Manajemen Agroekosistem

19
Hasil Pengamatan Lahan Sawah Kecamatan Karangploso, Malang Dari hasil pengamatan di lahan didapatkan beberapa keterangan, anatara lain: A. Fakta a. Vegetasi tanaman padi b. Bersebelahan dengan lahan sengon c. Terdapat hama burung d. Merupakan lahan basah e. Padi memasuki fase akhir (H-7 panen) f. Terdapat banyak gulma g. Sumber irigasi dari sungai h. Terdapat penyakit potong leher yang menyerang beberapa tanaman i. Lahan terletak di daerah lereng/ miring B. Manajemen Lahan 1. Lahan yang digunakan merupakan lahan sewa 2. Menggunakan pupuk anorganik 3. Pengendalian hama burung menggunakan jarring 4. Monokultur padi 5. Menggunakan pestisida kimia 6. Menggunakan pola tanam konvensional 7. Padi yang digunakan merupakan varietas tahan 8. Sumber irigasi berasal dari sungai C. Masalah 1. Gulma, pada lahan sawah terdapat banyak gulma rumput yang tumbuh. Hal ini merata pada semua petak di lahan tersebut.

description

Tugas Dosen

Transcript of Manajemen Agroekosistem

Hasil Pengamatan Lahan Sawah Kecamatan Karangploso, MalangDari hasil pengamatan di lahan didapatkan beberapa keterangan, anatara lain:A. Faktaa. Vegetasi tanaman padib. Bersebelahan dengan lahan sengon c. Terdapat hama burungd. Merupakan lahan basahe. Padi memasuki fase akhir (H-7 panen)f. Terdapat banyak gulmag. Sumber irigasi dari sungaih. Terdapat penyakit potong leher yang menyerang beberapa tanamani. Lahan terletak di daerah lereng/ miringB. Manajemen Lahan1. Lahan yang digunakan merupakan lahan sewa2. Menggunakan pupuk anorganik3. Pengendalian hama burung menggunakan jarring4. Monokultur padi5. Menggunakan pestisida kimia6. Menggunakan pola tanam konvensional7. Padi yang digunakan merupakan varietas tahan8. Sumber irigasi berasal dari sungaiC. Masalah1. Gulma, pada lahan sawah terdapat banyak gulma rumput yang tumbuh. Hal ini merata pada semua petak di lahan tersebut.2. Monokultur, dari hasil penuturan Bapak Tari pemilik sawah. Lahan tersebut secara terus menerus ditanami padi tanpa dilakukan rotasi dengan tanaman lain maupun pemberoan.3. Pupuk Anorganik, dalam pengolahan lahan Bapak Tari menggunakan pupuk anorganik tanpa menggunakan pupuk organic. Hal ini dikarenakan Pak Tari mencari kepraktisan dan dengan harapan meningkatkan produksinya.4. Pestisida Kimia, untuk mencegah gangguan OPT Pak Tari menggunakan pestisida kimia. Karena menurut beliau itu lebih praktis dan mudah.5. Penyakit, dilahan sawah tersebut terdapat penyakit blas yang lumayan parah. Bahkan hampir disetiap petak ada tanaman yang terkena penyakit ini.6. Hama, pada lahan sawah sewa Pak Tari hama yang ditemukan adalah walang sangit dan burung. Karena pada saat pengamatan padi menuju masa panen atau fase akhir.D. Akar MasalahKami menyimpulkan bahwa di lahan tersebut terdapat akar masalah mengenai manajemen lahan yang diterapkan oleh petani.E. Keterangana. Pupuk: Bahan Organik dan pupuk Hayati Pemupukan Nitrogen dengan dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kerusakan tanaman oleh herbivora. Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian beberapa tingkat pupuk N berkorelasi positif dengan peningkatan populasi herbivora, karena adanya peningkatan kapasitas reproduksinya (Luna, 1988; Altieri dan Nicholls, 2003). Penambahan dosis pupuk N dari 30 kgN/ha menjadi 60 90 kg N/ha meningkatkan populasi Helicoverpa armigera, Amrasca biguttula dan Earias sp. pada kapas, sehingga meningkatkan frekuensi rata-rata penyemprotan dari 2,5 kali menjadi 3,7 kali; dan tidak meningkatkan hasil kapas berbiji secara nyata (Sahid et al., 2000). b. Gulma: Mekanis, Fisik, Biologi, Kimia Pada lahan sawah terdapat banyak gulma rumput pada petak sawah. Hal ini pasti akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman budidaya (padi). Karena dengan adanya gulma ini maka tanaman budidaya akan berebut unsure hara dan sinar matahari untuk tumbuh kembangnya. Sehingga perlu adanya perhatian lebih terhadap gulma apada lahan tersebut. Dari awal proses budidaya sudah harus dilakukan perawatan agar gulma tidak sampai mengganggu proses tumbuh tanaman budidaya. c. Hama: Fisik, varietas tahan, Pola tanam, Biologi, Kimiawi Hama yang ditemukan dilahan Pak Tari adalah burung dan walang sangit. Terdapat banyak burung yang menyerang tanaman padi Pak Tari, apalagi saat kami survey tanaman padi Pak Tari hampir memasuki masa panen. Menurut Untung (1993), Walang sangit menyerang buah padi yang masak susu. Menyebabkan buah hampa atau berkualitas rendah seperti berkerut, berwarna coklat dan tidak enak; pada daun terdapat bercak bekas isapan dan buah padi berbintik-bintik hitam. Pengendalian: (1) bertanam serempak, peningkatan kebersihan, mengumpulkan dan memunahkan telur, melepas musuh alami seperti jangkrik; (2) menyemprotkan insektisida Bassa 50 EC, Dharmabas 500 EC, Dharmacin 50 WP, Kiltop 50 EC.Sedangkan burung (manyar Palceus manyar, gelatik Padda aryzyvora, pipit Lonchura lencogastroides, peking L. puntulata, bondol hitam L. ferraginosa dan bondol putih L. ferramaya). Menyerang padi menjelang panen, tangkai buah patah, biji berserakan. Pengendalian: Mengusir dengan bunyi-bunyian atau orang-orangan.d. Penyakit BlasMenurut Cyccu (2000), penyebab: jamur Pyricularia oryzae. Gejala: menyerang daun, buku pada malai dan ujung tangkai malai. Serangan menyebabakn daun, gelang buku, tangkai malai dan cabang di dekat pangkal malai membusuk. Proses pemasakan makanan terhambat dan butiran padi menjadi hampa. Pengendalian: (1) membakar sisa jerami, menggenangi sawah, menanam varitas unggul Sentani, Cimandirim IR 48, IR 36, pemberian pupuk N di saaat pertengahan fase vegetatif dan fase pembentukan bulir; (2) menyemprotkan insektisida Fujiwan 400 EC, Fongorene 50 WP, Kasumin 20 AS atau Rabcide 50 WP.e. PestisidaPak Tari menggunakan pestisida secara terus menerus seperti pemakaian pupuk anorganik. Dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia secara intensif dalam jangka panjang telah banyak dilaporkan, yaitu timbulnya resistensi, resurgensi, munculnya serangga sekunder, dan polusi. Sedikitnya telah dilaporkan adanya 50 spesies arthropoda yang telah resisten terhadap insektisida dan akarisida (van Driesche dan Bellows, 1996). Resistensi musuh alami terhadap insektisida, kalau pun terjadi, sangat lambat, karena musuh alami berpeluang kecil mempunyai gen yang resisten, karena populasi rendah, serta proses evolusi yang berbeda dengan herbivora. Penggunaan insektisida kimia, pada banyak kasus, tidak memecahkan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru, yaitu terjadinya resistensi terhadap insektisida (Martin et al., 2000; Wolfenbarger dan Vargas-Camplis, 2002; Fakhrudin et al., 2003) dan terjadinya ledakan populasi hama sekunder (Hallberg, 1989; Kelly, 1995; Schultz et al., 2001). Salah satu contoh dampak negatif penggunaan insektisida adalah penggunaan insektisida dari kelompok piretroid