makalah_PPOK_okkkk[1].doc

44
MAKALAH FARMAKOTERAPI II “PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)” OLEH K E L O M P O K IV PASHA NURHIJILA (F1F1 12 116) RAHMAD MADI (F1F1 12 117) RISFIANI WULANDARI (F1F1 12 119) RIZKY AUDINA SYAHRIR (F1F1 12 120) SITI ALFYANITA ILHAM (F1F1 12 124) SRI REZKI ANITA (F1F1 12 125) JURUSAN FARMASI

Transcript of makalah_PPOK_okkkk[1].doc

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

“PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)”

OLEHK E L O M P O K IV

PASHA NURHIJILA (F1F1 12 116)

RAHMAD MADI (F1F1 12 117)

RISFIANI WULANDARI (F1F1 12 119)

RIZKY AUDINA SYAHRIR (F1F1 12 120)

SITI ALFYANITA ILHAM (F1F1 12 124)

SRI REZKI ANITA (F1F1 12 125)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2015

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis memperoleh kesehatan

dan kekuatan untuk dapat menyelesaikan makalah Farmakoterapi II ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak, khususnya

kepada dosen pembibing atas kesediaannya dalam membimbing sehingga

makalah ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi

penyampaian yang menjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak

untuk sempurnanya makalah ini

Kendari, September 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I.........................................................................................................................

PENDAHULUAN.....................................................................................................

1.1. Latar Belakang............................................................................................

1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................

1.3. Tujuan..........................................................................................................

BAB II........................................................................................................................

PEMBAHASAN........................................................................................................

2.1. Definisi umum PPOK..................................................................................

2.2. Etiologi PPOK.............................................................................................

2.3 Patofisiologi PPOK......................................................................................

2.4 Klasifikasi PPOK.........................................................................................

2.5 Tata Laksana.................................................................................................

2.5.1. Tujuan Terapi....................................................................................

2.5.2 Strategi Terapi.....................................................................................

2.5.3 Tata laksana non farmakologi............................................................

2.5.4 Tata laksana farmakologi....................................................................

2.6 KIE monitoring PPOK...................................................................................

2.7 Contoh Kasus.................................................................................................

BAB III......................................................................................................................PENUTUP..................................................................................................................

3.1. Kesimpulan..................................................................................................

3.2. Saran............................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin

memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini

terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan

penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau

memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi

lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca.

Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen

yang memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan

penyakit lain diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada

akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat

terjadi. Untuk melakukan penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan faktor-

faktor tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.

Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan

yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang

merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas

dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.

Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan

gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang

disebabkan oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak

mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini antara lain

1. Apa definisi umum PPOK?

2. Bagaimana Etiologi PPOK ?

3. Bagaimana Patofisiologi PPOK ?

4. Bagaimana klasifikasi PPOK ?

5. Bagaimana Tata laksana PPOK ?

6. Bagaimana KIE PPOK ?

7. Jelaskan contoh kasus penyakit PPOK!

1.3. Tujuan

Adapun Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Agar mengetahui definisi umum PPOK.

2. Agar mengetahui Etiologi PPOK.

3. Agar mengetahui Patofisiologi PPOK.

4. Agar mengetahui klasifikasi PPOK.

5. Agar mengetahui Tata laksana PPOK.

6. Bagaimana KIE PPOK.

7. Mengetahui penyelesaian kasus pada penyakit PPOK.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi PPOK

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan

aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau

reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau

gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang

ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,

sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit

lainnya. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh

pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan

dinding alveoli.

Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga

memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten

berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan

memenuhi kriteria PPOK.

2.2 Etiologi PPOK

Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi

saluran pernapasan yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada

PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari penyebab

penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik,

dan perokok berat. Yang karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya

penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis fungsional), sedangkan dari

emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada perokok

berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit).

2.3 Patofisiologi

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa

bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan

serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara

distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara

anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke

perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan

merokok lama

Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara

merata dan terbanyak pada paru bagian bawah

Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran

napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau

dekat pleura

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi

karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi,

fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama

obstruksi jalan napas

Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang

disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang.

Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat

berkurang sehingga sulit bernapas.

Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni

jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan

tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke

paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh

berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru

Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses

inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding

bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus

kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi

awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi,

pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah

penumpukan udara (air trapping).

Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan

segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan

kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-

fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan

mengalami gangguan

2.4. Gejala dan Tanda

Penderita PPOK biasanya adalah perokok atau memiliki riwayat

perokok berat (satu pak atau lebih sehari) selama 20 tahun atau lebih. Selain

riwayat merokok, kondisi berikut dapat mengindikasikan PPOK:

Sesak nafas (dispnea), pada awalnya sesak nafas hanya dialami

setelah beraktivitas fisik. Namun, ketika paru-paru semakin rusak, sesak nafas

terjadi ketika melakukan pekerjaan harian rutin seperti berjalan dan menyiram

tanaman atau bahkan saat beristirahat.

Mengi dan batuk kronis, seringkali disertai dahak, yang berlangsung

lama (berbulan-bulan). Sering mendapat infeksi paru, paringan paru-paru

yang rusak lebih mudah terinfeksi, sehingga menyebabkan bronkitis akut dan

pneumonia, terutama di musim hujan saat influenza merebak. Saluran udara

memiliki mekanisme untuk mengusir bakteri dengan mengeluarkan dahak

melalui batuk. Paru-paru yang rusak tidak bisa melakukannya sehingga

bakteri cenderung berkumpul di dalam alveoli dan saluran udara dan

menyebar di seluruh lobus paru-paru. Penderita PPOK membutuhkan waktu

lama untuk pulih dari infeksi paru, yang dapat berlangsung berminggu-

minggu atau berbulan-bulan.

Gagal jantung, jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa

darah ke paru-paru karena begitu banyak jaringan paru-paru yang rusak.

Beban ekstra ini membuat jantung melemah dan membesar.

Hipoksia (kekurangan oksigen dalam darah), organ tidak

mendapatkan oksigen yang cukup dan menjadi rusak. Kurangnya aliran darah

ke otak, misalnya, dapat menyebabkan kebingungan, pelupa dan depresi.

Pada kulit, kekurangan oksigen ini ditandai oleh semburat biru lebam

(sianosis).

Pneumotoraks (pengempisan paru-paru), terdapat pengumpulan

udara di sekitar paru-paru yang bocor dari jaringan paru yang rusak.

Penumpukan udara ini menekan paru-paru, sehingga tidak dapat

mengembang sebesar biasanya saat mengambil nafas.

penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif,

memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik,

riwayat pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja

atau rumah.

2.4 Klasifikasi/Tipe

a. Bronkitis Kronik

Bronkitis kronik adalah bentuk batuk kronis produktif yang

berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut.

Sekresi yang menumpuk dalam bronkioles mengganggu keefektifan

pernapasan. polusi adalah penyebab utama bronkitis kronis. Pasien dengan

bronkitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan infeksi saluran

pernapasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri, mikoplasma yang luas

dapat menyebabkan episode bronkitis akut. Eksaserbasi bronkitis kronik

hampir pasti terjadi selama musim dingin. Menghirup udara yang dingin

dapat menyebabkan bronkospasme bagi mereka yang rentan.

b. Emfisema Paru

Emfisema Paru adalah sebagai suatu distensi abnormal ruang udara

di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini

merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat

selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika pasien mengalami

gejala, fungsi paru sering sudah mengalami kerusakan yang ireversibel.

Dibarengi dengan bronkitis obstruksi kronik, kondisi ini merupakan

penyebab utama kecacatan.

c. Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang

mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan

obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari

saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang

berdilatasi, dan persebaran nodus limfe. Individu mungkin mempunyai

predisposisi terhadap bronkiektasis sebagai akibat infeksi pernapasan pada

masa kanak-kanaknya, campak, influenza, tuberkulosis, dan gangguan

imunodefisiensi. Setelah pembedahan, bronkiektasis dapat terjadi ketika

pasien tidak mampu untuk batuk secara efektif, dengan akibat lendir

menyumbat bronkial dan mengarah pada atelektasis.

Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab

itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa

diprediksi dengan VEP1.

