu cara berkomunikasi dengan atasan, sesama kolega, dan

bawahan untuk mencerahkan permasalahan.102

2. Pendekatan Administrasi

Masalah administrasi dalam lembaga pendidikan Islam

kerapkali juga menjadi sasaran kritik dari beberapa pihak.

Problem ini juga dipengaruhi salah satunya oleh kurang

tersedianya SDM profesional yang memahami serta dapat

menjalankan tugas-tugas administratif dalam lembaga

pendidikan Islam.

Administrasi itu sendiri memiliki beberapa pengertian.

Pertama, administrasi itu diartikan sebagai tata usaha berupa

penyusunan keterangan-keterangan secara sistematis yang

dicatat secara tertulis. Tujuannya, antara lain untuk

mendapatkan kejelasan mengenai keterangan-keterangan

tersebut serta memahami hubungannya antara satu keterangan

yang lain. Kedua, dalam arti lebih luas, administrasi dimaknai

sebagai aktivitas kelompok yang bekerja untuk mencapai

tujuan bersama.103 Dari pengertian di atas, dapat dipahami

bahwa pendekatan administrasi manajemen pendidikan adalah

upaya mengembangkan dan mendayagunakan seluruh anggota

organisasi pendidikan dalam suatu aktivitas yang tercatat

secara tertulis dan sistematis sehingga semua anggota dapat

102 Lihat, Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan

(Bandung: Mizan Pustaka, 2008), hlm. 35. 103 Djam’an Satori dan Suryadi, Teori Administrasi Pendidikan Islam

(Jakarta: Imperial Bhakti Utama, 2017), hlm. 148.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |69

bekerja secara teratur, terhubung, efektif, dan efisien demi

mencapai tujuan.

Dengan demikian, prinsip dalam pendekatan administrasi

adalah adanya proses kerja sama dan keterhubungan yang erat

antara setiap orang yang diatur secara jelas dan tertulis. Prinsip

ini tersirat, misalnya, dalam salah satu sabda Nabi saw.:

“Orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai,

mengasihi dan menyayangi, bagaikan satu tubuh. Apabila

ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh

tubuhnya akan senantiasa terjaga dan panas (turut

merasakan sakitnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ahmad Abdul Azhim Muhammad mengatakan bahwa hadis

tersebut merupakan salah satu hadis yang menginspirasi

diformulasikannya teori keorganisasian dalam dunia Islam,

termasuk keilmuan administrasi modern yang banyak

diterapkan di negara-negara maju.104 Bila kita perhatikan, hadis

di atas menggambarkan keterhubungan antar orang-orang

beriman tanpa terkecuali. Di dalamnya, ada pesan-pesan seperti

perasaan satu nasib, kebersamaan, dan tanggung jawab

kolektif, yang pesan tersebut merupakan basis bagi manajemen

administrasi, khususnya dalam lembaga pendidikan.

Masalahnya adalah problem yang dihadapi sebagian

lembaga pendidikan Islam saat ini adalah masih rendahnya

kesadaran untuk menggunakan pendekatan-pendekatan

administrasi dalam manajemen pendidikan. Ada empat faktor

yang menyebabkan sebagian lembaga pendidikan Islam

memiliki kelemahan di bidang administrasi. Pertama, lembaga

pendidikan Islam dikelola tanpa pemahaman ilmu manajemen

104 Ahmad Abdul Azhim Muhammad, Strategi Hijrah: Prinsip-prinsip dan

Ilham Tuhan, terj. M. Mansur Hamzah (Solo: Tiga Serangkai, 2004), hlm. 6.

70 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

yang memadai sehingga proses perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan pengawasan tidak berjalan secara maksimal.

Kedua, kerja-kerja administrasi dipahami sebagai tugas

pegawai tata usaha, bukan sebagai tugas bersama. Ketiga,

adanya pandangan bahwa tugas-tugas administrasi hanya

merupakan formalitas belaka yang diperlukan hanya saat akan

dilakukan akreditasi. Keempat, kepemimpinan yang terlalu

sentralistik dan indoktriner juga menjadi penyebab terjadinya

problem administrasi dalam lembaga pendidikan Islam.

Dari beberapa problem di atas, maka pendekatan

administrasi dalam manajemen pendidikan Islam menjadi

kebutuhan dan keharusan bagi lembaga pendidikan Islam

dewasa ini. Menurut Djam’an Satori, pendekatan administrasi

bertujuan antara lain untuk pengembangan dan

pendayagunaan organisasi yang bersifat kooperatif sehingga

seluruh personel dan semua sumber daya manusia dalam

organisasi berperan aktif dalam memajukan lembaga atau

organisasi.105 Artinya, pendekatan administrasi dalam

manajemen pendidikan Islam ini memungkinkan

terselenggaranya kerja sama yang intensif sehingga semua

pihak yang terlibat di dalamnya dapat bekerja secara teratur,

efektif, dan efisien.

B. Konsep Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam

Perubahan dan inovasi merupakan kata kunci dan titik tolak

dalam mengembangkan pendidikan. Begitu juga untuk

membangun suatu model pendidikan Islam yang baru untuk

dapat menjawab persoalan yang dihadapi umat. Hal ini

105 Ibid, hlm. 151.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |71

didasarkan pada realitas pendidikan saat ini yang belum

mampu menghasilkan manusia yang berakses pada upaya

membangun peradaban. Maka perlu dicari sistem pendidikan

alternatif sebagai “sintesa”dari berbagai sistem pendidikan yang

pernah ada.

Melihat kalimat ‘Manajemen Lembaga Pendidikan Islam’

tentunya dari katanya saja sudah mempunyai lekatan makna

yang menjurus pada yayasan, pesantren, madrasah, STAI, UIN,

PTIQ dan sebagainya. Dari tahun-ketahun, institusi ini terus

mencetak alumni-alumninya yang mempunya keahlian

diberbagai bidang yang tentunya bidang keagamaan. Namun

seberapa besarkah alumninya tersebut mampu menguasai

dunia global saat ini.

Cukup menarik apa yang dikatakan oleh Menteri Agama

pada masa Presiden SBY tersebut yaitu Surya Darma Ali. Beliau

mengatakan:

“Indonesia memiliki 614 pendidikan tinggi Islam. Namun,

pendidikan tinggi Islam ini masih memiliki beberapa

kelemahan. Antara lain, belum terintegrasinya sistem

pendidikan dari strata 1 hingga strata 3. Pendidikan tinggi

Islam juga masih kurang memiliki manajemen pengelolaan

yang maksimal. Juga masih memiliki sisi pembiayaan yang

minimal. Secara teknis masalah yang selalu dirundung

lembaga pendidikan Islam adalah soal isu relevansinya

dengan sistem pendidikan sekolah, standar pendidikan

yang belum sama, serta mutu tenaga pendidik yang masih

kurang.”106

106Http://Khazanah.Republika.co.id/Berita/Dunia-Islam/Islam-

Nusantara/12/12/14/Mf0zqx-Lembaga-Pendidikan-Islam-Harus-Jadi-Jawara, diakses pada tanggal 10 Maret 2015.

72 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Kalimat yang penulis berikan tanda bold, mungkin menjadi

tugas besar kaum intelektual saat ini khususnya yang bergerak

di dunia pendidikan untuk mengetahui konsep-konsep dasar

atau model-model pengembangan manajemen. Agar instiusi

tidak hanya mengeluarkan ijazah tetapi yang lebih penting lagi

mampu melakukan rekonstruksi pendidikan Islam ke arah yang

lebih positif dan minimal dimulai dari manajemen yang efisien

dan efektif.

Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk menyajikan

untaian lembaran pembahasan yang berkenaan dengan Model

Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam.

Adapun model-modelnya yaitu sebagai berikut:

1. Model Manajemen Bernuansa Entrepreneurship.

Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa sebagian besar

pendidikan Islam tumbuh dan berkembang dari bawah dan

dari kecil. Manajemen yang tepat adalah manajemen yang

dapat memberikan nilai tambah. Manajemen yang dapat mem-

beri nilai tambah adalah manajemen yang bernuansa

entrepreneurship. Rhenald Kasali dalam “Paulus Winarto

menegaskan bahwa seorang entrepreneur adalah seorang yang

menyukai perubahan, melakukan berbagai temuan yang

membedakan dirinya dengan orang lain”, menciptakan nilai

tambah, memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain,

karyanya dibangun berkelanjutan (bukan ledakan sesaat) dan

dilembagakan agar kelak dapat bekerja dengan efektif di tangan

orang lain. Seorang manajer yang sekaligus sebagai

seorang entrepreneur memiliki karakter sebagai berikut:

memiliki keberanian mengambil resiko, menyukai tantangan,

punya daya tahan yang tinggi punya visi jauh ke depan dan

selalu berusaha memberikan yang terbaik.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |73

Menjadi seorang entrepreneur diperlukan integritas yang

kokoh, memiliki etos kerja yang tinggi dan kesanggupan untuk

menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan ancaman.

Seorang entrepreneur adalah orang yang berani mengambil

keputusan “keluar dari zona nyaman dan masuk ke dalam zona

ketidakpastian (penuh resiki)”. Manajer yang biasa

(konvensional) sebenarnya adalah orang yang paling

membutuhkan keamanan dan status quo, dan sebaliknya takut

pada perubahan. Hal ini wajar karena ia sedang berada di

puncak piramida dalam struktur organisasi dengan segala

fasilitas, kedudukan dan kehormatan yang melekat padanya.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran surat Hud

ayat 85, yang berbunyi:

“Dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara

mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,

sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah

kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku

melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan

sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari

yang membinasakan (kiamat). Dan Syu'aib berkata: "Hai

kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil,

dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak

mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka

bumi dengan membuat kerusakan” (QS. Hud : 84-85)

Dua ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi

Syu’aib dengan umatnya yang mengingkari agama yang

74 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

dibawanya. Nabi Syu’aib mengajarkan I’tiqad dan iqtishad

(akidah dan ekonomi). Nabi Syu’aib mengingatkan mereka

tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang

mereka lakukan selama ini.

Seorang entrepreneur pada dasarnya adalah seorang

pembaharu (innovator) karena melakukan sesuatu yang baru,

dianggap baru atau berbeda dari kondisi sebelumnya. Apa yang

dilakukan itu membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan

memberi nilai tambah bagi diri maupun orang lain. Dalam

upaya untuk menciptakan nilai tambah seorang entrepreneur

sangat mengutamakan kekuatan brand, yaitu citra atau merek

yang kuat atas apa yang dilakukannya. Dengan brand yang

baik jelas akan memberikan value yang tinggi. Brand image

bagi sebuah lembaga pendidikan merupakan aset yang paling

berharga yang mampu menciptakan value bagi stake holder

dengan meningkatkan kepuasan dan menghargai kualitas dan

akhirnya melahirkan kepercayaan. Seorang manajer yang

sekaligus entrepreneur bukan sekedar bisa membangun brand

belaka, namun juga memanfaatkan kekuatan brand untuk

melipatgandakan akselerasi sebuah perubahan.

Berikut kalimat singkat, menarik yang diucapkan oleh KH

Ahmad Dahlan, ”Hidup-hidupi Muhammadiyah dan jangan

mencari hidup di Muhammadiyah”. Dapat ditafsirkan dalam

konteks semangat entrepreneurship. Artinya setiap orang yang

bekerja di lembaga amal usaha Muhammadiyah harus mampu

memberikan nilai tambah bagi perkembangan lemba-

ganya. Dengan cara inilah akan terjadi penumpukan capital

(capital development) sehingga amal usaha Muhammadiyah

dapat terus tumbuh dan berkembang.

Institusi yang memiliki nuansa entrepreneur, juga akan

memikirkan bagaimana cara melakukan manajemen ketahanan

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |75

pangan. Artinya keungan yang ada pada bendahara itu bisa

terus berlangsung dan berkembang.

Manajemen ketahanan pangan, telah diberikan contohnya

oleh Nabi Yusuf AS. yaitu sebagai berikut:

a. Mensyukuri dan mengoptimalisasikan pemanfaatan

sumber daya alam.

Penyelenggara institusi pendidikan Islam, hanya

mempunyai dua pilihan dalam menjalani proses tersebut.

Pilihan itu ialah syukur ataukah kufur. Syukur akan

makmur, dan kufur akan kecebur (artinya berada pada

posisi terendah dan hina). Juga mampu memanfaatkan

sarana dan prasarana yang sudah disediakan oleh alam.

b. Etos bercocok tanam dan memproduksi pangan.

Poin ini meniscayakan adanya manajemen perencanaan

pembenihan, pengolahan lahan, penanaman dan

perawatan. Maksudnya lembaga pendidikan diharapkan

bisa melaksanankan rekrutment dengan baik, proses

pembelajaran yang pengajarnya tidak hanya cerdas, tetapi

transformatif dan memberikan pelayanan (service) yang

maksimal kepada warga dalam institusi tersebut.

c. Prinsip swasembada pangan dalam jangka panjang,

minimal tujuh tahun.

Prinsip swasembada ialah prinsip usaha mencukupi diri

sendiri. Artinya institusi jangan hanya mengharapkan

bantuan pemerintah. Tetapi ada usaha lain yang dilakukan

dengan kerja keras. Sehingga apabila pemerintah mungkin

menghentikan bantuannya, tidak ada kekhawatiran yang

tinggi. Apabila mau mencontoh nabi Yusuf AS. tentunya hal

itu dilakukan minimal selama tujuh tahun.

76 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

d. Berorientasi futuristik.

Yaitu etos menyimpan atau menabung dan mengelola stok

pangan yang memadai untuk jangka panjang. Setelah

berhasil melakukan ketiga proses diatas, apabila

bendahara mempunyai budget yang cukup, tidak kemudian

budget itu digunakan dengan seenaknya, tetapi diharapkan

bisa diinvestasikan.107

2. Model Manajemen Berbasis Masyarakat (Management

Based Society)

Yaitu manajemen yang dapat menjaga hubungan baik

dengan masyarakat sekitar. “Data EMIS Departemen Agama

menunjukkan 90% madrasah berstatus swasta dan 100 %

pesantren adalah swasta”. Ini berarti bahwa lembaga

pendidikan Islam adalah lembaga milik masyarakat,

atau bisa dikatakan “dari, oleh dan untuk masyarakat”.

Manajemen pendidikan Islam yang tepat adalah manajemen

yang dapat mendekatkan pendidikan Islam dengan masyarakat,

diterima, dimiliki dan dibanggakan oleh masyarakat, dan dapat

mendayagunakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakatnya.

Konsep Manajemen berbasis sekolah (Management Based

School) dan pendidikan berbasis masyarakat (Society Based

Education) dalam konteks otonomi daerah, lahir karena

dilandasi oleh kesadaran bahwa masyarakat punya peran dan

107 Muhbib Abdul Wahab, Manajemen Pangan Ala Nabi Yususf. as,

diposting pada 3 Februari 2014,http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/02/03/n0dtpt-manajemen-pangan-ala-nabi-yusuf-as, diakses pada 9 Maret 2015

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |77

tanggung jawab terhadap lembaga pendidikan di daerahya

disamping sekolah dan pemerintah.

Bagi lembaga pendidikan Islam yang memang “dari, oleh

dan untuk masyarakat”, maka mengembalikan pendidikan

Islam kepada masyarakat merupakan sebuah keniscayaan

apabila pendidikan Islam ingin mengambil dan

mendayagunakan kekuatannya. Dengan kata lain, masyarakat

adalah kekuatan utama pendidikan Islam. Mencabut pendidikan

Islam dari grass root-nya (masyarakat) justru akan

memperlemah pendidikan Islam itu sendiri. Pondok pesantren

yang mampu menjaga hubungan baiknya dengan basis

sosialnya terbukti dapat terus berkembang, dan sebaliknya

akan mengalami surut ketika ditinggalkan oleh masyarakatnya.

Lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara maju

terutama yang berstatus privat pada umumnya terdapat

lembaga semacam Dewan Sekolah, Majlis Madrasah, Dewan

Penyantun, Majlis Wali Amanah dan lain sebagainya yang

antara lain bertugas memperhatikan hubungan, kedekatan dan

aspirasi masyarakat serta siap mendayagunakan potensi

masyarakat dan memberikan layanan pengabdian (langsung

maupun tidak langsung) kepada masyarakat. Di Stanford

University misalnya ada The Board of Trustees yang berwenang

mengelola dana hibah dan hadiah (grand), sumbangan

(endowment) dan lain sebagainya yang dihimpun dari dana

masyarakat untuk pengembangan Stanford University.108

Di beberapa universitas luar, seperti di University of

London United Kingdom dan McGill University Canada misalnya

terdapat lembaga yang namanya Board of Governor. Anggota

lembaga ini sebagian besar dari luar universitas yang pada

108 Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Ciputat. Penerbit

Ciputat press, 2005, hal. 57

78 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

umumnya memiliki tugas dan peran sebagaimana The Board of

Trustees pada Stanford University. McGill University misalnya,

lembaga ini dapat berkembang karena semangat amal dari

masyarakatnya. Diawali dari hibah James McGill yang

menghibahkan sebagian kekayaannya berupa uang 10.000

pound sterling dan tanah 40 hektar beserta real estat yang ada

di dalamnya, lembaga ini didirikan dan berkembang dengan

terus menggali dana dari masyarakat sampai sekarang. Di

McGill, semangat beramal itu tidak hanya dalam pengertian

materi terutama dari para dermawan dan hartawan, tetapi juga

perbuatan dengan kontribusi tenaga maupun pikiran. Dosen,

karyawan dan pimpinan McGill rela bekerja keras karena

dilandasi oleh semangat amal, semangat beribadah.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat

Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas

(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi

atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang

menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui

(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang

membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |79

berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh

Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.

Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

kepada manusia. (QS. Al Baqarah : 143)

Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena

mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang

menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.

Semangat beramal untuk membangun lembaga pendidikan

dalam tradisi iman umat Islam sebenarnya bukan sesuatu yang

baru, bahkan umat Islam pernah menjadi pelopor (avant-garde)

dalam komitmennya mengembangkan lembaga pendidikan

melalui semangat amal. Yang menjadi persoalan sekarang

adalah, bagaimana upaya rekonstruksi semangat beramal ini

dalam mengembangkan pendidikan Islam? Pertama, adanya

lembaga semacam Board of Trustees atau semacam Majlis Wali

Amanah yang anggotanya dari wakil masyarakat yang memiliki

integritas dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan

Islam. Kedua, perlu dibangkitkan kembali semangat juang

(jihad), etos kerja semua komponen stake holder internal

sebagai wujud amal (perbuatan) nyata. Ketiga, perlu diterapkan

manajemen mutu terpadu (total quality management) dalam

penyelenggaraan pendidikan Islam.109

3. Model Manajemen Berbasis Masjid (Management

Based Mosque)

Proses pembelajaran yang integratif dengan masjid

memberikan nuansa religius yang kental dalam penanaman

nilai-nilai religius maupun praktek langsung pengalaman

109 Ibid, h. 57

80 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

beragama. Dimulai dari pembiasaan shalat sunah, shalat dzuhur

berjamaah dan shalat ashar berjamaah bagi yang full day school

Sampai saat ini pun, sebagian besar institusi pendidikan

Islam itu mempunyai masjid atau mushalah yang menjadi pusat

kegiatan spiritual pelajar maupun pengajar. Kata kuncinya

menjadi bagaimana mengaplikasikan konsep manajemen

masjid kepada institusi pendidikan Islam.

Mengapa belajar dari manajemen masjid? berikut tulisan

spektakuler Muhbib Abdul Wahab, yang dimuat pada harian

Republika Online (ROL) bahwa alasannya karena “Masjid

adalah pusat dan sumber inspirasi dalam segala hal, karena di

masjid semua Muslim hanya mengabdi dan memohon

pertolongan kepada Allah SWT (QS Al-Fatihah [1]: 5).

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada

Engkaulah Kami meminta pertolongan.”

Ayat ini oleh para mufassir, antara lain, dimaknai ayat

pembebasan manusia dari ketergantungan kepada makh-

luk menuju tauhid sejati. Shalat berjamaah di masjid tidak

hanya melambangkan persatuan dan kebersamaan, tetapi juga

persamaan (equality), egalitarianisme, dan anti-diskri-

minasi. Yang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, penguasa

dan pengusaha dapat berdiri dalam shaf yang sama. Tidak ada

masjid hanya dikhususkan para penguasa, pengusaha, atau

pejabat. Masjid, seperti halnya kemerdekaan, adalah hak

semua. Masjid mendidik kita untuk mandiri, mengembangkan

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |81

semangat kebersamaan, nasionalisme, dan patriotisme

sejati”.110

Lembaga pendidikan Islam hendaknya tidak tebang pilih

dalam membuat kebijakan. Apabila pelajar terlambat masuk

gerbang, pelajar langsung mendapatkan hukuman, sekalipun

murid mempunyai alasan yang kuat atas keterlambatannya.

Tetapi apabila guru yang terlambat, tidak mendapatkan

hukuman. Itulah yang kebanyakan terjadi, karena tidak belajar

dari antidiskriminasinya manajemen masjid.

C. Manajemen Pendidikan Islam Klasik-Kontemporer

Untuk memahami pengertian manajemen pendidikan Islam

klasik, dapat ditelusuri setidaknya dengan dua cara. Pertama,

dengan cara memahami pengertian manajemen klasik itu

sendiri serta penerapannya dalam lingkup pendidikan. Kedua,

dengan cara meneliti bagaimana lembaga pendidikan Islam

klasik dan kontemporer.

Secara tidak langsung, pembahasan tentang manajemen

pendidikan Islam klasik membutuhkan kajian historis dan

filosofis untuk memahami bagaimana awalnya pendidikan

Islam itu dikelola, khususnya di Indonesia. Praktik pendidikan

Islam di Indonesia yang pada awalnya masih berupa halaqah

yang dilaksanakan di surau, masjid, dan pesantren tentu

memiliki sistem pengelolaan yang berbeda dengan pendidikan

Islam yang dilaksanakan pada saat ini.

Selain pengelolaannya yang berbeda, materi pelajaran

Islam yang diajarkan pada waktu itu tentu juga berbeda. Materi

pelajaran yang disampaikan berupa pengenalan terhadap

110 Muhbib Abdul Wahab, Spirit Istiqlal, diposting pada 22 Agustus 2013,

Jakarta:http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/22/mrwy9w-spirit-istiqlal, diakses pada 9 Maret 2015.

82 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

ajaran Islam yang berhubungan dengan masalah ibadah,

keimanan, fikih, serta pengenalan kitab-kitab klasik.111 Dalam

proses pendidikan seperti itu, keberadaan seorang guru benar-

benar menjadi sentral dan bahkan pusat kebijakan dari seluruh

kebutuhan peserta didik akan pendidikan. Di samping itu,

fokus terhadap penyebaran agama Islam menjadikan sistem

pendidikan Islam yang dikembangkan pada waktu itu memang

lebih ditujukan untuk memperkenalkan dasar-dasar praktis

ajaran-ajaran agama Islam.

Hal ini sebagaimana dikatakan Natsir, bahwa materi

pendidikan yang diperkenalkan pada mas itu lebih banyak

memusatkan perhatiannya pada upaya pemantapan keimanan

dan latihan-latihan ketarekatan daripada sebagai pusat

pendalaman Islam sebagai ilmu.112 Kenyataan tersebut sejalan

dengan beberapa hasil penelitian yang ada selama ini yang

menyebutkan bahwa praktik pendidikan Islam klasik di

Nusantara diselenggarakan melalui halaqah dengan materi

keislaman yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran sufistik.

Walau praktik dan materi pendidikan Islam klasik

diselenggarakan dengan cara demikian, hal tersebut menurut

Nurcholish Madjid justru menjadikan penyebaran Islam lebih

mudah diterima masyarakat yang umumnya masih mewarisi

ajaran mistik Hindu-Budha, sehingga secara perlahan

perbendaharaan ilmu-ilmu keislaman mulai masuk dan

memengaruhi mereka.113 Sampai di sini, dapat dipahami bahwa

pengelolaan kurikulum lewat proses adaptasi dan akulturasi.

Proses itu juga dapat dibaca sebagai bentuk pengelolaan

111 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan

Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 34 112 M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (Bandung: Bulan Bintang,

1969), hlm. 21 113 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan

(Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 56.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |83

pendidikan di mana para pendidik (para sufi dan para wali)

waktu itu merespons kondisi lingkungan masyarakat yang

dihadapinya dan mengajarkan materi pendidikan keislaman

yang sesuai dengan kondisi kebutuhan masyarakat.

Manajemen pendidikan Islam mulai mengalami perubahan

terutama setelah diperkenalkannya sistem kelas. Proses

pendidikan Islam tidak lagi sepenuhnya diselenggarakan di

surau dan masjid terutama setelah mulai dibangunnya

madrasah-madrasah, terutama setelah diperkenalkannya

pelajaran-pelajaran eksakta dan ilmu-ilmu alam. Perubahan

praktik pendidikan Islam dari halaqah ke madrasah dan

diadopsinya sistem klasikal serta materi pelajaran yang tidak

hanya fokus pada materi keislaman an sich namun juga ada

materi eksak, secara perlahan-lahan juga memengaruhi

pengelolaan lembaga pendidikan Islam waktu itu dari klasik ke

kontemporer.

D. Manajemen Pendidikan Islam di Pesantren

Pesantren didefinikasikan sebagai suatu tempat pendidikan dan

pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam. Istilah

pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini

digabung menjadi pondok pesantren. Sebenarnya penggunaan

gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan

pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasikan

karakter keduanya.

Pondok pesantren menurut M. Arifin adalah sesuatu

lembaga pendidikan agama islam yang tumbuh serta diakui

masyarakat sekitar, dengan sistem asrama dimana santri-santri

menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau

madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari

leader-ship seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri

khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala

84 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

hal”. Lembaga Islam mendefinisikan pesantren adalah “suatu

tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima

pelajaran-pelajaran agama islam sekaligus tempat berkumpul

dan tempat tinggalnya”.114

Manajemen pendidikan pesantren adalah suatu proses

penataan dan pengelolaan lembaga pendidikan pesantren yang

melibatkan sumber daya manusia dan non manusia dalam

menggerakkan mencapai tujuan pendidikan pesantren secara

efektif dan efisien.

1. Kurikulum Pendidikan Pesantren

Kurikulum pesantren adalah kehidupan yang ada dalam

pesantren tidak hanya dalam hal pengajian, madrasah diniah

melainkan semua kegiatan yang dilakukan santri selama 24 jam

di pesantren. Dalam pengertian konvensional, kurikulum sering

dimaksud sebagai perangkat mata pelajaran yang harus

ditempuh atau diterima peserta didik untuk memperoleh ijazah

(surat tanda kelulusan).115

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

pandangan ini memiliki makna yang sangat luas, apapun yang

dapat memberikan pengalaman belajar positif bagi peserta

didik, baik berupa bahan pelajaran, kondisi lingkungan sekolah

maupun pesantren, figur guru/ustadz, kiyai, pola interaksi

antar personal dan kultur yang ada di sekolah/ madrasah/

pesantren, serta metode-metode yeng digunakan dalam

pembelajaran dinamakan kurikulum.

a. Manajemen kurikulum pendidikan salaf

114 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Tranformasi Metodologi Menuju

Demokratisasi Institusi,.2-3 115 M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2006) 5.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |85

Kurikulum pesantren salaf yang statusnya sebagai lembaga

pendidikan non formal hanya mempelajari ilmu agama yang

bersumber pada kitab kuning atau kitab-kitab klasik. Materi

kurikulumnya mencakup seluruh mata pelajaran keislaman

diantaranya yakni ilmu tauhid, ilmu tafsir, hadits, ilmu hadits,

ilmu fiqh, ushul al-f iqh, ilmu tasawuf, ilmu akhlaq, bahasa Arab

yang mencakup nahwu, sharaf,balaghah, badi‟, bayan, mantiq

dan tajwid.116 Adapun penjelasannya sebagai berikut:

Tingkat Dasar

1) Al-Qur‟an.

2) Tauhid : Al-Jawar al-Kalamiyayah Ummu al-Barohim

3) Fiqih : Safinah al-Shalah, Safinah al-Naja, Sullam al-

Taufiq, Sullam al-Munajat.

4) Akhlaq : Al-Washaya al-Abna‟, Al-Akhlaq li al-

Banin/Banat.

5) Nahwu : Nahw al Wadlih, al-Jurumiyyah.

6) Saraf : Al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Matan al-Bina wa al-

Asas. b.Tingkat Menengah Pertama 1)Tajwid : Tuhfah

al-Athfal, Hidayah al-Mustafid, Mursyid al-Wildan, Syifa‟

al-Rahman.

Tingkat Pertama

1) Tajwid : Tuhfah al-Athfal, Hidayah al-Mustafid, Mursyid

al-Wildan, Syifa‟ al-Rahman

2) Tauhid : Aqidah al-Awwam, Al-Din al-Islami.

3) Fiqih : Fath al-Qarib (Taqrib), Minhaj al-Qawim Safinah

al-Sholah.

4) Akhlaq : Ta‟lim al-Muta‟allim.

116 Masjkur, Anhari, Integrasi Sekolah ke Dalam Sistem Pendidikan

Pesantren (Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam), (Surabaya: Diantama, 2007), h. 24

86 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

5) Nahwu : Mutammimah Nazham, Imrithi, Al-Makudi, Al-

Asymawi.

6) Sharaf : Nazham Makshud, al-Kailani.

7) Tarikh : Nur al-Yaqin.

Tingkat Menengah Atas

1) Tafsir : Tafsir al-Qur‟an al-Jalalain, Al-Maraghi

2) Ilmu Tafsir : Al-Tibyan Fi „Ulumil al-Qur‟an, Mabanits

fi‟Ulumil al-Qur‟an, Manahil al-Irfan.

3) Hadits : Al-Arbain al-Nawawi, Mukhtar al-Maram,

Jawahir al-Bukhari, Al-Jami‟ al-Shaghir.

4) Musthalah al-Hadist : Minha al mughits, Al-Baiquniyyah.

5) Tauhid : Tuhfah al-Murid, Al-Husun al-Hamidiyah, Al-

Aqidah al-Islamiyah, Kifayah al-Awwam.

6) Fiqih : Kifayah al-Akhyar. 7)Ushul al-Fiqh : Al-Waraqat,

Al-Sullam, Al-Bayan, Al-Luma‟.

7) Nahwu dan Sharaf : Alfiyah ibnu Malik, Qawa‟id al-

Lughah al-Arabiyyah, Syarh ibnu Aqil, Al-Syabrawi, Al-

I‟lal, I‟lal al-Sharaf.

8) Akhlaq : Minhal al-Abidin, Irsyad al-Ibad.

9) Tarikh : Ismam al-Wafaq.

10) Balaghah: Al-Jauhar al-Maknun

Kurikulum pesantren tidak distandarisasi. Hampir setiap

pesantren mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda-beda

dan banyak kiai terkenal sebagai spesialis kitab tertentu.

Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan

tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang

dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat dasar, tingkat menengah,

dan tingkah lanjut. Setiap kitab bidang studi memiliki

kemudahan dan kompleksitas pembahasan masing-masing.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |87

Sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada

pesantren juga berbeda dengan evaluasi pada sistem sekolah.

Sistem pengajaran yang menjadi metode utama di

lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau seringkali

juga disebut sistem weton. Dalam sistem ini sekelompok murid

(antara 5-500 murid) mendengarkan seorang guru yang sedang

membaca, menerjemahkan, menerangkan dan sering kali

mengulas kitab-kitab Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid

memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan

(baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah

pikiran yang sulit. Kelompokan murid dari sistem bandongan

ini disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid atau

sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang

guru.117

b. Manajemen Kurikulum Pendidikan Khalaf

Model sistem pendidikan pesantren modern adalah sistem

kelembagaan pesantren yang dikelola secara modern baik dari

segi administrasi, sistem pengajaran maupun kurikulumnya.

Pada sistem pendidikan modern ini aspek kemajuan pesantren

tidak dilihat dari figur seorang kiai dan santri yang banyak,

namun dilihat dari aspek keteraturan administrasi pengelolaan,

misal sedikitnya terlihat dalam pendataan setiap santri yang

masuk sekaligus laporan mengenai kemajuan pendidikan

semua santri.

Berbeda dengan pesantren salafiyah, pondok modern yang

juga disebut pondok khalaf memiliki sistem pembelajaran yang

sistematis dan memberikan porsi yang cukup besar untuk mata

pelajaran umum. Referensi utama dalam materi keIslaman

117 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kyai

dan VisinyaMengenai Masa depan Indonesia, 54.

88 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

bukan kitab kuning, melainkan kitab-kitab baru yang ditulis

para sarjana muslim abad ke-20.118

Lembaga pendidikan formal di pondok modern disebut

dengan Kulliyatul Mu‟allimin al-Islamiyyah (KMI). KMI terdiri

dari 6 tingkatan kelas (1-3 setingkat madrasah Tsanawiyah dan

kelas 4-6 setingkat Aliyah) untuk pendidikan tingkat menengah.

Pendidikan modern konsisten tidak mengikuti standar

kurikulum pemerintah. Sejak pertama kali berdiri pada 1926,

pondok modern menggunakan kurikulum sendiri”.119

Adapun isi kurikulum pondok pesantren modern dalam hal

ini penulis mengambil contoh dari pesantren modern Gontor

dibagi menjadi beberapa bidang studi sebagai berikut:

a. Bahasa Arab (Semua disampaikan dalam bahasa Arab)

b. Dirasah Islamiyyah (untuk kelas II ke atas, seluruh

materi dalam bahasa Arab).

c. .Keguruan (dengan bahasa Arab) dan Psikologi

Pendidikan (dengan bahasa Indonesia).

d. .Bahasa Inggris.

e. Ilmu Pasti.

f. Ilmu Pengetahuan Sosial.

g. Ke-Indonesiaan/Kewarganegaraan.120

2. Model-model Pembelajaran Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang

didirikan, dikelola dan dipimpin oleh kiai dan para keluarga

serta keturunannya, maka model dan bentuk pembelajaran

yang ada di pesantren tersebut merupakan manifestasi spiritual

118 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20;

Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: UIN Press, 2009), Cet. I, h. 107

119 Ibid,108. 120Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan pembaharuan Pendidikan

Pesantren, 130.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |89

kiainya.121 Adapun model-model pembelajaran yang biasa

diterapkan di pesantren, di antaranya yakni:

a. Metode sorogan

Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang

berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan

kitabnya dihadapan kiai atau pembantunya. Sistem sorogan ini

termasuk belajar secara individual, di mana seorang santri

berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling

mengenal di antara keduanya.

Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya

diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada tempat duduk kiai

atau ustadz, kemudian di depannya ada meja untuk meletakkan

kitab bagi santri yang menghadap. Metode pembelajaran ini

termasuk metode pmbelajaran yang sangat bermakna karena

santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika

berlangsung kegiatan pembacaan kitab di hadapan kiai. Mereka

tidak saja senantiasa dapat dibimbing dan diarahkan cara

membacanya tetapi dapat dievaluasi perkembangan

kemampuannya. Dalam metode pembelajaran di pesantren,

metode sorogan merupakan metode yang paling sulit, karena

metode ini membutuhkan kesabaran, kerajinan dan disiplin

pribadi dari setiap santri.

b. Metode wetonan/bandongan

Istilah wetonan ini berasal dari kata wektu (bahasa Jawa)

yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada

waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah

melakukan sholat fardhu. Metode weton ini merupakan metode,

121 Masjkur, Anhari, Integrasi Sekolah ke Dalam Sistem Pendidikan

Pesantren (Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam), h. 25

90 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di

sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran santri menyimak

kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah

wetonan ini di Jawa Barat disebut dengan bandongan.

Metode bandongan dilakukan oleh seorang kiai atau ustadz

terhadap sekelompok santri untuk mendengarkan atau

menyimak apa yang dibacakan oleh kiai dari sebuah kitab.

Santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing

melakukan pendhabitan harakat kata lagsung di bawah kata

yang dimaksud agar dapat membantu memahmi teks.

c. Metode Musyawarah

Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa‟il

merupakan metode pembelajaran yang mirip dengan metode

diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah

tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kyi

atau ustadz, atau mengakaji suatu persoalan yang telah

ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri

dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau

pendapatnya. Dengan demikian, metode ini lebih menitik

beratkan pada kemampuan perseorangan di dalam

menganalisis dan memecahkan masalah.122 Di samping ketiga

metode tersebut, di pesantren juga telah dikembangkan

metode-metode lainnya, diantaranya adalah sebagai berikut:123

1) Metode muhawarah, yaitu melatih diri untuk bercakap-

cakap dengan menggunakan bahasa Arab. Metode inilah

yang kemudian dalam pesntren “modern” dikenal ssebagai

metode hiwar. Dalam aplikasinya, metode ini diterapkan

dengan mewajibkan para santri untuk berbicara baik

122 Ibid, hlm. 40 123 Ibid, hlm. 32

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |91

dengan sesame santri maupun dengan para ustadz atau

kiai, dengan menggunakan Bahasa Arab.124

2) Metode mudzakarah, yaitu pertemuan ilmiah semacam

diskusi yang secara khusus membicarakan atau membahas

masalah keagamaan sesuai dengan tema kitab yang sedang

dikaji. Dalam Mudzakarah ini santri melatih

ketrampilannya baik dalam berbahasa Arab,

berargumentasi dengan mengambil dari sumber referensi

kitab klasik tertentu.125

3) Metode keteladanan. Metode ini paling efektif terutama

untuk menanamkan nilai-nilai moral, nilai-nilai agama,

nilai-nilai pondok pesantren dan juga membentuk akhlaqul

karimah. Di sini kiai akan menjadi figur paradigmatik, akan

menjadi uswah hasanah dalam segala sesuatu perilaku dan

kehidupannya bagi para santrinya.

4) Metode pembiasaan, yakni suatu metode yang menjadikan

suatu perbuatan, sikap, perkataan, ibadah atau yang lain

menjadi kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Contoh

pembiasaan yang dilakukan di pondok pesantren misalnya

shalat berjama‟ah, patuh pada kiai,hormat pada yang lebih

tuadan sebagainya.126

5) Metode nasehat. Metode ini berisi perintah-perintah atau

ajaran-ajaran untuk melakukan kebaikan dan larangan-

larangan untuk melakukan kejelekan atau amar ma‟ruf

nahi munkar.

6) Metode hukuman. Adapun metode ini tidak mutlak

diperlukan, apabila keteladanan nasihat saja sudah cukup,

124 Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas

dan Tantangan Kompleksitas Global, h. 21 125 Ibid, 15 126 Masjkur Anhari, Integrasi Sekolah ke Dalam Sistem Pendidikan

Pesantren (Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam), h. 29

92 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

maka tidak perlu lagi hukuman. Biasanya di pondok

pesantren apabila terjadi pelanggaran dilakukan oleh

santri terhadap peraturan tata tertib yang ada, maka santri

tersebut akan mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai

dengan berat ringannya pelanggaran, biasanya sanksi itu

berupa membersihkan halaman, kamar mandi dan lain

sebagainya.

3. Manajemen Sarana Prasarana Pendidikan Pesantren

Pendidikan yang bermutu dapat dihasilkan melalui

transformasi sebuah sistem pendidikan yang didukung oleh

komponen input yang bermutu pula. Salah satu komponen

input tersebut adalah sarana dan prasarana.

Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan

yang secara langsung dipergunakan untuk menunjang proses

pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti

gedung, ruang kelas, meja kursi serta alat-alat dan media

pembelajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana

pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung

menunjang jalannya proses pendidikan atau pembelajaran,

seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah,

tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar

mengajar, seperti taman sekolah untuk pembelajaran biologi,

halaman sekolah sebagai sekaligus lapangan olahraga,

komponen tersebut merupakan sarana pendidikan. Adapun

yang termasuk sarana dalam pesantren diantaranya adalah kiai

dan kitab-kitab kuning sedangkan yang termasuk prasarana

dalam pesantren yaitu masjid dan pondok, tetapi apabila masjid

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |93

digunakan dalam proses pembelajaran maka masjid juga

termasuk dalam kategori sarana pendidikan pesantren.127

Sarana dan prasarana merupakan komponen penting

dalam pelaksanaan pendidikan sehingga perlu dilakukan

pengelolaan sedemikian rupa terhadapnya. Manajemen sarana

dan prasarana pendidikan, atau yang dikenal dengan istilah

school plan administration, diperlukan untuk memberikan

layanan profesional sehingga proses pendidikan disekolah

terselenggara secara efektif efisien. Proses manajemen sarana

dan prasarana tersebut harus dilaksanakan secara efektif dan

profesional dengan mengacu pada standar minimal yang ada.128

Ruang lingkup manajemen sarana dan prasarana pesantren

setidaknya meliputi empat hal pokok, yaitu: perencanaan,

pengadaan, perawatan dan administrasi yang meliputi

inventarisasi dan penghapusan.129

Perencanaan dapat dipandang sebagai suatu proses

penentuandan penyusunan rencana dan program-program

kegiatan yang akandilakukan pada masa yang akan datang

secara terpadu dan sistematisdalam rangka mencapai tujuan

yang telah di tetapkan sebelumnya.Berdasarkan pengertian

tersebut, perencanaan sarana dan prasaranapesantren adalah

suatu proses penentua dan penyusunan rencanapengadaan

fasilitas pesantren dalam rangka mencapai tujuan

tertentu.Rencana tersebut hendaknya memiliki sifat-sifat

sebagai berikut: pertama, harus jelas; kedua, rencana harus

terpadu; ketiga,mengidentifikasi kebutuhan sarana dan

127 Mulyasa, Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: PT

Bumi Aksara, 2013), h. 86 128 Agustinus, Hermino, Asesmen Kebutuhan Organisasi Persekolahan:

“Tinjauan Perilaku Organisasi Menuju Comprehensive Multilevel Planning” (Jakarta: PT Gramedia, 2013), h. 178

129 Sulton, Masyhud dkk, Manajemen Pondok Pesantren, 92

94 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

prasarana pesantren dipesantren;keempat, menetapkan

prioritas kebutuhan sarana danprasarana pesantren.

Pengadaan sarana dan prasarana pesantren pada

dasarnyamerupakan upaya untuk merealisasikan pengadaan

perlengkapan yangtelah disusun sebelumnya. Kegiatan

pengadaan ini meliputi; analisis kebutuhan; analisis anggaran;

seleksi; keputusan dan pemerolehan. Pengadaan ada beberapa

cara untuk mendapatkan perlengkapan yang dibutuhkan,

antara lain dengan cara membeli, mendapatkan hadiahatau

sumbangan, tukar menukar, dan meminjam.

Sarana dan prasrana yang sudah harus dirawat dan

dipeliharaagar dapat dimanfaatkan dengan optimal, efektif dan

efesien.Perawatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana

pesantren harus dilakukan secara teratur dan ber-

kesinambungan. Ada beberapa macam perwatan dan

pemeliharaan sarana dan prasarana pesantren di pesantren.

Ditinjau dari sifatnya, ada empat macam perawatan, yaitu;

pertama, perawatan yang bersifat pengecekan; kedua,

perawatan yang bersifat pencegahan; ketiga, perawatan yang

bersifat perbaikan ringan; keempat, perawatan yang bersifat

perbaikan berat. Sedangkan apabila ditinjau dari waktu

perbaikannya, ada dua macam perawatan sarana dan prasarana

pesantren yaitu perawatan sehari-hari dan perawatan berkala.

Namun yang terpenting adalah koordinasi dan kerja sama di

antara semua pihak di dalam mengelola dan memelihara sarana

dan prasarana pesantren agar tetap prima. Oleh karena itu,

para petugas yang berhubungan dengan sarana danprasarana

pesantren bertanggung jawab langsung kepada kepala

pesantren.

Salah satu aktivitas dalam pengelolaan perlengkapan

pesantrendi sebuah lembaga termasuk pesantren adalah

mencatat semua perlengkapan yang dimiliki oleh lembaga.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |95

Kegiatan pencatatan semua perlengkapan itu disebut

inventarisasi. Dengan demikian, inventarisasi adalah

pencatatan dan penyusunan daftar barang milik secara

sistematis, tertib dan teratur berdasarkan ketentuan-ketentuan

yang berlaku. Sedangkan inventaris adalah daftar yang

memuat semua barang milik kantor yang dipakai dalam

melaksanakan tugas. Kegiatan inventarisasi sarana dan

prasarana pesantren meliputi dua kegiatan ; pertama, kegiatan-

kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan dan

pembuatan kode barang; kedua, kegiatan yang berhubungan

dengan pembuatan laporan.

Penghapusan adalah kegiatan meniadakan barang-barang

miliklembaga dari daftar inventarisasi dengan cara

berdasarkan peraturanyang berlaku. Sebagai salah satu

aktivitas dalam pengelolaanperlengkapan pesantren,

penghapusan memiliki beberapa tujuan: a)Mencegah atau

membatasi kerugian yang lebih besar sebagai akibat

pengeluaran dana untuk perbaikan perlengkapan yang rusak.b)

Mencegah terjadinya pemborosan biaya pengamanan

perlengkapan yang tidak berguna lagi. c) Membebaskan

lembaga dari tanggungjawab pemeliharaan dan pengamanan.

d) Meringankan beban inventaris.

Walaupun pada kenyataannya yang terjadi pada awal

adanyapesantren hanya didukung dengan sarana prasarana

seadanya, tap berbekal niat yang ikhlas dan kerja keras dari

para kiai akhirnya dariwaktu ke waktu sarana prasarana

pesantren mencapai kemajuan yangsangat luar biasa.130

130 Ibid, 92

96 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

4. Manajemen Keuangan Pendidikan Pesantren

a. Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan pendidikan

pondok pesantren

Penggunaan anggaran dan keuangan, dari sumber

manapun, baik pemerintah ataupun dari masyarakat perlu

didasarkan pada prinsip-prinsip umum pengelolaan

pengelolaan keuangan sebagai berikut:

1) Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan

kebutuhan teknis yang disyaratkan.

2) Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana,

program/kegiatan.

3) Terbuka dan transparan, dalam pengertian dari dan

untuk apa keuangan lembaga tersebut perlu dicatat

dan dipertanggungjawabkan dengandisertai bukti

penggunaannya.

4) Sedapat mungkin menggunakan kemampuan/hasil

produksi dalam negeri sejauh dimungkinkan.131

b. Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan

pondok pesantren

Pihak pesantren bersama komite atau majelis pesantren

pada setiap awal tahun anggaran perlu bersama-sama

merumuskan rencana anggaran pendapatan dan belanja

pondok pesantren (RAPBPP) sebagai acuan bagi pengelola

pesantren dalam melaksanakan, manajemen keuangan yang

baik

Anggaran sendiri merupakan rencana yang diformulasikan

dalam bentuk rupiah dalam jangka waktu atau periode tertentu,

serta alokasi sumber-sumber kepada setiap bagian kegiatan.

131 Shulton Masyhud dan Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, h.

187

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |97

Anggaran memiliki peran penting di dalam perencanaan,

pengendalian dan evaluasi kegiatan yang dilakukan pondok

pesantren. Untuk itu setiap penanggung jawab program

kegiatan di pesantren harus menjalankan kegiatan sesuai

dengan anggaran yang telah ditentukan sebelumnya

Ada dua bagian pokok anggaran yang harus diperhatikan

dalam penyusunan RAPBPP, yaitu:

1) Rencana sumber atau target penerimaan/ pendapatan

dalam satu tahun yang bersangkutan, termasuk di

dalamnya sumber-sumber keuangan dari :

a) Kontribusi santri

b) Sumbangan dari individu atau organisasi

c) Sumbangan dari pemerintah (Bila Ada)

d) Dari hasil usaha pesantren

2) Rencana penggunaan keuangan dalam satu tahun yang

bersangkutan.Semua penggunaan keuangan pesantren

dalam satu tahun anggaranperlu direncanakan dengan baik

agar kehidupan pesantren dapat berjalan dengan baik juga.

Penggunaan keuangan pesantren tersebut menyangkut

seluruh pengeluaran yang berkaitan dengan kebutuhan

pengelolaan pesantren, termasuk untuk dana oprasional

harian, pengembangan sarana dan prasarana pesantren,

untuk honorarium/gaji/infaq semua petugas/pelaksana di

pesantren.132

132 Sulthon dan Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantern dalam

Perspektif Global, h.261-262

98 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

c. Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan keuanga

pondok pesantren

Semua pengeluaran keuangan pondok pesantren dari

sumber manapun harus dipertanggungjawabkan. Pertanggung

jawaban tersebut menjadi bentuk dari transparasi pengelolaan

keuangan. Pada prinsipnya pertanggung jawaban tersebut

dilakukan dengan mengikuti aturan dari sumber anggaran.

Namun demikian prinsip transpari dan kejujuran dalam

pertanggung jawabn keuangan pondok pesantren harus tetap

dijunjung tinggi. Dalam kaitan dengan pengelolaan keuangan

tersebut, yang perlu diperhatikan oleh bendaharawan pondok

pesantren adalah sebagai berikut:

1) Pada setiap akhir tahun anggaran, bendaharawan

harus membuat laporan keuangan kepada

komite/majelis pesantren untuk dicocokkan dengan

RAPBPP.

2) Laporan keuangan tersebut harus dilampiri bukti-

bukti laporan yang ada, termasuk bukti penyetoran

pajak (PPN & PPh) bila ada.

3) Kuitansi atau bukti-bukti pembelian atau bukti

penerimaan berupa tanda tangan, penerimaan

honorarium/bantuan/bukti pengeluaran lain yang sah

4) Neraca keuangan juga harus ditunjukkan untuk

diperiksa oleh pertanggung jawaban keuangan dari

komite pondok pesantren.133

133 bid, 267-268.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |99

E. Manajemen Pendidikan Islam di Madrasah

Manajemen madrasah adalah segenap proses penyelenggaraan

dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia melalui

pemanfaatan sumber daya manusia ataupun non manusia

untuk mencapai tujuan madrasah agar efektif dan efisien.

Selama ini madrasah danggap sebagai lembaga pendidikan

islam yang mutunya lebih rendah dari pada mutu lembaga

pendidikan lainnya, terutama sekolah umum, walaupaun

beberapa madrasah justru lebih maju dari pada sekolah umum.

Namun keberhasilanbeberapa madrasah dalam jumlah yang

terbatas itu belum mampu menghapus kesan negatif yang

sudah terlanjur melekat.134

Ditinjau dari segi penguasaan agama, mutu siswa

madrasah lebih rendah, daripada mutu santri pesantren.

Sementara itu, ditinjau dari hal penguasaan materi umum, mutu

siswa madrasah lebih rendah dari pada sekolah umum. Jadi,

penguasaan baik pelajaran agama maupun materi umum serba

mentah (tidak matang). Itulah yang menyebabkan Mastuhu

menilai, “madrasah menjadi semacam sekolah kepalang

tanggung”.

Dari segi manajemen, madrasah lebih teratur dari pada

pesantren tradisional (salafiyah), tetapi dari segi penguasaan

pengetahuan agama, santri lebih mumpuni. Keadaan ini wajar

terjadi karena santri tersebut hanya mempelajari pengetahuan

agama, sementara beban siswa madrasah berganda. Demikian

juga, menjadi wajar ketika dalam penguasaan pengetahuan

umum, siswa sekolah umum lebih menguasai daripada siswa

madrasah karena beban siswa sekolah umum tidak sebanyak

siswa madrasah.

134

Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), 80

100 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah

terus digulirkan, begitu juga usaha menuju ke kesatuan sistem

pendidikan nasional dalam rangka pembinaan semakin

ditingkatkan. Usaha tersebut bukan hanya merupakan tugas

dan wewenang Departemen Agama, tetapi merupakan tugas

bersama antara masyarakat dan pemerintah. Usaha tersebut

mulai terrealisasi terutama dengan dikeluarkannya surat

keputusan bersama (SKB) 3 mentri, antara Mentri Dalam

Negeri, Mentri Agama, dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan

pada tahun 1975, tentang peningkatan mutu pendidikan pada

madrasah. Adapun point-point SKB 3 mentri tersebut adalah:

1. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat.

2. Lulusan madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.

3. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang

setingkat.

Dengan adanya SKB 3 Mentri tersebut bukan berarti beban

yang dipikul madrasah tambah ringan, tetapi justru sebaliknya,

akan semakin berat. Hal ini dikarenakan di satu pihak ia

dituntut untuk memperbaiki kualitas pendidikan umumnya

sehingga setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah

umum. Di lain pihak ia harus menjaga agar mutu pendidikan

agama tetap baik sebagai ciri khasnya. Dengan adanya SKB 3

Mentri tersebut pendidikan agama pada madrasah menjadi

berkurang, karena madrasah-madrasah berlomba untuk

menambah materi pendidikan umum untuk mensejajarkan

denan sekolah umum

Pada dasarnya, secara organisasional, madrasah

merupakan organisasi yang mengelola diri (self-organized)

untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakteristiknya.

Dan pengelolaan diri ini dijalankan oleh para pemimpin

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |101

madrasah melalui sebuah mekanisme manajemen operatif.

Namun, karena madrasah di Indonesia merupakan sub sistem

dalam makro sistem pendidikan nasional dan tanggung jawab

pengelolaannya dibebankan pada Departemen Agama, maka

pengelolaan diri madrasah secara individu tidak cukup

memberikan dampak perubahan yang signifikan dan luas bagi

peningkatan kualitas hidup masyarakat muslim Indonesia saat

ini. Hal tersebut karena kondisi madrasah yang yang tergolong

miskin dalam berbagai sumber, termasuk sumber daya

manusianya dan inilah salah satu poblem yang menyelimuti

kehidupan madrasah.

Berbagai hal yang yang melatarbelakangi persoalan

tentang kelemahan manajerial madrasah adalah sebagai

berikut:135

1. Ketidakjelasan Misi, Visi dan Tujuan Madrasah

Dalam bukunya Total Quality Management in Education,

Edward Sallis mengemukakan bahwa dalam suatu organisasi

tanpa visi, maka perubahan tidak mungkin, tanpa misi maka

perubahan bisa salah arah, tanpa insentif, perubahan lama

terjadi,tanpa sumber daya perubahan tidak akan terwujud, dan

tanpa fasilitas, maka perubahan hanya sedikit. Jika madrasah

telah mencanangkan misi dan visi yang jelas, maka tujuan

tujuan akan muah dicapai, dilaksanakan, dikontrol dan

dievaluasi.

135 Sunhaji, Manajemen Madrasah, (Yogyakarta: Grafindo Litera

Media, 2006), hlm. 84

102 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

2. Ketidakjelasan struktur dan Tata Kerja

Seringkali terjadi tumpang tindih di lapangan antara

wewenang yayasan dengan pengelola madrasah. Salah satu

konflik laten dalam pengelolaan madrasah adalah perbedaan

kepentingan antara pihak pengelola madrasah dengan yayasan.

Yayasan sebagai pemilik biasanya memiliki posisi tawar yang

lebih, dan pada umumnya menggunakan kekuasaannya untuk

mengatur segala hal. Sebaliknya, madrasah cenderung tidak

atau kurang memiliki posisi tawar sehingga secarapsikologis

menjadikan pengelola madrasah tersubordinasikan.

3. Kurangnya keterlibatan madrasah

Sebelum isu desentralisasi pendidikan digulirkan dan lebih

khusus lagi dengan adanya pendidikan berbasis masyarakat,

madrasah adalah salah satu model pendidikan berbasis

masyarakat yang telah lama ditengah-tengah masyarakat. Akan

tetapi, perkembangan selanjutnya madrasah yang didirikan

masyarakat tersebut kemudian mengalami kemandegan inilah

problem klasik yang sering muncul. Ketika madrasah sudah

berdiri, maka keterlibatan aktif masyarakat untuk memikirkan

nasib, kelangsungan hidup (apalagi pengembangan dan

kemajuan) madrasah relatif kurang (kalau tidak bisa dikatakan

tidak ada).

4. Lemahnya jaringan (Network)

Banyak terjadi di masyarakat kita, bahwa dalamsatu

daerah tertentu terdapat beberapa madrasah yang

berdampingan tetapi belum bisa bergandeng tangan secara

maksimal, yang terjadi malah sebaliknya saling mematikan. Ini

tentu saja salah satu faktor rendahnya/lemahnya madrasah.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |103

5. Lemahnya manajemen

Kelemahan di bidang ini boleh dibilang merupakan

“wabah” yang menjangkiti sebagian besar madrasah.

Pendanaan terbatas, kurangnya sarana dan prasarana,

lemahnya SDM dan minimnya pengetahuan tentang organisasi

dan tata kerja merupakan beberapa sebab yang saling kait-

mengkait.

Untuk mengatasi problematika kelemahan madrasah di

atas setidak-tidaknya ada tiga pendekatan yang bisa

ditawarkan, yaitu:136

1. Islamisasi ilmu pengetahuan

Prof.dr. Muhammad Arkaum menganggap bahwa islamisasi

IPTEK sebagai suatu kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak

kita bahwa islam hanya semata-mata sebagai idiologi (USA,

1991) terlepas dari adanya pro dan kontra mengenai masalah

ini, bahwa islamisasi ilmu merupakan conditio since quanon,

bukan berarti seorang insinyur harus menguasai tafsir, fiqih,

ilmu hadits, dsb, namun paling tidak ia berkepribadian sebagai

seorang muslim sesuai nilai-nilai islam, bertawakal dsb,

demikian juga sebagai ustadz (ulama) sebagai alumni madrasah

harus menguasai iptek tetapi paling tidak menginsafi bahwa

IPTEK adalah penting bagi pengemangan ilmu pengetahuan itu

sendiri dan juga diperintahkan oleh agama. Usaha islamisasi ini

tidak hanya akan menghiangkan dikotomi sistem pendidikan

kita, juga akan mengikis dikotomi lembaga pendidikan yang

pada gilirannya akan menghilangkan sikap dikotomi terhadap

lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah dengan sekolah

136 Ibid, 80

104 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

umum sehingga kesan madrasah sebagai sekolah “kelas dua”

harus dihilangkan.

2. Legalitas kelembagaan

Sebagai tindak lanjut islamisasi dari ilmu tadi, maka

selanjutnya adalah harus ada legalitas kelembagaan dan

pengakuan profesional terhadap lembaga pendidikan semacam

madrasah. Sebanarnya legalitas kelembagaan ini sudah

tertuang didalam UUSPN.i No 2 tahunn 1989 namun baru tahap

formalitas, kenyataan dilapangan belum diakui 100% masih

terdapat dikotomi terhadap pengekuan profesionalisme antara

alumni pendidikan umum dengan alumni madrasah dalam

kiprah membangun bangsa yang mayoritas penduduknya

muslim ini. Karena itu penataan secara substansial baik

kurikulum dan kualitas pendidik menjadi sangat esensial.

3. Kurikulum pendidikan dan kualitas pendidik

Beberapa pergantian kurikulum dilakukan dalam rangka

meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, bagi madrasah

terakhir adalah adanya kurikulum berciri khas agama Islam

yang menerapkan 10% pendidikan agama dan 90% pendidikan

umum. Kurikulum ini kiranya membawa angin segar bagi

pengembangan pendidikan Islam. Adapun yang menjadi ciri

khas dari kurikulum jenis ini adalah: (1) matapelajaran-

matapelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan

Islam (Qur’an, Hadits, Akidah Akhlak, Ibadah, Syari’ah, Fiqh dan

Sejarah Islam), (2) suasana keagamaan yang berupa suasana

kehidupan madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah,

penggunaan metode dan pendekatan yang agamis dalam setiap

matapelajaran dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam

dan berakhlak mulia, disamping memiliki kualifikasi sebagai

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |105

tenaga pengajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam

upaya meningkatkan kualitas output madrasah juga perlu

didukung oleh pemanfaatan pendidik yang berkualitas.

Dengan demikian persoalan keprofesionalan tenaga

pendidik dalam madrasah sangat diperlukan guna

pengembangan madrasah ke arah yang lebih baik.

F. Manajemen Pendidikan Islam di Sekolah

Hal yang sangat penting dala manajemen pendidikan Islam

di sekolah adalah komponen-komponen manajemen. Sedikitnya

terdapat 7 (tujuh) komponen manajemen yang harus dikelola

dengan baik dan benar, di antaranya yaitu kurikulum dan

program pengajaran, tenaga kependidikan (personal

sekolah/pegawai), kesiswaan, keuangan dan pembiayaan,

sarana dan prasarana pendidikan, kerja sama sekolah dan

masyarakat, serta pelayanan khusus lembaga pendidikan.137

1. Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran

Manajemen kurikulum dan program pengajaran

merupakan bagian dari Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Manajemen kurikulum dan program pengajaran mencakup

kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kurikulum.

Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional

padaumumnya telah dilakukan oleh KementrianPendidikan

Nasionalpada tingkat pusat. Karena itu level sekolah

yangpalingpenting adalah bagaimana merealisasikan dan

menyesuaikankurikulum tersebut dengan kegitan

pembelajaran.

137 E. Mulyasa, 2005, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung. PT Remaja

Rosdakarya, 2005), hlm. 39-53

106 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Sekolah merupakan ujung tombak pelaksanaan

kurikulum,baik kurikulum nasional maupun muatan lokal,

yangdiwujudkan melalui proses belajar mengajar untuk

mencapaitujuan pendidikan nasional, institusional, kurikuler

daninstruksional. Agar proses belajar mengajar dapat

dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta mencapai hasil

yang diharapkan, diperlukan program manajemen pengajaran.

Manajemen pengajaran adalah keseluruhan proses

penyelenggaraan kegiatan di bidang pengajaran yang

bertujuan agar seluruh kegiatan pengajaran terlaksana

secaraefektif dan efesien. Manajemen sekolah diharapkan dapat

membimbing danmengarahkan pengembangan kurikulum dan

program pengajaran serta melakukan pengawasan dalam

pelaksanaannya, dan penilaian perubahan atau program

pengajaran di sekolah. Ia harus bertanggungjawab terhadap

perencanaan, pelaksanaan, penilaian, perubahan atauperbaikan

program pengajaran di sekolah. Untuk kepentingan tersebut,

sedikitnya ada empat langkah yang harusdilaksanakan, yaitu

menilai kesesuaian program yang adadengan tuntunan

kebudayaan dan kebutuhan murid, meningkatkan perencanaan

program, memilih dan melaksanakan program, serta menilai

perubahan program.

Usaha untuk membangun aktivitas pengembangan

kurikulum dan program pengajaran dalam manajemen

berbasissekolah (MBS), kepala sekolah sebagai pengelola

programpengajaran bersama guru-guru harus menjabarkan isi

kurikulum secara lebih rinci dan operasional ke dalam program

tahunan, semesteran, dan bulanan.

Adapun program mingguan atau program satuan

pelajaran wajib dikembangkan guru sebelum melakukan

kegiatan belajar mengajar. Berikut dirinci beberapa prinsip

yang harus diperhatikan:

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |107

a. Tujuan yang dikehendaki harus jelas, makin operasional

tujuan makin mudah terlihat dan makin tepat program-

program yang dikembangkan.

b. Program itu harus sederhana dan fleksibel.

c. Program-program yang disusun dan dikembangkan

harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

d. Program yang dikembangkan harus menyeluruh dan

harus jelas penyampaiannya

e. Harus ada koordinasi antara komponen pelaksana

program di sekolah.138

Adapun upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk

merealisasi hal-hal di atas adalah pembagian tugas guru,

penyusunan kalenderpendidikan dan jadwal pelajaran,

pembagian waktu yang digunakan,penetapan pelaksanaan

evaluasi belajar, penetapan penilaian, penetapan norma

kenaikan kelas, pencatatan kemajuan belajar peserta didik,

serta peningkatan perbaikan mengajar serta pengisian waktu

jam kosong.

2. Manajemen Tenaga Kependidikan

Manajemen tenaga kependidikan atau manajemen

personalia pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan

tenaga kependidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai

hasil yang optimal, namun tetap dalam kondisi

yangmenyenangkan. Sehubungan dengan itu fungsi personalia

yangharus dilaksanakan pimpinan adalah menarik,

mengembangkan, mengkaji dan memotivasi personil

gurumencapai tujuan sistem, membantu anggota mencapai

posisistandar perilaku, melaksanakan perkembangan karier

138 Ibid, h. 40-42

108 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

tenaga kependidikan, serta menyelaraskan tujuan individu dan

organisasi.

Manajemen tenaga kependidikan (guru dan personil)

mencakup: a) Perencanaan pegawai, b) Pengadaan Pegawai,

c)Pembinaan dan Pengembangan Pegawai, d) Promosi

danMutasi, e) Pemberhentian Pegawai, f) Kompensasi, dan g)

Penilaian Pegawai.139

Perencanaan pegawai merupakan kegiatan untuk

menentukan kebutuhan pegawai, baik secara kuantitatif

untuksekarang dan masayang akan datang. Pengadaan

pegawaimerupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan

pegawaipada suatu lembaga, baik jumlah maupun kualitasnya.

Untukmendapatkan pegawai yang sesuai dengan kebutuhan

dilakukan kegiatan recruitmen, yaitu usaha mencari dan

mendapatkan calon-calon pegawai yang memenuhi syarat

sebanyak mungkin, untuk kemudian dipilih calon terbaik dan

tercakap.

Lembaga pendidikan senantiasa menginginkan agar

personil-personilnya melaksanakan tugas secara optimal dan

menyumbangkan segenap kemampuannya untuk kepentingan

lembaganya, serta bekerja lebih baik dari hari ke hari.

Sehubungan dengan itu, fungsi pembinaan dan pengembangan

pegawai merupakan fungsi pengelolaan personil untuk

memperbaiki, menjaga dan meningkatkan kinerja pegawai.

Setelah diperoleh dan ditentukan calon pegawai yang akan

diterima, kegiatan selanjutnya adalah mengusahakan supaya

calon pegawai tersebut menjadi anggota lembaga yang sah

sehingga mempunyai hak dan kewajiban sebagai anggota

lembaga. Setelah pengangkatan pegawai, kegiatan berikutnya

adalah penempatan atau penugasaan diusahakan adanya

139 Ibid, hlm. 42

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |109

kongruensi yang tinggi antara tugas yang menjadi tanggung

jawab pegawai dengan karakteristik pegawai.

Pemberhentian pegawai merupakan fungsi personalia yang

menyebabkan terlepasnya pihak organisasi dan personil dari

hak pegawai. Dalam kaitan tenaga kependidikan sekolah,

khususnya pegawai negeri sipil, sebab-sebab pemberhentian

pegawai dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis: a)

Pemberhentian atas permohonan sendiri, b) Pemberhentian

oleh dinas atau pemerintah, dan c) Pemberhentian sebab

lain.140

Usaha-usaha dalam pelaksanaan fungsi-fungsi yang

dikemukakan di depan, diperlukan sistem penilaian pegawai

secara obyektif dan akurat. Penilaian tenaga kependidikan ini

difokuskan pada prestasi individu dan peran sertanya dalam

kegiatan sekolah. Bagi sekolah, hasil penilaian prestasi kerja

tenaga kependidikan sangat penting dalam pengambilan

keputusan berbagai hal seperti identifikasi kebutuhan program

sekolah, penerimaan, pemilihan, pengenalan, penempatan,

promosi, sistem imbalan, dan aspek lain dari keseluruhan

proses efektif sumber daya manusia.

3. Manajemen Kesiswaan

Manajemen kesiswaan adalah penataan dan pengaturan

terhadap kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik, mulai

dari masuk sampai keluarnya peserta didik tersebut dari

sekolah. Manajemen kesiswaan bukan hanya berbentuk

pencatatan data peserta didik, melainkan meliputi aspek yang

lebih luas yang secara operasional dapat membantu upaya

140 Ibid, hlm. 44

110 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

pertumbuhan dan perkembangan peserta didik mulai proses

pendidikan di sekolah.

Manajemen kesiswaan bertujuan untuk mengatur berbagai

kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran

di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur, serta

tercapai tujuan pendidikan sekolah. Untuk mewujudkan tujuan

tersebut, bidang manajemen kesiswaan sedikitnya memiliki

tiga tugas utama yang harus diperhatikan, yaitu penerimaan

siswa baru, kegiatan kemajuan belajar, serta bimbingan dan

pembinaan disiplin.

Berdasarkan tiga tugas utama tersebut Mulyasa

menjabarkan tanggung jawab kepala sekolah dalam mengelola

bidang kesiswaan berkaitan dengan hal-hal berikut:141

f. Kehadiran murid di sekolah dan masalah-masalah

yang berkaitan dengan itu.

g. Penerimaan, orientasi, klasifikasi, dan penunjukan

murid ke kelas dan program studi.

h. Evaluasi dan pelaporan kemajuan belajar.

i. Program supervisi bagi murid yang mempunyai

kelainan, seperti pengajaran luar biasa.

j. Pengendalian disiplin murid.

k. Program bimbingan dan penyuluhan.

l. Program kesehatan dan keamanan.

m. Penyesuaian pribadi, sosial dan emosional.

