MAKNA SIMBOL RIMPU DAN FUNGSINYA BAGI PEREMPUAN …
Transcript of MAKNA SIMBOL RIMPU DAN FUNGSINYA BAGI PEREMPUAN …
MAKNA SIMBOL RIMPU DAN FUNGSINYA BAGI PEREMPUAN BIMA
(KAJIAN SEMIOTIKA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Falkutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
SRI WULANDARI
105331102616
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
APRIL, 2021
MOTO
YAKINLAH DENGAN TIGA PERKARA :
TIADA YANG LEBIH SAYANG PADA KITA, SELAIN ALLAH.
TIADA YANG PALING MENGETAHUI KAGUNDAHAN KITA, SELAIN ALLAH.
TIADA YANG BERUPAYA MENGHILANGKAN KESULITAN KITA, SELAIN ALLAH”
PERSEMBAHAN
“KUPERSEMBAHKAN KARYA KECIL INI UNTUK KEDUA ORANG TUAKU YANG
SENANTIASA MENDOAKAN SETIAP LANGKAH KAKI INI”.
“UNTUK KEDUA ADIKKU YANG SELALU MENYEMANGATIKU DI DIRI INI LELAH”
“UNTUK KELUARGA TERCINTAKU YANG TIDAK BISA KU SEBUTKAN SATU PERSATU”
ABSTRAK
SRI WULANDARI, 2021. “Makna Simbol Rimpu dan Fungsinya Bagi PerempuanBima (Kajian Semiotika)”. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.FKIP. Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I. H. Andi Sukri Syamsuridan Pembimbing II Syekh Adiwijaya Latief.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbol rimpu bagiperempuan Bima dan untuk mengetahui fungsi rimpu bagi perempuan Bima. Metodepengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif, yangdilakukan dengan cara pengamatan, wawancara dan menelaah dokuemtasi. Analisis datayang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif berdasarkan teorisemiotika C.S Peirce sebagai acuannya. Teknik pengumpulan data yang akan dilakukanoleh peneliti yaitu dengan cara wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis datadilakukan yaitu deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna yang terkandung dalam maknasimbol rimpu sangat penting bagi perempuan Bima, dikarenakan dengan memakai rimpustatus perempuan yang memakai terlihat dengan jelas. Bagi perempuan yang masihgadis menggunakan rimpu mpida yaitu hanya memperlihatkan bagian mata, inisebanding halnya dengan pemakaian cadar oleh wanita muslim pada umumnya. Dengancara pemakaian sarung dibelitkan mengikuti arah kepala kemudian menyisakan ruangterbuka pada bagian mata. Sedangkan perempuan yang sudah berkeluarga mengenakanrimpu colo, yang mana bagian wajah diperlihatkan seperti halnya memakai jilbap dizaman sekarang. Cara pemakaiannya hampir sama. Perempuan Bima tidak mau beranjakdari rumah jika tidak memakai rimpu, karena rimpu bukan hanya budaya akan tetapirimpu merupakan implementasi dari syariat islam.
Kata kunci: Makna Rimpu, Fungsi Rimpu bagi perempuan Bima.
x
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut penulis ucapan selain puji syukur kehadirat Allah
Swt. atas segala rahmat, hidayah, dan nikmat yang diberikan kepada penulis serta
kesehatan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Salam
dan salawat tak lupa penulis ucapkan kepada nabi besar Muhammad saw. beserta
keluarganya dan para sahabatnya yang tetap istiqamah di jalan Allah Swt.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat akademik guna memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan
tantangan. Akan tetapi, semua itu teratasi berkat petunjuk dari Allah Swt. kerja
keras, dan dukungan dari orang-orang sekitar serta rasa percaya diri dari penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis menerima dengan ikhlas segala koreksi dan masukan-
masukan untuk penyempurnaan tulisan ini agar kelak dapat bermanfaat.
Skripsi ini terselesaikan berkat adanya bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang turut serta
memberikan bantuan, baik berupa materi maupun moral, khususnya kepada Dr. H.
Andi Sukri Syamsuri, M.Hum. sebagai pembimbing I dan Syekh Adiwijaya
Latief, S. Pd., M. Pd. sebagai pembimbing II yang penuh kesabaran, keterbukaan,
dan semangat serta senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan
xi
bimbingan kepada penulis sehingga dapat membuka wawasan berpikir yang
sangat berarti bagi penulis sejak penyusunan skripsi hingga skripsi ini selesai.
Penulis juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. H.
Ambo Asse, M.Ag. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. Erwin
Akib, S.Pd., M.Pd phD. Dekan Falkutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. Munirah, M.Pd. Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar,
serta kedua orang tua saya yang selalu mendorong saya untuk terus semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak demikian halnya skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari subtansinya maupun kaidah penulisanya.
Oleh karena itu, saran, masukan, dan kritikan yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi segenap yang bergelut di dunia pendidikan, terutama pada
mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, guru, dan dosen
dalam membangun pendidikan yang bermartabat, dihormati, serta berpihak pada
kemanusiaan, Amin.
Makassar, April 2021
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. iii
KARTU KONTROL PEMBIMBING I ..................................................... iv
KARTU KONTROL PEMBIMBING II....................................................v
SURAT PERNYATAAN .............................................................................vi
SURAT PERJANJIAN ................................................................................vii
MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................viii
ABSTRAK ................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Fokus Penelitian ........................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ....................... 7
A. Kajian Pustaka ............................................................................... 7
1. Penelitian yang Relevan ........................................................... 7
2. Makna Simbolik ....................................................................... 9
3. Konsep Semiotika Carles Sanders Pierce ................................ 12
4. Bima Sebelum Masuknya Islam .............................................. 17
5. Islam Masuk di Tanah Bima dan Berkembangnya Islam ........ 22
xiii
6. Sejarah Rimpu .......................................................................... 28
7. Budaya Rimpu Masyrakat Bima............................................... 29
B. Kerangka Konseptual ...................................................................33
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 35
A. Jenis Penelitian .............................................................................35
B. Lokasi Penelitian ..........................................................................36
C. Definisi Istilah .............................................................................. 42
D. Data dan Sumber Data .................................................................. 43
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 44
F. Teknik Analisis Data .................................................................... 46
G. Keabsahan Data ............................................................................ 48
H. Alir Penelitian ............................................................................... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................51
A. Hasil Penelitian .............................................................................51
B. Pembahasan ..................................................................................63
BAB V SUMPULAN DAN SARAN ..........................................................66
A. Simpulan .......................................................................................66
B. Saran .............................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................69
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Jumlah Penduduk ...................................................................................40
Tabel 2: Tingkat Pendidikan ................................................................................41
Tabel 3: Mata Pencaharian ...................................................................................41
Tabel 5: Prasana Desa ..........................................................................................42
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Kerangka Konsep.....................................................................34
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian ..........................................................................50
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan bukanlah istilah asing bagi kita. Hampir semua orang
pernah mendengar istilah tersebut bahkan menggunakannya. Secara
konsepsional semua kebudayaan adalah baik, akan tetapi dalam
pelaksanaannya bisa dipraktikkan secara benar dan bisa pula secara salah.
Ceunfin (2002: 69) mengartikan kebudayaan sebagai segala unsur
kehidupan yang dibakukan dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat,
bahasa, tradisi, sastra lisan dan tertulis, kesenian, mitos-mitos, ritus-ritus, ilmu
pengetahuan, ideologi, moral dan agama melalui bagaimana manusia
mengungkapkan diri pada periode historis dan dalam lingkungan geografis
tertentu. Hal ini sejalan dengan Clyde Kluckhon bahwa batasan kebudayaan
meliputi: (1) keseluruhan cara hidup bermasyarakat, (2) warisan sosial yang
diperoleh individu dalam kelompoknya, (3) suatu cara berpikir, merasa, dan
percaya, (4) suatu abstraksi dari tingkah laku, (5) cara suatu kelompok
masyarakat menyatakan tingkah laku, (6) khasanah untuk mengumpulkan hasil
belajar, (7) seperangkat orientasi baku bagi masalah yang sedang berlangsung,
(8) tingkah laku yang dipelajari, (9) suatu mekanisme untuk menata tingkah
laku yang bersifat normatif, (10) seperangkat teknik untuk menyesuaikan diri
baik dengan lingkungan luar maupun dengan orang lain dan (11) suatu endapan
sejarah (Djawanai, 1999: 1).
1
2
Hal ini menunjukkan kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang
terbentuk secara evolusional (secara perlahan-lahan hampir tanpa disadari) dari
ketidak sempurnaan menuju kesempurnaan. Hasil karya manusia tersebut
diekspresikan dalam berbagai bentuk dan diwariskan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi. Salah satu bentuk karya tersebut adalah kesenian baik itu
seni budaya, seni suara, seni tari, seni sastra dan sebagainya. Penelitian ini
difokuskan pada seni budaya dalam berpakaian, khususnya dalam budaya
rimpu bagi perempuan Bima.
Daerah Bima (Dana Mbojo) salah satu kawasan di provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) merupakan suatu daerah yang kaya akan budaya dan
adat istiadat yang merupakan ciri khas masyarakat Bima itu sendiri. Tetapi
dewasa ini adat istiadat tersebut perlahan mulai luntur dan sulit untuk
ditemukan. Sehingga tidak mengherankan banyak anak-anak atau para remaja
Bima yang tidak mengetahui budayanya sendiri bahkan keadaan ini sangat
memperihatinkan karena adat-istiadat dan budaya yang diwariskan secara
turun-temurun tersebut tak tenilai harganya. Akan sangat disayangkan bila
harus hilang begitu saja, karena adat istiadat dan budaya merupakan ciri khas
suatu suku.
Dari zaman dahulu masyarakat sudah mengenal kultur serta kebiasaan
untuk menghasilkan pakaian dengan menggunakan alat pemukul dari batu.
Pada saat itu, dipergunakan dalam membuat pakaian dari bahan yang
sederhana, seperti dari kulit hewan maupun kulit kayu. Pada perubahan
teknologi yaitu dimana manusia pada zaman itu berpikir sedikit maju dan
ditemukanlah kapas yang kemudian dijadikan lembaran benang, kemudian
3
mereka memulai membuat pakaian dengan cara menenun. Menenun
merupakan salah satu kerajinan tangan peninggalan leluhur yang dilakukan
secara turun-temurun. Hasil tenunan yang dihasilkan oleh perempuan Bima
bukan hanya dikenakan begitu saja. Akan tetapi, dibentuk dalam berbagai
model kemudian dari model tersebut terciptalah produk serta keindahan yang
dihasilkan oleh penenun tersebut.
Corak sarung yang dikenakan oleh sultan yaitu corak sarung ngusu
waru yang biasa dipakai oleh bangsawan, sedangkan corak sarung yang
digunakan oleh masyarakat berbeda dengan corak yang dikenakan oleh
golongan bangsawan. Akan tetapi, corak yang dipakai oleh masyarakat saat ini
tidak terbatas dikarenakan banyaknya corak sarung yang diproduksi oleh
masyarakat. Salah satu warna yang menjadi ciri khas Bima yaitu diantaranya
warna hitam, coklat, biru tua, dan merah gelap yang kemudian menjadi pakaian
keseharian masyarakat Bima. Pakaian tersebut berguna untuk melindungi
seluruh bagian badan dari pengaruh alam seperti mengamankan diri dari
serangan binatang, melindungi dari keadaan cuaca yang kadang-kadang
berubah serta menghindari badan dari gangguan benda tajam. Selain untuk
melindungi bagian badan pakaian juga merupakan suatu etika yang menjaga
bagian badan tertentu.
Pakaian keseharian untuk perempuan Bima umumnya mengenakan
corak sarung bali mpida serta baju pendek tanpa hiasan. Ketika akan keluar
rumah perempuan Bima mengenakan rimpu mpida dari tembe nggoli sebagai
penutup aurat. Kani ra lombo dalam bahasa Indonesia adalah pakaian yang
menjadi salah satu keperluan yang utama untuk masyarakat yang mempunyai
4
fungsi utama untuk menjaga kesehatan, menambah kewibawaan, menutup
aurat, dan sebagai pembeda status bagi yang mengenakannya (rimpu). Pakaian
tersebut dinilai indah dan bersih “ntika ra raso”.
Bima terkenal oleh budaya dan adat istiadat yang melekat dengan
syariat islam. Oleh sebab itu, segala bentuk kebiasaan asing akan sulit masuk
kedalam kebudayaan masyarakat Bima. Jadi, orang Bima terkenal dengan
pakaiannya yang menutup aurat serta longgar yang biasa dikenal dengan
sebutan budaya rimpu.
Sejauh yang peneliti ketahui, walaupun pakaian rimpu masih sering
dipakai dalam berbagai kesempatan tetapi sejauh ini belum pernah diteliti
bagaimana sesungguhnya makna simbol rimpu dan fungsinya bagi perempuan
Bima. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti makna simbol dan fungsi
yang terkandung dalam rimpu tersebut dengan tujuan sebagai upaya untuk
lebih memperkenalkan pakaian rimpu terhadap masyarakat luas karena
bagaimanapun rimpu merupakan pakaian perempuan Bima yang sangat
pontesional untuk dikembangkan dan diletastarikan. Terutama agar masyarakat
Bima menyadari arti penting kebudayaan rimpu dan secara sukarela mau
melestarikannya sebagai salah satu bentuk budaya khas Bima dan menghayati
nilai-nilai yang ada dalam pakaian tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Suatu
hal yang diharapkan bisa membuat orang Bima tersebut memiliki jati diri dan
kepribadian khas Bima yang menjadi bagian dari jati diri dan kepribadian
bangsa Indonesia.
5
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut maka fokus penelitiannya adalah
sebagai berikut:
1. Makna simbol rimpu bagi perempuan Bima.
2. Fungsi rimpu bagi perempuan Bima.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan makna simbol rimpu bagi perempuan Bima.
2. Untuk mengetahui fungsi rimpu bagi perempuan Bima.
D. Manfaat Penlitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat pada umumnya dan pihak terkait dibidang pendidikan khususnya.