2.5 Tata Laksana

2.5.1 Tujuan terapi :

Tujuan terapi PPOK pada PPOK stabil adalah memperbaiki

keadaan obstruksi kronik, mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut,

menurunkan kecepatan perkembangan penyakit, meningkatkan

keadaan fisik dan psikologis pasien sehingga pasien dapat

melaksanakan kegiatan sehari-hari, menurunkan jumlah hari-hari tak

bekerja, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah sakit, dan

menurunkan jumlah kematian. Terapi pada eksaserbasi akut adalah

untuk memelihara fungsi pernafasan dan memperpanjang survival.

2.5.2 Strategi

Strategi terapi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: terapi

non farmakologi (tanpa menggunakan obat) dan terapi farmakologi

(dengan menggunakan obat).

2.5.3 Terapi Non Farmakologi

Diagnosa klinik terhadap PPOK perlu dipertimbangkan jika

pasien mengalami dyspnea (sesak nafas), batuk kronis atau terjadi

produksi sputum dengan riwayat paparan terhadap faktor risiko.

Diagnosa sebaiknya ditegakkan dengan pengukuran spimoteri.

Spimotri merupakan standar baku karena merupakan cara yang telah

terstandarisir, dan reprodusibel, dan obyektif untuk mengukur fungsi

pernafasan. Nilai FEV1/FVC<70% dan pasca bronkodilator FEV1<

80% menunjukkan adanya gangguan pernafasan yang tidak reversibel,

yang merupakan karakteristik PPOK. Penilaian terhadap keparahan

PPOK harus didasarkan pada tingkat gejala pasien, keparahan

abnormalitas hasil uji spirometri, dan adanya komplikasi.

Pengukuran tekanan udara arteri harus dipertimbangkan untuk

dilakukan jika FEV1<50%, atau jika ada tanda klinis yang mengarah

pada kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan. Sselain itu, perlu

dilakukan skrining terhadap defisiensi ATT, terutama pada pasien di

bawah 45 tahun, dan pasien dengan riwayat keluarga yang kuat untuk

penyakit PPOK. Konsentrasi serum AAT 15-20% di bawah nilai

normal menunjukkan adanya kemungkinan defisiensi AAT

homozigos. Penyakit penyerta cukup sering terjadi pada pasien PPOK

dan harus diidentifikasi dengan benar, karena adanya komordibitas ini

bisa mempersulit penatalaksanaan PPOK, dan sebaliknya.

Pemantauan dan asesmen terhadap gejala perlu dilakukan baik

pada PPOK yang baru terdiagnosis, maupun PPOK yang sudah lama.

Karena penyakit ini merupakan penyakit yang progresif, maka

pemantauan harus dilakukan terus menerus terhadap perkembangan

gejala maupun kemungkinan terjadinya komplikasi. Beberapa hal

yang harus dimonitor antara lain meliputi fungsi paru, gas darah arteri,

kemungkinan terjadinya cor pulmonale atau gagal jantung kanan,

hematokrit, fungsi otot respirasi, efek pengobatan yang diperoleh dan

terapi yang lain, serta riwayatn kejadian eksaserbsi.

Berikutnya, yang termasuk dalam komponen kedua adalah

mengurangi faktor resiko. Penghentian merokok merupakan tahap

pertama yang penting yang dapat memperlambat memburuknya tes

fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan meningkatkan kualitas

hidup pasien. Jika diperlukan, terdapat beberapa pengobatan untuk

mengatasi ketergantungan terhadap merokok, seperti penggantian

nikotin (nicotine replacement therapy), bupropion, varaniklin, dll.

Penghentian merokok memerlukan usaha yang komprehensif dari

berbagai sektor, termasuk dari pemerintah dan institusi kesehatan.

Selain itu, perlu menghindari polusi udara dan menjaga kebersihan

untuk mencegah infeksi

Penatalaksanaan lain adalah dengan rehabilitasi paru-paru secara

komprehensif termasuk fisioterapi, latihan pernafasan, latihan

relaksasi, perkusi dada dan drainase postural, mengoptimalkan

perawatan medis, mendukung secara psikososial, dan memberikan

edukasi kesehatan. Perlu diberikan hidrasi secukupnya (minum air

cukup: 8=10 gelas sehari), dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya

protein dan mencegah makanan berat menjelang tidur. Susu dapat

menyebabkan sekresi bronkus meningkat, sebaiknya dicegah.