sintetik secara berlebihan untuk mengendalikan populasi H. armigera pada kapas di Lamongan pada MTT 2003 dan 2004. Penggunaan insekisida kimia sintetik yang berlebihan tersebut mengakibatkan peledakan populasi hama sekunder Bemisia sp. dan menyebabkan petani gagal panen (Nurindah dan Mukani, 2005). f. MonokulturKerentanan agroekosistem terhadap hama merupakan suatu akibat dari penyederhanaan dari lanskap, seperti yang terjadi pada sistem pertanian dengan input tinggi di negara-negara maju dan negara-negara yang mengembangkan ekspor hasil pertanian dengan menerapkan sistem tanam monokultur. Sistem pertanian monokultur menurunkan jumlah dan aktivitas musuh alami karena terbatasnya sumber pakan, seperti polen, nektar dan mangsa atau inang alternatif yang diperlukan oleh musuh alami untuk makan, bereproduksi (Andow, 1991) serta tempat untuk refugia untuk bertahan pada suatu ekosistem (Jervis et al, 2004). Sebaliknya, bagiserangga herbivora, pertanaman monokultur merupakan sumber pakan yang terkonsentrasi dalam jumlah banyak, sehingga herbivora tersebut dapat bereproduksi dan bertahan dengan baik. Beberapa serangga herbivora dilaporkan dapat berkembang biak dengan baik pada pertanaman monokultur yang dipupuk, disiang dan diairi secara intensif (Price, 1991). Kondisi agroekosistem seperti ini secara terus menerus akan menyebabkan agroekosistem menjadi rentan terhadap eksplosi hama. F. Rekomendasi/SolusiApabila dilihat dari semuanya maka dapat disimpulkan bahwa keadaan lahan atau tanah di sawah di daerah Ngijo, Karangploso dalam keadaan tidak sehat. Karena berdasarkan keadaan sampel tanah yang telah diambil terdapat gejala karatan pada tanah yang mana ini mengarah pada tingkat keseimbangan lahan itu sendiri. Di lahan tersebut dikatakan tidak sehat karena salah satu faktornya adalah penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus. Selain itu untuk memperkuat hasil pengamatan dilakukan pengambilan sampel tanah yang akan dianalisi BI dan BJ di laboratorium. Faktor-faktor penyebab rentannya suatu agroekosistem terhadap eksplosi hama dapat diatasi dengan melakukan pengelolaan agroekosistem supaya menjadi lebih tahan terhadap eksplosi hama. Tujuan dari pengelolaan agroekosistem adalah menciptakan keseimbangan dalam lingkungan, hasil yang berkelanjutan, kesuburan tanah yang dikelola secara biologis dan pengaturan populasi hama melalui keragaman hayati serta penggunaan input yang rendah (Altieri, 1994). Untuk mencapai tujuan ini, strategi yang dikembangkan adalah optimalisasi daur hara dalam tanah dan pengembalian bahan organik, konservasi air dan tanah serta keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya. Strategi ini mengarah pada suatu pengaturan lanskap yang ada, sehingga didapatkan kemantapan fungsi dari keragaman hayati yang membantu dalam proses menuju agroekosistem yang sehat. Konsep ekologi dalam PHT, merupakan konsep dari proses alami dan interaksi-interaksi biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi fungsi dari komponen-komponennya. Dengan demikian, lahan dengan keragaman hayati yang tinggi, mempunyai peluang tinggi untuk terjaga kesuburan tanahnya melalui aktivasi biota tanah.Selain itu, perkembangan populasi herbivora dapat terjaga melalui peningkatan peran arthropoda berguna dan antagonis. Pengelolaan agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang berkelanjutan dan sesedikit mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, serta input rendah dimungkinkan dengan menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai berikut (Reijntes et al., 1992): 1. Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan alur hara. Prinsip ini dapat dilakukan dengan melaku-kan rotasi dengan tanaman-tanaman pupuk hijau. 2. Memantapkan kondisi tanah untuk per-tumbuhan tanaman dengan mengelola bahan 3. organik dan meningkatkan biota tanah. Pemberian biomassa pada lahan akan menambah bahan organik yang selanjutnya akan meningkatkan biota tanah yang berguna dalam peningkatan kesuburan tanah. 4. Meminimalkan kehilangan karena keter-batasan ketersediaan air melalui pengelolaan air. Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal, sehingga ketersediaan-nya pada waktu dan jumlah yang cukup, sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan teknik-teknik pengawetan air tanah. 5. Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem, sehingga terdapat interaksi alami yang mengun-tungkan dan sinergi dari komponen-kom-ponen agroekosistem melalui keragaman hayati. Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan melalui berbagai teknik budidaya. Teknik-teknik tersebut akan memberikan pengaruh yang berbeda dalam produktivitas, stabilitas dan keseimbangan pada suatu agroekosistem, tergantung pada peluang-peluang yang ada pada lokasi (spesifik lokasi), sumberdaya alam yang ada serta pasar. Tujuan akhir dari pengelolaan agroekosistem adalah memadukan komponen-komponen yang ada sehingga efisiensi biologis dapat diperbaiki, keragaman hayati dapat dilestarikan dan dihasilkan produksi yang berkelanjutan. Seperti telah dibahas di atas, pertanaman monokultur dapat memicu eksplosi hama, karena budidaya monokultur dapat menyebabkan agroekosistem menjadi tidak stabil. Ketidak-stabilan agroekosistem masih dapat diperbaiki dengan menambahkan keragaman tanaman pada suatu pertanaman dan lanskap (Gillesman, 1999) yang disebut sebagai rekayasa ekologi (ecological engineering). Keragaman tanaman yang tinggi dapat menciptakan interaksi dan jaring-jaring makan yang mantap dalam suatu agroekosistem. Keragaman tanaman dalam suatu agroekosistem merupakan konsep dasar dalam pengendalian hayati (Noris dan Kogan, 2006). Peningkatan keragaman tanaman pada suatu agroekosistem dapat dilakukan melalui praktek budidaya dengan sistem tumpangsari, agrofo-restry atau dengan menggunakan tanaman pelindung atau penutup tanah. Praktek budidaya ini telah umum dilakukan pada sistem pertanian di Indonesia.Pada tanaman perkebunan, kapas selalu ditanam secara tumpangsari dengan palawija (jagung, kedelai, kacang tanah atau kacang hijau). Pada suatu agroekosistem dengan keragaman tanaman yang tinggi, akan mempunyai peluang adanya interaksi antar spesies yang tinggi, sehingga menciptakan agroekosistem yang stabil dan akan berakibat pada stabilitas produktivitas lahan dan rendahnya fluktuasi populasi spesies-spesies yang tidak diinginkan (van Emden dan Williams, 1974). Pada pertanaman kapas yang ditum-pangsarikan dengan kedelai, dilaporkan mempunyai keragaman spesies parasitoid telur penggerek buah kapas Helicoverap armigera yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada pertanaman kapas monokultur (Lusyana, 2005). Keragaman spesies parasitoid telur yang lebih tinggi berakibat pada peningkatan kontribusi mortalitas H. armigera oleh faktor mortalitas biotiknya. Pengelolaan habitat untuk pengendalian hama dengan menambahkan