Makna Tradisi Mattera’ Boyang bagi Suku Mandar ( Studi ...
Transcript of Makna Tradisi Mattera’ Boyang bagi Suku Mandar ( Studi ...
i
Makna Tradisi Mattera’ Boyang bagi Suku Mandar ( Studi Kasus di
Kelurahan Pangaliali Kecamatan Banggae Kabupaten Majene)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Univeristas Muhammadiyah Makassar
Oleh
Muhammad Naim Rusli
NIM. 105381112916
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
2020
iv
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Naim Rusli
Nim : 105381112916
Jurusan : Pendidikan Sosiologi
Judul Skripsi : Makna Tradisi Mattera’ Boyang bagi Suku Mandar ( Studi Kasus
di Kelurahan Pangaliali Kecamatan Banggae Kabupaten Majene)
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi ini merupakan hasil
penelitian, pemikiran dan pemaparan asli saya sendiri. Saya tidak
mencantumkan tanpa pengetahuan bahan-bahan yang telah dipublikasikan
sebelumnya atau ditulis oleh orang lain, atau sebagai bahan yang pernah
diajukan untuk gelar atau ijasah pada Unismuh Makassar atau perguruan tinggi
lainnya.
Apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran
dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai
dengan peraturan yang berlaku di Unismuh Makassar.
Demikian pernyataan ini saya buat.
Makassar, Januari 2021
Yang Membuat Pernyataan
Muhammad Naim Rusli
NIM:105381112916
v
SURAT PERJANJIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Naim Rusli
Nim : 105381112916
Jurusan : Pendidikan Sosiologi
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:
1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya
akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun)
2. Dalam menyusun skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan
pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas.
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (plagiat) dalam penyusunan skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2 dan 3 saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.
Makassar, Januari 2021
Yang Membuat Perjanjian
Muhammad Naim Rusli
NIM:105381112916
vi
MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
سب يحت
ل
من حيث
هقيرز و
بالغ
ه الل
ان
هو حسبه
ف
ه الل
ىل عل
وكت مره ومن ي
ى ا
رادء ق
ل ش
لك
ه جعل الل
د ق
Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah
telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu. (Q.S At-thalaq: 3)
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. karya sederhana ini penulis persembahkan untuk :
Kedua orang tua, Rusli dengan Maryam yang selalu memberiku dukungan,
memberikan motivasi dalam segala hal serta memberikan kasih sayang
yang teramat besar yang tak mungkin bisa ku balas dengan apapun bahkan
dengan materi.
Terima kasihku juga kepada seluruh keluarga besar dan saudara yang tak
henti-hentinya dalam mensuport kesuksesan karir dalam tercapainya cita-
cita dan pendidikan saya.
Dan yang terakhir penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
teman-teman.seperjuangan.
vii
ABSTRAK
Muhammad Naim Rusli, 2020. Makna Tradisi Mattera’ Boyang bagi Suku Mandar
( Studi Kasus di Kelurahan Pangaliali Kecamatan Banggae Kabupaten Majene). Skripsi,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dibimbing oleh H. Nurdin dan Aliem Bahri.
Tradisi mattera’ boyang yang ada di masyarakat mandar merupakan budaya
turun temurun yang dilakukan masyarakat mandar, tradisi ini merupakan upacara ketika
ingin memasuki rumah baru. Pada masa sekarang banyak masyarakat yang kurang
memahami apa yang menjadi makna dan nilai dari tradisi mattera’ boyang karena
kurangnya pemahaman masyarakat tentang tradisi mattera’ boyang itu sendiri. Peneliti ini
bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat mandar khususnya masyarakat
yang kurang memahami tentang makna dan nilai mattera’ boyang sebagai bentuk
kepedulian terhadap budayanya agar dapat di jaga dan dilestrikan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan jenis
pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk mengungkap makna tradisi mattera’ boyang
bagi suku mandar. Informan dalam penelitian ini yakni beberapa masyarakat, kepala
lingkungan, toko masyarakat serta sando boyang atau dukun. Adapun teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu observasi, wawancar dan dokumen.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa makna dalam tradisi mattera’ boyang
antara lain : 1) sebagai bentuk rasa syukur, masyarakat melaksanakan tradisi ini sebagai
bentuk rasa syukurnya atas rezeki yang diberikan serta kesempatan sehingga mampu
membangun rumah baru untuk dihuni keluarganya. 2) upacara tolak bala, dimana
masyarakat berharap dari tradisi ini agar di jauhkan dari segala bentuk marabahaya baik
dari gangguan-gangguan dari makluk halus penghuni tempat itu serta musibah-musibah
lainnya.
Nilai-nilai dalam proses mattera’ boyang antara lain : 1) nilai kepercayaan
sebagai dasar utama dalam tradisi ini karena masyarakat mandar meyakini akan dampak
yang terjadi dari tradisi ini. 2) nilai kebersaman dan tolong menolong dimana masyarakat
atau tetangga-tetangga akan datang membantu mendirikan tiang atau rangka bangunan. 3)
nilai budaya didalamnya sebagai aset sekaligus ciri budaya mandar sebagai warisan para
leluhur yang harus dilestarikan dan dijaga.
Kata kunci : Makna, Nilai, Tradisi Mattera’ Boyang.
viii
ABSTRACT
Muhammad Naim Rusli, 2020. The Meaning of the Mattera 'Boyang Tradition for the
Mandar Tribe (Case Study in Pangaliali Village, Banggae District, Majene Regency).
Thesis, Faculty of Teacher Training and Education. Muhammadiyah University of
Makassar. Supervised by H. Nurdin and Aliem Bahri.
The tradition of mattera 'boyang in the mandar community is a hereditary culture
carried out by the mandar community. This tradition is a ceremony when they want to
enter a new house. At present, many people do not understand what is the meaning and
value of the mattera 'boyang tradition because of the lack of public understanding of the
mattera' boyang tradition itself. This researcher aims to provide an understanding to the
Mandar community, especially those who do not understand the meaning and value of
mattera 'boyang as a form of concern for their culture so that it can be preserved and
protected.
The research method used is a qualitative method with a case study approach that
aims to reveal the meaning of the mattera 'boyang tradition for the mandar tribe. The
informants in this study are several people, the head of the neighborhood, the community
shop and the sando boyang or shaman. The data collection techniques in this study are
observation, interviews and documents.
The results of this study indicate that the meaning in the mattera 'boyang tradition
includes: 1) as a form of gratitude, the community implements this tradition as a form of
gratitude for the provision given and the opportunity so that they are able to build a new
house for their family to live in. 2) the ceremony to reject reinforcements, where the
community hopes that this tradition will be kept away from all forms of harm, both from
the disturbances of the spirits who inhabit the place and other calamities.
The values in the mattera 'boyang process include: 1) the value of trust as the
main basis in this tradition because the Mandar community believes in the impact that
will occur from this tradition. 2) the value of togetherness and help where the community
or neighbors will come to help erect poles or building frames. 3) the cultural value in it as
an asset as well as a cultural characteristic of Mandar as a legacy of the ancestors that
must be preserved and protected.
Keywords : Meaning, Value, Tradition of Mattera 'Boyang
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya,
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua
pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik berupa dorongan
moril maupun materil, karena penulis yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut,
sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, izinkan
penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada:
Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar Prof. Dr. H. Ambo Asse.
M.Ag dan dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Erwin Akib. S.Pd.,
M.P.d. Ph.D serta para wakil dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar. Ketua program Studi Pendidikan
Sosiologi Drs. H. Nurdin, M.Pd dan sekretaris program Pendidikan sosiologi
Kaharuddin, S.Pd.,M.Pd.,Ph.D, beserta seluruh stafnya.
Drs. H. Nurdin, M.Pd. sebagai pembimbing 1 (satu) dan Aliem Bahri.
S.Pd., M.Pd sebagai pembimbing II (dua) yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ungkapan terima kasih dan
penghargaan yang sangat spesial penulis hanturkan dengan rendah hati dan rasa
hormat kepada kedua orang tua penulis Rusli dan Maryam serta keluarga besar
penulis yang dengan segala pengorbanannya tak akan pernah penulis lupakan atas
jasa-jasa mereka. Doa restu, nasihat dan petunjuk dari mereka yang merupakan
dorongan moril yang paling efektif bagi kelanjutan studi penulis hingga saat ini.
Masyarakat mandar di kelurahan pangaliali, kecamatan banggae,
kabupaten majene. Yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk
mendapatkan informasi mengenai makna tradisi mattera’ boyang bagi suku
mandar. Pimpinan beserta para Staf perpustakaan wilayah, perpustakaan fakultas
x
dan keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis untuk
mendapatkan referensi yang ,mendukung penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu penulisan dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala
dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Amin Ya Rabbal alamin.
Billahi fii sabilil haq fastabiqul khaerat wassalamua’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Makassar, Januari 2021
Muhammad Naim Rusli
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN.......................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN ............................................................................. v
MOTO DAN PERSEMBAHAN .............................................................. vi
ABSTRAK BAHASA INDONESIA ........................................................ vii
ABSTRAK BAHASA INGGRIS ............................................................. viii
KATA PENGANTAR .............................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
E. Defenisi Operasional ...................................................................... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep ........................................................................... 9
1. Tradisi ...................................................................................... 9
2. Mattera’ Boyang....................................................................... 10
3. Suku Mandar ............................................................................ 10
xii
B. Tinjauan Teori ............................................................................... 11
C. Kerangka Fikir ............................................................................... 13
D. Penelitian Relevan .......................................................................... 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian .................................................... 19
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 19
C. Informan Penelitian ....................................................................... 20
D. Fokus Penelitian ............................................................................ 20
E. Intrumen Penelitian ....................................................................... 21
F. Jenis Dan Sumber Data ................................................................. 22
G. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 22
H. Teknik Analisis Data ..................................................................... 24
I. Keabsahan Data .............................................................................. 27
J. Etika Penelitian .............................................................................. 29
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Lokasi Peneltian ................................................................ 30
B. Letak Geografis ............................................................................. 31
C. Keadaan Penduduk ......................................................................... 33
D. Keadaan Pendidikan ....................................................................... 34
E. Pemerintahan .................................................................................. 38
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian .............................................................................. 43
1. Makna Mattera’ Boyang bagi Masyarakat Mandar................. 43
2. Nilai-Nilai dalamTradisi Mattera’ Boyang ............................. 45
xiii
3. Mattera’ Boyang ...................................................................... 48
B. Pembahasan ................................................................................... 59
Teori Interaksionisme Simbolik ..................................................... 60
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ........................................................................................ 66
B. Saran ............................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tradisi (Latin: traditio, "diteruskan") adalah suatu kebiasaan yang telah
dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok atau
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang
sama.
Tradisi lebih berorientasi kepada kepercayaan dan kegiatan ritual yang
berkembang dan mengakar dimasyarakat menjadi sebuah kebudayaan.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai maknawi yang dimiliki suatu masyarakat
tentang dunianya. Berkat kebudayaan, warga suatu masyarakat dapat memandang
lingkungan hidupnya dengan bermakna.
Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan memiliki perasaan, karena memiliki
perasaan akhirnya manusia bisa menciptakan kebudayaan. Budaya atau
kebudayaan sendiri memiliki banyak sekali pengertian namun secara umum
budaya dapat diartikan sebagai akal dan budi manusia, termasuk hal-hal yang
mengatur cara hidup manusia baik saat bertindak, berpikir, berperilaku dan saat
menentukan sikap kepada orang lain. di Indonesia sendiri terdapat banyak sekali
kebudayaan atau dapat dikatakan Indonesia merupakan negara majemuk atau
bersifat heterogen. Indonesia memiliki berbagai macam suku bangsa, budaya,
bahasa dan adat istiadat.
1
2
Budaya atau Tradisi yang lahir dari dalam masyarakat dimana memiliki
fungsi sebagai perekat dan penjaga tatanan kehidupan sosial agar masyarakat
dapat bertahan. Begitupun sebaliknya agar kebudayaan dapat bertahan, maka
individu-individu dan masyarakat yang melahirkan serta memiliki kebudayaan
tersebut cenderung mempertahankannya sehingga kebudayaan tersebut menjadi
sebuah tradisi. Sebab itulah yang menjadi ciri khas masyarakat yang melahirkan
kebudayaan untuk saling melengkapi.
Membangun kebudayaan bukan sekedar menggali segenap nilai-nilai
budaya lokal yang tumbuh di tengah masyarakat dan mendinamisasikannya dalam
konteks sekarang, tetapi kemampuan untuk menyerap dan mengapresiasi budaya
asing yang positif perlu ditumbuhkan agar tidak terasing dari pergumulan
berbagai macam budaya yang dapat memperkaya pengetahuan tentang berbagai
macam pemikiran kebudayaan. (Maryaeni. 2005). Metode Penulisan Kebudayaan.
(Cet: I Jakarta: PT. Bumi Aksara), hal. 91 dalam (Iqbal:2019)
Sifat budaya yang berubah-ubah dipengaruhi oleh banyak faktor, selain
karena sifat atau ciri khas dari budaya itu memang bersifat dinamis salah satu hal
yang membuat suatu budaya berubah secara cepat atau lambat adalah karena
adanya globalisasi. Globalisasi ini sendiri membawa banyak dampak, baik dari
segi dampak positifnya seperti makin majunya teknologi, informasi dan
komunikasi sedangkan dampak negatifnya mulai tenggelamnya atau bahkan
hilangnya nilai-nilai budaya lokal karena tergantikan dengan budaya baru.
Mempertahankan sebuah nilai budaya sekaligus mewariskannya di satu sisi
dan di sisi lain gugatan kesadaran kemanusian yang butuh akan perubahan,
3
pengembangan dan pembentukan budaya serta pemaknaannya ditengah dinamika
perkembangan masyarakat, menjadikan Mandar sebagai salah satu suku yang
terbesar di Sulawesi Barat, pewarisan budaya serta nilai-nilai yang dimiliki
didalam budaya Mandar memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan
daerah tersebut (Ma'lum Rasyid, 2016)
Tradisi adalah kebiasaan yang telah tumbuh dan menjadi identitas diri suatu
aktivitas sosial komunitas masyarakat yang mengandung unsur religi. Karena itu,
tradisi masyarakat sangat dipengaruhi lingkungan sosialnya, budaya dan agama.
Bahkan agama sangat menentukan tatanan tradisi masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, agama sangat berperan dalam lahirnya sebuah kebiasaan
di masyarakat karena itu dapat mempengaruhi nilai-nilai yang ada dalam
kebiasaan tersebut sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai sebuah
kepercayaan.
Tradisi masyarakat demikian banyak dipelihara dan berkembang dalam
suatu masyarakat. Goenawan Monoharto, dkk. Seni Tradisional (Lamacca
Press,2005) dalam (S. Sumarni:2017) “tradisi adalah kebiasan yang telah tumbuh
dan menjadi identitas diri suatu aktivitas sosial komunitas masyarakat yang
mengandung unsur religi” Karena itu, tradisi masyarakat sangat dipengaruhi
lingkungan sosialnya, budaya dan agama.
Suku Mandar adalah sebuah suku yang menempati wilayah Sulawesi Barat,
Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara tujuh kerajaan di pesisir (Pitu
Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu). Keempat
belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu
4
bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang
Batu dai Luyo.
Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di indonesia suku mandar
juga memiliki nilai-nilai (Sipa’Mandar) tradisi-tradisi atau perayaan perayaan
yang boleh di katakan unik yang dimana menjadi ciri khas dari suku mandar Suku
Mandar. Sebagai kelompok masyarakat yang sejak dulu banyak melahirkan
berbagai ragam budaya yang merupakan kekayaan lokal masyarakat.