2.5.4 Terapi Farmakologi

Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil,

dan terapi untuk eksaserbasi akut. Untuk PPOK yang stabil,

penggunaan obat ditujukan untuk mengurangi gejala dan komplikasi.

Sampai saat ini, tidak ada satu obatpun yang dapat memodifikasi

penurunan fungsi paru yang merupakan tanda khas PPOK.

Penggunaan bronkodilator merupakan terapi utama untuk

menatalaksana gejala PPOK, yang bisa diberikan bila perlu atau

secara reguler, tergantung pada kondisi pasien. Bronkodilator utama

adalah ß2 agonis, antikolinergik, teofilin yang dapat diberikan secara

tunggal atau kombinasi.

Pada pasien PPOK, vaksinasi influenza dapat mengurangi angka

kesakitan yang serius. Jika tersedia, vaksin pneumococcus

direkomendasikan bagi penderita PPOK yang berusia di atas 65 tahun

dan mereka yang kurang dari 65 tahuntetapi nilai FEV1-nya <40%

prediksi. Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara reguler hanya

boleh diberikan kepada pasien yang telah tercatat (dari hasil

spirometri) memang berespon terhadap steroid, atau pada pasien yang

FEV1 <50%. Penggunaan steroid sistemik secara kronis harus

dihindarkan, karena lebih banyak risiko dari pada manfaatnya.

Penggunaan oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) pada pasien

dengan kegagalan pernafasan kronis dapat memperpanjang harapan

hidup pasien.

Penatalaksanaan terapi untuk eksaserbasi akut umumnya

memerlukan intervensi medis dan obat-obatan. Bronkodilator inhalasi

(terutama ß agonis atau antikolinergik), teofilin, dan kortikosteroid

sistemik merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi eksaserbasi

akut. Untuk pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti

peningkatan volume dan purulensi sputum dan demam sebaiknya

diberi antibiotika. Bantuan pernafasan berupa Noninvase Positive

Pressure Ventilation (NIPPV) terbukti dapat memperbaiki gas dan pH

darah, mengurangi mortalitas di RS, mengurangi ventilasi yang

invasif, dan mengurangi lama rawat di RS.

Terapi Farmakologi Berdasarkan Keparahan Penyakit

Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi

PPOK stabil perlu disesuaikan dengan keparahan penyakitnya.

Pada pasien dengan keparahan tingkat I (PPOK ringan),

penggunaan inhalasi bronkodilatoraksi pendek (jika perlu) sudah

cukup adekuat. Jika tidak tersedia bronkodilator inhalasi,

penggunaan secara rugular teofilin lepas lambat dapat

dipertimbangkan. Sedangkan pada pasien dengan keparahan

tingkat II (sedang) sampai IV (sangat berat) dimana gejala sesak

nafas selama aktivitas harian tidak bisa diatasi dengan

bronkodilator aksi pendek, maka direkomendasikan penambahan

penggunaan regular bronkodilator aksi panjang.

Pada pasien yang FEV1-nya <50% setelah pemberian

bronkodilator (tingkat keparahan III sampai IV) dan ada riwayat

eksaserbasi berulang (min 3x dalam 3 tahun), dapat diberikan

inhalasi kortikosteroid secara regular, yang dapat mengurangi

frekuensi eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan pasien

2.5. KIE Monitoring

2.6. Contoh Kasus

Kasus 1

Pak Dahlan, seorang pensiunan berusia 66 tahun. Pak Dahlan

dahulu bekerja sebagai akuntan sebelum pensiun 16 tahun yang lalu. Pak

Dahlan kemudian memutuskan untuk menghabiskan masa pensiunnya di

sebuah desa dan mengelola kebun buah, sayur, dan bunga. Sayangnya, Pak

Dahlan mempunyai keterbatasan fisik untuk mengelola perkebunan

tersebut karena sesak nafas sehingga Pak Dahlan akhirnya menjual

perkebunannya dan pindah ke kota. Pak Dahlan didiagnosis mengalami

COPD karena kebiasaannya merokok bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada

masalah kesehatan lain pada Pak Dahlan kecuali masalah COPD-nya. Pak

Dahlan juga sudah menghentikan kebiasaannya merokok 10 tahun yang

lalu. Tekanan darah Pak Dahlan normal, begitu pula dengan kadar gula

darah, profil lipid, ECD, dan CXR-nya. Obat yang sekarang dipakai Pak

Dahlan adalah ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg, masing-

masing 4 kali sehari melalui spacer. Selain itu Pak Dahlan juga

menggunakan salbutamol inhalasi apabila diperlukan. Tahun ini Pak

Dahlan juga diterapi dengan 3 kur antibiotik dan prednison karena

perburukan COPD yang disertai infeksi bakteri.

