makalah_PPOK_okkkk[1].doc
-
Upload
risfiani-wulandari -
Category
Documents
-
view
33 -
download
0
Transcript of makalah_PPOK_okkkk[1].doc
MAKALAH FARMAKOTERAPI II
“PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)”
OLEHK E L O M P O K IV
PASHA NURHIJILA (F1F1 12 116)
RAHMAD MADI (F1F1 12 117)
RISFIANI WULANDARI (F1F1 12 119)
RIZKY AUDINA SYAHRIR (F1F1 12 120)
SITI ALFYANITA ILHAM (F1F1 12 124)
SRI REZKI ANITA (F1F1 12 125)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis memperoleh kesehatan
dan kekuatan untuk dapat menyelesaikan makalah Farmakoterapi II ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak, khususnya
kepada dosen pembibing atas kesediaannya dalam membimbing sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi
penyampaian yang menjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak
untuk sempurnanya makalah ini
Kendari, September 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I.........................................................................................................................
PENDAHULUAN.....................................................................................................
1.1. Latar Belakang............................................................................................
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................
1.3. Tujuan..........................................................................................................
BAB II........................................................................................................................
PEMBAHASAN........................................................................................................
2.1. Definisi umum PPOK..................................................................................
2.2. Etiologi PPOK.............................................................................................
2.3 Patofisiologi PPOK......................................................................................
2.4 Klasifikasi PPOK.........................................................................................
2.5 Tata Laksana.................................................................................................
2.5.1. Tujuan Terapi....................................................................................
2.5.2 Strategi Terapi.....................................................................................
2.5.3 Tata laksana non farmakologi............................................................
2.5.4 Tata laksana farmakologi....................................................................
2.6 KIE monitoring PPOK...................................................................................
2.7 Contoh Kasus.................................................................................................
BAB III......................................................................................................................PENUTUP..................................................................................................................
3.1. Kesimpulan..................................................................................................
3.2. Saran............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin
memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini
terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan
penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau
memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi
lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca.
Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen
yang memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan
penyakit lain diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada
akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat
terjadi. Untuk melakukan penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan faktor-
faktor tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan
yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang
merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas
dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan
gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang
disebabkan oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak
mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini antara lain
1. Apa definisi umum PPOK?
2. Bagaimana Etiologi PPOK ?
3. Bagaimana Patofisiologi PPOK ?
4. Bagaimana klasifikasi PPOK ?
5. Bagaimana Tata laksana PPOK ?
6. Bagaimana KIE PPOK ?
7. Jelaskan contoh kasus penyakit PPOK!
1.3. Tujuan
Adapun Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Agar mengetahui definisi umum PPOK.
2. Agar mengetahui Etiologi PPOK.
3. Agar mengetahui Patofisiologi PPOK.
4. Agar mengetahui klasifikasi PPOK.
5. Agar mengetahui Tata laksana PPOK.
6. Bagaimana KIE PPOK.
7. Mengetahui penyelesaian kasus pada penyakit PPOK.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi PPOK
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli.
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten
berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan
memenuhi kriteria PPOK.
2.2 Etiologi PPOK
Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada
PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari penyebab
penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik,
dan perokok berat. Yang karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya
penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis fungsional), sedangkan dari
emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada perokok
berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit).
2.3 Patofisiologi
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan
serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara
anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama
Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara
merata dan terbanyak pada paru bagian bawah
Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran
napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau
dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi,
fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama
obstruksi jalan napas
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang.
Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat
berkurang sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni
jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan
tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke
paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses
inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding
bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus
kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi
awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi,
pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah
penumpukan udara (air trapping).
Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan
segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan
kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-
fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan
mengalami gangguan
2.4. Gejala dan Tanda
Penderita PPOK biasanya adalah perokok atau memiliki riwayat
perokok berat (satu pak atau lebih sehari) selama 20 tahun atau lebih. Selain
riwayat merokok, kondisi berikut dapat mengindikasikan PPOK:
Sesak nafas (dispnea), pada awalnya sesak nafas hanya dialami
setelah beraktivitas fisik. Namun, ketika paru-paru semakin rusak, sesak nafas
terjadi ketika melakukan pekerjaan harian rutin seperti berjalan dan menyiram
tanaman atau bahkan saat beristirahat.
Mengi dan batuk kronis, seringkali disertai dahak, yang berlangsung
lama (berbulan-bulan). Sering mendapat infeksi paru, paringan paru-paru
yang rusak lebih mudah terinfeksi, sehingga menyebabkan bronkitis akut dan
pneumonia, terutama di musim hujan saat influenza merebak. Saluran udara
memiliki mekanisme untuk mengusir bakteri dengan mengeluarkan dahak
melalui batuk. Paru-paru yang rusak tidak bisa melakukannya sehingga
bakteri cenderung berkumpul di dalam alveoli dan saluran udara dan
menyebar di seluruh lobus paru-paru. Penderita PPOK membutuhkan waktu
lama untuk pulih dari infeksi paru, yang dapat berlangsung berminggu-
minggu atau berbulan-bulan.
Gagal jantung, jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa
darah ke paru-paru karena begitu banyak jaringan paru-paru yang rusak.
Beban ekstra ini membuat jantung melemah dan membesar.
Hipoksia (kekurangan oksigen dalam darah), organ tidak
mendapatkan oksigen yang cukup dan menjadi rusak. Kurangnya aliran darah
ke otak, misalnya, dapat menyebabkan kebingungan, pelupa dan depresi.
Pada kulit, kekurangan oksigen ini ditandai oleh semburat biru lebam
(sianosis).
Pneumotoraks (pengempisan paru-paru), terdapat pengumpulan
udara di sekitar paru-paru yang bocor dari jaringan paru yang rusak.
Penumpukan udara ini menekan paru-paru, sehingga tidak dapat
mengembang sebesar biasanya saat mengambil nafas.
penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif,
memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik,
riwayat pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja
atau rumah.
2.4 Klasifikasi/Tipe
a. Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik adalah bentuk batuk kronis produktif yang
berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut.
Sekresi yang menumpuk dalam bronkioles mengganggu keefektifan
pernapasan. polusi adalah penyebab utama bronkitis kronis. Pasien dengan
bronkitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan infeksi saluran
pernapasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri, mikoplasma yang luas
dapat menyebabkan episode bronkitis akut. Eksaserbasi bronkitis kronik
hampir pasti terjadi selama musim dingin. Menghirup udara yang dingin
dapat menyebabkan bronkospasme bagi mereka yang rentan.
b. Emfisema Paru
Emfisema Paru adalah sebagai suatu distensi abnormal ruang udara
di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini
merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat
selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika pasien mengalami
gejala, fungsi paru sering sudah mengalami kerusakan yang ireversibel.
Dibarengi dengan bronkitis obstruksi kronik, kondisi ini merupakan
penyebab utama kecacatan.
c. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang
mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan
obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari
saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang
berdilatasi, dan persebaran nodus limfe. Individu mungkin mempunyai
predisposisi terhadap bronkiektasis sebagai akibat infeksi pernapasan pada
masa kanak-kanaknya, campak, influenza, tuberkulosis, dan gangguan
imunodefisiensi. Setelah pembedahan, bronkiektasis dapat terjadi ketika
pasien tidak mampu untuk batuk secara efektif, dengan akibat lendir
menyumbat bronkial dan mengarah pada atelektasis.
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab
itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa
diprediksi dengan VEP1.