Kebudayaan yang dilahirkannya bermacam-macam , mulai dari kebudayaan
yang bersifat abstrak seperti: sistem keyakinan, norma-norma masyarakat, sistem
nilai, adat istiadat dan filsafah kemandaran. Selain melahirkan kebudayaan yang
bersifat abstrak juga melahirkan kebudayaan yang bersifat kongkrit atau dapat
diamati, seperti ritual-ritual, alat-alat musik, seni arsitektur, puisi dan bahasa
diantaranya Sayyang Pattu'du (Kuda Menari), Sandeq (Perahu Cadik Mandar),
Upacara adat suku Mandar, yaitu Mappandoe' sasi (Bermandi Laut), Mattera’
Boyang (Upacara Masuk Rumah Baru) dan masih banyak yang lain yang mungkin
penulis tidak bisa menyebutkan semua satu persatu.
Budaya masyarakat Mandar menarik di bahas selain untuk memperkenalkan
suku mandar. dalam upacara-upacara adat suku mandar menarik juga untuk di
ketahui baik dari segi nilai-nilai yang terkandung hingga makna simbol dari setiap
upacara adat. Ini alasan utama peneliti mengangkat tentang kearifan lokal suku
mandar. Dalam hal ini Penelitian berfokus pada upacara Mattera’ Boyang.
Mattera’ berasal dari kata tera’ atau cera’ yang berarti darah maka dalam upacara
ini dilakukan pemotongan ayam, sedangkan boyang berarti rumah dalam bahasa
5
mandar. Mattera’ Boyang yang berarti upacara yang dilakukan masyarakat
mandar ketika ingin masuk atau menempati rumah baru, yang dimana bentuk rasa
syukur atas rezeki yang di berikan dan agar terhindar dari roh-roh jahat. maka dari
itu, peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian “Makna tradisis mattera’
boyang bagi suku mandar (Studi Kasus di Kelurahan Pangaaliali, Kecamatan
Banggae, Kabupaten Majene)”
Tradisi Mattera Boyang ini merupakan upacara yang dilakukan ketika
masyarakat mandar ingin memasuki rumah baru. Mattera’ Boyang wajib bagi
keluarga bangsawan yang ada di suku mandar sedangkan masyarakat biasa,
dibilang wajib tidak juga karena ada sebagian masyarakat yang mungkin tidak
mampu melaksanakan tradisi ini karena dari segi finansialnya kurang dan dimana
dalam tradisi mattera’ boyang ini juga tidak boleh menggunakan uang pinjaman
(utang). Tradisi ini juga tidak memiliki aturan waktu kapan tepatnya dilaksanakan
tradisi ini meskipun rumah baru itu sudah di tempati pemiliknya tidak masalah
bahkan sampai bertahun-tahun selama tidak ada perayaan atau acara yang
dilakukan dirumah itu misalnya pernikahan, jika pemilik rumah hendak
melaksanakan acara atau perayaan dirumah itu sebaiknya menuntaskan atau
menyelesaikan dulu mattera’ boyangnya sebelum bisa di tempati untuk acara atau
perayaan.
Masyarakat mandar juga masih sangat memegang erat tradisi mattera’
boyang ini dalam artian masyarakat sendiri juga merasa tidak nyaman ketika
memasuki rumah baru lantas belum di tera (mattera’ Boyang) dan masyarakat
juga pastinya mengusahakan untuk secepatnya melaksanakan tradisi ini.
6
Pada masa sekarang banyak masyarakat yang kurang memahami apa yang
menjadi makna dan nilai dari tradisi mattera’ boyang karena kurangnya
pemahaman masyarakat tentang tradisi mattera’ boyang itu sendiri. Peneliti ini
bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat mandar khususnya
masyarakat yang kurang memahami tentang makna dan nilai mattera’ boyang
dimana agar lebih bisa memahami nilai dan makna mattera’ boyang sebagai
bentuk kepedulian terhadap budayanya agar dapat di jaga dan dilestrikan.
Gambaran tentang Kecamatan Banggae adalah salah satu kecamatan dari 8
kecamatan yang ada di Kabupaten Majene. Kecamatan Banggae berbatasan
dengan Kecamatan Pamboang disebelah utara dan Barat Kabupaten Polewali
Mandar sebelah timur, Batas sebelah selatan masing-masing Teluk Mandar dan
Selat Makassar. Kecamatan Banggae dan Kecamatan Banggae Timur merupakan
kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil di antara kecamatan-kecamatan
lain yang ada di Kabupaten Majene.
Kecamatan Banggae dan Kecamatan Banggae Timur merupakan wilayah
yang relatif lebih datar sementara wilayah kecamatan lainnya lebih dominan
berupa wilayah berbukit dan pegunungan. Yang dimana masyarakat Kecamatan
Banggae maupun Banggae Timur Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai
Nelayan.
Dalam Tradisi Mattera’ Boyang ritual yang dilakukan adalah barazanji yaitu
cara penyajian orang-orang dulu dan itu tidak bisa dihilangkan, Tausyah dan
istilah barakkaq. Barakkaq secara harfiah berarti berkah, diserap dari bahasa arab
7
barakah dapat dimaknai sebagai perwujudan simbol-simbol ke Islaman yang
ditancapkan pada wujud tradisi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalahnya
sebagai berikut:
1. Bagaimana Makna Tradisi Mattera’ Boyang di Kelurahan Pangaliali
Kecamatan Banggae Kabupaten Majene?
2. Bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Mattera’ Boyang di
Kelurahan Pangaliali Kecamatan Banggae Kabupaten Majene?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Mengetahui Makna Tradisi Mattera’ Boyang di Kelurahan Pangaliali,
Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene.
2. Mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Mattera’ Boyang di
Kelurahan Pangaliali Kecamatan Banggae Kabupaten Majene.
D. Manfaat Penelitian
Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
berikut:
1. Teoritis
Penelitian bertujuan untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan,
dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudaya yang ada di Indonsesia
8
khususnya kebudayaan suku mandar dimana peneliti berharap dari penelitian
ini membuka kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebudaya dari
nenek moyang agar terus di lestarikan dan di jaga. Selain itu diharapkan
penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi bagi para peneliti-peneliti
selanjutnya dengan tema sejenis.
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan informasi bagi pembaca,
masyarakat dan bahan masukan bagi pemerintah setempat terkait Tentang
Tradisi Mandar itu sendiri sehingga dapat di jaga keberadaanya dan terus
dilestarikan sebagai ciri kebudayaan Mandar di kabupaten Majene
E. Defenisi Operasional
Kata “Tradisi” adalah kebiasaan yang dilakukan masyarakat tertentu yang
di warisakan turun temurun yang di jaga dan masih di pertahankan dalam suatu
Masyarakat yang biasanya manjadi ciri dari masyarakat tersebut, baik berupa
upacara dan lain sebagainya
Kata “Mattera’ Boyang” bermakna Upacara adat yang dilakukan pemilik
rumah baru yang biasanya di pimping oleh kepala adat, orang yang tuakan
maupun Imam masjid yang ada di tempat tinggalnya
Kata “Suku Mandar” yakni suku yang ada di Sulawesi Barat, yang
mencakup mulai dari paku (polman) sampai suremana (mamuju) yang di mana
masyarakatnya menggunakan bahasa mandar dan Mayoritas penduduknya
berprofesi petani dan nelayan. Masyarakat mandar terkenal dengan perahu sandeq
atau perahul tradiosional mandar.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Konsep
1. Tradisi
Kearifan lokal (local wisdom) terdiri atas dua kata, yaitu kearifan (wisdom)
dan lokal (local). Kata “kearifan” (wisdom) berarti kebijaksanaan, sedangkan
“lokal” berarti setempat. Dengan demikian, kearifan lokal atau kearifan setempat
dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang
dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya.
Tradisi atau kebiasaan (Latin: traditio, "diteruskan") adalah sesuatu yang
telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau
agama yang sama. Tradisi lebih berorientasi kepada kepercayaan dan kegiatan
ritual yang berkembang dan mengakar dimasyarakat menjadi sebuah
kebudayaan. Kebudayaan dapat diartikan sebagai maknawi yang dimiliki suatu
masyarakat tentang dunianya. Berkat kebudayaan, warga suatu masyarakat dapat
memandang lingkungan hidupnya dengan bermakna.
Menurut Balitbangsos Depsos RI dalam ( Nazifah,Hayatin:2018),“kerifan
lokal itu merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang
tercermin dalam sikap, prilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di
dalam pengembangan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial)
9
10
yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan kearah
yang lebih baik”.
2. Mattera’ Boyang
Salah satu tradisinya adalah Mattera’ Boyang (upacara memasuki rumah
baru), salah satu kebiasaan selama ini yang diterapkan oleh orang-orang dulu
hingga sampai sekarang, dan kebiasaan seperti ini tidak bisa dihilangkan begitu
saja karena mengingat seperti inilah yang membuat masyarakat mandar makin
mempererat tali silaturahmi melalui budaya Mattera’ Boyang. Tidak lain dari
pada itu budaya Mattera’ Boyang juga mengajari warga setempat untuk selalu
menjaga kekompakan dalam sebuah akuntabilitas demi mewujudkan majemuk
melalui budaya.
Memiliki nilai-nilai dalam setiap prosesnya serta memiliki makna yang
mendalam bagi masyarakat mandar, tradisi mattera’ boyang merupakan tradisi
yang sakral karena membahas tentang hubungan manusia terhadap tuhannya
yang memberikan rezeki dan ini merupakan bentuk rasa syukur atas rezeki yang
diberikan, serta agar terhindar dari roh-roh jahat yang bisa saja mengganggu
keluarga yang akan menempati rumah baru tersebut.
3. Suku Mandar
Suku Mandar merupakan suku bangsa yang masyarakatnya menempati
wilayah provinsi sulawesi barat walaupun tidak menutup kemungkin kita bisa
menjumpai masyarakat uku mandar diluar dari wilayah sulawesi barat sebagai
kelompok masyarakat yang sejak dulu banyak melahirkan berbagai ragam
budaya yang merupakan kekayaan lokal masyarakat.
11
Kebudayaan yang dilahirkannya bermacam-macam, mulai dari
kebudayaan yang bersifat abstrak seperti : sistem keyakinan, norma-norma
masyarakat, sistem nilai, adat istiadat dan filsafah kemandaran.
Selain melahirkan kebudayaan yang bersifat abstrak juga melahirkan
kebudayaan yang bersifat kongkrit atau dapat diamati, seperti ritual-ritual, alat-
alat musik, seni arsitektur, puisi dan bahasa mandar yang dikenal dengan
kalinda’da dan lain-lain.
Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai –nilai kebudayaan,
norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan disuatu
daerah oleh suatu komuitas. Secara leksikal adat/tradisi atau kebiasaan, dalam
pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan dahulu
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Lazimnya dari
suatu masyarakat, kebuayaan, negara atau agama yang sama. Hal yang paling
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke
generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa demikian suatu
tradisi dapat punah.
B. Kajian Teori
Tradis dalam masyarakat dapat dikatakan sebagai nilai dan norma budaya
yang berlaku dalam menata kehidupan masyarakat. Nilai dan norma yang diyakini
kebenarannya menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari dalam masyarakat.
Peneliti ini menggunakan teori Interaksionisme Simbolik yang dimana
peneliti mampu mengungkap makna dan nilai-nilai dari tradisi mattera’ boyang,
Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer.
12
Herbert Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksi simbolik,
yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought).
Menurut Craib, asumsi teori interaksi simbolik Blumer adalah sebagai berikut.
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada
pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan
orang lain.
3. Makna tersebut disempurnakan di saat prosesu interaksi sosial berlangsung.
Sesuatu ini tidak mempunyai makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih
merupakan produk interaksi simbolis. Bagi Blumer, “sesuatu” itu bisa berupa
fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun
nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Menurut Blumer, sebelum
memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian
kegiatan olah mental, seperti: memilih, memeriksa, mengelompokkan,
membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya
dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Pemberian makna tidak didasarkan
pada makna, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah
mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya,
yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu
tersebut.
Tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar”, tidak pula
disebabkan oleh “kekuatan dalam”, tetapi didasarkan pada pemaknaan atas
sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut sebagai self-
13
indication. Proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu
yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan
memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian,
proses self-indication terjadi dalam konteks sosial di mana individu
mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya
sesuai dengan pemaknaan atas tindakan itu.
Blumer mengatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan
simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang
lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons
(Kamanto, 2000: 185). Makna dari simbol-simbol merupakan hasil dari interaksi
sosial dalam masyarakat. Individu dan masyarakat merupakan aktor dalam
interaksi simbolik yang tidak dapat dipisahkan. Tindakan individu tidak
ditentukan oleh individu itu sendiri, juga tidak ditentukan oleh masyarakat, namun
oleh pengaruh keduanya. Dengan kata lain, tindakan seseorang adalah hasil dari
“internal dan eksternal stimulasi” (Sarmini, 2002: 53).
C. Kerangka Pikir
Ritual merupakan hal ikhwal ritus atau tata cara dalam upacara keagamaan
yang dilakukan oleh masyarakat yang dimana memiliki makna baik bagi
masyarakat yang dimana menjadi ciri dari masyarakat
Upacara atau ceremony adalah sistem atau rangkaian tindakan yang di tata
oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan
berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1990) dalam (Iqbal:2019:14)
14
Ritual adat, setiap budaya berbeda-beda jadi perlu adanya pendalaman
dalam berbagai aspek untuk menjelaskan suatu fenomena dengan sedalam-
dalamnya dengan cara pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula, yang
menunjukkan pentingnya kedalaman dan detail suatu data yang diteliti.
Penelitian ini menggunakan kerangka pikir sebagai berikut:
Bagan 2.1 kerangka pikir
Nilai-Nilai Tradisi
Mattera’ Boyang
a. Kepercayaan
b. Kebersamaan dan
Tolong Menolong
c. Aset Budaya
Makna Tradisi
Mattera’ Boyang
1. Bentuk Rasa
Syukur
2. Tolak Bala
Ritual Mattera’
Boyang
Teori Interaksionisme
Simbolik
15
D. Penelitian Relevan
Penelitian yang mengkaji tentang seputar kearifan lokal ataupun tradisi yang
ada di masyarakat suku mandar telah dilakukan oleh beberapa peneliti
sebelumnya antara lain :
1. (Ananda Hayatin Nazifah : 2018) Nilai Kearifan Lokal Dalam Upacara Adat
Turun Belang Pada Masyarakat Melayu Tamiang
Hasil penelitian yang diperoleh di lapangan menunjukkuan bahwa
terdapat sepuluh tahapan upacara adat turun belang pada masyarakat Melayu
Tamiang khususnya desa Muka Sei Kuruk dan terdapat lima belas nilai
kearifan lokal. Pengkajian nilai kearifan lokal ini bertujuan sabagai upaya
dalam pelestarian warisan budaya melayu yang sudah mengalami pergeseran
budaya dikarenakan pengaruh budaya asing dan dimana kurangnya kesadaran
masyarakat khususnya anak muda yang seharusnya menjadi penerus yang
nantinya menjaga dan melestarikan upacara ini agar tidak hilang dalam
masyarakat.
Persamaan dari penelitian yang ingin peneliti teliti yakni sama dalam
pendekatan, metode penelitian dan juga sama-sama membahas tentang kearifan
lokal suatu budaya dalam masyarakat baik dari keunikannya, proses dan makna
dari budaya itu sendiri dan yang menjadi pembeda dengan penelitian ini yakni
berbeda budaya yang diteliti dan tempat penelitian yang berbeda serta teori
yang digunakan sebagai alat dalam menganalisis hasil penelitian yang akan
membantu peneliti dalam menyelesaikan tulisan ini
16
2. (Sapri : 2016) Kearifan Lokal Adat Sampulo Rua Buluttana Kecamatan
Tinggimoncong Kabupaten Gowa (Suatu Tinjauan Teologis)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Adat Sampulo Rua adalah adat
yang dilakukan oleh 12 pemangku adat. Wujud Adat Sampulo Rua merupakan
sebuah perlindungan untuk semua masyarakat muslim Buluttana.