Hasil pemeriksaan dengan spirometri didapatkan hasil sebagai

berikut:

Baseline:

FEV1 = 40%

FEV1/FVC = 32%

Setelah memakai bronkodilator: FEV1 = 1,04\

Penyelesaian :

1. Subjective

Nama : Pak Darlan

Usia : 66 tahun

Pekerjaan : Dahulu bekerja sebagai akuntan sebelum pensiun 16 tahun yang lalu

Keluhan : Sesak nafas

Riwayat penyakit : COPD

Riwayat pengobatan :

• ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg, masing-masing 4 kali sehari melalui spacer

• salbutamol inhalasi sprn

• antibiotik dan prednison

Kebiasaan : Merokok ( tetapi sudah berhenti merokok semenjak 10 tahun yang lalu )

2. Objective

3. Assesment

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pasien

didiagnosis PPOK tingkat III (berat).

4. Plan

Tujuan Terapi

Memperbaiki keadaan obstruksis kronik

Mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut

Menurunkan kecepatan perkembangan penyakit

Meningkatkan keadaan fisik dan psikis pasien

Menurunkan jumlah hari tidak masuk kerja

Menurunkan jumlah hari masuk rumah sakit

Menurunkan angka kematian

Target Terapi

Perbaikan nilai ≥ 20% FEV1 dan FEV1/FVC pasien

5. Terapi Non-Farmakologi

Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan

pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural.

Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )

nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan

mencegah makan berat (ex: nasi) sebelum tidur.

Tidak minum susu

Rehabilitasi paru meliputi fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi,

dan dukungan psikososial.

6. Terapi Farmakologi

1. Vaksin influenza : 1 tahun sekali

2. Salbutamol inh : 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)

3. Tiotropium bromida : inhalasi 22,5 mcg 1 hirupan 1x sehari

4. Budesonid : 400 mcg 2 hirupan 2 x sehari.

Pembahasan

Bapak Dahlan mengalami PPOK dan sudah mengehentikan kebiasaan

merokoknya selama 10 tahun. Berdasarkan data uji fungsi paru hasilnya FEV1 =

40% dan FEV1/FVC = 32%, hasil tersebut menunjukkan bahwa pak Dahlan

mengalami PPOK tingkat 3 (berat) sesuai klasifikasi tingkat keparahan PPOK

berdasarkan nilai FEV1 dan gejala menurut GOLD 2010 sebagai berikut:

Bapak Dahlan sudah mendapat terapi ipratropium 40 mcg dan salbutamol

200 mcg, masing-masing 4 kali sehari melalui spacer, dan salbutamol inhalasi

apabila diperlukan (kambuh). Terapi yang digunakan pak Dahlan tersebut belum

rasional, karena terapi pemeliharaan yang digunakan seharusnya bukan

ipratropium (aksi pendek) namun tiotropium (jangka panjang) yang berefek

mencegah terjadinya eksaserbasi akut. Ketika ipratopium digunakan untuk terapi

pemeliharaan, tidak akan dapat berefek untuk mencegah eksaserbasi akut karena

aksinya pendek. Ipratropium bromida hanya dianjurkan untuk terapi kekambuhan

bukan pemeliharaan.

Terapi yang tepat dan sesuai untuk PPOK tingat 3 pak Dahlan seharusnya

sesuai algoritma PPOK sebagai berikut:

Berdasarkan algoritma terapi diatas terapi yang diberikan yaitu:

1. Penghindaran aktif faktor resiko dengan pemberian vaksinasi influenza.

Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius kematian

akibat PPOK sampai 50% (Wongsurakiat, P., dkk, 2004). Vaksin influenza

direkomendasikan pada pasien PPOK usia lanjut karena cukup efektif dalam

mencegah eksaserbasi akut. Bapak Dahlan disarankan untuk melakukan

imunisasi influenza 1 tahun sekali, hal tersebut sesuai rekomendasi imunisasi

influenza dilakukan 1-2 kali dalam setahun pada pasien PPOK (Wongsurakiat,

P., dkk, 2004).