Adapun manfaatnya antara lain:
1. Manfaat praktis
a. Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan agar dapat
menambah wawasan peserta didik tentang makna simbol rimpu dan
fungsinya bagi perempuan Bima (kajian semiotika).
b. Bagi penggemar seni budaya khususnya budaya rimpu sebagai pakaian
budaya khas Bima, hasil penelitian ini diharapkan dapat mempermudah
mereka untuk memahami makna simbol rimpu dan fungsinya bagi
perempuan Bima (kajian semiotika).
6
c. Bagi kepariwisataan Bima, hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu
melestarikan rimpu sehingga menjadi objek wisata yang berdaya jual
tinggi karena mengandung banyak nilai.
2. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan bacaan dalam
pengembangan ilmu budaya khususnya mengenai makna simbol rimpu
dan fungsinya bagi perempuan Bima (kajian semiotika) bagi masyarakat
Bima.
b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai acuan dalam penelitian
selanjutnya khususnya bagi yang mendalami mengenai makna simbol
rimpu dan fungsinya bagi perempuan Bima (kajian semiotika).
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian yang relevan
Penelitian yang relevan makna simbol rimpu dan fungsinya bagi
perempuan Bima (kajian semiotika). Tentu ada penelitian-penelitian yang
terdahulu berhubungan dengan penelitian ini, adapun penelitian yang
relevan dengan penelitian ini antara lain:
Pertama, yang dilakukan oleh Ratna Apriyani (2017). Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa makna simbolik kesenian Reog Galih Jati
Sari dalam upacara bersih merupakan usaha masyarakat agar terhindar dari
suatu halangan-halangan yang terjadi di saat pementasan dengan memberi
sesaji sebagai rasa pengakuan terhadap keberadaan roh yang dipercaya
masyarakat sebagai penunggu barongan. Penelitian tersebut mempunyai
persamaan dengan penelitian yang dilakukan yaitu makna simbolik dan
perbedaanya penelitian tersebut pada objek kajian yang digunakan peneliti
memilih menggunakan kajian semiotika dalam menjelaskan makna simbolik
secara terperinci.
Kedua, yang dilakukan oleh Seliana, Syaiful Arifin, Syamsul Rijal
(2018). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Mappasikarawa merupakan
salah satu prosesi pernikahan Bugis yang dilakukan di rumah pengantin
wanita yang diadakan setelah prosesi akad nikah . Penelitian ini mempunyai
7
8
persamaan dengan penelitian pertama yaitu sama-sama membahas makna
simbolik dan perbedaanya terletak pada objek kajian.
Ketiga, yang dilakukan oleh Elisabeth Surya (2009). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa makna simbolik yang terkandung dalam
Tarian Caci merupakan simbol pola hidup, situasi, kondisi hidup dan
kebudayaan masyarakat Manggarai dan berfungsi untuk membangkitkan
semangat kebersamaan, sprotivitas dan sebagainya. Penelitian ini
mempunyai persamaan dengan peneliti pertama dan kedua terletak pada
metode penelitian yaitu metode kualitatif dan perbedaanya terletak pada
objek kajian.
Keempat, yang dilakukan oleh Uli Amsari (2015). Hasil penelitian
ini mengungkapkan bahwa tari Sigeh Penguten memiliki makna yang
terkandung didalamnya, makna tersebut adalah makna gerak yang
mengandung falsafah piil pesengiri, iringan sebagai persembahan, tata rias
yang memiliki makna keceriaan dan busana yang mewakili kedua suku
yakni Pepadun dan Saibatin. Selain itu properti yang digunakan dalam tari
Sigeh Penguten yakni tepak memiliki makna tersendiri dalam
penggunaannya. Tepak berisi sikapur sirih nantinya akan diberikan kepada
salah satu tamu yang dianggap mewakili seluruh tamu, hal ini sebagai
ucapan selamat datang dan terimakasih dari tuan rumah kepada para tamu
yang telah hadir dalam acara tersebut. Penelitian ini mempunyai persamaan
dengan peniliti pertama, kedua dan ketiga yaitu terletak pada makna simbol
dan metode yang digunakan dalam penelitian tersebut dan perbedaanya pada
objek yang dikaji.
9
Kelima, yang dilakukan oleh Muhammad Amrullah (2015). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ritual yang mengiringi pembuatan perahu
tradisional sandeq dilihat dalam tiga tahapan utama yaitu pada awal
pembuatan perahu, dalam proses pembuatan perahu dan peluncuran perahu
ke laut. Makna yang terkandung dalam pelaksaan ritual ini merupakan
pengharapan agar senantiasa diberi keselamatan oleh Allah Swt dalam
menggunakan perahu. Selain itu, ritual juga bermaksud untuk memohon
rezeki yang berlimpah dari proses melaut nantinya. Penelitian ini
mempunyai persamaan dengan peniliti pertama, kedua, ketiga dan keempat
terletak pada metode yang digunakan yaitu metode kualitatif dan Makna
simbol, perbedaannya terletak pada objek kajian.
Jadi, dapat disimpulkan berdasarkan uraian terhadap penelitian
relevan tersebut terdapat persamaan yaitu meneliti tentang makna simbolik
dalam suatu kebudayaan dan yang menjadi perbedaannya ialah terletak pada
objek kajian dan analis kajian. Di sini peneliti menfokuskan tentang makna
simbol dan fungsi rimpu bagi perempuan Bima (kajian semiotika), dengan
demikian penelitian yang akan dilakukan peneliti berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya.
2. Makna Simbolik
Makna adalah sesuatu yang mengandung arti penting. Simbolik
adalah makna tertentu dalam benda atau suatu hal yang mewakili suatu
keadaan atau sebab yang ingin disampaikan. Jadi, makna simbolik adalah
10
hal tertentu dalam benda atau sesuatu yang memiliki arti penting dan hal
yang ingin disampaikan kepada seseorang.
Makna adalah arti atau maksud yang tercantum dari suatu kata.
Jadi, makna dengan bendanya saling berpegangan dan saling menyatu. Jika
suatu kata tidak bisa digabungkan dengan bendanya maka peristiwa atau
keadaan tertentu tidak dapat memperoleh makna dari kata tersebut.
Hornby dalam Sudaryat (2009: 13) mengatakan bahwa makna
merupakan apa yang kita artikan atau dimaksudkan oleh kita. Dajasudarma
(2009: 5) menyatakan bahwa makna aalah pertautan antara unsur-unsur
bahasa itu sendiri. Sedangkan Purwadarminto menjelaskan bahwa makna
ialah arti atau maksud.
Mansoer Pateda (2001: 79) mengemukakan makna merupakan
kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu
pada tuturan kata maupun kalimat.
Kata simbolis dalam KBBI berarti sesuatu yang berkaitan dengan
lambang. Kata simbol sendiri berasal dari kata Yunani symbolos yang
berarti tanda atau ciri yang memberitahukan suatu hal kepada seseorang.
Simbol adalah lambang yang menunjuk pada referen dengan acuan
makna yang berkelainan. Dalam pemaknaannya, ragam tanda yang sulit
ditentukan maknanya adalah simbol, dikerenakan simbol merupakan bentuk
yang isian maknanya sudah di motivasi oleh unsur subjektif pengarangnya.
Selain itu, simbol isian maknanya juga bersifat konotatif. Aminuddin (1995:
126) mengatakan bahwa karakteristik realitas yang memiliki fungsi
11
simbolik sering kali masih memiliki keselarasan hubungan dengan sesuatu
yang disimbolkan sehingga gagasan yang ada dengan mudah diperkirakan.
Hubungan antara simbol dan yang disimbolkan bersifat banyak
arah. Contohnya kata bunga, tidak hanya memiliki hubungan timbal balik
antara gambaran yang disebut bunga. Kata ini secara asosiasif dihubungkan
dengan keindahan, kelembutan dan sebagainya. Dengan demikian,
kesadaran simbolik disamping menampilkan gambaran objek yang diacu,
juga menggambarkan ide atau gagasan yang meliputi bentuk simbolik dan
gambaran objeknya sendiri. Jadi, suatu simbol sebenarnya merupakan hasil
refresentasi ciri semantik yang diproses dan membentuk suatu pengertian
tertentu.
Simbol merupakan salah satu bagian dari hubungan antara tanda
dengan acuannya yaitu hubungan yang menjelaskan makna dari sebuah
konteks tertentu dalam kehidupan secara umum atau sebuah karya sebagai
tiruan kehidupan.
Proses simbolik terjadi disaat manusia menciptakan simbol dengan
cara membuat kesepakatan tentang sesuatu untuk menyatakan sesuatu.
Hayawaka (Maria 2012: 25) proses simbolik terdapat pada semua tingkat
peradaban manusia dari yang paling bawah sampai pada kelompok paling
atas. Dalam proses perkembangan simbolik meletakkan tiga landasan
aktivitas manusia dalam bersosialisasi yaitu sifat individu, interaksi dan
interpretasi.
12
3. Konsep Semiotika Charles Sanders Peirce
Pada akhir abad ke 19 semiotika atau semiotik dihadirkan oleh
Charles Sanders Peirce seorang filsuf Amerika yang merujuk pada “doktrin
formal tentang tanda-tanda” menjadi dasar semiotika adalah konsep tentang
tanda, tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-
tanda melainkan dunia itu sendiripun sejauh terkait dengan pikiran semua
manusia terdiri atas tanda-tanda karena jika tidak begitu manusia tidak akan
bisa menjalin hubungannya dengan realitas (Sobur, 2006: 13).
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti
tanda (Sudjiman dan van Zoest, 1996: 7) atau seme yang berarti “penafsir
tanda” (Cobley dan Jansz, 1999: 4) dijelaskan (dalam Sobur, 2006: 16).
Semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah
keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia baik itu tanda verbal maupun
nonverbal. Sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap keberadaan
tanda-tanda khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari yang
berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektivitas dan
efisiensi energi yang harus dikeluarkan. Dengan memahami sistem tanda,
cara kerjanya berarti menikmati suatu kehidupan yang lebih baik.
Eco (dalam Ratna 2004: 105) semiotika berhubungan dengan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, sebuah tanda adalah segala
sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain.
Danesi dan Peron (dalam Hoed 2011: 23) tujuan utama semiotik ialah
memahami kemampuan otak kita untuk memproduksi dan memahami tanda
13
serta kegiatan membangun pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan
manusia. Kemampuan tersebut disebut semiosis sedangkan kegiatan
manusia yang berkaitan dengan tanda adalah suatu keadaan (kegiatan
mengaitkan suatu keadaan dengan objeknya).
Peirce (dalam Sobur, 2004) semiotika pada dasarnya mempelajari
sebuah pengetahuan dalam bernalar. Menurut Peirce bernalar dilakukan
dengan tanda kemudian melalui tanda tersebut menyebabkan kita untuk
berpendapat dalam menyampaikan tujuan yang ditampakkan oleh alam
semesta. Dengan mengembangkan semiotika, Peirce mengarahkan perhatian
fungsi dan umumnya pada tanda. Oleh karena itu, Peirce menjadikan
semiotika sebagai pengetahuan yang penting dalam linguistik. Namun,
semiotika bukan satu-satunya. Hal tersebut berlaku pada tanda umumnya
berlaku pula pada tanda linguistik. Peirce mengemukakan bahwa tanda-
tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya
mempunyai hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda karena ikatan
konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Oleh sebab itu, Peirce
mempunyai pendapat umum tentang tanda yang kemudian dipertegas oleh
Peirce bahwa dasar yang kuat pada tanda dalam tulisan tersebut
digabungkan dalam ouvres completes setelah dua puluh lima tahun setelah
kematiannya.
Semiotika ialah ilmu yang mengkaji tanda. Semiotika berasal dari
bahasa yunani, yaitu “semeion” yang berarti tanda. Tanda merupakan
sesuatu yang mewakili suatu metafora, proses tersebut terjadi pada saat
tanda itu ditafsirkan hubungannya dengan yang diwakilinya bisa berupa
14
bentuk dan warna dalam sebuah karya seni rupa. Proses tersebut disebut
semiosis, semiosis merupakan suatu proses dimana tanda berfungsi sebagai
perwakilan dari apa yang ditandainya. Hal yang menjadi inti dalam kajian
semiotika adalah semiosis itu sendiri, ialah proses yang memadukan entitas
yang disebut sebagai representasi dari entitas yang diwakili tersebut yang
disebut objek. Proses semiosis sering disebut sebagai
signifikasi/signification.
Peirce yang dikutip oleh Noth (Hoed, 1992: 3) mengemukakan
bahwa “triple connection of sign, thing signified, cognition produced in the
mind”, kemudian di halaman yang serupa Peirce mengatakan bahwa
“Nothing is a sign unless it is interpreted as a sign”. Dapat dilihat bahwa
semiotika melambangkan suatu proses karena merangkum tiga bagian dalam
semiotika secara bersamaan, yaitu tanda. Kemudian sesuatu yang
diwakilinya merupakan situasi yang dipikirkan oleh seseorang pada saat
memahami tanda yang diamatinya dari tiga bagian tanda dan mempunyai
ikatan dengan tanda yang terbentuk secara sederhana.
a. Pengertian tanda dalam kajian semiotika
Tanda merupakan sesuatu hal yang mewaikili sesuatu itu sendiri
dari sesuatu yang lain seperti metafora. Charles Sanders Peirce
mengemukakan bahwa alam semesta secara khusus tersusun oleh tanda.
Oleh karena itu, sesuatu dapat dikatakan sebagai tanda apabila sesuatu
tersebut dapat dilihat dan diamati secara langsung. Jadi, sesuatu yang
ditujukan berupa pikiran dan pengalaman bahkan tanda tidak dibatasi
15
oleh suatu objek tertentu yang diamati. Contohnya, jika A diamati dan
dikenal secara langsung maka A merupakan tanda dan jika B adalah
lampu lalu lintas yang berwarna hijau maka B merupakan tanda bahwa
kendaraan yang melintasi jalan tersebut bisa meneruskan perjalanannya.