Persamaan dari penelitian yang ingin peneliti teliti yakni membahas
tentang kearifan lokal suatu tempat yakni berupah budaya dan perbedaan
dengan penelitian yang ingin peneliti lakukan yakni berbeda dalam metode
maupun pendekatannya
3. (Sumarni.S : 2017) Pengembangan Dakwah Islamiyah Melalui Budaya
Mappake’de Boyang Di Suku Mandar (Studi Dakwah Pada Masyarakat Tubbi
Taramanu Kabupaten Polman)
Hasil penelitian ini menggambarkan tentang potret Pegembangan dakwah
Islamiyah melalui Budaya mappake’de boyang di Suku Mandar. Pada suatu
budaya yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat dan pelaksanaan
budaya mappake’de boyang mengandung ajaran Islam sehingga masyarakat
dapat suatu pemahaman yang lebih dalam mengenal Agama Islam.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan yakni
sama-sama membahas boyang (rumah) keduanya membahas tentang tradisi
yang berkaitan dengan rumah baru dan yang menjadi pembeda disini yakni
penilitian ini berfokus pada Mappake’de Boyang (Proses Mendirikan Rumah)
sedangkan penelitian yang peneliti telitih yakni Mattera’ Boyang atau upacara
17
memasuki rumah baru, Tujuan penelitiannya yakni mengungkap makna dan
nilai-nilai yang ada dalam tradisi Mattera’ Boyang yang ada di Suku Mandar.
4. (Isna Arliana Goncing : 2017) Tradisi Makkuliwa Lopi Dalam Masyarakat
Mandar Majene (Tinjauan Filosofis)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, tradisi nelayan seperti
makkuliwa lopi oleh masyarakat Mandar Majene memiliki maksud dan tujuan
yaitu syukuran atas perahu baru dan permohonan doa keselamatan serta berkah
bagi perahu. Pelaksanaan tradisi ini dapat berlangsung kapan saja tetapi waktu
dan pelaksanaannya tetap memperhitungkan waktu dan hari yang dianggap
baik. Pelaku tradisi adalah pemilik perahu, imam setempat, tukang perahu dan
sawi (nahkoda) perahu.
Persamaan yang jelas disini yakni lokasi penelitian dan sama-sama
berbicara tentang ritual dalam suatu tradisi mandar namun penelitian ini
membahas tentang tradisi makkuliwa lopi hamper sama prosesnya dengan
mattera’ boyang merupakan bentuk rasa syukur atas rezeki yang iberikan
namun berbeda medianya yang satu tentang kapal atau perahu baru yang satu
tentang rumah baru.
5. (Iqbal : 2019) Totammaq : Kajian Kearifan Lokal Budaya Mandar Di Desa
Pambusuang Kecamatan Balanipa
Dalam perkembangan sebagai alat transportasi, kuda juga sebagai simbol
penghargaan bagi totammaq dimana setiap orang yang sudah tammat atau
mengkhatamkan Al-Qur’an diarak keliling kampung menggunakan kuda, saat
18
ini tradisi totammaq merupakan hal yang dilakukan masyarakat sebagai sesuatu
yang sakral.
Persamaan dari penelitian yang peneliti lakukan yakni membahas tentang
budaya yang ada disuku mandar yang dimana menjadi fokus penelitian tentang
budaya totammaq yakni salah satu budaya yang ada di mandar dan masih
dilestarikan sampai sekarang sedangkan yang menjadi pembeda dalam
penelitian yang peneliti lakukan yakni berbeda dalam fokus penelitian yakni
penelitian yang peneliti lakukan membahas tentang tradisi mattera boyang
salah satu budaya yang mandar tentang upacara ketika memasuki rumah baru.
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Kualitatif pendekatan studi kasus
Metode penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan untuk
menggambarkan suatu kejadian atau fenomena yang terjadi oleh sebuah subjek
penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistic dan dengan
cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan suatu konteks yang
alamiah” (Moleong, 2011).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkap makna
tentang bagaimana fenomena atau kearifan lokal yang ada di suku mandar yang
dimana sudah manjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang dan terus di jaga
sampai sekarang salah satunya Mattera’ Boyang sesuai dengan judul penelitian ini
dan ini merupakan salah satu dari banyaknya tradisi dan nilai-nilai yang ada di
suku mandar.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini yakni masyarakat suku mandar yang berada di
kelurahan pangaliali, kecamatan banggae, kabupaten majene, provinsi sulawesi
barat. Waktu penelitian, waktu penelitian yang dilakukan peneliti yakni terhitung
dari keluarnya surat izin meneliti dalam kurung waktu 2 bulan yang disetujui
langsung Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP kabupaten majene.
19
20
C. Informan Penelitian
Informan merupakan unsur terpenting dalam sebuah penelitian yang
berfungsi memberikan data dan informasi kepada peneliti terkait suatu masalah
yang diteliti. Penentuan informan dalam penelitian ini ditetapkan secara sengaja
berdasarkan atas kriteria :
1. Informan kunci
a. Kepala Tukang / Sando Boyang (Dukun Rumah)
b. Toko Agama
2. Informan Utama
a. Masyarakat Lingkungan Tanangan (Kel. Pangaliali)
Mengambil narasumber 5 orang
3. Informan Pendukung
a. Kepala Lingkungan Tanangan (Kel. Pangaliali)
Alasan mengapa mengambil informan dengan kriteria tersebut adalah
untuk mendapatkan informasi yang tepat, sebenar-benarnya, dan keseluruhan.
Sehingga dapat menjawab tentang pertanyaan penelitian mengenai makna ritual
mattera’ boyang di suku mandar khususnya kelurahan Pangaliali, kecamatan
banggae, kabupaten majene.
D. Fokus Penelitian
Adapun hal yang menjadi titik fokus peneliti dalam melakukan penelitian
ini yakni mengungkap makna tradisi Mattera’ Boyang bagi suku mandar di
Kelurahan Pangaliali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene. Serta nilai-nilai
yang terkandung didalam tradisi Mattera Boyang itu sendiri.
21
E. Instrumen Penelitian
Pada penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat peneliti adalah
peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus
divalidasi seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang
selanjutnya terjun kelapangan.
Peneliti kualitatif sebagai human intrument, berfungsi menetapkan fokus
penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan (Sugiono, 2010:
305-306).
Adapun instrumen dalam penelitian ini:
1. Lembar observasi, yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang
dibutuhkan dengan cara mengamati baik perilaku, proses dalam tradisi
mattea’ boyang.
2. Pedoman wawancara, dengan membawa beberapa pertanyaan atau
pedoman wawancara yang dibuat sebelumnya agar lebih terstruktur dan
mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
3. Membawa alat perekam dan penangkap gambar, perekam agar tidak ada
hasil wawancara yang terlewatkan ketika menyusun penelitian dan
penangkap gambar sebagai bukti atau dokumentasi atas penelitian yang
sudah dilakukan.
4. Peneliti itu sendiri, yang nantinya menganalisis dan menafsirkan dari
apa yang dilihat dan dirasakan di tempat penelitian baik hasil wawancara
maupun hasil pengamatan.
22
F. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan
sekunder.
1. Data primer, peneliti mendapatkan sumber data langsung dari informan
yang ada dilapangan, baik informan kunci yakni sando boyang (dukun
rumah) dan tokoh agama (imam masjid) yang lebih paham tentang
tradisi mattera’ boyang, serta informan utama dimana mewawancarai
beberapa masyarakat mandar yang ada dilokasi penelitian dan
mengambil 5 orang masyarakat untuk diwawancarai sebagai pelaku
dalam tradisi mattera’ boyang dan informan pendukung yakni kepala
lingkungan tanangan.
2. Data sekunder, peneliti mendapatkan dari hasil bacaan buku yang ada di
perpustakaan daerah kabupaten majene dan beberapa buku milik pribadi
peneliti, telaah dari beberapa jurnal dan skripsi sebagai penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian yang peneliti lakukan serta
beberapa informasi dari media sosial baik google dan alat media sosial
lainnya.
G. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, keterangan-keterangan serta informasi yang
didapatkan dari informan maupun sumber-sumber lainnya perlu menggunakan
teknik dalam mengumpulkan data, adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
23
1. Observasi
Observasi langkah yang ditempuh peneliti untuk mendapatkan
gambaran konkrit dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara
langsung terhadap tradisi mattera’ boyang. Observasi yang sempat
dilakukan peneliti yakni ikut dalam tradisi mattera’ boyang disalah satu
rumah masyarakat mandar yang ada di lingkungan tanangan, kelurahan
pangaliali, dimana peneliti sempat mengambil gambar dalam proses
mattera’ boyang dan sempat mewawancarai pemilik rumah pada saat itu.
Ikut dalam mattera’ boyang mampu membantu peneliti untuk dapat
lebih memahami hal yang ingin diteliti baik makna dan nilai dalam
upacara tersebut. Karena gambaran langsung di lapangan akan sangat
membantu peneliti untuk merumuskan penelitiannya sehingga tujuan
penelitian dapat tercapai.
2. Wawancara
Teknik wawancara dengan melakukan tanya jawab langsung
kepada informan yang berdasarkan pada tujuan penelitian. Yang dimana
untuk mengetahui Makna Tradisi Mattera’ Boyang itu sendiri dan nilai-
nilai yang terkandung didalamnya, dalam wawancara yang sempat
dilakukan peneliti yang dimana mewawancarai informan kunci yakni
sando boyang di kediamannya, memberikan beberapa pertanyaan seputar
mattera’ boyang secara mendalam dimana peneliti berharap dari
informan kunci dapat menggali informasi sebanyak-banyaknya baik dari
makna serta nilai-nilai yang terkandung dari setiap proses didalam
24
mattera’ boyang, selanjutnya peneliti juga mewawancarai pemilik rumah
memberikan pertanyaan sebagai informan utama dipenelitian ini dan tak
lupa pula mewawancarai kepala lingkungan sebagai informan
pendukung.
Informan-informan yang sudah ditentukan sebelumnya
memberikan jawaban yang hampir sama tidak ada perbedaan pendapat
jadi tidak menyulitkan peneliti untuk menyimpulkan hasil wawancara
dari para informan. Wawancara ini dilakukan beberapa kali dari para
informan sesuai dengan keperluan penelitian yang berkaitan dengan
kejelasan dan kemantapan masalah yang dijelajahi.
3. Dokumentasi
Dokumentasi, yakni mengumpulkan data dengan dokumen sebagai
sumber data yang diperoleh dari buku-buku yang berkaitan dengan
penelitian seperti buku tentang budaya mandar, serta beberapa penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian yang dilakukan baik berupa
jurnal maupun skripsi.
Di mana sangat membantu peneliti untuk lebih memahami objek
penelitiannya sebelum melakukan penelitian maupun setelah penelitian
dan sangat membantu dalam penyusunan hasil penelitian.
H. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara deskriptif
kualitatif, yaitu dengan metode menyusun data yang diperoleh kemudian di
interpretasikan dan di analisis sehingga memberikan informasi tentang fokus
25
masalah yang diteliti. Secara lebih rinci, tahapan yang dilakukan oleh peneliti
dalam menganalisa penelitian kualitatif :
1. Mengorganisasikan Data
Pada fase ini, data yang diperoleh peneliti dengan menggunakan
berbagai teknik khususnya dari hasil wawancara mendalam yang
dituliskan atau direkam oleh peneliti, kemudian dibuat transkipnya
dengan mengubah data berupa rekaman menjadi data yang tertera dalam
bentuk uraian tertulis.
2. Pengelompokan Data
Pengelompokan data merupakan tahap yang membutuhkan
pengertian yang mendalam terhadap data, perhatian yang penuh dan
keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul diluar apa yang ingin digali
berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun
sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam
menyusun penelitian.
Dengan pedoman ini, akan mempermudah peneliti untuk menyusun
penelitian karena dapat membaca kembali transkrip wawancara dan
melihat data kembali, pemilihan data yang relevan dengan pokok
pembicaraan dimana data-data dikelompokkan dan dikategorikan
berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat.
Uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tahap ini semua data yang
diperoleh peneliti dilapangan melalui beberapa teknik pengumpulan data
yang digunkan, dikelompokkan berdasarkan tipe yang dibutuhkan oleh
26
peneliti. Hal ini ditempuh untuk menentukan apakah data yang telah
didapatkan bisa menjawab rumusan masalah atau justru sebaliknya tidak
mampu menjawab rumusan masalah, sehingga tahap ini menjadi bagian
penting dalam analisis data.
3. Menguji Asumsi yang Ada Terhadap Data
Melalui fase yang telah dilakukan sebelumnya, secara tidak
langsung data telah tergambar dengan jelas. Apabila terjadi hal yang
demikian, peneliti perlu melakukan fase lanjutan yakni menguji data
terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Menguji data
yang dimaksud dalam fase ini tidaklah seperti pengujian data secara
statistik yang sering digunakan dalam metode penelitian kuantitatif,
namun pada tahap ini, kategori yang telah didapat melalui analisis
ditinjau kembali berdasarkan tinjauan teori yang digunakan, sehingga
dapat diuji apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil
yang diperoleh.
Oleh karena itu, pada tahap ini peneliti perlu melihat dari data yang
dikelompokkan, apakah data tersebut sesuai dengan asumsi yang
dikembangkan oleh peneliti tentang masalah yang diteliti itu sesuai atau
tidak dengan temuan di lapangan.
4. Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data
Pada fase ini, peneliti melakukan penjelasan terkait data yang telah
diperoleh. Tak hanya itu, peneliti juga mencari alternatif penjelasan lain
karena bisa saja ditemukan adanya hal baru yang berbeda dengan
27
kesimpulan awal yang didapatkan atau menyimpan dari asumsi semula
dikembangkan peneliti dan tidak pernah terfikirkan sebelumnya. Tahap
penjelasan ini dibantu dengan berbagai referensi teoritis untuk
memudahkan peneliti dalam menarik sebuah kesimpulan penelitian.
5. Menuliskan Hasil Penelitian
Tahap ini merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian analisis
data. Pada tahap ini, peneliti mulai menuliskan hasil penelitian yang
didapatkan dilapangan untuk mengantarkan peneliti dalam merumuskan
sebuah kesimpulan penelitian.
I. Teknik Keabsahan Data
Data dalam penelitian kualitatif agar dapat dipertanggung jawabkan sebagai
penelitian yang ilmiah perlu dilakukan uji keabsahan data. Moleong Lexi J,
Metodologi Penelitian Kualitatif (2006:327) Teknik yang digunakan dalam
pemeriksaan keabsahan data dapat dilakukan dengan cara, yaitu sebagai berikut:
1. Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan dimaksudkan untuk menemukan ciri dan
unsur-unsur yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci dan peneliti dapat
memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang
diamati.
2. Triangulasi
Triangulasi sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan
berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi
28
sumber, triangulasi teknik pengumpulan data dan waktu. Triangulasi
dilakukan dengan menggunakan sumber, metode dan teori. (1).
Triangulasi sumber dengan cara membandingkan data yang diperoleh
oleh seorang informan dengan informan lainnya. (2). Triangulasi metode
dilakukan dengan pengumpulan data yang beredar seperti studi pustaka,
wawancara dan dokumentasi penelitian dikumpulkan dan kemudian
dianalisis. Mulai latar belakang, pengorganisasian, dan pelaksanaan. (3).