keragaman hayati hendaknya diikuti dengan perbaikan kualitas tanah. Kualitas kesuburan tanah yang baik, merupakan media untuk mendapatkan tanaman yang sehat dan tanaman yang sehat merupakan dasar dari pengelolaan hama yang berbasis ekologi. Pada sistem pertanian organik, populasi serangga hama dilaporkan selalu lebih rendah dibandingkan dengan pada sistem pertanian konvensional (Elzaker, 1999). Pemberian biomasa tanaman dapat meningkatkan ketersediaan air, karena berpengaruh pada perbaikan sifat fisik tanah seperti bobot isi, porositas, dan permeabilitas (Mastur dan Sunarlim, 1993). Pemberian mulsa pada tanah juga dilaporkan dapat meningkatkan efisiensi pengendalian hama (Mathews et al., 2002; 2004; Afun et al., 1999). Aplikasi mulsa jerami padi pada pertanaman kapas selain dapat meningkatkan bahan organik dalam tanah yang dapat memperbaiki struktur fisik dan kimia tanah yang menyebabkan tanah menjadi lebih subur, juga meningkatkan aktivasi predasi terhadap penggerek buah kapas, karena populasi kompleks predator pada kanopi meningkat (Subiyakto, 2006). Kemampuan tanaman untuk bertahan atau toleran terhadap serangga hama atau patogen berhubungan erat dengan properti fisik, kimia dan biologi tanah yang optimal. Tanah dengankandungan bahan organik tinggi dan aktivitas biologi yang tinggi biasanya menunjukkan adanya kesuburan yang tinggi dan adanya jaring-jaring makanan (food web) serta mikroorganisme yang kompleks, sehingga mencegah terjadinya infeksi patogen (Magdoff dan van Es, 2000). Dengan demikian, interaksi multitropik yang terjadi di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah merupakan suatu food web yang saling tergantung dan menyebabkan terjadinya stabilitas populasi herbivora. Hal ini disebabkan oleh adanya keseimbangan antara herbivora dan musuh alaminya dan patogen dengan antagonisnya. Keseimbangan ini akan men-jadikan suatu agroekosistem menjadi sehat dan dapat menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan.Pengendalian hama merupakan salah satu aktivitas dari budidaya tanaman. Kegiatan inidapat dilakukan melalui perancangan agro-ekosistem yang stabil. Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, perancangan agroekosistem yang stabil melibatkan pengelolaan komponen-komponen dalam agro-eko-sistem tersebut. Perancangan agroekosistem untuk pengendalian hama dapat dilakukan melalui pengeloaan habitat yang targetnya adalah: 1. Meningkatkan keragaman vegetasi melalui sistem tanam polikultur. 2. Meningkatkan keragaman genetik melalui penggunaan varietas dengan ketahanan horizontal yang dirakit dari plasma nutfah lokal. 3. Memperbaiki pola tanam dan menerapkan sistem rotasi tanaman kacang-kacangan, pupuk hijau, tanaman penutup tanah dan dipadukan dengan ternak. 4. Mempertahankan keragaman lanskap dengan meningkatkan koridor-koridor biologis. Keterangan:Dalam hal ini kualitas tanah adalah bagaimana tanah dapat melakukan fungsinya seperti yang kita inginkan, lebih spesifiknya kualitas tanah adalah kapasitas dari jenis tanah tertentu untuk melakukan fungsinya dengan jaringan ekosistem alami maupun buatan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan hewan selain itu juga untuk meningkatkan kualitas air dan udara dan mendukung kehidupan serta kesehatan manusia. Kualitas tanah merupakan kombinasi dari sifat statis dan dinamis tanah. Kualitas tanah statis adalah fungsi kemampuan tanah alami, mengalami perubahan yang sangat terbatas