2. Penambahan bronkodilator aksi pendek.

Salbutamol menjadi pilihan pertama untuk penangan eksaserbasi akut, karena

onset kerjanya sangat cepat dalam menangani kekambuhan. Salbutamol hanya

digunakan ketika terjadi kekambuhan saja, dosis yang diberikan 200 mcg 1

hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh). Hal tersebut sesuai rekomendasi

100-200 mcg (1-2 hirupan) 3-4 x sehari (IONI, 2008)

3. Penambahan obat reguler bronkodilator aksi panjang satu atau lebih dan

berikan terapi rehabilitasi.

a. Bronkodilator aksi panjang yang dipilih adalah tiotropium bromida.

Tiotropium bromida memiliki aksi panjang dan efektif untuk terapi

pemeliharaan pada

PPOK karena dapat mencegah terjadinya eksaserbasi akut pada COPD (zullies,

2011). Tiotropium ketika dikombinasikan dengan salbutamol akan memiliki

efek sinergis yang dapat meningkatkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Hal

tersebut sesuai dengan Zulies (2011) yang menyatakan bahwa kombinasi

antara ß-agonis aksi pendek atau panjang dengan antikolinergik akan

menurunkan potensi efek samping, meningkatkan perbaikan gejala dan fungsi

paru. Dosis yang diberikan 18 mcg 1 hirupan 1 x sehari sesuai rekomendasi

IONI (2008) yang merekomendasikan tiotropium 18-22 mcg 1 hirupan 1 x

sehari (tidak boleh digunakan lebih dari 1 x sehari).

b. Terapi rehabilitasi yang diberikan yaitu rehabilitasi paru-paru secara

komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi,

perkusi dada, dan drainase postural.

4. Penambahan glukokortikosteroid jika terjadi serangan berulang.

Sebelumnya pak Dahlan sudah pernah mendapatkan terapi 3 kur antibiotik

dan prednison karena perburukan COPD yang disertai infeksi bakteri. Hal

tersebut menunjukkan bahwa pasien memiliki riwayat eksaserbasi berulang

(minimal 3 kali dalam 3 tahun) sehingga terapi yang dianjurkan adalah

inhalasi kortikosteroid secara reguler. Sebelum prednison diganti dengan

inhalasi kortikosteroid, pengehntian prednison dilakukan dengan cara

penurunan dosis secara bertahap. Hal ini dilakukan untuk menghindari

terjadinya hipokortisol didalam tubuh. Setelah dosis diturunkan pada dosis

terendah, prednison diganti dengan kortikosteroid fluticason propionat

inhalasi.

Penggunaan kortikosteroid fluticason propionat inhalasi dapat mengurangi

frekuensi eksaserbasi pada PPOK(Paggiaro, et al., 1998). Hal tersebut sesuai

dengan Zullies (2011) yang menyatakan bahwa dari berbagai penelitian

akhirnya GOLD 2010menyrankan penggunakan kortikosteroid inhalasi dapat

dipertimbangkan pada pasien PPOK dengan FEV1 <50% dengan tingkat

keparahan III atai IV dan mengalami eksaserbasi berulang (minimal 3 kali

dalam 3 tahun terakhir). Inhalasi kortikosteroid yang diberikan adalah

fluticason propionat. Fluticason propionat diberikan pada pasien usia 50-75

dan mantan perokok yang hasilnya selama 6 bulan inhalasi fluticason

propionat dapat mengurangi eksaserbasi berulang pada penggunaan jangka

panjang (Paggiaro, et al., 1998). Fluticason propionat diberikan dengan dosis

100 mcg 2x semprotan 2x sehari (IONI, 2008).

Terapi non farmakologi yang diberikan sebagai berikut:

a. Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan

pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural

b. Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )

c. Nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan

mencegah makan berat (ex: nasi) sebelum tidur

d. Tidak minum susu, karena susu dapat menyebabkan sekresi bronkus

meningkat sehingga dapat mengakibatkan penyempitan lumen yang diikuti

fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil yang akan

mempersempit saluran pernafasan

e. Dukungan psikososial sangat penting untuk memberi sugesti pasien agar

cepat sembuh.