2.5 Tata Laksana
2.5.1 Tujuan terapi :
Tujuan terapi PPOK pada PPOK stabil adalah memperbaiki
keadaan obstruksi kronik, mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut,
menurunkan kecepatan perkembangan penyakit, meningkatkan
keadaan fisik dan psikologis pasien sehingga pasien dapat
melaksanakan kegiatan sehari-hari, menurunkan jumlah hari-hari tak
bekerja, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah sakit, dan
menurunkan jumlah kematian. Terapi pada eksaserbasi akut adalah
untuk memelihara fungsi pernafasan dan memperpanjang survival.
2.5.2 Strategi
Strategi terapi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: terapi
non farmakologi (tanpa menggunakan obat) dan terapi farmakologi
(dengan menggunakan obat).
2.5.3 Terapi Non Farmakologi
Diagnosa klinik terhadap PPOK perlu dipertimbangkan jika
pasien mengalami dyspnea (sesak nafas), batuk kronis atau terjadi
produksi sputum dengan riwayat paparan terhadap faktor risiko.
Diagnosa sebaiknya ditegakkan dengan pengukuran spimoteri.
Spimotri merupakan standar baku karena merupakan cara yang telah
terstandarisir, dan reprodusibel, dan obyektif untuk mengukur fungsi
pernafasan. Nilai FEV1/FVC<70% dan pasca bronkodilator FEV1<
80% menunjukkan adanya gangguan pernafasan yang tidak reversibel,
yang merupakan karakteristik PPOK. Penilaian terhadap keparahan
PPOK harus didasarkan pada tingkat gejala pasien, keparahan
abnormalitas hasil uji spirometri, dan adanya komplikasi.
Pengukuran tekanan udara arteri harus dipertimbangkan untuk
dilakukan jika FEV1<50%, atau jika ada tanda klinis yang mengarah
pada kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan. Sselain itu, perlu
dilakukan skrining terhadap defisiensi ATT, terutama pada pasien di
bawah 45 tahun, dan pasien dengan riwayat keluarga yang kuat untuk
penyakit PPOK. Konsentrasi serum AAT 15-20% di bawah nilai
normal menunjukkan adanya kemungkinan defisiensi AAT
homozigos. Penyakit penyerta cukup sering terjadi pada pasien PPOK
dan harus diidentifikasi dengan benar, karena adanya komordibitas ini
bisa mempersulit penatalaksanaan PPOK, dan sebaliknya.
Pemantauan dan asesmen terhadap gejala perlu dilakukan baik
pada PPOK yang baru terdiagnosis, maupun PPOK yang sudah lama.
Karena penyakit ini merupakan penyakit yang progresif, maka
pemantauan harus dilakukan terus menerus terhadap perkembangan
gejala maupun kemungkinan terjadinya komplikasi. Beberapa hal
yang harus dimonitor antara lain meliputi fungsi paru, gas darah arteri,
kemungkinan terjadinya cor pulmonale atau gagal jantung kanan,
hematokrit, fungsi otot respirasi, efek pengobatan yang diperoleh dan
terapi yang lain, serta riwayatn kejadian eksaserbsi.
Berikutnya, yang termasuk dalam komponen kedua adalah
mengurangi faktor resiko. Penghentian merokok merupakan tahap
pertama yang penting yang dapat memperlambat memburuknya tes
fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan meningkatkan kualitas
hidup pasien. Jika diperlukan, terdapat beberapa pengobatan untuk
mengatasi ketergantungan terhadap merokok, seperti penggantian
nikotin (nicotine replacement therapy), bupropion, varaniklin, dll.
Penghentian merokok memerlukan usaha yang komprehensif dari
berbagai sektor, termasuk dari pemerintah dan institusi kesehatan.
Selain itu, perlu menghindari polusi udara dan menjaga kebersihan
untuk mencegah infeksi
Penatalaksanaan lain adalah dengan rehabilitasi paru-paru secara
komprehensif termasuk fisioterapi, latihan pernafasan, latihan
relaksasi, perkusi dada dan drainase postural, mengoptimalkan
perawatan medis, mendukung secara psikososial, dan memberikan
edukasi kesehatan. Perlu diberikan hidrasi secukupnya (minum air
cukup: 8=10 gelas sehari), dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya
protein dan mencegah makanan berat menjelang tidur. Susu dapat
menyebabkan sekresi bronkus meningkat, sebaiknya dicegah.