Penerimaan siswa baru biasanya dikelola oleh panitia

penerimaan siswa baru (PSB). Dalam kegiatan ini kepala

sekolah membentuk panitia atau menunjuk beberapa orang

guru untuk bertanggung jawab dalam tugas tersebut. Setelah

para siswa diterima lalu dilakukan pengelompokan dan

141 Ibid, hlm. 45

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |111

orientasi sehingga secara fisik, mental, dan emosional siap

untuk mengikuti pendidikan di sekolah.

Keberhasilan, kemajuan dan prestasi belajar para siswa

memerlukan data yang otentik, dapat dipercaya, dan memiliki

keabsahan. Data ini diperlukan untuk mengetahui dan

mengontrol keberhasilan atau prestasi kepala sekolah sebagai

manajer pendidikan di sekolahnya. Kemajuan belajar siswa ini

secara periodik harus dilaporkan kepada orang tua, sebagai

masukan untuk berpartisipasi dalam proses pendidikan dan

membimbing anaknya belajar, baik di rumah maupun di

sekolah.

Tujuan pendidikan tidak hanya untuk mengembangkan

pengetahuan anak, tetapi juga sikap, kepribadian, serta aspek

sosial emosional di samping ketrampilan-ketrampilan yang lain.

Sekolah tidak hanya bertanggung jawab dalam memberikan

ilmu pengetahuan, tetapi juga pembinaan disiplin

melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan murid,

memberikan bimbingan dan bantuan terhadap anak

bermasalah, baik dalam belajar, emosional, maupun sosial

sehingga anak dapat berkembang secara optimal sesuai dengan

potensi masing-masing. Untuk kepentingan tersebut diperlukan

data yang lengkap tentang peserta didik. Untuk itu, di sekolah

perlu dilakukan pencatatan dan ketatalaksanaan kesiswaan,

dalam bentuk buku induk, buku laporan keadaan siswa, buku

rapor, daftar kenaikan kelas, buku mutasi dan sebagainya.

4. Manajemen Keuangan dan Pembiayaan

Keuangan dan pembiayaan merupakan sumber daya yang

secara langsung menunjang efektivitas dan efisiensi

pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam

implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS), yang

112 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan,

melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggung-

jawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada

masyarakat dan pemerintah. Komponen keuangan dan

pembiayaan ini perlu dikelola sebaik-baiknya agar dana-dana

yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang

tercapainya tujuan pendidikan.

Sumber keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah

secara garis besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu

a) Pemerintah, baik dari pusat, daerah, maupun keduaduanya,

b) Orang tua atau peserta didik, dan c) Masyarakat, baik

mengikat maupun tidak mengikat.142

Biaya rutin adalah dana yang harus dikeluarkan dari tahun

ke tahun seperti gaji pegawai (guru dan non guru), serta biaya

operasional, biaya pemeliharaan gedung, fasilitas dan alat-alat

pembangunan, misalnya biaya pembelian atau pengembangan

tanah, pembangunan gedung, perbaikan atau rehab gedung,

penambahan furnitur, serta biaya lain untuk barang-barang

yang tidak habis pakai.

Komponen utama manajemen keuangan meliputi: a)

Prosedur anggaran, b) Prosedur akuntansi keuangan, c)

Pembelajaran, pergudangan, dan prosedur pendistribusian, d)

Prosedur investasi, dan e) Prosedur pemeriksaan. Kepala

sekolah berfungsi sebagai manajer, berfungsi sebagai otorisator

dan dilimpahi fungsi ordonator untuk memerintahkan

pembayaran. Namun tidak dibenarkan melaksanakan fungsi

bendaharawan karena kewajiban melaksanakan pengawasan

ke dalam. Bendaharawan, di samping mempunyai fungsi-fungsi

142 Ibid, hlm. 48

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |113

bendaharawan juga dilimpahi fungsi ordonator untuk menguji

hak atas pembayaran.143

5. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan

yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses

pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti

gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media

pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana adalah

fasititas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses

pendidikan atau pengajaran, seperti halaman, kebun, taman

sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara

langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah

untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sekaligus sebagai

lapangan olah raga, komponen tersebut merupakan sarana

pendidikan.

Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas

mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar

dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada

jalannya proses pendidikan. Kegiatan pengelolaan ini meliputi

kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan

investasi, dan penghapusan serta penataan. Manajemen sarana

dan prasarana yang baik diharapkan dapat menciptakan

sekolah yang bersih, rapi dan indah sehingga menciptakan

kondisi yang menyenangkan baik bagi guru maupun bagi murid

untuk berada di sekolah. Di samping itu juga dengan

tersedianya alat atau fasilitas belajar yang memadai secara

kuantitatif, kualitatif, dan relevan dengan kebutuhan

diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk

143 Ibid, hlm. 49

114 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru

sebagai pengajar maupun oleh murid sebagai pelajar.144

6. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat

Hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakekatnya

merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina

dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di

sekolah.

Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat

erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara

efektif dan efisien. Hubungan sekolah dengan masyarakat

bertujuan antara lain: a) Memajukan kualitas pembelajaran,

dan pertumbuhan anak, b) Memperkokoh serta meningkatkan

kualitas hidup dan penghidupan masyarakat, dan c)

Menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan

sekolah.

Fuad Ihsan dalam bukunya Dasar-Dasar Kependidikan

menyebutkan bahwa manfaat hubungan timbal balik antara

sekolah dan masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Bagi Masyarakat

a. Adanya bantuan tenaga terdidik pada bidangnya,

ini ikut memperlancar pembangunan di

lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

b. Masyarakat akan dapat secara terbuka

menyatakan realita di masyarakat tersebut kepada

para terdidik yang datang/ada di lingkungan

masyarakat tersebut.

144 Ibid, hlm. 49-50

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |115

c. Meningkatkan cara berfikir, bersikap dan

bertindak yang lebih maju terhadap program

pemerintah di lingkungan masyarakat tersebut.

d. Masyarakat akan lebih mengenal fungsi sekolah

untuk pembangunan bagi mereka sehingga mereka

ikut memiliki sekolah tersebut.

e. Masyarakat terdorong untuk makin maju dalam

berbagai bidang kehidupannya, berkat kerjasama

antara masyarakat dan sekolah.

2. Bagi Sekolah

a. Sekolah mendapat masukan dalam

penyempurnaan pendidikan/pengajaran/PBM,

akibat interaksi sekolah dengan masyarakat.

b. Memberikan pengalaman langsung dan praktis

bagi siswa dalam berbagai hal.

c. Mendekati masalah secara interdisipliner.

d. Mengerti dan harus tanggap terhadap kebutuhan

masyarakat dalam masa pembangunan ini.

e. Terdorong untuk mengerti lebih banyak dalam

berbagai segi masyarakat.

f. Memanfaatkan nara sumber dari masyarakat.

g. Sekolah banyak menerima bantuan dari

masyarakat antara lain pemikiran, dana, saran,

dan lain-lain.

h. Memanfaatkan masyarakat sebagai laboratorium

yang sesuai dengan keperluan siswa/mata

pelajaran tertentu.

116 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Sedangkan Made Pidarta145 menyebutkan secara rinci

manfaat hubungan lembaga pendidikan dengan masyatakat

adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Bagi Lembaga Pendidikan Bagi Masyarakat

1. Memperbesar dorongan mawas diri

2. Mempermudah memperbaiki pendidikan.

3. Memperbesar usaha meningkatkan profesi mengajar.

4. Konsep tentang guru/ dosen menjadi benar

5. Mendapatkan koreksi dari kelompok masyarakat

6. Mendapatkan dukungan moral dari masyarakat

7. Memudahkan meminta bantuan dan material dari masyarakat

8. Memudahkan pemakaian media pendidikan

4. Tahu hal-hal persekolahan dan inovasinya

5. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tentang pendidikan lebih mudah diwujudkan

6. Menyalurkan kebutuhan berpartisipasi dalam pendidikan

7. Melakukan usul-usul terhadap lembaga pendidikan

Dari beberapa uraian tersebut di atas, jelas terlihat bahwa

pada hakekatnya hubungan antara lembaga pendidikan dan

masyarakat sangatlah bersifat korelatif, saling mendukung satu

sama lain. Lembaga maju karena adanya dukungan dari

masyarakat dan masyarakat bisa maju karena adanya

pendidikan yang memadai. Karena bagaimanapun juga setiap

145 Made Pidarrta, Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan, (TP: Sarana

Press, 1986), hlm. 361

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |117

peserta didik pasti akan terjun ke masyarakat. Oleh sebab

itulah, peran aktif masyarakat dalam memajukan pendidikan

akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan

masa depan, dengan demikian tujuan nasional yaitu

mencerdaskan kehidupan bangsa dan memeratakan pendidikan

dengan sistem Wajar (wajib belajar 12 tahun) akan berhasil dan

menghasilkan output yang bermutu dan siap terjun di

masyarakat dengan berbagai tantangan yang ada di dalamnya.

Untuk merealisasi tujuan tersebut banyak cara dilakukan,

antara lain dengan memberitahu masyarakat mengenai

program-program sekolah, baik program yang telah

dilaksanakan, maupun program yang akan dilaksanakan.

Hubungan yang harmonis ini akan membentuk:

a. Saling pengertian antara sekolah, orang tua,

masyarakat dan lembaga-lembaga lain yang ada di

masyarakat termasuk dunia kerja.

b. Saling membantu antara sekolah dan masyarakat

karena mengetahui manfaat dan arti pentingnya

masing-masing.

c. Kerjasama yang erat antara berbagai pihak yang ada di

masyarakat dan mereka merasa ikut bertanggung

jawab atas suksesnya pendidikan di sekolah.146

Melalui hubungan yang harmonis tersebut diharapkan

tercapai tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat yaitu

terlaksananya proses pendidikan di sekolah secara produktif,

efektif dan efisien sehingga menghasilkan lulusan sekolah yang

produktif dan berkualitas.

146 E. Mulyasa, Op.Cit, hlm. 51

118 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

7. Manajemen Layanan Khusus

Manajemen layanan khusus meliputi manajemen

perpustakaan, kesehatan dan keamanan sekolah. Perpustakaan

yang lengkap dan dikelola dengan baik memungkinkan peserta

didik untuk lebih mengembangkan dan mendalami

pengetahuan yang diperolehnya di kelas melalui belajar

mandiri, baik pada waktu-waktu kosong di sekolah maupun di

rumah. Karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni pada masa sekarang ini menyebabkan guru

tidak bisa lagi melayani kebutuhan-kebutuhan anak-anak akan

informasi, dan guru-guru tidak bisa mengandalkan apa yang

diperolehnya dibangku sekolah.

Sekolah sebagai satuan pendidikan yang bertugas dan

bertanggung jawab melaksanakan proses pembelajaran tidak

hanya bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan,

ketrampilan, dan sikap saja, tetapi harus menjaga dan

meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani peserta didik.

Untuk kepentingan tersebut di sekolah dikembangkan program

pendidikan jasmani dan kesehatan, menyediakan pelayanan

kesehatan sekolah melalui usaha kesehatan sekolah (UKS), dan

berusaha meningkatkan program pelayanan melalui kerja sama

dengan unit-unit dinas kesehatan setempat. Di samping itu

sekolah juga harus memberikan pelayanan keamanan kepada

peserta didik dan para pegawai yang ada di sekolah agar

mereka dapat belajar dan melaksanakan tugas dengan nyaman

dan tenang.147

Dari berbagai komponen manajemen yang telah

dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur

manajemen pendidikan adalah kurikulum dan program

pengajaran, tenaga kependidikan (personal sekolah/pegawai),

147 Ibid, hlm. 52

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |119

kesiswaan, keuangan dan pembiayaan, sarana dan prasarana

pendidikan, kerjasama sekolah dan masyarakat, serta

pelayanan khusus lembaga pendidikan. Komponen tersebut

tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya

dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Komponen manajemen ini harus dilaksanakan

secara serasi, menyeluruh, berkesinambungan, karena antara

komponen yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi dan

merupakan kesatuan untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan.

Unsur-unsur manajemen pendidikan di atas juga lazim

digunakan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dengan

demikian, unsur-unsur tersebut dapat dikembangkan dalam

manajemen pendidikan Islam.

120 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |121

BAB IV

KEPEMIMPINAN DALAM DUNIA

PENDIDIKAN

A. Ragam Teori Kepemimpinan

Secara umum, kepemimpinan (leadership) adalah kegiatan

manusia dalam kehidupan. Secara etimologi kepemimpinan

berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika mendapat awal “me”

menjadi “memimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan

jalan, dan membimbing.148

Dalam konteks manajemen, para manajer organisasi adalah

pemimpin manajerial yang menjalankan kepemimpinan.149

Hersey dan Blanchard, berpendapat bahwa: “Leadership is the

process of influencing the activities of an individual or group in

ejforts toward goal achievement in a given situation”.150

Pendapat ini menegaskan kepemimpinan merupakan proses

mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok dalam usaha

kearah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu

Proses memengaruhi antara pemimpin dengan

pengikut/anggota tidak seorang pemimpin mempengaruhi

pengikut justru antara keduanya. Sebagai suatu proses

mempengaruhi, maka kepemimpinan merupakan kemampuan

pemimpin mempengaruhi seseorang sehingga mau melakukan

pekerjaan dengan sukarela untuk mencapai tujuan yang

148 Elvi Rahmi, “Leaderaship-Manajerialship dalam Pendidikan Islam”,

Tadris, Volume 13, No. 2, Desember 2018, h. 220-221 149 Syafaruddin, Manajemen Organisasi Pendidikan Perspektif Islam dan

Sains, (Medan: Perdana Publishing, 2015), h. 91 150 P. Hersey, P. dan K. Blanchard. (1986). Manajemen Perilaku

Organisasi (terjemahan oleh Agus Dharma), (Jakarta: Erlangga, 1988), h. 86

122 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

diinginkan.151 Kouzes dan Posner menjelaskan “Leadership is

relationship, one between constituent and leader what base on

mutual needs and interest”.152 Dari pendapat ini dipahami

bahwa kepemimpinan itu terdiri dari adanya pemimpin, yang

dipimpin (anggota) dan situasi saling memerlukan satu sama

lain.

Stogdill dalam Keith Grint seperti yang dikutip Syafaruddin

menjelaskan kepemimpinan ialah sebagai tindakan

mempengaruhi kegiatan kelompok dalam usaha menyusun dan

mencapai tujuannya. Di dalamnya terdiri dari unsur-unsur

kelompok (dua orang atau lebih), ada tujuan dalam orientasi

kegiatan serta pembagian tanggung jawab sebagai bentuk

perbedaan kewajiban anggota.153

Kepemimpinan sebagai suatu proses di dalamnya

terkandung interaksi tiga faktor penting yaitu fungsi pemimpin,

pengikut (anggota) dan situasi yang melingkupinya. Berarti

dalam setiap situasi yang bagaimanapun, kepemimpinan bisa

berlangsung baik di bidang industri, organisasi pemerintahan,

organisasi politik, bisnis maupun pada kegiatan pendidikan di

sekolah. Bahkan kepemimpinan dapat berlangsung di luar

organisasi seperti dalam kepemimpinan sosial dan keagamaan

Setiap organisasi dapat mencapai tujuan organisasinya

secara maksimal dengan menggunakan manajemen. Namun

begitu, di dalam memfungsikan manajemen diperlukan pula

proses kepemimpinan. Kegiatan pencapaian tujuan organisasi

berlangsung maksimal melalui kepemimpinan dapat

dinamakan sebagai proses manajemen pula. Keterampilan

151 L.F.C Achua, Managing Individual Are Group, Behavioral in

Organization, (New York: MC. McGraw Hill, 2010), h. 6 152 Kouzes dan Posner, The leadership Challenge, (Jakarta: Erlangga,

2004), h. 11 153 Syafaruddin, Op.Cit, h. 91

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |123

memimpin dalam mencapai tujuan organisasi inilah sebagai

kegiatan manajemen yang maksimal. Dengan kata lain

kepemimpinan adalah inti manajemen yang dijalankan untuk

mencapai tujuan organisasi

Kepemimpinan adalah proses memberikan inspirasi orang

lain untuk bekerja keras dalam mencapai tugas-tugas

penting.154 Di sini dipahami bahwa kepemimpinan merupakan

proses memberikan inpirasi kepada bawahan atau anggota.

Intinya adalah bagaimana pemimpinan mempengaruhi

bawahan mau bekerja keras dengan sukarela dalam mencapai

tujuan.

Kepemimpinan terdiri dari seperangkat fungsi atau

tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pemimpin

untuk menjamin terlaksananya tugas, iklim kerjasama

kelompok, kepuasan anggota yang berhubungan dengan tujuan

organisasi. Dengan kata lain kepemimpinan berlangsung

diawali dari tindakan mempengaruhi anggota atau bawahan

dan diakhiri pada tercapainya tujuan organisasi atau kepuasan

anggota.

Kemudian Owens seperti dikutip Syafaruddin menegaskan

bahwa kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi

perilaku orang lain melalui interaksi sosial. Dengan kata lain,

kepemimpinan terjadi dalam interaksi dua orang atau lebih,

dan tujuan pemimpin adalah berusaha mempengaruhi perilaku

orang lain baik perorangan maupun kelompok.155 Setiap

manajer dituntut menunjukkan perilaku pemimpin agar tujuan

organisasi dapat dicapai secara efektif. Para manajer dalam

memperjuangkan pencapaian tujuan organisasi menjalankan

154 Schermerhorn, dikutip oleh Ernie Tisnawati Sule dan Kuniawan

Saefullah, .Pengantar Manajemen. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)

155 Syafaruddin, Loc.Cit, h. 92

124 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

organisasi dengan keterampilan manajerial yaitu

kepemimpinan yang efektif.

Pemimpin adalah orang yang diserahi tugas dan tanggung

jawab untuk memimpin organisasi atau diterima menjadi

pemimpin dalam situasi tertentu. Pemimpin memiliki

kemampuan untuk memimpin, ilmu dan pengetahuan, ber-

pengalaman serta harus memenuhi persyaratan keterampilan

dan pengetahuan misalnya mengatur pembagian kerja,

merancang strategi, mengkoordinasikan sumber daya bersikap

kooperatif untuk memperlancar pekerjaan dalam mencapai

tujuan. Kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin adalah

mempengaruhi, mengendalikan tingkah laku dan perasaan

orang lain untuk mencapai tujuan merupakan substansi

kepemimpinan itu sendiri.

Kepemimpinan dalam organisasi disebut juga

kepemimpinan kedudukan (status leadership), dan

kepemimpinan yang ada pada diri individu tanpa jabatan

disebut kepemimpinan personal (kepemimpinan pribadi).

Kouzes dan Posner menjelaskan “Leadership is relationship, one

between constituent and leader what base on mutual needs and

interest”. Pendapat ini menekankan bahwa kepemimpinan itu

terdiri dari adanya pemimpin, yang dipimpin (anggota) dan

situasi saling memerlukan satu sama lain.156

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan adalah proses mempengaruhi tindakan orang

lain, anggota atau bawahan secara individu dan kelompok agar

mau bekerja secara sukarela dalam rangka mencapai tujuan

bersama. Hubungan timbal balik antara pemimpin dengan yang

dipimpin dengan mengandalkan kemampuan komunikasi

156 Kouzes dan Posner, Op.Cit, h. 11

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |125

interpersonal adalah penting sehingga pekerjaan dilaksanakan

dengan sebaik-baiknya.

Kegiatan memberikan perintah, menyampaikan visi,

inspirasi, membangun tim kerja, membangun keteladanan,

memenuhi pengharapan anggota merupakan karakteristik

kepemimpinan menuju efektivitasnya. Hal di atas sejalan

dengan pendapat Locke sebagaimana dikutip Syafaruddin,

kepemimpinan itu sebenarnya harus membujuk orang lain

untuk mengambil tindakan. Para pemimpin membujuk para

pengikutnya melalui berbagai cara, yaitu: menggunakan

otoritas yang legitimasi, menciptakan model (menjadi teladan),

penetapan sasaran, memberikan imbalan dan hukuman,

restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah

visi.157

B. Karakteristik Fungsi Leader dalam Pendidikan Islam

Secara garis besar, setiap orang yang diangkat menjadi seorang

pimpinan didasarkan atas beberapa kelebihan yang dimilikinya

dari pada orang-orang yang dipimpin. Karena itu untuk menjadi

pemimpin diperlukan adanya syarat-syarat tertentu, yakni

karakteristik atau sifat-sifat yang baik yang harus dimiliki oleh

seorang pemimpin.158

Menurut Mujamil Qomar, karakteristik dari seorang

pemimpin dalam kepemimpinan pendidikan antara lain:

1. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup

untuk mengendalikan lembaga atau organisasinya.

2. Memfungsikan keistimewaannya yang lebih di banding

orang lain.

157 Syafaruddin, Op.Cit, h. 93 158 M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan(Cet. X;

Bandung: Remaja Karya, 2001), h. 57

126 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

3. Memahami kebiasaandan bahasa orang yang menjadi

tanggung jawabnya.

4. Mempunyai karisma atau wibawa dihadapan manusia

atau orang lain

5. Bermuamalah dengan lembut dan kasih sayang

terhadap bawahannya, agar orang lain simpatik

kepadanya

6. Bermusyawarah dengan para pengikut serta mintalah

pendapat dan pengalaman mereka.

7. Mempunyai power dan pengaruh yang dapat

memerintah serta mencegah karena seorang

pemimpin harus melakukan control pengawasan atas

pekerjaan anggota, meluruskan kekeliruan, serta

mengajak mereka untuk berbuat kebaikan dan

mencegahkemungkaran.

8. Bersedia mendengar nasehat dan tidak sombong,

karena nasehat dari orang yang ikhlas jarang sekali

kita peroleh.

Menurut perspektif pendidikan Islam karakteristik

sekaligus fungsi kepemimpinan (leader) sama dengan

karakteristikyang dituntut dalam pendidikan pada umumnya,

sebagai mana yang telah diuraikan di atas, maksudnya

pendidikan Islam tidak menolak semua sifat atau karakteristik

yang telah ditawarkan oleh para ahli pendidikan tersebut,

karena apa yang ditawarkan tersebut semuanya sesuai dengan

pendidikan Islam. Meskipun begitu dalam pendidikan Islam ada

hal-hal yang sangat ditekankan mengenai karakteristikyang

harus dimiliki oleh pemimpin pendidikan Islam.

Karakteristik yang harus dimiliki oleh kepemimpinan

pendidikan Islam juga lebih kepada bagaimana karakteristik

yang dicerminkan oleh nabi Muhammad saw., beliau selalu

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |127

memperlakukan orang dengan adil dan jujur. Beliau tidak hanya

berbicara dengan kata-kata, tapi juga dengan perbuatan dan

keteladanan. Kata-kata beliau selalu konsisten. Tidak ada

perbedaan antara kata dan perbuatan. Sebagai pemimpin

teladan yang menjadi model ideal pemimpin, Rasulullah

dikaruniai empat sifat utama, yaitu: shiddiq, amanah, tablig dan

fathanah. Shiddiq berarti jujur dalam perkataan dan perbuatan,

amanah berarti dapat dipercaya dalam menjaga tanggung

jawab. Tablig berarti menyampaikan segala macam kebaikan

kepada rakyatnya. Fathanah berarti cerdas dalam mengelola

masyarakat. Menerapkan karakteristik yang dimiliki oleh

beliau, otomatis kepemimpinan pendidikan Islam akan berjalan

sesuai tujuan yang ingin dicapai.

Empat karakteristik Rasulullah tersebut dapat berfungsi

dalam karakteristik fungsi leader (kepemimpinan) pendidikan,

sebagaimana uraian berikut:

1. Fungsi Karakter Shiddiq

Kepemimpinan yang mengedepankan integritas moral

(akhlak), satunya kata dan perbuatan, kejujuran, sikap dan

perilaku etis. Sifat jujur merupakan nilai-nilai

transendentalyang mencintai dan mengacu kepada kebenaran

yang datangnya dari Allah swt.(shiddiq) dalam berpikir,

bersikap, dan bertindak. Perilaku pemimpin yang shiddiq

(shadiqun) selalu mendasarkan pada kebenaran dari

keyakinannya, jujur dan tulus, adil,serta menghormati

kebenaran yang diyakini pihak lain yang mungkin berbeda

dengan keyakinannya, bukan merasa diri atau pihaknya paling

benar.159

159 Zaenal Moestopa, “Dasar dan Karakteristik Kepemimpinan

Pendidikan Islam” Blog Kumpulan Tulisan Ilmiah. http://kumpulan-tulisan-

128 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Dengan sifat tersebut Nabi Muhammad saw. menjadi

seorang pemimpin kepercayaan bagi orang-orang yang hidup

semasanya. Beliau selalu memperlakukan orang dengan adil

dan jujur. Beliau tidak hanya berbicara dengan kata-kata, tetapi

juga dengan perbuatan dan keteladanan. Kata-kata beliau selalu

konsisten. Tidak ada perbedaan antara kata dan perbuatan.160

Abu Hurairah r.a berkata: Nabi Muhammad saw. bersabda:

Ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah

naungan Allah, tiada naungan kecuali naungan Allah:

Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah

kepada Allah. Orang yang hatinya selalu gandrung kepada

masjid. Dua orang yang saling kasih sayang karena Allah, baik

waktu berkumpul atau berpisah. Oranglaki yang diajak

berzinaholeh wanita bangsawan nancantik, maka menolak

dengan kata: saya takut kepada Allah. Orang yang sedekah

dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak

mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan

orang berdzikir ingat pada Allah sendirian hingga mencucurkan

air matanya. (HR. Bukhari dan Muslim).161

Meski hadis ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter

orang yang dijamin keselamatannya oleh Allah swt. nanti pada

hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini

adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil.

Bukannya kita menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan

tetapi karakter pemimpin yang adil memang menjadi tonggak

bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin

ilmiah.blogspot.co.id/2015/02/dasar-dan-karakteristik-kepemimpinan.html (17April 2018).

160 Sakdiah, “Karakteristik Kepemimpinan dalam Islam (Kajian Historis Filosofis) Sifat-Sifat Rasulullah”, h. 40.

161 Ibid

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |129

yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang

penderitaan yang cukup dalam.162

Dalam hubungannya dengan kepemimpinan pendidikan.

Karakter shiddiq dapat dikatakan sebagai hal yang urgent

dalam penerapannya dalam kepemimpinan pendidikan karena

dengan karakter shiddiq yang dimiliki oleh pemimpin suatu

madrasah atau lembaga pendidikan dapat jauh dari kebobrokan

karena pemimpin yang membiasakan jujur dan adil akan

membuat bawahan menjadi lebih percaya terhadapnya

sehingga bawahan dapat bekerja tanpa adanya kecurigaan dan

dapat bekerja dengan semangat yang lebih.

2. Fungsi Karakter Amanah

Karakter yang seharusnya dimiliki oleh seorang

pemimpin sebagaimana karakter yang dimiliki Rasul yaitu

sifat dapat dipercaya atau bertanggung jawab. Beliau jauh

sebelum menjadi Rasul pun sudah diberi gelar al-Amin

(yang dapat dipercaya). Sifat amanah inilah yang dapat

mengangkat posisi Nabi di atas pemimpin umat atau Nabi-

Nabi terdahulu. Pemimpin yang amanah yakni pemimpin

yang benar-benar bertanggungjawab pada amanah, tugas

dan kepercayaan yang diberikan Allah swt. amanah dalam

hal ini adalah apapun yang dipercayakan kepada Rasulullah

saw. meliputi segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi,

maupun agama.163

Firman Allah yang berbicara tentang amanah yang

diemban oleh setiap manusia terdapat dalam surat Al-Ahzab

ayat 72, bunyinya:

162 Ibid 163 Ibid, h. 40-41

130 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada

langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan

untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan

mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.

Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.

(QS. al-Ahzab [3]: 72)164

Berdasarkan ayat di atas menyatakan bahwa setiap

manusia mempunyai amanah yang harus dipertanggung-

jawabkan kepada Allah swt., walau sekecil apapun amanat itu.

Sifat amanah yang ada pada diri Nabi Muhammad saw.

memberibukti bahwa beliau adalah orang yang dapat

dipercaya, karena mampu memelihara kepercayaan dengan

merahasiakan sesuatu yang harus dirahasiakan dan sebaliknya

selalu mampu menyampaikan sesuatu yang seharusnya

disampaikan. Sesuatu yang harus disampaikan bukan saja tidak

ditahan-tahan, tetapi juga tidak akan diubah, ditambah atau

dikurangi. Demikianlah kenyataannya bahwa setiap firman

selalu disampaikan Nabi sebagaimana difirmankan kepada

beliau. Dalam peperangan beliau tidak pernah mengurangi

harta rampasan untuk kepentingan sendiri, tidak pernah

menyebarkan aib seseorang yang datang meminta nasihat dan

petunjuknya dalam menyelesaikannya dan lain-lain.165

164 Departamen Agama RI., Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VIII (Cet. III;

Jakarta: Lembaga Percetakan al-Qur’an Departemen Agama, 2009),h. 49 165 Sakdiah, Loc. Cit, h. 41

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |131

Karakter amanah yang dimiliki oleh pemimpin jika

diterapkan dalam pendidikan akan memberikan keberhasilan

pada madrasah atau lembaga pendidikan yang dipimpin.

Apabila pemimpin dapat menyampaikan suatu hal yang dapat

disampaikan dan tidak menyembunyikan suatu hal otomatis

akan berpengaruh pada keberhasilan atau kesuksesan dalam

madrasah atau lembaga pendidikan lainnya. Sebaliknya, jika

terdapat hal yang harus disampaikan tetapi tetap

disembunyikanmaka lambat laun akan berpengaruh terhadap

kebobrokan madrasahatau lembaga pendidikan yang

dipimpinnya.166

3. Fungsi Karakter Tablig

Satu istilah yang disandang Nabi Muhammad saw.

pemberian Allah yaitu munzhir (pemberi peringatan) diutusnya

Nabi Muhammad saw. sebagai orang yang memberi peringatan

yakni untuk membimbing umat, memperbaiki dan

mempersiapkan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia

dan akhirat.

Predikat munzhir yang disandang menuntut beliau untuk

menguasai informasi agar dapat memimpin umatnya serta

bertugas untuk menyampaikan (tabligh) risalah kepada

manusia. Tiap-tiap orang yang beriman wajib meyakinkan

bahwa Allah telah mengutus beberapa Rasul dari golongan

manusia sendiri untuk menyampaikan pelajaran kepada

umatnya dan apa saja yang diperintahkan kepadanya untuk

menyampaikannya serta menjelaskan hukum-hukum yang

166 Akram, “Karakteristik Kepemimpinan Pendidikan Islam”, Makalah,

(Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2018), h. 12

132 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang mulia dan sifat-

sifat yang dituntut bagi mereka untuk mengerjakan.167

Tabligh merupakan sifat Rasul yang ketiga, cara dan

metodenya agar ditiru. Sasaran pertama adalah keluarga beliau,

lalu berdakwah ke segenap penjuru. Sebelum mengajarkan

sesuatu, beliau yang terlebih dahulu melakukannya. Sifat Ini

adalah sebuah sifat Rasul untuk tidak menyembunyikan

informasi yang benar apalagi untuk kepentingan umat dan

agama. Beliau tidak pernah sekalipun menyimpan informasi

berharga hanya untuk dirinya sendiri. Beliau sering

memberikan berita gembira mengenai kemenangan dan

keberhasilan yang akan diraih oleh pengikutnya di kemudian

hari.

Firman Allah yang menyangkut dengan karakter tabligh

dijelaskan dalam QS. Ali ‘Imran ayat 104 :

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang

menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf

dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang

yang beruntung. (QS. Ali Imran [3]: 104)168

Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk

mencapai maksud tersebut perlu adanya segolongan umat

Islam yang bergerak di bidangdakwah yang selalu memberikan

peringatan, bilamana tampak gejala-gejala perpecahan dan

penyelewengan. Karena itu pada ayat ini diperintahkan agar

167 Sakdiah, Op.Cit, h. 43 168 Depag RI, Op.Cit, h. 13-14

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |133

diantara umat Islam ada segolongan umat yang dengan tegas

menyerukan kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf,

dan mencegah dari yang mungkar. dengan demikian umat Islam

akan terpelihara dari perpecahan dan infiltrasi dari pihak

manapun.169

Jika hal tersebut dikaitkan dalam kepemimpinan

pendidikan Islam, maka secara tidak langsung madrasah atau

lembaga pendidikan akan berjalan dengan sukses tanpa ada

perpecahan dalamnya. Oleh karenanya pemimpin sangat

disarankan untuk memiliki karakter tabligh yaitu dengan

memberikan suatu wejangan ataupun motivasi terhadap

bawahannya sehingga dalam madrasah atau lembaga

pendidikan yang dipimpinnya akan berjalan sukses tanpa

adanya perpecahan.170

4. Fungsi Karakter Fathanah

Nabi Muhammad yang mendapat karunia dari Allah

dengan memiliki kecakapan luar biasa (genius abqariyah) dan

kepemimpinan yang agung (genius leadership-qiyadah

abqariyah). Beliau adalah seorang manajer yang sangat cerdas

dan pandai melihat peluang.171

Kesuksesan Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin

umat memang telah dibekali kecerdasan oleh Allah swt.