Triangulasi teori adalah pengecekan data dengan membandingkan toeri-
teori yang dihasilkan para ahli yang dianggap sesuai atau sepadan
melalui penjelasan banding.
3. Kecukupan Referensi
Pendukung untuk membuktikan data yang telah ditentukan oleh
peneliti contohnya, data dari hasil wawancara perlu didukung dengan
adanya foto dan gambar wawancara.
Data tentang hasil observasi dalam penelitian juga harus jelas,
ketika melakukan observasi jangan lupa untuk menambil gambar karena
interaksi manusia atau gambaran suatu keadaan perlu didukung oleh foto-
foto, alat bantu perekam data dalam penelitian deskriptif kualitatif sangat
diperlukan untuk mendukung kepercayaan data yang telah ditemukan
oleh peneliti serta kutipan-kutipan yang ada dalam penelitian harus jelas
sumbernya baik judul buku, penerbit, nama penulis, tahun
diterbitakannya dan lain sebagainya semuanya harus jelas didalam daftar
pustaka.
29
4. Kepastian
Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang
dilakukan dengan cara mengecek data dan informasi serta interpretasi
hasil penelitian yang didukung oleh materi-materi serta teori-teori yang
yang berkaitan dengan penelitian.
J. Etika Penelitian
Etika penelitian merupakan standar tata perilaku peneliti selama melakukan
penelitian, mulai dari menyusun desain penelitian, mengumpulkan data lapangan
menyusun laporan penelitian hingga mempublikasikan hasil penelitian, misalnya :
1. menginformasikan tujuan penelitian kepada informan
2. meminta persetujuan informan (informant consent)
3. menjaga kerahasiaan informan, jika penelitiannya dianggap sensitif
4. meminta izin informan jika ingin melakukan perekaman wawancara, atau
mengambil gambar informan
30
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Lokasi Penelitian
Kelurahan Pangaliali merupakan satu di antara kelurahan di Kecamatan
Banggae, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Kabupaten Majene istilah
Majene yang dalam sejarahnya yang diungkapkan oleh cerita dari mulut ke mulut
serta dokumentasi tertulis tentang sejarah mandar, ada tujuh kerajaan Mandar
pesisir dan tujuh kerajaan pedalaman Mandar. Kerajaan pesisir termasuk Balanipa
(sekarang dikenal sebagai Tinambung), Sendana, Bangai (sekarang dikenal
sebagai Majene) Pamboang, Tapalan, Mamuju dan Binuang (sekarang dikenal
sebagai Polewali) serta tujuh kerajaan pedalaman termasuk Rantebulahan, Mambi,
Arale, Tabulahan, Taban, Bambang, dan Matanga.
Tiga kerajaan yang menduduki daerah Majene saat ini adalah Bangai,
Pamboang (meliputi sub-kerajaan Malunda), dan Sendana. Perdamaian
dipertahankan di antara tujuh kerajaan pesisir oleh perjanjian "Pitu Ba'ba
binanga", yang pada dasarnya menyatakan bahwa kerajaan memiliki lebih banyak
keuntungan dengan hidup damai berdampingan satu sama lain daripada dengan
berperang untuk mendapatkan keuntungan yang tidak disengaja di
wilayah. Kerajaan pedalaman juga memiliki perjanjian yang dikenal sebagai "Pitu
Uluna Salu", yang juga mencegah perang di antara mereka sendiri.
(majenekab.go.id)
30
31
B. Letak Geografis
Aspek Geografis sangatlah penting dalam ilmu sejarah ini merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu peristiwa sejarah yang terjadi pada
suatu tempat tertentu. Karena bisa menjadi faktor dan mempengaruhi suatu
masyarakat, seperti bentuk mata pencaharian, keadaan penduduk, watak dan
kepribadian masyarakat.
Secara gografis, Kabupaten Majene terletak pada 20 38’ 45” – 30 38’ 15”
Lintang Selatan dan antara 1180 45’ 00” – 1190 4’ 45” Bujur Timur. Kabupaten
Majene terletak di pesisir barat Pulau Sulawesi, yang berhadapan langsung dengan
Selat Makassar dan Pulau Kalimantan. Sebesar 95% dari total wilayah perairan
Kabupaten Majene masuk dalam alur pelayaran Selat Makassar, yang
menghubungkan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan masuk memanjang dari
Selatan ke Utara.
Jarak Kabupaten Majene ke ibukota Propinsi Sulawesi Barat kurang lebih
146 km. Letak geografis Kabupaten Majene berada dalam jalur lintas barat Pulau
Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi
Tengah. Secara kondisi Geomorfologi Kabupaten Majene berada pada ketinggian
(5 – 1.327) meter dari permukaan laut. Berdasarkan keadaan bentang alamnya
terdiri atas satuan 4 morfologi yaitu : Satuan Morfologi Pegunungan, satuan ini
menempati Pegunungan Manatattuang; Satuan Morfologi Perbukitan terletak di
Daerah Banggae dan Pamboang; Satuan Morfologi Karst menempati daerah
pantai selatan dan utara (Daerah Tubo) dan Satuan Morfologi Pedataran
menempati pesisir pantai barat.
32
Kabupaten Majene dibangun oleh wilayah yang topografinya bervariasi dari
datar sampai berbukit dan bergunung, dengan kemiringan lereng kurang dari 3 %
sampai lebih dari 100 %. Hamparan daerah dengan topografi datar ditemukan di
sepanjang wilayah paralel dengan garis pantai kabupaten ini.
Hamparan wilayah datar terutama ditemukan mulai dari pantai barat
Kecamatan Sendana menuju ke selatan sampai ke Kecamatan
Banggae dan Banggae Timur yang merupakan (Ibukota Kabupaten). Sebagian
besar wilayah Kabupaten Majene dengan kondisi topografi berbukit dan
bergunung hampir merata di semua kecamatan
Klasifikasi ketinggian wilayah Kabupaten Majene dari permukaan air laut
mulai dari 0-25 m sampai diatas 1.000 meter. Berdasarkan kelas ketinggian muka
laut yang tersebar pada umumnya tergolong kelas ketinggian 100-500 meter yakni
38,69% dan ketinggian 500-1000 meter yakni 35,98% dari total keseluruhan
wilayah kabupaten.
Kota Majene sebagai Ibukota Kabupaten Majene terletak antara 20 38’45’’
sampai 30 38’15’’ Lintang Selatan dan 1180 45’00 sampai 1190 45’45’’ Bujur
Timur dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan. Kota Majene berperan
dan berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan serta pusat pelayanan
untuk tingkat Kabupaten Majene.
Wilayah Kota Majene terletak di Kabupaten Majene bagian tengah,
berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai pemekaran tahun 2007 Kota Majene
terbagi 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Banggae dan Banggae Timur, secara
keseluruhan luas wilayah Kota Majene adalah ± 7.608 Ha.
33
Kecamatan Banggae terletak antara 20 38’ 45” - 30 38’ 15” Lintang Selatan
dan antara 1180 45’ 00” - 1190 4’ 45” Bujur Timur. Luas wilayah Kecamatan
Banggae, adalah seluas 25,15 km2. Sampai Akhir tahun 2019, wilayah
administrasi Kecamatan Banggae terdiri dari 8 wilayah Desa/Kelurahan, dengan
luas daratan masing-masing Kelurahan Totoli, yaitu: (4,33 km2), Rangas (2,23
km2), Baru (2,46 km2), Pangali-Ali (4,49 km2), Banggae (2,27 km2), Galung
(2,14 km2), Desa Palipi Soreang (4,12 km2), Serta Pamboborang (3,11 km2)
Berdasarkan elevasi (ketinggian dari permukaan laut), Desa/ Kelurahan dengan
dataran tertinggi di Kecamatan Banggae adalah Desa Pamboborang dengan
ketinggian 0,25 meter di atas permukaan laut sedangkan Desa/ Kelurahan dengan
dataran terendah adalah Kelurahan Rangas dengan ketinggian hanya 0,10 meter di
atas permukaan laut (BPS Kab. Majene: 2020)
Kecamatan Banggae berbatasan dengan Kecamatan Pamboang disebelah
utara dan Barat Kabupaten Polewali Mandar sebelah timur, Batas sebelah selatan
masing-masing Teluk Mandar dan Selat Makassar.
C. Keadaan Penduduk
Penduduk merupakan sumber daya, baik untuk kegiatan berkonsumsi
maupun sebagai sumber tenaga yang juga dapat berpengaruh kepada seluruh
kehidupan, sehingga sering diistilahkan sumber daya manusia (SDM). Keadaan
penduduk (population features) dapat diidentifikasi untuk mengaitkan dengan luas
wilayah dan pemerataan penyebarannya, sedangkan proses penduduk (population
process) lebih menekankan pada perubahan penduduk berdasarkan
jumlah/keadaan/sifat yang berlaku secara berurutan dalam jangka waktu tertentu.
34
Kabupaten Majene terdiri dari 8 kecamatan, 20 kelurahan, dan 62 desa. Pada
tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 166.505 jiwa dengan luas wilayah
947,84 km² dan sebaran penduduk 175 jiwa/km².
Penduduk Kecamatan Banggae berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2019
sebanyak 43.532 jiwa yang terdiri atas 21.506 jiwa penduduk laki-laki dan 22.026
jiwa penduduk perempuan. Sementara itu besarnya angka rasio jenis kelamin
tahun 2019 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 97,64.
Kepadatan penduduk di kecamatan Banggae 2019 mencapai 1,731 jiwa/km2
dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga 4,68 orang. Kepadatan
Penduduk di 8 Desa / Kelurahan cukup beragam dengan kepadatan penduduk
tertinggi terletak di Kelurahan Rangas dengan kepadatan sebesar 3.577 jiwa/km2
dan terendah di Desa Palipi Soreang sebesar 519 jiwa/Km2. Sementara itu jumlah
rumah tangga mengalami pertumbuhan sebesar 9,43 persen dari tahun 2019
(majenekab.go.id).
D. Keadaan Pendidikan
Pendidikan Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu
daerah adalah tersedianya cukup sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Ketersediaan fasilitas pendidikan akan sangat menunjang dalam mengingkatkan
mutu pendidikan. Berikut Tabel memuat data tentang jumlah murid, sekolah dan
tenaga pendidik atau guru dari tingkat taman Sekolah Dasar sampai Sekolah
Menengah Atas dan sederajat. Jumlah murid sekolah terbanyak berada pada
jenjang sekolah dasar sekitar 4.199 orang. Selanjutnya pada jenjang sekolah
menengah pertama sekitar 1.520 orang.
35
Dalam mendukung kehidupan sosial, pendidikan merupakan salah satu
faktor penting untuk menjamin mutu sumber daya manusia (SDM). Tingkat
pendidikan akan mempengaruhi pola pikir, pola tingkah laku dan interaksi sosial
seseorang sebagai bagian dari anggota masyarakat dalam melakukan aktivitas
untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Pendidikan akan secara langsung memberi
sumbangan terhadap keterampilan dan strategi kelangsungan hidup pada
seseorang.
Banyak Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Dasar Menurut Desa/Kelurahan
di Kecamatan Banggae, 2019
Murid Guru
Desa Sekolah Kel
as
Laki-
laki
Perem
puan
Jumlah Laki-
laki
Perem
puan
Jumla
h
Totoli 5 30 349 336 685 16 32 48
Palipi
Soreang
2 12 143 128 271 4 12 16
Rangas 4 33 429 366 795 14 29 43
Baru 3 24 294 282 576 7 26 33
Pamboa
ng
3 18 171 167 338 12 14 26
Pangalia
li
6 41 460 408 868 16 48 64
Banggae 6 47 513 564 1.077 11 55 66
36
Galung 2 12 85 64 149 4 13 17
Jumlah 31 217 2.444 2.315 4.759 84 229 313
Table 4.1 jumlah sekolah di Kecamatan Banggae
Banyak Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Menurut
Desa/Kelurahan di Kecamatan Banggae, 2019
Murid Guru
Desa Sekolah Kela
s
Laki-
laki
Perem
puan
Jumlah Laki-
laki
Perem
puan
Juml
ah
Totoli
Palipi
Soreang
Rangas 1 12 150 247 397 5 22 27
Baru 1 8 101 103 204 4 8 12
Pamboa
ng
Pangalia
li
1 21 209 329 538 13 31 44
Banggae
Galung
Jumlah 3 41 460 679 1.139 22 61 83
Table 4.2 jumlah murid dan guru lanjutan tingkat pertama
37
Banyak Sekolah, Murid dan Guru SMA Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan
Banggae, 2019
Murid Guru
Desa Sekolah Kel
as
Laki-
laki
Perem
puan
Jumlah Laki-
laki
Perem
puan
Jumla
h
Totoli 1 25 469 211 680 24 29 53
Palipi
Soreang
1 3 42 82 124 4 11 15
Rangas
Baru
Pamboa
ng
Pangalia
li
Banggae
Galung
Jumlah 2 28 511 298 804 28 40 68
Table 4.3 jumlah murid dan guru sekolah menengah atas
Dari beberapa table diatas kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan
yang ada di kabupaten majene khususnya di kecamatan banggae bisa dikatakan
sudah sangat bagus dilihat dari banyaknya jumlah siswa dan tenaga pendidik
disetiap sekolah-sekolah yang ada di kecamatan banggae ini serta sarana dan
prasaran yang cukup memadai untuk para siswa.
38
E. Pemerintahan
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan yang menjadi
kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi
masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan,
kependudukan dan sebagainya.
Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang
diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait
dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi
kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan
yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan
daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
yang bersangkutan. Atas dasar pemahaman tersebut dan untuk penyelengaraan
pemerintahan daerah yang efektif, efisien dan berdayaguna, maka urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Majene perlu
ditetapkan dalam Peraturan Daerah. (majenekab.go.id)
39
Visi & Misi Pemerintahan Daerah Majene
1. Visi :
a. Majene Profesional
b. Produktif
c. Proaktif
Penjabaran makna dari Visi tersebut :
a. Majene Professional
1. Majene Profesional Tata Kelolah Pemerintahan.
2. Majene Profesional Aparat Pemerintah diwujudkan melalui peningkatan
kompetensi dan profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah.
3. Majene Profesional Sumber Daya Manusia diwujudkan melalui
Peningkatan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat serta
meningkatkan keterampilan kerja masyarakat dalam mendukung
perekonomian Daerah yang bermoral dan berbudaya.
b. Majene Produktif
Majene Produktif melalui perkuatan dan peningkatan perekonomian
kerakyatan dengan optimalisasi dari potensi daerah (Pertanian, Perikanan,
Kelautan dan Pariwisata) yang didukung oleh kemandirian masyarakat
peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat mengedepankan
aspek kemandirian.
c. Majene Proaktif
1. Majene Proaktif dalam menghadirkan peran Pemerintah Daerah dalam
memfasilitasi pemenuhan segala kebutuhan masyarakat menuju
40
masyarakat Majene Sejahtera tercukupi kebutuhan manusia meliputi
pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja yang
selanjutnya mengarah pada peningkatan kualitas hidup masyarakat
Kabupaten Majene yang layak dan bermartabat.
2. Majene Proaktif dalam upaya mendayagunakan segala potensi sumber
daya keuangan baik dari APBD Kabupaten Majene dan sumber
pembiayaan lain (APBDP, APBN dan Perlibatan Sektor Swasta) dalam
rangka pembiayaan pembangunan daerah.
3. Majene Proaktif dalam memberdayakan segala komponen masyarakat
berpartisipasi aktif dalam menyelenggarakan pembangunan.
2. Misi :
a. Mewujudkan sumber daya manusia dan masyarakat Kabupaten Majene yang
berkualitas
b. Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat
c. Mewujudkan Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Alam Bidang
Pertanian, Perikanan Kelautan dan Pariwisata
d. Memperkuat dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian kerakyatan
dengan mengoptimalkan potensi daerah yang didukung oleh kemandirian
masyarakat.
e. Meningkatkan pembangunan infra struktur bagi percepatan aspek-aspek
pembangunan.