2.5.4 Terapi Farmakologi
Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil,
dan terapi untuk eksaserbasi akut. Untuk PPOK yang stabil,
penggunaan obat ditujukan untuk mengurangi gejala dan komplikasi.
Sampai saat ini, tidak ada satu obatpun yang dapat memodifikasi
penurunan fungsi paru yang merupakan tanda khas PPOK.
Penggunaan bronkodilator merupakan terapi utama untuk
menatalaksana gejala PPOK, yang bisa diberikan bila perlu atau
secara reguler, tergantung pada kondisi pasien. Bronkodilator utama
adalah ß2 agonis, antikolinergik, teofilin yang dapat diberikan secara
tunggal atau kombinasi.
Pada pasien PPOK, vaksinasi influenza dapat mengurangi angka
kesakitan yang serius. Jika tersedia, vaksin pneumococcus
direkomendasikan bagi penderita PPOK yang berusia di atas 65 tahun
dan mereka yang kurang dari 65 tahuntetapi nilai FEV1-nya <40%
prediksi. Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara reguler hanya
boleh diberikan kepada pasien yang telah tercatat (dari hasil
spirometri) memang berespon terhadap steroid, atau pada pasien yang
FEV1 <50%. Penggunaan steroid sistemik secara kronis harus
dihindarkan, karena lebih banyak risiko dari pada manfaatnya.
Penggunaan oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) pada pasien
dengan kegagalan pernafasan kronis dapat memperpanjang harapan
hidup pasien.
Penatalaksanaan terapi untuk eksaserbasi akut umumnya
memerlukan intervensi medis dan obat-obatan. Bronkodilator inhalasi
(terutama ß agonis atau antikolinergik), teofilin, dan kortikosteroid
sistemik merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi eksaserbasi
akut. Untuk pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti
peningkatan volume dan purulensi sputum dan demam sebaiknya
diberi antibiotika. Bantuan pernafasan berupa Noninvase Positive
Pressure Ventilation (NIPPV) terbukti dapat memperbaiki gas dan pH
darah, mengurangi mortalitas di RS, mengurangi ventilasi yang
invasif, dan mengurangi lama rawat di RS.
Terapi Farmakologi Berdasarkan Keparahan Penyakit
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi
PPOK stabil perlu disesuaikan dengan keparahan penyakitnya.
Pada pasien dengan keparahan tingkat I (PPOK ringan),
penggunaan inhalasi bronkodilatoraksi pendek (jika perlu) sudah
cukup adekuat. Jika tidak tersedia bronkodilator inhalasi,
penggunaan secara rugular teofilin lepas lambat dapat
dipertimbangkan. Sedangkan pada pasien dengan keparahan
tingkat II (sedang) sampai IV (sangat berat) dimana gejala sesak
nafas selama aktivitas harian tidak bisa diatasi dengan
bronkodilator aksi pendek, maka direkomendasikan penambahan
penggunaan regular bronkodilator aksi panjang.