Monitoring dan evaluasi yang harus dilakukan pada pak Dahlan yaitu

• Monitoring hasil FEV1 dan FEV1/FVC dengan spirometer untuk mengetahui

adanya perbaikan atau perburukan fungsi paru.

• Evaluasi FEV1 dan FEV1/FVC sudah mengalami perbaikan atau belum, jika

sudah terjadi perbaikan dosis fluticason propionat dapat diturunkan secara

bertahap. Jika tidak ada perbaikan rencanakan pengobatan selanjutnya

Komunikasi, Edukasi, dan Informasi (KIE) yang diberikan yaitu

• Komunikasikan kepada pasien tentang penyakit PPOK pada pasien.

• Memberi informasi pasien tentang penggunaan obat

• Vaksin influenza 1 tahun sekali

• Salbutamol inh 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)

• Tiotropium bromida inhalasi 18 mcg 1 hirupan 1x sehari

• Fluticason propionat inhalasi 100 mcg 2x hirupan 2x sehari

• Memberi edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan sediaan inhalasi

1. Buka penutupnya

2. Hembuskan nafas

3. Letakkan bagian lubang inhaler untuk mulutpersis didepan mulut, kemudian

mjulai bernafas perlahan dan dalam. Lalu tekan MDI, dan sementara obatnya

menyembur, hirup dalam-dalam selama 5 detik atau lebih. Cara ini disebut

teknik “close mouth”. Selain ini, ada teknik yang disebut “open mouth”,

dimana lubang inhaler diletakkan dengan selang dua jari di depan mulut. Mana

yang kan dipilih tergantung kesukaan pasien.

4. Saat mencapai inspirasi maksismal, tahan nafas selama 10 detik dengan mulut

terkatup agar obat mencapai targetnya.

5. Kemudiaan nafas biasa selama 3-5 menit.

6. Jika diminta lebih dari 1 hirupan, tunggu 30 detik, dan ulangi langkah kedua.

7. Setelah selesai menggunakan inhaler, sebaiknya berkumur.

• Edukasikan kepda pasien untuk melakukan rehabilitasi paru-paru secara

komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi,

perkusi dada, dan drainase postural.

• Memberi informasi dan edukasi pada pasien untuk minum air putih cukup 8-

10 gelas sehari), nutrisi yang tepat dengan diet protein tinggi (contoh: telur

dan kacang-kacangan), dan mencegah makan berat (contoh: nasi) sebelum

tidur.

• Memberi informasi pada pasien untuk melakukan tes spirometer secara

periodik untuk mengetahui perkembangan penyakit PPOK pasien.

Kasus 2

Tn. HZ umur 55 th masuk RS mengeluh sejak 3 bulan terakhir batuk di siang

hari dan setiap hari. Setiap kali batuk Tn. HZ merasa sesak dan mengeluarkan

dahak kental berwarna kuning kehijauan. Sesaat sebelum masuk RS Tn. HZ

volume sputum/dahak meningkat, nafas semakin sesak/memburuk dan

pendek-pendek, dada terasa berat dan terengah-engah serta merasa lelah dan

lesu, sehingga pekerjaannya memecah batu kapur sambil mencari batu akik

sementara berhenti. Tn. HZ mengaku menghabiskan rokok 2 bungkus/hari

sejak tamat SMA. Oleh dokter dia didiagnosis PPOK dan mendapat

pengobatan: Amoksisilin 3x500 mg/hari, Salbutamol 2x1, Ambroksol 3x1.

Hasil pemeriksaan fisik: BB 55 kg, TB 169 cm, TD 135/90 mmHg, N

28x/menit, S 38 C.

Penyelesaian :

Data pasien :

Tn. HZ umur 55 th

Hasil pemeriksaan fisik:

BB 55 kg, TB 169 cm, TD 135/90 mmHg, N 28x/menit, S 38 C.

Gejala penyakit :

sejak 3 bulan terakhir batuk di siang hari dan setiap hari. Setiap kali batuk Tn.

HZ merasa sesak dan mengeluarkan dahak kental berwarna kuning kehijauan.

Sesaat sebelum masuk RS Tn. HZ volume sputum/dahak meningkat, nafas

semakin sesak/memburuk dan pendek-pendek, dada terasa berat dan

terengah-engah serta merasa lelah dan lesu.