Kecerdasan itu tidak saja diperlukan untuk memahami dan

menjelaskan wahyu Allah swt., kecerdasan dibekalkan juga

karena beliau mendapat kepercayaan Allah swt. untuk

memimpin umat, karena agama Islamditurunkan untuk seluruh

manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu

diperlukan pemimpin yang cerdas yang akan mampu memberi

169 Ibid, h. 16 170 Akram, Op.Cit, h. 14 171 Sakdiah, Op.Cit, h. 44

134 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

petunjuk, nasihat, bimbingan, pendapat dan pandangan bagi

umatnya, dalam memahami firman-firman Allah swt..172

Fathanah merupakan sifat Rasul yang keempat, yaitu

akalnya panjang sangat cerdas sebagai pemimpin yang selalu

berwibawa. Selain itu, seorang pemimpin juga harus memiliki

emosi yang stabil, tidak gampang berubah dalam dua keadaan,

baik itu di masakeemasan dandalam keadaan terpuruk

sekalipun. Menyelesaikan masalah dengan tangkas dan

bijaksana. Sifat pemimpin adalah cerdas dan mengetahui

dengan jelas apa akar permasalahan yang dia hadapi serta

tindakan apa yang harus dia ambil untuk mengatasi

permasalahan yang terjadi pada umat. Sang pemimpin harus

mampu memahami betul apa saja bagian-bagian dalam sistem

suatu organisasi/lembaga tersebut, kemudian ia

menyelaraskan bagian-bagian tersebut agar sesuai dengan

strategi untuk mencapai sisi yang telah digariskan.173

Karakter fathanah yang diterapkan dalam kepemimpinan

pendidikan otomatis dalam suatu madrasah atau lembaga

pendidikan dapat berjalan sesuai yang diinginkan karena

dengan pemimpin yang cerdas dapat memahami bagaimana

organisasi yang dipimpin, sehingga dalam menyelesaikan

permasalahan pemimpin dapat mengetahui tindakan apa yang

harus dilakukan. Selain itu pemimpin yang cerdas dapat

memberi petunjuk, nasihat, bimbingan, pendapat dan

pandangan bagi bawahannya sehingga madrasah yang

dipimpinnya tidak akan tersesat.174

Keempat karakter yang telah dijelaskan sebelumnya yang

mencakup shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah merupakan

hal yang wajib dimiliki oleh pemimpin pada madrasah atau

172 Ibid, h. 45 173 Ibid 174 Akmal, Op.Cit, h. 15-16

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |135

lembaga pendidikan agar dalam pelaksanaan

kepemimpinannya dan organisasi yang dipimpinnya dapat

mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

Demikian seluruh perspektif pendidikan Islam tentang

karakteristikkepemimpinan pendidikan yang baik menurut

perspektif pendidikan Islam. Meskipun Islam atau pendidikan

Islam dapat menerima segala sifat kepemimpinan pendidikan

secara umum, namun pendidikan Islam lebih menekankan

kepemimpinan pendidikan itu berdasarkan pada sumber pokok

yakni al-Qur’an dan hadis, yang memiliki sifat-sifat yang terpuji.

C. Karakteristik Fungsi Manajer dalam Pendidikan

Islam

Pemimpin pendidikan Islam yang menjalankan tugas-tugas

pengelolaan terhadap lembaga pendidikan secara tidak

langsung menempatkannya daam posisi sebagai juga manajer.

Karakteristik fungsi manajer dalam ruang lingkup pendidikan

Islam antara lain sebagai berikut:

1. Al-Itqan

Karakeristik manajer pendidika Islam yang pertama adalah

al-itqan. Secara bahasa, al-itqan mengandung arti sebagai yang

‘tepat, terarah, jelas, dan tuntas’.175 Suatu aktivitas pengelolaan

dapat dilakukan dengan tepat, terarah, jelas, dan tuntas apabila

diawali dengan suatu perencanaan atau planning yang baik.

175 Karakeristik berupa al-itqan ini tercermin dalam salah satu sabda

Nabi saw., “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan yattaqanah (tepat, terarah, jelas, tuntas).” (HR. Al-Thabrani)

136 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

2. Al-Tanzhim

Al-tanzhim, secara bahasa, mengandung arti peng-

organisasian. Artinya, seorang manajer pendidikan Islam harus

benar-benar menjalankan fungsinya sebagai figur yang mampu

mengorganisasikan semua elemen organisasi kependidikan

secara maksimal. Manajemen memiliki fungsi al-tanzhim, yaitu

sebagai sarana mengatur sebaik mungkin serta memperlancar

proses interaksi sosial sehingga dengan pengaturan ini akan

terwujud hubungan yang harmonis yang dapat memudahkan

mencapai tujuan yang diharapkan.176

3. Al-Tansiq

Karakteristik fungsi manajer yang ketiga adalah al-tansiq

yang berarti koordinasi. Dalam ruang lingkup lembaga

pendidikan Islam, manajer pendidikan Islam berfungsi sebagai

koordinator yang melakukan koordinasi secara vertical

maupun horizontal.177 Artinya, koordinasi itu dilakukan seara

menyeluruh dengan berbagai lembaga pendidikan atau insitusi

lain sehingga dapat membantu mewujudkan tercapainya tujuan

yang diharapkan.

4. Al-Riqabah

Al-riqabah, dapat diartikan sebagai kontrol atau

pengawasan. Tugas pengawasan atau kontrol merupakan tugas

yang melekat pada diri manajer. Namun demikian, dalam

konsep al-riqabah, makna yang dicakup bukan hanya

pengawasan biasa, tapi di dalam pengawasan itu juga

176 Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum

Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 90. 177 Ali Chaerudin, Manajemen Pendidikan dan Pelatihan SDM (Sukabumi:

Jejak, 2019), hlm. 44.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |137

terkandung semangat penelitian, pengkajian secara mendalam

dan menyeluruh178 sehingga semua persoalan dalam dunia

pendidikan dapat diketahui dan dievaluasi dengan pasti.

5. Al-Targhib

Al-targhib adalah menggerakkan kinerja secara maksimal

dengan hati yang tulus. Hal ini berkaitan dengan tugas dan

fungsi manajer sebagai pemberi motivasi yang utama. Manajer

pendidikan Islam, dengan demikian, dituntut untuk selalu dapat

menumbuhkan motivasi kerja yang maksimal bagi orang-orang

di sekitarnya.179

6. Al-Khulafah

Karakteristik dan fungsi manajer pendidikan Islam yang

terakhir adalah al-khulafah. Fungsi ini merupakan fungsi

kepemimpinan seutuhnya yang mampu menjalankan tugas-

tugas manajemen secara maksimal dan penuh tanggung jawab

untuk mencapai tujuan bersama.

Selain memiliki karakter-karakter di atas, menurut Abdul

Munir Mulkhan, seorang manajer dalam pendidikan Islam juga

harus memiliki karakter profetik. Karakteristik profetik bagi

manajer pendidikan tidak hanya dituntut untuk memiliki

kualifikasi pendidik. Selain itu, ia juga harus memiliki

kualifikasi super-leader yang memiliki kesadaran akan

ketuhanan dan menjadikan kesadaran tersebut sebagai sumber

energi dan inspirasi180 untuk mengelola pendidikan Islam

mencapai tujuan yang diinginkan.

178 Khatimatul Husna, dkk, 40 Hadis Shahih Sukses Berbisnis ala Nabi

(Bantul: Pustaka Pesantren, 2012), hlm. 31 179 Ibid. 180 Abdul Munir Mulkhan, Manajer Pendidikan Profetik, hlm. 18.

138 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |139

BAB V

MANAJEMEN MUTU DALAM

PENDIDIKAN ISLAM

A. Definisi Mutu dalam Pendidikan

Mutu adalah sebuah gambaran dan karakteristik menyeluruh

dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam

memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat.181

Mutu juga digunakan sebagai konsep yang relatif, yang mana

mutu itu dapat dikatakan ada apabila sebuah layanan

memenuhi spesifikasi yang ada. Lebih tepatnya dijadikan

sebuah cara yang menentukan apakah produk terakhir sudah

memenuhi standart atau belum.182

Umaedi mendefinisikan mutu sebagai sifat-sifat benda,

barang, atau jasa yang secara keseluruhan memberikan rasa

puas kepada penerima atau penggunanya karena telah sesuai

atau melebihi apa yang telah dibutuhkan dan diharapkan

pelanggannya.183

Mutu atau kualitas pendidikan dikaitkan dengan tinggi-

rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan

siswa mencapai skor tes dan kemampuan lulusan mendapatkan

181 Depdiknas 2001. 182 Nur Zazin, Gerakan Menata Mutu Pendidikan: Teori dan Aplikasi,

(Jegjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 56 183Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Sebuah

Pendekatan Baru dalam Pengelolaan Sekolah untuk Meningkatkan Mutu, www.Depdiknas, go., id., 20 Pebruari 2006., Lihat di Suprapto, Budaya Sekolah dan Mutu Pendidikan, ( Jakarta Selatan: PT Pena Citasatria, 2008), cet. Ke- 1, 21.

140 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

dan melaksanakan pekerjaan.184 Kemudian lebih lanjut

Suprapto menyimpulkan bahwa pendidikan terkait dengan

hasil belajar. Hasil belajar merupakan tingkah laku yang dapat

dicapai dari suatu pengalaman dan biasanya mengarah kepada

penguasaan pengetahuan, kecakapan, dan kebiasaan.185

Produk atau hasil pendidikan dipandang bermutu jika

mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakulikuler

peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang

pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran

tertentu. Keunggulan akademik dinyatakan dengan nilai yang

dicapai peserta didik. Sedangkan keunggulan ekstrakulikuler

dinyatakan dengan aneka jenis keterampilan yang diperoleh

siswa selama mengikuti program di sekolah. Selain itu mutu

lulusan juga dilihat dari nilai-nilai hidup yang dianut, moralitas,

dorongan untuk maju, dan lain-lain yang diperoleh peserta

didik selama menjalankan pendidikan.186

Dengan demikian, mutu pendidikan, sebagaimana

dinyataka Kompri, adalah semua hal yang mencakup input,

proses, dan output pendidikan. Input pendidikan merupakan

segala sesuatu yang harus ada dan tersedia karena hal itu

dibutuhkan demi proses berlangsungnya pendidikan. Dan

proses pendidikan adalah proses berubahnya sesuatu menjadi

sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah

sehingga menciptakan pembelajaran yang menyenangkan,

meningkatkan minat belajar, dan memberdayakan peserta

didik. sementara, output pendidikan merupakan kinerja sekolah

184 Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Penerbit Bigraf

Publishing, 2000), 19 185 Suprapto, Pengembangan Budaya Sekolah dalam Meningkatkan Mutu

Pendidikan Agama (pengaruh budaya sekolah, motivasi belajar, terhadap mutu Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Pena Citasatria, 2008), 17

186 Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), 53-54

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |141

yang dapat diukur kualitasnya, efektivitas, produktivitas,

efisiensi, inovasi, dan moral kerjanya.187 Dari uraian di atas,

dapat digarisbawahi bahwa mutu pendidikan adalah karakter

atau nilai kualitas dari suatu proses pendidikan dan hasilnya

secara menyeluruh yang ditetapkan berdasarkan kriteria dan

pendekatan tertentu.

B. Ragam Teori Mutu dalam Pendidikan

Pengertian mutu dalam berbagai literatur akademis, memiliki

makna yang cukup beragam. Hal ini menurut penulis dipandang

sebagai sesuatu hal yang wajar mengingat perkembangan

dimensi dan aspek yang membentuk sekaligus mewarnai

makna mutu cukup kompleks. Dalam pengertian umum

misalnya, menurut Ishikawa sebagaimana dikutip Muhammad

Thoyib mutu dipandang sebagai “Something that contains a

meaning of degree from superiority of the product, as well as

goods or services.188 Dalam konteks pendidikan Islam, menurut

penulis, mutu yang diorientasikan pada barang dan jasa

pendidikan itu bermakna dapat dilihat dan tidak dapat dilihat,

tetapi dapat dirasakan. Artinya, ada ukuran tertentu di mana

dimensi mutu tersebut dapat dilihat maupun tidak dapat dilihat

tetapi secara tidak langsung memberikan rasa kepuasan

terhadap para pengguna jasa pendidikan Islam tersebut.

Secara lebih tegas, Crosby dan Sallis dalam Muhammad

Thoyib menyatakan bahwa “Quality is unification of product

attributs that showing is ability on fulfilling requirements from

direct or indirect customers implicit and unimplicit

187 Kompri, Standardisasi Kompetensi Kepala Sekolah: Pendekatan Teori

untuk Praktik Profesional (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 312. 188 Muhammad Thoyib, Manajemen Mutu Pendidikan Islam Kontemporer,

(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012), h. 16

142 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

requirement”.189 Dalam konteks itu mutu sebagai sebuah

kebutuhan dapat dimaknai sebagai kebutuhan yang tidak hanya

untuk masa kini tetapi juga untuk masa depan. Artinya,

kepuasan masyarakat terhadap hasil pendidikan yang dicapai

oleh lembaga pendidikan termasuk lembaga pendidikan Islam

sesuai dengan harapan di masa kini dan masa depan dan itulah

yang disebut dengan mutu.

Sementara menurut Plato dan Aristoteles sebagaimana

dikutip Juran, “Quality for early is used for stating the essence of

something.”190 Dalam konteks pendidikan, Spanbauer menga-

rtikulasikan mutu sebagai;

Quality is about input, process, out put and its impacts. Input

quality could be viewed from several aspects. First, good or

not good condition of human resources input, like leaders of

the college, laboratory assistant, academic staff, and

students. Second, regulable or not regulable input criteria of

matters like books, curiculums, infrastructure, college’s

facilities, and the others. Third, regulable or not regulable

input criteria of software, likes regulations, organizational

structure, and reand job descriptions. Fourth, input quality

of college’s interest and requirement, likes vision, motivation,

perseverance, and aspirations of the college.191

Dalam konteks pendidikan, mutu proses pembelajaran

mengandung makna bahwa kemampuan sumber daya lembaga

pendidikan termasuk dalam hal ini lembaga pendidikan Islam

(MI/MTs/MA/PTAI) dalam mentranformasikan multijenis

masukan dan situasi untuk mencapai derajat nilai tambah

tertentu bagi peserta didiknya. Hal-hal yang termasuk dalam

189 Ibid, h. 16-17 190 J.M. Juran, Juran’s Quality Hanbook, (New York: Macmillan, 1991), h.

35 191 Muhammad Thoyib, Op.Cit, h. 17

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |143

kerangka mutu proses ini menurut Crosby dalam Muhammad

Thoyib adalah “Derajat kesehatan, keamanan, disiplin,

keakraban, saling menghormati, kepuasan, dan lain-lain dari

subjek selama memberikan dan menerima jasa layanan.”192 Itu

artinya, menurut penulis, manajamen pendidikan Islam dan

manajemen kelas berfungsi menyinkronkan berbagai masukan

tersebut atau menyinergikan semua komponen dalam interaksi

belajar dan mengajar. Semua komponen itu bersinergi

mendukung proses pembelajaran dengan kualitas yang baik.

Dalam konteks itu pula, dapat disimpulkan bahwa lembaga

pendidikan termasuk dalam hal ini lembaga pendidikan Islam

dipandang bermutu jika tidak hanya mampu melahirkan

keunggulan akademik (jenjang pendidikannya) namun juga

menghasilkan jasa kependidikan Islam yang sesuai dengan

kebutuhan para pelanggannya. Di luar kerangka itu, mutu

luaran, menurut D.P. Tampubolon juga dapat dilihat “Dari nilai-

nilai hidup yang dianut, moralitas, dorongan untuk maju, dan

lain-lain yang diperoleh anak didik selama menjalani

pendidikan.”193 Oleh karena itu, menurut hemat penulis,

lembaga pendidikan Islam dalam rangka menguatkan kualitas

jasa pendidikan Islamnya perlu melakukan suatu upaya

identifikasi yang lebih komprehensif terhadap sejumlah atribut

mutu pendidikan Islamnya sehingga konsumennya dapat secara

jelas mengetahui sekaligus mempertimbangkannya sebagai

produk jasa pendidikan Islam yang memiliki keunggulan

sekaligus nilai kompetitif yang tinggi. Dalam hal ini D.P

Tampubolon194 memberikan hasil identifikasinya tentang

192 Ibid, h. 18 193D.P. Tampubolon, Mutu Perguruan Tinggi, (Jakarta: Proyek KEDS,

2001), h. 74 194 Ibid, h. 34-35

144 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

atribut mutu pendidikan yang intinya mencakup sejumlah hal

sebagai berikut:

1) Relevansi, yaitu kesesuaian dengan kebutuhan, seperti

halnya apakah kebijakan-kebijakan akademik (semisal

kurikulum, silabus kurikulum, silabus perkuliahan,

sarana pendidikan) sesuai dengan kebutuhan

mahasiswa, pemerintah dan masyarakat.

2) Efisiensi, yaitu kehematan dalam penggunaan sumber

daya (dana, tenaga, waktu, dan lain-lain) untuk

produksi dan penyajian jasa-jasa pendidikan yang

sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

3) Efektivitas, yaitu kesesuaian perencanaan dengan hasil

yang dicapai, atau ketepatan sistem, metode, dan atau

proses (prosedur) yang dipergunakan untuk

menghasikan jasa yang direncanakan.

4) Akuntabilitas (kebertanggungjawaban), yaitu dapat

dikatakan sebagai suatu upaya dapat tidaknya kinerja

dan produk pendidikan termasuk perilaku para

pengelola, dipertanggungjawabkan secara hukum,

etika akademik, agama, dan nilai budaya.

5) Kreativitas, yaitu kemampuan lembaga pendidikan

untuk mengadakan inovasi, pembaruan, atau

menciptakan sesutau yang sesuai perkembangan

zaman, termasuk kemampuan evaluasi diri, seperti

halnya apakah lembaga pendidikan secara periodik

membuat pembaharuan kurikulum sesuai

perkembangan ilmu dan teknologi yang dibutuhkan

dunia usaha.

6) Situasi M-M, yaitu suasana yang menyenangkan dan

memotivasi dalam lembaga pendidikan sehingga

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |145

semua orang melaksanakan tugasnya dengan senang

hati, tulus, dan penuh semangat.

7) Penampilan (tangibility), yaitu kerapian, kebersihan,

keindahan dan keharmonisan fisik lembaga pen-

didikan, terutama para para pengelola (pimpinan,

dosen, pegawai administrasi), yang membuat situasi

dan pelayanan semakin menarik.

8) Empati, yaitu kemampuan lembaga pendidikan

khususnya para pengelola, memberikan pelayanan

sepenuh dan setulus hati kepada semua pelanggannya.

9) Ketanggapan (responsiveness), yaitu kemampuan

lembaga pendidikan, khususnya para pengelola, dalam

memperhatikan dan memberikan respons terhadap

keadaan serta kebutuhan pelanggan dengan cepat dan

tepat.

10) Produktivitas, yaitu kemampuan lembaga pendidikan

dan seluruh staf pengelola (dosen, dan lain-lain) untuk

menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan

pelanggan menurut rencana yang telah ditetapkan,

baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

11) Kemampuan akademik, yaitu penguasaan mahasiswa

atas bidang studi (penghayatan atas jasa kurikuler)

yang diambilnya.

Pengertian mutu pendidikan di sini bukan merupakan

Sesuatu yang statis, melainkan suatu konsep yang bisa

berkembang seirama dengan tuntutan kebutuhan hasil

pendidikan yang berkaitan dengan kemajuan ilmu dan

teknologi yang melekat pada wujud pengembangan kualitas

sumber daya manusia, terrmasuk dalam hal ini mutu

pendidikan Islam. Masalah mutu pendidikan Islam khususnya

merupakan salah satu masalah nasional yang dihadapi sistem

146 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

pendidikan Islam di negara kita, baik di level pendidikan dasar

(MI), menengah (MA/MTs/MA), maupun perguruan tingginya

(PTAI). Berbagai usaha dan program telah dikembangkan

dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Islam ke arah

yang lebih berkualitas dan kompetitif termasuk di antaranya

mengaplikasikan manajemen mutu terpadu (total quality

management) dalam pengelolaan lembaga pendidikan.

C. Budaya Mutu

Budaya menurut Soekamto berasal dari kata Sansekerta

“buddayah” yang merupakan jamak dari kata “buddhi” yang

berarti akal. Maka Budaya dapat diartikan sebagai hal-hal yang

berhubungan dengan akal dan budi.195 Sementara Subir

Chowdhury mengemukakan budaya adalah sumber keunggulan

kompetitif utama berkelanjutan yang memungkinkan sebagai

pemersatu dalam organisasi, sistem, struktur, dan karir.196

Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Owens,

budaya (Culture) merupakan “The shared philosophies,

ideologis, values, assumptions, beliefs, expectation, attitudes, and

norm that knit a community together”.197

Menurut Suprapto yang mengutip perkataan Selo

Sumarjan, budaya adalah hasil akal pikiran manusia dalam

upaya mengatur dan mengelola alam.198 Secara lebih formal,

Kotter dan Hesket mendefinisikan budaya sebagai totalitas

195Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali,

1993), h. 166 196 Subir Chowdhury, Organisasi Abad 21: Suatu Hari Organisasi Akan

Melalaui Jalan Lain, (Jakarta: PT. Indek, 2005), 327 197 R.G. Owens, Organizational Culture in Education, (Boston: Allyn and

Bacon, 1995). Lihat : Aan Komarian, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, (Jakarta: PT Bumi Aksar, 2005), cet. Ke-1, 96-97.

198 Suprapto, Budaya Sekolah dan Mutu Pendidikan, (Jakarta: PT Pena Citasatria, 2008), cet. Ke-1, 14-15

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |147

perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua

produk lain dai karya serta pemikiran manusia yang

mendirikan kelompok atau produk yang ditransmisikan

bersama.199

Kebudayaan adalah hasil dari pemikiran yang direfleksikan

dalam bentuk sikap dan tindakan sehingga tampak dalam

perilaku masyarakat. Ciri menonjolnya antara lain adalah

adanya nilai-nilai yang dipersepsi, dirasakan, dan dilakukan.

Hal ini dikukuhkan oleh Toto Tasmara tentang kandungan

utama dari esensi budaya sebagai berikut:

a. Budaya berkaitan erat dengan persepsi nilai dan

lingkungannya yang melahirkan makna dan

pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan

tingkah laku (the total way of life a poeple).

b. Adanya pola nilai, sikap, tingkah laku (termasuk

bahasa), sistem kerja, teknologi, hasil karsa dan karya

(a way thinking, feeling, and believing).

c. Budaya merupakan hasil pengalaman hidup, kebiasan-

kebiasaan, serta proses seleksi (menerima atau

menolak) norma-norma yang ada dalam cara dirinya

berinteraksi sosial atau menempatkan dirinya di

tengah-tengah lingkungan tertentu.

d. Dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi

dan saling ketergantungan.200

Kemudian Gibson menyimpulkan beberapa pendapat ahli

yang telah mendifisikan kultur, bahwa budaya memiliki

karakteristik sebagai berikut:

199 Ibid, 97 200 Toto Tasmara, Etos kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2002), hlm. 161.

148 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

8. Mempelajari, Kultur diperlukan dan diwujudkan

dalam belaajar, obsevasi, dan pengalaman.

9. Saling berbagi, indifidu dalam kelompok, keluarga,

masyarakat saling berbagi kultur.

10. Transgenerasi, merupakan kumulasi dan melampaui

genrasi satu ke generasi lain.

11. Persepsi pengaruh, membentuk dan strktur perilaku

bagaimana seseorang menilai dunia.

12. Adaptasi, kultur didasarkan pada kapasitas seseorang

berubah atau beradaptasi.201

Orientasi kultural dari suatu masyarakat mencerminkan

interaksi dari lima karakteristik di atas. Maka disimpulkan

bahwa budaya merupakan pandangan hidup (way of life) yang

dapat berupa nilai-nilai, norma, kebiasaan, hasil karya,

pengalaman, dan tradisi yang mengakar di suatu kelompok

organisasi dan mempengaruhi perilaku setiap indifidu atau

kelompok tersebut.

Sedangkan budaya mutu menurut Purnama adalah sistem

nilai organisasi yang kondusif untuk keberlangsungan dan

keberlanjutan mutu. Budaya mutu ini terdiri dari nilai-nilai,

tradisi, prosedur, dan harapan tentang promosi mutu.202

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan budaya

mutu adalah bagian dari nilai-nilai budaya. Karena budaya

mutu dijadikan sebagai perwujudan dari upaya menerjemahkan

visi ke dalam nilai-nilai instrumental yang dapat menjadi

pedoman bertingkah laku bagi semua komponen. Sehubungan

dengan ini, Ahmad Sanusi memberikan contoh nilai-nilai yang

201 Gibson James L., Organization and Management, (Jakarta: Erlangga,

1996), 76. 202 Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Pengembangan Kultur Sekolah, (Penerbit: School Reform 01, 2002), h. 106

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |149

harus diberlakukan oleh sekolah yang ingin meng-

implementasiakan visi masa depannya melalui manajemen

yang berbasis nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya itu di

antaranya adalah:

1. Niat mencari Ridha Allah

2. Amanah dengan jujur dan adil

3. Budaya mutu

4. Enterpreneurship

5. Pertumbuhan organissi

6. Kerjasama tim untuk produk dan layanan terbaik

7. Kepuasan dan kesetiaan pelangga

8. Teknologi inovatif

9. Peduli dan tanggung jawab lingkungan.203

Budaya mutu akan mendorong perubahan di lingkungan

institusi pendidikan, baik menyangkut performa pendidikan

dan tenaga kependidikan. Hal tersebut tercermin dalam

dinamika unsur-unsur manifestasi beserta karakteristiknya

dalam sebuah institusi. Oleh karenanya, performa sebuah

lembaga dan perilaku orang-orang di dalamnya merupakan

gambaran dari semangat mereka dalam menjiwai motto, slogan,

dan tradisi, serta penghargaan mereka terhadap kinerja

inovasi-inovasi gagasan, pembelajaran, budaya, dan

pengembangan diri dilakukan secara terus-menerus.

Dengan demikian, kepemimpinan telah mampu

mempersonifikasi standar pengembangan organisasi pen-

didikan yang sesuai dengan harapan yang telah direncanakan.

Hal ini karena kepemimpinan merupakan instrumental values,

yang menempatkan kemampuan mengelola diri (self leadership)

dalam rangka menggerakkan sumber daya manusia dan

203 Aan Komariah, Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), 119

150 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

fasilitas yang tersedia di dalam sebuah instituasi. Rencana dan

pelaksanaannya mempunyai kesesuaian dalam menyelenggara-

kan pelayanan jasa.

Aplikasi budaya mutu dalam profil organisasi pendidikan

dapat dijabarkan dalam bentuk standar deskripsi sebagai

berikut:

1. Reaktualisasi Visi dan Misi Organisasi Pendidikan

Setiap organisasi pendidikan harus memiliki visi. Visi

adalah wawasan dasar yang menjadi garis-garis umum atau

sumber arahan bagi warga sekolah, dan panduan dalam

merumuskan misi sekolah. Oleh karenanya, visi harus

menggambarkan pandangan yang jauh dalam membawa

harapan dan tantangan ke depan. Dalam bahasa lain, visi adalah

gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar

organisasi sekolah dapat menjamin kelangsungan hidup dan

perkembangannya.204 Dalam proses pengembangan mutu,

sekolah dituntut menjiwai visi dan misi sekolah sebagai

kesatuan ide dan perekat bagi anggota organisasi sekolah.

Sedangkan misi adalah tahapan dalam mewujudkan visi.205

Karena visi mengakomodasi semua kelompok kepentingan

demi meningkatkan kualitas organisasi pendidikan, maka misi

dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi

kepentingan masing-masing kelompok, baik yang berada di

wilayah struktural maupun fungsional. Dalam merumuskan

misi, hal yang harus dipertimbangkan adalah tugas-tugas pokok

sekolah sebagai organisasi pendidikan yang mempunyai ciri

noble industry dan kelompok-kelompok kepentingan yang

204Crown Dirgantoro, Manajemen Stratejik: Konsep, Kasus, dan

Implementasi (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 24. 205 Bandingkan dengan Crown Dirgantoro, Ibid, hlm. 28.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |151

terkait dengan kebutuhan dasar kompetensi warga sekolah.

Misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang

dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.

Senada dengan pendapat Arvan Pradiansyah,206 visi

organisasi mempunyai arti berikut:

a. Visi memberikan sense of direction yang diperlukan

untuk menghadapi krisis dan berbagai perubahan.

b. Visi memberikan fokus. Fokus merupakan faktor kunci

daya saing organisasi sekolah untuk menjadi nomor

satu di pasar. Hal ini karena fokus mengarahkan kita

tetap pada bidang keahlian yang kita miliki.

c. Visi memberikan identitas kepada seluruh anggota

organisasi. Ini baru terjadi bila setiap individu

menerjemahkan visi tersebut menjadi visi dan nilai

pribadi mereka.

d. Visi memberikan makna bagi orang yang terlibat di

dalamnya. Orang akan menjadi lebih bergairah dan

menghayati pekerjaan yang bertujuan jelas.

Pendapat Pradiansyah di atas menjelaskan makna

pentingnya visi yang dapat menggambarkan arah dan orientasi

pengembangan organisasi yang bermakna. Seberapa kuat

makna visi itu dalam mendorong perubahan organisasi

pendidikan yang berhadapan dengan tantangan adalah sangat

dipengaruhi oleh model kepemimpinan dalam mengelola

kelemahan organisasi pendidikan menjadi unsur kekuatan.

Sedangkan visi menurut Ekosusilo, yang tidak jauh berbeda

dengan pendapat Pradiansyah, setidaknya mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:207

206 http://www.dunamis.co.id

152 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

a. memperjelas arah tujuan;

b. mudah dimengerti dan diartikulasikan dengan baik;

c. mencerminkan cita-cita yang tinggi, dan menetapkan

standar of excellence;

d. menumbuhkan inspirasi, semangat, kegairahan, dan

komitmen;

e. menciptakan makna bagi anggota organisasi;

f. merefleksikan keunikan atau keistimewaan organisasi;

g. menyiratkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh

organisasi; dan

h. kontekstual, berhubungan dengan lingkungan dan

sejarah perkembangan organisasi.

Konstruksi visi organisasi pendidikan merupakan ikhtiar

kolektif yang didasarkan pada kebutuhan kepemimpinan dan

harapan masyarakat luas. Visi merupakan gambaran umum

yang masih membutuhkan penjabaran secara detail agar

senapas dengan kebutuhan masyarakat. Selain menyangkut

kepemimpinan di dalam organisasi pendidikan, adanya visi juga

menjadi penuntun pada yang akan dikembangkan ke depan. Ini

artinya, visi menjadi standar mutu sebuah pendidikan.

Gambaran mutu organisasi pendidikan dapat terlihat dari

adanya visi yang dapat mewujudkan performa siswa, guru,

karyawan, building image, fasilitas belajar, nilai-nilai, dan

budaya yang melekat di wilayah akademik dan non-akademik.

Hal senada dikemukakan Yukl bahwa visi merupakan

sumber nilai, harapan, dan tujuan bersama bagi para anggota

207 Ekosusilo, “Sistem Nilai dalam Budaya Organisasi Sekolah pada

Sekolah Unggul (Studi di SMU Negeri 1, SMU Regina Pacis, dan SMU al-Islam 01 Surabaya)”, Disertasi, Universitas Negeri Malang, 2003, tidak dipublikasikan.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |153

sekolah.208 Visi merupakan gambaran yang menarik dan intuitif

mengenai bagaimana organisasi pendidikan dapat membaca

logika masa depan. Visi dapat diartikulasikan dalam bentuk

misi yang mengandung nilai-nilai, norma, hukum, dan

peraturan di dalam organisasi pendidikan. Visi, misi organisasi,

dan kerangka tujuan terkait dengan sesuatu yang didambakan

di masa depan. Tak satu pun organisasi mengembangkan

organisasi untuk masa lalu.

Visi adalah rangkaian kata yang di dalamnya menunjukkan

suatu cita-cita, impian, atau tujuan yang ingin dicapai. Setiap

organisasi memiliki visi atau tujuan di masa depan yang

merupakan buah pikiran para pendiri organisasi tersebut.

Kehadiran organisasi berarti membutuhkan visi untuk

mengembangkan tujuan yang telah disepakati bersama menuju

harapan yang telah dijabarkan dalam misi.

Misi adaalah segala bentuk strategi dan tahapan yang harus

dilakukan untuk mewujudkan visi. Misi organisasi pendidikan

merupakan tujuan dan alasan berdirinya organisasi pendidikan

yang menjadi pedoman dan arahan dalam mencapai tujuan.

Pendek kata, misi merupakan penjabaran visi.

Sedengkan menurut Yukl, misi berguna mendeskripsikan

tujuan organisasi pendidikan yang ditunjukkan kepada

mayarakat.209 Sehingga, organisasi pendidikan dapat bergerak

secara dinamis. Hal ini karena misi dalam sebuah organisasi,

termasuk organisasi pendidikan, memiliki beberapa

keunggulan secara nyata. Keunggulannya dapat disebutkan

sebagai berikut:

208 Gary Yukl, Leadeship in Organization (Second edition) (Englewood

Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1989), hlm. 283. 209 Ibid.

154 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

a. organisasi yang digerakkan oleh misi menjadi lebih

efisien;

b. organisasi yang digerakkan oleh misi menjadi lebih

efektif dan lebih baik;

c. organisasi yang digerakkan oleh misi menjadi lebih

fleksibel; dan

d. organisasi yang digerakkan oleh misi mempunyai

semangat yang lebih tinggi.210

Misi menggerakkan langkah-langkah organisasi yang

dibutuhkan dalam jangka waktu tertentu, tentunya juga

mengutamakan prioritas program unggulan yang selaras

dengan cita-cita yang tergambar pada visinya.

Misi adalah pernyataan tentang sesuatu yang harus

dikerjakan organisasi dalam usaha mewujudkan visi yang telah

dibuat. Misi organisasi pendidikan diartikan sebagai tujuan,

latar belakang, dan alasan mengapa organisasi ini dibuat. Misi

dibuat untuk memberikan arah sekaligus batasan-batasan

dalam proses pencapaian tujuan. Misi hendaknya sejalan

dengan visi yang dibuat sebelumnya.

2. Gambaran Nilai-nilai Organisasi

Nilai merupakan rujukan dan keyakinan dalam

menentukan pilihan.211 Nilai merupakan sesuatu yang abstrakm

yang hanya dapat dilihat manakala melekat pada sesuatu. Ciri-

cirinya dapat dilihat manakala melekat pada sesuatu. Ciri-

cirinya juga dapat dilihat dalam tingkah laku. Nilai memiliki

kaitan dengan istilah fakta, tindakan, norma, moral, cita-cita,

210 Gary Yukl, Leadership in Organizationals (New Jersey: Prentice-Hall,

Inc.), hlm. 284 211 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung:

Alfabeta, 2004), hlm. 11.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |155

keyakinan, dan kebutuhan individu maupun kelompok

organisasi, termasuk organisasi pendidikan.

Nilai telah disepakati sebagai pedoman AD/ART organisasi

pendidikan, SOP, tata tertib organisasi, dan standar kinerja di

setiap organisasi. Proses internalisasi nilai harus menempatkan

keteladanan dan pembiasaan pemimpin dan warganya. Hal ini

agar menjadi pedoman berperilaku di tempat kerja dan melekat

ke dalam pribadi-pribadi. Pedoman perilaku ini harus dapat

menggerakkan hati nurani setiap individu dalam menjalankan

tanggung jawab pekerjaan yang telah diamanatkan. Sehingga,

mereka menjadi pribadi yang memberi makna dalam bekerja

sesuai dengan nilai-nilai organisasi. Nilai-nilai organisasi harus

dijadikan kekuatan untuk memokuskan energi, potensi,

kemampuan, dan keandalan dalam mencapai harapan masya-

rakat. Nilai-nilai organisasi sangat berfungsi untuk menguatkan

budaya kinerja pegawai menuju tahapan-tahapan tata tertib

lembaga agar dapat mewujudkan tujuan organisasi.

