Ekspedisi Bumi Mandar
-
Author
muhammad-ridwan -
Category
Documents
-
view
626 -
download
19
Embed Size (px)
description
Transcript of Ekspedisi Bumi Mandar
-
Ekspedisi Bumi Mandar
-
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaLingkup Hak CiptaPasal 2 :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan PidanaPasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan per buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-
www.penerbitombak.com
2013
Muhammad Ridwan Alimuddin
Ekspedisi Bumi Mandar
-
EKSPEDISI BUMI MANDAR CopyrightMuhammad Ridwan Alimuddin, 2013
Diterbitkan kembali oleh
Penerbit Ombak (Anggota IKAPI), 2013
Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B-15, Yogyakarta 55292
Tlp. (0274) 7019945; Fax. (0274) 620606
e-mail: [email protected]
facebook: Penerbit Ombak Dua
website: www.penerbitombak.com
PO.***.**.13
Penulis: Muhammad Ridwan Alimuddin
Tata letak: Nanjar Tri Mukti
Sampul: Dian Qamajaya
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)EKSPEDISI BUMI MANDAR
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013
** + *** hlm.; 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-602-258-***-*
-
vDAFTAR ISI
PENGANTAR
SELAMATKAN KALUMPANGPeradaban Tertua Kita adalah Kalumpang
Tabir Sejarah Pertanian Awal Pulau Sulawesi
Warisan Dunia yang Harus Kita Jaga
Sikomande, Sarung Ikat Tertua di Dunia
Dunia Akan Mengutuk Sulbar
PERTAHANKAN LERE-LEREKANGLere-lerekang atau Lari-lariang?
Pulau Lere-lerekang Bagian Kepulauan Bala-balakang?
Mandar Itu Pelaut Ulung
Mengungsi ke Pulau yang Mereka Kenal
Hak Ulayat Laut
Pulau Lere-lerekang dalam Bingkai Otoda
Berlayar ke Garis Depan Sulawesi Barat
Sesaat Sebelum Mendarat, Pistol Disiapkan
Kondisi Lingkungan
Jadikan Laboratorium Alam atau DPL!
(Jika Betul) Pulau Lere-lerekang Lepas, Siapa Salah?
Kepulauan Bala-balakang
-
vi Muhammad Ridwan AlimuddinSebab Database Kita Payah
Mengapa Membicarakan Lere-lerekang?
Kali Ini Bupati Ikut Berlayar
Memperjuangkan Mempertahankan Lere-lerekang
Lautnya Sulbar Ternyata Terbagi-bagi
Menuju Kilang yang Diperebutkan
GALUNG LOMBOKPanyapuang di Galung Lombok dan Westerling
Hubungan Antara Peristiwa Taloloq dan Panyapuang
Laporan Rahasia Belanda Tentang Peristiwa Galung Lombok
Westerling, si Turki
Westerling Bersekongkol dengan Darul Islam
Westerling, Mati Karena Lalunya Diungkit-ungkit
KEANGGUNAN BUNGGUTabuhan Musik Terpanjang Diiringi Ayunan Parang
Masyarakatnya Tak Primitif Lagi
Bunggu Itu Suku Kaili?
Ngovi, Daerah Kesekian yang Diabaikan Sulbar!
Mantap, Tari Dero Diiringi House Music
The Rock yang Kebal
Tikam Babi Hingga Potong Gigi
Beristri Cantik, Jangan Cepat Tidur
EKSPEDISI BUMI MANDAREkspedisi Keliling Mandar Ala Jurnalis Radar Sulbar
Jam Tiga Sore Ekspedisi Dimulai
-
viiEkspedisi Bumi MandarTerima Kasih Kambossolnya
Totolisi Selatan, Sentra Gamacca di Mandar
Majene, Negeri Seribu Teluk
Menyisir Pesisir Barat Tappalang
Pulau Karampuang, Sempurna untuk Cross Country
Sungai Kalukku, Seperti Sungai di Amerika
Ekspedisi Ini Merekam Perubahan
Topoyo, Riwayatmu Kini
Paku Suremana Kampung Halamanku
Diaspora Orang Mandar di Mandar
Benu, Kaqdaro dan Bokaq
Berniat Menghentikan Ekspedisi
Suremana, Sureq Orang Mene
PENULIS
-
viii
PENGANTAR
Buku ini adalah kumpulan tulisan (feature) saya yang dibuat berseri di harian Radar Sulbar pada sepanjangtahun 2012 hingga pertengahan 2013. Itu juga merupakan tahun pertama
saya aktif secara resmi sebagai jurnalis di Radar Sulbar. Meski
demikian, sejak tahun 2006 tulisan berseri saya telah dimuat
Radar Sulbar (sebelumnya bernama Radar Mandar), khususnya
tentang sandeq. Bukan hanya sandeq, kebudayaan Mandar secara
umum juga. Seri-seri tulisan tersebut juga sudah terwujud dalam
bentuk buku, yaitu Sandeq Perahu Tercepat Nusantara (2010),
dan Mandar Nol Kilometer (2011). Bedanya, tulisan yang ada
dalam buku ini, serinya tematik. Judul buku ini saya ambil dari seri
tulisan terakhir, Ekspedisi Bumi Mandar, yang juga merupakan
nama kegiatan saya sewaktu bersepeda sendirian dari Paku hingga
Suremana atau dari ujung selatan batas Sulawesi Barat ke ujung
utaranya.
Dulu, saya membenci buku yang isinya hanya kompilasi atas
tulisan di media massa. Seorang penulis mengumpulkan tulisan-
tulisannya di media massa lalu mewujudkannya menjadi sebuah
buku. Kelihatannya; seolah-olah menulis buku itu gampangan.
Ketika ada banyak tulisan terserak di media massa, yang saya
sendiri tidak memiliki klipping-nya, baru terasa dirasa perlu
-
ixEkspedisi Bumi Mandarmewujudkan tulisan-tulisan itu ke dalam satu buku. Agar bisa
dibaca setiap saat.
Manfaatnya jelas, memudahkan pencarian, memudahkan
membaca. Bukan untuk saya, tapi orang lain juga. Jika ada bukunya,
gampang sekali mencarinya; membacanya. Dan bagi yang mau file
digitalnya atau pembaca lain yang tidak mendapatkan bukunya,
tulisan-tulisan saya (sekitar 80% dari total tulisan yang pernah
saya buat) dapat diakses di www.ridwanmandar.com. Artinya,
antara dalam bentuk buku dengan yang berada di dunia maya saling melengkapi. Tujuannya jelas, memudahkan pembaca.
Pun, saya tidak terlalu mengandalkan buku yang merupakan
kompilasi saja. Beberapa buku saya yang lain adalah murni sebagai
sebuah buku, misalnya Orang Mandar Orang Laut. Beberapa buku
berikut, yang naskahnya teronggok sebagai file dalam hardisk,
malah belum pernah saya publish ke publik. Yaitu tentang riset saya mengenai pemboman ikan di Selat Makassar.
Buku ini terdiri dari lima tema: Kalumpang, Lerelerekang,
Galung Lombok, Bunggu, dan hasil catatan lapangan saya sewaktu
keliling Sulawesi Barat menggunakan sepeda. Total jenderal
hampir 50 tulisan.
Kalumpang, nama situs bersejarah di kawasan Asia. Termasuk
situs neolitik terbesar di Asia. Ironisnya, situs tersebut akan
dimusnahkan oleh proyek PLTA Karama. Tulisan dalam bab itu
membahas tentang Kalumpang, mulai dari lingkungannya hingga
kebudayaan yang tak ternilai di tempat itu.
Lerelerekang, awalnya tak ada yang mengindahkannya. Termasuk
pemerintah dan rakyat Sulawesi Barat sendiri. Tetapi ketika diketahui
ada kandungan minyak dan gas dibawahnya, pulau kecil itu menjadi
-
x Muhammad Ridwan Alimuddinrebutan antara Kalimantan Selatan dengan Sulawesi Barat. Kabarnya,
sampai titik darah penghabisan akan terus diperjuangkan agar tetap
milik Sulawesi Barat. Saat tulisan pengantar ini saya buat (September
2012), entah bagaimana kasusnya. Apakah ending-nya dimiliki oleh
Sulawesi Barat ataukah Kalimantan Selatan?
Galung Lombok, nama desa di Kecamatan Tinambung.
Di sana ada pemakaman, korban pembantaian oleh Pasukan
Westerling. Agar masyarakat Sulawesi Barat mendukung usaha
advokasi agar korban dan ahli warisnya mendapat kehormatan
dan keadilan atas penderitaan yang mereka alami, seri tulisan
Galung Lombok dan Westerling saya buat. Khusus tulisan ini
saya lebih banyak mengandalkan referensi tertulis, misalnya
tulisan mengenai kejadian Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan
dan tentang Westerling. Selebihnya mendapat di Arsip Nasional di
Makassar dan wawancara. Jadi ada perbedaan dengan seri lain,
yang semuanya pengamatan lapang.
Bunggu, nama sub suku dari Suku Kaili. Tak adanya referensi
ilmiah tentang masyarakat, yang oleh pemerintah disebut suku
terasing, mendorong saya untuk melakukan liputan mengenai
komunitas di pedalaman Sulawesi tersebut. Beberapa hari di tengah
masyarakat Bunggu memperlihatkan bentuk-bentuk kebudayaan
yang telah lama ditinggalkan masyarakat Sulawesi yang tinggal di
pesisir. Yang unik, ada benang merah antara Lerelerekang dengan
Bunggu. Yaitu sama-sama di daerah perbatasan provinsi; sama-
sama tidak dipedulikan pemerintah Sulawesi Barat.
Terakhir, Ekspedisi Bumi Mandar. Bukan perjalanan saya paling
jauh dan paling lama bila dibanding beberapa ekspedisi pelayaran yang
pernah saya lalui. Tapi merupakan ekspedisi terberat yang pernah saya
-
xiEkspedisi Bumi Mandarlakukan. Dan itu solo, seorang diri. Di bagian ini adalah tulisan yang saya
buat di malam menjelang istirahat, yang saya buat di dalam kemah
bulan berdiamater lebih semeter.
Tulisan yang ada dalam buku ini terwujud berkat dukungan
banyak pihak. Saya menyampaikan terima kasih kepada Bapak
Naskah M. Nabhan (Direktur Radar Sulbar), Muhammad Ilham
dan Sudirman Samual (keduanya wartawan senior di Radar Sulbar)
yang telah memberi ruang atas tulisan-tulisan saya. Terkhusus
pada saudara Mahbub Amiruddin, yang mengajak saya bergabung
di Radar Sulbar, untuk kemudian mendorong dan membantu dalam pelaksanaan Ekspedisi Kalumpang, sebuah ekspedisi
sederhana yang menyejarah bagi saya dan berdampak luas.
Mandar, Agustus 2013
Muhammad Ridwan Alimuddin
-
xii Muhammad Ridwan Alimuddin
-
1SELAMATKAN KALUMPANG
Peradaban Tertua Kita adalah Kalumpang
Sulawesi Barat hanya memiliki satu situs peradaban tertua, yang oleh para arkeolog menjadi salah satu mata rantai di dalam mengetahui perkembangan manusia pra sejarah Nusantara,
yang terentang 3.500 tahun lalu. Yaitu Kalumpang.
Kalumpang tak begitu banyak diketahui, sehingga di situs
ensiklopedia online, Wikipedia, hanya memiliki defenisi pendek
tentang Kalumpang, sebuah kecamatan di Mamuju, Sulawesi
Barat, Indonesia. Apalagi kita di Sulawesi Barat, mungkin hanya
menganggap Kalumpang sebagai nama tempat, sebagaimana
nama tempat-tempat lain di Sulawesi Barat.
Kalumpang lebih dari itu. Jika ada pengelompokkan status
sosial tempat-tempat di Sulawesi Barat berdasar kesejarahan,
maka Kalumpang berada di kasta paling atas. Ya, kita lebih
banyak mendengar nama-nama situs di provinsi kita ini, seperti
Tammejarra, Luyo, Salabose, dan lain-lain. Tapi, tempat tersebut
sebagai situs bersejarah, masih berumur anak bawang dibanding
Kalumpang.