Mengikuti pendapat Peirce (dalam Hoed, 2011: 19) yang telah
dikemukakan bahwa semiotika berarti tanda yang terdiri dari ikon,
simbol dan indeks.
1) Ikon
Ikon (iconic sign) merupakan lambang yang mempunyai
kesamaan bentuk dengan sesuatu yang diwakilinya. Oleh karena itu,
ikon sebagai petanda mempunyai arti sederhana yang
mengomunikasikan suatu tanda. Misalnya, potret yang menyerupai
wajah seseorang merupakan tanda dari orang itu dan gambar A
diwakili oleh tanda A.
2) Simbol/lambang
Simbol (symbolic sign) menekankan pada kesepakan,
kebiasaan atau konvensi masyrakat yang melandasi hubungan arbitrer
antara penanda dan petanda. Karena kata simbolis sepenuhnya
didasarkan pada kesepakatan masyarakat, maka masyarakat dalam
lingkup yang berbeda sangat mungkin memahami tanda dengan
makna yang berbeda.
16
Simbol merupakan tanda yang menggantikan sesuatu yang
didasarkan pada kesepakatan baik secara tidak sengaja maupun
disengaja, seperti kota Bandung yang diwakili oleh gedung sate. Hoet
(1999: 2), menjelaskan bahwa tanda dapat berupa lambang jika
hubungan antara tanda dengan sesuatu yang diwakilinya berdasarkan
pada perjanjian. Misalnya, rumah beratap gonjong mewakili Minang
Kabau.
3) Indeks
Indeks (indexical sign) menunjukan pada sesuatu bukan
berdasarkan pada kemiripan tetapi lebih menekankan pada keterkaitan
logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat).
Indeks merupakan suatu tanda yang mewakili sesuatu
berdasarkan implikasi yang umumnya terbentuk dari sebuah
pengetahuan. Misalnya, tanda datangnya hujan ditandai dengan awan
kelabu.
b. Tanda dan Ground
Sesuatu dapat menjadi tanda karena ada yang mendasarinya.
Peirce menyebutnya dengan ground dari tanda. Ground adalah sesuatu
yang yang mendasari tanda sehingga menjadi tanda. Tanda dapat disebut
sebagai tanda bukan didasarkan pada kode bahasa saja, hal ini
dikarenakan tanda dapat ditangkap sebagai tanda karena adanya kode non
bahasa. Kode non bahasa maksudnya adalah tanda atas dasar
pengetahuan pribadi, interpretasi, insidental dan individual.
17
Peirce membedakan tanda-tanda berdasarkan sifat groundnya
menjadi tiga macam yaitu:
1) Tanda kualitas adalah suatu benda dikatakan sebagai tanda
berdasarkan suatu kepribadian. Misalnya, merah sebagai sifat yang
berdiri sendiri sebelum dikaitkan pada sesuatu yang lain (sebelum
mewakili sesuatu yang lain selain warna).
2) Tanda tunggal, yaitu suatu tanda dianggap sebuah tanda apabila tanda
tersebut sesuai dengan tampilannya dalam kenyataan. Misalnya, asap
sebagai tanda dari api. Kemudian hubungan kausalitas antara api dan
asap dikarenakan asap berfungsi untuk penanda dari api.
3) Tanda hukum atau aturan, yaitu suatu tanda akan dianggap tanda
menurut hukum yang telah diputuskan baik terbentuk dari kesengajaan
maupun tidak sengaja yang terbentuk dengan sendirinya dalam
kebudayan.
4. Bima Sebelum Masuknya Islam
Sebelum berkembangnya islam di wilayah Bima. Pada saat itu,
Bima mempunyai beberapa bentuk pemerintahan diantaranya Masa Naka,
Masa Ncuhi dan Masa Kerajaan. Berikut ini akan dijelaskan dari ketiga
bentuk pemerintahan tersebut:
a. Masa Naka
Masa naka merupakan zaman tertua dalam sejarah Mbojo Bima,
yang biasa masyarakat menyebutnya sebagai zaman prasejarah. Seorang
sejarawan mengemukakan bahwa kebiasaan dalam masyarakat di zaman
naka memiliki kebiasaan yang sederhana dimana masyarakat pada zaman
18
ini senang berburu dan kehidupan yang selalu berpindah wilayah
(nomadhen). Ciri-ciri masyarakat yang hidup pada zaman ini dapat
diuraikan sebagai berikut; selalu berpindah tempat tinggal, belum
mengenal dengan tulisan, hidupnya bergerombol, setiap gerombolan
tersebut diketuai oleh kepala suku, bahkan belum memahami tentang
peternakan maupun pertanian, dan masyarakat di zaman ini menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme.
Masyarakat di zaman naka menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme yang dikenal dengan sebutan makamba makimbi. Masyarakat
berkeyakinan bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh yang
maha kuasa yang biasa mereka sebut dengan istilah parafu, yaitu yang
mendiami pohon-pohon besar atau batu-batu besar yang mereka anggap
memiliki kekuatan gaib. Tempat tersebut dikenal dengan nama “parafu ro
pamboro”. Di zaman ini masyarakat melakukan pemujaan kepada
makamba makimbi pada saat-saat tertentu seperti halnya upacara
persembahan dinamakan “taho dore”, di saat melakukan upacara ini
dibacakan mantra-mantra dan memberikan persembahan berupa sesajen
atau penyembelihan hewan untuk “parafu ro pamboro”.
Upacara tersebut dipimpin oleh seorang naka yang mereka anggap
sebagai pemimpin dalam kehidupan. Selain makamba makimbi,
masyarakat di zaman naka selalu menghormati arwah nenek moyang
mereka terutama seorang naka. Selain itu, naka bukan hanya pemuka
agama melainkan pemimpin dalam kehidupan masyarakat bahkan
dihormati oleh masyarakat. Pada zaman naka masyarakat menghormati
19
asas musyawarah dan gotong royong yang masih dilakukan oleh
masyarakat Bima sampai sekarang.
b. Masa Ncuhi
Pada saat peralihan dari zaman naka (zaman prasejarah) menuju
zaman kerajaan di sebut masa ncuhi. Kata ncuhi berasal dari bahasa
Bima kuno, yaitu suri dan kemudian diubah ke dalam kata ncuri yang
bermakna awal kehidupan. Oleh karena itu, ncuhi adalah lambang yang
mengandung artian bahwa sebelum menuju ke zaman kerajaan
masyarakat Bima telah mengawali transisi hidup serta penghidupan.
Masyarakat pada zaman ini sudah mulai menetap dan bercocok tanam
serta beternak bahkan mengatur dan menyempurnakan tatanan sosial
yang ada.
Sekitar abad 8 M, pada masa ncuhi masyarakat Bima mulai
berinteraksi dan berhubungan dengan pedagang serta musafir dari daerah
lain yang memiliki kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta teknologi
yang lebih maju. Para pedagang tersebut berasal dari Ternate, Sumatera,
Sulawesi Selatan dan Jawa.
Pempimpin pada zaman ini dikenal dengan sebutan “ncuhi”,
hubungan yang dilakukan olah para ncuhi dengan pedagang luar sangat
baik sehinggan pelabuhan Bima maju dan ramai dikunjungi oleh
pedagang dari seluruh pelosok Nusantara salah satunya pedagang
terkenal dari Jawa Timur yaitu sang Bima dan sang Bima menjalin
persahabatan dengan para ncuhi untuk meningkatkan persatuan dan
kesatuan.
20
Pada abad 11 M para ncuhi mengadakan musyawarah di sebuah aula
“babuju” yang berada di daerah ncuhi dara dalam musyawarah tersebut
ditetapkan sesuatu yang berisi perihal pengembangan dan perluasan
seluruh wilayah Mbojo yang kemudian di kenal dengan nama babuju
yang disesuaikan dengan nama lokasi terjadinya musyawarah sehingga
terbentuklah Bima yang berasal dari kata Babuju.
c. Masa Kerajaan
Pada pertengahan abad 11 M berdirilah kerajaan Mbojo yang
dipimpim oleh Indra Zamrud sebagai raja pertama yang dilantik oleh
ncuhi dara. Oleh karena itu, sistem pemerintahan Mbojo dipimpin oleh
raja “sangaji” dan tidak lagi dipimpin oleh ncuhi.
Sebagai raja pertama Indra Zamrud membentuk pengembangan dan
pertumbuhan di berbagai bidang, yaitu:
1) Dibidang agama dan keyakinan
Indra Zamrud sebagai raja pertama tidak memaksa rakyatnya
agar memeluk islam dan membiarkan rakyatnya memeluk agama
sesuai kehendak yang diinginkan oleh rakyat. Bahkan, raja sangat
menghargai masyarakat yang masih meyakini kepercayaan terhadap
makamba dan makimbi sehingga toleransi antara raja dan rakyat
hingga sekarang dilestarikan oleh masyarakat Bima pada umumnya.
2) Dibidang ekonomi
Pada bidang ekonomi Indra Zamrud berupaya memajukan
kemakmuran dan kejayaan kerajaan dengan menjalankan berbagai
21
bidang diantaranya bidang pertanian, peternakan, perniagaan serta
pelayaran. Oleh karena itu, usaha yang dilakukan oleh Indra Zamrud
tersebut mendapat hasil yang memuaskan. Misalnya, pada bidang
peternakan dan pertanian yang berkembang dengan pesat sehingga
bencana kekurangan bahan makanan tidak akan terjadi. Bahkan, di
bidang pelayaran menjadikan pelabuhan Bima ramai didatangi para
pedagang bahkan musafir dari berbagai penjuru dunia.
Pada abad 14 M Sangaji Manggapo Jawa menjadi sultan
berikutnya setelah Indra Zamrud, kemudian Sangaji Manggapo Jawa
memerintah kerajaan Mbojo sehingga pada saat itu kerajaan
mengalami kemajuan yang pesat dan di masa kemasyhuran. Oleh
karena itu, sultan mengeratkan kerja sama yang menyeluruh dari
wilayah kepulauan sampai di majapahit. Pada saat itulah masyarakat
mengenal satsra dan tulisan. Selain itu, sultan Manggapo Jawa
berhasil mengembangkan keterampilan serta pengetahuan teknologi
diantaranya dalam membuat tombak dan batu bata
Di awal abad 15 M kesultanan Mbojo yang dipimpin oleh
Sangaji Mawa’a Paju Longge. Kemudian di saat pemerintahan Sangaji
Mawa’a Paju Longge hubungan antara kesultanan Bima dengan
kerjaan Gowa mulai ditingkatkan sehingga sistem pemerintahan,
seperti pertanian, pelayaran dan perdagangan mengikuti sistem yang
berlaku pada kerajaan Gowa. Bahkan, budaya dan kebiasaan
masyarakat Bima telah dipengaruhi oleh kebudayaan Gowa.
Kemudian pada akhir abad 15 M kerajaan Mbojo berkembang dengan
22
cepat dan menjadi pusat perdagangan yang ramai dikunjungi dari
berbagai penjuru nusantara di bagian timur selain Ternate dan Gowa.
Kemudian kekuasaan kerajaan Mbojo berbentang dengan luas mulai
dari pulau Satonda sampai ke Alor di sebelah timur. Namun, pada
abad ke 16 M kejayaan kesultanan Mbojo menurun.
5. Islam Masuk di Tanah Bima dan Berkembangnya Islam
Tanah Bima dikenal sebagai dana Mbojo yang berasal dari kata
babuju yang memiliki arti tanah yang tinggi, sedangkan nama Bima berasal
dari nama leluhur raja-raja Bima yang pertama. Bima merupakan kerajaan
terpenting di pulau Sumbawa pada masanya karena pada abad 17-19 Bima
merupakan jalur perdagangan antara malaka dan maluku. Kerajaan Bima
pada perkembangannya sangat banyak berhubungan dengan kota Makassar.
Pada abad ke- 16 Tome Pires menggambarkan Bima sebgai berikut: Bima di
pimpin oleh raja yang kafir memiliki banyak perahu serta banyak bahan
makanan seperti daging, ikan, asam dan juga banyak bahan bakar kayu.
Perdagangan di pulau Bima ramai orang-orangnya hitam berambut lurus.
Pulau Bima juga memiliki sedikit kekayaan emas (Maryam 1999).
Menurut Harahap “mubalig islam memulai penyiaran islam di
pulau Sumbawa pada abad 16 M antara tahun 1540 sampai tahun 1550 M”.
Dari pendapat tersebut dipercaya bahwa islam masuk ke pulau Sumbawa
sekitar tahun 1540 sampai tahun 1550 dibawa oleh para mubalig dan
pedagang dari demak, kemudian pada tahun 1511 Demak menjadi titik
utama dalam menyiarkan islam di Asia Tenggara dengan menggantikan
takhta malaka yang terlepas dari tangan portugis. Sunan Prapen merupakan
23
salah satu mubalig ternama dalam menyebarluaskan islam di wilayah
Indonesia bagian timur salah satunya pulau Sumbawa. Namun, perjalanan
yang dikukan oleh Sunan Prapen tidak berjalan dengan mulus dikarenakan
pengaruhnya terhadap syiar islam belum stabil.
Pada abad 17 M ialah saat yang penting bagi sejarah perkembangan
kesultanan Bima. Namun, pada abad 17 M terjadi dua kejadian yang
kemudian memengaruhi sejarah perjalanan Bima, yaitu salisi meneror La
kai untuk mewujudkan keinginan pribadinya dan saat itu bertepatan dengan
masuknya pengaruh islam dari Sulawesi Selatan yang kemudian masuk ke
tepi laut Sape, tepi laut Waworada Selatan kemudian menelusuri desa di
sekeliling kaki gunung lambitu yang berpusat di daerah kalod’u.
Dengan membunuh putra mahkota salisi ingin menguasai kerajaan.