Organisasi berdiri tentunya mempunyai tujuan mulia.

Untuk mewujudkan tujuan organisasi, dibutuhkan langkah-

langkah kerja sama, kolobarasi, dan kemampuan jejering sosial.

Hal itu dapat terlaksana manakala seluruh perencanaan

program relevan dengan budaya yang mendukung, sebagai-

mana pendapat Yukl.212

Budaya dipengaruhi oleh berbagai perilaku seorang pemimpin, termasuk contoh-contoh yang diterapkan oleh seorang pemimpin, apa yang diperhatikan pemimpin, cara memimpin tersebut bereaksi terhadap krisis, cara pemimpin tersebut membuat pilihan, promosi, dan keputusan-keputusan memperhatikan orang. Mekanisme-mekanisme tambahan adalah untuk membentuk budaya,

212 Ibid, hlm. 318.

156 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

termasuk rancangan struktur organisasi, sistem mana-jemen, fasilitas, pernyataan formal tentang ideologi, dan kisah-kisah formal, dongeng-dongeng serta legenda-legenda. Jauh lebih mudah untuk menanamkna budaya dalam organisasi yang baru daripada mengubah dalam organisasi yang sudah dewasa. Namun demikian, kepemimpinan kultural juga penting untuk memperkuat budaya dalam sebuah organisasi yang saat ini makmur atau berhasil.

Budaya merupakan hasil internalisasi ragam nilai oleh

setiap anggota organisasi. Karenanya, pemimpin organisasi

mempunyai pengaruh dalam mendesain budaya sebuah

organisasi, secara khusus budaya kerja di organisasi

pendidikan. Budaya kerja berarti menghadirkan aktivitas-

aktivitas secara kualitatif maupun kuantitatif agar menunjang

perubahan ke arah yang lebih baik.

Ekosistem organisasi merupakan perilaku semua manusia

yang mempunyai tugas pokok dalam pembagian kerja

organisasi yang sejalan dengan aturan dasar dan aturan dasar

rumah tangga. Etos kerja tinggi yang selaras dengan ekosistem

nilai penghargaan dari nilai hasil pekerjaan memerlukan proses

internalisasi nilai-nilai organisasi secara terus-menerus dan

berkelanjutan. Hal ini juga membutuhkan kedisiplinan dan

tanggung jawab untuk menjalankan visi dan misi organisasi.

Nilai-nilai itu mengandung terminal dan instrumen sebagai core

values. Sebagaimana hasil penelitian, nilai aspek terminal dan

nilai aspek instrumen dapat mendorong perubahan organisasi

pendidikan.213

213 Muh. Hambali, “Kepemimpinan Visioner”, Jurnal Madrasah Volume 5,

Nomor 1 Juli-Desember 2012, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, hlm. 11-34.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |157

Nilai Status Sumber

1. Unggul/cita-cita

tinggi

2. Keteladanan

3. profesional

4. Keteguhan

5. Ukhuwah

Islamiyah

6. Kompetisi

7. Amanah

8. Penghargaan

9. Wakaf diri

10. Keteladanan

11. Keteguhan

12. Kompetisi

13. Cita-cita

14. Kedisiplinan

15. Amanah

Terminal

Instrument

Terminal

Terminal

Terminal

Terminal

Terminal

Terminal

Instrument

Terminal

Terminal

Terminal

Terminal

terminal

Tuhan/manusia

Tuhan/manusia

Manusia

Manusia

Manusia

Tuhan/manusia

Tuhan/manusia

Manusia

Tuhan/manusia

Tuhan/manusia

Manusia

Tuhan/manusia

Manusia

manusia

Internalisasi nilai-nilai organisasi dimaksudkan agard

dapat mengubah cara berpikir pragmatis menuju cara berpikir

idealis (mindset) melalui pembentukan keyakinan, sehingga

setiap orang di tempat kerja dapat meyakini kebenaran nilai-

nilai organisasi yang dikembangkan ke arah kepribadian. Sebab,

hubungan sosial tidak semata-mata dibangun secara

transaksional, namun juga transformasional nilai kemanusiaan

yang dijadikan perilaku sehari-hari di tempat kerja. Nilai-nilai

organisasi menciptakan makna bekerja. Kalau setiap tenaga

pendidik dan tenaga kependidikan sudah memahami apa yang

boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan setiap proses kerja,

158 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

maka mereka akan menjadi energy positif untuk penguatan

budaya organisasi yang bermutu.

Tan berpendapat bahwa nilai-nilai bersama dapat

mengembangkan budaya berprestasi,214 termasuk dalam dunia

pendidikan. Nilai-nilai bersama merupakan kesepakatan para

pengelola pendidikan beserta stakeholder untuk membangun

solidaritas kerja tim agar berjalan dengan lancar dan aman,

yaitu (1) berorientasi pada hasil; (2) pelayanan kepada

pelanggan, (3) inovasi; (4) kejujuran; (5) penghargaan; (6)

respons terhadap perubahan; (7) akuntabilitas; dan (8)

keinginan besar.

Organisasi pendidikan mempunyai spirit dan kepercayaan,

normal-norma dan nilai-nilai. Hal itu menjadi pendorong

organisasi pendidikan dalam meningkatkan kualitasnya.215

Organisasi pendidikan mempunyai nilai-nilai yang diyakini oleh

anggota organisasi yang termanifestasi pada cara berpikir,

bertindak, dan menyikapi hal-hal yang terkait dengan kebu-

tuhan pendidikan.

Organisasi yang baik membutuhkan penerapan nilai-nilai

yang baik yang didasarkan pada keyakinan pemimpin dan

diikuti oleh anggota organisasi, terutama agar dapat

menjalankan misi dengan lancar sehingga tercapai visi yang

diharapkan. Keyakinan merupakan modal internal organisasi

yang dimiliki individu-individu dalam organisasi pendidikan.

Keyakinan berusaha memastikan nilai-nilai yang menjadi spirit

214 Victor S.I. Tan, Changing Your Corporate Culture (Singapore: Times

Books International, 2002), hlm. 31. 215 Margaret Preedy (editor), Managing The Effective School (London:

The Open University, 1993), hlm. 45.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |159

penggerak kinerja organisasi. Keyakinan adalah seperangkat

prinsip dan nilai yang sekaligus menjadi misi suci hidup kita.216

3. Simbol Organisasi Pendidikan

Simbol merupakan tindakan atas objek-objek material

yang diterima secara sosial sebagai cermin lembaga.217 Simbol

organisasi dapat berupa bentuk pemaknaan yang lebih konkret

dari sesuatu yang diinginkan dan diharapkan. Simbol dapat

berupa tindakan-tindakan nyata yang dapat diinginkan dan

diharapkan. Simbol dapat berupa benda tindakan-tindakan

nyata yang dapat membawa implikasi terhadap organisasi.

Aktivitas-aktivitas organisasi pendidikan dapat sebagai simbol

yang jelas tentang sesuatu yang menjadi harapan masyarakat.

Simbol merupakan sarana-prasarana yang dibutuhkan

untuk mencapai tujuan organisasi. Semua itu sebagai simbol

dari upaya-upaya yang sedang dilakukan sekolah dalam rangka

meningkatkan mutu. Kelengkapan sarana pembelajaran di kelas

dan fasilitas penunjang lainnya akan memberikan dampak

positif bagi terciptanya budaya mutu. Termasuk juga

lingkungan yang kondusif akan memberikan dampak bagi

terciptanya kualitas.

Simbol dapat diilustrasikan sebagai tata tertib organisasi

penddikan yang efektif mampu mengomunikasikan hal-hal

yang terkait dengan harapan bersama untuk dicapai melalui

aktivitas-aktivitas pembelajaran yang dikelola secara

profesional. Simbol mengomunikasikan nilai-nilai atau harapan

pada pendidik dan tenaga kependidikan. Simbol yang

216 Farid Poniman, dkk., Kubik Leadership (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2008), hlm. 34. 217 Margaret Freedy (editor), Op.Cit, hlm. 150

160 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

disampaikan merefleksikan sesuatu yang menjadi harapan

semua pihak terhadap organisasi tersebut.

Pemimpin menggunakan simbol untuk menjabarkan tata

tertib sekolah yang akan dicapai sehingga anggotanya

termotivasi untuk mengupayakan secara maksimal. Kepala

sekolah, melalui simbol, tindakan, ucapan, dan atau aktivitas,

memberikan pesan kepada anggota organisasi. Bahkan lebih

dari itu, refleksi dari simbol-simbol organisasi merupakan

cermin diri figur pemimpin yang patut dijadikan teladan.

Pemimpin organisasi hendaknya mensosialisasikan simbol-

simbol sebagai media komunikasi lingkungan pembelajaran.

Simbol-simbol organisasi pendidikan hendaknya mencermin-

kan harapan semua pihak terhadap keistimewaan organisasi

pendidikan yang akan dicapai, baik dalam jangka pendek

ataupun panjang. Untuk lebih memahami pencitraan sekolah,

maka diperlukan simbol-simbol yang mampu menunjukkan

keistimewaan sekolah. Tentunya, simbol akan memberikan

makna bagi semua elemen manakala ia jadikan sumber

inspirasi untuk meningkatkan kemajuan organisasi pendidikan.

4. Artefak Penghargaan

Penghargaan berasal dari kata harga, yang mempunyai arti

nilai yang ditentukan, jumlah atau alat tukar lain yang senilai,

guna atau kegunaan, dan kehormatan. Kata harga menjadi

penghargaan yang mempunyai arti perbuatan (hal)

menghargai; penghormatan.218

Penghargaan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia.

Dalam hal ini, artefak penghargaan merupakan wujud

pengakuan terhadap kinerja seseorang yang telah menjalankan

tugas profesi, misalnya tenaga pendidikan dan kependidikan.

218 Kamus Besar Bahasa Indoenesia, hlm. 388-389.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |161

Penghargaan merupakan pendekatan dalam memahami

aktualisasi sosial yang melekat pada setiap kerja manusia.

Jabatan pemimpin merupakan penghargaan yang diberikan

lembaga berdasarkan prestasi. Setiap kepemimpinan

mempunyai wewenang pula untuk memberikan penghargaan.

Terlebih, kemajuan organisasi pendidikan dapat diukur melalui

pola penghargaan yang digunakan. Menurut Rebore (1991), ada

dua jenis penghargaan, yaitu intrsinsik dan ekstrinsik.

Penghargaan intrinsik berupa penghargaan yang diberikan

karena seseorang melaksanakan tugas-tugasnya. Penghargaan

intrinsik berupa rasa aman, status, persahabatan, kesehatan,

kesenangan, pengakuan, dan sertifikat. Sedangkan penghargaan

ekstrinsik ada yang bersifat kompensasi secara langsung dan

ada pula yang tidak langsung. Penghargaan ekstrinsik berupa

materi.

Penghargaan dalam wujud yang sederhana berupa pujian,

dorongan, dan motivasi. Kepemimpinan dapat memberikan

penghargaan kepada semua orang sesuai dengan peran dan

tugas masing-masing. Meskipun demikian, penghargaan

hendaknya menjadi motivasi kinerja bagi yang bersangkutan

maupun yang lainnya, termasuk dalam organisasi pendidikan.

Sedangkan penghargaan yang lebih mendasar adalah adanya

ekosistem yang saling menghormati satu sama lain agar

suasana kerja menjadi hangat dan kekeluargaan. Ekosistem

yang dimaksud mencakup unsur pemimpin, tenaga pendidik,

dan tenaga kependidikan yang saling bekerja sama, termasuk

juga dapat menjalin komunikasi dengan pengguna jasa

pendidikan. Instrumen pendukung ekosistem adalah fasilitas

belajar yang menunjang kebutuhan dasar bagi tenaga pendidik

dan tenaga kependidikan.

Selain itu, penghargaan yang bersifat materi dapat berupa

gaji. Sedangkan penghargaan nonmateri dapat berupa pujian

162 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

yang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. Gaji

merupakan salah satu faktor perantara yang dapat

memengaruhi peningkatan moral kerja guru di sekolah. Gaji

juga merupakan pengharapan yang dapat mendorong kepuasan

pekerjaan.219

Manusia mempunyai instuisi atau insting yang menyebab-

kan rasa ingin dihargai dan diakui. Menurut Handoko, mengutip

pendapat Maslow, penghargaan merupakan salah satu

kebutuhan yang melekat kepada setiap manusia. Manusia akan

didorong untuk memenuhi yang paling kuat sesuai dengan

waktu, keadaan, dan pengalaman.220

Sejatinya, daya dorong manusia akan memenuhi kualitas

hidup paralel dengan bentuk penghargaan yang akan

diterimanya. Untuk mendukung kebutuhan kualitas hidup pada

warga organisasi pendidikan, maka pemimpin dituntut

memenuhi kebutuhan para warganya. Di antaranya, kebutuhan

fisiologis, rasa aman, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri.

Kebutuhan berikutnya, aktualisasi diri serta mendapatkan

tempat dan kesempatan dalam menjalankan tugas atau

profesinya.

Kepemimpinan organisasi pendidikan mempunyai tang-

gung jawab memenuhi kebutuhan warga organisasi pendidikan.

Hal ini menyangkut kebutuhan sandang, papan, dan jaminan

sosial yang bersifat jangka panjang. Apabila kebutuhan dasar

itu mendapatkan perhatian utama maka akan berdampak pada

perubahan perilaku positif. Termasuk dalam hal ini ialah

pemenuhan kebutuhan dalam bentuk uang, promosi, perhatian,

219 George Strauss & Leonard Sayles, Personnnel The Human Problem of

Management (Prentice Hall, New Jersey, USA), penerjemah Ny. Grace M. Hadikusuma & Ny. Rochmulyati Hamzah (Jakarta: Teruna Grafica, 1996), hlm. 24.

220

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |163

pengakuan yang juga akan memberikan motivasi yang kuat bagi

terwujudnya budaya yang baik bagi keberlangsungan organi-

sasi pendidikan di tengah-tengah masyarakat.

5. Kontruksi Sosial Organisasi Pendidikan

Budaya mutu merupakan sistem nilai organisasi yang

menghasilkan lingkungan kondusif. Budaya mutu terdiri atas

nilai, tradisi, prosedur, dan harapan tentang promosi mutu.221

Setiap organisasi pendidikan mempunyai tujuan yang akan

dicapai secara bersama-sama berdasarkan rencana-rencana

yang dikembangkan. Tujuan organisasi pendidikan akan

tercapai manakala setiap pikiran dan tindakan pemimpin dan

warganya saling bekerja sama menaati sistem nilai sebagai

rujukan mewujudkan budaya atau kebiasaan positif yang sesuai

dengan standar ideal organisasi pendidikan.

Organisasi dibangun untuk menyiapkan sumber daya

manusia yang bermasa depan. Yakni, manusia yang memiliki

cara berpikir yang melampaui zamannya. Sumber daya manusia

manusia ini sangat diperlukan demi menjaga keberlangsungan

organisasi pendidikan agar tetap dibutuhkan oleh masyarakat.

Sebuah organisasi akan menggambarkan bangunan sosial

dari setiap layanan jasa yang dikembangkan. Sebab, dalam

organisasi, misi dan layanan jasa merupakan dua hal yang

bersinergi dalam membentuk konstruksi sosial. Artinya,

kualitas layanan sosial sangat menentukan kondisi sosial dan

hubungan antarpenghuni dalam organisasi pendidikan. Dengan

demikian, konstruksi sosial merupakan hasil dari internalisasi

nilai, saling berbagi, dan kerja sama pemimpin organisasi

221 Amin Ibrahim, Pokok-pokok Administrasi Publik dan Implementasinya

(Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 15.

164 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

pendidikan dengan anggotanya secara terencana dalam rangka

membentuk lingkungan yang selaras dengan visi dan misi.

D. Total Quality Management dan Dunia Pendidikan

Total Quality Management (TQM) pertama kali dikembangkan

di Amerika Serikat sekitar tahun 1930 untuk menghadapi

berbagai tantangan dalam dunia industri yang sedang

mengalami resesi yang berkepanjangan. Dominasi Amerika

semakin tergerogoti. Amerika sendiri kehilangan pasarnya,

produktivitasnya ketinggalan dari Jepang tingkat pengangguran

meningkat, dan posisi kompetetifnya semakin terkikis dalam

dunia global.222

M. Arifin Barnawi mengatakan bahwa total quality

management merupakan istilah yang mengandung arti

manajemen mutu terpadu. Total quality management

merupakan intervensi total yang dikemas secara menarik yang

membuat organisasi bertahan setiap waktu. Manajemen mutu

terpadu merupakan transformasi dari manajemen kualitas

kontrol yang memadukan faktor manusia dengan faktor sistem

sebagai perpaduan teknik dan mekanik”223

Omachonu dan Ross (2004),hlm,3) mengemukakan bahwa

“Total quality Management (TQM) is The integratif of all

functions and procesess within an organization in order to

achieve continous improvement of The quality of goods and

service “. Manajemen mutu pendidikan adalah integrasi semua

fungsi dan proses dalam organisasi dalam upaya mencapai

perbaikan kualitas secara berkelanjutan.

222 Asnawir, Manajemen Pendidikan, (Padang: IAIN IB Press, 2006), hlm.

279. 223 M. Arifin Barnawi, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (Yogyakarta:

Ar Ruz media,2017), hlm. 148.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |165

Edward de Bono menyatakan bahwa ”manajemen mutu

terpadu bukan sekedar filosofi, melainkan juga metodologi.

Manajemen ini dapat membantu organisasi untuk mengelola

perubahan dan mengatur rencana untuk menghadapi tantangan

eksternal.”224

Husaini, 2006: 7), menyatakan bahwa “manajemen

pendidikan merupakan sebuah karya cipta atau ilmu seni

mengatur SDM pendidikan dalam merealisasikan kondisi

belajar dan proses interaksi belajar murid dan guru secara giat

mengekplorasikan kemampuan dirinya untuk mempunyai

kekuatan”.

Murata (1997: 294), menyatakan dalam dictionary bahwa

“kata husn, dalam pengertian yang umum, bermakna setiap

kualitas yang positif (kebajikan, kejujuran, indah, ramah,

menyenangkan, selaras). Selain itu, dapat dsebutkan bahwa

kata ihsan adalah kata yang berarti paripurna dari sebuah

kebaikan. Kata ihsan ialah sebuah kata yang aktif dan

mengandung arti bekerja atau berbuat untuk sesuatu yang

terbaik, terindah. Dalam firman Allah dalam al -Qur`an

menggunakan kata ini dan bentuk (fa’il), orang yang melakukan

perkara yang indah. Secara khusus kata tersebut sering

menunjuk pada Allah sebagai pelaku sesuatu yang menawan,

pada akhirnya pelaku adalah termasuk kedalam dari asma -asma

Tuhan”.

Salah satu ayat dalam al-Qur’an surah al-Qashash/28: 77,

yang sejalan dengan perihal tersebut agar manusia mencari

pada apa yang telah Allah Anugrah yang berbentuk

kebahagiaan dialam nyata ini dan hari akhir sebagai nikmat

yang harus kita jemput dengan beraktifitas yang terbaik dan

224 Edward de Bono, New Thinking for The Millennium, (Jakarta: Elex

Media Komputindo, 2000), h.

166 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

janganlah kami sebagai penghuni dunia ini berbuat dengan

perbuatan yang dapat merusak tatanan kemasyarakatan yang

terhampar di atas bumi ini.

Maka oleh karenanya, dilihat dari konteks pengelolaan

upaya peningkatan kualitas pentarbiyahan dalam Islam,

persoalan dapat dikatakan berkualitas jika menebarkan

manfaat kebajikan, walaupun kepada dirinya sendiri (lembaga

pendidikan itu sendiri), ataupun selain dirinya (stakeholder dan

pelanggan). Seseorang tidak boleh bekerja dengan sembrono

atau tidak maksimal, mengabaikan kegiatan dengan bersantai

diri apalagi apriori, sebab berarti akan merendahkan makna

keikhlasan dari Allah atau merendahkan Tuhan.

Dalam qur`an surat (al-Kahfi:110), Allah berfirman dan

memberikan pelajaran bagi kita semua untuk mempersiapkan

diri dalam perjumpaannya menghadap Allah nanti dengan

meyakini apa-apa yang menjadi keimanan kita dan senantiasa

melakukan aktivitas yang berkualitas dihadapannya serta

meninggalkan beraneka ragam bentuk persekutuan yang dapat

menghapuskan ibadah keseharian hambanya di bumi ini.

Seseorang harus mengerjakan sesuatu dengan sungguh-

sungguh dan teliti, yangdalam ajaran Islam disebut itqan, tidak

setengah-setengah separuh hati,sehingga pekerjaan dapat rapi,

indah, tertib, dan berkesesuaian antara yang satu dengan yang

lainnya.

Maksud dari memberikan kebaikan tersebut adalah

mampu memuaskan pelanggan, tentu dengan melalui tahapan

tahapan secara berkesinambungan, antara lain:

1. Proses yang Bermutu

Proses yang bermutu dapat dilakukan jika anggota

lembaga pendidikan bekerja secara optimal, mempunyai

komitmen dan istiqamah dalam pekerjaannya. Tanpa adanya

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |167

komitmen dan istiqomah dari para (pekerja), dalam konteks

lembaga pendidikan, guru/tenaga pendidik, maka lembaga

pendidikan tersebut tidak mungkin dapat melakukan proses

yang bermutu. Maka dari itu, untuk melakukan proses yang

berkualitas harus dibutuhkan personalia yang bermutu dan

berdedikasi tinggi juga. Sehingga berbuat yang maksimal atau

unggul itu harus dilakukan dalam semua jenjang, semua lini

dalam lembaga pendidikan. Apabila semua guru/tenaga

pendidik di institusi pendidikan mampu menyadari akan hal

tersebut, maka mutu lembaga pendidikan tersebut akan dapat

tercipta.

2. Pengawasan dan Persiapan yang Bermutu

Dalam total quality management pendidikan, untuk dapat

menghasilkan mutu yang baik, maka institusi sekolah Islam

berupaya keras melakukan pengawasan dan persiapan yang

bermutu.Firman Allah dalam al-QQur’an surat an---Najm ayat 39,

yang menyatakan bahwa seorang manusia tidak akan

memperoleh apa-apa dari Tuhannya selain dari apa yang telah

diusahakannya.

Dengan melihat makna penjelasan di atas, maka setiap

orang dalam bekerja dituntut untuk: a) tidak memandang

sepele bentuk-bentuk kerja yang dilakukan; b) memberi makna

kepada pekerjaannya itu; c) sadar bahwa amal adalah mode of

existence; d) dari sisi efeknya, amal itu bukanlah diperuntukkan

untuk Tuhan, namun untuk dirinya sendiri.

Dengan melihat makna penjelasan di atas, maka setiap

orang dalam bekerja dituntut untuk: a) tidak memandang

sepele bentuk-bentuk kerja yang dilakukan; b) memberi makna

kepada pekerjaannya itu; c) sadar bahwa amal adalah mode of

existence; d) dari sisi efeknya, amal itu bukanlah diperuntukkan

untuk Tuhan, namun untuk dirinya sendiri.

168 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Jaminan kulaitas selalu mampu untuk diperoleh dan

dimanfaatkan, apabila suatu lembaga telah mengalami proses

yang baik. Hal tersebut sesuai dengan ayat al-qur`an surat

Fushilat/41: 46 ), yang memberikan pelajaran dari maksud arti

ayat tersebut:

Jika kita sebagai makhluknya dalam mengerjakan sebuah

aktivitas yang baik, maka Allah akan memberikan ganjaran atau

imbalannya untuk siapa yang mengerjakannya, namun apabila

kita sebagai hambanya melakukan sebuah kejahatan, maka

dosa dan azab dari Allah akan mengenai kita yang berbuatnya.

Jika proses dalam institusi kelembagaan Islam bernilai

positif, maka sudah barannng tentu akan berdampak positif dan

keluarnyapun baik pula, dan secara pasti pula, jaminan konsep

mutunya yang menjadi pengakuan berkualitas akan mampu

diperoleh. Jaminan kualitas tersebut sebenarnya merupakan

salah satu alat evaluasi kualitas dalam institusi pendidikan

Islam.” Hal tersebut didukung dengan sebuah ungkapan

khalifah kedua setelah Abu bakar as shiddiq, yaitu Umar Ibnu

Khatab mengatakan bahwa mengevaluasi diri secara mendalam

dengan melakukan muhasabah untuk dirinya sendiri jauh lebih

berharga daripada melakukan evaluasi untuk orang lainyang

diluar dirinya.Ungkapan tersebut jika dipahami terlihat

membuktikan adanya koreksi bagi siapapun, baik perseorangan

maupun berupa institusi atau organisasi terutama dalam

rangka membangun quality culture.

Maka siapapun menjadi pemimpin tetap senantiasa

bermuhasabah dalam segala perbuatan yang ditetapkan dan

diperbuat, apakah amalnnya tersebut itu telah mampu

mencapai orientasi atau tidak. Namun, pengawasan itu tidak

akan dapat terealisir tanpa adanya perencanaan yang unggul,

sebagaimana Allah ingatkan dalam firmannya surat al-Hasyr

ayat 18, yang juga mengajarkan kepada hambanya untuk

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |169

mengambil pelajaran dari maksud ayat tersebut antara lain:

Sebagai orang yang meyakini adanya Allah maka wajib baginya

takut kepadanya dan haruslah melalukan introspeksi dan selalu

melakukan evaluasi diri terhadap perbuatan yang telah

dilakukannya selama ini, dan juga mau menatap dengan tatapan

masa depan yang lebih cerah untuk kebahagiaan di alam yang

abadi nantinya, yaitu alam akhir.

Kandungan ayat ini memberi pesan kepada hambanya yang

meyakininya untuk memikirkan masa depan. Dalam bahasa

manajemen mutu, pemikiran masa depan yang dicantumkan

dalam teori-teori konsep yang jelas dan sistematis disebut

dengan persiapan perencanaan yang bertujuan pada mutu

(quality planning). Perencanaan yang berkualitas ini menjadi

sangat penting karena bermanfaat sebagai penunjuk dalam

kegiatan, sasaran-sasaran dan hasil-hasilnya dikemudian hari ,

sehingga apapun kegiatan yang dilakukan dapat berjalan

dengan tertib. Sesungguhnya semua amal perbuatan itu layak

diikutsertakan rencana dan beraneka cara yang dipersiapkan

itu tergantung apa yang diniatkannya. Hal itu menunjukkan

bahwa untuk menggapai tataran unggulan (quality) harus

dilakukan dengan perencanaan yang unggulan juga (quality

planning). Niat tersebut adalah maksud atau getaran dalam hati.

Namun niat dalam kajian fiqih harus disertai dengan perbuatan,

dan apabila hanya getaran, maka itu bukan niat namun hanya

keinginan. Maka dari itu, dalam dunia manajemen pendidikan

Islam dalam berniat (melakukan perencanaan) harus konkrit

dan jangan yang abstrak supaya keberhasilan bisa segera

terealisasikan.

(Dahlgaard, dkk., 2002: 17) mengemukakan bahwa “ada

lima prinsip manajemen mutu terpadu, yaitu: (a) komitmen

manajemen (kepemimpinan), (b) fokus pada costemers dan

pegawai, (c) fokus pada fakta-fakta, (d) perbaikan terus

170 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

menerus, dan (e) partisipasi semua pihak. (Edward Deming,

2015,hlm 105), mengembangkan menjadi empat belas prinsip

dasar yang menggambarkan apa yang dibutuhkan sekolah

untuk mengembangkan budaya mutu. Empat belas prinsip

tersebut adalah : (1) menciptakan konsistensi tujuan, (2)

mengadopsi filosofi mutu total, (3) mengurangi kebutuhan

pengajuan, (4) menilai bisnis sekolah dengan cara yang baru,

meminimalisir biaya tota lpendidikan, (5) memperbaiki kualitas

dan hasil serta meminimalisir dana, (6) belajar sepanjang hayat,

(7) kepemimpinan dalam pendidikan, (8) mengeleminasi rasa

takut, (9) mengeleminasi hambatan keberhasilan, (10)

menciptakan budaya mutu, (11) perbaikan proses, (12)

membantu siswa berhasil, (13) komitmen, (14) tanggung

jawab.

Lembaga-lembaga pendidikan seperti SD IT dan SMP IT

misalnya harus dapat mengembangkan dan mengimplemen-

tasikan prinsip-prinsip dari manajemen mutu dan yang lebih

penting lagi harus dijadikan sebagai budaya dalam aplikasinya

ditataran sekolah-sekolah berbasis Islam terpadu, karena

prinsip tersebut sejalan dengan nilai-nilai keIslaman dalam

dunia pendidikan Islam.

Menurut Muhab, dkk, 2017: 7), menjelaskan “prinsip

prinsip mutu terpadu yang diterapkan dalam JSIT antara lain

:(a) meyakini bahwa pendidikan Islam merupakan aktivitas

dakwah yang merupakan pekerjaan mulia dan menuntut

dedikasi, loyalitas, dan etos kerja (b) Pendidikan

diselenggarakan dengan tulus ikhlas, dedikasi yang tinggi,cara

yang bijak, dan dan dipandang sebagai kewajiban menjalankan

perintah Allah SWT, mengajak, menuntun manusia menuju

jalan Allah, menjalankan aktivitas pendidikan merupakan

amanah yang diterima dari secara kwali murid yang harus

ditunaikan dengan baik, profesional, dan penuh tanggung

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |171

jawab, (c) pendidikan pada dasarnya adalah mengajarkan

seluruh kandungan Islam baik dalam al-Qur`an maupun sunah

keterpaduan ilmu Allah, (d) mengedepankan keteladanan yang

baik(qudwah hasanah), membentuk perilaku peserta didik

melalui perilaku seluruh tenaga pendidik dan kependidikan,

yang utamanya dalam aspek ‘ubudiyah dan akhlaqiyah”.

Dari beberapa pendapat para ahli tentang prinsip-prinsip

dalam manajemen mutu terpadu dalam lembaga pendidikan,

maka dapat penulis mengambil kesimpulan antara lain prinsip

percepatan atau akseleratif, sistem mutu yang tidak mahal,

mudah untuk di jalankan, sistem mutu harus berbasis pada

komponen paling berpengaruh pada mutu sekolah, sistem mutu

yang terbukti ampuh memberi dampak yang signifikan pada

peningkatan mutu sekolah, dan dapat dilaksnakan kerja tim

atau amal jam`i di antara komponen yang ada dalam sebuah

lembaga atau sekolah. Untuk mencapai hal tersebut perlu

dipenuhi juga tahapan sebagai syarat manajemen mutu dapat

tercapai di antaranya dengan melihat target yang jelas dan

terukur, konsistensi dalam menjalankan perencanaan program,

waktu yang memadai, quality control atau mutaba’ah yang

intensif, adanya progres repot yang berkelanjutan.

E. Implementasi Mutu di Lembaga Pendidikan Islam

Mutu lembaga pendidikan akan mampu diwujudkan

apabila semua sistem di lembaga pendidikan telah berorientasi

kepada mutu, sehingga terbentuk budaya organisasi yang

berorientasi pada mutu dan terjadi pengimplementasian TQM.

Ayat-ayat al-Qur’an dan berbagai hadits Nabi telah

menunjukkan dan mengisyaratkan bahwa budaya mutu akan

terbentuk dan terbangun dari sistem tersebut apabila dilakukan

dengan istiqamah.

172 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Berawal dari pembahasan tersebut dalam operasi

manajemen mutu dunia pendidikan Islam ada beberapa hal

yang harus diperhatikan menurut Mahmudin, dkk225 antara

lain:

1. Perbaikan secara terus-menerus

Teori ini memberikan arti dengan pihak penata kelola

pendidikan berbasis Islam selalu melaksanakan dalam

memberikan pengamanan seluruh unsur pengelola pendidikan

sudah memenuhi target kualitas yang telah distandarisasikan.

Konsep tersebut mengandung arti sesungguhnya antara

lembaga pendidikan selalu memodifikasi aktifitas

bersumberkan keinginan dan kewajiban pelaku pasar. Jika

kewajiban dan keinginan yang tinggi dari pelaku pasar

dimasyarakat berubah, maka pihak penyelenggara lembaga

keIslaman dengan pastinya secara perlahan akan mengalami

perubahan secara berangsur, bahkan terus memperbaiki unsur-

unsur aktivitas hasil atau elemen-elemn yang terdapat pada

lembaga pendidikan Islam.

2. Menentukan standar mutu

Target kualitas dalam proses pendidikan seyogyanya

ditetapkan terlebih dahulu, dengan maksud dan mengandung

pemahaman bahwa pihak pengatur dan pengelola pendidikan

keIslaman harus menentukan target kualitas dalam proses

pembelajaran dalam pendidikan yang diharapkan dapat

berjalan secara efektif untuk menyempurnakan proses hasil

225 Mahmudin, “Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan Islam”,

disampaikan dalam “Seminar Nasional 2018: Membangun Budaya Literasi Pendidikan & Bimbingan dan Konseling Dalam Mempersiapkan Generasi Emas, h.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |173

dan guna memunculkan lulusan secara unggul, yakni yang

mendalami dan memahami target kualitas pendidikan

berbentuk pendalaman target kemahiran dasar. Pembelajaran

yang dimaksud sekurang-kurangnyamemenuhikarakteristik:

menggunakan metode belajar kreatif, pembelajaran aktif,

kolaboratif, pembelajaran konstruktif, dan pembelajaran tuntas.

Bagi pendidikan berbasis Islam, kualitas yang berorientasi

kearah lulusan semua mestinya mengeluarkan terget terendah

dua arah kebijakan yakni,a) terbentuknya insan yang dapat

menerima semua fenomena kehidupannya selaras terhadap

petunjuk atau arahan yang terdapat dalam kitabullah dan

hadits Rasulullah, b) terciptanya insan yang mempunyai

keterampilan pada keahlian ilmu dan multi media yang canggih

yang sejalan dengan tuntutan zaman modern saat ini .

3. Perubahan Kultur

Rumusan tersebut berorientasi menjadikan kebiasaan

sebuah institusi kemasyarakatan yang guru dan berbagai

rumusan yang salingbersinergi seperti pengelola lembaga,

masyarakat, dan setiap penikmat lulusan pendidikan berbasis

Islam akan merasa urgennya merintis dan mengembangkan

kualitas kegiatan belajar mengajar yang baik dan berkualitas

yang memiliki hasil unggul maupun pembelajaran yang inovatif.