41
f. Supremasi hukum dalam menciptakan Pemerintahan yang bersih dan
profesional dengan peningkatan kapasitas aparatur didasarkan pada nilainilai
kebenaran dan berkeadilan
No. Nama Masa
Jabatan Ket. Wakil Bupati Ref
1 Baharuddin Lopa,
SH
1959 –
1960
2 Abdul Rachman
Tamma
1960 –
1965
3 Kol. H. Abdul Rauf 1965 –
1967
1967 -
.4 Drs. H. Muhammad
Darwis
2001–
2006
H. Kalma
Katta, S.Sos.,
M.M.
5
H. Kalma Katta,
S.Sos., M.M.
2006–
2011
Periode
pertama
Drs. H. Itol A.
Syaiful Tonra,
M.M.
2011–
2016
Periode
kedua
Dr. H. Fahmi
Massiara, M.H.
.6. Dr. H. Fahmi 27 Juni
H. Lukman, Menin
42
Massiara, M.H. 2016 - 28
Sep.
2020
M.Pd. ggal
saat
menja
bat.
.. H. Lukman, S.Pd.,
M.Pd.
28 Sep.
2020 –
Petahana
Lowong
Table 4.4 daftar nama-nama bupati kabupaten majene
43
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Makna Mattera’ Boyang bagi Masyarakat Mandar
a. Bentuk Rasa Syukur
Rasa Syukur atas rezeki yang diberikan baik berupah kesehatan,
kesempatan, maupun rezeki yang berbentuk materi sehingah masyarakat
mampu untuk mendirikan rumah baru merupakan salah satu makna yang
bisa kita lihat dalam tradisi mattera’ boyang ini.
“Iya tu’u ann mattera’ boyang mua na mittama diboyang baru
sebagai bentuk rasa syukur u na bengana dale mau mirrupa doi,
kesehatan salama manyamang ingana dipogau na bengang toa
kesempatan anna mala mappakede’ die boyang” (ahmad 29
oktober 2020)
Terjemahan: Kenapa kita mesti melakukan mattera’ boyang
sebelum masuk rumah baru itu semata-mata bentuk rasa syukur
kita atas rezeki yang diberikan berupa uang, kesehatan, dilancarkan
egala urusan kita dan kita diberikan kesempatan sehingga mampu
mendirikan rumah baru.
“ mattera’ boyang itu untuk orang yang mau masuk rumah baru,
kalau sudah bangun rumah ya wajib I untuk ditera’ bentuk rasa
sykurta (fira, 28 oktober 2020)
Masyarakat mandar melakukan tradisi mattera’ boyang ini semata-
mata bentuk rasa syukurnya dan juga tentang bagaimana masyarakat bisa
berbagi atas apa yang mereka terima, mengundang masyarakat untuk
hadir, menyediakan makanan serta memberikan barakka’ kepada para
43
44
tamu yang datang tidak lain hanya semata-mata untuk berbagi
kebahagiaan kepada para tetangganya maupun masyarakat lainnya.
Dari tradisi mattera’ boyang ini juga masyarakat berharap dan
berdoa agar senantiasa diberikan rezeki, dimudahkan dan dilancarkan
segala urusannya.
b. Tolak Bala
Masyarakat memahami bahwa mattera’ boyang ini merupakan hal
yang sakral dan pandangan masyarakat tentang tradisi mattera’ boyang
ini dimana masyarakat masih sangat mempercayai tradisi ini masyarakat
meyakini akan dampak dari ketika memasuki rumah baru yang belum di
tera’ akan mendapatkan kesialan, musibah, dan dampak-dampak lainnya.
‘’Mattera’ tau boyang supaya mala tau na jauhkan ingganana
karaeang mau ita narua, luluareta, atau keluargata sawa perlu
ripaham mua ita’ rie rupa tau harus tau simata mirau-rau
ripakarambo ingannana bala’’ (sando aryad, 25 oktober 2020)
Terjemahan: Kita melaksanakan tradisi mattera’ boyang ini agar
kita bisa dijauhkan dari marabahaya baik untuk kita, saudara
maupun keluarga kita sebab perlu kita sadari kita sebagai manusia
biasa harus selalu mengingat dan berdo’a agar dijauhkan dari
segala bentu marabahaya.
Tujuan lain dari mattera’ boyang selain bentuk rasa syukur yakni
sebagai upacara tolak bala dimana pemilik rumah berharap dari
dilakukannya tradisi ini akan menjauhkan dari marabahaya baik yang
untuk dirinya, saudara-saudaranya, ataupun keuarganya. Karena sebagai
orang beriman kita harus selalu mengingat dan berdoa kepada sang
pencipta untuk dijauhkan dari segala bentuk marabahaya.
45
“Pamali sanna’ i tu u mittamai tau di boyang baru mane indappai
ti tera’ apa rapang towandi die apa-apa harus i tau mirau ising lao
di tori boyang atau pa’jagana sebelum dioroi” (ilham, 28 oktober
2020)
Terjemahan: Pamali bagi masyarakat untuk masuk rumah baru
yang belum di Tera’ karena ini sebagai bentuk kita meminta izin
kepada pemilik rumah atau penunggu tempat itu.
Kata pamali berlaku dalam hal ini, pamali untuk masyarakat
mandar ketika memasuki rumah baru lantas belum di tera’ karena sama
halnya ketika kita ingin datang bertamu ke rumah orang lain kita mesti
permisih terlebih dahulu sama halnya dengan mamasuki rumah baru kita
harus permisi kepada pemilik atau penjaga dari rumah (makhluk halus)
“yang narasakan masyarakat itu biasa takut-takut sendiri karena
percayaki memang pasti ada penjaganya setiap tempat dimana itu
jadi kalau rumah tidak ditera’ kaya merasa diganggu teruski
(fahrul, 28 oktober 2020)
2. Nilai-nilai dalam Tradisi Mattera’ Boyang
a. Kepercayaan
Nilai kepercayaan dalam suatu budaya merupakan titik kunci
karena tanpa kita percaya maupun meyakini kebiasaan tersebut ataupun
budaya itu akan perlahan-lahan hilang dalam masyarakat karena
kepercayaanlah yang mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.
“Petama di’o apa-apa dipogau harus i tau makanyyang tanpa
makanyyangi tau indani mala jari apa-apa di pogau apa
makanyyang tu’u intinna dari apa-apa dipogau apa mua indano
makanyyang pasti indai tu’u mupogau” (sando aryad, 25 oktober
2020)
Terjemahan: yang petrama itu, segala sesuatu yang dilakukan harus
diyakini dan dipercaya kerena tanpa meyakini sesuatu itu tidak
46
akan terjadi dan pasti krena alasan itu sehingga kita masih
melalukan tradisisi ini.
Apapun itu yang kita lakukan pertama itu harus percaya karena
tanpa percaya dan meyakini tidak akan terjadi atau terpenuhi apa yang
ingin kita lakukan dan tanpa kita percaya sesuatu itu otomatis kita tidak
akan melakukan intinya begitu kalau bertanya masalah percaya akan
tradisi ini.
Selain dari pada itu kepercayaan merupakan dasar utama dalam
tradisi ini yang dimana masyarakat memercayai dan meyakini dari segala
sesuatu yang berkaitan dengan budaya ini baik dari dampaknya terhadap
masyarakat serta mempercayai dengan melakukan tradisi ini akan lebih
mendekatkan mereka kepada sang maha pencipta dan para leluhurnya,
hubungan makhluk dengan penciptanyannya.
b. Kebersamaan dan Tolong Menolong
Dari data hasil observasi, peneliti sempat hadir langsung dalam
proses mendirikan rumah di mandar atau biasa disebut mappake’de
boyang dalam bahasa indonesianya yang berarti mendirikan rumah,
ketika tukang rumahnya sudah menyelesaikan semua rangka bangunan
yang selanjutnya akan ditarik oleh masyarakat yang sempat hadir hingga
rangka bangunan tersebut bisa berdiri inilah mengapa dikatakan
mappake’de boyang karena ada proses mappakede’de (berdiri)
didalamnya, perlu diketahui bahwa rumah masyarakat mandar kebayakan
memiliki tiang atau rangka bangunan dari kayu seperti halnya rumah-
rumah tradisional lainnya.
47
Disini peneliti bisa melihat bahwa masyarakat mandar nilai gotong
royongnya masih sangat terasa dan masih ada hingga saat ini dalam hal
ini, perubahan zaman, modernisasi tidak mempegarui masyarakat mandar
nilai tolong menolong sesama masyarakat ikhlas membantu tanpa
mengharapkan imbalan berupa upah dan lain sebagainnya, mungkin
inilah salah satu bentuk sipa’ siwaliparri atau sifat mandar yakni bersatu,
menyatu dalam sifat mandar.
c. Aset Budaya
Seiring dengan perkembangan arus globalisasi, teknologi dan
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, kesadaran akan budaya
yang merupakan ciri dari masyarakat tertentu yang dimana masyarakat
harus menjaga budayanya untuk selalu ada dan dilestrikan sebagai aset
budaya, diluar dari nilai kepercayaan menjaga dan melestarikan agar
tidak hilang dalam masyarakat merupakan bentuk tanggung jawab kita
sebagai masyarakat, memperkenalkan kepada anak cucu kita nantinya
agar warisan para leluhur selalu ada dan tidak hilang dalam masyarakat.
Dalam tradisi mattera’ boyang masyarakat mandar menyadari akan
pentingnya menjaga tradisi mattera’ boyang ini untuk selalu ada dengan
melaksanakan tradisi ini salah satu cara untuk melestarikan menjaga
nilai-nilai leluhur, serta kesakralannya.
“ sebagai masyarakat kita harus mejaga ini budaya ta’ kalau
bukan kita yang jaga siapa yang mau jaga, tanggung jawab ta’ ini
semua saya, kita, orang tua ta’ tanggung jawab ta untuk budaya
ini, klau masyarakat mulaimi na tinggal ini mattera’ boyang apa
mau naliat anak-anak ta nanti bakal hilang itu namanya
48
pelluluareatta (persaudaraan) karena inimi yang kasi melekat ki
semua paratta to Mandar. (Kpl. Lingkungan, Hasbi 3 november
2020)
Kepala lingkungan tanangan menambahkan bahwa kita sebagai
masyarakat sudah kewajiban kita semua untuk menjaga tradisi ini untuk
selalu ada agar anak cucu kita nantinya tau akan budaya ini bakalan sedih
jadinya jika budaya dari leluhur kita hilang didepan mata kita sendiri
disaat masyarakat mulai meninggalkan apa yang selama ini leluhur kita
lakukan dan kita jaga selama ini justru sekarang malah ditinggalkan dan
diabaikan.
3. Mattera’ Boyang
Setiap tempat di Suku Mandar berbedah carannya dalam mattera’
boyang namun hampir semuanya sama yang membedakan biasannya
kelengkapannya misal di tempat satu ayam yang akan diambil darahnya
harus ayam betina ataupun jantang ditempat lain tidak menetapkan ayamnya
harus jantang atau betina.
“Mua’ masalah sittenganna carana, tatta bandi diang sittenganna
tapi diang to’o bedana. Beda-beda carana sando boyang tergantung
sando boyangna apa diang to’o tu u sando boyang ragi-ragi na pirau
tapi indang towandi sala ya iyamo disanga beda sando boyang beda
to tia carana” (sando aryad, 25 oktober 2020)
Terjemahan: Kalau masalah samanya, pasti sama tapi terkadang ada
bedanya. Karena beda-beda caranya setiap sando boyang tergantung
sano boyangnya karena ada sebgian sando boyang banyak dia minta
tapi kita tidak bisa bilang kalau itu salah karena kembali lagi beda
sando boyang beda jua caranya.
Jika masalah samanya pasti sama tapi pasti ada juga beda nya karena
beda-beda caranya setiap sando boyang, semuanya tergantung sando
49
boyang nya karena ada juga sando boyang banyak persyaratannya dan tidak
bisa juga disalahkan karena memang beda sando boyang beda juga caranya.
Adapun tahapan atau proses dalam mattera’ boyang antara lain:
a. Macco’bo atau Menandai Rumah
Macco’bo atau menandai rumah sebagai bentuk simbol, dimana
memberi tanda di rumah biasanya yang diamanahkan pemilik rumah
yakni sando boyang dalam maccobo’ boyang dimana sando boyang dan
pemilik rumah berada di posi arriang atau tiang rumah tengah yang
dimana sebagai simbol pusat dari rumah itu sendiri disana sando boyang
dan pemilik rumah macco’bo boyang mengambil sedikit darah dari jeger
ayam dan mencampurnnya dengan tepung yang akan nantinya digunakan
untuk maccobo’ boyang
“Indani tu u sambarang ma oyo taralinna manu’ parallu di
pinassai tallu tarali paling diaya apa maidi tu u taralinna manu,
mane itai tarali manu paling keccu diantara dio tallu o, apa iya
tu’u tarali kamenang malakka nasanga toriolo melambangkan dio
puang allah ta’ala tarali manu selanjutna dio tarali malakka kedua
melambangkan rasulullah mane tarali malakka ketigana
melambangkan ita mo taunna atau manusiana jari iya tu u dio
tarali di polong diaya icco cerana tarali malakka ketigana apa ita
tau na mattera atau na mattinja” (sando aryad, 25 oktober 2020)
Mungkin terjemahannya seperti ini, tidak sembarang memotong
jeger ayam perlu diperhatikan tiga jeger ayam paling diatas atau paling
panjang karena banyak jeger ayam, baru cari jeger ayam paling kecil
diantara tiga jeger ayam itu, karena jeger paling panjang kata nenek
moyang dulu melambangkan Tuhan atau Allah SWT jeger panjang yang
kedua melambangkan Rasulullah SAW baru jeger panjang yang ketiga
50
melambangkan kita atau manusianya jadi jeger yang dipotong diambil
sedikit darahnya yaitu jeger ayam yang panjang ketiga karena kita yang
akan mattera’ atau yang berniat” dalam artian kita yang akan melakukan
tradisi ini.
Selanjutnya dalam macco’bo boyang yang akan di co’bo itu yakni
tiang tengah dan empat tiang sudut rumah, macco’bo dengan
menggunakan tiga jari yakni jari telunjuk, jari tengah dan jari manis lalu
tiga jari itu di celup kan kedalam campuran tepung dan darah jeger ayam
tadi selanjutnya macco’bo atau menandai tiang tengah dan empat sudut
tiang rumah dimulai dari sudut kanan depan selanjutnya sudut kanan
belakang, sudut kiri belakang, sudut kiri depan lalu yang terakhir di
co’bo yakni tiang tengah atau posi arriang. Menandai rumah juga tidak
sembarang karena di kelima tiang tersebut memiliki arti masing-masing
“Harus disumayai i appe sahaba’na rasulullah abu bakar, umar,
usman anna ali iya dipanniai mua na co’bo tau dio appe si’ung
boyang mane tangngana posi’na mo arriang rasulullah mo iya die
massuna meloi di hadirkan rasulullah anna appe sahaba’na
rasulullah.” (sando aryad, 25 oktober 2020)
Jadi dalam macco’bo boyang perlu dipahami bahwa empat sudut
rumah yang ingin di co’bo atau diberi tanda melambangkan empat
sahabat nabi yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali dan tiang tengah
adalah Rasulullah SAW dimana bermaksud untuk menghadirkan
Rasulullah SAW dan empat sahabat beliau dalam proses Mattera’
Boyang ini.
51
Setelah maco’bo 5 tiang rumah selanjutnya sando boyang akan
maco’bo juga pemilik rumahnya yakni semua anggota keluarga yang
nantinya akan menempati rumah tersebut baik bapak, ibu, anak-anaknya
maupun orang tua pemilik rumah jika nantinya ikut menempati atau
tinggal dirumah tersebut.