kaitannya dengan penggunaan dan pengelolaan lahan.Berat isi adalah perbandingan antara massa tanah dengan volume partikel ditambah dengan ruang pori diantaranya (Tim Dosen, 2010). Sedang Berat Jenis adalah berat tanah kering per satuan volume partikel-partikel padat (Hardjowigeno, 1992). Faktor yang Mempengaruhi Berat Isi (BI)a. Struktur TanahTanah yang mempunyai struktur yang mantap (lempeng) mempunyai (BI) yang lebih tinggi daripada tanah yang mempunyai struktur yang kurang mantap (remah)b. Pengolahan TanahJika suatu tanah sering diolah tanah tersebut memiliki berat isi yang tinggi daripada tanah yang dibiarkan saja, dan didalam pengolahan tanah yang baik akan meanghasilkan tanah yang baik pula.c. Bahan OrganikJika didalam tanah tersebut banyak ditemukan bahan organik tanah tersebut memiliki Berat Isi lebih banyak dibanding tanah yang tidak terdapat bahan organik . jadi bahan organik sebanding lurus dengan bobot isi.d. Agregasi TanahAgregasi merupakan proses pembentukan agregrat-agregrat tanah dengan terbentuknya agregat-agregat itu, tanah menjadi berpori-pori, sehingga tanah menjadi gembur, dapat menyimpan dan mengalirkan udara dan air. Agregat tanah memiliki ukuran yang lebih besar daripada partikel-partikel tanah (Hakim, 1986) Faktor yang Mempengaruhi Berat Jenis (BJ)a. Tekstur TanahPartikel-partikel tanah yang ukuran partikelnya kasar, memilki nilai berat jenis yang tinggi misalnya pasir, ukuran partikel pasir lebih besar daripada ukuran partikel liat sehingga berat jenis pasir lebih tinggi dari pada liat dan sebaliknya (Darmawijaya, 1997)b. Bahan Organik TanahBahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang yang sebagaian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan Organik tanah memiliki berat jenis tanah. Semakin banyak kandungan bahan organik tanah, menyebabkan semakin rendahnya berat jenis tanah (Rahardjo, 2001) Pengaruh Pengolahan LahanPengaruh terhadap pengolahan lahan dari berat isi dan berat jenis tanah sangat banyak, di antaranya dalam proses infiltrasi tanah, jika sebuah tanah memiliki rongga atau pori-pori yang banyak maka penyerapan air akan baik atau cepat. Seperti halnya pada tanah berpasir, tanah ini sering digunakan dalam pembuatan lapangan sepak bola yang memerlukan penyerapan air lebih cepat namun tidak untuk media pembudidayaan tanaman.Tanah yang berstruktur mantap berat isinya juga akan tinggi. Itu dikarenakan tanah tersebut memiliki kerapatan yang tinggi, sehinga akar dari tumbuhan atau tanaman tesebut akan sulit menembus atau memecah tanah dan air akan sulit untuk meresap kedalam tanah, sehingga air akan mudah tergenang di atas permukaan tanah. Untuk mengatasi itu, maka diperlukan pengolahan tanah yang baik, diantaranya dengan cara membajak tanah dan menggemburkan tanah. Dengan membajak tanah, akan membuat ronga atau pori-pori dalam tanah menjadi lebih banyak, sehingga penyerapan air, udara, dan berbagai mineral yang dibutuhkan tanaman dapat lebih mudah.Dalam mempelajari berat isi dan berat jenis tanah dapat ditentukan berapa pupuk yang dibutuhkan untuk pemupukan lahan tersebut sehingga kita dapat meminimalisir pemakaian pupuk. Dengan kata lain dalam teorinya, pengolahan lahan dapat mengurangi berat isi dan berat jenis tanah pada suatu jenis lahan. Sehingga akar tanaman bisa menembus tanah dengan baik dan tanaman bisa tumbuh dengan subur, baik pada lahan semusim, lahan produksi, dan lahan kampus ( Hanafiah, 2005 ).