Pada pasien yang FEV1-nya <50% setelah pemberian
bronkodilator (tingkat keparahan III sampai IV) dan ada riwayat
eksaserbasi berulang (min 3x dalam 3 tahun), dapat diberikan
inhalasi kortikosteroid secara regular, yang dapat mengurangi
frekuensi eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan pasien
2.5. KIE Monitoring
2.6. Contoh Kasus
Kasus 1
Pak Dahlan, seorang pensiunan berusia 66 tahun. Pak Dahlan
dahulu bekerja sebagai akuntan sebelum pensiun 16 tahun yang lalu. Pak
Dahlan kemudian memutuskan untuk menghabiskan masa pensiunnya di
sebuah desa dan mengelola kebun buah, sayur, dan bunga. Sayangnya, Pak
Dahlan mempunyai keterbatasan fisik untuk mengelola perkebunan
tersebut karena sesak nafas sehingga Pak Dahlan akhirnya menjual
perkebunannya dan pindah ke kota. Pak Dahlan didiagnosis mengalami
COPD karena kebiasaannya merokok bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada
masalah kesehatan lain pada Pak Dahlan kecuali masalah COPD-nya. Pak
Dahlan juga sudah menghentikan kebiasaannya merokok 10 tahun yang
lalu. Tekanan darah Pak Dahlan normal, begitu pula dengan kadar gula
darah, profil lipid, ECD, dan CXR-nya. Obat yang sekarang dipakai Pak
Dahlan adalah ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg, masing-
masing 4 kali sehari melalui spacer. Selain itu Pak Dahlan juga
menggunakan salbutamol inhalasi apabila diperlukan. Tahun ini Pak
Dahlan juga diterapi dengan 3 kur antibiotik dan prednison karena
perburukan COPD yang disertai infeksi bakteri.
Hasil pemeriksaan dengan spirometri didapatkan hasil sebagai
berikut:
Baseline:
FEV1 = 40%
FEV1/FVC = 32%
Setelah memakai bronkodilator: FEV1 = 1,04\
Penyelesaian :
1. Subjective
Nama : Pak Darlan
Usia : 66 tahun
Pekerjaan : Dahulu bekerja sebagai akuntan sebelum pensiun 16 tahun yang lalu
Keluhan : Sesak nafas
Riwayat penyakit : COPD
Riwayat pengobatan :
• ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg, masing-masing 4 kali sehari melalui spacer
• salbutamol inhalasi sprn
• antibiotik dan prednison
Kebiasaan : Merokok ( tetapi sudah berhenti merokok semenjak 10 tahun yang lalu )
2. Objective
3. Assesment
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pasien
didiagnosis PPOK tingkat III (berat).
4. Plan
Tujuan Terapi
Memperbaiki keadaan obstruksis kronik
Mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut
Menurunkan kecepatan perkembangan penyakit
Meningkatkan keadaan fisik dan psikis pasien
Menurunkan jumlah hari tidak masuk kerja
Menurunkan jumlah hari masuk rumah sakit
Menurunkan angka kematian
Target Terapi
Perbaikan nilai ≥ 20% FEV1 dan FEV1/FVC pasien
5. Terapi Non-Farmakologi
Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan
pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural.
Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )
nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan
mencegah makan berat (ex: nasi) sebelum tidur.
Tidak minum susu
Rehabilitasi paru meliputi fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi,
dan dukungan psikososial.
6. Terapi Farmakologi
1. Vaksin influenza : 1 tahun sekali
2. Salbutamol inh : 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)
3. Tiotropium bromida : inhalasi 22,5 mcg 1 hirupan 1x sehari
4. Budesonid : 400 mcg 2 hirupan 2 x sehari.
Pembahasan
Bapak Dahlan mengalami PPOK dan sudah mengehentikan kebiasaan
merokoknya selama 10 tahun. Berdasarkan data uji fungsi paru hasilnya FEV1 =
40% dan FEV1/FVC = 32%, hasil tersebut menunjukkan bahwa pak Dahlan
mengalami PPOK tingkat 3 (berat) sesuai klasifikasi tingkat keparahan PPOK
berdasarkan nilai FEV1 dan gejala menurut GOLD 2010 sebagai berikut:
Bapak Dahlan sudah mendapat terapi ipratropium 40 mcg dan salbutamol
200 mcg, masing-masing 4 kali sehari melalui spacer, dan salbutamol inhalasi
apabila diperlukan (kambuh). Terapi yang digunakan pak Dahlan tersebut belum
rasional, karena terapi pemeliharaan yang digunakan seharusnya bukan
ipratropium (aksi pendek) namun tiotropium (jangka panjang) yang berefek
mencegah terjadinya eksaserbasi akut. Ketika ipratopium digunakan untuk terapi
pemeliharaan, tidak akan dapat berefek untuk mencegah eksaserbasi akut karena
aksinya pendek. Ipratropium bromida hanya dianjurkan untuk terapi kekambuhan
bukan pemeliharaan.