Kalumpang hampir tak ada arti di mata pemerintah kita,
apalagi para investor dari Cina, sehingga untuk membangun PLTA
-
2 Muhammad Ridwan AlimuddinKarama, penduduk Kalumpang (dan Bonehau) tinggal direlokasi
saja. Ya, tidak apa-apa kampung mereka (baca: Kalumpang)
tenggelam.
Kalumpang hampir tak ada pentingnya, sehingga pembangunan
PLTA Karama butuh waktu 4-5 tahun saja. Sehingga tak butuh
waktu lama untuk mikirkan dampaknya, membicarakannya dalam
sebuah seminar. Ya, tak perlu dilindungi, tak perlu dilestarikan
atau dijaga perabannya. Tidak apa-apa hilang dibawah genangan
air dam PLTA Karama. Kan, mungkin sebagian orang berpikir, tak
ada gunanya juga.
Bila memang kita sepakat untuk itu (menenggelamkan
Kalumpang demi sebuah proyek bernama PLTA Karama), terlalu
kasar bila saya mengatakan, kita memang tidak beradab.
Kalumpang atau Galumpang (setidaknya ada enam tempat
bernama Kalumpang di kawasan Asia Tenggara) adalah salah
satu wilayah atau kecamatan di Kabupaten Mamuju. Letaknya
35 km dari pantai (persis sejajar Pelabuhan Belang-belang) atau
sekitar 65 km dari kota Mamuju.
Dalam dunia arkeologi Asia, Kalumpang sangat terkenal.
Ekskavasi yang pernah dilaksanakan di wilayah Kalumpang secara
ringkas digambarkan sebagai berikut. Mei 1933 penggalian
percobaan dilakukan oleh A.A. Cense di lembah Sungai Karama.
Ditemukan sejumlah alat-alat batu dan gerabah. Penggalian
tersebut memberi arti penting dalam sejarah pertumbuhan
kebudayaan prasejarah Indonesia.
Kemudian pada 25 September sampai 17 Oktober 1933
penggalian oleh P.V. Van Stein Callefels di sebelah timur bukit
Kamassi. Dia mem peroleh temuan berbagai alat dari batu berupa
-
3Ekspedisi Bumi Mandarpisau, kapak batu segi empat yang halus, pecahan-pecahan
tembikar yang berdekorasi.
Lalu pada 13 Agustus hingga September 1949 penggalian oleh
Dr. H. R. Van Heekeren, di bagian selatan puncak bukit Kamassi 13
meter di atas permukaan sungai. Ditemukan berbagai alat batu
dan gerabah berhias. Alat-alat batu berupa kapak batu yang ada
kesamaannya dengan alat neolithic seperti yang ditemukan Luzon,
Filipina, di Manchuria, Mongolia, di Hongkong, dan lain-lainnya.
Gerabah yang berhias dinilai oleh para ahli arkeologi
mempunyai corak yang tinggi dan desain yang halus memberikan
pertanda bahwa kebudayaan Kalumpang terlingkup satu wilayah
sahuynh kalanay, desain yang meliputi wilayah Cina, Filipina dan
Vietnam, malah diperkirakan mempengaruhi beberapa daerah
Pasifik. Hipotesa itu dikemukakan oleh Solheim WG. Demikian
dikemukakan Drs. Darmawan Masud dalam kertas ilmiah yang
dipresentasikan pada saat Seminar Kebudayaan Mandar I di
Majene pada 31 Juli s.d. 2 Agustus 1984.
Menurut salah seorang sahabat saya, yang disiplin ilmunya
arkeologi dan pernah membuat film dokumenter tentang
Kalumpan, Asfriyanto, Untuk mencari bukti arkeologis mengenai
pertanian orang Kalumpang purba, justru harus dicari di sekitar
perbukitan yang secara spasial jauh dari tepian sungai saat ini.
Tambahnya, Bukti arkeologis menunjukkan, temuan
beliung berbahan batu yang banyak tersebar di perut Kalumpang
mengindikasikan adanya ekploitasi orang Kalumpang purba
pada bidang pertanian. Hal itu dikuatkan juga melalui banyaknya
temuan yang masih utuh maupun pecahan periuk dan belanga
dari bahan tanah liat merah.
-
4 Muhammad Ridwan AlimuddinPara ahli arkeologi percaya bahwa penduduk Kalumpang purba
merupakan satu suku dari ras Aus tronesia yang membawa tradisi
pertanian dan gerabah (dua artefak masa lalu yang berasosasi
dengan tradisi pertanian) dari daratan Asia yang bermigrasi ke
daerah ini sekitar 3.500 tahun yang lalu.
Menurut salah satu pendapat, kaki-kaki perbukitan Kalumpang
telah dihuni oleh penduduk asli sebelum kedatangan orang-orang
Proto Melayu pada 3600 SM. Kedatangan kaum Melayu Tua pun
tak lepas dari sejarah pengusiran mereka dari kawasan pesisir
pantai, akibat kedatangan peradaban baru yang dibawah oleh Deutero Melayu, yang tentu lebih hebat dari segi teknologi dan
keterampilan.
Mulanya mereka menghuni daerah Sipakko, sekitar 1,5
kilometer dari pusat Kecamatan Kalumpang saat ini. Tapi, karena
banjir besar akibat luapan sungai Karama sekitar seribu tahun
yang lalu, warga pun terpencar- pencar. Banyak yang lari ke atas
bukit karena trauma akan banjir yang telah meluluhlantakkan
sawah dan pemukimannya.
Tabir Sejarah Pertanian Awal Pulau Sulawesi
Pada 1926, Zending Belanda mulai mendirikan Sekolah Rakyat
(SR) di Tamalea untuk kelas satu hingga tiga. Setahun berikutnya,
1927 didirikan lagi SR di Malolo, namun bukan di Kota Kalumpang.
Tahun 1930 di Pulo Karama, lalu di Pabentengan berupa sekolah
lanjutan untuk kelas empat hingga enam dengan sebutan Veer
Volog School (VVS).
Setelah perang dunia kedua, Universitas Sorbonne, Paris,
melibatkan diri dalam penelitian situs Sampaga (kawasan dekat
-
5Ekspedisi Bumi Mandarmuara Sungai Karama). Perhatian mereka terpusat pada relief pola
desain tembikar yang ditemukan di Minanga Sipakko. Penelusuran
situs sampai ke hulu Sungai Karama (yang biasa juga disebut
Sungai Sampaga dalam beberapa tulisan) membawa mereka pada
masyarakat Kalumpang.
Kalumpang adalah situs yang oleh para arkeolog dianggap
bisa membuka tabir sejarah pertanian awal orang-orang di
Pulau Sulawesi. Menurut Asfriyanto, seorang arkeolog muda,
Menariknya, daerah Kalumpang juga memiliki mitos suci tentang
padi yang berbeda dengan mitos padi seperti yang termaktub
dalam naskah La Galigo, naskah yang selama ini dipandang para
ahli sebagai ingatan sejarah orang-orang Bugis yang paling purba.
Tambahnya, Jika mitos orang Bugis mengatakan tanaman
padi berasal dari badan Sangiang Seri, salah satu anak dari
Patotoqe sang penguasa di Botting Langi, maka mitos padi orang
Kalumpang justru berasal dari tumbuhan Dewa, yang muasal
benihnya dari tanah dewa di seberang lautan yang kemudian
dibawa oleh nenek moyang dengan perahu ke Kalumpang dan
ditanam di atas batu di puncak gunung. Mitos tentang padi
ditemukan dalam nyanyian maole atau nyanyian panjang orang
Kalumpang yang menggunakan bahasa Kalumpang purba yang
saat ini penuturnya tinggal dua orang tua berusia lanjut.
Konon, benih padi itu masih ada di puncak gunung yang terletak
tidak jauh dari kampung Kalumpang. Setiap tahun padi itu tetap
tumbuh. Sampai tahun 1960-an orang-orang Kalumpang masih
mengandalkan benih padi yang berasal dari puncak gunung itu.
Padi yang tumbuh di puncak bukit batangnya lebih besar dari
batang padi yang ada sekarang, bulir padinya lebih kecil, namun
-
6 Muhammad Ridwan Alimuddinsangat rimbun. Selain dimanfaaatkan sebagi bibit, tumbuhnya
batang padi di puncak bukit itu dijadikan penanda bagi orang
Kalumpang untuk memulai menanam padi. Sayang, usia panennya
mencapai enam bulan. Karena itu, dengan masuknya program
intensifikasi pertanian oleh pemerintah diawal tahun 1970-an,
bibit padi lokal tersebut diganti dengan bibit yang lebih bagus
dengan masa panen tiga bulan sekali.
Sejak proses pergantian varietas padi itulah orang-orang
Kalumpang mulai mengenal hama padi dan insektisida. Asfriyanto
mengutip pendapat pendeta Mardi Tamandalan, Masih ada
penduduk yang menanam bibit padi gunung seperti itu, tapi
letaknya di hulu sungai Karama. Padi gunung itu rasanya enak
sekali. Saya dulu sering makan waktu masih kecil, tapi sekarang
sudah susah dicari.
Patung Sikendeng
Sungai Karama menyimpan banyak misteri dan pernah
menjadi saksi sejarah peradaban Nusantara. Di Sikendeng, sekitar
10 km dari muara Sungai Karama, pernah ditemukan patung
Buddha berbahan perunggu, yang kemudian diberi nama Patung
Sikendeng, sebab ditemukan di Sikendeng.
Situs bersejarah ini ditemukan oleh A. Maula, seorang penilik
sekolah daerah setempat. Dan atas perintah Caron, gubernur
waktu itu, patung dibawa ke Makassar. Untuk kemudian Dr. F.D.K.
Bosch membandingkannya dengan patung-patung Buddha yang
ada di Borobudur dan Palembang yang termasuk tradisi Hindu
Jawa dan Hindu Sumatera.
Dari hasil penelitian di simpulkan, gaya patung Sikendeng
mempunyai ciri yang khas sebagaimana mantel biarawan Sanghati
-
7Ekspedisi Bumi Mandaryang berlipat-lipat dilukiskan. lipatan-lipatan terjadi karena kain
penutup bahu kiri ditarik keras, menyebabkan jalur-jalur dangkal
pada kain tersebut. Di samping itu badan yang ramping seperti
wanita, raut muka bulat, leher berisi, mulut kecil bibir tebal.
Dibandingkan dengan gaya dan bentuk patung perunggu Buddha lainnya seperti dari Solok jambi, Kotabangun Kalimantan
Barat dan patung dari Gunung Lawu Jawa Hindu kelihatannya
tidak mempunyai kesamaan. Kelihatannya patung itu dipengaruhi
oleh gaya Buddha Greeco yang terdapat di India Selatan.
Di Amarawaty India Selatan pernah ada tradisi pembuatan
patung yang mirip dengan gaya patung yang ditemukan di Sikendeng, terutama cara pemakaian dengan jalur-jalur yang
dangkal dan cara menutup bahu dengan kain yang berlipat-lipat.
Dr. Bosch akhirnya berkesimpulan bahwa patung Sikendeng
dibawa langsung dari India Selatan dan mungkin dari Amarawaty.
Masa penyebarannya mungkin terjadi antara abad ke-2 - 7 M.
Penemuan tersebut mengisyaratkan, pernah terdapat kerajaan
atau perkampungan tua, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa kerajaan atau perkampungan di wilayah penemuan benda-
benda atau alat-alat dari batu dan gerabah adalah kerajaan atau
perkampungan tertua di Mandar atau Sulawesi Barat.
Warisan Dunia yang Harus Kita Jaga
Seusai penelitian yang dilakukan oleh Heekeren tersebut, Situs
Minanga Sipakko menjadi salah satu situs terpenting di Indonesia
yang kaya dengan tinggalan-tinggalan budaya prasejarahnya Hal
yang tidak kalah pentingnya adalah upaya publikasi data temuan
-
8 Muhammad Ridwan Alimuddinekskavasi yang terbaru mengingat keterancaman hilangnya Situs
Minanga Sipakko di masa depan akibat erosi dan banjir karena
letak situs yang berada di tepi Sungai Karama.
Di atas adalah kutipan salah seorang mahasiswa Fakultas
Ilmu Budaya dari Universitas Indonesia, Ricky Meinson Binsar
Simanjuntak (2009) dalam bagian pengatar skripsinya tentang
Kalumpang. Artinya, situs Kalumpang mau tidak mau harus dijaga,
dilestarikan. Sebab, bila situs tersebut dimusnahkan dengan cara
menenggelamkannya, maka, satu-satunya peradaban tertua yang
pernah ditemukan di Sulawesi Barat hilang dalam hitungan hari.