Salisi berusaha meminta bantuan Belanda. Namun, pembunuhan tersebut
tidak berhasil. Ketika mengetahui keinginan salisi untuk membunuhnya,
putra mahkota menyelamatkan diri ke Kalo’ud, yaitu salah satu daerah yang
sudah menerima ajaran islam sebagai petunjuk dalam menjalankan
kehidupan. Pada saat itu, La Kai mengenal agama islam yang penuh
ketenangan sehingga dengan keikhlasan hatinya La Kai memeluk islam dan
menjadikan islam sebagai kepercayaan yang dianutnya. Sehingga lama-
kelamaan masyarakat yang mengetahui bahwa putra mahkota telah
memeluk islam dan masyarakat serentak mendekap pada ajaran islam
dikarenakan masyarakat sangat menghormati kesultanan sebagai pengayom
dan pelindung bagi rakyat.
24
Pada tahun 1050 H La kai mendapat bantuan dari Makassar dan
berhasil menaklukkan salisi dan menguasai kejaaan yang sebelumnya
dikuasai oleh salisi, setelah kemenangnya La kai di berikan gelar sultan
Abdul Kahir dan dinobatkan sebagai sultan pertama di kesultanan Bima.
Penyebaran islam yang dilakukan oleh ulama dari Makassar, yaitu
Datu Ribandang dan Datu Ritiro terbukti mendapatkan pengaruh besar
terhadap kehidupan masyarakat Bima. Dengan bantuan dari kedua ulama
tersebut ajaran islam mulai disebarkan pada saat pemerintahan sultan
pertama, tentu dengan ketentuan yang disesuaikan dengan ajaran islam salah
satunya menutup aurat, mengucapkan dua kalimat syahadat dan sunat bagi
laki-laki. Kemudian ditegakkan aturan kesultanan menurut ajaran islam
yaitu agar selalu menutup aurat bagi perempuan yang sudah aqil balig sesuai
dengan syariat islam. Akan tetapi, pada tanggal 8 ramadan 1050 H
bertepatan dengan 1640 M sultan pertama wafat sehingga aturan yang telah
dibuat oleh La kai belum terlaksana dengan begitu baik.
Semenjak sultan Abdul Kahir wafat, kemudian kesultanan Bima
digantikan oleh putranya sultan Abdul Kahir Sirajudin sebagai sultan kedua
di kesultanan Bima yang diberi gelar “Ruma Mantau Uma Jati”
Pada saat pemerintahan sultan Abdul Kahir Sirajudin, islam di
Bima merupakan agama yang diagungkan oleh sultan beserta masyarakat
Bima itu sendiri. Dimulai dari tatanan kerajaan yang kemudian diubah
sebagai kesultanan serta sistem pemerintahan semuanya sesuai dengan
syariat islam bahkan dalam kehidupan bermasyarakat ditandai dengan
25
syariat islam, ini menunjukkan bahwa agama islam merupakan agama yang
yang membawa perdamaian dan rahmat bagi seluruh alam “Rahmatan Lil
Alamin”
Sebagai pengayom dan panutan oleh masyarakat sultan Abdul
Kahir Sirajuddin bekerja keras dalam mengembangkan kesultanan Bima
serta membawa islam seperti halnya yang telah dilakukan oleh sultan Abdul
Kahir yang dibantu oleh gurunya Datu Maharaja Lelo. Sultan
memberitahukan kepada masyarakat agar mengadakan upacara “siri puan”
yang diadakan dalam sekali setahun yakni pada bulan rabiul awal dimulai
tujuh hari bulan sampai lima belas hari bulan pada siang hari dan malam
hari dengan tujuan memuliakan hari kelahiran nabi. Selain untuk
memperingati kelahiran nabi upacara “siri puan” juga bertujuan untuk
menghargai penasehat melayu “guru” beserta kerabat dan keturunannya
yang telah berjasa dalam menyiarkan islam di daerah Bima serta
memperingati masuknya islam dan berdirinya kesultanan Bima.
Siri puan yaitu upacara sekaligus budaya khas Bima yang sampai
sekarang diberkembangkan oleh masyarakat. Selain melestarikan upacara
“siri puan”, sultan Abul Kahir Sirajudin meneruskan perintah ayahandanya
sultan Abdul Kahir dalam menjunjung tinggi derajat dan harga diri seorang
perempuan. Sejalan dengan syariat islam, maka dengan itu sultan Abdul
Kahir Sirajudin membuat keputusan perundang-undangan yang harus ditaati
dan dilakukan oleh semua masyarakat Bima yaitu mewajibkan bagi
perempuan mengenakan pakaian yang menutup aurat sesuai syariat dalam
islam dan memakai rimpu salah satu alat untuk menutup aurat dan apabila
26
terdapat masyarakat yang melanggar peraturan tersebut akan mendapatkan
hukuman setimpal sesuai aturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh
kesultanan.
Sejak dibuatkan peraturan perundang-undangan perempuan Bima
berbondong-bondong menggunakan rimpu sebagai alat menutup aurat.
Rimpu tersebut dipakai oleh seorang wanita, baik itu yang sudah
berkeluarga maupun yang masih gadis dan hendak meninggalkan rumah
agar terhindar dari pandangan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Sebagai masyarakat yang tunduk serta patuh pada aturan yang telah
dibuat oleh sultannya, dengan ikhlas masyarakat menjalankan apa yang
telah diperintahkan tersebut bukan karena masyarakat merasa ketakutan
terhadap sultannya. Akan tetapi ini membuktikan bahwa masyarakat Bima
menerima islam dengan sepenuh hati mereka. Masyarakat Bima
berpendapat bahwa setiap perintah dan larangan dalam al-qur’an merupakan
sesuatu yang mutlak yang wajib dilakukan dalam kehidupan, seperti yang
dilakukan oleh masyarakat Bima salah satunya menutup aurat dengan
menggunakan rimpu.
Pada awalnya masyarakat Bima memercayai keyakinan pada
makamba dan makimbi yaitu kepercayaan terhadap kemampuan pada hal
gaib sebagai penguasa alam semesta, masyarakat menyebutnya sebagai
parafu yang dipercayai menguasai serta mendiami suatu kawasan misalnya
mata air, pohon rindang, batu besar, gunung serta daerah yang dianggap
keramat bahkan benda lainnya seperti keris dianggap gaib. Selain itu,
27
masyarakat memercayai bahwa setiap arwah leluhur yang mendahului
mereka terutama arwah orang dihormatinya seperti seorang sultan, masih
mempunyai peranan dalam menguasai kehidupan sehari-hari masyarakat
bahkan masyarakat selalu melakukan pemujaan disuatu tempat yang
dianggap keramat serta memiliki kekuatan gaib masyarakat biasa menyebut
dengan sebutan “parafu ro pamboro”
Sejak masuknya islam di Bima terbentuklah proses pencampuran
dua kebudayaan, salah satunya adalah budaya rimpu. Hilir Ismail
berpendapat bahwa bima merupakan suatu daerah yang memilki kapas yang
melimpah dan kemudian menjadikan kapas tersebut sebagai komoditas
ekspor hingga ke negeri China pada abad ke 13. Bahkan sebelum islam ada,
masyarakat Bima mempunyai kapas yang berlimpah dan telah memahami
kain tenun yang berasal dari kapas sehingga dalam berbusana masyarakat
mengenakan pakaian dari kain hasil tenunan “tembe nggoli” masyarakat itu
sendiri.
Sebelum adanya budaya rimpu, masyarakat Bima telah mengetahui
sanggentu dan katente. Sanggentu yaitu melilitkan sarung nggoli dari dada
mencapai mata kaki, sanggentu tersebut diperuntukan bagi perempuan dan
ketente yang diperuntukan bagi seorang laki-laki yaitu menggungkan tembe
nggoli dimulai dari pinggang hingga mata kaki. Sanggentu dan kantente
mempunyai cara pemakaian yang hampir sama, yang membedakannya pada
saat menggunakan sanggentu dan katente tersebut yaitu menggulungkan
tembe nggoli dari dada sampai mata kaki sedangkan kantente
menggulungkan sarung dari pinggang sampai mata kaki. Bahkan, sampai
28
sekarang “sanggentu dan katente” masih dilestarikan oleh masyarakat Bima,
salah satunya katente yang digunakan oleh kaum laki-laki pada saat salat
dan acara keagamanaan yang dipadukan dengan baju kemeja yang sopan.
Oleh karena itu, rimpu merupakan pakaian adat khas Bima yang
dikenakan khusus untuk perempuan yang sudah aqil-balig dan belum
terpengaruh oleh budaya lokal lainnya serta murni lahir dari proses
modifikasi budaya lokal dan budaya islam. Sejak islam masuk di Bima
bersama segala ajaran-ajarannya serta tata cara dalam berpakaian tentu
harus menyelaraskan dengan budaya masyarakat Bima itu sendiri.
Sanggentu dan kantete merupakan budaya asli Bima yang kemudian
diakulturasi dan disesuaikan dengan ajaran islam, proses tersebut dilakukan
agar ciri khas dan kultur lokal dalam sanggentu dan kantente tidak hilang
ditelan zaman.
6. Sejarah Rimpu
Awal pertama kali munculnya rimpu di Bima seiring masuknya
penyebaran islam, rimpu Mbojo merupakan busana adat tradisional yang
mengenangkan perkembangan adat harian yang telah mendasari munculnya
perkembangan keagamaan setelah berkembangnya masa kesultanan sebagai
indentitas wanita muslim Mbojo pada jaman penyebaran ajaran islam.
Rimpu menjadikan suatu prioritas keagamaan dalam rangka
mengembangkan suku budaya, masuknya rimpu di Bima sangatlah kental
setelah muncul peradaban dan penyebaran islam di wilayah Bima. Dimana
wanita dana Mbojo memakai rimpu setelah datangnya pedagang islam ke
Bima dengan mengedepankan pakaian Arab. Arab yang dikenal sebagai
29
agama islam yang patut dianut. Konon, rimpu menjadi salah satu prasejarah
Bima setelah munculnya ajaran islam oleh kedua datuk, kedua Datuk ini
bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ri Tiro selain di Bima kedua datuk
dikenal sebagai tokoh utama yang menyebar agama islam di pulau Sulawesi.
Masyarakat Bima (Mbojo), rimpu menjadi salah satu struktur
sejarah sosial pada saat itu yang menjadikan sebuah toleransi wanita Mbojo
maupun para lelaki untuk meningkatkan kebudayaan dan ajaran yang dianut
oleh mereka saat itu. Rimpu merupakan pakaian yang menutup aurat orang
Bima pada zaman dulu, rimpu menjadikan salah satu bahan pemakaian yang
digunakan untuk penutup aurat oleh kaum wanita masyarakat Mbojo.
Bahkan, rimpu memiliki banyak manfaat dan kegunaannya yaitu dipakai
saat acara resmi seperti upacara hari Bima dipakai sehari-hari dan dipakai
pada saat orang meninggal dunia.
7. Budaya Rimpu Masyarakat Bima
Rahman (2009: 47) berpendapat bahwa budaya rimpu merupakan
pakaian tradisional wanita muslimah kali pertama diperkenalkan setelah
masuknya ajaran islam akhir abad ke XVII di Bima yang ditandai dengan
berubahnya status kerajaan menjadi kesultanan. Aajaran islam mulai masuk
di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640 M,
dibawah oleh dua ulama yaitu Dato Ri Bandang dan Dato Ri Tiro asal
Sumatera yang diutus oleh kesultanan Gowa dalam menyiarkan islam di
wilayah Bima.
30
Maka, kedua ulama tersebut memperkenalkan kepada masyarakat
Bima terutama perempuan tentang bagaimana kaidah dalam mengenakan
pakaian yang sepadan dengan anjuran islam dalam hal menutup aurat karena
pada waktu itu hampir seluruh perempuan di wilayah kesultanan Bima
masih mengenakan peninggalan leluhur mereka dengan menggunakan
pakaian yang seadanya untuk menutup anggota tubuhnya.
Pada saat diperkenalkannya islam, sarung tradisional khas Bima
mulai dikenakan sebagai alat untuk menutup seluruh anggota tubuh
prerempuan Bima yang dikenal dengan nama rimpu. Sejak mengenal
budaya rimpu pada awal masuknya islam, masyarakat saat itu belum
memahami keterampilan menjahit sebagai alat untuk menyambung kain
yang dijadikan barang bermanfaat seperti sebuah pakaian salah satunya
baju. Karena pada waktu itu masyarakat hanya memahami yang namanya
menenun sarung dengan bahan dasar dari kapas yang diolah dengan cara
memintal kapas menjadi benang dan kemudian dari benang tersebut
selanjutnya ditenun kembali menjadi sarung.
Budaya rimpu telah hidup dan berkembang sejak masyarakat Bima
mengenal islam dan merupakan kebiasaan dalam berpakaian oleh
masyarakat Bima. Rimpu merupakan cara berpakaian yang mengandung
nilai-nilai yang sejalan nuansa islam. Kebiasaan memakai rimpu merupakan
simbol yang selalu ada pada perempuan Bima hampir setiap kemana-mana
rimpu sarung nggoli selalu dikenakan oleh perempuan Bima. Pada konteks
Indonesia secara umum. Bima khususnya, kesopanan sangat dinilai dari cara
berpaikaian dan berpenampilan.
31
Rimpu ialah menggunakan salah satu sarung khas Bima yaitu
tembe nggoli yang umumnya dibelitkan dibagian kepala dimana biasanya
terlihat hanya wajah. Kebudayaan rimpu yang merupakan salah satu hasil
kebudayaan masyarakat Bima. Pada umumnya perempuan Bima
mengenakan rimpu sebagai alat untuk menutup auratnya sebagaimana ajaran
islam mewajibkan setiap perempuan yang sudah aqil baliq diwajibkan
menutup auratnya dihadapan orang yang bukan muhrimnya. Dari segi
pemakaiannya rimpu dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu “rimpu colo
dan rimpu mpida”. Bagi perempuan yang belum menikah memakai busana
rimpu hanya kelihatan bagian mata (rimpu mpida) sedangkan bagian bagi
perempuan yang sudah menikah atau berkeluarga memakai busana rimpu
boleh kelihatan bagian wajah (rimpu colo).
Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara yang masih gadis
dengan yang telah bersuami sebenarnya secara tidak langsung menjelaskan
pada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita, apakah wanita
tersebut sudah berkeluarga atau masih gadis itulah yang unik dari budaya
rimpu suku Mbojo tersebut. Keunikan dari budaya berbusana suku Mbojo
tersebut harus tetap dilestarikan agar tidak punah sehingga generasi
selanjutnya mengetahui bahwa makna dari berbusana rimpu itu apa. Busana
rimpu yang menjadi salah satu budaya berbusana suku mbojo sekarang
hampir punah hal itu disebabkan karena masyarakat Bima sudah jarang
menggunakan rimpu untuk menutup aurat. Hal itu disebabkan sudah banyak
busana menutup aurat yang lebih bermodern yang bermunculan.
32
Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai budaya,
etnis dan suku yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Proses
pembentukan masyarakat Bima lebih dominan berasal dari imigrasi yang
dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Daerah Bima merupakan daerah yang
kaya akan budaya dan kebiasaan yang menjadi ciri khas masyarakat Bima
itu sendiri. Namun, pada saat adat istiadat ini kebudayaan tersebut perlahan-
lahan mulai memudar bahkan sulit untuk ditemukan sehingga tidak
mengherankan banyak anak-anak dan para remaja Bima tidak mengetahui
budayanya sendiri.
Indonesia merupakan Negara yang terkenal kaya akan adat
istiadatnya. Dikarenakan adat istiadat dan kebudayaan adalah salah satu ciri
khas suatu daerah yang memiliki perbedaan pada setiap daerahnya, salah
satu adat istiadat tersebut ialah adat istiadat masyarakat Bima yang sekarang
memudar bahkan berangsur-angsur hilang yaitu adat istiadat dalam
menggunakan rimpu oleh perempuan Bima. Budaya rimpu yang dikenakan
oleh perempuan Bima merupakan cara berpakaian dengan ciri khas
masyarakat Bima, terkhusus bagi kaum perempuan yang sudah aqil balig.
Rimpu sangat kental dengan masuknya islam di Bima maka dari itu, wanita
arab menjadi inspirasi bagi perempuan Bima dalam menutup sehingga
perempuan yang ada di Bima menyamakan pakaian arab dengan
menggunakan rimpu sebagai alat menutup aurat.
33
B. Kerangka Konseptual
Berdasarkan pembahasan teoretis pada kajian pustaka tersebut,
pembahasan berikut ini akan diuraikan kerangka konsep yang melandasi
penelitian ini. Adapun kerangka konsep merupakan proses tentang alur pikir
seseorang dalam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan atau masalah-
masalah yang akan dihadapi serta memberikan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah.
Rimpu merupakan salah satu model atau gaya berpakain khas daerah
Bima NTB dimana pakaian tersebut dikenakan oleh kaum wanita yang masih
remaja. Rimpu dikenakan untuk menutup aurat dengan melilitkan dua lembar
kain (tembe) sarung yang mana satu untuk bagian kepala dengan menutup
wajah hingga yang terlihat hanya mata saja menjulur sampai perut hingga yang
terlihat hanya telapak tangan. Dalam hal ini kaum wanita yang menjadi salah
satu faktor terbentuknya budaya rimpu adalah keadaan iklim di daerah Bima
yang panas sehingga ketika melakukan aktivitas kaum perempuan harus
mengenakan rimpu. Masyarakat Bima mayoritas bermata pencaharian sebagai
petani dan nelayan, akan tetapi pekerjaan sebagai nelayan hanya dilakoni oleh
kaum laki-laki. Sehingga ketika turun ke sawah kaum wanita yang
mengenakan rimpu untuk melindungi tubuh mereka dari sinar matahari.
Rimpu dikenal sejak masa kesultanan atau kerajaan islam masyrakat
Bima mengenal dua jenis rimpu yaitu rimpu mpida dan rimpu colo perbedaan
dari kedua jenis rimpu ini ialah rimpu mpida dikenakan oleh wanita yang
belum menikah sedangkan rimpu colo dikenakan oleh wanita yang sudah
34
berkeluarga. Bima merupakan daerah yang akan budaya dan adat istiadat salah
satunya rimpu yang merupakan ciri khas dari masyarakat Bima itu sendiri.
Gambar 1. Bagan Konseptual
Rimpu ColoRimpu Mpida
Ikon Simbol
Deskripsi dan Fungsi Makna Simbol Bagi
Perempuan Bima
Kajian Semiotika
Charles Sanders Peirce
Budaya Rimpu
Makna Simbol Rimpu dan Fungsinya
Bagi Perempuan Bima (Kajian
Semiotika)
Indeks
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif adalah kegiatan penelitian yang menjelaskan data deskriptif yaitu
suatu fenomena seperti, ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati
dari orang tersebut. Taylor dan Bogdan mengemukakan bahwa penelitian
tersebut digunakan untuk menjelaskan kejadian yang terjadi pada masa
sekarang yang dilakukan secara sistematis dengan menggunakan variabel
bebas. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan data deskriptif yang
berkenaan dengan suatu kejadian yang dapat diamati dari objek yang diteliti.
Metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara atau penelaah
dokumen. Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan, yang
pertama menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan
dengan kenyataan dan yang kedua metode ini menyajikan secara langsung
hakikat hubungan antara peneliti dengan responden.
Dengan menggunakan metode kualitatif ini peneliti akan melakukan
pengamatan, berupa wawancara dan menelaah dokumen untuk memberikan
gambaran langsung hakikat kepada responden yaitu mendeskripsikan keadaan
masyarakat di desa Simpasai kecamatan Lambu yang berkaitan dengan makna
simbol rimpu dan fungsinya bagi perempuan Bima (kajian semiotika).
35
36
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dijadikan objek dalam penyusunan skripsi
tersebut berada di kecamatan Lambu yang ada di desa Simpasai. Desa
Simpasai adalah salah satu dari sekian banyak desa dalam wilayah di
kecamatan Lambu kabupaten Bima provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Peneliti memilih desa Simpasai sebagai lokasi penelitian, dikarenakan
desa Simpasai mempunyai kultur budaya yang khas dan berbeda dengan desa
yang ada di kecamatan Lambu. Keunikkan dalam budaya rimpu ialah pada saat
dikenakan oleh para perempuan Bima di kala akan keluar dari rumah. Dengan
menggunakan rimpu, perempuan pemakai rimpu dapat dibedakan statusnya
antara perempuan yang masih gadis dan perempuan yang sudah berkelurga.
Perbedaan tersebut terlihat dari cara mereka memakai rimpu, seperti pemakaian
rimpu colo yang dipakai oleh perempuan yang sudah berkeluarga sedangkan
rimpu mpida digunakan oleh perempuan yang masih gadis.
Alasan peneliti mengangkat judul tersebut dikarenakan peneliti ingin
mengetahui bagaimana makna simbol rimpu dan fungsinya bagi perempuan
Bima cara budaya rimpu terkhusus pada kebudayaan rimpu di desa Simpasai
kecamatan Lambu tersebut.
Desa Simpasai ialah salah satu desa di wilayah kecamatan Lambu yang
terletak disebelah barat pusat kota kecamatan. Desa adalah kesatuan
masyarakat yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintah, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
37
parkarsa masyarakat hak atas usul dan atau hak tradisional yang di akui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan negara republik Indonesia.
Sejarah desa Simpasai, tidak jauh dari sejarah peradaban masuknya
islam di Bima. Pada saat itu, tepatnya pada abad ke 15 Syekh Muhammad Bin
Abdollah didampingi oleh 44 orang pengikutnya, Syekh Muhammad Bin
Abdolah mendatangi Bima serta membawa islam dari bugis Makassar melalui
selat Sape menuju ke arah selatan di ufuk timur semenanjung Naga nuri dengan
membawa islam
Bagi masyarakat yang akan memeluk agama islam diwajibkan potong
kepala serta potong ekor yang bermaksud untuk potong rambut dan dihitan,
mendengar bahwa ada seseorang yang datang membawa agama baru yaitu
islam. Kemudian pada saat itu masyarakat sangat gelisah mendengar
pernyataan dari seseorang tersebut yang mengharuskan mereka potong kepala
dan potong ekor (sunat)
Pada saat itu masyarakat tidak mau memeluk agama islam, bahkan
bersembunyi dan melarikan diri di So Mangge Maju/Sori Kuwu dibagian
selatan desa Simpasai dan yang saat ini dikenal So Mangge Maju dan Sori
Kuwu sebagai lahan pertanian bawang masyarakat.
Selanjutnya Syekh Muhammad Bin Abdollah merasa kebingungan dan
pulang kembali ke daerah Bugis Makassar menjemput empat orang Syekh
yaitu Syekh Umar, Syekh Banta, Syekh Ali dan Syekh Surau dengan dua orang
laki dan dua orang perempuan dengan berpakaian adat pengantin Aceh dan
38
nyanyian kande untuk bermain menghibur masyarakat (mpaa tari lenggong)
yang diiringi mpaa sila dan gantau serta hadra.
Sementara itu di tengah masyarakat Bima terdapat sepasang laki-laki
dan perempuan yang berpakaian layaknya pengantin diusung dengan
menggunakan ”sarangge”, lantaran melihat orang yang diusung yang diadakan
oleh para datuk tersebut masyarakat merasa terhibur. Oleh sebab itu,
masyarakat perlahan-lahan berkeinginan memeluk agama islam dengan melalui
beberapa tahapan diantaranya mengucap dua kalimat syahadat, potong rambut,
mandi dan di sunat. Sehubungan dengan itu berkembanglah agama islam di
halaman daerah tersebut.
Nama desa Simpasai sebenarnya berkaitan dengan adanya seorang
tokoh yang Bisarguna dan Tingiraloa (sakti) yang bernama “Ompu Simpa“ dan
selain itu para rombongan sangaji Bima (Mbojo) mempunyai ratusan ekor
kuda yang penjatannya dikenal bernama “Manggila“ dengan tempat dan lokasi
pemeliharaan di So Wangga Lambu yang saat ini dikenal Kuwu Ruma (tempat
istirahat sangaji) dan kunjungan sangaji Mbojo ke Lambu secara rutin harus
singga (sai) dirumah seorang tokoh tersebut. Maka kesimpulan hasil kelakar
sang sengaji dengan “Ompu Simpa“ dipadukan nama tokoh sakti “Ompu
Simpa“ Sai“ (singga) sehingga lahirlah nama desa “Simpasai“ dan bahasa
Simpasai sudah menguasai nusantara sejak abad ke 13 M. Maka saat ini
budaya dan peradaban Simpasai masih melekat di desa Simpasai.
Seiring dengan perjalanan waktu berkembang pula ilmu-ilmu agama
yang diajarkan oleh para mubalig dan para pendatang dari Makassar dan
39
Banten berkembang pula peradaban suku Simpasai yang disebut dengan
Muma, Uba, Ama dan Dae serta Ina.
Pada jaman pemerintahan desa Simpasai dengan beberapa kali terjadi
pergantian kepala desa bahwa dibagian utara jalan raya dinamai dusun
Kawinda, Lakenu dan Sekolo dibagian selatan dikenal dengan dusun Mangge
Maju, Sori Dungga dan Sori Kuwu.
Dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 dengan memberikan amanah
dalam pembentukan kedaulatan daerah serta desa. Oleh sebab itu, diberikan
seluas-luasnya kepada desa agar menata dan mmbenahi daerahnya termasuk di
dalamnya adalah memekarkan wilayah atau dua desa. Melalaui musyawarah,
diputuskan bahwa desa Simpasai dimekarkan menjadi dua dengan alasan
pemerataan pelayanan, pemerataan informasi dan pemerataan pembangunan di
semua bidang kehidupan.
Dengan dasar hukum yang ada dan hasil musyawarah seluruh
msyarakat pada saat itu, maka yang semula Dusun Kawinda dan Sori Kuwu
berubah statusnya menjadi desa Sangga yang definitif yaitu tepatnya pada
tahun 2012. Berdasarkan surat keputusan bupati Bima nomor 711 tahun 2002
maka diangkatlah Drs. Nasrullah sebagai pejabat kepala desa Sangga maka
dengan hal tersebut, dapat kita simpulkan bersama keadaan sampai saat ini
desa Simpasai menjadi empat Dusun yaitu Dusun Sori Dungga, Mangge Maju,
Sakolo dan Lakenu.
40
1. Letak Goegrafis
Desa Simpasai merupakan salah satu dari 14 desa di wilayah
kecamatan Lambu, yang terletak 6 km ke arah barat dari kota kecamatan
Lambu.
Desa Simpasai mempunyai luas wilayah seluas 13.235.44 hektar.
Iklim desa Simpasai, sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia
mempunyai iklim kemarau dan penghujan, hal tersebut mempunyai
pengaruh langsung terhadap pola tanam yang ada di desa Simpasai
kecamatan Lambu.
2. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk
a. Jumlah Penduduk
Desa Simpasai mempunyai jumlah penduduk 3625 jiwa yang
tersebar dalam 4 wilayah dusun dengan Perincian sebagaimana tabel :
TABEL 1
Jumlah Penduduk
Dusun Sori
Dungga
Dusun Mangge
Maju
Dusun Sakolo Dusun Lakenu
878 899 938 910
b. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masayarakat desa Simpasai adalah sebagaiberikut :
41
TABEL 2
Tingkat Pendidikan
Pra Sekolah SD SMP SLTA Sarjana
2 1 - - -
c. Mata Pencaharian
Desa Simpasai merupakan desa pertanian dan penduduknya
bermata pencaharian sebagai petani/penderes, pedagang dan lain-lain
selengkapnya sebagai berikut:
TABEL 3
Mata Pencaharian
Petani Pedagang PNS Buruh
705 43 22 922
d. Pola Penggunaan Tanah
Penggunaan tanah di desa Simpasai sebagian besar diperuntukan
untuk tanah pertanian sawah sedangkan sisanya untuk tanah kering yang
merupakan bangunan dan fasilitas-fasilitas lainnya.
e. Sarana dan Prasarana Desa
Kondisi sarana dan prasarana umum desa Simpasai secara garis
besar adalah sebagai berikut :
42
TABEL 4
Prasarana Desa
Balai Desa Jalan Kab. Jalan Kec. Jalan Desa Masjid Dll
1 bh 1,5 Km - 5,7 Km 2/2
C. Definisi Istilah
Definisi istilah adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat yang
dapat diamati. Bahwa peneliti bebas merumuskan, menentukan definisi istilah
sesuai dengan tujuan penelitian yang akan diteliti. Agar tidak menimbulkan
kekaburan atau kesimpangsiuran pemahaman dalam penelitian ini, maka
dijelaskan terlebih dahulu istilah-istilah yang dimaksud, antara lain:
1) Makna atau arti adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuan,
makna merupakan bentuk respon dari stimulus yang diperoleh pemeran
dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang
dimiliki.