Terapi yang tepat dan sesuai untuk PPOK tingat 3 pak Dahlan seharusnya
sesuai algoritma PPOK sebagai berikut:
Berdasarkan algoritma terapi diatas terapi yang diberikan yaitu:
1. Penghindaran aktif faktor resiko dengan pemberian vaksinasi influenza.
Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius kematian
akibat PPOK sampai 50% (Wongsurakiat, P., dkk, 2004). Vaksin influenza
direkomendasikan pada pasien PPOK usia lanjut karena cukup efektif dalam
mencegah eksaserbasi akut. Bapak Dahlan disarankan untuk melakukan
imunisasi influenza 1 tahun sekali, hal tersebut sesuai rekomendasi imunisasi
influenza dilakukan 1-2 kali dalam setahun pada pasien PPOK (Wongsurakiat,
P., dkk, 2004).
2. Penambahan bronkodilator aksi pendek.
Salbutamol menjadi pilihan pertama untuk penangan eksaserbasi akut, karena
onset kerjanya sangat cepat dalam menangani kekambuhan. Salbutamol hanya
digunakan ketika terjadi kekambuhan saja, dosis yang diberikan 200 mcg 1
hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh). Hal tersebut sesuai rekomendasi
100-200 mcg (1-2 hirupan) 3-4 x sehari (IONI, 2008)
3. Penambahan obat reguler bronkodilator aksi panjang satu atau lebih dan
berikan terapi rehabilitasi.
a. Bronkodilator aksi panjang yang dipilih adalah tiotropium bromida.
Tiotropium bromida memiliki aksi panjang dan efektif untuk terapi
pemeliharaan pada
PPOK karena dapat mencegah terjadinya eksaserbasi akut pada COPD (zullies,
2011). Tiotropium ketika dikombinasikan dengan salbutamol akan memiliki
efek sinergis yang dapat meningkatkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Hal
tersebut sesuai dengan Zulies (2011) yang menyatakan bahwa kombinasi
antara ß-agonis aksi pendek atau panjang dengan antikolinergik akan
menurunkan potensi efek samping, meningkatkan perbaikan gejala dan fungsi
paru. Dosis yang diberikan 18 mcg 1 hirupan 1 x sehari sesuai rekomendasi
IONI (2008) yang merekomendasikan tiotropium 18-22 mcg 1 hirupan 1 x
sehari (tidak boleh digunakan lebih dari 1 x sehari).
b. Terapi rehabilitasi yang diberikan yaitu rehabilitasi paru-paru secara
komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi,
perkusi dada, dan drainase postural.
4. Penambahan glukokortikosteroid jika terjadi serangan berulang.
Sebelumnya pak Dahlan sudah pernah mendapatkan terapi 3 kur antibiotik
dan prednison karena perburukan COPD yang disertai infeksi bakteri. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pasien memiliki riwayat eksaserbasi berulang
(minimal 3 kali dalam 3 tahun) sehingga terapi yang dianjurkan adalah
inhalasi kortikosteroid secara reguler. Sebelum prednison diganti dengan
inhalasi kortikosteroid, pengehntian prednison dilakukan dengan cara
penurunan dosis secara bertahap. Hal ini dilakukan untuk menghindari
terjadinya hipokortisol didalam tubuh. Setelah dosis diturunkan pada dosis
terendah, prednison diganti dengan kortikosteroid fluticason propionat
inhalasi.