Klasifikasi PPOK :

III berat, ditandai dengan serangan yang intens pada pagi dan siang hari.

Adanya produksi sputum dan serangan sesak nafas sehingga menggganggu

pekerjaan.

Pembahasan :

Pada kasus diatas terjadi eksaserbasi yaitu timbulnya perburukan

dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan

infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya

komplikasi. Pasien ini masuk dalam tingkat II (eksaserbasi sedang) yang

ditandai dengan 2 gejala yaitu peningkatan sputum dan gejala sesak nafas.

Terapi farmakologi

Pengobatan yang diberikan:

Amoksisilin 3x500 mg/hari, Salbutamol 2x1, Ambroksol 3x1.

Alasan pemilihan obat :

Salbutamol : Sebagai bronkidilator digunakan untuk meredakan sesak nafas.

Amoksilin : Sebagai lini pertama dari antiotik untuk penanganan eksaserbasi

akut sedang.

Ambroxol : Untuk pengobatan yang optimal untuk menangani peningkatan

sputum atau dahak yang diderita.

Terapi non farmakologi

a. Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan

pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural

b. Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )

c. Nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan

mencegah makan berat (ex: nasi) sebelum tidur

d. Tidak minum susu, karena susu dapat menyebabkan sekresi bronkus

meningkat sehingga dapat mengakibatkan penyempitan lumen yang diikuti

fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil yang akan

mempersempit saluran pernafasan

e. Dukungan psikososial sangat penting untuk memberi sugesti pasien agar

cepat sembuh.

Komunikasi, Edukasi, dan Informasi (KIE) yang diberikan yaitu

• Komunikasikan kepada pasien tentang penyakit PPOK pada pasien.

• Memberi informasi pasien tentang penggunaan obat

• Vaksin influenza 1 tahun sekali

• Salbutamol inh 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)

• Tiotropium bromida inhalasi 18 mcg 1 hirupan 1x sehari

• Fluticason propionat inhalasi 100 mcg 2x hirupan 2x sehari

• Memberi edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan sediaan inhalasi

1. Buka penutupnya

2. Hembuskan nafas

3. Letakkan bagian lubang inhaler untuk mulutpersis didepan mulut, kemudian

mjulai bernafas perlahan dan dalam. Lalu tekan MDI, dan sementara obatnya

menyembur, hirup dalam-dalam selama 5 detik atau lebih. Cara ini disebut

teknik “close mouth”. Selain ini, ada teknik yang disebut “open mouth”,

dimana lubang inhaler diletakkan dengan selang dua jari di depan mulut. Mana

yang kan dipilih tergantung kesukaan pasien.

4. Saat mencapai inspirasi maksismal, tahan nafas selama 10 detik dengan mulut

terkatup agar obat mencapai targetnya.

5. Kemudiaan nafas biasa selama 3-5 menit.

6. Jika diminta lebih dari 1 hirupan, tunggu 30 detik, dan ulangi langkah kedua.

7. Setelah selesai menggunakan inhaler, sebaiknya berkumur.

• Edukasikan kepda pasien untuk melakukan rehabilitasi paru-paru secara

komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi,

perkusi dada, dan drainase postural.

• Memberi informasi dan edukasi pada pasien untuk minum air putih cukup 8-

10 gelas sehari), nutrisi yang tepat dengan diet protein tinggi (contoh: telur

dan kacang-kacangan), dan mencegah makan berat (contoh: nasi) sebelum

tidur.

• Memberi informasi pada pasien untuk melakukan tes spirometer secara

periodik untuk mengetahui perkembangan penyakit PPOK pasien.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran

udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel

parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan

keduanya. Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik,

dan perokok berat. Yang karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya

penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis fungsional), sedangkan dari

emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada perokok

berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit). Dari pemaparan

diatas rokok mempunyai peran penting sebagai penyebab terjadinya PPOK.

Kebiasan hidup yang sehat dianjurkan Untuk Menghindari penyakit paru

obstruktif kronik.

1.2 Saran

Diharapkan agar pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang

membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga

makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya dan juga pembaca pada

umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Sagung Seto: Jakarta

Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit Hipokrates , 2000

Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001

Ikawati, Zullies, 2011, Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya, Bursa Ilmu: Yogyakarta.

Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC, 1998

Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta , EGC, 2002