2) Simbolik merupakan kata atau sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata
yang telah terkait dengan penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai
dengan wacananya dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi
pemakaianya.
3) Perempuan adalah kata yang kurang halus (kasar) dari bahasa Indonesia
untuk kata wanita dalam bahasa Melayu. Perempuan ialah jenis makhluk
yang berjasa bagi spesiesnya secara biologis.
43
4) Semiotika merupakan suatu kajian ilmu tentang mengkaji tanda. Dalam
kajian semiotika menganggap bahwa fenomena sosial pada masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda, kajian semiotik berada pada dua
paradigma yaitu paradigma konstruktif dan paradigma kritis.
5) Rimpu merupakan cara berbusana masyarakat Mbojo khususnya kaum
perempuan dengan menggunakan sarung khas Bima yang dikenal dengan
sebutan “tembe nggoli” yang menggunakan dua lembar sarung dengan
tujuan untuk menutup aurat dan merupakan identitas bagi kaum perempuan
Bima.
D. Data dan Sumber Data
1. Data
Data dalam penelitian berupa data verbal yang merujuk pada kata,
frasa, kalimat dan wacana yang mengandung makna simbol rimpu.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan
data terdiri dari beberapa unsur diantaranya adalah fenomena atau peristiwa
manusia serta dokumentasi.
Adapun sumber data tersebut terdiri dari :
1. Sumber data primer
Data primer adalah data yang didapatkan secara langsung dari
sumber data pertama dilapangan dengan wawancara. Dalam penelitian ini
data primernya ialah dalam bentuk wawancara terhadap teman sejawat
44
dan masyarakat di desa Simpasai kecamatan Lambu dan menarik
kesimpulan fenomena yang ditemukan.
2. Sumber data sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang tidak secara langsung
memberikan data kepada peneliti. Data yang diperoleh dari sumber kedua
seperti dokumentasi, benda-benda fisik buku literatur ataupun hasil
penelitian terdahulu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data
sekunder berupa eksistensi mendokumentasikan bentuk kegitan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yaitu langkah awal dalam melakukan
penelitian dengan tujuan utama untuk memperoleh informasi. Dengan adanya
teknik ini, peneliti bisa memperoleh informasi sesuai standar data yang telah
ditetapkan.
1. Teknik Observasi
Teknik observasi merupakan proses pengamatan secara sistematis
terhadap sesuatu yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan penelitian.
Teknik observasi digunakan apabila peneliti berkenaan dengan karakter
individu yang diteliti dan peristiwa yang terjadi di saat penelitian
berlangsung. Jadi, jenis observasi yang digunakan yaitu observasi
nonpartisipan dimana peneliti tidak berperan secara langsung dalam
kehidupan responden dan hanya sebagai pengamat independen.
45
Kegiatan observasi pada penelitian ini dilakukan secara langsung
oleh peneliti pada saat proses penelitian yang berlangsung dan
memperhatikan proses perkembangan budaya rimpu di desa Simpasai.
2. Teknik Wawancara
Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu
masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan. Dimana dua orang
atau lebih berhadap-hadapan secara fisik. Teknik wawancara yang
dilakukan peneliti adalah wawancara tidak terstruktur dan wawancara
terstruktur.
Wawancara tidak terstruktur digunakan dalam penelitian
pendahuluan untuk mendapatkan informasi awal tentang berbagai isu atau
permasalahan terhadap apa yang diteliti sedangkan wawancara terstruktur
digunakan untuk mendapatkan gambaran permalasahan yang lengkap.
Wawancara dilakukan di rumah informan dengan memberikan sebuah
pertanyaan kepada informan dengan berdasarkan pada pedoman wawancara
yang telah dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan
dalam hal meneliti.
3. Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mencari data dari berbagai sumber. Salah satunya dokumen,
baik itu dokumen yang didapatkan secara langsung maupun tidak langsung
seperti foto, rekaman maupun sebuah arsip. Oleh karena itu, peneliti
menggunakan dokumen tertulis dalam mencari data yang berhubungan
46
dengan lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian serta menggunakan
dokumentasi foto dalam mendapatkan data yang diinginkan.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
hermeneutika objektif. Hermeneutika merupakan teori filsafat mengenai
interpretasi makna, melalui teknik analisis ini diharapkan diperoleh
pemahaman mendalam dan utuh tentang makna simbol secara menyeluruh.
Teknik analisis data yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah
teori Charles Saners Peirce. Penggunaan teori semiotika Peirce disesuaikan
dengan dengan pemahaman masing-masing. Jadi, dalam penelitian semiotika
hanya ingin menganalisis tanda-tanda yang tersebar dalam makna dan simbol
Dalam proses penelitian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
pemilihan yang berhubungan dengan makna dan simbol dalam budaya rimpu di
desa Simpasai kecamatan Lambu. Peneliti menggunakan kajian semiotika
Charles Sanders Peirce, yaitu kajian tentang makna dengan menggunakan tiga
jenis tanda yaitu ikon, indeks dan simbol (Zoest, 1993). Untuk mengetahui
makna simbol rimpu dan fungsinya bagi perempuan Bima di desa Simpasai
kecamatan Lambu.
Teknik analisis data secara deskriptif kualitatif untuk mengetahui
makna simbolis rimpu dan fungsinya terhadap perempuan Bima.
47
1. Data Reducation (Reduksi Data)
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan transformasi data dasar atau mentah dari catatan
informan yang memberikan informasi tentang makna simbolis rimpu dan
fungsinya bagi perempuan Bima.
Pada saat penelitian, peneliti mendatangi desa Simpasai sebagai
lokasi penelitian. Kemudian pada saat melakukan reduksi data, peneliti
berfokus pada masyarakat desa Simpasai serta mengklasifikasikan beberapa
aspek sebagai sumber informasi, jenis informasi serta karakteristik
kebutuhan informasi.
2. Display Data (Penyajian Data)
Penyajian data yaitu kumpulan informasi terstruktur yang
memungkinkan adanya pengambilan tindakan dan penarikan kesimpulan.
Penyajian data dirancang untuk mengumpulkan informasi terstruktur dalam
bentuk yang padu dan mudah dipahami.
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data untuk memperjelas hubungan atau gambaran yang tepat
tentang keseluruhan data yang diperoleh guna mengungkap fakta tentang
makna simbolis rimpu dan fungsinya bagi perempuan Bima.
3. Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan yaitu hasil pemikiran yang sebelumya belum
pernah dilakukan, hasil pemikiran tersebut berupa data deskripsi serta uraian
48
suatu objek yang sebelumnya belum jelas sehingga setelah dilakukan
penelitian hasilnya menjadi jelas dan berbentuk sebuah hubungan yang
klausal. Jadi, jika display data sebelumnya sudah ditemukan dan didukung
oleh data yang dianggap sesuai dengan data tersebut, maka bisa disimpulkan
secara valid.
G. Keabsahan Data
Untuk menjamin keabsahan data penelitian. Di lakukanlah pemeriksaan
keabsahan data penelitian dengan demikian analisis, interpretasi dan deskripsi
data hasil penelitian dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Kegiatan pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Dengan memperpanjang pengamatan dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara memahami makna simbol dan fungsi rimpu bagi perempuan Bima yang
menjadi sumber data. Pemahaman berulang-ulang dilakukan dengan dua
tujuan utama, yaitu memperdalam terhadap pemahaman makna simbol
rimpu dan yang kedua menjamin keakuratan data. Dengan demikian, data
yang diperoleh akurat dan tidak spekulatif sesuai dengan fokus dan tujuan
penelitian menjadi lebih terarah dan dijamin keabsahannya.
2. Triangulasi yang dimaksud adalah triangulasi sumber data. Oleh karena itu,
penelitian ini bersumber dari sumber data lain, triangulasi data yang
berhubungan dengan makna simbol dilakukan dengan cara mencermati
temuan makna simbol yang diteliti dengan jenis makna simbol-simbol lain
49
dan membandingkan hasil penelitian sebelumnya dengan temuan penelitian
ini.
50
H. Alir Penelitian
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Gambar 2. bagan alir penelitian
Merumuskanmasalah
Mulai
Melakukan studilapangan Merumuskan
fokus
Fokus ditopang oleh
teori dankonsep
Mengumpulkandata
Data
SahihMemeriksakeabsahan
data
MengalisisData
Menyimpulkan
Hasil dandiskusi
penelitian
Sahih
Temuan
Keterangan:
: Mulai dan temuan
: Kegiatan
: Pilihan
: Hasil
: Kembali ketahap
sebelumnya
: Urutan kegiatan
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
a. Makna Simbolik Rimpu Secara Umum
Sebagaimana dijelaskan dari awal bahwa rimpu merupakan pakaian
khas suku Mbojo, dikatakan khas Mbojo karena sejauh yang penulis ketahui
rimpu tersebut hanya ada di daerah Mbojo “Bima” dan keberadaannya
sejauh ini mewarnai seluruh aspek kehidupan orang Bima. Dapat dikatakan
rimpu bagi masyarakat Bima merupakan salah satu wujud atau manifestasi
dari budaya Bima yang khas dan khusus.
Rimpu merupakan pakaian sehari-hari masyarakat Mbojo terutama
bagi perempuan sebagai alat untuk menutup aurat dan merupakan pakaian
turun-temurun dari nenek moyang bahkan rimpu sangat menjujung tinggi
harkat dan martabat seorang wanita. Syaukani, seorang budayawan Bima
dan tokoh masyarakat mengemukakan bahwa kata rimpu secara bahasa
berawal dari dua gabungan kata yaitu “ri dan mpu” yang bermakna
“kembali dan menutup‟ sedangkan menurut istilah, rimpu ialah pakaian
yang menutupi aurat bagi seorang perempuan dengan menggunakan “tembe
nggoli” yang merupakan sarung khas Bima. Penggunaan tembe nggoli
sebagai rimpu dikarenakan saat itu tembe nggoli sangat populer sebagai
pakaian yang digunakan oleh masyarakat setempat.
Kebiasaan memakai rimpu oleh perempuan yang sudah aqil-balig
ada sejak zaman dulu yang kemudian oleh kesultanan Bima mengeluarkan
51
52
imbauan kepada masyarakat Bima khususnya perempuan yang beranjak
dewasa agar menggunakan rimpu sebagai alat untuk menutup aurat.
b. Makna Simbol Rimpu Secara Khusus
Ada beberapa istilah dahulu yaitu ”siwe ma rimpu” mempunyai
makna perempuan yang menjaga perilaku dan etika, tidak hanya menutup
auratnya juga menjaga perilaku dan ketaatan dalam peraturan agama ialah
dalam hal menutup aurat bagi perempuan yang sudah aqil balig. Dahulu
para wanita ketika akan keluar rumah tidak hanya rimpu yang mereka
kenakan, akan tetapi kendaraan benhur (dokar) yang memuat mereka juga di
tutupi dengan kain. Penerapan peraturan agama (syariah) pada wanita Bima
bisa dikatakan sangat keras untuk membentuk karakter mereka, wanita Bima
juga dianggap sejajar dalam islam di Bima bisa dilihat dalam syair kande
(puisi lama Bima) sebagai berikut:
“Wara kai ndai ruma dende pu ana mone, ruma ndaka ba ana siwe sa ntoi-
ntoi dunia”
(Allah tetap ada karena di tuntun oleh anak laki-laki, Allah jaga anak
perempuan selama-lamanya di dunia)
Makna simbol rimpu secara khusus diantaranya, yaitu :
1) Makna objektif merupakan tujuan yang telah di tentukan oleh kondisi
sosial dimana kegiatan itu berlangsung, di mana kebiasaan dan tradisi
memakai rimpu mengandung asas dan bernilai etika dalam berpakaian
yang berpatutan dengan ajaran islam dilihat dari cara penggunaan rimpu
tersebut. Oleh karena itu, pemakaian rimpu disesuaikan dengan kriteria
dalam syariat islam yaitu menutup aurat. Pada saat mengenakan rimpu
53
perempuan Bima merasa nyaman, serta menjaga harkat dan martabat
perempuan bahkan tidak menunjukkan lekuk tubuh. Adapun tata cara
dalam pemakaian rimpu yaitu sebelumnya pakaian biasa telah dipakai
terlebih dahulu kemudian selembar sarung digunakan sebagaimana
memakai rok dan dieratkan pada pinggang, sebutan menggunakan sarung
tersebut dinamakan sanggentu. Selanjutnya sarung lainnya dipakai di
bagian kepala kemudian membelitkan sarung dari arah kiri kepala dan
diputar kembali seperti halnya membuat surban kepala, cara pemakaian
rimpu jenis ini dipakai oleh perempuan yang telah berkeluarga.
Sedangkan pemakaian rimpu bagi perempuan yang masih gadis yaitu,
pada bagian wajah ditutup terlebih dahulu kecuali bagian mata dengan
cara membelitkan sarung ke arah wajah lalu membelitkan dari atas
kepala kemudian posisi sarung dililitkan sehingga rimpu menutupi
seluruh bagian kepala. Sebelum mengenakan rimpu terdapat beberapa
syarat yang perlu diperhatikan diantaranya pemakai rimpu merupakan
seorang perempuan, pengguna rimpu sudah aqil-balig dan sarung nggoli
yang digunakan merupakan sarung produk lokal masyarakat Bima yang
memiliki motif dan corak yang beragam bergantung daerah masing-
masing dari penenun sarung tersebut.