DAFTAR PUSTAKAAfun, J. V. K, Johnson, D. E, Russell, dan Smith. A. 1999. The effects of weed residue management on pests, pest damage, predators and crop yield in upland rice in Cote d'Ivoire. Biological Agriculture andHorticulture 17(1): 47 - 58. Altieri, M. A. 1994. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems. Haworth Press, New York. Altieri, M. A. dan Nicholls, C. I. 2003. Soil fertility management and insect pests: harmonizing soil and plant health inagroecosystem. Soil and Tillage Research 72: 203 211. Andersen, P. dan Olson, S. 2001. Flower nitrogen status and populations of Frankinella occidentalis feeding on Lycopersicon escullentum. Entomologia Experimentalis et Applicata 99 (2): 165 172. Andow, D.A. 1991. Vegational diversity and arthropod population response. Annual Review of Entomology 36: 561 586. Brodbeck, B., Stavisky, J., Funderburk, J., Cyccu,M. 2000. Keanekaragaman hayati dan pengelolaan serangga hama dalam agroekosistem. Pengukuhan Guru besar. Universitas Sumatera Utara.Darmawijaya, M. isa. 1997. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakartavan Driesche, R.G. and Bellows, T.S. Jr. 1996. Biological Control. Chapman and Hall, New York. van Elzaker, Bo. 1999. Organic cotton product-ion. In: D Myers dan S. Stolton. (Eds.) Organic cotton, from field to final product. Intermediete Technology Publi-cations, London. p. 21 35. van Emden, H.F. and Williams, G. F. 1974. Insect stability and diversity in agroecosystems. Annual Review of Entomology 19: 455 475. Fakhrudin, B., Badariprasad, Krishnareddy, K. B., Prakash, S. H., Vijaykumar, Patil, B. V. and Kuruvinashetti, M. S. 2003. Insecticide resistance in cotton bollworm, Helicoverpa armigera (Hubner) in South Indian cotton ecosystems. Resistant Pest Management Newsletter 12(2):13 - 16. Gillesman, S. R. 1999. Agroecology: Agro-ecological Processes in Agriculture. Ann Arbor Press, Michigan. Hakim. 1986. Dasar-Dasar Fisika Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UB. MalangHallberg, G. R. 1989. Pesticide pollution of groundwater in the humid United States. Agriculture Ecosystems and Environ-ment 26 (3-4) : 299 - 367. Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.Jakarta : Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada.Hardjowigeno, Sarnono. 1992. Ilmu Tanah. Jakarta : Maduatama Sarana Pratama.Isman, M. B. 2006. Botanical insecticides, deterrents and repellents in modern agriculture and increasingly regulated world. Annual Review of Entomology 51: 45 66. Jervis, M.A., Lee, J. C., dan Heimpel, G. E. 2004. Use of behavioural and life-history studies to understand the effects of habitat manipulation. In: G. M. Gurr, S. D. Wratten and M. A. Altieri (Eds.), Ecological Engineering for Pest Management. Comstock PublishingAssociates, New York. p. 65 100. Kelly, A. G. 1995. Accumulation and persistence of chlorobiphenyls, organochlorine pesticides and faecal sterols at the Garroch Head sewage sludge disposal site, Firth of Clyde. Environmental Pollution 88(2): 207 - 217. Luna, J. M. 1988. Influence of soil fertility prac-tices on agricultural pest. In: Global perspectives on agroecology and sus-tainable agricultural systems. Procee-dings of the Sixth International Scientific Conference of IFOAM. St Cruz. p. 589 600. Lusyana, N. R. 2005. Keragaman parasitoid telur Helicoverpa armigera pada tanaman kapas (Gossypium hirsutum L.) monokultur dan tumpangsari di Asembagus, Kabupaten Situbondo. Skripsi, Universitas Negeri Malang. Magdoff, F dan van Es, H. 2000. Building Soils fo Better Crops. SARE, Washington.Rahardjo, pudjo dkk. 2001. Peranan Beberapa Macam Sumber dan Dosis Bahan Organik terhadap ketersediaan Air bagi Tanaman. Pusat Penelitian The dan Kina. GambungTim Dosen Jurusan Tanah FPUB. 2010. Panduan Praktikum Dasar Ilmu Tanah. Universitas Brawijaya. MalangUntung, K., 1993. Konsep Pengendalian Hama terpadu. Andi ofset. Yogyakarta