Agar kita, masyarakat Sulawesi Barat, lebih menyadari akan
arti penting Kalumpang, edisi hari ini dan esok, isinya dalah saduran
dari penelitian mahasiswa Universitas Indonesia di atas. Tujuannya,
agar kita, khususnya warga Sulawesi Barat, sama-sama bertanggung
jawab atas kelestarian situs Kalumpang. Jika situs itu tetap ada, itu
karena kita; jika situs itu musnah, itu karena kita juga.
Kalumpang pada awalnya merupakan sebuah nama yang
ditujukan untuk menyebut Situs Kamassi, tempat P .V . van Stein-
Callenfels melakukan penggalian pertama kalinya pada tahun
1933. Van Stein-Callenfels memperkenalkan Situs Kamassi dengan
nama Kalumpang berdasarkan keletakan desa Situs Kamassi
berada, namun seiring dengan perkembangan penelitian yang
dilakukan saat ini Kalumpang mengacu pada sebuah kawasan situs
yang terdiri dari beberapa situs prasejarah termasuk Situs Kamassi
dan Minanga Sipakko.
Minanga Sipakko terletak di Kecamatan Kalumpang,
Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, sekitar 3 km di sebelah barat
Kalumpang. Menurut bahasa lokal, Minanga Sipakko memiliki arti
-
9Ekspedisi Bumi Mandarcabang sungai (minanga atau binanga = sungai, sipakko atau
sipakka = cabang).
Minanga Sipakko muncul dalam dunia prasejarah Indonesia
berkat penelitian yang dilakukan oleh Heekeren pada tahun 1949,
berlatarbelakang pada serangkaian penemuan situs-situs Neolitik
di tepi Sungai Karama. Awalnya Heekeren melakukan penggalian di
Kamassi melanjutkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
van Stein-Callenfels, namun pada saat yang bersamaan ditemukan
temuan yang sejenis di Minanga Sipakko yang terletak tidak jauh
dari Kamassi sekitar 1 km ke arah barat.
Penelitian yang dilakukan di Situs Minanga Sipakko terbilang
jarang. Sepeninggal Heekeren tidak ada penelitian lebih lanjut
di tempat ini, yang ada hanya sebatas survei permukaan dan
peninjauan lapangan. Pada tahun 1994 dan 1995 Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional (sekarang Pusat Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional) yang bekerjasama dengan Balai Arkeologi
Makassar melakukan ekskavasi dengan membuka kotak uji (test
pit) di Situs Minanga Sipakko dan survei di Situs Kamassi.
Baru pada tahun 2004, 2005, dan 2007 penelitian di Situs
Minanga Sipakko mulai intensif dilakukan oleh Puslitbang Arkenas
bersama Balar Makassar. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa Situs Minanga Sipakko merupakan situs Neolitik murni.
Penelitian yang dilakukan di Situs Minanga Sipakko tersebut
menemukan berbagai alat-alat litik, alat tulang, sisa fauna, sisa-
sisa pembakaran, dan pecahan tembikar. Khususnya tembikar
ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak dan secara kuantitas
maupun kualitas memperlihatkan keberagaman motif hias yang
dihasilkan.
-
10 Muhammad Ridwan AlimuddinPada tahun 1933 penelitian dilanjutkan oleh Stein-Callenfels
di Situs Kamassi. Penggalian yang dilakukan berhasil menemukan
alat-alat batu Hoabinhian, kapak, beliung, mata panah, dan
tembikar.
Hasil penelitian tersebut kemudian dipublikasikan oleh Stein-
Callenfels pada Kongres Prasejarah Asia Timur di Manila tahun
1951 yang menjadikan Kalumpang dikenal di dunia internasional.
Sepeninggal Stein-Callenfels penelitian dilanjutkan oleh H.R.
van Heekeren pada tahun 1949 di Situs Kamassi. Ketika melakukan
penggalian, Heekeren mendapatkan laporan dari penduduk
setempat yang menemukan temuan yang serupa di Minanga
Sipakko. Kemudian pada saat perjalanan pulang ke Kalumpang,
Heekeren mencoba melakukan peninjauan langsung ke Minanga
Sipakko yang hanya sebatas survei permukaan. Hasilnya ditemukan
pecahan- pecahan tembikar polos dan berhias, beliung persegi,
kapak lonjong, mata tombak, mata panah, pahat batu, batu asah,
batu pipisan, dan alat pemukul kulit kayu.
Pada tahun 1969 R.P. Soejono dan D.J. Mulvaney mengadakan
penelitian berupa peninjauan lapangan di gua-gua Maros di
Sulawesi Selatan, tepatnya di Gua Batu Ejaya, Gua Ulu Leang 2, dan
Gua Ulu Wao. Dari hasil peninjauan tersebut ditemukan beberapa
pecahan tembikar yang jika dilihat dari motif dan teknik hiasnya
memperlihatkan kesamaan dengan tembikar Kalumpang.
Dari perbandingan tersebut disimpulkan bahwa tembikar
dari situs-situs tersebut merupakan bagian dari perkembangan
tembikar Kalumpang yang selanjutnya disebut sebagai kompleks
tembikar Kalumpang.
-
11Ekspedisi Bumi MandarPada tahun 1970 penelitian dilanjutkan oleh Uka
Tjandrasasmita dan Abu Ridho yang menyatakan bahwa tembikar
Kalumpang memiliki persebaran yang cukup luas di Sulawesi
Selatan, yaitu hingga ke daerah Maros (Ulu Wae, Ulu Leang, Leang
Burung, dan Batu Ejaya, dekat Bantaeng) dan juga ke arah selatan
Makassar, tepatnya di Desa Takalar.
Pada tahun 1981 pembahasan tembikar Kalumpang dilakukan
oleh Nurhadi dalam skripsinya yang berjudul Gerabah Prasejarah
Kalumpang. Dalam penelitiannya Nurhadi menggunakan data
himpunan tembikar koleksi Museum Nasional yang merupakan
hasil temuan ekskavasi Stein-Callenfels tahun 1933, Heekeren
tahun 1949, dan himpunan tembikar dari pemerintah daerah
setempat
Secara keseluruhan total pecahan tembikar yang digunakan
sebanyak 601 buah yang terdiri dari 351 tembikar berhias dan 250
tembikar polos. Dari hasil penelitiannya tersebut, Nurhadi berhasil
mengenali bentuk-bentuk tembikar Kalumpang yang terdiri
dari jenis cawan, kendi, periuk, buyung, tempayan, buli- buli,
jambangan, tutup, dan tungku. Nurhadi juga berpendapat bahwa
tembikar Kalumpang tidak dibuat di Kalumpang dengan alasan
tidak ditemukannya alat- alat pembuatan tembikar di Kalumpang.
Pada tahun 1988 Tim Ikatan Mahasiswa Arkeologi Indonesia
(IMAI) Universitas Hasanuddin melakukan survei di Kalumpang,
disusul oleh R.P. Soejono dari Puslitbang Arkenas tahun 1990.
Kemudian pada tahun 1993 Tim Ekspedisi Kalumpang II Universitas
Hasanuddin melakukan survei lanjutan yang kedua di Situs Kamassi
dan Minanga Sipakko.
-
12 Muhammad Ridwan AlimuddinDi Situs Kamassi ditemukan kapak lonjong, batu pelontar, batu
gandik, batu inti, batu asah, dan pecahan tembikar; sedangkan
di Situs Minanga Sipakko ditemukan kapak lonjong, calon kapak
lonjong (yang baru mengalami pengerjaan primer atau belum
terupam), batu gandik, batu asah, batu inti, kapak persegi, beliung
persegi, calon pahat, dan pecahan tembikar.
Penelitian eksploratif di Kalumpang dimulai tahun 1994 dan
1995 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama-sama
dengan Balai Arkeologi Makassar. Penelitian yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui sebaran wilayah tinggalan arkeologis
di Situs Kamassi dan Minanga Sipakko, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif, serta karakteristik kedua situs. Serangkaian
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Kalumpang merupakan
situs berciri Neolitik-Paleometalik dengan tinggalan pokok berupa
pecahan tembikar, beliung persegi, kapak batu, sisa fauna, dan
benda-benda yang terbuat dari logam.
Pada tahun 1995 tembikar Kalumpang diteliti oleh St. Fatimah.
Dalam penelitian skripsinya yang berjudul Unsur Tradisi Sahuynh-
Kalanay Pada Tembikar di Kalumpang: Tinjauan Berdasarkan
Analisis Teknologis Dan Tipologis Fatimah menggunakan data
hasil ekspedisi Kalumpang II dan survei yang dilakukannya di
Situs Kamassi dan Minanga Sipakko. Data tersebut terdiri dari 897
tembikar polos dan 42 tembikar berhias.
Hasil penelitiannya menyebutkan bentuk-bentuk tembikar
dari Kalumpang adalah cawan, buli-buli, tempayan, kendi, pinggan,
periuk, dupa, dan tutup. Bahan baku tembikar terbuat dari tanah
liat (lempung) yang ditambahkan dengan bahan campuran
(temper) dari pasir dan hancuran cangkang binatang laut. Hasil
-
13Ekspedisi Bumi Mandarlainnya juga diketahui adanya penggunaan roda putar dan tatap
pelandas pada pembuatan tembikar di Kalumpang, sedangkan jika
dilihat dari motif dan pola hiasnya menunjukkan adanya kesamaan
dengan tradisi Sahuynh-Kalanay.
Pada tahun 1998 penelitian tentang tembikar Kalumpang juga
dilakukan oleh Ning Suryati. Dalam skripsinya yang berjudul Tradisi
Gerabah Sa Huynh- Kalanay Pada Gerabah Kalumpang, Sulawesi
Selatan, Suryati memfokuskan pada komposisi kandungan mineral
tembikar Kalumpang dan menjelaskan proses persebaran tradisi
Sa Huynh-Kalanay di Kalumpang.
Data yang digunakan adalah data yang sama dipakai
oleh Fatimah pada tahun 1995. Berdasarkan hasil analisis
laboratorium, diketahui bahwa komposisi bahan baku tembikar
Kalumpang menunjukkan kesamaan dengan komposisi sedimen
yang ditemukan di Kalumpang sehingga menurut Suryati tembikar
Kalumpang dibuat di Kalumpang. Kemudian untuk proses
persebaran tradisi Sa Huynh-Kalanay di Kalumpang disebabkan
oleh proses stimulus diffusion, yaitu kebudayaan Sa Huynh-
Kalanay yang dibawa ke dalam kebudayaan Kalumpang.
Dari hasil penelitian mahasiswa UI tersebut, didapati
bahwa keanekaragaman tinggalan arkeologis di Kalumpang
menempatkan kawasan situs ini penting dalam pengkerangkaan
kehidupan manusia prasejarah di Indonesia. Berbagai tinggalan
arkeologis seperti alat-alat litik, alat tulang, sisa- sisa fauna, dan
tembikar ditemukan di Kalumpang.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
tembikar merupakan tinggalan budaya yang paling banyak
ditemukan di Kalumpang. Tinggalan-tinggalan budaya di
-
14 Muhammad Ridwan AlimuddinKalumpang secara umum mencerminkan budaya Neolitik yang
terdapat di Sulawesi.
Secara geografis Sulawesi merupakan salah satu pulau yang
memegang peranan penting dalam persebaran manusia petutur
Austronesia di Indonesia. Letaknya yang strategis di antara
persilangan jalur pelayaran Asia bagian tenggara menjadikan
Sulawesi sebagai titik terjadinya persilangan kebudayaan (melting
pot) di Indonesia, baik dari arah barat maupun timur. Dari
perspektif arkeologis keberadaan situs-situs Neolitik di Sulawesi
adalah kunci untuk menjelaskan sifat alami penyebaran dan asal-
usul penutur Austronesia di Indonesia.