2) Makna ekspresi merupakan suatu makna yang diperlihatkan oleh
seseorang yang memakai rimpu tersebut. Jadi, peneliti
mengelompokkanya ke dalam tiga jenis makna yaitu makna dari
pengguna rimpu, budayawan dan ulama. Hj. Salmah, perempuan 68
tahun salah seorang yang mengenakan rimpu berpendapat bahwa
54
pemakaian rimpu oleh perempuan Bima merupakan pakaian seorang
perempuan muslim yang menutup aurat serta menjalankan syariat islam
yang terkandung dalam al-qur’an untuk menutup aurat.
c. Makna Simbolik Rimpu Mpida
Rimpu mpida merupakan pakaian untuk menutup aurat bagi
perempuan yang masih gadis dengan cara memakainya membelitan sarung
dari kepala dan muka sampai kesebagian tubuh serta yang kelihatan hanya
bagian mata dan hidung saja.
Rimpu mpida dari segi fungsi dan pemakaiannya sedikit berbeda
dengan rimpu biasa, rimpu biasa “rimpu colo” biasanya di gunakan oleh
para gadis yang sudah mengenal lawan jenisnya. Biasanya rimpu ini
digunakan oleh seorang gadis setelah selesai dilamar dan gadis (calon
menantu) yang tinggal di rumah calon mertua (nggee nuru) selama dilamar,
hanya beberapa hari gadis yang dilamar tidak diperkenankan laki-laki untuk
menatap wajahnya. Maka, saat itulah calon mempelai perempuan memakai
rimpu mpida serta hari-hari sebelumnya. Hanya saja, pada momen seperti
itulah cara berpakaian seorang gadis sangat diperketat.
1) Ikon Rimpu Mpida
Ikon dalam rimpu mpida ialah sarung nggoli/tembe nggoli yang
merupakan sarung khas Bima yang terbuat dari benang kapas atau katun.
Kain tenun sarung ini memiliki beragam warna yang cerah dan bermotif
khas sarung tenun tangan. Kegiatan menenun ini dilakukan oleh beberapa
desa di daerah Bima, tujuan masyarakat menenun tembe nggoli ialah
55
sebagai pakaian yang menutup aurat. Selain itu, tembe nggoli juga
dipakai dalam kehidupan sehari-hari maupun diperjual belikan oleh
masyarakat lokal setempat. Tembe nggoli memiliki keistimewaan
diantaranya terasa hangat, halus dan lembut, tidak mudah kusut, warna
cemerlang dan lebih tahan lama. Tembe nggoli sudah diproduksi dalam
berbagai macam corak dan motif yang dipakai oleh masyarakat Bima
sehari-hari.
Rimpu mengandung nilai-nilai dasar islam dalam berpakaian
yang mewakili identitas seorang muslimah dengan mengusung nilai-nilai
kesopanan. Namun, dengan ciri khasnya rimpu memiliki pesona
tersendiri.
Rimpu mpida menandakan perempuan yang memakai jenis rimpu
ini belum menikah. Dalam pemakaian rimpu ini hanya kelihatan bagian
mata dan setengah hidung.
2) Simbol Rimpu Mpida
Jenis rimpu sebagai simbol kesucian para perempuan yang
memakai rimpu mpida dikarenakan hanya memperlihatkan bagian mata
dan setengah hidung. Rimpu ini menggunakan dua lembar kain tenun
dengan cara melilitkannya ke wajah sehingga menutup sebagian wajah
dan hanya mata yang terlihat, sementara kain lainnya dibalutkan ke perut
hingga ujung kaki. Sehingga para lelaki tidak akan bisa melihat maupun
mengenal lebih dekat para wanita tersebut.
56
Sebagai penutup aurat, rimpu menjadi kebutuhan bagi para wanita
secara fitrawi dan sekaligus sebagai cara untuk menjaga diri dari jebakan
kehidupan sosial. Interaksi sosial memang sedikit rawan, selain itu rimpu
merupakan bentuk perwujudan atas perintah Allah Swt agar menutup
aurat bagi setiap perempuan muslimah. Kebuayaan dan kebiasaan yang
terlihat seperti rimpu baik dari segi bentuk maupun dari segi latar
belakang kehadirannya maka, rimpu mpida merupakan upaya untuk
mengikuti tuntunan ajaran islam dalam hal menutup aurat yang hanya
terlihat mata dan sedikit hidung jenis rimpu ini dipakai oleh wanita yang
masih gadis/belum menikah.
Setiap perempuan yang sudah aqil balig apabila akan keluar
rumah, diwajibkan memakai rimpu. Dengan tujuan agar orang-orang
dapat mengenal bahwa di balik rimpu tersebut adalah gadis atau bukan.
Rimpu mpida diperuntuhkan bagi perempuan yang sudah
beranjak dewasa/aqil balig yang sudah mengenal lawan jenisnya harus
menutup aurat dihadapan orang yang bukan muhrimnya, sebagai simbol
menjaga perilaku dan marhabat bagi perempuan yang memakainya.
3) Indeks Rimpu Mpida
Penggunaan rimpu sangat diwajibkan bagi perempuan yang
beranjak dewasa. Hal ini selaras dengan nilai-nilai islam dalam hal
menutup aurat, mereka menganggap bahwa bagian-bagian perempuan
selain wajah yang tidak ditutupi termasuk sesuatu yang memalukan.
57
Bahkan, jika ada seorang lelaki yang tidak sengaja maupun dengan
sengaja melihat aurat perempuan tersebut wajib menikahinya.
Jadi, indeks dalam rimpu mpida ialah bahwa gadis yang belum
menikah tidak boleh dilihat wajahnya/aurat secara tidak sengaja maupun
disengaja oleh seorang lelaki. Akan tetapi, jika seorang lelaki tersebut
melihat wajahnya wajib bagi lelaki tersebut menikahi perempuan itu
tanpa ada suatu alasan untuk menikahinya.
d. Makna Simbolik Rimpu Colo
Rimpu colo yaitu pemakaian rimpu dengan cara pemakaian
menutupi kepala dan seluruh badan serta tangan dalam sarung yang
umumnya dikenakan oleh perempuan yang sudah berkeluarga.
Rimpu colo ialah jenis pakaian yang menggunakan sarung sebagai
penutup kepala. Namun, ujung sarung bagian dahi sebelah kiri ditarik ke
muka sehingga memungkinkan cahaya matahari tidak bisa mengenai wajah.
Rimpu jenis ini biasa dipakai oleh kaum ibu ketika turun ke sawah maupun
ke pasar.
1) Ikon Rimpu Colo
Ikon dalam rimpu colo sama halnya dengan ikon rimpu mpida
yaitu sama sama menggunakan sarung nggoli/tembe nggoli yang
merupakan sarung khas Bima yang terbuat dari kapas atau katun. Kain
tenun sarung ini mempunyai beragam warna yang cerah dan bermotif
khas sarung tenun tangan. Kegiatan menenun ini dilakukan oleh beberapa
58
desa di daerah Bima. Tujuan masyarakat menenun tembe nggoli ialah
sebagai pakaian yang menutup aurat. Selain itu, tembe nggoli juga
dipakai dalam kehidupan sehari-hari maupun diperjual belikan oleh
masyarakat lokal setempat.
Tembe nggoli memiliki keistimewaan diantaranya, terasa lembut,
hangat dan halus, tidak mudah kusut, warna cemerlang dan lebih tahan
lama. Tembe nggoli sudah diproduksi dalam berbagai macam motif dan
corak yang dipakai oleh masyarakat Bima sehari-hari.
Rimpu colo (terlihat semua wajah) untuk para wanita yang sudah
menikah. Karena sudah diperbolehkan memperlihatkan wajahnya dalam
kehidupan masyarakat luas seperti ke pasar, acara-acara pernikahan,
maupun kegiatan lainnya dalam masyarakat.
Rimpu colo menggambarkan seorang wanita yang sudah menikah
atau berkeluarga dengan cara pemakaiannya diperlihatkan seluruh bagian
wajah seperti memakai jilbap pada umumnya.
2) Simbol Rimpu Colo
Rimpu jenis ini diperuntuhkan bagi perempuan yang sudah
bekerluarga dengan cara penggunaannya memperlihatkan seluruh bagian
wajahnya dikarenakan perempuan tersebut bisa menggunakan rimpu
kemana saja dia pergi, seperti ke pasar bahkan ke sawah
Rimpu colo menyimbolkan pakaian yang dipakai oleh wanita
yang sudah berkeluarga ketika akan pergi ke ladang atau ke sawah.
59
Rimpu ini berfungsi untuk melindungi wanita tersebut dari paparan sinar
matahari.
3) Indeks Rimpu Colo
Tidak ditemukan indeks dalam pemakaian rimpu colo.
e. Fungsi Rimpu bagi Perempuan Bima
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 282) fungsi diartikan
sama dengan kegunaan atau manfaat. Dalam konteks sosial, fungsi adalah
kegunaan atau manfaat suatu hal untuk kehidupan masyarakat. Fungsi dapat
pula diartikan sebagai peran yaitu apa yang dapat diperoleh oleh sesuatu hal
itu bagi kehidupan masyarakat.
Berbicara fungsi rimpu, misalnya berarti berbicara mengenai
kegunaan rimpu tersebut bagi perempuan Bima. Untuk melestarikan budaya
rimpu tersebut, pemerintah kabupaten Bima dan kota Bima sengaja
mengadakan acara atau iven untuk melestarikan budaya rimpu tersebut agar
bisa tetap lestari dan diketahui oleh semua orang.
Di lihat dari sisi kegunaannya, rimpu berfungsi sebagai alat untuk
menutup aurat. Namun, budaya rimpu hanya berlaku dan menjadi tradisi
dalam menutup aurat bagi perempuan di daerah Bima.
Selain berfungsi sebagai penutup aurat, rimpu juga menjadi pelindung
dari perubahan cuaca yang kadang kala mengganggu. Para perempuan
Mbojo akan terlindung dari sengatan matahari atau dari pandangan langsung
oleh para lelaki yang bukan muhrimnya, karena itu rimpu menjadi sangat
60
penting untuk dikenakan. Memakainya sangatlah mudah dan sederhana,
sarung khas Mbojo (tembe nggoli) bisa langsung dililitkan secara berkali-
kali di kepala tanpa harus diikat. Demikian pula “sanggentu tembe
(mengenakan sarung)” tinggal dibelit tanpa harus diikat. Rimpu juga
berfungsi sebagai mukenah, asalkan bersih dan suci serta dilengkapi dengan
sanggentu tembe sebagai sarungnya.
Untuk menjaga bagian badan tertentu pakaian berfungsi etika. Pakaian
sehari-hari bagi perempuan Bima biasanya mengenakan corak sarung ”bali
mpida” serta baju pendek “baju poro” tanpa riasan. Ketika akan keluar
rumah perempuan Bima biasa menggunakan pakai rimpu yang merupakan
penutup kepala dari tembe nggoli. Istilah “kani ra lombo” dalam bahasa
Indonesia artinya pakaian yang merupakan kebutuhan mendasar bagi semua
masyarakat salah satunya masayarakat Bima.
Rimpu mempunyai fungsi utama salah satu sebagai alat untuk
menutup aurat, menjaga kesehatan, menambah kewibawaan serta
membedakan status bagi perempuan yang mengenakannya. Masyarakat
menilai pakaian seperti itu dinilai “ntika ro raso” (indah dan bersih) oleh
masyarakat setempat.
Bima terkenal akan budayanya yang kental oleh kesan islam, sehingga
segala bentuk kebudayaan asing akan sulit masuk ke dalam kebisaan
masyarakat Bima itu sendiri. Jadi, dalam berpakaian perempuan Bima
terkenal dengan pakaian yang longgar dan selalu menutup aurat. Oleh
karena itu, masyarakat biasa menyebutnya dengan sebutan “budaya rimpu
61
mpida”. Bahkan, dalam al-quran serta hadis banyak dijumpai anjuran
diwajibkannya untuk menutup aurat serta berpakaian yang berbentuk
(ketat), larangan memperlihatkan aurat kepada bukan muhrim dan
sejenisnya.
Selain berfungsi bagi perempuan rimpu juga memiliki fungsi lain,
diantaranya:
a. Rimpu sebagai identitas budaya Bima
Salah satu cara membedakan suatu etnik dengan etnik yang lain
adalah dari segi pakaian yang digunakannya, seperti halnya pakaian
tradiosionalnya. Identitas kultur dapat dilihat dengan cara memberikan
identifikasi mengenai perbedaan atau persamaan yang dipunyai oleh
suatu komunitas tersebut. Identitas secara subjektif lebih
menggambarkan tentang diri personal manusia itu sendiri, namun dalam
identitas kultur akan menggambarkan bagaimana konsntruksi sosial
teralkulturasi mempengaruhi personal-personal tersebut dalam kehidupan
berbudaya.
Untuk itu masyarakat Bima tentu saja memiliki identitas kultur
yang terbangun dari dalam dan menjadi ciri yang khas dalam
kebudayaannya tersebut. Banyak yang dapat digali sebagai ciri untuk
pembeda dengan suku yang lainnya. Masyarakat Bima memiliki tradisi
yang khas yakni “rimpu” dimana tidak ada tradisi ini selain di Bima.
Dengan pentingnya rimpu sebagai identitas kultur maka pemerintah
kabupaten Bima, memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
62
pakaian tradisionalnya. Pakaian tradisional sangat kental terhadap budaya
etnik yakni etnis Mbojo. Rimpu merupakan cara berpakaian yang unik
dan hanya ada pada masyarakat Bima. Oleh karena itu, rimpu merupakan
warisan budaya dari nenek moyang yang pantas untuk dilestarikan
sebagai simbol dan identitas budaya.
b. Rimpu sebagai identitas agama dan budaya
Rimpu digunakan oleh mereka yang sudah balig dan trend sekarang
disama artikan dengan kerudung. Namun, sebelumnya berkerudung di
Indonesia dikenal pada tahun 1980 an. Rimpu mempunyai berbagai
fungsi dalam menyikapi jaman.