“Mane di co’bo nasang toi tu’u tori boyang apa rapangi tu’u
ditandai boyang di pasitandi taunna tori boyang supaya malai
sijalang boyanna anna taunna sicoco’ i supaya masannag tori
boyang maoroi boyang barunna’ (sando aryad, 25 oktober 2020)
Setelah menandi atau co’bo tiang rumah, pemelik rumah akan ikut
di co’bo juga karena ketika menandai rumah harus seiring dengan
menandai juga pemilik rumahnya dengan maksud pemilik rumah dan
rumahnya bisa cocok, sejalan, menyatu intinya ibarat pasangan antara
pemilik rumah dan rumahnya haru disatukan dengan cara rumah dan
pemiliknya di co’bo.
“Yang di co’bo dio kaluppini kiri kanan, mane lindo pura dio
batang baro di co’bo toi sitengang bandi tia di pake macco’bo iya
di pacco’boang boyang iya to’o di pacco’boang tori boyanna”
(sando aryad, 25 oktober 2020)
Bagian tubuh yang di co’bo pemilik rumah yakni pelipis kiri dan
kanan dilanjut dengan jidat yang terakhir di bagian leher tepat di
kerongkongan dan yang dipakai maco’bo pemilik rumah sama dengan
yang dipakai untuk co’bo rumah.
b. Barazanji
Barzanji adalah cara pengajian orang-orang dulu dan itu tidak bisa
dihilangkan dari masyarakat mandar karena hampir di semua kegiatan
52
tradisi maupun upacara adat di mandar pasti ada barzanji didalamnya
begitupun dengan tradisi mattera’ boyang yang dimana barzanji ialah
doa-doa, puji-pujian dan berisi lantunan-lantunan atau seruan kepada
Nabi.
“Iya tu’u dio parallu dipadiangi barazanji mua na mappogau tau
apa-apa karena iya tu ‘u barazanji kedudukanna dalam upacara
adat indani jari apa-apa mua andiang barazanji anna bentuk cinta
ta lao di rasululllah jadi mashlawat I tau siola-ola”.
(sumaila/imam, 28 Oktober 2020)
Terjemahan: Kenapa kita harus menghadirkan barzanji dalam
setiap tradisi maupun upacara karena marazanji kedudukannnya
dapat setiap upacara adat, niat kita tidak akan sampai tanpa
barazanji dan ini merupakn bentuk cinta kita kepada rasulullah
SAW jadi kita bershalawat bersama-sama
Tradisi barazanji dikatakan sunnah yang dimana jika lakukan dapat
pahala jika tidak dilakukan tidak dapat apa-apa, berbedah dengan ketika
kita berbicara tentang kedudukan barzanji dalam upacara adat yang
dimana barzanji dalam upacara adat harus ada dan wajib untuk ada
terkhusus di masyarakat mandar acara adat apapun itu mesti ada
barazanji didalamnya sebagai penyempurna dan sebagai bentuk wujud
akulturasi kebudayaan dengan agama Islam.
“ya diomi tau masiola ola mambaca mua dissani ma barazanji ya
miccoe tau mambaca siola imam (agus, 27 oktober 2020)
Terjemahan: Kita hadir bersama-sama membaca barazanji bagi yan
tau, membaca bersama-sama dan bergantian.
Barzanji disini yang dimana Imam atau toko agama akan
memimpin barazanji sekaligus pembacaan doa nantinya, masyarakat
yang hadir dan imam akan bergantian membaca barazanji biasanya tidak
53
semua tamu yang datang ikut membaca barazanji tetapi beberapa saja
yang mungkin lebih di tuakan atau yang lebih fasih dalam membaca
barzanji.
“Iya tu’u muamacobo’ tau boyang sipparai tu’u anna pembacaan
barazanji imam dillai tomi tia mambaca ita sando boyang
maccobbo’ tomi ita siolami tau tori boyanna macco’bo” (
sumaila/imam, 28 Oktober 2020)
Terjemahan: pembacaan barazanji dan macco’bo boyang
bersamaan imam mempin barazanji sando boyang mulai macco’bo
boyang.
Pembacaan barzanji seiring dimulainya tradisi mattera’ boyang
imam yang memimpin barazanji akan memulai pembacaan barazanji
yang nantinya akan dilanjutkan masyarakat atau tamu yang datang di
mattera’ boyang disisi lain sando boyang akan mamulai maccobo’
boyang.
c. Barakka’
Barakka’ yang dimaksud disini yakni sesaji atau sajian makanan
dan kue-kue yang nantinya dibaca-baca seperti berupa sokkol, telur ayam
kampung, pisang dan kue-kue tradisional mandar khas seperti cucur,
bajeq, dan kado minyak, dan masih ada lagi kue-kue lainnya.
Pemberian barakka’ dalam bahasa mandar yang bisa artikan yakni
sebuah bingkisan ketika kita datang pada satu acara atau perayaan orang
mandar itu seperti halnya mattera’ boyang, ketika para tamu pulang
mereka akan diberikan bingkisan berisi makanan dan kue-kue inilah yang
dimaksud dengan barakka’ atau berkah yang dimana keluarga yang
54
mungkin tidak bisa hadir dapat juga menikmati makanan dari hajatan
yang punya acara.
Dalam sesajianya yang wajib ada yakni sokkol (nasi ketan), tallo
manu (telur ayam), tiga jenis pisang yakni loka manurung (pisang
kepok), loka tira (pisang ambon), loka warangan (pisang barangan),
cucur dan ule-ule (bubur kacang hijau)
“Iya tu u die pitu wajib diang setiap mambaca tomandar indani
mala diang kurang mau mesa, apa sanggi berkaitani anna diang
nasang artinna sokkol, tallo manu, tallu rupa loka, cucur anna ule-
ule.” ( agus 27 oktober 2020)
Terjamahan: ini wajib dalam setiap upacara di manda tidak bisa
kurang karena ini semua berkaitan dan memiliki arti masing-
masing baik sokkol, telur ayam, tiga jenis pisang, cucur dan ule-
ule.
Sokkol (nasi ketan) menggambarkan tentang hubungan yang kokoh
dan utuh dilihat sokkol yang saling merekat satu sama lain, telur ayam
kampung istilah “malewu rapang tallo” (bulat seperti telur) artinya
memiliki niat dan prinsip yang bulat tidak mudah di pengaruhi atau
goyah, tiga jenis pisang; loka manurung artinya agar senantiasa diberi
rahmat, loka tira agar senantiasa sehat walafiat dan loka warangan
artinya semoga selalu diberikan rezeki, cucur adalah kue yang
mengapung ketika diminyak maupun air yang dimana memiliki arti
semoga derajat kita diangkat, dan ule-ule (bubur kacang hijau) ule-ule
dalam bahasa mandar berarti ikut-ikut. Artinya, semoga rezeki yang
sudah didapatkan terus-menerus datang.
55
Barakka’ sando boyang selain makanan dan kue-kue tadi sando
boyang biasanya diberi ayam oleh pemilik rumah, ayam yang tadi sudah
diambil darah jenggernya dalam macco’bo boyang untuk dibawa pulang
terserah dari sando boyang mau memelihara atau mau dimakan tetapi
tidak boleh dijual karena ayam ini merupakan bentuk rasa terimakasih
pemilik rumah untuk sando boyang.
Mattera’ boyang merupakan Tradisi yang dilakukan masyarakat
mandar ketika hendak ingin mamasuki rumah baru. Mattera’ boyang
merupakan warisan dari leluhur yang dimana jika bertanya tentang sejarah
tradisi mattera’ boyang jawabannya sama yakni “sejak ada dari dulu dan
masih ada sampai sekarang” masalah waktu tepatnya tidak bisa dijelaskan
tetapi yang jelas mattera’ boyang ini ada setelah masuknya islam di tanah
mandar dilihat dari adanya barazanji dan pembacaan doa dalam mattera’
boyang.
“Dinimi tau mala sio ola-ola mappa pimbali sipa’ siwaliparri ta
dilalanna mesa kappung, apa indani tu u mala jari apa-apa mua tania
para ita sibantu dilalanna pa’banua” ( ilham, 28 oktober 2020)
Terjemahan: Disini kita bisa hadir bersma-sama menghadirkan sifat
(siwaliparri) didalamnya suatu masyarakat karena perlu ada kesadaran
untuk kita saling membantu saudara kita.
Didalam tradisi ini kita bisa lihat bentuk dari gotong royong yang
dimana sebelum melakukan mattera’ boyang tentu melalui proses
mappake’de boyang (mendirikan rumah) yang dimana kita bisa lihat kerja
sama, kekompakan, saling membantu serta terjalinnya silaturahmi dalam
masyarakat saat proses mendirikan rumah.
56
Dalam Mattera’ Boyang di suku mandar seperti yang sudah ada dilatar
belakang bahwa tradisi ini jika dikatakan wajib tidak juga karena kesannya
memaksakan namun beda nilainya rumah yang sudah di tera’ dengan rumah
yang belum di tera’
“Masalah wajib na indani tau mala maua wajib apa maidi toi tu u tau
ketika pura mattodo’ boyang andiappa mala tappa na tera’ mungkin
karena andiappa wattunna atau mungkin indappa diang doina untuk
na mattera’ boyanna. Apa indani tu u mala mua na mattera’ tau
boyang mane doi di inggrang iya mo tu’u anna diang tau na oroi mi
boyanna padahal indappa di tera’ apa dotami tia dari pada harus di
passai untuk mattera’ dari na mainggrang i tau untuk di passa mala
ditera” (sando aryad, 25 oktober 2020)
Kalau masalah wajibnya kita tidak bisa bilang wajib karena masih ada
sebagian orang ketika sudah membangun rumah baru lantas belum bisa
langsung di tera’ mungkin karena belum sempat atau mungkin juga belum
punya cukup uang untuk bisa melakukan tradisi ini. Dalam mattera’ boyang
dimana pemilik rumah tidak boleh menggunakan uang pinjaman itulah
mengapa di masyarakat banyak orang sudah menempati rumah barunya
padahal belum di tera’ karena sebenarnya lebih baik menempati rumah yang
belum di tera’ dari pada harus dipaksakan untuk di tera’ lantas
menggunakan uang pinjaman (utang) .
Selanjutnya, “ tapi tetap beda tu’u nilainna boyang pura di tera’ anna
boyang indappa pura di tera’ biasanna boyang indappa di tera’ tori
boyang biasa indani masannang na sa’ding maoroi boyang baru
dalam artian balisa tarrusi entah diang mo simata mangganggui,
balisai matindo, ya mala tau maua na ganngui pa’jagana apa harus
tau makanyyang mua inggana oroang tu u sanggi diang pa’jagana ya
makhluk halus” (sando aryad, 25 oktober 2020)
57
Tetap harus disadari bahwa beda nilainya rumah yang sudah di tera’
dengan rumah yang belum di tera’, rumah yang yang belum di tera’
biasanya pemilik rumah akan merasa tidak nyaman menempati rumah
barunya dalam artian ada perasaan tidak nyamannya entah merasa diawasi,
diganggu, dan perasaan takut. Karena kita harus meyakini bahwa semua
tempat baik dimanapun itu pasti ada penjagannya dalam artian ada makhluk
lain yang mungkin tidak bisa kita lihat.
Dalam Tradisi ini bagi maradia atau keluarga bangsawan kerajaan
banggae wajib melaksanakan tradisi ini dimana syarat ketentuan hingga
kelengkapan dan tradisi mattera’ boyang juga berbeda dengan masyarakat
biasa, sebagai bentuk stratifikasi dalam masyarakat mandar.
Beberapa perbedaan dalam melaksanakan mattera’ boyang antara
keluarga maradia dengan masyarakat biasa antara lain, dalam syarat berbeda
bagi masyarakat biasa akan menyediakan sesuai kemampuannya namun
tetap harus mengikuti persyaratan bagi masyarakat biasa berbeda dengan
keluarga maradia semua yang menjadi persyaratan dalam tradisi ini harus
disediakan baik pisangnya, semua jenis sokkol maupun makanan-makanan
tradisional mandar
Baiknya dalam tradisi mattera boyang ini tidak ada waktu tepatnya
kapan harusnya dilaksanakan tradisi ini walaupun sebaiknya memang tradisi
ini dilakukan sebelum masuk rumah baru namun karena mungkin ada
kendala seperti yang tadi dijelaskan jadi masyarakat boleh menempati
58
rumah baru yang belum di tera’ walaupun hingga bertahun-tahun tapi
selama tidak ada perayaan atau acara yang dilakukan dirumah itu.
Mala tu’u dioroi boyang baru indappa di tera’ tapi selama indani rua
na oroi pa ma acara contoh mappalikka, atau acara-acara laenna.
Apa mua melo do’o na ma acara harus muselesaikan dolo die tera’
boyang mu sebelum na sebagai tinjamu (sando aryad, 25 oktober
2020)
Jika hendak ingin melakukan acara semisal acara pernikahan dan
acara-acara lainnya di rumah yang belum di tera’ kita harus mengutamakan
dulu mattera’ boyang sebelum bisa melaksanakan perayaan atau acara
lainnya, sebagai syarat dan sebagai bentuk tanggung jawab untuk
menyelesaikan tradisi mattera boyang sebelum melangkah ke perayaan
selanjutnya.
59
B. Pembahasan
Disini masyarakat sangat memahami tentang mattera’ boyang yang
dimana merupakan hal yang lumrah untuk tahu mattera’ boyang adalah tradisi
masyarakat ketika memasuki rumah baru dimana dari lima informan utama
yakni lima masyarakat mandar yang jadi informan, sangat memahami tradisi
mattera boyang ini namun dalam segi nilai dan maknanya itu sendiri masih
sangat kurang.
Dalam tradisi mattera’ boyang memiliki beberapa proses maupun tata
cara yakni mulai dari macco’bo boyang yaitu menandai rumah sebagai simbol
untuk rumah baru bahwa rumah tersebut sudah siap untuk ditinggali oleh
keluarga pemilik rumah disini bagi peneliti maccobo’ boyang sangat unik
karena ada semacam tanda berwarna putih dari tiga sidik jari yakni telunjuk,
jari tengah dan jari manis dibeberapa tiang rumah yang dimana diambil dari
campuran tepung dan sedikit darah dari jengger ayam, dilanjutkan dengan
pembacaan barzanji dan doa-doa agar senantiasan diberikan rezeki dijauhkan
dari marabahaya hingga pembagian barakka’ atau makanan kepada masyarakat
untuk dibawa pulang sehingga keluarga dirumah bisa juga menikmati makanan
atau kue-kue jamuan dari pemilik acara, pembagian barakka’ disini bagi
peneliti sangat menarik karena dari barakka’ yang diberikan pemilik acara
dengan maksud agar masyarakat yang mungkin tidak sempat hadir agar bisa
juga merasakan jamuan dari pemilik acara disini ada nilai kebersamaan dan
kerukunan dalam masyarakat mandar yang dimana semakin mempererat
hubungan sesama masyarakat mandar.
60
Makna dari tradisi mattera’ boyang itu sendiri antara lain sebagai bentuk
rasa syukur masyarakat atau rezeki yang diberikan serta sebagai tolak bala
menjauhkan dari segala marabahaya yang bisa saja menganggu keluarga
pemilik rumah, seperti dalam penelitian sebelumnya yang relevan dengan
penelitian ini mengatakan “Menurut kepercayaan orang mandar rumah yang
belum di tera’ atau belum melaksanakan tradisi ini, pemilik rumah akan
diganggu oleh penjaga rumah atau penunggu dari tempat itu” (S. Sumarni:2017)
Sedangkan dari segi nilai-nilai yang ada pada tradisi mattera’ boyang ini
antara lain nilai kepercayaan, nilai kebersamaan dan tolong menolong serta ada
nilai budayanya yang merupakan aset yang mesti dijaga dan terus dilestarikan
dengan menjaga dan melestarikan tradisi ini merupakan bentuk tanggung
jawab masyarakat menjaga warisan para leluhur.
Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer
Dari hasil penelitian diatas, dapat dianalisis dengan menggunakan teori
milik Herbert Blumer Interaksionisme Simbolik, asumsi teori interaksi
simbolik Blumer adalah sebagai berikut:
a. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada
pada sesuatu itu bagi mereka.
b. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan
orang lain.
c. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial
berlangsung.
61
Dari teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer kaitannya dengan
hasil penelitian yang dimana rumusan masalahnya tentang makna serta nilai-
nilai dari tradisi mattera’ boyang bagi suku mandar yakni:
a. Budaya Tradisi mattera’ boyang di Suku Mandar merupakan kebiasaan
selama ini yang diterapkan oleh masyarakat dulu hingga sampai saat ini
yang masih dijaga, yang dimana kebiasaan ini tidak bisa dihilangkan
begitu saja karena mengingat dengan adanya budaya akan semakin
mempererat tali silaturahmi masyarakat dan seperti inilah cara
masyarakat agar tetap saling terjalin. Masyarakat mandar melaksanakan
tradisi ini karena memiliki makna yang sangat mendalam bagi
masyarakat yang dimana tradisi mattera’ boyang ini merupakan bentuk
rasa syukur atas rezeki yang sudah diberikan yakni rumah baru untuk
ditempati, ini merupakan bentuk memberikan dari apa yang telah dia
dapat dan juga upacara tolak bala yang bisa saja menganggu keluarga
pemilik rumah karena masyarakat mempercayai ketika tidak melakukan
tradisi ini sebelum masuk rumah baru pemilik rumah akan mendapat
kesialan dan marabahaya. Dimana sesuai dengan teori interaksionisme
simbolik asumsi pertama tentang manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna-makna yang ada pada tradisi mattera’ boyang
sehingga masyarakat bertindak untuk melaksanakan tradisi ini.
b. Tradisi mattera’ boyang juga mengajari warga setempat untuk selalu
menjaga kekompakan karena sebelum mattera’ boyang ada yang
dinamakan mappakede’ boyang proses membangun rumah yang dimana
62
masyarakat setempat ikut membantu dalam mendirikan rumah sebagai
bentuk hubungan dan kepedulian di dalam sebuah masyarakat mandar
walaupun masyarakat tidak mendapat upah dan sebagainya masyarakat
akan tetap datang dan membantu sebagai bentuk solidaritas dalam
masyarakat. Asumsi yang kedua interaksionisme simbolik yakni makna
diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain,
disini kita dapat melihat makna lain dari tradisi mattera’ boyang ini yakni
selalu menjaga kekompakan serta terjalingnya silaturahmi dalam
masyarakat berkat tradisi mattera’ boyang ini.
c. Dalam tradisi mattera boyang ini tidak hanya pemilik rumah yang ikut
andil dalam tradisi melainkan masyarakat juga ikut serta dalam tradisi ini
karena sebelum melakukan tradisi ini pemilik rumah akan pergi miroa
artinya memberitahukan dan mengajak untuk bisa hadir dalam mattera’
boyang ini baik keluarga atau tetangga-tetangga sebagai bentuk
hubungan dalam masyarakat, masih-masih masyarakat yang datang akan
ikut andil dalam tradisi ini kesempurnaan dalam tradisi ini ketika banyak
masyarakat hadir memanjatkan doa-doa kepada sang maha pencipta
permbacaan barazanji dalam tradisi ini wajib masyarakat yang datang
akan ikut dalam pembacan barazanji secara bergantian msyarakat akan
membacakan barazanji yang dipimping langsung oleh imam atau orang
yang dituakan dalam masyrakat tersebut. asumsi yang ketiga dalam teori
interaksionisme simbolik yakni, makna tersebut disempurnakan di saat
proses interaksi sosial berlangsung. Jika kita lihat dari interaksi yang
63
terjalin dalam tradisi mattera’ boyang ini bisa dikatakan makna dari
mattera’ boyang bisa lebih terasa karena bentuk rasa syukur,
kebahagiaan akan lebih bermakna ketika bukan cuman kita yang bisa
merasakan melainkan orang lain yang bisa ikut hadir dimana agar selalu
terjalin silaturahmi dalam masyarakat, serta pembacaan barzanji yang
dibacakan masyarakat secara bergantian disini bisa kita lihat bahwa
kesempurnaan tradisi ini ketika masyarakat bisa hadir dalam tradisi ini.
Dari ketiga ketiga asumsi teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer
dikaitkan dengan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mattera’
boyang adalah bahwa pada dasarnya pemikiran interaksionisme simbolik
menekankan proses interaksi yang dilakukan oleh masyarakat didalam berbagai
aktivitas dalam pengetahuan yang menggunakan simbol-simbol tertentu.
Tradisi merupakan segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran
agama dan lain sebagainya yang turun temurun (WJS. Poerwodarminto, 1985:
102). Tradisi mattera’ boyang turun temurun ada sejak lama, merupakan
warisan nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan
Masyarakat beranggapan bahwa ketika tidak melaksanakan tradisi
mattera’ boyang sebelum masuk rumah baru akan ada musibah yang terjadi
mengapa dalam upacara ini dikatakan juga sebagai upacara tolak bala dan
tujuan lain dilakukannnya tradisi ini bentuk rasa syukur atas rezeki yang
diberikan, dan sebaai dilakukannya tradisi ini yang dimana melibatkan
masyarakat sehingga hubungan dalam masyarakat akan semakin erat dengan
adanya gotong royong dalam membangun rumah serta hadir dalam mattera’
64
boyang atau mambaca-baca (baca-baca) timbal balik yang didapatkan
masyarakat yakni pemilik rumah akan menyajikan barakka’ dibawa pulang
untuk diberikan kepada keluarganya yang mungkin tidak sempat hadir di acara
mattera’ boyang itu.
Barakka’ memilik pesan moral yang memiliki makna bahwa barakka’
adalah penyambung silaturahmi antara sesama, antara tetangga yang datang
maupun saudara-saudara hadir, yang menarik disini yakni barakka’ ini adalah
bentuk ucapan terima kasih pemilik rumah yang dimana bukan sekedar dalam
bentuk ucapan terima kasih (perkataan), akan tetapi dalam bentuk tindakan
yang diwujudkan dengan pemberian barakka’ ini merupakan bentuk nilai-nilai
kebudayaan yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat Mandar
Dalam suatu fenomena budaya mattera’ boyang di Suku Mandar itu
sangat mengandung nilai-nilai yang begitu dalam seperti halnya dalam
menjaga nama baik budaya yang sudah diterapkan oleh nenek-nenek moyang
pada zaman dahulu. Selain dari pada itu nilai yang paling berharga di mata
masyarakat Mandar adalah dia selalu menjaga amana baik tradisinya seperti
budaya mattera’ boyang dan juga masih banyak tradisi-tradisi lainnya,
kemudian dari pada itu jiwa kekompakan dalam bergotong royong tidak akan
perna pudar maupun dihilangkan.
Nilai adalah suatu gagasan bersama-sama (kolektif) mengenai apa yang
dianggap penting, baik, layak dan diinginkan. Sekaligus mengenai yang
dianggap tidak penting, tidak baik, tidak layak dan tidak diinginkan dalam hal
kebudayaan. Nilai merujuk kepada suatu hal yang dianggap penting pada
65
kehidupan manusia, baik itu sebagai individu ataupun sebagai anggota
masyarakat (Nietzsche)
Berdasarkan tradisi mattera’ boyang serta fenomena-fenomena budaya
yang ada di Suku Mandar. Jika dilihat dari sisi nilainya yang dimana
mengandung nilai-nilai kepercayaan keagamaan dalam setiap tradisi yang ada
di mandar baik dilihat dalam prosesnya maupun tujuan dari tradisinya
senantiasa menampakkan hubungannya masyarakat dengan tuhan yang maha
esa dan tidak bias dipisahkan antara budaya dan agama, harus berjalan
beriringan tanpa mencederai satu sama lain,
66
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Mattera’ boyang merupakan upacara yang dilakukan masyarakat mandar
ketika ingin memasuki rumah baru dan dalam tradisi ini ada beberapa proses
dalam mattera’ boyang diantaranya maccobo’ boyang atau menandai rumah,
pembacaan barazanji dan doa-doa serta pembagian barakka’ atau berkah dalam
bentuk makanan atau kue-kue yang disediakan pemilik hajatan diberikan
kepada tamu untuk dibawa pulang agar masyarakat yang mungkin tidak sempat
hadir bisa juga menikmati makanan atau kue-kue yang disediakan pemilik
hajatan.
Dari penelitian yang telah dilaksanakan tentang makna tradisi mattera’
boyang bagi suku mandar maka dapat disimpulkan bahwa dalam tradisi
mattera’ boyang terdapat beberapa makna dan nilai-nilai dalam proses
mattera’ boyang antara lain:
1. Makna dalam mattera’ boyang yakni sebagai bentuk rasa syukur atas
rezeki yang diberikan sehingga bisa membangun rumah baru dan
sekaligus tolak bala dimana masyarakat berharap dari tradisi ini agar di
jauhkan dari segala bentuk marabahaya baik dari gangguan-gangguan
dari makluk halus penghuni tempat itu serta musibah-musibah lainnya.
2. Nilai-nilai dalam proses mattera’ boyang antara lain ada nilai
kepercayaan sebagai dasar utama dalam tradisi ini karena masyarakat
66
67
mandar meyakini akan dampak yang terjadi dari tradisi ini, ada nilai
kebersaman dan tolong menolong dimana masyarakat atau tetangga-
tetangga akan datang membantu mendirikan tiang atau rangka bangunan
selanjutnya ada nilai budaya didalamnya sebagai aset sekaligus ciri
budaya mandar sebagai warisan para leluhur yang harus dilestarikan dan
dijaga.
B. Saran
1. Masyarakat mandar sebagai pemilik budaya harus memiliki rasa
tanggung jawab dan kesadaran akan pentingnya menjaga budaya dan
melestarikan sehingga tidak hilang dalam masyarakat.
2. Tradisi mattera’ boyang ini perlu diperkenalkan dan diajarkan kepada
generasi muda sebagai pelanjut atau pewaris tradisi nantinya agar tidak
terputus karena dalam tradisi ini tersimpang nilai-nilai luhur yang
memiliki makna yang mendalam terhadapa kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin, Muh. Ridwan. (2013) Warisan Salabose Sejarah Salabose dan Tradisi Maulid.
Majene: Teluk Mandar Kreatif dan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Majene
Arliana, Isna. (2017) Tradisi Makkuliwa Lopi dalam Masyarakat Mandar Majene
(Tinjauan Filosofis). Skripsi. Makassar: UIN Alauddin Makassar
Basir, Bustan. (2009) Paqbandangang Pappio (Upacara dan Rajutan Sebuah ekosistem
Kebudayaan Dari Kajuanging Sulawesi Barat. Yogyakarta: GoeBOek Indonesia
Basir, Bustan. (2014) Nilai Etika Dalam Bahasa Mandar (Perspektif Kultural dan
Liquistik). Yogyakarta: Annora Media Group
BPS Kabupaten Majene. (2020) Kecamatan Banggae Dalam Angka Banggae Subdistrict in
Figures 2020. Majene: UD. Areso
Creswel, John W. (2016) (edisi bahasa Indonesia). Research Design Pendekatan Metode
kualitatif, kuantitatif, dan campuran. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Hasmah. (2015) Dinamika Sosial Masyarakat Nelayan. Makassar: Pustaka Sawerigading
dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
Iqbal. (2019) ”Totammaq : Kajian kearifan local budaya mandar di desa pembususang
kecamatan balanipa”, Program Pascasarjana Makassar: Universitas Negeri
Makassar.
Khairah, Miftahul. (2017). Pengembangan Kawasan Pesisir sebagai Pusat Budaya
Mandar Berbasis Kearifan Lokal di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali
Mandar. Skripsi. Makassar: Univesitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Kamanto. (2000). Pengantas Sosiologi (Edisi Kedua). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI.
Ma’lum Rasyid. (2011). Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Mappatamma’ di
Mandar Sulawesi Barat. Makassar: Kretakupa Print.
Moleong, Lexi J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nazifah, Hayatin. (2018). Nilai Kearifan Lokal dalam Upacara Adat Turun Belang pada
Masyarakat Melayu Tamiang. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sani, Yamin. (2016). Kearifan Tradisi dan Pembangunan Berkelanjutan (dinamika
masyarakat dan pembangunan di provinsi Sulawesi barat). Makassar: Masagena
Press. h. 8
Sapri. (2018). Kearifan Lokal Adat Sampulo Rua Buluttana Tinggimoncong Kabupaten
Gowa (Suatu Tinjauan Teologis). Skripsi. Makassar: UIN Alauddin Makassar
Sarmini. (2002). Teori-Teori Antropologi. Surabaya: Unesa University Press
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
S, Sumarni. (2017). Pengembangan Dakwah Islamiyah Melalui Budaya Mappakke’de
Boyang di Suku Mandar (Studi dakwah pada masyarakat tubbi taramanu Kabupaten
Polewali Mandar). Skripsi. Makassar: Univesitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Tim Penyusun Pendidikan Sosiologi Unismuh Makassar. (2019). Pedoman Penulisan
Proposal dan Skripsi. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Poewadarminta W.J.S. 1986. Kamus Besar Umum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumber Lainnya :
Brainly. Nilai Menurut para ahli https://brainly.co.id/tugas (diakses tanggal 22 November
2020)
Magnezium Benzoate. Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer
http://itsmagnesiumbenzoate.blogspot.com/2017/04/teori-interaksionisme-simbolik-
herbert.html (diakses tanggal 11 Agustus 2020)
Pemkab. Majene . www.majenekab.go.id (akses tanggal 2 November 2020).
Wikipedia. Tradisi. https://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi (diakses tanggal 10 juni 2020)
Wikipedia. Kabupaten Majene. https://en.wikipedia.org/wiki/Majene (diakses tanggal 28
Oktober 2020)
INSTRUMEN PENELITIAN
Makna Tradisi Mattera’ Boyang bagi Suku Mandar (Studi Kasus di Kelurahan Pangaliali,
Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene.
A. OBSERVASI
Pedoman Observasi
No Pokok
Masalah
Dimensi Indikator Sumber Tekhnik
Pengumpul
an Data
Alat
Pengumpul
Data
1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Pangaliali,
Kecamatan
Banggae
Keadaan
Kelurahan
Pangalialai,
Kecamatan
Banggae
a) Sejarah lokasi
penelitian
b) Letak Geografis
c) Keadaan Penduduk
d) Keadaan
Pendidikan
e) Pemerintahan
a) Buku Kec.