Tinggalan-tinggalan arkeologis di Minanga Sipakko merupakan
bukti hadirnya budaya Neolitik di Sulawesi. Budaya Neolitik
tersebut dibawa oleh petutur Austronesia hingga Indonesia
bahkan lebih luas ke kawasan Asia Tenggara dan Pasifik. Salah satu
artefak yang mencirikan budaya Neolitik Austronesia tersebut
adalah tembikar. Ditinjau dari aspek motif hiasnya, tembikar
Minanga Sipakko memperlihatkan kemiripan dengan tembikar tradisi Sa Huynh- Kalanay. Menurut Solheim II tembikar tradisi Sa
Huynh-Kalanay dapat dijumpai pada tembikar-tembikar di situs-
situs Neolitik di Indonesia, termasuk di Situs Minanga Sipakko.
Kehadiran tembikar di Situs Minanga Sipakko menarik untuk
diamati sebagai suatu usaha untuk mengungkapkan salah satu
aspek kehidupan yang berlangsung di situs tersebut. Pengamatan
terhadap motif hias menjadi penting dengan pertimbangan bahwa
dari segi inilah dapat diungkapkan salah satu aspek teknologi
pembuatan tembikar di samping adanya unsur-unsur kesamaan
dengan motif dan teknik hias tembikar dari situs-situs lainnya di
-
15Ekspedisi Bumi MandarIndonesia maupun luar Indonesia.
Dari serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang
Arkenas) di Situs Minanga Sipakko tahun 2004, 2005, dan 2007
menghasilkan banyak temuan tembikar. Temuan tersebut saat ini
disimpan di Puslitbang Arkenas, Jakarta dan belum dianalisis lebih
lanjut.
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas, oleh
penelitia mengajukan pertanyaan, motif dan teknik apa saja yang
digunakan untuk menghias tembikar Minanga Sipakko? Motif
hias tembikar Minanga Sipakko apa saja yang memperlihatkan
kemiripan dengan motif hias tembikar tradisi Sa Huynh-Kalanay?
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut
dapat dijelaskan berbagai jenis motif hias yang diterapkan di Situs
Minanga Sipakko serta bagaimana teknik pembuatannya. Selain
itu juga dapat diketahui motif-motif apa saja di Situs Minanga
Sipakko yang juga dihasilkan oleh tembikar tradisi Sa Huynh-
Kalanay. Tujuan lainnya dari penelitian tersebut adalah untuk
melengkapi informasi dari hasil penelitian sebelumnya sehingga
dapat menambah pengetahuan tentang masa prasejarah di Situs
Minanga Sipakko dan Indonesia umumnya.
Sebab, Minanga Sipakko merupakan salah satu situs prasejarah
yang sangat penting di Indonesia. Berdasarkan laporan dari banyak
penelitian, dalam konteks mikro Situs Minanga Sipakko merupakan
bukti adanya hunian manusia masa lalu dengan rentang waktu
3.600-2.500 BP, yang dicirikan oleh pengembangan teknologi
tembikar; beliung dan kapak batu serta adanya eksploitasi sumber
daya fauna dan flora.
-
16 Muhammad Ridwan AlimuddinDalam konteks makro, Sungai Karama menjadi jalur lalu lintas
perdagangan antar komunitas hulu dan hilir, bahkan dengan
dunia luar. Secara geografis ada dua hal yang menonjol berkaitan
dengan kehidupan manusia yang berlangsung di tempat ini, yaitu
keterisolasian di pedalaman dengan lingkungan yang bergunung-
gunung dan keberadaan Sungai Karama sebagai pembuka
keterisolasian. Faktor geografis tersebut merupakan faktor yang
berperan penting dalam memberi kekhasan pada kehidupan dan
kebudayaan yang berlangsung di Situs Minanga Sipakko.
Dalam periode tertentu sejak situs Minanga Sipakko dihuni
hingga kondisi situs saat ini Sungai Karama telah mengalami
perubahan aliran sungai. Perubahan tersebut erat kaitannya
dengan keletakan Situs Minanga Sipakko yang saat ini berada
dalam kondisi yang terancam longsor dan hilangnya situs
Minanga Sipakko di masa depan, apalagi dengan adanya rencana
pembangunan PLTA Karama.
Sikomande, Sarung Ikat Tertua di Dunia
Mengapa rencana pembangunan PLTA Karama harus di
kawasan Batu Menggaragaji? Dugaan saya, salah satu penyebabnya
sebab kawasan itu adalah DAS (daerah aliran sungai) yang
sumberdaya airnya paling tidak berasal dari dua sungai utama,
Sungai Bonehau dan Sungai Karama.
Dalam hitung-hitungan teknis, bisnis, dan tingkat daya/
energi yang akan dihasilkan nanti, alasan tersebut amat masuk
akal. Malah dianjurkan. Akan beda debit air bila PLTA dibangun
sebelum kawasan pertemuan dua sungai tersebut, misalnya di
Sungai Karama saja atau Sungai Bonehau saja.
-
17Ekspedisi Bumi MandarSebelum lanjut, saya ingin menjelaskan sedikit tentang kata
bonehau. Sebenarnya antara bone dengan hau itu terpisah.
Tapi karena lama-lama menjadi nama sebuah tempat, akhirnya
disatukan, menjadi Bonehau. Jadi bila konsisten, Karama juga
dipasangi bone didepannya, menjadi Bonekarama.
Kata bone kemungkinan besar nama kuno dari sungai
besar dalam cabang-cabang bahasa Austronesia. Ada beberapa
varian dari penyebutan sungai dalam bahasa daerah di Sulawesi
Barat, seperti salu (mungkin berarti sungai yang lebih kecil dari
ukuran bone), binanga (misal Binanga Karaeng di perbatasan
Mandar Bugis), lembang (seperti Lembang Matama di Alu,
dan wai, tapi kata ini lebih dimaknai sebagai air.
Hal di atas masih hipotesa saya pribadi, baik berdasarkan saya
sebagai pengguna bahasa Mandar maupun atas analisis peta yang
mana ada saat simbol aliran sungai disebut bone (untuk sungai
yang besar), ada saat ditulis kata salu untuk cabang-cabang
sungai yang lebih kecil. Masih perlu penelitian lebih mendalam,
khususnya oleh para ahli bahasa.
Artinya, situs Kalumpang dan kampung-kampung sekitarnya
masih memendam harta karun akan akar kebudayaan kita
yang belum digali sepenuhnya. Sejauh pengataman saya dari
beberapa referensi ilmiah, situs Kalumpang masih diteliti sebatas
peninggalan-peninggalan budaya bendawinya, misalnya tembikar.
Sedang bentuk kebudayaan lainnya, belum pernah saya temukan
(mungkin sudah ada tapi belum saya lihat/baca).
Dan ketika Bonehau, Kalumpang, Tamaletua, Sumuak,
Pabettenagan, Tollondok, Tammalea, dan kampung lain (akan)
ditenggelamkan, maka upaya penggalian bentuk-bentuk
-
18 Muhammad Ridwan Alimuddinkebudayaan Kalumpang akan semakin sulit dilakukan. Alasannya
jelas, sebab para penutur atau pewaris bentuk-bentuk kebudayaan
Kalumpang akan terdiaspora ke berbagai tempat, berpindah dari
lingkungan yang mempengaruhi kebudayaannya.
Bentuk-bentuk budaya Kalumpang masih belum
terdokumentasi dengan baik sehingga sangat menyedihkan bila
peradaban tertua kita itu harus dilenyapkan dalam hitungan hari.
Saat pintu dam PLTA Karama mulai ditutup, ketika air mulai naik di
sisi timur dam.
Bila memang menenggelamkan Kalumpang menjadi pilihan,
sebelumnya harus ada upaya atau kerja keras untuk merekam
apa saja bentuk-bentuk kebudayaan Kalumpang, mulai dari
bahasa-bahasanya, teknologinya, pranata sosialnya, hingga ilmu
pengetahuan yang mereka miliki. Setelah itu, dibuatkan museum
Kalumpang. Dan itu tak akan bisa selesai 4-5 tahun, sebagaimana
target Anwar Adnan Shaleh selesainya PLTA Karama.
Para ahli etnografi mengategorikan orang Kalumpang ke
dalam rumpun budaya Toraja. Hal itu tidak sepenuhnya salah,
sebab saat ini, beberapa ragam budaya orang Kalumpang semisal
penguburan di liang dan tebing batu, kain tenun, juga bahasa
mirip dengan budaya orang Toraja.
Bahasa juga demikian. Kalumpang satu kelompok dengan
Mamasa, Rongkong, Toraja Sadan (Makale, Rantepao atau Kesu
dan Toraja Barat atau Mappa Pana) dan Toala (Toala dan Palili),
yaitu Sub-famili Toraja Sadan.
Jadi, meskipun secara geografis Kalumpang masuk wilayah
Mamuju atau Sulawesi Barat (Mandar), dari segi budaya,
Kalumpang agak berbeda dengan kebudayaan Mandar atau
-
19Ekspedisi Bumi Mandarkebudayaan Mamuju secara umum.
Berdasarkan penelitian terbaru terutama berdasarkan tradisi
lisan dan bukti arkeologis, kebudayaan orang Kalumpang justru
lebih tua dan ada kemungkinan budaya Toraja justru berakar dari
kebudayaan orang Kalumpang purba.
Salah satu bentuk kebudayaan Kalumpang yang harus
dilestarikan adalah teknik pembuatan dan corak sikomande. Corak
sikomande tidak hanya terdapat di sarung, tapi juga tembikar.
Sebagaimana hasil penelitian tim dari Universitas Sorbonne,
Prancis.
Dalam bahasa tradisional setempat, sarung sikomande
diistilahkan baba deata. Dari hasil penelitian ilmiah, corak
sikomande sering dinyatakan sebagai pola desain tenunan ikat
tertua di dunia. Pola desainnya sendiri disebut Sah Hyun Kalanay,
yang mulai tersebar ke seluruh Asia dan Oceania sejak abad
pertama masehi.
Corak atau teknik pembuatan sarung sikomande ada
kemiripan dengan teknik pembuatan sarung ikat di beberapa pulau
di Nusa Tengga Timur (Flores). Sewaktu saya melakukan penelitian
tentang kebudayaan pemburu ikan paus di Lamalera (Larantuka),
dalam cerita rakyat disebutkan bahwa moyang mereka berasal
dari pantai timur Pulau Sulawesi, yaitu daerah Luwuk sekarang ini.
Adapun jalur migrasinya dari Pulau Sulawesi hingga sampai ke
Flores melalui Kep. Sula, P. Buru, P. Seram hingga Kep. Kei, ke Kep.
Tanimbar, sampai memutar kembali ke arah barat, menuju P. Leti,
P. Wetar, P. Flores, dan sekitarnya.
Dengan kata lain, dugaan yang mengatakan bahwa teknik dan corak sarung sikomande sebagai yang tertua di dunia amat masuk
-
20 Muhammad Ridwan Alimuddinakal, sekaitan dengan pola migrasi di atas. Sebab, dari Kalumpang
ke Toraja hingga Luwuk ada jalur purba. Artinya, teknik-corak
sikomande jauh lebih tua dibanding yang ada di pulau-pulau Nusa
Tenggara sekarang ini.
Sayangnya, orang Sulawesi Barat sendiri (baca: pemerintah
kita) amat bersemangat untuk meluluhlantakkan warisan dunia
yang dipercayakan ke Sulawesi Barat itu atas nama membangun
PLTA. Kita jangan menyalahkan orang Cina yang ingin berinvestasi,
tapi harus kita tuntut orang-orang kita (yang menentukan sebab
mereka pengambil kebijakan) untuk tidak menenggelamkan satu-
satunya peradaban tertua yang kita miliki.
Wajar masyarakat di bantaran Sungai Karama dan Sungai
Bonehau menolak pembangunan PLTA Karama, sebab bila betul
terjadi, bukan hanya kebudayaan mereka yang akan rusak, tapi
kenangan masa lalu akan sirna. Makam orangtua kita saja bila mau
dipindah atau dihilangkan sudah terasa berat, apalagi kalau itu
makam nenek moyang dan peradaban. Pasti amat menyakitkan
bila itu musnah.
Dunia Akan Mengutuk Sulbar
Dunia akan menuntut Sulawesi Barat bila Situs Kalumpang
dan kawasan disekitarnya ditenggelamkan! Ya, sebab apa yang
ada di tempat itu bukan semata-mata benda fisik saja, tapi lebih
dari itu. Ada hal-hal tertentu yang masih berbingkai misteri, yang
merupakan akar kebudayaan kita ribuan tahun lalu.