Disinilah letak urgen dimodifikasi dan improvisasi

penyebab inovasi dan penyebab dorongan semangat muncul,

agar secara berkelanjutan dan pasti budaya kualitas itu akan

tumbuh di dalam organisasi institusi pendidikan Islam.

Perubahan budaya ke arah budaya kualitas ini diantaranya

dilakukan dengan menempuh metodologi perumusan

kepercayaan bersama, penekanan atau doktrin nilai-nilai

keagamaan Islam, yang dilanjutkan dengan perumusan

174 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

pandangan dan mimpi-mipi kelembagaan pendidikan Islam

sejalan syariat dan kaidah sumber ajaran Islam.

4. Restrukturisasi Organisasi

Apabila visi-misi serta orientasi organisasi sudah

mengalami perubahan dan perkembangan, maka tidak mustahil

akan mengalami tarbentuknya restrukturisasi organisasi.

Perubahan organisasi tersebut tidak mengandung maksud

terjadinya perubahan tempat organisasi, akan tetapi pola dan

struktur kepengurusan yang mencirikan interaksi kerja

struktur dan pemantauan dalam aktivitas kerja.

5. Mempertahankan komunikasi dengan masyarakat

Berbagai sinyal antara sekumpulan pendidikan dan

pengguna jasa harus kontinyu dipertukarkan, agar lembaga

pendidikan selalu dapat menjadikan rekayasa atau

pembaharuan yang inovatif yang diperlukan terutama

berdasarkan perubahan karakter dan sistem tuntutanserta

kebutuhan pelanggan. Apalagi mengingat bahwa penduduk

Indonesia secara kuantitas muslim, tentu pendidikan Islam

harus mampu mengambil “simpati” mayoritas orang di

Indonesia.

F. Karakteristik Standar Mutu Layanan Jasa Pendidikan

Secara operasional, mutu ditentukan oleh dua faktor, yaitu

terpenuhinya spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya

atau disebut quality in fact (mutu sesungguhnya) dan

terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan menurut tuntutan

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |175

dan kebutuhan pengguna jasa atau disebut quality in perception

(mutu persepsi).226

Kualitas dapat diukur dengan parameter seperti:

banyaknya keluhan pelanggan, banyaknya kesalahan,

pencapaian target dan sebagainya. Menurut Michael Le Boeuf,

bisnis yang kualitas pelayanannya rendah rata-rata hanya

memperoleh tambahan 1% pelanggan baru dan kehilangan

pangsa pasar sebesar 2% setahun. Pada pihak lain, bisnis yang

kualitas pelayanannya amat baik, rata-rata memperoleh 12%

tambahan pelanggan baru, meraih pangsa pasar 6% setahun,

dan biasanya mampu menetapkan harga yang cukup tinggi.227

Standar mutu sesungguhnya diukur dengan mutu produksi

sesuai kriteria dengan spesifikasi, cocok dengan tujuan

pembuatan dan penggunaan, tanpa cacat (zero defect), dan

selalu baik sejak awal (right first time and every time). Mutu

dalam persepsi diukur dengan kepuasan pelanggan atau

pengguna, meningkatnya minat, harapan dan kepuasan

pelanggan.228

Kualitas atau mutu memiliki elemen-elemen sebagai

berikut: pertama, meliputi usaha memenuhi atau melebihi

harapan pelanggan. Kedua, mencakup produk, jasa, manusia,

proses, dan lingkungan. Ketiga, merupakan kondisi yang selalu

berubah. Pendidikan itu adalah jasa atau pelayanan (service)

dan bukan produksi barang. Satu-satunya indikator kinerja jasa

pelayanan adalah kepuasan pelanggan, kinerja kualitas

pendidikan dapat diukur dari tingkat kepuasan pelanggan.229

226 Nur Zazin, Gerakan Menata Mutu Pendidikan: Teori dan Aplikasi,

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 63 227 Triwibowo Soedjas, Layanan Wow Untuk Pelanggan,(Yogyakarta:

Media Pressindo, 2014), hlm. 65. 228 Nur Zazin, Gerakan Menata Mutu Pendidikan... hlm. 63. 229 Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi,

(Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm. 68-70

176 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Organisasi-organisasi terbaik, baik milik pemerintah

maupun swasta, memahami mutu dan mengetahui rahasianya.

Sesungguhnya, ada banyak sumber mutu dalam pendidikan,

misalnya sarana gedung yang bagus, guru yang terkemuka, nilai

moral yang tinggi, hasil ujian yang memuaskan, spesialisasi atau

kejuruan, dorongan orang tua, bisnis dan komunitas lokal,

sumber daya yang melimpah, aplikasi teknologi mutakhir,

kepemimpinan yang baik dan efektif, perhatian terhadap

pelajar dan anak didik, kurikulum yang memadai, atau juga

kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Organisasi-organisasi

yang menganggap serius pencapaian mutu, memahami bahwa

sebagian besar rahasia mutu berakar dari mendengar dan

merespon secara simpatik terhadap kebutuhan dan keinginan

para pelanggan dan klien. Meraih mutu melibatkan keharusan

melakukan segala hal dengan baik, dan sebuah institusi harus

memposisikan pelanggan secara tepat dan proporsional agar

mutu tersebut bisa dicapai.

Dari beberapa teori dapat disimpulkan bahwa kualitas

adalah usaha perbaikan terus menerus yang dilakukan oleh

suatu organisasi sehingga tujuan dapat dicapai dengan

melibatkan segenap komponen dalam organisasi sebagai upaya

untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan.

Dalam institusi pendidikan, karakter leader dan manager

merupakan core values yang membekali seorang pemimpin

sekolah/madrasah dalam melaksanakan fungsi manajemen

sekolah agar dapat mencapai tujuan dan sasaran standar mutu.

Taksonomi pembagian karakter leader dan karakter manager

merupakan rujukan literasi dalam kepemimpinan. Leader

memberikan arah dan orientasi ke masa yang akan datang.

Sedangkan manager memberikan arah dan orientasi yang

konsisten dalam mengawal berjalannya organisasi sesuai

harapan.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |177

Kepemimpinan dalam lembaga pendidikan memiliki tata

nilai fungsional yang menggerkakkan sistem pengelolaan

organisasi untuk memberikan pelayanan secara prima. Tata

nilai fungsional tersebut tercermin dalam sikap lebih

mengutamakan pelayanan yang maksimal daripada menjaga

regulasi yang kaku. Selain itu, ia juga menjelma sikap lebih

mementingkan pelayanan bagi pengguna pendidikan.

Layanan jasa organisasi pendidikan itu fokus pada

pelayanan terhadap pengguna (customer). Dalam institusi

pendidikan ada dua macam pengguna, yaitu internal customer

(tenaga pendidik dan tenaga kependidikan) dan eksternal

customer (masyarakat dan pemerintah). Keduanya

membutuhkan pengelolaan secara komprehensif titik yaitu,

pengelolaan yang berbasis fokus kepada pengguna dan merujuk

pada pelayanan yang sesuai dengan standar mutu.

Dalam layanan jasa aspek kompetensi profesional sangat

dibutuhkan. Kompetensi ini dapat dilihat dalam kinerja layanan

keahlian menjalankan tugas dan tanggung jawab Kompetensi

profesional meniscayakan sikap tanggung jawab tenaga

pendidik maupun tenaga kependidikan dalam setiap tugas

pokok mereka.

Menurut Berry, bidang usaha di wilayah jasa mempunyai

empat karakteristik yaitu intangibility, inseparability,

variability, dan perishability.230 Pertama, tidak berwujud

(intangibility), yaitu layanan jasa pendidikan yang tidak

berwujud seperti produk fisik yang menyebabkan pengguna

pendidikan tidak bisa merasakan hasilnya sebelum

menggunakan layanan jasa. Kedua, tidak terpisahkan

(inseparability), yaitu layanan jasa pendidikan antara penyedia

230 Leornard L. Berry, A Marketing Services (New York: The Free Press,

1991), hlm. 24.

178 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

jasa dengan pengguna jasa terjadi hubungan secara langsung.

Hubungan tersebut dihimpun dan diikat oleh sistem jaminan

mutu yang menempatkan penyedia jasa melaksanakan

kewajiban layanan, sedangkan pengguna jasa menerima haknya

karena kewajiban persyaratan mendapatkan layanan sudah

ditunaikan berdasarkan sistem yang berlaku.

Ketiga, sering berubah-ubah (variability) sehingga

menyebabkan standar mutu sulit dicapai sesuai dengan standar

yang telah ditetapkan. Hal ini juga tergantung pada siapa yang

menyajikannya, kapan serta di mana disajikan layanan jasa

pendidikan. Keempat, mudah rusak (perishability) yaitu layanan

yang tidak dapat disimpan dalam jangka panjang sehingga

inovasi di dunia pendidikan sangat dibutuhkan.

Karakteristik tersebut memperjelas kedudukan orientasi

layanan jasa organisasi pendidikan dalam meningkatkan mutu

layanan pendidikan. Pelaksanaan layanan jasa itu

memfokuskan pada pengguna. Kepuasan pengguna pendidikan

merupakan kriteria mutu kriteria mutu sebagai indikator

keberhasilan mewujudkan setiap tujuan organisasi pendidikan.

Layanan jasa sistem pendidikan menurut operasional total

quality management dalam dunia pendidikan, memiliki

beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan. Pertama,

perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement).

Kedua, menentukan standar mutu (quality assurance). Ketiga,

perubahan kultur. Keempat, perubahan organisasi (upside-

down organization). Kelima, mempertahankan hubungan

dengan pelanggan (keeping close to the customer). Kelima,

pendekatan tersebut membutuhkan proses pengembangan dan

pengawasan secara terus-menerus berbasis pada visi-misi dan

tujuan organisasi pendidikan baik oleh penyedia maupun

pengguna layanan jasa pendidikan.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |179

Pengguna layanan jasa pendidikan mempunyai cara

pandang yang subjektif terkait dengan standar mutu layanan

jasa pendidikan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman

motivasi dan harapan yang dimiliki. Maka untuk menjaga

konsistensi mutu layanan jasa termasuk dalam dunia

pendidikan, Rangkuti memberikan beberapa hal yang harus

selalu diperhatikan.

1. Merek atau brand, yaitu nilai yang berkaitan dengan

nama atau nilai yang dimiliki dan melekat pada suatu

perusahaan titik sebaiknya perusahaan senantiasa

berusaha meningkatkan brand equity-nya.

2. Pelayanan (service) yaitu nilai yang berkaitan dengan

pemberian jasa pelayanan kepada konsumen. Kualitas

pelayanan kepada konsumen ini perlu ditingkatkan

secara terus-menerus.

3. Proses, yaitu nilai yang berkaitan dengan prinsip

perusahaan untuk membuat Setiap karyawan terlibat

dan memiliki rasa tanggung jawab dalam proses

memuaskan konsumen baik secara langsung maupun

tidak langsung.

Ketiga cara menjaga layanan jasa tersebut di atas dapat

dikembangkan dalam dunia pendidikan untuk menciptakan

inovasi-inovasi yang unggul dan tetap diterima oleh

masyarakat. Layanan jasa pendidikan tidak hanya mengukur

standarisasi kebijakan organisasi dalam mewujudkan

tujuannya. Namun lebih dari itu, standarisasi kebijakan itu juga

harus dirasakan oleh pengguna dan melampaui harapan

mereka.

Layanan jasa pendidikan tidak semata-mata proses

mekanik yang dapat disederhanakan menggunakan program

180 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

digitalisasi. Sebagaimana hal tersebut dapat dijumpai di

beberapa layanan jasa selain pendidikan. Misalnya, penggunaan

kecerdasan buatan untuk membantu pelayanan kepada

pengguna atau pelanggan di rumah sakit, bank, dan perusahaan

besar. Namun, lebih dari itu, layanan jasa pendidikan yang

membutuhkan layanan jasa yang bersifat proses organik.

Proses ini meniscayakan interaksi sosial sehingga terjadi

transformasi nilai, budaya, dan adat yang saling memengaruhi,

maupun bertukar pandangan untuk mendewasakan setiap

manusia. Kecerdasan buatan ini hanya menjadi penunjang

layangan proses kimia yang diperankan tenaga pendidik dan

tenaga kependidikan.

Untuk menyokong layanan jasa pada bidang pendidikan,

dibutuhkan kompetensi inti.231 Pertama, nilai bagi pelanggan

(customer perceived value), yaitu keterampilan yang

memungkinkan suatu perusahaan (pendidikan) menyampaikan

manfaat yang pernah mental kepada pelanggan. Pertanyaan

yang perlu dijawab adalah “mengapa pelanggan bersedia

membayar lebih mahal atau lebih murah untuk suatu produk

(barang) atau jasa dibandingkan dengan produk atau jasa

lainnya?” Kedua, diferensiasi bersaing (competitor

diferenciation), yaitu kemampuan yang unik dan dari segi daya

saing. Jadi, apa perbedaan antara kompetensi yang diperlukan

dan kompetensi pembeli dan titik pembeda. Tidak layak

menganggap sesuatu kompetensi sebagai inti jika ia ada di

mana-mana atau, dengan kata lain, yang mudah ditiru oleh

pesaing. Ketiga dapat diperluas (extendibility).

Karena kompetensi inti merupakan pintu gerbang menuju

pasar masa depan, maka kompetensi ini harus memenuhi

kriteria manfaat bagi para pelanggan dan keunikan bersaing.

231 Ibid, hlm. 14.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |181

Selain itu, kompetensi inti harus dapat diperluas sesuai dengan

keinginan konsumen masa depan. Dengan demikian,

kompetensi tidak menjadi usang meskipun kompetensi ini

mungkin saja kehilangan nilainya sepanjang waktu.

Selain itu., juga terdapat kompetensi penunjang dalam

layanan jasa pendidikan, yaitu perlunya fokus terhadap

kepemimpinan dalam mengelola sumber daya manusia sesuai

dengan rencana standar mutu agar memenuhi kepuasan

pengguna. Hal ini sesuai dengan kriteria mutu Baldrige yang

berfokus pada tujuh wilayah yang secara integral dan dinamis

saling berhubungan, yaitu leadership, information and analysis,

strategic quality planning, human resource management, quality

assurance product of product and service, quality and customer

satisfaction.232

G. Konsep Sistem Penjaminan Mutu pada Layanan

Jasa

Penjaminan kualitas/mutu adalah seluruh rencana dan

tindakan sistematis yang penting untuk menyediakan

kepercayaan yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan

tertentu dari kualitas.233 Kebutuhan tersebut merupakan

refleksi dari kebutuhan pelanggan. Penjaminan kualitas

biasanya membutuhkan evaluasi secara terus-menerus dan

biasanya digunakan sebagai alat bagi manajemen. Menurut

Gryna (1988), penjaminan kualitas/mutu merupakan kegiatan

232 Daniel V. Hunt, Managing for Quality (Illinois: Business one Irwin

Homewood, 1993), hlm. 178. 233 Elliot.(1993). “Management of Quality in Computing Systems

Education: ISO 9000 series Quality Standards Applied”. Journal of System Management. September, 6-11

182 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

untuk memberikan bukti-bukti untuk membangun kepercayaan

bahwa kualitasdapat berfungsi secara efektif.234

Sementara itu Cartin (1999) memberikan definisi

penjaminan kualitas adalah sebagai berikut: Quality Assurance

is all planned andsystematic activitiesimplemented within the

quality system that can be demonstrated to provideconfidence

that a product or service will fulfill requirements for quality.235

Tujuan kegiatan penjaminan mutu bermanfaat, baik bagi

pihak internal maupun eksternal organisasi. Menurut Yorke

(1997), tujuan penjaminan (Assurance) terhadap kualitas

tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Membantu perbaikan dan peningkatan secara terus

menerus dan berkesinambungan melalui praktek yang

terbaik dan mau mengadakan inovasi.

2. Memudahkan mendapatkan bantuan, baik pinjaman

uang atau fasilitas ataubantuan lain dari lembaga yang

kuat dan dapat dipercaya.

3. Menyediakan informasi pada masyarakat sesuai

sasaran dan waktu secara konsisten, dan bila mungkin,

membandingkan standar yang telah dicapaidengan

standar pesaing.

4. Menjamin tidak akan adanya hal-hal yang tidak

dikehendaki.

Selain itu, tujuan dari diadakannya penjaminan kualitas

(quality assurance) ini adalah agar dapat memuaskan berbagai

pihak yang terkait di dalamnya, sehingga dapat berhasil

mencapai sasaran masing-masing. Penjaminan kualitas

merupakan bagian yang menyatu dalam membentuk suatu

234 Pike and Barnes. R, Total Quality Management in Action, (London;

Chapman & Hall, 1996), hlm. 20 235 Cartin, 1999, hlm. 312

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |183

kualitas produk dan jasa suatu organisasi atau perusahaan.

Mekanisme penjaminan kualitas yang digunakan juga harus

dapat menghentikan perubahan bila dinilai perubahan

tersebut menuju ke arah penurunan atau kemunduran

(Yorke, 1997).

Berkaitan dengan penjaminan kualitas, Stebbing (1993)

menguraikan mengenai kegiatan penjaminan kualitas sebagai

berikut:

1. Penjaminan kualitas bukan pengendalian kualitas atau

inspeksi. Meskipun program penjaminan kualitas

(Quality Assurance) mencakup pengendalian kualitas

dan inspeksi, namun kedua kegiatan tersebut hanya

merupakan bagian dari komitmen terhadap mutu

secara menyeluruh.

2. Penjaminan kualitas bukan kegiatan pengecekan yang

luar biasa. Dengan kata lain, departemen pengendali

kualitas tidak harus bertanggung jawab dalam

pengecekan segala sesuatu yang dikerjakan oleh orang

lain.

3. Penjaminan kualitas bukanmenjadi tanggung jawab

bagian perancangan.Dengan kata lain, departemen

penjaminan kualitas bukan merupakankeputusan

bidang perancangan atau teknik, tetapi membutuhkan

orang yang dapat bertanggung jawab dalam

mengambil keputusan dalam bidang-bidangyang

dibutuhkan dalam perancangan.

4. Penjaminan kualitas bukan bidang yang membutuhkan

biaya yang sangatbesar. Pendokumentasian dan

sertifikasi yang berkaitan dengan penjaminankualitas

bukan pemborosan.

184 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

5. Kegiatan penjaminan kualitas merupakan kegiatan

pengendalian melaluiprosedur secara benar, sehingga

dapat mencapai perbaikan dalam efisiensi,

produktivitas, dan profitabilitas.

6. Penjaminan kualitas bukan merupakan obat yang

mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Dengan penjaminan kualitas, justru akan dapat

mengerjakan segala sesuatu dengan baik sejak awal dan

setiap waktu.

7. Penjaminan kualitas merupakan kegiatan untuk

mencapai biaya yang efektif, membantu meningkatkan

produktivitas.

Mutu layanan jasa pendidikan merupakan sebuah sistem

yang menempatkan proses tertentu berdasarkan kriteria yang

terukur dan pola kerjanya melibatkan semua unsur pengelola

dan pengguna dalam mencapai tujuan titik layanan jasa

pendidikan dinamakan bermutu manakala prosedur

pengelolaan yang sudah sesuai standar dapat dirasakan

langsung oleh pengguna. Dampaknya berupa perilaku

penggunaan dalam bentuk kepribadian yang berkarakter lebih

baik dari sebelumnya. Untuk itu sistem penjaminan mutu

dikembangkan tidak sebatas mengukur kapasitas kognitif

namun dibutuhkan pula standar mutu yang melibatkan wilayah

afektif dan psikomotorik.

Standar pengelolaan pendidikan tersebut mengacu pada

delapan Standar Nasional Pendidikan sebagai standar minimal.

Artinya, satuan pendidikan dan pengguna pendidikan dapat

membuat konsensus dan kebijakan untuk meningkatkan

standar pendidikan yang lebih tinggi standarisasi dapat

melampaui harapan masyarakat sehingga memberi pengaruh

terhadap pembentukan karakter yaitu aspek pengembangan

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |185

rasa nasionalisme dan karakter bangsa Indonesia Apa itu UU.

No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal

35 (Ayat 1, 2, dan 3), yaitu (1) standar isi, (2) proses, (3)

kompetensi lulusan, (4) tenaga kependidikan, (5) sarana dan

prasarana, (6) pengelolaan, (7) pembiayaan, dan (8) penilaian.

Lebih lanjut tentang SNP, dielaborasikan dalam bentuk

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan. Pasal 1 menyatakan bahwa standar

nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem

pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Artinya, satuan pendidikan atau sekolah

atas konsensus bersama antara pengelola sekolah, masyarakat,

dan pemangku kepentingan dapat mengembangkan kriteria

sekolah unggul sebagai acuan dalam pengembangan sekolah.

Delapan standar itu mengacu pada mekanisme dalam

satuan pendidikan yaitu input, proses, dan output input. Aspek

input tidak sekadar menyangkut kualifikasi peserta didik

dengan etos belajar tinggi, namun juga terkait dengan

kualifikasi kompetensi guru yang profesional yang dapat

menguasai materi dan metodologi pembelajaran. Aspek proses

merupakan tahapan-tahapan prosedur yang dilaksanakan

sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan oleh pengelola

dan didukung oleh pengguna pendidikan. Aspek output

mengacu pada hasil prestasi belajar yang menggunakan alat tes

prestasi akademik maupun atas prestasi non-akademik.

Mekanisme input, proses, dan output mempunyai pola

interdependensi di dalam sistem penjaminan mutu titik

arahnya berupa layanan yang memprioritaskan kepada

pengguna dan fokus pada pencegahan masalah. Untuk

mencapai kepuasan pengguna pendidikan, maka diperlukan

pendekatan kepemimpinan. Kepemimpinan dalam manajemen

mutu adalah untuk meningkatkan performa memperkuat

186 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

kualitas mutu meningkatkan kualitas meningkatkan output dan

produktivitas, serta secara simultan mampu menciptakan

kebanggaan bagi pengelola karena telah mencapai memenuhi

standar mutu. Untuk mencapai standar mutu, menurut Deming,

dibutuhkan konsep P-D-S-A (plan-do-study-act).236

Berdasarkan konsep Deming tersebut, bahwa perbaikan

manajemen mutu diawali dari perencanaan strategis yang

relevan. Strategis ini berhubungan dengan unsur. Perencanaan

yang bermuara pada pentingnya perubahan-perubahan sistem

dan mengikuti rencana strategis dapat dikelola secara efektif

dan efisien dengan unsur do. Perubahan-perubahan yang

terjadi secara terus-menerus akan menciptakan suatu budaya

organisasi yang berhubungan dengan study. Pendekatan study

bermaksud mewujudkan secara standar budaya mutu yang

tinggi. Untuk mewujudkannya, diperlukan kepemimpinan yang

menjiwai karakteristik leader dan karakteristik manager dalam

melaksanakan kinerja yang sesuai harapan yang dapat disebut

act.

Konsep Deming menggambarkan bahwa PDSA sebagai

spiral bekerja sesuai dengan tahapan-tahapan secara

sistematis. Siklus PDSA menggunakan prosedur yang

berurutan. Hal ini bertujuan meningkatkan mutu kepuasan

pelanggan secara berkelanjutan dengan menggunakan tiga

paradigma baru, yaitu (1) nilai pelanggan, (2) peningkatan

berkelanjutan, dan (3) sistem organisasi pada aspek core values

yang memberikan panduan bagi anggota organisasi dalam

mewujudkan perilaku yang diharapkan.237 Nilai-nilai yang

menjadi perubahan mindset seseorang yang bersifat intrinsik.

236 M. Nur Nasution, Manajemen Mutu Terpadu (Bogor: GI, 2005), hlm.

196. 237 Dale Besterfield, Total Quality Management, Second edition,

International Edition, (USA: Prentice-Hall, Inc., 1999), hlm. 20.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |187

Perubahan itu sesungguhnya dimulai dari cara berpikir setiap

individu di dalam organisasi, bukan dimulai dari imbal balik

yang bersifat materi. Nilai-nilai dari sebuah organisasi

merupakan prinsip-prinsip yang menjadi dasar operasi dan

pencarian organisasi tersebut dalam mencapai visi dan

misinya.238

Untuk mewujudkan sistem penjaminan mutu dalam

organisasi pendidikan tersebut dibutuhkan empat komponen,

yaitu:239

1. everyone is responsible for maintaining the quality of the

product or service quality control because it has been

2. for enhancing the quality of the product or service

3. everyone use and views of the system in place for

dementia and enhancing quality, and

4. management and time because of the validity of the

system for checking quality.

Sistem penjaminan mutu pendidikan adalah proses

penetapan dan pemenuhan standar mutu secara konsisten dan

berkelanjutan, sehingga stakeholder memperoleh kepuasan.240

Untuk mencapai sistem pendidikan yang dapat memenuhi

standar dalam layanan jasa pendidikan adalah melaksanakan

akreditasi BAN S/M dan BAN-PT 241 dan Undang-Undang Sistem

238 Edward Sallis, Total Quality Management, hlm. 218. 239 Malcom Frazer, Quality in Higher Education, dalam Proceeding of an

International Conference (Francis e-Library: The Falmer Press, 1992), hlm. 10 240 Depdiknas, Pedoman Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (Jakarta:

Depdiknas, 2003), hlm. 9. 241 BAN-PT pada awal berdirinya adalah rekomendasi dari dua

ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu UUSPN No. 2/1989 dan PP No. 30/1990.

188 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Pendidikan Nasional.242 Akreditasi merupakan salah satu

bentuk penilaian mutu dan kelayakan institusi sekolah

perguruan tinggi atau program studi yang dilakukan oleh

organisasi dan atau badan mandi di luar perguruan tinggi.

Akreditasi merupakan suatu proses dan hasil sekaligus.

Dalam hal implementasi peningkatan mutu dalam lembaga

pendidikan Islam Departemen Agama RI merumuskan bahwa

setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan.243

1. Lembaga Review

Lembaga review dapat diartikan sebagai penataan ulang

lembaga, dan merupakan sebuah proses di mana seluruh

komponen lembaga bekerjasama dengan pihak lain yang

relevan seperti orang tua siswa masyarakat dan tenaga

profesional. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi efektivitas

kebijakan lembaga program dan pelaksanaannya serta mutu

lulusan. Dengan adanya lembaga review ini, diharapkan dapat

diperoleh suatu laporan yang komprehensif yang dapat

menjelaskan apa saja kekuatan, kelebihan, kelemahan, dan

prestasi lembaga pendidikan Islam, serta memberikan

242 Ghafur Saha Hanier, Manajemen Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi

di Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 47-48. Dan UU Sisdiknas Tahun 2003. Dalam undang-undang tersebut, terdapat tiga lembaga. Mendiknas bertanggung jawab terkait dengan mutu perguruan tinggi, yaitu (1) Dirjen Dikti sebagai perumus pelaksana kebijakan mutu dan melakukan pembinaan serta pengawasan mutu, (2) Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) adalah lembaga perumus standar mutu PT, dan hasil rumusannya disodorkan kepada Dirjen Dikti dan BAN-PT untuk dilaksanakan, dan (3) BAN-PT adalah badan yang mengimplementasikan kebijakan akreditasi dan sekaligus sebagai pelaksana penjaminan mutu eksternal dan akreditasi.

243 Trianto, Desain Pengembangan Kurikulum 2013 di Madrasah (Depok: Kencana, 2017), hlm. 37.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |189

rekomendasi kepada pemerintah untuk menyusun strategi

pengembangan lembaga yang tepat dan efektif.

2. Quality Assurance

Quality assurance berorientasi pada proses pelaksanaan

kegiatan process oriented. Konsep ini mengandung jaminan

bahwa proses yang dilaksanakan telah sesuai dengan visi, misi,

tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai. Sehingga, apabila proses

telah dijalankan secara maksimal, maka diharapkan output-nya

juga maksimal.

3. Quality Control

Quality control merupakan suatu sistem yang mendeteksi

terjadinya penyimpangan terhadap kualitas output pendidikan

yang tidak sesuai dengan standar. Karena itu, setiap lembaga

pendidikan Islam berdasarkan tipologinya perlu membuat

standar indikator kualitas yang jelas dan pasti sehingga dapat

diketahui seperti apa bentuk penyimpangan kualitas yang

terjadi. Standar kualitas juga dapat digunakan untuk mengukur

maju-tidaknya suatu madrasah, dan keberadaan standar

kualitas tersebut bersifat relatif serta dapat diciptakan oleh

setiap lembaga pendidikan Islam.

4. Benchmarking

Benchmarking dapat diartikan bahwa tujuan yang

dirumuskan harus dapat dicapai. Karena itu, beberapa hal yang

dicakup dalam pengertian benchmarking ini adalah proses yang

berkesinambungan, pengukuran, produk, jasa, dan praktik.

Selain itu menurut Ahmad Khori, mutu suatu lembaga

pendidikan ditentukan oleh penerapan manajemen strategik

190 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

yang meliputi seluruh komponen pengelolaan pendidikan.

Manajemen strategik dalam lembaga pendidikan adalah cara

dan taktik utama yang dirancang secara sistematik dalam

melaksanakan fungsi manajemen yang terarah pada tujuan

strategi suatu lembaga atau organisasi pendidikan.244

Sementara, tujuan strategik dari lembaga pendidikan tidak lain

adalah terciptanya pendidikan yang berkualitas, yang sudah

pasti untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan strategi

khusus yang dikelola secara optimal.

Dalam manajemen strategik terhadap dapat beberapa

konsep dan prinsip yang harus diperhatikan. Wheelen and

Hunger (1995) menjelaskan tentang prinsip-prinsip dan

strategi yang meliputi beberapa hal. Pertama, manajemen

strategik merupakan serangkaian keputusan dan tindakan

manajerial yang menentukan kinerja perusahaan. Dalam

manajemen strategik, terdapat pengamatan lingkungan,

perumusan strategi, implementasi strategi, serta evaluasi dan

pengendalian.

Kedua, manajemen strategik menekankan pada aktivitas

pengamatan dan evaluasi kesempatan (opportunity), ancaman

(threat), kondisi lingkungan dipandang dari sudut kekuatan

(strength), dan kelemahan (weakness). Variabel-variabel

internal dan eksternal yang paling penting untuk perusahaan di

masa yang akan datang disebut faktor strategis dan

diidentifikasi melalui analisis SWOT.

Ketiga, keputusan strategis berhubungan dengan masa

yang akan datang dan memiliki tiga karakteristik, yaitu rare,

consequential, dan directive. Rare merupakan keputusan-

keputusan strategis yang tidak biasa, khusus, tidak dapat ditiru.

244 Ahmad Khori, “Manajemen Strategik dan Mutu Pendidikan Islam…”,

hlm. 82.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |191

Consequential, merupakan keputusan-keputusan strategis yang

memasukkan sumber daya penting dan menuntut banyak

komitmen. Directive merupakan keputusan-keputusan lain dan

tindakan-tindakan di masa yang akan datang untuk organisasi

secara keseluruhan.

Keempat, manajemen strategis cenderung dikembangkan

dalam empat tahap, mulai dari perencanaan keuangan dasar ke

perencanaan berbasis peramalan yang biasa disebut

perencanaan strategis menuju manajemen strategis yang

berkembang sepenuhnya. Termasuk di dalamnya implementasi,

evaluasi, dan pengendalian.245

Dengan demikian, bermutu atau tidaknya suatu lembaga

pendidikan dipengaruhi oleh bagaimana lembaga itu sendiri

Merancang strategi awalnya akan menjadi acuan untuk

mencapai pendidikan yang berkualitas. Sementara, dalam

merumuskan strategi, diperlukan prinsip-prinsip khusus yang

dapat dijadikan sebagai kerangka konseptual untuk merancang

strategi sehingga langkah-langkah yang dilakukan penambahan

bersifat strategis, efektif, dan efisien.

Apabila mengacu kepada Total Quality Management, maka

implementasi mutu pendidikan, khususnya pendidikan Islam,

harus memperhatikan lima hal pokok. Pertama, terjadinya

perbaikan dan inovasi secara terus-menerus demi menjaga

kualitas mutu suatu produk atau jasa. Kedua, menentukan

standar mutu yang jelas, efektif, dan gampang dicapai untuk

memberikan kepastian kepada pelanggan atau masyarakat

tentang kualitas apa yang bisa mereka dapatkan. Ketiga,

perubahan kultur sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu.

Keempat, perubahan organisasi. Kelima, mempertahankan

245 Ibid.

192 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

pelanggan.246 Kelima faktor tersebut memerlukan pengem-

bangan secara terus-menerus. Menurut Hambali, pengem-

bangan terhadap kualitas mutu dapat dilakukan dengan

berbasis pada visi, misi, dan tujuan organisasi atau lembaga

pendidikan. Karena itu, setiap lembaga pendidikan sudah

seharusnya mempunyai program audit internal penjaminan

mutu serta penunjang lainnya yang menjamin kebutuhan dasar

penjaminan mutu sekolah.247

246 Edward Sallis, Op.Cit, hlm. 11 247 Muh. Hambali, “Kepemimpinan Berbasis Core….’ hlm. 33.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |193

VI

PEMASARAN DAN SDM DALAM

PENDIDIKAN ISLAM

A. Konsep Dasar Pemasaran Layanan Jasa Pendidikan

Mendengar kata pemasaran atau marketing, pemikiran kita

selalu tertuju pada dunia bisnis. Hal ini wajar karena kata atau

istilah “marketing” sering kali muncul dan berkembang

dikalangan bisnis, baik bisnis manufaktur maupun jasa.

Menurut Indradjaja dan Karno, pemasaran jasa

pendidikan mutlak diperlukan karena hal-hal berikut:

1. Kita perlu meyakinkan masyarakat dan pelanggan jasa

pendidikan (siswa, orang tua siswa, dan pihak terkait

lainnya) bahwa lembaga pendidikan yang kita kelola

masih tetap eksis.

2. Kita perlu meyakinkan masyarakat dan pelanggan jasa

pendidikan bahwa jasa pendidikan yang kita lakuakan

relevan dengan kebutuhan mereka.

3. Kita perlu melakukan pemasaran jasa pendidikan agar

jenis jasa pendidikan yang kita lakukan dapat dikenal

dan dipahami oleh masyarakat, terutama pelanggan

jasa pendidikan.