Pertama; rimpu ialah identitas dari keagamaan, sehingga
menjadikan penyiaran islam di Bima berkembang lumayan besar. Oleh
sebab itu, perempuan Bima mulai belajar serta memaknai rimpu sebagai
sesuatu yang bernilai dalam hal menutup aurat.
Kedua; rimpu dikembangkan oleh adat istiadat masyarakat
setempat salah satunya kebiasaan masyarakat dalam memakai tembe
nggoli disetiap kegiatan kemasyarakatan. Pembauran ini menjadikan
rimpu ikon kebudayaan Bima yang mulai berkembang.
Ketiga; perlindungan bagi seorang perempuan ketika melakukan
interaksi sosial dan sebagai alat untuk melindungi diri terhadap kondisi
lingkungan yang buruk, kondisi seperti ini terjadi ketika jaman kolonial
Belanda dan Jepang.
63
c. Fungsi rimpu bagi pendidikan
Keanekaragaman seni dan budaya tradisional yang kita miliki
bukan hanya untuk didokumentasi dan disimpan melainkan perlu untuk
dikembangkan sehingga minat generasi muda semakin besar.
Saat ini banyak remaja Indonesia yang lebih memahami dan
menyukai pakaian modern asing. Hal ini merupakan salah satu dampak
globalisasi yang menyebar seluruh penjuru negeri terutama di daerah-
daerah seperti di daerah Bima. Salah satu contohnya yaitu pakaian yang
tidak sesuai dengan syariat islam, ketimbang melestarikan dan memakai
pakaian budayanya sendiri.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa makna yang terdapat
dalam simbol rimpu mpida dan rimpu colo sangat penting bagi perempuan
Bima terutama bagi gerasi muda, simbol yang dimaksud itu ialah bahwa pada
rimpu mpida menyimbolkan perempuan yang suci yang menjaga perilaku,
harkat dan martabatnya sesuai dengan ajaran islam sedangkan simbol dari
rimpu colo ditujukan untuk perempuan yang sudah bekerluarga dengan tata
cara pemakaiannya memperlihat seluruh bagian wajah.
Walaupun perkembangan zaman semakin canggih dengan sentuhan
pakaian modern saat ini. Namun, kebiasaan yang merupakan tradisi turun
temurun bahkan telah menjadi adat dalam pemakaian rimpu meskipun
pengaruh pakaian modern sekarang lebih menarik akan tetapi, rimpu tetap
64
menjadi pakaian yang melekat pada diri perempuan khususnya perempuan
Bima.
Budaya pemakaian rimpu dalam masyarakat pada hakikatnya dilakukan
untuk mentaati peraturan ajaran islam, sebagaimana yang dianjurkan oleh
Allah Swt untuk menutup aurat bagi perempuan yang sudah aqil balig atau
beranjak dewasa. Seperti halnya memakai jilbap pada umumnya begitupun
dengan pemakaian rimpu oleh perempuan Bima.
Manusia pada umumnya menjalani kehidupan tidak lepas dari simbol.
Simbol ialah gambar, bentuk atau benda yang mewakili gagasan. Namun,
simbol sangat dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang
diwakilinya. Dalam keragaman pemikiran mengenai simbol tersebut terdapat
dua sumber utama yang telah disepakati ialah pertama, simbol sampai sekarang
ini masih memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Kedua, simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas pengetahuan
selama manusia mencari arti dari sebuah kehidupan dan manusia tidak akan
pernah bisa lepas dari simbol.
Berdasarkan pisau analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu
berdasarkan teori semiotika Charles Sanders Peirce yang terdiri dari tiga bagian
yaitu ikon, simbol dan indeks. Dari analisis tersebut ditemukan dua simbol
dalam proses pemakaian rimpu oleh perempuan Bima yang dimulai dengan
cara melilitkannya ke wajah sehingga menutup sebagian wajah dan hanya mata
yang terlihat, sementara kain lainnya dibalutkan ke perut hingga ujung kaki
(rimpu mpida) begitupun dengan rimpu colo yang membedakan hanya saja
65
pemakain rimpu colo memperlihatkan seluruh bagian wajah. Kedua jenis rimpu
ini mempunyai persamaan dalam hal menutup aurat.
Hasil analisis data selanjutnya diperlihatkan bahwa adanya satu ikon
yang dapat dilihat pada saat penggunaan sarung nggoli (tembe nggoli) yang
menandakan bahwa sarung tersebut sebagai alat untuk menutup aurat.
66
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa rimpu merupakan suatu budaya yang ada sejak
zaman dahulu (zaman kesultanan). Rimpu berkembang seiring dengan
masuknya agama islam di Bima. Rimpu merupakan pakaian adat bagi kaum
wanita. Rimpu memiliki manfaat sebagai penutup aurat khususnya bagi kaum
wanita, selain itu juga berfungsi untuk mengenalkan pakaian khas Bima untuk
wanita kepada masyarakat dan sebagai pelestarian kain tenun tradisional Bima.
Budaya rimpu adalah ciri khas berpakaian masyarakat Bima, rimpu
bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi perempuan yang
masih gadis menggunakan rimpu mpida artinya “seluruh anggota badan
terselubung kain sarung dan hanya mata yang dibiarkan terbuka”. Ini sama
halnya dengan penggunaan cadar pada kaum wanita muslim. Dengan cara
pemakaian membelitkan sarung mengikuti arah kepala dan muka selanjutnya
menyisakan ruang terbuka pada bagian mata sedangkan perempuan yang telah
berkeluarga memakai rimpu colo. Pada bagian muka semua terbuka dan cara
menggunakannya hampir sama. Perempuan Bima tidak bisa keluar rumah jika
tidak mengenakan rimpu, karena rimpu bukan hanya budaya akan tetapi rimpu
merupakan implementasi dari syariat islam.
66
67
B. Saran
Dari kesimpulan yang telah penulis paparkan tersebut, maka dalam
skripsi ini penulis mencoba memberi masukan berupa saran-saran yang dapat
bermanfaat untuk peningkatan budaya rimpu, diantaranya :
1. Budaya rimpu merupakan budaya yang sangat kental dalam kehidupan
masyarakat Bima terutama yang menganut agama islam. Karena itu, budaya
rimpu senantiasa dilestarikan dalam kehidupan sebagai cermin kebudayaan
maupun tradisi masyarakat khususnya di desa Simpasai kabupaten Bima
sebagai tradisi lokal yang sangat istimewa.
2. Diharapkan pemerintah dapat mengadakan berbagai kegiatan budaya seperti
perlombaan mengenakan pakain daerah sehingga masyarakat dapat
berpartisipasi dalam memakai rimpu terutama bagi perempuan Bima.
3. Pemerintah harus menerapkan peraturan pemakaian pada setiap kegiatan
penting di wilayah Bima dan didukung dengan peraturan daerah kota dan
kabupaten Bima sebagai bentuk pelestarian budaya agar budaya rimpu dapat
dijadikan sebagai salah satu muatan lokal dan pembelajaran di generasi
penerus masyarakat Bima. Pemerintah juga menjadikan rimpu sebagai
pakaian khas adat istiadat masyarakat Bima sehingga rimpu dapat diketahui
oleh budaya lokal.
4. Untuk masyarakat Bima
Disarankan agar mengupayakan pembinaan bagi kelestarian budaya
rimpu dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan mengagendakan
festival budaya rimpu untuk menghidupkan kembali budaya rimpu dalam
masyarakat adat.
68
5. Untuk penelitian selanjutnya
Penelitian ini baru sampai pada tahap mengindetifikasi makna
simbol rimpu dan fungsinya bagi perempuan Bima. Penelitian selanjutnya
perlu diarahkan untuk mencari upaya bagaimana melestarikan makna dan
fungsi rimpu bagi perempuan Bima.
69
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amin “Sejarah Pemerintahan dan Serba Serbi Kebudayaan Bima” JilidII Yogyakarta: Kepala Kantor Pembinaan Kesenian Provinsi NusaTenggara Barat, 2009.
Amin Ahmad, Sejarah Bima, Penerbit Kantor Kebudayaan Bima, 1971.
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Pusat BahasaDepartemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka.
Alex Sobur, 2003: 34 Semiotika Komunikasi.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian. Jakarta: Bina Aksara, 2004.
Atkin, Albert 2006. Pierce’s Theory of Signs (Summer 2013 Edition), Edward N.Zalta (ed.).
Aulia Nur Rihlah, 2013. Rimpu: Budaya dalam Dimensi Busana BercadarPerempuan Bima. Jurnal. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Elisabeth Surya. 2009. Makna Simbolik Dan Fungsi Tarian Caci Di KabupatenManggarai Nusa Tenggara Timur. Skripsi. Yogyakarta: UniversitasSanata Dharma.
Fahrurizki, 2020. Jejak Langkah Sejarah dan Budaya.(Online),www.mbojoklopedia.com/2020/05/rimpu-mbojo-simbol-dan-kultur-wanita(diakses 02 Oktober 2020)
Harjumyati Fadlillah. 2018. Integrasi Islam Dengan Budaya Lokal Dalam TradisiRimpu Di Desa Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima. SkripsiUniversitas Islam Alauddin Makassar.
Lyons, John. 1963. Structural Semantics An Analysis Of Part Vocabulary OfPlato.
Nurhasanah Novia, 2018. Eskistensi Tradisi Rimpu Di Tengah PerkembanganBusana Modern. Skripsi. Mataram: Universitas Islam Negeri (UIN)Mataram.
M. Hillir Ismail, Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara,(Bima: Agung Perdana, 1980)
Mulyana, Metodelogi Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional, 2001.
Muhammad Amrullah. 2015. Representasi Makna Simbolik Dalam Ritual PerahuTradisional Sandeq Suku Mandar Di Sulawesi Barat. Skripsi. Makassar:Universitas Hasanuddin
Moelong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
70
Pateda, Mansoer. 1989. Semantic Leksikal. Flores: nusa indah.
Ratna Apriyani. 2017. Makna Simbolik Kesenian Reog Galih Jati Sari DalamUpacara Bersih Desa di Dusun Dodogan Desa Jatimulyo KecamatanDlingo. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Riadi Muclisin, 2013. Pengertian dan Jenis-jenis Makna Kata dalam Bahasa.(Online), https://www.kajianpustaka.com/2013/03/pengertian-dan-jenis-jenis-makna-kata (diakses tanggal 03 Oktober 2020)
Ryanto, Yatim, Metodelogi Penelitian. Jakarta: PT Raja Graha Findo, 2001.
Safi,I, Lalu dan Imran, Pesona Kabupaten Bima. Cet I; Mataram: Ardadizya Jaya,2000.
Sedarmayanti. 2006. Metodologi Penelitian. Bandung. Mandar Maju.Seliana, Syaiful Arifin, Syamsul Rijal. 2018. Makna Simbolik Mappasikarawa
dalam Pernikahan Suku Bugis di Sebatik Nunukan. Skripsi. UniversitasMulawarman.
Sobur, A. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sobur, A. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung:Alfabeta.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
http://tekateki1234.blogspot.com/2015/07/pengertian-simbolis.html
Uli Amsari. 2015. Makna Simbolik Tari Sigeh Penguten Lampung. Skripsi.Universitas Negeri Semarang.
http://adamanirizal.blogspot.com/2018/04/makna-simbol-dan-acuan.html
http://bheniacank.blogspot.com/2011/05/proposal-historis-rimpu-mpida-bima.html
https://desymanroe.blogspot.com/2017/10makalah-semantik-jenis-makna.html
https://www.kompasiana.commaratunsyolihan/budaya-rimpu-suku-mbojo-ntb
http://www.google.co.id/search?hI=id&q=pengertianmetode+observasi&metq=&aq=&oq
L
A
M
P
I
R
A
N
Gambar 3.1 Proses penggulungan benang atau Moro
Gambar 3.2 benang nggoli yang direntangkan
Gambar 3.3 tempat pembuatan benang
Gambar 3.4 Proses menggulung benang untuk persiapan tenun
Gambar 3.5 Proses menenum untuk membuat sarung nggoli
Gambar 3.6 Pemakaian rimpu pada kegiatan masyarakat
Gambar 3.7 Rimpu Mpida
Gambar 3.8 Rimpu Colo
Gambar 3.9 Sarung nggoli (tembe nggoli)
RIWAYAT HIDUP
Sri Wulandari, lahir di Desa Sumi Kecamatan Lambu
Kabupaten Bima pada tanggal 05 Mei 1998. Anak pertama
dari tiga bersaudara buah kasih sayang dari pasangan
Ayahanda Jainudin dan Ibunda Nuraidah. Adik pertama yang
bernama Afriadin dan adik kedua yang bernama Airin Fitri.
Penulis memulai jenjang pendidikan di TK Kembang Melati dan tamat pada tahun
2004, kemudian pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sekolah dasar di
SDN 02 Sumi dan tamat pada tahun 2010. Pada tahun yang sama melanjutkan
pendidikan di sekolah menengah pertama di SMP Negeri 01 Lambu dan tamat
tahun 2013. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di sekolah menengah
atas di SMA Negeri 01 Lambu tamat pada tahun 2016. Kemudian pada tahun
2016 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah
Makassar. Penulis melakukan Pemantapan Profesi Keguruan (P2K), di SMA
Negeri 7 Sidrap.
Berkat lindungan Allah SWT, dan iringan Do’a kedua orang tua serta
saudra-saudaraku, juga berkat bimbingan para dosen dan dukungan dari teman-
teman seperjuangan, sehingga dalam mengikuti pendidikan diperguruan tinggi
berhasil menyusun skripsi yang berjudul “Makna Simbol Rimpu dan Fungsinya
Bagi Perempuan Bima (Kajian Semiotika)”