Memang bila dinilai dengan uang itu hampir tak bernilai, tapi penghancurannya akan memberi kita kerugian tak ternilai
-
21Ekspedisi Bumi Mandarharganya. Jauh melampaui sebuah unit PLTA yang hanya bernilai
12 triliun rupiah. Sebuah PLTA bisa dibangung lima tahun saja, tapi
peradaban, seperti peradaban Kalumpang, tak akan bisa dibangun
meski dengan biaya 1000 triliun rupiah pun.
Saya pribadi tak menolak pembangunan PLTA, sejauh dia
tidak berdampak negatif ke situs kebudayaan Kalumpang. PLTA
bukan satu-satunya pembangkit listrik, masih ada sumber energi
alternatif lain, semisal angin dan panas matahari.
Ada banyak kasus, pembangunan PLTA di Indonesia ternyata
tidak berdampak signifikan ke penduduk setempat, sebagaimana
yang terjadi di Sumatera. PLTA Siguragura, PLTA Tangga, dan
Peleburan Aluminium Kuala Tanjung adalah milik perusahaan
patungan Indonesia dengan 12 perusahaan Jepang, PT Indonesia
Asahan Aluminium (Inalum).
Perbandingan saham antara Pemerintah Indonesia dan 12
perusahaan Jepang bersama pemerintahan Jepan didirikan adalah
10%:90 %. Oktober 1978 perbandingannya menjadi 25%:75% dan
1987 menjadi 41,13 %:58,87 %. Sejak 10 Februari 1998 menjadi
41,12 %:58,88 %. Proyek kerja sama ini akan berakhir 2013.
Ternyata ada motif pihak Jepang membantu pembagunan
PLTA Siguragura dan PLTA Tangga. Yaitu sebagai sumber energi
untuk industri peleburan aluminium, yang juga ada di Sumatera
Utara, yang keuntungannya lebih banyak mengalir ke Jepang.
Menurut harian Kompas, sejak pertama kali beroperasi tahun
1983, listrik dari PLTA Siguragura dan PLTA Tangga tak perna benar
bisa dinikmati rakyat. Selama kurun waktu 2002-2007, masyarakat
Sumut justru mengalami krisis listrik Siguragura dan PLTA Tangga
tidak banyak membantu.
-
22 Muhammad Ridwan AlimuddinKapasitas pembangkit yang dimiliki PLN di Sumut pun hanya
900-1.000 MW. Kebutuhan listrik saat beban (pukul 18.00-
23.00) mencapai 1.200 MW. Tak heran, masyarakat Sumut
selalu mengalami pemadaman list Kondisi itu berdampak pada
ekonomi karena banyak pabrik yang tutup atau mengurangi jam
produksinya. rumah tangga juga mengeluh karena peralatan
elektroniknya cepat rusak akibat listrik sering mati tiba-tiba.
Saat krisis itulah rakyat Sumut ngiler melihat besarnya
listrik yang dihasilkan PLTA Siguragura dan PLTA Tangga hanya
untuk menghidupi pabrik peleburan aluminium. Hasil produksi
aluminium pun 60 % diekspor ke luar negeri dan hanya 40 %
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurut Sekretaris Daerah Provinsi Sumut RE Nainggolan,
selama ini pemda hanya menikmati annual fee dari Inalum Rp
74 miliar per tahun. Jumlah ini tak sebanding seandainya Proyek
Asahan dikuasai Pemerintah Indonesia kemudian listrik PLTA
Siguragura dan PLTA Tangga dijual ke PT PLN.
Bisa saja muncul pertanyaan, mengapa investor dari Cina
begitu bersemangat membantu pembangunan PLTA Karama?
Dari hitung-hitungan bisnis, pasti ada motif di balik itu. Pertama
adalah pembagian keuntungan dari hasil penjualan listik. Pasti
lebih banyak mengalir ke mereka, bukan hanya sampai di BEP
(break event point), tapi beberapa tahun setelah itu. Sehingga
yang diperoleh pemerintah Sulawesi Barat tak seberapa.
Saya pribadi tak terlalu percaya statemen yang dikemukakan
pemimpin provinsi ini. Anwar Adnan Saleh mengatakan (dimuat di
Radar Sulbar beberapa waktu lalu) bahwa Imbal beli dari potensi
Sumber Daya Alam (SDA) wilayah Sulbar merupakan nilai tawar
-
23Ekspedisi Bumi Mandardalam pembangunan tersebut. Potensi itu diantaranya kakao, hasil
laut, serta persawahan. China ingin berinvestasi sebab merupakan
konsumen coklat yang besar dan mereka butuh suplai dari kita.
Begitu pun dengan ikan segar karena mereka sangat gemar ikan.
Imbal beli ini akan menjadi dasar untuk pembangunan proyek itu.
Bila hanya mengandalkan coklat sama ikan, Cina tak akan
bersemangat seperti sekarang. Pasti lebih dari itu. Coklat sama ikan
itu mainan bisnis seujung kuku. Tak sebanding untuk berinvestasi
triliunan rupiah.
Saya lebih cenderung pada motif kedua. Yaitu, ada
kemungkinan kasus yang terjadi di Sumatera Utara bisa juga
terjadi di Sulawesi Barat. Memang saat ini belum ada industri
pertambangan yang membutuhkan energi listrik super besar.
Tapi ke depan, akan ada kegiatan itu. Mamuju memiliki potensi
tambang yang hanya diketahui segelintir negara-negara maju atau
perusahaan multinasional.
Wajar sumber energi dibangun dulu, industrinya belakangan.
Itu alasan sangat masuk akal. Masalahnya, pihak investor (dan
mungkin juga pemerintah) tidak transparan dalam hal ini.
Pemerintah hanya mendengun-dengunkan dampak positif, bla
blabla
Saya kembali mengutip dalih pak gubernur Sulawesi Barat
mengapa PLTA perlu dibangun di DAS Sungai Karama, katanya,
Megaproyek pembangunan PLTA ini diyakini dapat mendatangkan efek lain yang juga sangat menguntungkan masyarakat. Efek
tersebut diantaranya pengairan persawahan, penyediaan
air bersih masyarakat, penyerapan tenaga kerja lokal, serta
dapat difungsikan sebagai pusat wisata baru. Sehingga, dapat
-
24 Muhammad Ridwan Alimuddinmeningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta peningkatan
ekonomi masyarakat sekitar.
Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh juga memberikan
jaminan kepada seluruh masyarakat, khususnya di Kecamatan
Sampaga Mamuju bahwa tidak akan ada dampak negatif dari
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di daerah
tersebut. Dia menambahkan jaminan tempat tinggal baru yang
bakal dibangun oleh investor sebagai tempat relokasi warga akan
lebih baik dari sebelumnya. Selain konsekuensi relokasi, Anwar
yakin tidak akan ada hal lain.
Tapi apakah betul itu yang akan terjadi? Ya, kita berpikir positif
saja bahwa keuntungan di atas yang akan terjadi. Tapi, jangan
sampai Situs Kalumpang dikorbankan! Bila itu yang terjadi, dunia
akan mengutuk Sulawesi Barat.
Masyarakat internasional, khususnya yang memberi perhatian
pada pelestarian budaya tradisional, mulai dari komunitas
arkeologi hingga badan dunia di PBB yang mengurusi kebudayaan
(UNESCO) akan mengecam habis-habisan Sulawesi Barat.
Kita jangan mencontoh habis-habis Cina, demi bendungan
Tiga Raksasa, mereka rela menenggelamnkan ratusan kampung,
memindahkan jutaan penduduk, dan beberapa situs bersejarah
mereka.
Pertama, Cina negara industri. Kebutuhan energi sangat
mendesak. Kedua, mereka negara militer yang bisa memaksakan
kehendak. Ketiga, mereka memiliki banyak situs bersejarah. Hilang
satu dua tidak apa-apa, masih ada puluhan (sedang kita, di Sulbar
hanya ada satu). Keempat, DAM yang dibangun bisa mencegah
banjir rutin yang terjadi di Sungai Kuning. Dan kelima, Cina tidak
-
25Ekspedisi Bumi Mandarperlu mengutang duit untuk membangunnya.
Kesimpulannya, jika memang gubernur kita seorang yang
kreatif, visioner, dan seorang bapak pembangunan yang beradab,
maka dia akan bisa membangun PLTA Karama dengan tetap
melestarikan situs Kalumpang.
Tetapi jika hanya berhasil membangun PLTA Karama
dengan menjadikan situs Kalumpang sebagai tumbal, entah apa
gelarannya.
Semoga saudara-saudara kita di Kalumpang bisa
mempertahankan hak kebudayaan dan warisan leluhurnya, walau
berhadapan kekuatan maha dahsyat. Kami di Balanipa, akan
mendukungmu.
Ekspedisi Ini Nyawa Taruhannya
Saya seperti seorang navigator di atas mobil dalam sebuah
lomba rally car dengan rute punggung bukit berbatas jurang,
jalan terjal tak beraspal, melintas anak sungai berbatu cadas,
dan jalan sempit. Sabuk pengaman kupasang, sebab bila mobil
menghantam sesuatu, saya pasti terlempar keluar. Kecepatan
mobil tak wajar di jalur berbahaya. Digas terus, padahal kami
sedang tidak balapan. Beberapa kali kepala saya julurkan ke luar
jendela sebab mual. Seakan mau muntah.
Ide awalnya, Ekspedisi Save Our Kalumpang akan saya
laksanakan sendiri. Ide ini saya sampaikan ke beberapa pihak/
individu dan mendapat respon yang sangat baik. Ada yang
memberi dukungan moril ada dalam bentuk materi, khususnya
Harian Radar Sulbar. Singkat kata, berkat adanya bantuan dari
-
26 Muhammad Ridwan Alimuddinbanyak pihak, persiapan ekspedisi dapat saya matangkan dan
pelaksanaannya pun dapat segera dilakukan.
Sebelum masuk Kalumpang, saudara Muhammad Ilham,
Direktur Sulbar Ekspres, mengantar ke rumah pak Kalvin Kalambo.
Di situ saya pertama kali melihat langsung dan berkenalan pak
Kalvin. Selama ini hanya lewat media. Demikian juga sebaliknya,
beliau kepada saya.
Ternyata saudara Ilham meminta kesediaan pak Kalvin
menemani saya ke Kalumpang. Pertimbangannya, saya ini pertama
kali ke Kalumpang. Bila tak ada teman, bisa repot di dalam. Padahal
sih saya sudah siap untuk sendiri, sebagaimana riset-riset saya di
daerah lain.
Rencana awal juga berubah. Selain rencana sendiri saja,
sebelumnya saya ingin ke Kalumpang menggunakan moda
transportasi umum, yakni mobil india, demikian istilah saudara
Ilham. Disebut demikian, sebab modifikasi mobil mirip-mirip di
film-film India, yakni openkap lalu dibagian terbuka tersebut
dipasangi kerangka besi. Tapi saudara Ilham mau mengantar
dengan menggunakan mobil kantor (Sulbar Ekspress), setidaknya
sampai ke Bonehau.
Sebab saudara Ilham ingin melibatkan bapak Kalvin Kalambo
(putra Kalumpang yang juga anggota DPRD Sulbar), dan saudara
Ilham belum begitu terbiasa mengemudikan mobil jalur Kalukku
Kalumpang, dia mengajak serta iparnya. Maka jadilah kami
berempat menuju Kalumpang. Jauh berbeda rencana awal, yaitu
ekspedisi solo atau sendiri.
Bagi saya pribadi, ada untung-rugi berombongan. Untungnya,
bisa lancar ke dalam, demikian juga saat di lapangan. Mudah
-
27Ekspedisi Bumi Mandarmenjalin jaringan dengan masyarakat setempat, demikian pula
informasi yang dibutuhkan. Ruginya, ada hal-hal yang tidak bisa
saya rasakan langsung, misalnya nuansa saat menggunakan mobil
india ke Kalumpang. Tapi tak apa, yang penting tujuan bisa
tercapai nantinya.
Berangkatlah kami berempat ke Kalumpang, 13 Januari 2012,
sekitar jam lima sore meninggalkan kota Mamuju. Saya duduk
di depan, di samping sopir, di kursi tengah saudara Ilham dan
bapak Kalvin Kalambo. Sebelum masuk Kalumpang, kami singgah
bermalam di Talondo, Bonehau. Nanti esoknya terus ke Kalumpang.