Banggae
dalam
Angka 2020
(data bps)
b) Lurah
Pangaliali
Studi
kepustakaan
dan
Observasi
Buku
Catatan
Pedoman
2. Gambaran
umum
Mattera
Boyang
Profil Mattera
Boyang
a) Sejarah Mattera
Boyang
b) Tujuan Mattera’
Boyang
c) Pelaku dalam
Mattera boyang
d) Proses dalam
Mattera boyang
e) Tata Cara dalam
Mattera boyang
a) Informan
Kunci
• Sando
Boyang
• Toko
Agama
Wawancara
Studi
kepustakaan
Buku
Catatan
Pedoman
Alat
Perekam dan
Penangkap
Gambar
3. Makna dan
Nilai-Nilai
a) Makna Mattera’
Boyang
Semua Informan
Wawancara
Buku
Catatan
dalam Mattera
boyang
• Makna secara
umum
• Makna bagi
masyarakat
b) Nilai-nilai dalam
mattera boyang
Pedoman
Alat
Perekam dan
Penangkap
Gambar
Hasil Observasi
No. Aspek Hal yang diamati
1. Gambaran Lokasi
Penelitian
1) Sejarah lokasi penelitian
2) Letak Geografis
3) Keadaan Penduduk
4) Keadaan Pendidikan
5) Pemerintahan
2. Gambaran umum
Mattera Boyang
1) Mattera’ boyang meupakan tradisi masyarakat mandar
ketika ingin memasuki rumah baru
2) Sejarah Mattera’ Boyang yakni sudah ada sejak dulu dan
terus dijaga hingga sekarang masalah , masalah kapannya
tidak bisa dijelaskan tapi yang jelas tradisi ini ada seiring
masuknya islam ditanah manar dilihat dari doa-doa dalam
tradisi mattera’ boyang
3) Pelaku dalam Mattera’ Boyang yakni masyarakat mandar,
sando boyang dan tokoh agama biasanya imam masjid
yang ada ditempat tersebut
4) Proses dalam mattera’ boyang.
• Maccobo’ Boyang
• Barzanji
• Barakka’
3. Makna dan Nilai-
nilai dalam Mattera’
boyang
1) Makna Mattera’ Boyang
• Sebagai Bentuk Rasa syukur
• Tolak Bala
2) Nilai-Niai dalam Mattera’ Boyang
• Nilai Kepercayaan
• Nilai Kebermaan dan tolong Menolong
• Aset Budaya
B. WAWANCARA
Tabel Data Wawancara
Informan Kunci
Nama : Arsyad
Selaku : Sando Boyang
Alamat : Lekopa’dis
Pekerjaan : Tukang Kayu
Umur : 63
Informan Kunci
Nama : Sumailah
Selaku : Imam Masjid/Toko Agama
Alamat : Tanangan
Pekerjaan : Guru
Umur : 55
Informan Utama
Nama : Muhammad Ilham
Selaku : Masyarakat/Pemilik Rumah
Alamat : Tanangan
Pekerjaan : Wirausaha
Umur : 62
Informan Utama
Nama : Ahmad
Selaku : Masyarakat
Alamat : Tanangan
Pekerajaan : Pegawai
Umur : 39
Informan Utama
Nama : Muhammad Fahrul
Selaku : Masyarakat
Alamat: Tanangan
Pekerjaan : Nelayan
Umur : 58
Informan Utama
Nama : Agus Salim
Selaku : Masyarakat
Alamat : Tanangan
Pekerjaan : Nelayan
Umur : 56
Informan Utama
Nama : Fira
Selaku : Masyarakat
Alamat : Tanangan
Pekerjaan : IRT
Umur : 52
Informan Pendukung
Nama: Hasbi
Selaku : Kepala Ling. Tanangan
Alamat : Tanangan
Pekerjaan : Kpl Ling./ Tukang
Umur : 71
Pedoman Wawancara
Judul Makna Tradisi Mattera’ Boyang Bagi Suku Mandar ( Studi
Kasus di Kelurahan Pangaliali, Kecamatan Banggae,
Kabupaten Majene
Jenis Obyek Wawancara
Waktu 20 Oktober – 20 Desember
Lokasi Lingkungan Tanangan
Pertanyaan untuk Sando Boyang
No. Pertanyaan Jawaban
1 Apa yang maksud dengan
tradisi mattera boyang di
suku mandar?
Mattera’ boyang meupakan tradisi masyarakat mandar
ketika ingin memasuki rumah baru
2 Bagaimana sejarah tradisi
mattera boyang di suku
mandar?
“sejak ada dari dulu dan masih ada sampai
sekarang” masalah waktu tepatnya tidak bisa
dijelaskan tetapi yang jelas mattera’ boyang ini ada
setelah masuknya islam di tanah mandar dilihat dari
adanya barazanji dan pembacaan doa dalam mattera’
boyang.
3 Apakah setiap tempat di
suku mandar sama proses
pelaksanaan mattera
“Mua’ masalah sittenganna carana, tatta bandi diang
sittenganna tapi diang to’o bedana. Beda-beda carana
sando boyang tergantung sando boyangna apa diang
boyangnya atau berbeda? to’o tu u sando boyang ragi-ragi na pirau tapi indang
towandi sala ya iyamo disanga beda sando boyang
beda to tia carana”
4 Apakah tradisi mattera
boyang di suku mandar itu
wajib dilakukan untuk
masyarakat yang mau
masuk rumah baru atau
hanya orang-orang
tertentu?
Masalah wajib na indani tau mala maua wajib apa
maidi toi tu u tau ketika pura mattodo’ boyang
andiappa mala tappa na tera’ mungkin karena
andiappa wattunna atau mungkin indappa diang doina
untuk na mattera’ boyanna. Apa indani tu u mala mua
na mattera’ tau boyang mane doi di inggrang iya mo
tu’u anna diang tau na oroi mi boyanna padahal
indappa di tera’ apa dotami tia dari pada harus di
passai untuk mattera’ dari na mainggrang i tau untuk
di passa mala ditera
5 Siapa-siapa yang terlibat
dalam proses mattera
boyang?
Masyarakat, Sando boyang, Imam Masjid dan pemilik
rumah.
6 Bagaimana Peran Masing-
masing orang yang terlibat
dalam tradisi mattera
boyang?
a). Sando Boyang
Sando Boyang (dukun rumah) yakni tokoh adat atau
orang yang paham tentang tata cara pelaksanaan
tradisi mattera’ boyang yang dimana nantinya
sando boyang yang akan memimpin acara tradisi
mattera’ boyang.
b). Tukang Boyang
Tukang Boyang (rumah) tukang rumah yang
dimaksud disini yakni tukang yang membangun
rumah yang akan di tera’ (mattera’ boyang) dan
biasanya tukang boyang, dia juga yang sekaligus
jadi sando boyang
c). Tokoh Agama
Tokoh Agama disini yang akan memimpin
pembacaan do’a dan barzanji dalam proses
pelaksanaan mattera’ boyang, tokoh agama
biasanya imam masjid yang ada di tempat matter
biasanya memimpin doa
d). Pemilik Rumah
Peran Pemilik rumah dalam Mattera Boyang yakni
pemilik rumah juga ikut didalam seperti halnya
masyarakat (tetangga) yang hadir
7 Mengapa tradisi mattera
dilaksanakan serta apa
tujuan dari
dilaksanakannya tradisi
ini?
Rumah merupakan simbol keluarga yang dimana
menjadi tempat untuk bernaung serta membesarkan
anak-anaknya bukan sekedar tempat untuk tinggal
tidur tapi lebih dari itu. Tradisi Mattera boyang
dilaksanakan yang dimana merupakan cara
masyarakat bersyukur atas rezeki yang diberikan dan
lancarnya proses pembangunan rumahnya tujuan dari
dilaksanakannya tradisi ini yakni seperti yang saya
bilang tadi cara masyarakat bersyukur atas rezeki yang
diberikan serta dimudahkan dalam serta dimudahkan
segala urusannya terkhusus dalam berkeluarga.
8 Apa konsekuensi yang
didapat ketika tidak
melaksanakan mattera
boyang ketika masuk
rumah baru?
Masyarakat mandar mempercayai ketika tidak
melaksanakan tradisi mattera boyang ketika masuk
rumah baru akan dapat masalah dalam berumah
tangga baik dari bencana, dan rasa tidak nyaman
menempati rumahnya diganggu oleh roh-roh jahat
penghuni rumahnya.
9 Kapan Waktu yang tepat
untuk melaksanakan tradisi
mattera boyang?
Kalau dalam masalah waktu sebenarnya tidak
ditentukan waktu dilaksanakan tradisi ini meskipun
rumah baru itu sudah di tempati pemiliknya tidak
masalah bahkan sampai bertahun-tahun selama tidak
ada perayaan atau acara yang dilakukan dirumah itu
misalnya pernikahan dll, ketika mau melaksanakan
acara tadi harus dilaksanakan mattera boyang ini
sebagaimana yang menjadi ketentuannya
10 Bagaimana proses atau tata
cara dalam pelaksanaan
tradisi mattera boyang?
Tradisi Mattera boyang adalah tradisi ketika ingin
memasuki rumah baru tapi ini tetap berkaitan dengan
kegiatan yang dilakukan seperti ketika mendirikan
rumah (Mappakede boyang) yang dimana memiliki
Proses yang unik juga yang mana sebelum mendirikan
tiang rumah tiangnya di Panje’ne (berwudhu) yang
dimana bermakna mensucikan ibarat anak baru lahir
yang dimana terlahir bersih suci begitupula dengan
rumah baru di panje’ne agar suci, dan masih banyak
lagi sedangkan dalam tradisi mattera boyang ini
proses dan tata caranya yakni Mulai dari ketika
pemilik rumah sudah menyiapkan apa yang mesti
disiapkan sesuai dengan ketentuannya, ketika dalam
tradisi mattera boyang toko budaya atau biasanya
imam masjid akan memimpin berbacaan doa-doa yang
di barengin dengan pembacaan barzanji yang
dilakukan imam dan masyarakat. Di sisi lain sando
boyang dan pemilik rumah berada di Posi Arriang
(Tiang Rumah tengah) yang dimana sebagai simbol
pusat dari rumah itu sendiri disana sando boyang dan
punya rumah macco’bo boyang
Pertanyaan Toko Agama/ Imam Masjid
No. Pertanyaan Jawaban
1 Apa yang bapak/ibu
ketahui tentang tradisi
mattera boyang di suku
mandar?
Mattera’ boyang itu sama halnya kita meminta izin
kepada pemilik tempat untuk kita tempati tempanya.
2 Apa pendapat bapak
tentang tradisi mattera
boyang itu sendiri?
Mattera’ boyang itu merupakan warisan nenek moyang
kita jadi kita selaku penerus harus melestarikan tradisi
ini
3 Apa peran toko agama
dalam tradsi mattera
boyang?
Kalau Masalah perannya, ya mungkin bisa dibilang.
Daam tradisi ini kan ada baca-bacanya ya disitu baik
pembacaan barazanji hingga pembacaan doa nantinya.
4 Apakah dalam tradisi
mattera boyang harus ada
pembacaan barzanji?
Iya harus ada karena kesempurnaan suatu acara di
mandar tidak akan lengkap jika tidak ada barazanji
didalamnya
5 Apa peran barazanji dalam
mattera boyang di suku
mandar?
Tradisi barazanji dikatakan sunnah yang dimana jika
lakukan dapat pahala jika tidak dilakukan tidak dapat
apa-apa, berbedah dengan ketika kita berbicara tentang
kedudukan barzanji dalam upacara adat yang dimana
barzanji dalam upacara adat harus ada dan wajib untuk
ada terkhusus di masyarakat mandar acara adat apapun
itu mesti ada barazanji didalamnya sebagai
penyempurna dan sebagai bentuk wujud akulturasi
kebudayaan dengan agama Islam.
Pertanyaan untuk Masyarakat / Kepala Lingk.
No. Pertanyaan Jawaban
1 Apa yang bapak/ibu
ketahui tentang tradisi
mattera boyang di suku
mandar?
Mattera’ Boyang itu untuk orang mau masuk rumah,
kalau sudah bangun rumah to, ya mambaca-bacai (ibu
fira, 28 oktober 2020)
2 Apakah mattera boyang
wajib dilaksanakan
masyarakat yang mau
masuk rumah baru?
“Pamali sanna’ i tu u mittamai tau di boyang baru
mane indappai ti tera’ apa rapang towandi die apa-apa
harus i tau mirau ising lao di tori boyang atau
pa’jagana sebelum dioroi” (bapak ilham, 28 oktober
2020)
3 Apa dampak dirasakan
masyarakat ketika tidak
melaksanakan tradisi
Yang narasakan masyarakat itu biasa takut-takut
sendiriki karena ya begitumi kaena percaya ki
memang pastia ada penjaganya setiap tempatjadi kalau
mattera boyang ini? tidak di tera’I biasa kaya ada mangganggu ki (bapak
fahrul, 28 oktober 2020)
4 Dimana masyarakat
mandar melaksanakan
tradisi mattera boyang?
Ya dirumah yang mau di tera’ karena disitu ji biasa
tempatnya. Tidak kemana-mana ji kaya ziarah tidak ji.
(bapak ahmad 29 oktober 2020)
5 Siapa yang menentukan
waktu pelaksanaan mattera
boyang?
mua tonamattentukan ya jelas tori boyanna apa iya na
maacara mua diammo wattunna inna namala (bapak
agus 27 oktober 2020)
6 Apa makna dari tradisi
mattera boyang itu sendiri
bagi masyarakat?
“Iya tu’u ann mattera’ boyang mua na mittama
diboyang baru sebagai bentuk rasa syukur u na
bengana dale mau mirrupa doi, kesehatan salama
manyamang ingana dipogau na bengang toa
kesempatan anna mala mappakede’ die boyang”
(bapak ahmad 29 oktober 2020)
7 Apa saja persiapan yang
dilakukan pemilik rumah
sebelum melaksanakan
tradisi mattera boyang?
Ya dipasadia nasangi ingganna na anu diparulluang
bassa loka 4 rupa, kande-kande, manu ya maidi ruapa
apa-apa napirau sando boyang dipasadiangammi
(bapak ilham, 28 oktober 2020)
8 Apa saja yang dilakukan
masyarakat selama
berlangsungnya tradisi
mattera boyang?
Ya diomi tau masiolo ola mambaca, mua dissani ma
barazanji ya miccoe tou tau mambaca sola imam
(bapak agus 27 oktober 2020)
9 Menurut bapak/ibu
bagaimana cara
masyarakat agar bisa
menjaga dan
mempertahankan tradisi
mattera boyang?
sebagai masyarakat kita harus mejaga ini budaya ta’
kalau bukan kita yang jaga siapa yang mau jaga,
tanggung jawab ta’ ini semua saya, kita, orang tua ta’
tanggung jawab ta untuk budaya ini, klau masyarakat
mulaimi na tinggal ini mattera’ boyang apa mau naliat
anak-anak ta nanti bakal hilang itu namanya
pelluluareatta (persaudaraan) karena inimi yang kasi
melekat ki semua paratta to Mandar. (Kpl.
Lingkungan, Hasbi 3 november 2020)
10 Apa dampak positif yang
dapat di ambil oleh
masyarakat dari
dilaksanakannya tradisi
mattera boyang?
Dari tradisi ini bisa ki sama-sama menjaga
kebersamaan to, sekaligus kepedulian ta sesame,
membantu di acarana luluare’ ta (Kpl. Lingkungan,
Hasbi 3 november 2020)
C. DOKUMENTASI / GAMBAR
RIWAYAT HIDUP
Muhammad Naim Rusli, lahir pada tanggal 24 april 1998, di
Tanangan, Kelurahan Pangaliali, Kecamatan Banggae, Kabupaten
Majene, Provinsi Sulawesi Selatan saat itu, setelah pemekaran
Kabupaten Majene merupakan bagian dari Sulawesi Barat. Penulis
merupakan anak tunggal dari pasangan Rusli Muin dan St.
Maryam. Penulis pertama kali masuk pendidikan formal di SDN 16
Garo’go pada tahun 2004 dan tamat pada tahun 2010. Pada tahun
yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiah
MTs. Guppi Majene dan tamat pada tahun 2013. Setelah tamat di MTs, penulis
melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah, MAN 1 Majene dan tamat pada tahun 2016. Dan
pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya dan terdaftar sebagai salah satu
Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Makassar, Fakuktas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Program Studi Pendidikan Sosiologi melalui seleksi penerimaan mahasiswa
baru tahun 2016.