4. Kita perlu melakukan pemasaran jasa pendidikan agar

eksistensi sekolah tidak ditinggalkan oleh masyarakat

dan pelanggan jasa pendidikan potensial.248

248 David wijaya, Pemasaran Jasa Pendidikan, (Jakarta: Salemba Empat,

2012), hlm. 2

194 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Pemasaran dapat dibedakan antara definisi pemasaran

secara sosial dan secara manajerial. Definisi sosial menunjukan

peran yang dimainkan oleh pemasaran dimasyarakat. Seorang

pemasar mengatakan bahwa peran pemasaran adalah

“menghasilkan standar hidup yang lebih tinggi.” Berikut ini

adalah definisi sosial yang sesuai dengan tujuan kita.

Pemasaran adalah proses sosial yang dengan proses itu

individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka

butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan

secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai

dengan pihak lain. Untuk definisi manajerial, pemasaran sering

digambarkan sebagai “seni menjual produk”. Jadi, tujuan

pemasaran jasa pendidikan adalah mengetahui dan memahami

pelanggan jasa pendidikan dengan baik sehingga produk

pendidikan atau jasa pendidikan itu cocok dengan pelanggan

jasa pendidikan dan selanjutnya mampu menjual dirinya

sendiri. Idealnya, pemasaran jasa pendidikan harus

menghasilkan pelanggan jasa pendidikan yang siap membeli.

Yang dibutuhkan selanjutnya adalah menyediakan produk

pendidikan atau jasa pendidikan itu.249

Lembaga pendidikan bisa dianggap sebagai lembaga

penghasil jasa yang “menjual jasanya” kepada masyarakat luas.

Agar proses pemasaran jasa ini bisa mencapai target dan

harapan, visi, misi dan arah kebijakan lembaganya, maka perlu

dipahami konsep “school management as a service marketing”

(mengelola lembaga pendidikan baik sekolah atau kampus

sebagai suatu bentuk pemasaran jasa) yang mengharuskan

adanya rumusan strategi dalam usaha-usaha memasarkannya.

Salah satu strategi yang berhubungan dengan kegiatan

249 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, (Jakarta: PT. Intan Sejati Klaten,

2005), Jilid I, h. 10.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |195

pemasaran perusahaan adalah marketing mix strategy(strategi

bauran pemasaran). Kotler dan Armstrong menyatakan bahwa

“marketing mix as the set of controllable marketing variables

that the firm can use to influence the buyer’s response”.250

Artinya: marketing mix adalah seperangkat variabel pemasaran

yang bisa dikendalikan yang digunakan oleh perusahaan (atau

lembaga) untuk memengaruhi respon pembeli (pengguna).

Dengan demikian marketing mixmencakup beberapa variabel

pemasaran yang bisa dikendalikan agar sesuai dengan tujuan

perusahaan atau lembaga untuk membuat pembeli atau

pengguna menerima produk-produk yang ditawarkannya.

Istilah marketing mix pertama kali dikenalkan oleh Neil

Borden. Unsur-unsur yang terdapat di dalamnya adalah

product,price, placedan promotion. Tetapi untuk produk bidang

jasa, selain empat unsur tersebut juga terdapa tiga unsur lain

yang ditambahkan ke dalamnya; people, processdan physical

evidence.251 Marketing mix dalam bidang produk jasa mencakup

tujuh hal yang sering disebut sebagai the 7-P. Ketujuh hal

tersebut adalah: Product, price, place, promotion, people, process

dan physical evidence. Ketujuh komponen tersebut menjadi

satu kesatuan dan harus menjadi pertimbangan dalam

merumuskan strategi-strategi pemasaran agar dapat diterima

oleh pengguna jasa atau konsumen.

jika elemen-elemen dalam marketing mix tersebut

kemudian diimplementasikan dalam pemasaran lembaga

pendidikan, misalnya pendidikan tinggi, maka ia akan

menghasilkan paduan strategi yang komprehensif. Strategi

250 Philip J. Kotler and Gary Armstrong, Principles of Marketing (New

Jersey: Prentice Hall, 2010), hlm.10. 251 Mehrdad Alipour and Elham Darabi, “The Role Of Service Marketing

Mix And ItsImpact On Marketing Audit In Engineering And Technical Service Corporations,” Global Journal of Management and Business ResearchXI, no. 6 (2011): 70.PDF

196 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

tersebut akan tersusun mulai dari strategi produk sampai

strategi pengelolaan sarana dan prasarana yang ada di lembaga

pendidikan sebagaimana diuraikan di bawah ini:

Product berarti jenis jasa pendidikan yang ditawarkan oleh

sebuah lembaga pendidikan kepada calon penggunanya.

Biasanya ini berupa fakultas, jurusan atau program studiatau

program-program unggulan di sekolah. Selain itu dalam

kategori produk ini juga termasuk kegiatan-kegiatan yang

merupakan outputdari lembaga pendidikan selain kegiatan

belajar mengajar. Produk-produk tersebut haruslah mampu

memenuhi kebutuhan pengguna jasa pendidikan baik itu

kalangan perusahaan, lembaga pemerintahan, lembaga swasta,

atau pribadi-pribadi yang berharap apabila mengambil suatu

program pendidikan, maka kualitas kehidupannya bisa

meningkat. Sekiranya produk tersebut tidak begitu diminati

oleh pasar, maka mungkin ada baiknya para pengelola lembaga

pendidikan mulai memikirkan untuk menciptakan “produk

baru” atau mengubah produk lama dengan konsep dan

kemasan yang baru.

Komponen kedua adalah price atau biaya pendidikan.

Masyarakat kita dikenal sebagai pasar yang bersifat cost

sensitive (sensitif terhadap harga). Ketepatan dalam

menentukan biaya pendidikan yang terjangkau sesuai dengan

sifat dan jenis jasa pendidikan akan sangat menentukan

keberhasilan pengelolaan lembaga. Apalagi sebagian perspektif

masyarakat masih menganggap bahwa pendidikan menjadi

bagian dari “investasi” jangka panjang yang diharapkan

menghasilkan “profit” berupa perubahan kualitas kehidupan

yang ditandai oleh kemampuan lulusan memasuki pasar dan

bursa tenaga kerja. Diversifikasi dari strategi penetapan tarif ini

bisa berupa penetapan tarif pendidikan yang murah atau

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |197

bahkan pemberian beasiswa kepada para peserta didik yang

dianggap pantas mendapatkannya.

Place atau tempat dan lokasi adalah hal penting lainnya

dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Kemudahan akses

menuju sekolah atau kampus, jauh dan tidaknya dari tempat

asal peserta didik, keamanan selama menempuh perjalanan

sering menjadi salah satu pertimbangan orang tua dan peserta

didik dalam menentukan sekolah atau kampus mana yang akan

dipilih. Selain itu, kelengkapan sarana dan prasarana untuk

menampung peserta didik, juga ikut menentukan pilihan

masyarakat pengguna jasa pendidikan. Sekolah atau kampus

yang menyediakan asrama atau kelengkapan fasilitas lain yang

menjadi sarana dalam penyelenggaraan kegiatan belajar

mengajar menjadi faktor penting yang ikut menentukan untuk

menjadikannya sebagai lembaga pendidikan pilihan.Semakin

bagus dan lengkap sarana dan fasilitas yang teredia, semakin

besar kemungkinan calon pengguna jasa pendidikan

memilihnya.

Sebagaimana halnya produk perusahaan, jasa pendidikan

juga perlu disosialisasikan ke publik calon pengguna. Semakin

lembaga pendidikan dikenal luas oleh publik, semakin besar

kemungkinannya untuk menjadi pilihan utama. Tentunya yang

diharapkan adalah sifat positif dari lembaga itu yang dikenal

luas oleh masyarakat. Ini merupakan komponen keempat dari

marketing mix di atas yang disebut promotion. Bentuk promosi

bisa bermacam-macam. Strateginya bisa saja menggunakan

direct media(melalui surat, telepon atau presentasi), interactive

media (website, CD) atau traditional media (iklan radio, televisi,

koran, brosur dan lain-lain). Semua itu merupakan bagian

promosi dalam rangka mengenalkan lembaga pendidikan ke

publik calon pengguna

198 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Komponen penting lainnya adalah people. Dalam konteks

manajemen lembaga pendidikan, ini termasuk sumber daya

manusia baik sebagai tenaga pengajar, administrasi atau tenaga

lainnya yang bertanggungjawab atas jalannya kegiatan tertentu.

Kualitas SDM menjadi faktor penentu bagi calon pengguna

untuk memilih lembaga yang diminati. Tenaga pengajar yang

memenuhi standar kualifikasi, kredibilitas para pimpinan dan

staf lainnya menjadi bagian dari komponen people ini. Bukan

hanya menyangkut kualifikasi intelektual dan akademik SDM

yang menjadi tuntutan, tetapi juga termasuk di dalamnya

kualitas SDM dari segi afeksi dan keterampilan serta sikap-

sikap ramah dalam melayani

Komponen keenam adalah process. Proses di sini

menyangkut seluruh proses yang berkaitan dengan kegiatan

yang ada dalam lembaga pendidikan. Proses ini biasanya

dimulai sejak tahapan pendaftaran sampai tahapan kelulusan di

akhir periode belajar. Proses yang berbelit-belit dan

“dipingpong” biasanya sangat tidak disukai oleh yang

menjalaninya. Oleh sebab itu, dalam pengelolaan lembaga

pendidikan pencitraan proses yang sederhana, mudah, efektif,

efisien dan tidak “mbulat-mbulet” akan menjadi nilai tambah

tersendiri bagi lembagapendidikan di hadapan pada calon

pengunanya

Terakhir adalah physical evidence. Hal ini mencakup

penataan ruangan, kelengkapan fasilitas, arsitektur gedung dan

hal-hal yang berkaitan dengan penampilan yang menarik

perhatian dan nyaman serta “enak” dipandang mata. Kesan

sebagai sebuah lembaga pendidikan modern dan bercitarasa

estetis yang melekat dalam bangunan-bangunan fisik yang

dimiliki dan penataan ruangan yang harmonis, sering menjadi

daya tarik dan kebanggaan peserta didik terhadap lembaganya.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |199

B. Konsep dan Teori Pemasaran Perspektif Pendidikan

Pada dasarnya, semua lembaga baik lembaga profit ataupun

non profit ketika melakukan interaksi dengan lingkungan

masyarakat keduanya telah menerapkan operasi-operasi

pemasaran. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada

tujuan akhir dari interaksi tersebut. Jika pada lembaga profit,

operasi pemasaran digunakan untuk mencapai tujuan

organisasi berupa perolehan keuntungan yang sebesar-

besarnya, maka pada organisasi yang sifatnya non profit,

pemasaran bertujuan untuk menjaga agar visi, misi dan tujuan

dari organisasi bisa diterima dan sampai pada masyarakat luas.

Visi, misi dan tujuan tiap-tiap organisasi nonprofit tentu

berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Menurut Philip Kotler, pemasaran (marketing) bisa dilihat

dari dua sudut pandang; secara sosial dan secara manajerial.

Secara sosial, pemasaran adalah proses sosial di mana individu

atau kelompok mendapatkan apa yang mereka inginkan dan

mereka butuhkan melalui penciptaan, penawaran dan

pertukaran produk atau jasa secara bebas antara satu dengan

yang lain. Sedangkan secara manajerial, pemasaran adalah

proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penentuan

harga, promosi dan distribusi ide, barang dan jasa untuk

menciptakan pertukaran yang dapat memuaskan individu dan

meraih tujuan organisasi.252 Antara sudut pandang sosial dan

manajemen dalam pemasaran, keduanya tidak bisa dipisahkan.

Aktivitas pemasaran tentu akan melibatkan aktivitas sosial.

Aktivitas pemasaran juga melibatkan kegiatan manajemen

terutama apabila aktivitas pemasaran tersebut dilakukan oleh

sebuah organisasi. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap

252 Philip Kotler, Marketing Management: The Millennium Edition (New

Jersey: Pearson Prentice Hall, 2001), 2.PDF

200 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

pemasaran baik secara sosial atau secara manajerial sangat

diperlukan demi tercapainya tujuan organisasi.

Elemen-elemen dari manajemen pemasaran ini pada

hakikatnya merupakan fungsi-fungsi manajemen secara umum.

Fungsi tersebut secara sederhana sering disingkat menjadi

POAC; planning, organizing, actuating dan controlling.253 Dalam

konteks pemasaran, fungsi-fungsimanajemen tersebut lebih

diarahkan untuk menciptakankesesuaian antara visi, misi dan

tujuansebuah lembaga dengan penerimaan masyarakat

penggunanya sebagai pasar. Dengan kata lain fungsi-fungsidan

elemen-elemen manajemen pemasaran diarahkan “keluar” dan

diadaptasikan dengan kebutuhan dan tuntutan pasar. Hal ini

menjadi penting sebab bagaimanapun juga sebuah lembaga

akan menjadi kuat dan berkembang bukan saja ditentukan

olehefektivitas dan efisiensi manajemennya secara internal

tetapi juga ditentukan oleh tingkat penerimaan masyarakat

terhadap eksistensi, fungsi dan peranan lembaga tersebut

secara eksternal.

Secara filosofis dan konseptual, salah satu orientasi dari

manajemen pemasaran adalah orientasi pelanggan (customer).

Pemasaran yang berorientasi pada pelanggan ini didasarkan

pada tujuan untuk menciptakan kepuasan pelanggan.254

Kepuasan pelanggan menjadi faktor pendorong dalam upaya

mengimplementasikan manajemen pemasaran. Keberhasilan

lembaga perusahaan misalnya akan sangat ditentukan oleh

tingkat kepuasan pelanggan ketika menggunakan produk-

produk dari perusahaan tersebut. Semakin puas pelanggannya

semakin besar kemungkinan perusahaan tersebut diterima

253 Prakash Chandra Tripathi, Principles Of Management, Fourth (New

Delhi: Tata McGraw-Hill Education, 2008), 3.PDF 254 Dainora Grunday, “The Marketing Philosophy and Chalanges for The

New Millenium,” Scientific Bulletin, Economic Sciences IX, no. 15 (tt): 173.PDF

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |201

oleh banyak orang dan sebaliknya. Usaha untuk memuaskan

pelanggan inilah, pada akhirnya harus menjadi tujuan dan

orientasi akhir dari seluruh operasi lembaga yang berinteraksi

dengan masyarakat luas selaku penggunanya.

Secara praktis, implementasi dari manajemen pemasaran

harus mempertimbangkan elemen-elemen dan fungsi-fungsi

manajemen seperti yang telah diuraikan di atas. Tujuan dari

implementasi konsep pemasaran dalam organisasi adalah

untuk memberikan kepuasan kualitatif kepada pelanggan

dalam jangka waktu lama. Ini berbeda dengan konsep

penjualan (selling)yang lebih berorientasi pada pencapaian

target kuantitatif dan berjangka pendek dengan parameter

profit takingyang tinggi.255 Apabila praktik marketing dan

selling ini disinergikan, maka pemasaran (marketing)

merupakan dasar dan fondasi bagi suksesnya operasi penjualan

(selling). Sebaliknya operasi penjualan tidak akan berhasil

tanpa didasari oleh usaha-usahapemasaran yang

berkesinambungan. Pemasaran adalah lahannya sedangkan

penjualan adalah tanamannya. Tanaman tidak akan tumbuh

subur apabila kondisi lahan tidak disiapkan dengan baik dan

tidak memenuhi syarat-syarat untuk ditumbuhi tanaman.

Demikian ilustrasi sederhananya.

Berdasarkan cakupannya, pemasaran meliputi beberapa

entitas yaitu barang (goods), jasa (services), pengalaman

(experiences), peristiwa (events), orang (persons), tempat

(places), properti (properties), organisasi (organizations),

informasi (informations)dan ide (ideas).256 Pemasaran barang

adalah bentuk pemasaran yang paling umum terjadi di mana

banyak perusahaan yang memproduksi dan menjual barang-

255 Hitesh Bhasin, “SellingVs Marketing,” Marketing91.com, accessed

March 23, 2013, http://www.marketing91.com/selling-and-marketing/. 256 Kotler, Marketing Management, h. 3

202 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

barang kepada konsumennya. Misalnya saja adalah penawaran

barang seperti kebutuhan hidup sehari-hari, pakaian, alat-alat

elektronik dan sebagainya. Sedangkan pemasaran jasa

mencakup misalnya adalah jasa pendidikan, jasa konsultasi,

jasa pembelaan kasus hukum dan lain lain. Pemasaran

pengalaman misalnya pengalaman berkeliling tempat-tempat

wisata, taman hiburan atau pengalaman lain yangjuga

dibutuhkan oleh konsumen. Pemasaranperistiwa misalnya

event-event pentas musik, pagelaran seni dan lain-lainyang

lebih menonjolkan aspek kegiatan.

Pemasaran orang misalnya kegiatan kampanye dalam

rangka memenangkan pemilihan kepala daerah, presiden atau

pimpinan-pimpinan organisasi dan lain-lain. Pemasaran tempat

misalnya adalah memasarkan sebuah tempat wisata, gedung-

gedung pertemuan, hotel dan lain-lain. Pemasaran properti

seperti memasarkan perumahan, lahan-lahan, ruko dan lain-

lain. Pemasaran organisasi misalnya adalah memasarkan

kelompok atau himpunan-himpunan tertentu seperti himpunan

pengusaha, pengacara, mahasiswa atau himpunan lain sebagai

sebuah entitas organisasi. Pemasaran informasi seperti koran,

radio, web dan lain-lain. Sedangkan pemasaran ide misalnya

seperti novel, buku atau apapun itu bentuknya yang di

dalamnya terkandung muatan-muatan ide-ide kreatif.

Luasnya cakupan pemasaran ini menggambarkan luas dan

banyaknya macam-macam kebutuhan manusia yang harus

dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan menciptakan organisasi-

organisasi yang berusaha menciptakan, memproduksi,

memberitahukan dan mendistribusikannya ke masyarakat

untuk memenuhi beragam kebutuhan mereka. Proses inilah

yang menjadi makna dari pertukaran antara individu atau

organisasi seperti dalam definisi di atas. Sebagai contoh untuk

memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang makanan maka

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |203

muncullah perusahaan-perusahaan yang memproduksi

makanan. Untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang

sandang dan papan, muncullah perusahaan yang membuat

pakaian dan perumahan. Untuk memenuhi kebutuhan manusia

dalam hal rekreasi, muncullah perusahaan-perusahaan yang

bergerak dalam bidang pariwisata dan contoh organisasi lain

yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Demikian pula pemenuhan kebutuhan manusia akan

peningkatan pengetahuan, kecerdasan dan pengembangan ilmu

pengetahuan, muncullah organisasi-organisasi pendidikan

seperti sekolah, madrasah, kampus dan lembaga atau

organisasi pendidikan lainnya. Dengan demikian maka lembaga

pendidikan juga merupakan bagian dari entitas yang tercakup

dalam konsep pemasaran.

Apabila mengacu pada ruang lingkup pemasaran menurut

Kotler di atas, dapatlah dikatakan bahwa pendidikan, praktik

pendidikan, lembaga pendidikan dan output-nya adalah bagian

dari entitas pemasaran produk jasa. Lembaga pendidikan

sebagai bagian dari produk jasa tersebut dilihat dalam

kaitannya dengan pengalaman belajar (learning experiences)

yang dirasakan oleh peserta didik.257 Sebagai bagian dari entitas

pemasaran, pendidikan bukan saja menjadi bagian dari

pemasaran jasa tetapi juga di dalamnya mencakup entitas

pemasaran lain seperti, organisasi, orang-orang, idedan lain-

lain. Hal ini tentu saja masuk akal karena pendidikan tidak bisa

berfungsi jika tidak ada organisasi, tempat, orang-orang, ide-ide

yang dikembangkan atau tidak ada aspek-aspek lain penunjang

keberhasilan pendidikan.

257 Irene CL Ng and Jeannie Forbes, “Education as Service: The

Understanding of University Experience throughThe Service Logic,” Journal of Marketing for Higher Education19, no. 1 (2009): 8.PDF

204 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah bagian entitas

pemasaran yang di dalamnya sekaligus merangkum entitas-

entitas lain menjadi satu kesatuan. Kesatuan entitas pemasaran

inilah pada gilirannya akan sangat menentukan sukses tidaknya

lembaga pendidikan dalam memberikan kepuasan pada

penggunanya (user) dan para pelanggannya (customer).

Beberapa entitas utama pemasaran yang bisa dimasukkan

dalam pemasaran lembaga pendidikan di antaranya adalah:

organisasi, orang-orang, sarana dan prasarana.

1. Organisasi

Lembaga pendidikan sebagai organisasi harus dipahami

bukan saja sebagai organisasi statis di mana di dalamnya

terdapat hierarki struktural yang terdiri dari pimpinan,

pengelola dan peserta didik, tetapi juga harus dipahami sebagai

sebuah sistem sosial yang dinamis. Cara pandang terhadap

organisasi sebagai sistem sosial yang dinamis telah

berkembang dalam dua dekade terakhir menggantikan cara

pandang klasik dalam melihat organisasi sebagai model statis.

Cara pandang dinamis ini dikenal dengan istilah open system

model. Lalu apa yang dimaksud dengan sistem dalam konteks

ini? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sistem adalah

sekumpulan elemen-elemen yang saling berkaitan satu dengan

yang lain di mana perubahan pada satu elemen akan

mengakibatkan perubahan pada elemen lainnya.258

Mendudukkan lembaga pendidikan sebagai sebuah sistem

sosial yang bersifat terbuka berarti lembaga pendidikan banyak

dipengaruhi oleh dinamika internal organisasi dan lingkungan

258 David A. Nadler, “Framework for Organizational Behaviour,” in

Managing Organizations: Readings and Cases (Boston: Scott Foresman & Co, 1982), 36.PDF

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |205

masyarakat sekitar. Perubahan yang terjadi baik di luar atau di

dalam organisasi akan berpengaruh pada penentuan berbagai

kebijakan organisasi dan akan menentukan arah dan peranan

lembaga pendidikan tersebut.

Karakteristik lembaga pendidikan sebagai organisasi

dengan model sistem terbuka mencakup beberapa hal yaitu

internal interdependence, capacity for feedback, equilibrium,

equifinality dan adaptation.259 Internal interdependenceberarti

ketika lembaga pendidikan mengalami perubahan dalam satu

elemen misalnya jumlah peserta didik, maka secara otomatis

akan memengaruhi elemen lainyang ada di dalamnya seperti

kapasitas tempat belajar, jumlah tenaga pengajar, anggaran

yang tersedia, sistem pengelolaan dan lain-lain. Capacity for

feedback berarti lembaga pendidikan harus bisa menggunakan

feed back sebagai salah satu bentuk koreksi manakala terjadi

kendala-kendala yang tidak diharapkan. Misalnya, mengapa

outputpeserta didik tidak diterima di lapangan pekerjaan

dengan maksimal? Atau mengapa masyarakat luas kurang

berminatdengan lembaga pendidikan kita?. Capacity for

feedback harus dikelola dengan baik agar lembaga pendidikan

bisa menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat luas dalam

kapasitasnya sebagai penyedia jasa transformasi dan transfer

ilmu pengetahuan.

Equilibrium dalam lembaga pendidikan bermakna adanya

keseimbangan dalam tata kelola organisasinya. Keseimbangan

dalam tata kelola organisasi berarti menyeimbangkan potensi-

potensidan sumber daya yang ada di dalamnya seperti jumlah

pengajar dengan jumlah anak didiknya, kapasitas ruang dengan

peserta didik, beban pekerjaan dan insentif yang diperoleh dan

aspek-aspek organisasi lainnya. Ciri keempat dari organisasi

259 Ibid.37

206 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

dengan open system modeladalah equifinality. Equifinality

berarti pemanfaatan beragam sistem, cara dan metode untuk

mencapai sukses dari target yang sama. Dengan kata lain untuk

mencapai tujuan organisasi bisa menggunakan beragam

pendekatan. Tidak ada satu pendekatan baku yang bisa

diterapkan secara universal. Terakhir adalah adaptationyang

menjadi karakteristik organisasi dengan open sistem. Lembaga

pendidikan diharapkan bisa selalu beradaptasi dengan

perubahan-perubahan dinamis yang terjadi baik di luar atau di

dalam organisasi itu sendiri.

2. Orang-orang

Entitas utama lain yang berperan penting dalam upaya

pengelolaan lembaga pendidikan adalah orang-orang yang ada

di dalamnya. Di dalam manajemen ada slogan yang berbunyi:

it’s not about WHAT you know, it’s WHO you know.260

Pengelolaan lembaga pendidikan bukan saja fokus pada

“sesuatu” tetapi fokus pada “siapa”. Adalah penting untuk selalu

mengetahui dan memahami siapa-siapa ini demi suksesnya

lembaga pendidikan dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan

konsumennya.

Dunia pendidikan terutama pendidikan tinggi mengenal

istilah civitasakademikayang terdiri dari dosen dan mahasiswa.

Tetapi tidaklah salah jika kedalam civitas akademika ini juga

memasukkan unsur karyawan dan jajaran birokrasi lainnya

yang terlibat dalam pelayanan dan aktivitas proses pendidikan

baik langsung atau tidak langsung. Dosen adalah para pelaku

pendidik (educator)yang berperan sebagai aktor utama dalam

proses transfer pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan

260 Rob Cross and Laurence Prusak, “The People Who Make

Organizations Go or Stop,” Harvard Business Review (2002): 5.PDF

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |207

kepada mahasiswanya. Mahasiswa sendiri adalah penerima

dari upaya transfer yang dilakukan oleh dosen dan sekaligus

bisa dianggap sebagai pengguna dan pelanggan jasa pendidikan.

Karyawan adalah pelaku-pelaku pendukung lancar dan

suksesnya upaya transfer tersebut. Ketiganya tidaklah lebih

penting antara satu dengan lainnya. Ketiganya harus

mendapatkan perlakuan dan pelayanan dari lembaga sesuai

dengan hak dan kapasitasnya.

Dalam perspektif manajemen, lembaga pendidikan tinggi

sebagai tempat berkumpulnya orang-orang (dosen, mahasiswa

dan karyawan), memerlukan pendekatan dan penerapan

prinsip-prinsip kepemimpinan yang tepat, efektif dan efisien

agar dapat berfungsi dengan baik. Mereka harus digerakkan

secara kompak ke tujuan dan target organisasi yang telah

ditetapkan. Masing-masing unsur baik dosen, mahasiswa atau

karyawan harus diberi arah yang jelas dan tegas sesuai dengan

kapasitasnya agar ketiganya mengarah pada tercapainya target

dan tujuan akhir organisasi. Di sinilah pentingnya seni

kepemimpinan (art of ledership)diterapkan bukan semata-mata

ilmu kepemimpinan (science of leadership). Dalam konteks ini,

kepemimpinan lebih merupakan sebuah seni, keyakinan dan

keadaan hati bukan sekadar bagaimana cara mengerjakan

sesuatu (leadership is more an art, belief and condition of the

heart than a set of things to do).261 Oleh sebab itu, peranan

kepemimpinan di dalam lingkungan organisasi atau bisnis

(business environment)yang melibatkan orang-orang, mencakup

beberapa hal: mengembangkan visi bersama (to develop a

vision), menetapkan strategi (to set strategy), mengorganisasi-

261 Pat Wellington, Effective People Management: Improve Performance

Delegate More Effectively Handle Poor Performance and Manage Conflict (London: Kogan Page Publishers, 2011), 3.PDF

208 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

kan struktur (to organize structure)dan menyiapkan budaya

kerja (to prapare culture).262

Menyadari dan memahami “orang” sebagai entitias

pemasaran berarti berusaha untuk meningkatkan dan

membangun kapasitas (building capacity)setiap orang yang

adadi dalam lembaga pendidikan. Secara vulgarbisa dikatakan

bahwa membangun kapasitas orang-orang dalam perspektif

pemasaran berarti bagaimana membuat orang-orang yang

terlibat dalam organisasi tersebut “layak jual” dan diterima oleh

pasar. Membuat layak jual orang dalam lembaga pendidikan

berarti membuat lulusan yang berdaya saing secara keilmuan

dan keterampilan dengan merumuskan standar-standar

kompetensi lulusan. Di dalam internal manajemen sendiri tidak

kalah pentingnya untuk membuat jajaran manajemen menjadi

layak jual. Sebagai misal adalah bagaimana orang-orang yang

duduk dalam birokrasi memiliki kesadaran bahwa mereka

memiliki tugas melayani peserta didik dengan baik. Kualitas

kepribadian sebagai seorang pelayan perlu mendapatkan

perhatian agar merekamenjadi layak jual. Adalah sangat tidak

pantas jika seorang pelaku pendidikan baik itu pengajar atau

karyawan memperlakukan peserta didik sebagai seorang

“pembeli” yang tidak berhak memperoleh pelayanan purna jual

yang memuaskan.

3. Fasilitas

Entitas lain yang bisadimasukkan dalam pengelolaan

lembaga pendidikan adalah tempat, sarana dan prasarana.

Menurut Wahyuningrum fasilitas pendidikan adalah segala

sesuatu yang dapat memudahkan dan melancarkan

262 Ibid

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |209

pelaksanaan suatu usaha (pendidikan).263 Berdasarkan

pengertian di atas, fasilitas merupakan sarana dan prasarana

yang dibutuhkan dalam melakukan atau memperlancar

kegiatan pendidikan. Ibrahim Bafadol, mengemukakan bahwa

prasarana pendidikan dapat diartikan sebagai perangkat yang

menunjang keberlangsungan proses pendidikan. Sedangkan

definisi dari prasarana adalah semua perangkat kelengkapan

dasar yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan

proses pendidikan sekolah.264 Fasilitas pendidikan ini misalnya

saja adalah bangunan sekolah atau kampus dan

kelengkapannnya, perpustakaan, alat peraga pendidikan,

sambungan internet, fasilitas tempat ibadah, kantin, taman dan

fasilitas umum lainnya yang memberikan nilai tambah pada

lembaga pendidikan.

Sebagai sebuah kesatuan integral dalam lembaga

pendidikan, sarana dan prasaranaharus dikelola dengan baik

dengan menerapkan manajemen sarana dan prasarana

pendidikan. Manajemen sarana dan prasarana pendidikan

dapat didefinisikan sebagai proses kerja sama pendayagunaan

semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan

efisien.Manajemen sarana dan prasarana ini mencakup:

pengadaan, pendistribusian, penggunaan, pemeliharaan,

inventarisasi dan Penghapusan.265 Aspek-aspek dalam

manajemen sarana dan prasarana pendidikan tersebut

merupakan faktor utama dalam rangka menjadikantempat,

fasilitas, sarana dan prasarana memiliki nilai jual dan kelayakan

untuk digunakan dalam proses pendidikan. Manajemen sarana

263Wahyuningrum, Buku Ajar Manajemen Fasilitas

Pendidikan(Yogyakarta: FIP UNY, 2000), 4. 264Ibrahim Bafadol, Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan

Aplikasinya(Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 12 265 Ibid, h.13

210 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

dan prasarana ini bertujuan agar sarana dan prasarana yang

ada di dalam lembaga pendidikan bisa dimanfaatkan secara

maksimal, optimal, efektif dan efisien.

C. Konsep dan Teori SDM Perspektif Pendidikan

Sumber daya manusia (SDM) adalah orang-orang yang ada

dalam organisasi yang memberikan sumbangan pemikiran dan

melakukan berbagai jenis pekerjaan dalam mencapai tujuan

organisasi. Sumbangan yang dimaksud adalah pemikiran dan

pekerjaan yang mereka lakukan di berbagai kegiatan dalam

perusahaan. Dalam pengertian sumber daya manusia, yang

diliput bukanlah terbatas kepada tenaga ahli, tenaga

pendidikan ataupun tenaga yang berpengalaman saja tetapi

semua tenaga kerja yang digunakan perusahaan untuk

mewujudkan tujuan-tujuannya.266

Kata “Sumber Daya” menurut Poerwadarminta,

menjelaskan bahwa dari sudut pandang etimologis kata

“sumber” diberi arti “asal” sedangkan kata “daya” berarti

“kekuatan” atau “kemampuan”. Dengan demikian sumber daya

artinya “kemampuan”, atau “asal kekuatan”. Pendapat lain

mengatakan bahwa Sumber Daya diartikan sebagai alat untuk

mencapai tujuan atau kemampuan memperoleh keuntungan

dari kesempatan-kesempatan tertentu, atau meloloskan diri

dari kesukaran sehingga perkataan sumber daya tidak

menunjukkan suatu benda, tetapi dapat berperan dalam suatu

proses atau operasi yakni suatu fungsi operasional untuk

mencapai tujuan tertentu seperti memenuhi kepuasan. Dengan

kata lain sumber daya manusia merupakan suatu abstraksi

266 Sadono Sukirno, Pengantar Bisnis (Jakarta: Prenada Media Group,

2006), hlm . 172

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |211

yang mencerminkan aspirasi manusia dan berhubungan dengan

suatu fungsi atau operasi.267

Untuk memahami pengertian Sumber Daya Manusia

(SDM) perlu dibedakan antara pengertiannya secara makro dan

mikro. Pengertian SDM secara makro adalah semua manusia

sebagai penduduk atau warga negara suatu negara atau dalam

batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan

kerja, baik yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik

yang sudah maupun memperoleh pekerjaan. Di samping itu

SDM secara makro berarti juga penduduk yang berada dalam

usia produktif, meskipun karena berbagai sebab dan masalah

masih terdapat yang belum produktif karena belum memasuki

lapangan kerja yang terdapat di masyarakatnya.268

SDM dalam arti mikro secara sederhana adalah manusia

atau orang yang bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi

yang disebut personil, pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja

dan lain-lain. Sedang secara lebih khusus SDM dalam arti mikro

di lingkungan sebuah organisasi atau perusahaan

pengertiannya dapat dilihat dari tiga sudut:

1. SDM adalah orang yang bekerja dan berfungsi sebagai

aset organisasi yang dapat dihitung jumlahnya.

2. SDM adalah potensi yang menjadi motor penggerak

organisasi.

3. Manusia sebagai sumber daya adalah makhluk hidup

ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai penggerak

organisasi berbeda dengan sumber daya lainnya. Nilai-

nilai kemanusiaan yang dimilikinya mengharuskan

267 SusiloMartoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta:

BPFE, 1992), h. 2 268Dewi Hanggraeni, Manajemen Sumber daya Manusia, (Jakarta: LPFEUI,

2012), h.35

212 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

sumber daya manusia diperlakukan secara berlainan

dengan sumber daya lainnya.269

Dalam setiap organisasi, SDM merupakan faktor sentral.