Tujuan Ekspedisi
Ekspedisi yang dilakukan oleh perusahaan media massa
(cetak) jarang dilakukan. Yang rutin melaksanakan ekspedisi,
setahu saya, hanya harian nomor satu di Indonesia, Kompas.
Ekspedisi yang telah dilakukan, seperti Ekspedisi Bengawan
Solo, Ekspedisi Papua, dan sekarang ini, Ekspedisi Cincin Api.
Semua hasil ekspedisi mereka dibukukan, yang isinya artikel dan
laporan-laporan berkaitan ekspedisi yang dimuat di media mereka
(Kompas).
Ekspedisi oleh media bertujuan mendapatkan hasil liputan
lebih mendalam, sebab berbasis riset (ilmiah), dilakukan dalam
waktu lama, dan biasanya dalam bentuk tim. Menjadikan hasil
liputan lebih berkualitas dibanding strike news.
Jurnalis melakukan ekspedisi hal yang amat penting, sebab
bisa memberi wawasan baru bagi seorang jurnalis. Bukan hanya
itu, dengan penggunaan kaidah-kaidah ilmiah, informasi yang
diperoleh jurnalis lebih kuat. Tak mudah dipatahkan oleh argumen
ngomong saja.
-
28 Muhammad Ridwan AlimuddinNah, itulah yang ingin dicapai dari Ekspedisi Save Our
Kalumpang. Radar Sulbar sebagai harian terkemuka dan
berpengaruh di Sulawesi Barat, tidak ingin memberitakan
persoalan Kalumpang dengan informasi ala kadarnya, yang
tak berbasis riset. Bagaimana pun, persoalan Kalumpang amat
kompleks, yang berpihak pada kepentingan semua pihak. Baik
masyarakat Kalumpang, lingkungan, kebudayaan, dan sejarah,
maupun pemerintah.
Tujuan Ekspedisi Save Our Kalumpang antara lain adalah
mendapat informasi data ketinggian kampung-kampung yang
kemungkinan akan tenggelam bila betul PLTA Karama jadi
dibangun sebagaimana kontruksi yang direncanakan, pendapat
masyarakat Kalumpang, data ketinggian lokasi pembangunan PLTA
Karama, mengamati keseharian penduduk di perkampungan DAS
(daerah aliran sungai) Karama, mendokumentasikan dalam bentuk
film dan foto DAS Karama dari Karama hingga Tarailu, melihat
langsung situs-situs budaya yang telah diteliti (Minanga Sipakko
dan Kamassi), mendokumentasikan bentuk-bentuk kebudayaan di
Kalumpang, dan melihat langsung kondisi geografis Kalumpang,
khususnya DAS.
Sebelum melaksanakan ekspedisi, telah dilakukan riset
pustaka. Sebagaimana yang dimuat di harian Radar Sulbar, alam
tulisan berseri Selamatkan Kalumpang beberapa waktu lalu.
Agar bisa memperoleh data yang dibutuhkan, dalam ekspedisi
tim, yang langsung ke lapangan, menggunakan beberapa peralatan
khususnya GPS dan kamera digital yang dilengkapi fasilitas
GPS built in. Dengan digunakannya dua alat tersebut, hasil
dokumentasi foto dan koordinat setiap tempat dapat diperoleh
-
29Ekspedisi Bumi Mandardalam waktu singkat dan akurat. Bukan hanya angka-angka,
tetapi setiap foto yang diambil di semua tempat yang didatangi di
Kalumpang terekam data koordinatnya. Jadi datanya bukan hanya
tanggal, waktu kapan foto diambil (dipotret), tapi lokasinya juga.
Artinya, Ekspedisi Save Our Kalumpang adalah kegiatan
serius sebab berbasis riset dan pengumpulan data langsung dari
lapangan. Hingga nyawa pun dipertaruhkan, sebab berhadapan
lingkungan Sungai Karama yang ganas.
Perahu Kuno dan Serakan Tulang Manusia di Tallondok
Hari pertama ekspedisi dimulai di Tallondok, masuk Kecamatan
Bonehau. Transit di situ sebelum ke Kalumpang. Tallondok terletak
di persis bagian barat daerah aliran Sungai Bonehau. Berdasar
GPS, tempat ini berada di ketinggian sekitar 85 meter dpl (di atas
permukaan laut). Bila turun ke Sungai Bonehau, ketinggiannya
lebih rendah lima meter, sekitar 79 dpl.
Data ketinggian penting diketahui, sebab bisa dijadikan dasar
apakah tempat tersebut tenggelam atau tidak. Tallondok letaknya
sekitar 17 km dari Tomatua, tempat yang rencananya di situ akan
dibangun dam PLTA Karama. Dengan asumsi tinggi dam nantinya
100 meter, Tallondok bisa tenggelam.
Yang menarik saya lihat di Sungai Tallondok adalah sampan.
Sekilas sampannya biasa-biasa saja. Hanya berupa batang kayu
yang dikeruk tengahnya dengan palatto di sisi kiri-kanan. Tapi bila
dicermati dari kacamata teknik pembuatan perahu tradisional
Mandar dan jejak-jejak teknik kuno, sampan atau lepalepa di
-
30 Muhammad Ridwan AlimuddinTallondok cukup menarik. Di bagian dalam ada bagian yang timbul.
Dalam bahasa Mandar disebut tambuku.
Tambuku adalah bagian kayu, berbentuk segiempat dengan
dimensi sekitar 10x10x10cm yang sengaja dibuat ada (tidak ikut
dikeruk) agar ada bagian tempat mengait tali pengikat, baik ketika
menyusum papan lambung (tobo atau tombo) maupun ketika
mengikat baratang (cadik). Nah, menurut penelitian ilmiah,
teknik demikian adalah teknik sangat kuno, mulai digunakan
ribuan tahun lalu. Khas Austronesia.
Tambuku yang sebenarnya hampir tak ditemukan lagi
di perahu-perahu jenis baru, semisal sandeq atau kapal motor.
Alasannya, sekarang digunakan paku atau pasak untuk menyusun
papan. Sebelum ada teknologi bor (untuk membuat lubang masuk
di sisi papan), maka tekniknya adalah menyusun papan dengan
cara mengikatnya. Yaitu papan atas dan papan dibawahnya ada
tambuku yang timbul keluar. Nah, disitu tali (biasanya rotan
atau ijuk) dikaitkan. Agar lebih kuat, biasa digunakan kayu yang
melintang di dalam lambung perahu.
Desain lepalepa juga unik, ramping dan panjang. Bentuk
demikian perlu agar gaya geseknya dengan arus air tidak begitu
besar. Jadi manuver di alur deras lebih mudah, dan bisa gampang
melawan arus. Kekurangannya, daya muatnya sedikit. Bisa
dibayangkan orang-orang dulu, mattokong (mendayung dengan
menggunakan galah bambu) dari Sampaga hingga kawasan hulu.
Berhari-hari baru tiba.
Sepertinya bentuk atau desain perahu kulubelang yang
digunakan di Mamuju terinspirasi dari perahu yang ada di kawasan
Kalumpang.Ada juga kemungkinan teknik maupun desain sampan-
-
31Ekspedisi Bumi Mandarsampan yang digunakan di muara Sungai Mandar (Teluk Mandar)
awalnya dikembangan di kawasan Kalumpang. Dengan kata lain,
diwarisi dari nenek moyang kita di sana.
Menuju goa
Salah seorang penduduk Tallondok mengatakan, di sana dia
pernah melihat tulang-tulang yang berserakan di dalam gua. Di
sana juga ditemukan patung kecil. Penasaran dengan informasi
tersebut, sekitar jam 9 pagi, 14 Januari 2012, tim Ekspedisi Save
Our Kalumpang (saya, bapak Kalvin Kalambo dan Muhammad
Ilham) menuju goa diantar beberapa lelaki di Tallondok.
Seakan diri seperti bintanna dalam film Mummy, yaitu
petualang yang tertarik pada situs-situs bersejarah dan benda-
benda kuno. Ya, bila betul apa yang diinformasikan tersebut, ada
kemungkinan goa tersebut pernah dihuni manusia pra sejarah.
Setidaknya sebagai tempat menyimpan mayat atau tulang-
belulang jenazah.
Kira-kira jaraknya satu kilometer, menurut penduduk yang
mengantar kami. Agar tak kecele, sebab biasanya bila orang
gunung menginformasikan jarak biasanya tidak sesuai realitas
atau lebih jauh, saya menganggap jaraknya 2km atau 3km.
Berjalan melintasi kebun coklat yang buahnya hitam-kering,
pohon langsat, enau, bambu, dan menyusuri sungai kecil berbatu.
Hati-hati juga berjalan di batu-batu sungai, bila terpeleset, resiko
biasanya ada dua, terantuk ke batu atau kaki masuk lobang
mengakibatkan translokasi.
Yang menjadi pionir sesekali tebas kanan-kiri membuka jalan.
Beberapa bagian jalan di sisi sungai tersembul dari dalam tanah
-
32 Muhammad Ridwan Alimuddinpipa paralong. Ternyata penduduk di perkampungan mengambil
air minum dari sungai ini. Ya, meski tak menggunakan mesin,
sebab sungainya berada di ketinggian, bisa mengalir lancar ke
rumah-rumah.
Di dekat hulu sungai kecil, ada bak penampung air. Ukurannya
sekitar 2x2x2 meter. Darinya keluar beberapa pipa berdiameter
sebesar paha orang dewasa. Saat tiba di situ, yang mengantar
kami berkata sambil menunjuk, Itu di atas goa-nya. Melihat ke
atas, ada tumpukan batu terlindung rimbun semak.
Mendaki naik, agak susah sebab becek apalagi ke atas saya
meng-on-kan terus kamera video. Sekitar 10an meter dari lokasi
bak, terdapat goa kecil. Tidak begitu dalam, hanya 2-3 meter. Di
dalam ada beberapa tumpukan batu besar, khususnya yang ada di
sisi lain. Batu besar tersebut dengan bagian rendahnya diantarai
lubang. Jadi bila mau ke sana, baiknya pasang kayu sebagai tempat
meniti. Atau kalau tidak, bisa memanjat dari sisi lainnya.
Setelah bersusah payah memanjat, bukan karena tinggi, tapi
karena saya membawa peralatan yang rentan pecah (kamera),
akhirnya tiba di atas batu besar. Tulang-tulang manusia berserakan
di atas. Kelihatan sebagai tulang manusia sebab ukurannya besar.
Semakin ditelisik, tulangnya bisa ditebak. Ada tempurung kelapa,
ada juga gigi dengan rahangnya. Bila ada wujud tengkorak utuh,
mungkin suasananya menyeramkan.
Bersama tulang-belulang, ditemukan serpihan-serpihan
tembikar. Sepertinya tembikar itu wadah penyimpanan tulang.
Ternyata di beberapa bagian goa ada banyak tumpukan tulang.
Selain di atas, juga ada di bawah. Saudara Ilham sempat menggali-
gali tempatnya berdiri, juga ada tulang. Tapi karena kami bukan
-
33Ekspedisi Bumi Mandarpeneliti yang menfokuskan pada goa, untuk eskavasi besar-
besaran tidak kami lakukan. Itu nantinya dilakukan arkeolog asli.
Yang saya cari-cari di dalam goa adalah lukisan dinding.
Biasanya begitu di goa-goa purbakala. Seperti yang terdapat di
Maros, di Kalimantan Timur, dan Papua. Apalagi kalau ada gambar
perahu, akan lebih menarik. Oh sepertinya itu lukisan, ucap saya
kepada saudara Ilham. Tapi saya agak ragu juga sebab gambarnya
tidak jelas dan tak berwarna (misalnya warna merah), hanya
gores-goresan.
Setelah puas mendokumentasikan, kami meninggalkan goa.
Saya minta pak Kalvin membawa contoh-contoh tulang yang bisa
dikirim ke Jakarta. Bila dilakukan uji karbon C14, umur tulang bisa
diketahui dengan tepat.
Tiba di Tallondok, kami menuju rumah pemuka masyarakat
yang mana anaknyalah, bernama Guntur, pertama kali menemukan
tulang belulang di dalam goa sekitar dua tahun lalu. Saat itu dia
mencari sarang burung walet.
Sewaktu menemukan tulang pertama kali, di sana juga
ada patung kecil dan gelang terbuat dari perunggu. Nah benda
itu dia simpan. Saat kami kerumahnya, benda-benda tersebut
diperlihatkan. Betul, memang ada patung dan gelang. Bentuk
patungnya sangat kuno, berbentuk manusia. Tapi kaki dan tangan
tak ada lagi. Diameternya sebesar ibujari kaki. Saat melihatnya,
saya langsung ingat bentuk patung-patung pra sejarah.
Dalam ilmu arkeologi, penyimpanan tulang belulang di dalam tempayangtanah liat jamak terjadi pada masa awal tahap logam,
yaitu 200 sebelum masehi sampai 1000 M. Adapun fungsi gelang
dan patung adalah bekal si mayat di alam baka. Memang begitu
-
34 Muhammad Ridwan Alimuddinkepercayaan nenek moyang kita dulu.
Adanya bukti-bukti peninggalan arkeologis kembali bisa
menjadi bukti sah, bahwa kawasan Kalumpang dan Bonehau
adalah tempat awal berkembangnya peradaban nenek moyang kita, baik orang Mandar (Sulawesi Barat) maupun orang-orang di
Pulau Sulawesi dan Indonesia bagian tengah. Sayangnya, masih
banyak situs yang belum diteliti.
Lombeng Susu dan Banua Batang
Legenda Tokombong di Bura Tobisse di Tallang ternyata juga
ada di Bonehau dan Kalumpang. Informasi ini diceritakan salah
seorang tokoh masyarakat di Talondok, sesaat setelah balik dari
goa Talondok. Menarik, sebab legenda tersebut juga menjadi
cerita turun temurun di Mandar pesisir. Dengan kata lain, ada
hubungan sejarah antara Kalumpang di pedalaman dengan pantai.
Bukan hanya itu, tentang Lombeng Susu, yang juga berkaitan
dengan cerita Tokombong di Bura Tobisse di Tallang dalam cerita
lisan di Kalumpang, adalah orang tua yang anak-anaknya tersebar
di seantero Mandar. Kesebelas anaknya dan tujuan mereka adalah
Daeng Matama ke Mambi, Dettu Manang ke Aralle, Tahalima
ke Tabang, Daeng Kamahu ke Taramanuk, Daeng Mailullung ke
Balanipa, Taayoang ke Matangnga, Bitti Padang ke Rante Bulahan,
Makke Daeng ke Mamuju, Tammi ke Bambang, Talabinna ke Loe,
dan Tambuli Bassi ke Tappalang.
Masih ada legenda lain, misalnya lima bersaudara yang berpisah
untuk kemudian tersebar ke beberapa tempat. Mereka adalah
Pong Lalong ke Rongkong, Pong Lewong ke Sabbang, Toketara ke Tabulahan, Talabinna ke Karataun, dan Taura-ura ke Mandar.
-
35Ekspedisi Bumi MandarBersama bukti-bukti fisik (peninggalan arkeologi) dan bahasa,
cerita di atas menjadi bukti sahih bahwa nenek moyang orang
Mandar di pesisir berasal dari Kalumpang.Jadi tak salah, bila ada
hubungan emosional antara pedalaman dengan Mandar pesisir.
Menjelang tengah hari 14 Januari 2012, tim Ekspedisi Save
Our Kalumpang melanjutkan perjalanan, menuju Kalumpang.
Untuk bapak Kalvin Kalambo ikut. Saya dan Ilham dibawa ke
kampung halamannya, yang mana di situ ada peninggalan rumah
tua khas Kalumpang milik neneknya. Rumah adat Kalumpang
disebut banua batang.
Banua batang cukup menarik. Pertama dari penggunaan
istilah, yaitu adanya kata banua. Pemahaman kita selama ini
banua atau wanua berarti kampung atau perkampungan.
Ternyata, di Kalumpang banua itu berarti rumah. Tesis saya, akar
kata banua sebagai kampung adalah banua sebagai rumah.
Alasannya, dulu rumah di Kalumpang diisi oleh puluhan
kepala keluarga. Bisa sampai 60 kepala keluarga atau 100 jiwa di
atas satu rumah. Artinya, rumah itu tak lain adalah kampung.
Banua batang di Kalumpang sama dengan tradisi rumah
panjang di Kalimantan, dalam tradisi Suku Dayak. Yaitu rumah yang
sengaja dibuat besar agar diatasnya bisa hidup beberapa kepala
kelaurga. Alasan ini juga bisa menjadi dasar bila ada pendapat
yang mengatakan hubungan budaya antara Kalumpang dengan
Dayak amat sangat dekat.
Hal menarik lain, bila selama ini Kalumpang diidentikkan
dengan Toraja (menjadi bagian dari budaya Toraja), berdasar
bahasa dan arsitektur rumah, banua batang sangat berbeda
jauh dengan rumah tongkonan Toraja.
-
36 Muhammad Ridwan AlimuddinKhusus rumah, tak ada kemiripan. Demikian juga dengan
rumah khas Mamasa. Yang mana, kedua tempat tersebut (Toraja
dan Mamasa) bentuk atap rumahnya seperti perahu atau tanduk
kerbau. Sedang di Kalumpang atapnya biasa saja, layaknya rumah-
rumah panggung di Mandar.
Keunikan banua batang yang lain adalah, ukurannya sangat
besar, bisa sampai 60 meter panjang dengan lebar lima meter.
Bagian tiang dan kayu di struktur di bawah lantai, terbuat dari
batang-batang kayu yang masih bulat, tidak ada penggunaan pasak
atau paku, dan desain bagian bawah rumah seperti bangunan
tahan gempa. Agak mirip-mirip dengan rumah panggung di Nias.
Apakah kawasan Kalumpang dulunya adalah kawasan gempa
sehingga kakek-nenek kita mendesain rumah yang tahan gempa?
Jika betul demikian, jika betul ada dam PLTA Karama, ada bahaya
terpendam!
Pembangunan banua batang cukup rumit dan memakan
waktu lama, bisa sampai tahunan. Sebab, kayu-kayu besar harus
didatangkan dari dalam hutan. Membawa kayu dari dalam hutan
pekerjaan yang sangat repot, melelahkan, dan melibatkan puluhan
orang. Inilah sebab hampir tak ada lagi banua batang dibangun
setelah tahun 70an.
Dalam pembuatan banua batang, juga ada aturan-aturan.
Antara lain, ujung-ujung kayu tidak boleh saling bersentuhan
(sidollik). Maknanya, agar penghuni rumah tidak saling
menularkan penyakit. Persentuhan itu juga dianggap menghalangi
pertumbuhan.
Banua batang dibangun berorientasi ke gunung. Bila ada
gunung besar di selatan, maka orientasi bangunannya melintang
-
37Ekspedisi Bumi Mandarutara-selatan. Yang cukup menarik, di banua batang juga
ada possiq atau tiang agung. Yang letaknya persis di tengah.
Perbedaan possiq dengan tiang lain, possiq ukurannya pendek,
tidak menembus naik ke atas. Namun yang perlu saya tekankan
di sini adalah, kepercayaan possiq juga ada di Mandar pesisir.
Artinya, sekali lagi, ada hubungan kebudayaan yang erat antara
pedalaman dan pesisir.
Dulu, sewaktu masih sekampung tinggal di dalam banua
batang, setiap KK mempunyai kamar dan dapur sendiri. Tapi
ada juga bangunan umum, seperti ruangan di depan tangga yang
disebut babana. Babana memisahkan kamar pada satu bagian
sisi dengan kamar di sisi yang lain.
Dalam setiap rumah juga menyiapkan tempat tidur bagi para
tamu. Para tamu yang berkeluarga ditempatkan pada tando-
tando. Rata-rata banua batang memiliki 1-3 tando-tando.
Sedang tamu yang masih bujang, ditempatkan di babana.
Saat ini di Kalumpang dan Bonehau, sepertinya jumlah banua
batang bisa dihitung dengan jari alias jarang ditemukan apalagi
yang bagian-bagiannya lengkap. Beberapa rumah yang sempat
disinggahi tim ekspedisi hanya bisa memperlihatkan keaslian
struktur bagian bawah atau tiangnya. Sedang bagian tengah,
sudah menggunakan struktur modern.
Tenun Ikat Sekomandi
Selesai menjelaskan bagian-bagian banua batang, R. E.
Sipayo, seorang Tobara di Kalumpang, dengan rasa antusias yang
terus membara, menjelaskan kapada tim Ekspedisi Save Our
-
38 Muhammad Ridwan AlimuddinKalumpang salah satu keterampilan khas Kalumpang. Tenun ikat.
Pemahaman selama ini, penyebutan nama sarung ikat dari
Kalumpang disebut sekomandi, sebagaimana menyebut lipaq
saqbe untuk tenunan sutra dari Mandar. Ternyata, sekomandi
itu hanya salah satu jenis sarung ikat di Kalumpang. Adapun jenis
yang lain adalah rundun lolo dan marilotong.
Sekarang di rumah saya ada sekomandi dan rundun lolo,
marilotong sudah saya pesan ke penenun. Nanti kita ke sana lihat
cara membuatnya, ungkap R. E. Sipayo sambil masuk kamar
mengambil koleksi tenun ikatnya. Kainnya kelihatan tua, warna
buram.
Penamaan tenun ikat berdasar pada coraknya. Marilotong
itu berwarna hitam dan polos. Sedang sekomandi dan rundun
lolo ada motifnya. Yang membedakan, rundun lolo motif atau
coraknya garis panjang. Memang sekilas mirip, tapi rundun lolo
lebih dominan garis-garis panjangnya.
Setelah mendokumentasikan koleksi tenun ikat Kalumpang,
tim ekspedisi diajak R. E. Sipayo ke penenun. Kami berjalan sekitar
100 meter, melalui lapangan Kalumpang. Dari jauh, tampak
seorang wanita muda menghadap ke dinding, mengikat-ikat
bentangan lilitan benang.
Oh, ternyata itu alasannya mengapa disebut tenun ikat,
guman saya dalam hati. Mengikat kumpulan benang adalah salah
satu teknik sebelum mewarnai benang yang akan ditenun.
Prosedur lengkap pembuatannya sebagai berikut. Dalam
pembuatan tenunikat digunakan beberapa alat, yaitu apiq atau
alat pengikat pinggang penenun (topaq tannun); talekoq atau
-
39Ekspedisi Bumi Mandaralat menahan benang yang berada di belakang penenun; balo
atau alat menahan benang yang dipasang di perut penenun;
tittiq atau alat mengangkat/mengatur benang yang digerakkan
secara bergantian dengan baloq; balido atau alat untuk
merapatkan benang; dan kalimuran atau laso katadan atau
alat untuk menahan benang pada saat diikat agar motif tertata
rapi dan menjadi tempat mengukir motif.
Tahapan pembuatan terbagi atas tiga, yakni pemintalan,
pewarnaan benang, dan penenunan. Proses tersebut bisa
memakan waktu enam sampai dua belas bulan. Itulah alasan, saat
ini, sarung ikat Kalumpang amat mahal harganya.
Dulu, sarung ikat menggunakan kapas yang ditanam sendiri
oleh masyarakat Kalumpang. Tapi sekarang, benang didatangkan
dari luar. Sewaktu masih menggunakan kapas produk sendiri, untuk
pengolahannya sebagai berikut. Kapas dijemur sampai kering lalu
dibuat menjadi benang dengan menggunakan unuran. Benang
yang dihasilkan kemudian digulung ke balekoan.
Berikutnya adalah tahap pewarnaan. Tahap pertama adalah
pemberian bahan perekat warna. Bahannya berupa campuran
cabe (marisa atau pendawa), kemiri, lengkuas, dan kaju
pallin. Bahan-bahan tersebut ditumbuk sampai halus lalu
dimasak.
Di wadah lain, dibuat rendaman abu yang terbuat dari kayu bakkudu. Air rendaman abu, hanya diambil bagian atas yang
agak jernih setelah terjadi pengendapan. Air rendaman dan bahan
campuran perekat warna selanjutnya dipoles ke benang sampai
meresap. Setelah itu, dijemur selama 30 hari terus menerus agar
warna yang diberi kuat dan tidak luntur.
-
40 Muhammad Ridwan AlimuddinBenang yang sudah diberi warna dasar, yang terlihat
kekuning-kuningan, dimasukkan ke dalam kalimuran. Bentuknya
segiempat, kira-kira panjangnya hampir dua meter dan lebar
sekitar 60cm. Benang direntang. Nah, rentangan benang diikat per
kelompok, kira-kira terdiri dari 10 helai benang. Susunan benang
yang diikat itulah yang akan membentuk motif atau corak kain.