Secara tidak langsung, keberadaan manusia adalah faktor yang

paling utama dan paling strategis dalam semua kegiatan

organisasi. Secara lebih luas, Ndraha (2015) mengartikan dan

mengaitkan pengertian SDM sebagai sekumpulan orang dalam

suatu organisasi yang mampu menciptakan nilai komparatif

dan sekaligus nilai kompetitif-generatif-inovatif dengan

menggunakan energi tertinggi mereka, seperti intelegensi,

kreativitas, dan imajinasi.270 Pengertian ini menunjukkan

bahwa yang dimaksud SDM tidak semata-mata berhubungan

dengan kekuatan fisik, melainkan juga potensi kreativitas yang

berlandaskan pada ilmu dan imajinasi.

Dari beberapa Pengertian tersebut di atas, maka yang

disebut SDM dalam perspektif pendidikan adalah semua pihak

yang terlibat dalam organisasi pendidikan, seperti guru, kepala

sekolah, peserta didik, komite, pengawas, masyarakat, wali

murid, dan semua karyawan yang bekerja sama secara efektif

untuk mencapai tujuan pendidikan menggunakan semua

potensi mereka secara maksimal. Agar dapat menjalankan

tugas dan fungsinya dengan efektif, maka diperlukan

manajemen sumber daya manusia. Tujuannya tidak lain, agar

mereka dapat memberikan dan meningkatkan kontribusi yang

produktif terhadap lembaga pendidikan.271

269 Malayu Hasibuan. S.P, Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi

Revisi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 76. 270Sukmawati Marjuni, Manajemen Sumber Daya Manusia (Makassar:

SAH Media, 2015), hlm. 5-6. 271 Darmadi, Manajemen Sumber Daya Manusia Kekepalasekolahan:

Melejitkan Produktivitas Kerja Kepala Sekolah dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Yogykararta: Deepublish, 2018), hlm. 27.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |213

D. Strategi Pengembangan SDM Lembaga Pendidikan

Islam

Mengembangkan pendidikan Islam berarti mendidik atau

menginternalisasikan ajaran Islam kepada manusia dengan

tidak ada batasan selesainya dan agar sesuai dengan konteks

zaman. Ajaran Islam tidak hanya membicarakan aspek ubudiyah

melainkan juga aspek-aspek muamalah yang apabila dipetakan

dalam kajian keilmuan sangatlah luas. Aspek-aspek ubudiyah

biasanya dibahas dalam kajian ilmu-ilmu agama (Islam),

sedangkan aspek muamalah biasanya dibahas dalam kajian

ilmu-ilmu sosial dan kealaman. Namun demikian, secara luas

ilmu-ilmu keislaman itu pada hakikatnya adalah mencakup

didalamnya ilmu-ilmu apa saja yang diperlukan oleh manusia

guna keperluan kehidupanya, baik di dunia maupun di akhirat.

Untuk mendapatkan ilmu-ilmu yang diperlukan manusia

tersebut, haruslah melalui sebuah proses pendidikan, dan

proses pendidikan itu bisa diselenggarakan atau dilaksanakan

melalui sebuah lembaga pendidikan. 272

Keberadaan lembaga pendidikan berdasarkan realitas yang

berkembang di masyarakat Indonesia justru yang paling banyak

adalah model pendidikan pesantren dan madrasah. Kata

“madrasah”, yang secara harfiah identik dengan sekolah agama,

setelah mengarungi perjalanan peradaban bangsa, diakui telah

mengalami perubahan-perubahan walaupun tidak melepaskan

diri dari makna asal; sesuai dengan ikatan budayanya, yakni

budaya Islam. Kehadiran madrasah di Indonesia

dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara

berimbang antar ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum

272 Andi Warisno, “Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam

Peningkatan Mutu Lulusan pada Lembaga Pendidikan Islam di Kabupaten Lampung Selatan”, Riayah, Vol. 3, No. 02 Juli-Desember 2018, h. 105-106

214 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

dalam kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam.273 Atau

dengan kata lain madrasah merupakan perpaduan sistem

pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan kolonial.

Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam khas

milik umat Islam, dan lahir dari proses sejarah umat Islam yang

panjang. Pendidikan madrasah tersebut telah digunakan oleh

umat Islam untuk mempelajari berbagai ilmu untuk

pengembangan kehidupan umat Islam sepanjang sejarah, baik

yang berkembang di dunia Islam, terutama di wilayah

Nusantara.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, mulai dirintis

dan berkembang sekitar abad V H atau abad XI M. Model

pendidikan madrasah pertama kali dikenal di dunia Islam

adalah pendidikan madrasah Bagdad. Madrasah ini dibangun

oleh Nidzam Al Mulk ketika ia menjadi salah seorang menteri

Sultan Malik Syah dari Bani Saljuk. Untuk itu madrasah ini lebih

dikenal dengan sebutan madrasah Nidzamiyah. Komitmennya

kepada keilmuan dan keinginnya mencerdaskan umat Islam

pada masa itu, ia juga mendirikan madrasah yang sejenis di

Naisabur dengan nama yang sama yaitu “Madrasah

Nidzamiyah”.274

Sumber daya manusia (SDM) dalam madrasah dan

pesantren sebagai institusi pendidikan merupakan hal urgent,

karena ia merupakan pelaku dan penggerak dalam unsur

kegiatan. Sumber daya manusia di lembaga pendidikan

madrasah meliputi tenaga pendidik (guru) dan tenaga

kependidikan nonguru yang meliputi pegawai administrasi

273 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam(Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1996), h.66 274 Muhammad ‘Atiyah Al Abrasyi,Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam.

Terjemah Bustami A. Ghani. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.92.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |215

(tatausaha), laboran, pustakawan, teknisi dan pembantu

pelaksana (tenaga kebersihan).

Sumber Daya Manusia juga merupakan bagian dari sistem

organisasi dalam pendidikan yang terdiri dari berbagai unsur di

dalamnya. Masing-masing unsur tersebut memiliki fungsi, dan

saling terkait satu sama lainnya. Sebagai bagian sistem, maka

yang dimaksud dengan manajeman ini adalah tindakan

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan

untuk mencapai tujuan diselenggarakannya pendidikan.275

Memperhatikan konsep manajeman sebagaimana tersebut

diatas, nampak jelas bahwa proses manajeman itu di dalamnya

harus menampilkan fungsi-fungsi pokok yang dilakuakan oleh

seorang pemimpin, yaitu; perencanaan (planning),

pengorganisasian (organizing), kepemimpinan (leading), dan

pengawasan (controlling). Oleh sebab itu, manajeman diartikan

sebagai proses merencanakan, mengorganisasi, memimpin dan

mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar

tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.276

Dalam pelaksanaan pengembangan madrasah, partisispasi

SDM sangatlah diperlukan dan bahkan menepati posisi strategis

sebagai pelaku utama dalam menjalankan berbagai program

pengembangan mutu madrasah. Demikian juga sebaliknya

tanpa adanya dukungan SDM yang andal, nampaknya

keberadaan madrasah sangat sulit untuk bisa berkembang

dengan baik.

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) di madrasah

merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar, terarah,

terprogram dan terpadu, bertujuan untuk meningkatkan

kualitas hidup manusia (pengelola madrasah) agar dapat

275 Andri Warisno, Op.Cit, h. 106 276 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2004). h.1

216 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

mengelola lembaga pendidikan Islam tersebut secara baik,

sehingga madrasah tersebut menjadi bermutu dan unggul.

Pengembangan sumber daya manusia di madrasah

ternyata bisa dilakukan oleh berbagai pihak, seperti dilakukan

oleh diri sendiri, dilakukan oleh pihak madrasah yang dalam hal

ini dilakukan berdasarkan perencanaan organisasi yang

disusun bersama, maupun dilakukan oleh pihak lain yang ikut

bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di

madrasah tersebut.

Pengembangan SDM tersebut didasarkan pada; 1).

Evaluasi diri dan analisis kebutuhan. 2). Menyusun program

perencanaan pengembangan sumber daya Pendidik . 3).

Melaksanakan program perencanaan pengembangan sumber

daya Pendidik . 4). Melakukan Evaluasi pelaksanaan

pengembangan sumber daya Pendidik .5). Target pencapaian

pengembangan sumber daya Pendidik . 6). Orientasi

pengembangan sumber daya Pendidik bagi madrasah.

Strategi pengembangan SDM Pendidik dimulai dari proses

“buy”(rekrutmen) dan “make” (pembinaan/pengembangan).

Bentuk kegiatan dalam rangka pembinaan/pengembangan SDM

yang bermutu antara lain adalah;1). Meningkatkan wawasan

pengetahuan para Pendidik melalui penyediaan fasilitas

kegiatan, seperti studi lanjut, diskusi rutin antar guru, seminar,

simposium, kolokium, workshop, pembentukan kelompok kerja

guru (KKG), kunjungan antar kelas, kunjungan antar lembaga,

dan kerja sama dengan lembaga kependidikanan lainnya yang

menguntungkan. 2). Membangun SDM yang memiliki sikap

komitmen tinggi untuk berjuang (berjihad) dengan memajukan

lembaga melalui berbagai kegiatan, seperti; disiplin dan

menjalankan tugas, pro-aktif terhadap semua perubahan,

mendukung semua kegiatan yang disepakati, menjadi figur

yang bisa diteladani dalam bekerja dan berperilaku, selalu aktif

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |217

dan inovatif dalam mengembangkan profesi. 3). Membangun

SDM yang memiliki keputusan tinggi dan menjalankan tugas,

hal ini telah dilakukan melalui pemberian kesejahteran yang

cukup, menyediakan fasilitas pembelajaran yang memadai, dan

lain sebagainya.

218 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |219

Daftar Pustaka

Abbas, Syahrizal, Manajemen Perguruan Tinggi: Beberapa Catatan, Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2008

Abdur Rauf, “Transformasi dan Inovasi Manajemen Pendidikan Islam”. Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, (November 2016).

Abdullah, Abdurrahman Saleh, Educational Theory: Qur’anic Outlook, Makkah: Ummul Qura Universiy, 198

Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan, Jakarta: Firdaus, 1989 Argun, Muhammad al-Sadiq, Rasulullah SAW, Beirut: Dar al-

Qalam, 1985 Al Abrasyi, Muhammad ‘Atiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan

Islam. Terjemah Bustami A. Ghani. Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Al-Qathan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj H. Aunur Rofiq El Mazni, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015

Amien, A. Mappadjanti , Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan Organisasi dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005

Anwar, Sudirman, Management of Student Development Perspektif al-Qur’an dan as-Sunnah, Riau: Yayasan Indragiri, 2015

Agustinus, Hermino, Asesmen Kebutuhan Organisasi Persekolahan: “Tinjauan Perilaku Organisasi Menuju Comprehensive Multilevel Planning” Jakarta: PT Gramedia, 2013

at-Taubany, Trianto Ibnu Badar dan Hadi Suseno, Desain Pengembangan Kurikulum 2013 di Madrasah, Depok: Kencana, 2017

220 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1986

Achua, L.F.C, Managing Individual Are Group, Behavioral in Organization, New York: MC. McGraw Hill, 2010

Alipour, Mehrdad, and Elham Darabi, “The Role Of Service Marketing Mix And ItsImpact On Marketing Audit In Engineering And Technical Service Corporations,” Global Journal of Management and Business ResearchXI, no. 6 (2011)

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-17 dan 18, Bandung: Mizan, 1994

------ Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos, 1999

------ “Pembaharuan Pendidikan Islam, Sebuah Pengantar,” dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Amisco, 1996

Akram, “Karakteristik Kepemimpinan Pendidikan Islam”, Makalah, Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2018

Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2006

Asnawir, Manajemen Pendidikan, Padang: IAIN IB Press, 2006

Bafadol, Ibrahim, Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan Aplikasinya, Jakarta: Bumi Aksara, 2003)

Benda, Hary J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakide, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980

Bateman, Thomas S., Manajemen Kepemimpinan dan Kolaborasi dalam Dunia yang Kompetitif, terj. Chriswan Sungkono dan Alo Akbar Yulianto, Jakarta: Salemba Empat, 2008

Baskara, I Gde Kanjeng “Perkembangan Pemikiran Manajemen Dari Gerakan Pemikiran Scientific Management Hingga Era

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |221

Modern”. Jurnal Manajemen Strategi Bisnis daan Kewirausahaan, Vol. 7, No. 2 (Agustus 2013)

Barnawi, M. Arifin, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, Yogyakarta: Ar Ruz media, 2017

Besterfield, Dale, Total Quality Management, Second edition, International Edition, USA: Prentice-Hall, Inc., 1999

Bhasin, Hitesh, “SellingVs Marketing,” Marketing91.com, accessed March 23, 2013, http://www.marketing91.com/selling-and-marketing/.

Berry, Leornard L. , A Marketing Services, New York: The Free Press, 1991

Cross, Rob and Laurence Prusak, “The People Who Make Organizations Go or Stop,” Harvard Business Review (2002)

Chaerudin, Ali, Manajemen Pendidikan dan Pelatihan SDM, Sukabumi: Jejak, 2019

Chowdhury, Subir, Organisasi Abad 21: Suatu Hari Organisasi Akan Melalaui Jalan Lain, Jakarta: PT. Indek, 2005

Djamas, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta: Rajawali Press, 2009

Darmadi, Manajemen Sumber Daya Manusia Kekepalasekolahan: Melejitkan Produktivitas Kerja Kepala Sekolah dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Yogyakarta: Deepublish, 2018

Depdiknas, Pedoman Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, Jakarta: Depdiknas, 2003

Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Pengembangan Kultur Sekolah, Penerbit: School Reform 01, 2002

222 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Danim, Sudarwan, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006

Departamen Agama RI., Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VIII Cet. III; Jakarta: Lembaga Percetakan al-Qur’an Departemen Agama, 2009

de Bono, Edward, New Thinking for The Millennium, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000

Dhofier, Zamakhsyar, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985

Dirgantoro, Crown, Manajemen Stratejik: Konsep, Kasus, dan Implementasi, Jakarta: Grasindo, 2001

http://www.dunamis.co.id Ekosusilo, “Sistem Nilai dalam Budaya Organisasi Sekolah pada

Sekolah Unggul (Studi di SMU Negeri 1, SMU Regina Pacis, dan SMU al-Islam 01 Surabaya)”, Disertasi, Universitas Negeri Malang, 2003, tidak dipublikasikan.

Elliot. (1993). “Management of Quality in Computing Systems Education: ISO 9000 series Quality Standards Applied”. Journal of System Management. September

Frazer, Malcom, Quality in Higher Education, dalam Proceeding of an International Conference, Francis e-Library: The Falmer Press, 1992

Fauzi, Ahmad “Model Manajemen Pendidikan Islam: Telaah atas Pemikiran dan Tindakan Sosial”. At-Ta’lim: Jurnal Pendidikan, Volume 2, Nomor 2, (Juni 2016)

Firdianti, Arinda, Implementasi Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa, Yogyakarta: Gre Publishing, 2018

Fattah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |223

Foster, Bob, dan Iwan Sidharta, Dasar-dasar Manajemen, Yogyakarta: Diandra Kreatif, 2019

Grunday, Dainora “The Marketing Philosophy and Chalanges for The New Millenium,” Scientific Bulletin, Economic Sciences IX, no. 15 (tt)

Griffin, Ricky W., Manajemen Jilid I, terj. Gina Gania, Jakarta: Erlangga, 2004

Hunt, Daniel V., Managing for Quality, Illinois: Business one Irwin Homewood, 1993

Http://Khazanah.Republika.co.id/Berita/Dunia-Islam/Islam-Nusantara/12/12/14/Mf0zqx-Lembaga-Pendidikan-Islam-Harus-Jadi-Jawara, diakses pada tanggal 10 Maret 2015.

Hambali dan Mu’alimin, Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer: Stretagi Pengelolaan dan Pemasaran Pendidikan Islam di Era Industri 4.0, Yogyakarta: IRCiSoD, 2020

Hanier, Ghafur Saha, Manajemen Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi di Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008

Hanggraeni, Dewi, Manajemen Sumber daya Manusia, Jakarta: LPFEUI, 2012

Hambali, Muh., “Kepemimpinan Berbasis Core Values Sekolah Unggulan di Malang”. Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 2, Nomor 1, (Mei 2017)

Haedari, Amin, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global

Herujito, M. Yayat , Dasar-dasar Manajemen, Jakarta: Grasindo, 2001

Hersey, P. dan K. Blanchard. Manajemen Perilaku Organisasi (terjemahan oleh Agus Dharma), Jakarta: Erlangga, 1988

224 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Husna, Khatimatul dkk, 40 Hadis Shahih Sukses Berbisnis ala Nabi, Bantul: Pustaka Pesantren, 2012

Hambali, Muh., “Kepemimpinan Visioner”, Jurnal Madrasah Volume 5, Nomor 1 Juli-Desember 2012, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996

Indrawan, Irjus, Pengantar Manajemen Sarana dan Prasarana Sekolah, Yogyakarta: Deepublish, 2015

Ibrahim, Amin, Pokok-pokok Administrasi Publik dan Implementasinya, Bandung: Refika Aditama, 2008

Irawan, “Paradigma Keilmuan Manajemen Pendidikan Islam”. Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, (November 2016)

Juran, J.M. , Juran’s Quality Hanbook, New York: Macmillan, 1991

Kamus Besar Bahasa Indonesia Kosim, Muhammad, “Kajian Historis Pendidikan Islam di

Indonesia”, Jurnal Tadris, Volume I. Nomor 1. (2006)

Kompri, Standardisasi Kompetensi Kepala Sekolah: Pendekatan Teori untuk Praktik Profesional, Jakarta: Kencana, 2017

Kouzes dan Posner, The leadership Challenge, Jakarta: Erlangga, 2004

Karni, Asrori S. , Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 2009

Komarian, Aan, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, Jakarta: PT Bumi Aksar, 2005, cet. Ke-1

Komariah, Aan, Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005

Kotler, Philip, Manajemen Pemasaran, Jakarta: PT. Intan Sejati Klaten, 2005

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |225

--------, Marketing Management: The Millennium Edition (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2001)

-------, Principles of Marketing, New Jersey: Prentice Hall, 2010

Khori, Ahmad, “Manajemen Strategik dan Mutu Pendidikan Islam…”

L., Gibson James, Organization and Management, Jakarta: Erlangga, 1996

Lubis, Maesaroh, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Tasikmalaya: Edu Publisher, 2018

Kristiawan, Muhammad, dkk., Manajemen Pendidikan, Yogyakarta: Deepublish, 2017

Marmoah, Sri, Administrasi dan Supervisi Pendidkan: Teori dan Praktik, Yogyakarta: Deepublish, 2016

Marwiyah, St. dkk., Perencanaan Pembelajaran Kontemporer Berbasis Kurikulum, Yogyakarta: Deepublish, 2013

Muhaimin, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, Jakarta: PrenadaMedia Group, 2015

Maesaroh Lubis, Kapita Selekta Pendidikan, Tasikmalaya: Edu Publisher, 2018

Muhalimin, dkk, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2010

Mushtafa, Manajemen Keuangan, Yogyakarta: Andi Offset, 2010

Martoyo, Susilo, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: BPFE, 1992

Marjuni, Sukmawati, Manajemen Sumber Daya Manusia, Makassar: SAH Media, 2015

Muhaimin, Manajemen Pendidikan Islam: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, Jakarta: PrenadaMedia Group, 2015

226 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Mastuhu, Modernisasi Pondok Pesantren, Jakarta: INIS, 1998.

Musthofa, Tulus, Agung Setyawan, dan Ja’far Shodiq, “Manajemen Pembelajaran Bahasa Berbasis Integrasi-Interkoneksi Menuju World Classs University”. Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 1 (Mei 2016)

Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhaendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari Visi “Baru” Atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004

Mulkhan, Abdul Munir “Manajer Pendidik dalam Rekonstruksi Kesalehan Makrifat”. Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volome 1, Nomor 1, (Mei 2016)

Mujamil Qomar, Pesantren Dari Tranformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi

Manullang, M., Dasar-dasar Manajemen, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006

Masjkur, Anhari, Integrasi Sekolah ke Dalam Sistem Pendidikan Pesantren (Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam), (Surabaya: Diantama, 2007

Mulyasa, Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013

Madjid, Nurcholish Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan Pustaka, 2008

Muhammad, Ahmad Abdul Azhi, Strategi Hijrah: Prinsip-prinsip dan Ilham Tuhan, terj. M. Mansur Hamzah, Solo: Tiga Serangkai, 2004

Masjkur, Anhari, Integrasi Sekolah ke Dalam Sistem Pendidikan Pesantren (Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam)

Mahmudin, “Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan Islam”, disampaikan dalam “Seminar Nasional 2018:

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |227

Membangun Budaya Literasi Pendidikan & Bimbingan dan Konseling Dalam Mempersiapkan Generasi Emas

Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung. PT Remaja Rosdakarya, 2005

Mulyana, Rohmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2004

Moestopa, Zaenal, “Dasar dan Karakteristik Kepemimpinan Pendidikan Islam” Blog Kumpulan Tulisan Ilmiah. http://kumpulan-tulisan-ilmiah.blogspot.co.id/2015/02/dasar-dan-karakteristik-kepemimpinan.html (17April 2018).

Nata, Abdudin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PrenadaMedia, 2016

Natsir, M., Islam dan Kristen di Indonesia, Bandung: Bulan Bintang, 1969

Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1980

Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003

Ng, Irene CL and Jeannie Forbes, “Education as Service: The Understanding of University Experience throughThe Service Logic,” Journal of Marketing for Higher Education19, no. 1 (2009)

Nasution, M. Nur, Manajemen Mutu Terpadu, Bogor: GI, 2005 Nadler, David A., “Framework for Organizational Behaviour,” in

Managing Organizations: Readings and Cases, Boston: Scott Foresman & Co, 1982)

Owens, R.G., Organizational Culture in Education, Boston: Allyn and Bacon, 1995.

228 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Purwanto, M. Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Remaja Karya, 2001

Pidarta, Made, Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan, TP: Sarana Press, 1986

Preedy, Margaret (editor), Managing The Effective School, London: The Open University, 1993.

Poniman, Farid, dkk., Kubik Leadership, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008

Pike and Barnes. R, Total Quality Management in Action, London; Chapman & Hall, 1996

Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2007

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.

Rahmi, Elvi “Leaderaship-Manajerialship dalam Pendidikan Islam”, Tadris, Volume 13, No. 2, Desember 2018

Sukoco, Badri Munir, Manajemen Administrasi Perkantoran Modern, Jakarta: Erlangga, 2012

Sukirno, Sadono, Pengantar Bisnis, Jakarta: Prenada Media Group, 2006

S.P, Malayu Hasibuan., Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi, Jakarta: Bumi Aksara, 2010

Saefullah, Manajemen Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2012

Shulhan, Muwahid dan Soim, Manajemen Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2013

Sulistyorini dan M. Faturrohman, Esensi Manajemen Pendidikan Islam, Yogyakarta:Teras, 2014.

Syafaruddin, Manajemen Organisasi Pendidikan Perspektif Islam dan Sains, Medan: Perdana Publishing, 2015

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |229

Saefullah, U. Manajemen Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Saihudin, Manajemen Istitusi Pendidikan, Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, 2018.

Satori, Djam’an dan Suryadi, Teori Administrasi Pendidikan Islam, Jakarta: Imperial Bhakti Utama, 2017

Suryobrroto, B., Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Sunaengsih, Cucun, dkk., Pengelolaan Pendidikan, Sumedang: UPI Sumedang Press, 2017

Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi, dan Aplikasi, Yogyakarta: Teras, 2009

Suparjati, dkk., Tata Usaha dan Kearsipan, Yogyakarta: Kanisius, 2004

Spirit Istiqlal, diposting pada 22 Agustus 2013, Jakarta: http:// khazanah. republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/22/mrwy9w-spirit-istiqlal, diakses pada 9 Maret 2015.

Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: UIN Press, 2009

Sulthon dan Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantern dalam Perspektif Global

Sunhaji, Manajemen Madrasah, Yogyakarta: Grafindo Litera

Media, 2006

Sakdiah, “Karakteristik Kepemimpinan dalam Islam (Kajian Historis Filosofis) Sifat-Sifat Rasulullah”

Schermerhorn, dikutip oleh Ernie Tisnawati Sule dan Kuniawan Saefullah, Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009

230 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Suprapto, Pengembangan Budaya Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama (pengaruh budaya sekolah, motivasi belajar, terhadap mutu Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Pena Citasatria, 2008

Soekamto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1993

Suprapto, Budaya Sekolah dan Mutu Pendidikan, Jakarta: PT Pena Citasatria, 2008, cet. Ke-1

Strauss, George & Leonard Sayles, Personnnel The Human Problem of Management (Prentice Hall, New Jersey, USA), penerjemah Ny. Grace M. Hadikusuma & Ny. Rochmulyati Hamzah, Jakarta: Teruna Grafica, 1996

Soedjas, Triwibowo, Layanan Wow Untuk Pelanggan, Yogyakarta: Media Pressindo, 2014

Tripathi, Prakash Chandra, Principles Of Management, Fourth New Delhi: Tata McGraw-Hill Education, 2008

Tasmara, Toto, Etos kerja Pribadi Muslim, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Tan, Victor S.I. , Changing Your Corporate Culture, Singapore: Times Books International, 2002

Thoyib, Muhammad, Manajemen Mutu Pendidikan Islam Kontemporer, Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012

Trianto, Desain Pengembangan Kurikulum 2013 di Madrasah, Depok: Kencana, 2017

Tampubolon, D.P., Mutu Perguruan Tinggi, (Jakarta: Proyek KEDS, 2001), h. 74

Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Sebuah Pendekatan Baru dalam Pengelolaan Sekolah untuk Meningkatkan Mutu, www.Depdiknas, go., id., 20 Pebruari

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |231

2006., Lihat di Suprapto, Budaya Sekolah dan Mutu Pendidikan, Jakarta Selatan: PT Pena Citasatria, 2008, cet. Ke- 1

Umar, dkk., Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Transformatif. Yogyakarta: Deepublish, 2016

Wiryokusumo, Iskandardan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Bina Aksara, 2008

Wijaya, dalam Agustinus Hermino, Asesmen Kebutuhan Organisasi Persekolahan: Tinjauan Perilaku Organisasi Menuju Comprehensive Multilevel Planning, Jakarta: Gramedia, 2013

Wardi, Moh. “Problem Pendidikan Islam dan Solusi Alternatifnya”. Jurnal Tadris, Volume 8, Nomor 1, (Juni 2013)

Wahab, Muhbib Abdul, Manajemen Pangan Ala Nabi Yususf. as, diposting pada 3 Februari 2014, http:// www. republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/02/03/ n0dtpt-manajemen-pangan-ala-nabi-yusuf-as, diakses pada 9 Maret 2015

Wellington, Pat, Effective People Management: Improve Performance Delegate More Effectively Handle Poor Performance and Manage Conflict, London: Kogan Page Publishers, 2011

Wahyuningrum, Buku Ajar Manajemen Fasilitas Pendidikan, Yogyakarta: FIP UNY, 2000

Wijaya, David, Pemasaran Jasa Pendidikan, Jakarta: Salemba Empat, 2012

Warisno, Andi “Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Peningkatan Mutu Lulusan pada Lembaga Pendidikan Islam di Kabupaten Lampung Selatan”, Riayah, Vol. 3, No. 02 Juli-Desember 2018

232 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1984

Yamin, Hasbullah Masudin, Perpsektif Demokrasi untuk Islam Indonesia, Yogyakarta: Deepublish, 2018

Yukl, Gary, Leadeship in Organization (Second edition), Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1989

Zainal, Veithzal Rivai, dkk., Islamic Quality Education Management: Pentingnya Mengelola Pendidikan Bermutu untuk Melahirkan Manusia Unggul Menurut Islam, Serta Mencerdaskan Umat dengan Pendidikan Bermutu dan Islami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016

Zulkarnain, Wildan dan Raden Bambang Sumarsono, Manajemen Perkantoran Profesional, Malang: Gunung Samudera, 2015

Zarkasyi, Abdullah Syukri, Gontor dan pembaharuan Pendidikan Pesantren

Zazin, Nur, Gerakan Menata Mutu Pendidikan: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Penerbit Bigraf Publishing, 2000

Zazin, Nur, Gerakan Menata Mutu Pendidikan: Teori dan Aplikasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |233

Tentang Penulis

Dr. A. Khalik, M.Pd, lahir di Talang Duku, 31

Desember 1956, merupakan buah hati H. Syar’i

bin Sani (Alm) dan Hj. Aminah Binti Thahir

(Almh), merupakan suami dari Dra. Siti Asiah,

M.Pd. sebagai ayah dari dr. Miftahurrahmah.

Sp.B.A, Muthmainnah, S.E.,M.S.Ak, Abdul Barik,

S,Pd., M.Pd.,Maghfiroh, Abdul Khobir.

Jenjang Pendidikan dimulai dari SR di Kota Karang Batang

Hari (1970),MTs As’ad Olak Kemang Kota Jambi (1973), MA AIN

Olak Kemang Kota Jambi (1976), Sarjana Muda, IAIN STS Jambi

(1980), Sarjana IAIN STS Jambi Fak. Tarbiyah (1983), S2. IAIN

STS Jambi (2004), S3 Univ. Pakuan Bogor (2016)

Jenjang Karir, dimulai sebagai tenaga pendidik pada SMP N

Rantau Rasau Tanjung Jabung Barat Jambi (1983), selanjut pada

SMA N 2 Muara Buliah Kab. Batang Hari Prov Jambi (1985),

penulis juga pernah menduduki kepala sekolah pada SMA N 4

Sungai Bahar Kab. Batang Hari Jambi (1997), Kepala Sekolah

SMA N 7 Kota Jambi (2000-2003), sekarang sebagai Dosen UIN

STS Jambi pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan prodi MPI

Hasil karya ilmiah dihasilkan; Tinjauan Tentang

Pelaksanaan Pendidikan Umum Di Pondok Pesantren As'Ad

Olak Kemang Kodya Jambi (Skripsi), Kepemimpinan Madrasah

Aliyah (Studi Kasus MAS di Kab. Muaro Jambi) (Tesis)

Hubungan Antar Budaya organisasi, kepemimpinan

Trasformasi dan motivasi Kerja Dengan Komitmen Pada

organisasi (Studi Pada Dosen IAIN STS Jambi) (Disertasi),

penulis juga aktif menulis pada jurnal internasional Impact of

234 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Supply Chain Leadership and Supply Chain Fellow Ship on the

Productivity and Performance Dynamics in Pharmaceutical

Industry of Indonesia (2020, International Journal of Supply

Chain Management), THE INFLUENCE OF MOTIVATION AND

LEADERSHIP STYLE ON PRODUCTIVITY AND PERFORMANCE

OF EDUCATION MANAGEMENT IN ALIYAH MADRASAH

SWASTA (MAS) AS'AD JAMBI CITY (2020, International Journal

of Supply Chain Management), Employee Engagement Lecturer

IN STS Jambi (2020, Journal of Seybold Report), OMITMEN

ORGANISASI:Perspektif Budaya Organisasi, Kepemimpinan

Transformasional dan Motivasi Kerja. PUSAKA Jambi, 2017

Dr. A A Musyaffa, M.Pd, lahir di Jambi, 02

Juni 1978, dari Pasangan Drs. H. Ali Hasan

Abdullah (Alm) dan Hj. Siti Aminah (Almh),

merupakan suami Muthmainnah, S.E.,M.S.Ak

menempuh pendidikan dimulai SD 47/IV

Kota Jambi, selanjutnya SMP Ibrahimy Jawa

Timur, SLTA/MA Laboratorium Jambi.

Jenjang Pendidikan tinggi dimulai dari S1

FKIP Prodi Kimia pada Univ. Jambi, S2 Manajemen Pendidikan

Islam pada IAIN STS Jambi dan Program Doktor (S3) pada IAIN

Imam Bonjol Padang. Pada masa pendidikan strata satu (S1)

penulis menekuni karya ilmiah dengan mengikuti beberapa

perlombaan karya ilmiah tingkat provinsi hingga tingkat

nasional.

Jenjang karir dimulai dari dalam dunia pendidik; sebagai

tenaga pengajar pada MA Lab Jambi (2000-2005), MA

Muhammadiyah Jambi (2000-20005), Sebagai Asisten Dosen

FKIP Prodi Kimia Univ. Jambi pada mata kuliah Pratikum Kimia

Organik, Kimia Dasar, Kimia Anorganik (2000-2003), sebagai

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer |235

Tenaga Pengajar Pada SMA N 13 Kab. Tebo (2009-20012),

Sebagai Dosen STIT Kab Tebo (2008-2016).

Penulis juga pernah menduduki jabatan sebagai Kasi

Kurikulum Pada Pendidikan Menengah Pada Bid. DIKMEN pada

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Tebo, dan sebagai Kasi.

Pembinaan Pendidikan Keluarga, Kursus dan Pelatihan pada

Bid. Pembinaan PIAUD dan PNF Dinas Tebo Kab. Tebo.

Penulis juga aktif di organisasi sosial masyarakat; Penulis

juga aktif dalam organisas GP Ansor Kota Jambi, Wakil

Sekretaris PCNU Kab. Tebo. Anggota ISNU Kab. Tebo. Pengurus

MUI Kab. Tebo 2014-2019, sebagai Wakil Sek IPIM Prov. Jambi

(2020-2023).

Karir bidang Dosen Pada UIN STS Jambi pada Fakultas

Tarbiyah dan Keguruan, hasil karya ilmiah penulis; Pemisahan

Ekstrak Metilen Klorida Kayu Bulian (Eusideroxylon

Zwageri.T.et B) dan Uji Antimakan Terhadap Kumbang Kepik

(E.Sparsa) (Skripsi), Implementasi Sistem Informasi Manajemen

Pendidikan Dalam Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan

Perguruan Tinggi (Studi Pada Universitas Jambi (tesis, 2008),

Penerapan Total Quality Management Dalam Meningkat Mutu

Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Muaro Jambi

(Disertasi,2015), Total Quality Management Dalam

Meningkatkan Mutu Madrasah (2019), penulis juga menghasil

karya pada jurnal internasional, Impact of Supply Chain

Leadership and Supply Chain Fellow Ship on the Productivity and

Performance Dynamics in Pharmaceutical Industry of Indonesia

(2020, International Journal of Supply Chain Management), The

Influence of Motivation and Leadership Style On Productivity And

Performance Of Education Management In Aliyah Madrasah

Swasta (MAS) As'ad Jambi City (2020, International Journal of

Supply Chain Management), Employee Engagement Lecturer

UIN STS Jambi (2020, Journal of Seybold Report), Total Quality

236 | Dr. A. Khaliq, M.Pd. ● Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Management dalam Meningkatkan Mutu Madrasah. A-Empat

(2018); Kapita Selekta Pendidikan Islam (Buku, 2020), dan

Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer (Buku, 2021).