Dulu, digunakan kulit batang pisang (kuli puttiq)tapi saat ini
digunakan tali rafiah. Alasannya, lebih praktis. Kalau kulit batang
pisang, harus diolah. Itu memakan waktu lama.
Pada pengikatan pertama, warna yang diberikan adalah warna dasar yaitu merah (bakkudu, sebab bahannya akar pohon
mengkudu) dan biru (tarun, digunakan daun tarun). Daun tarun
juga digunakan orang Kajang, Bulukumba dalam membuat sarung.
Bahasa Inggris warna yang dihasilkan tarun adalah indigo.
Warna tidak diberikan langsung ke benang yang berada di
kalimuran, melainkan direbus. Bahan, seperti bakkudu diiris
tipis dulu kemudian ditumbuk halus. Direbus bersama benang
sekiatar 12 jam.
Setelah proses tersebut, kembali diulang proses memasang
benang ke kalimuran untuk kembali diukir (baca: diikat) dengan
tali rafiah.Fungsi ikatan adalah untuk menutupi (melindungi) warna
merah yang tercipta berkat direbus bersama bakkudu.Adapun
yang tidak diikat, akan berubah warnanya bila direbus dengan bahan
lain, misalnya tarun untuk warna biru. Jadi, disitulah tercipta
motif-motifnya. Makin unik motifnya, makin rumit ikatannya.
Yang menarik, untuk membuat motif, tidak digunak sketsa atau
menggambarkan ke benang yang ada di kalimuran. Tetapi berada
di imajinasi penenun. Ada banyak motif di kain Kalumpang, seperti
-
41Ekspedisi Bumi Mandarmotif ulu karua kaselle, ulu karua barinni, toboalang, rundung
lolo, leleq sepu, dan lain-lain. Motif tersebut memiliki makna.
Misalnya motif ulu karua kasella bermakna bahwa di
Kalumpang terdapat delapan dewan adat sebagai pilar, yaitu
Tobarak Pondan, Tobarak Timba, Tobarak Lolo, Topakkalo, Tomaq
Dewata, Totumado, dan Tomakaka.
Berikutnya adalah tahap terakhir, yaitu penenunan. Benang
yang telah direbus bersama bahan pewarna dibuka tali pengikatnya.
Agar susunan benang tidak rusak (susunan warna tidak bergeser),
benang diangkat satu per satu dengan hati-hati untuk selanjutnya
dipasang ke alat tenun. Sebelumnya, benang terlebih dahulu diitto
yaitu menganyam dengan menggunakan lidi.
Dulu, selain digunakan sendiri (hanya dipakai dalam upacara
atau pakaian adat, tikar untuk tamu terhormat), tenun ikat
dijadikan sebagai alat penukaran (barter) dengan kerbau atau
babi. Sebab memang tenun ikat amat mahal harganya.
Saat ini pengerajin tenun ikat sangat sedikit. Di Desa
Kalumpang saja, menurut R. E. Sipayo mungkin hanya dua orang
saja. Selain di Desa Kalumpang, juga ada di Malolo dan Kampung
Batuisi. Gabungan atas keduanya kira-kira ada 30 pengerajin.
Ironis memang, padahal motif tenun ikat dari Kalumpang dikenal
sebagai salah satu motif tertua di dunia.
Katinting Super Penguasa Sungai Karama
Satu dekade saya mempelajari kebudayaan maritim nusantara,
yang mana salah satunya tentang perahu, di Kalumpang-lah
saya pertama kali melihat perahu kecil yang menggunakan lima
-
42 Muhammad Ridwan Alimuddinmesin sekaligus. Itulah katinting, si penguasa Sungai Karama.Bila
di tempat lain katintingnya biasa-biasa saja, di Sungai Karama,
katintingnya super.
Sejatinya, pengaruh kebudayaan bahari di Kalumpang telah
ada ribuan tahun lalu, seiring datangnya migrasi orang Austronesia
di muara Sungai Karama (Sampaga). Teknologi pelayaran (perahu)
mereka gunakan masuk ke pedalaman, hingga ke hulu Sungai
Karama. Teknologinya amat sederhana, hanya berupa batang kayu
yang dikeruk tengahnya dan atau rakit bambu.
Teknologi demikian terus bertahan sampai saat ini. Sampan
tak mengalami perubahan bentuk. Palingan teknik pembuatan,
yang mungkin dulunya dikeruk dengan menggunakan kulit kerang atau batu untuk kemudian besi. Dulunya perkakas mereka masih
sangat kasar, seiring pengaruh dari luar, benda-benda tajam yang
lebih keras digunakan. Seperti parang, kapak dan ketam.
Hingga kemudian pada tahun 70-an, mesin mulai
diperkenalkan. Perlahan, perahu yang menggunakan mesin mulai
menggantikan sampan kecil. Saat ini sampan kecil digunakan
untuk menyebrang saja. Bila ada yang menggunakan melakukan
perjalanan dari Kalumpang ke Tarailu atau sebaliknya, mungkin
dianggap gila saat ini.
Penggunaan mesin mengakibatkan waktu tiba ke kawasan
hulu menjadi lebih singkat dengan kapasitas bawaan lebih banyak.
Dulu, saat masih sampan, perjalanan dari Sampaga ke Kalumpang
bisa memakan waktu satu minggu. Saat mesin digunakan, satu-
dua hari saja. Bila mesinnya banyak, bisa sehari saja.
Perahu yang dipakaikan mesin disebut katinting. Kentara
jenis perahu tersebut introduksi dari luar, sebab istilah katinting
-
43Ekspedisi Bumi Mandaradalah istilah Bugis. Yang mana istilah terserbut muncul ketika
perahu mulai menggunakan mesin.
Secara umum, kantinting adalah perahu kecil, bercadik dan
menggunakan mesin. Bentuk perahu katinting di Sungai Karama
dan sungai-sungai sekitarnya amat sederhana. Terdiri dari
balakang (kayu utuh yang dikeruk) untuk kemudian ditambahi
papan tobo, biasanya satu atau dua.
Panjang katinting berkisar enam sampai delapan meter. Di
kiri kanan ada palatto. Istilahnya sama dengan Mandar pesisir,
seperti baratang untuk cadik, palatto untuk katir, dan tadiq
untuk kayu berbentuk huruf L yang menghubungkan cadik
dengan katir. Dilihat dari teknik mengikat cadik,paling tidak ada
dua dugaan: pengaruh dari pelaut Mandar atau memang demikian
teknik ikat dulu (amat kuno) yang dibawa oleh orang Austronesia.
Teknik mengikat cadik di perahu Mandar amat khas. Sejauh
pengamatan saya di beberapa tempat di Nusantara, tak ada yang
menggunakan teknik demikian selain pelaut Mandar (belakangan
saya lihat juga di perahu orang Kalumpang). Lilitan talinya saling-
silang dan posisi tadiq yang saling berhadapan.
Keunikan perahu atau katinting di Kalumpang adalah jumlah
mesin yang digunakan. Bila di pesisir Mandar paling banter satu
(saya tidak pernah lihat menggunakan dua unit mesin), maka di
Sungai Kalumpang minimal menggunakan tiga, rata-rata empat,
beberapa lima.Itu merupakan proses adaptasi agar bisa melawan
arus Sungai Karama yang deras.
Mesin dipasang persis di atas baratang yang menembus
bagian atas lambung perahu, kiri-kanan; baik baratang depan
maupun belakang. Bila menggunakan lima mesin, dipasang di
-
44 Muhammad Ridwan Alimuddintengah, di sisi kanan. Di situ dibuatkan tempat agar tak berada di
tengah lambung perahu.
Agar semburan air dari baling-baling tidak mengenai
penumpang perahu, di bagian atas baling-baling dipasangi karung
karoroq. Fungsinya mirip pelindung di atas ban motor atau
sepeda, agar lumpur yang dilemparkan roda tidak mengotori.
Sebab ukuran katinting kecil, otomatis suara mesin
memekakkan telinga. Tidak seperti mesin kapal kayu, yang berada
di bagian bawah lantai. Kalau katinting, bisa persis di samping,
depan, belakang penumpang. Entah berapa desibel keras suara
yang dihasilkan. Telinga saya sampai ngiiiiiing dalam waktu
lama sewaktu menyelesaikan perjalanan dari Kalumpang ke
Karama. Hampir tiga jam saya duduk berdampingan mesin yang
kerasnya melebihi keras musik cadas. Saat perjalanan, tangan saya
tempelken ke telinga. Khawatir gendang telinga rusak.
Keunikan lain di katinting Sungai Karama adalah kemudi
(guling) yang pendek. Katinting di pesisir (laut) ukuran terpendek
lebih semeter. Pada sandeq, bisa sampai 2,5 meter. Tapi pada
katinting Sungai Karama, panjangnya tak sampai semeter. Ya,
wajar pendek. Sebab bila panjang, bisa dipastikan terkait ke dasar
sungai. Dasarnya bukan pasir, tapi batu cadas. Sekali terantuk
keras, pasti patah.
Memang pelaut-pelaut Mandar, khususnya passandeq, jago
mengemudikan sandeq. Tapi motoris (ini istilah saudara M.
Ilham untuk menyebut pengemudi katinting) punya keahlian dan
keberanian yang berbeda. Sebagian besar alur yang dilalui ada
bahayanya, mulai dari batu besar, dasar sungai yang dangkal, alur
sempit, golakan air, air deras, hingga perputaran arus. Adapun di
-
45Ekspedisi Bumi Mandarlaut, bahaya sesekali saja ada. Malah biasa tidak ada.
Di laut salah satu bahaya yang paling ditakuti pelaut adalah
kala-kala, yaitu air yang bergolak sebab ada pertemuan arus. Tapi
di Sungai Karama, hampir tia seratusan meter ada kala-kalanya.
Dan itu bisa dilalui dengan lembut oleh para pengemudi katinting.
Pengemudi katinting minimal dua orang. Nakhoda duduk di
buritan, mengendalikan kemudi. Dia mengontrol mesin yang ada
di bagian belakang. Sedang pembantunya mesin bagian tengah
atau depan. Pembantu juga mengawasi haluan perahu. Memberi
peringatan bila ada bahaya di depan. Salah satu tugas pembantu
adalah menaik-turunkan gas mesin. Bila arus deras, gas dinaikkan,
bila tidak gas diturunkan.
Sewaktu dalam perjalanan dari Kalumpang ke Karama,
yang jaraknya sekitar 25km dengan menggunakan lima mesin
berkekuatan 11 PK, kecepatan katinting rata-rata 20 km/jam
(kadang 16 km/jam, kadang 25 km/jam, tergantung deras arus
yang dilalui) waktu tempuhnya sekitar tiga jam.
Katinting adalah sarana transportasi utama di Sungai Karama,
khususnya di bagian hulu (antara Desa Kalumpang dan Desa
Karama). Untuk membawa komoditas hasil perkebunan, misalnya
coklat dan kopi, atau bahan-bahan bangunan serta transportasi
manusia, katinting amat berperan. Memang ada motor (ojek), tapi
hanya bisa membawa satu orang atau barang yang terbatas.
Menggunakan katinting siap-siap merogoh kantong dalam-
dalam. Perjalanan dari Desa Kalumpang ke Karama bayarannya
lebih 100 ribu per orang. Padahal jaraknya cuma 25 km. Bila
menggunakan pete-pete, misalnya dari Majene ke Campalagian,
bayarannya paling 7 ribu. Sewaktu saya dan pak Kalvin Kalambo
-
46 Muhammad Ridwan Alimuddinmencarter katinting dari Kalumpang hingga ke Tarailu, bayarannya
Rp 800.000. Itu untuk turun, bila naik (dari Tarailu ke Kalumpang)
bisa dua kali lipat.
Penyebab mahal, pertama adalah harga bahan bakar. Bensin
1 botol di Kalumpang Rp 15.000. Makin ke arah hulu makin mahal.
Kedua, bila melawan arus, jelas lebih banyak bahan bakar yang
digunakan. Beda bila menurun, dua mesin cukup. Kalau naik,
setidaknya empat mesin.
Ya, begitulah cerita tenta