Penggunaan kortikosteroid fluticason propionat inhalasi dapat mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada PPOK(Paggiaro, et al., 1998). Hal tersebut sesuai
dengan Zullies (2011) yang menyatakan bahwa dari berbagai penelitian
akhirnya GOLD 2010menyrankan penggunakan kortikosteroid inhalasi dapat
dipertimbangkan pada pasien PPOK dengan FEV1 <50% dengan tingkat
keparahan III atai IV dan mengalami eksaserbasi berulang (minimal 3 kali
dalam 3 tahun terakhir). Inhalasi kortikosteroid yang diberikan adalah
fluticason propionat. Fluticason propionat diberikan pada pasien usia 50-75
dan mantan perokok yang hasilnya selama 6 bulan inhalasi fluticason
propionat dapat mengurangi eksaserbasi berulang pada penggunaan jangka
panjang (Paggiaro, et al., 1998). Fluticason propionat diberikan dengan dosis
100 mcg 2x semprotan 2x sehari (IONI, 2008).
Terapi non farmakologi yang diberikan sebagai berikut:
a. Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan
pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural
b. Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )
c. Nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan
mencegah makan berat (ex: nasi) sebelum tidur
d. Tidak minum susu, karena susu dapat menyebabkan sekresi bronkus
meningkat sehingga dapat mengakibatkan penyempitan lumen yang diikuti
fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil yang akan
mempersempit saluran pernafasan
e. Dukungan psikososial sangat penting untuk memberi sugesti pasien agar
cepat sembuh.
Monitoring dan evaluasi yang harus dilakukan pada pak Dahlan yaitu
• Monitoring hasil FEV1 dan FEV1/FVC dengan spirometer untuk mengetahui
adanya perbaikan atau perburukan fungsi paru.
• Evaluasi FEV1 dan FEV1/FVC sudah mengalami perbaikan atau belum, jika
sudah terjadi perbaikan dosis fluticason propionat dapat diturunkan secara
bertahap. Jika tidak ada perbaikan rencanakan pengobatan selanjutnya
Komunikasi, Edukasi, dan Informasi (KIE) yang diberikan yaitu
• Komunikasikan kepada pasien tentang penyakit PPOK pada pasien.
• Memberi informasi pasien tentang penggunaan obat
• Vaksin influenza 1 tahun sekali
• Salbutamol inh 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)
• Tiotropium bromida inhalasi 18 mcg 1 hirupan 1x sehari
• Fluticason propionat inhalasi 100 mcg 2x hirupan 2x sehari
• Memberi edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan sediaan inhalasi
1. Buka penutupnya
2. Hembuskan nafas
3. Letakkan bagian lubang inhaler untuk mulutpersis didepan mulut, kemudian
mjulai bernafas perlahan dan dalam. Lalu tekan MDI, dan sementara obatnya
menyembur, hirup dalam-dalam selama 5 detik atau lebih. Cara ini disebut
teknik “close mouth”. Selain ini, ada teknik yang disebut “open mouth”,
dimana lubang inhaler diletakkan dengan selang dua jari di depan mulut. Mana
yang kan dipilih tergantung kesukaan pasien.
4. Saat mencapai inspirasi maksismal, tahan nafas selama 10 detik dengan mulut
terkatup agar obat mencapai targetnya.
5. Kemudiaan nafas biasa selama 3-5 menit.
6. Jika diminta lebih dari 1 hirupan, tunggu 30 detik, dan ulangi langkah kedua.
7. Setelah selesai menggunakan inhaler, sebaiknya berkumur.
• Edukasikan kepda pasien untuk melakukan rehabilitasi paru-paru secara
komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi,
perkusi dada, dan drainase postural.
• Memberi informasi dan edukasi pada pasien untuk minum air putih cukup 8-
10 gelas sehari), nutrisi yang tepat dengan diet protein tinggi (contoh: telur
dan kacang-kacangan), dan mencegah makan berat (contoh: nasi) sebelum
tidur.
• Memberi informasi pada pasien untuk melakukan tes spirometer secara
periodik untuk mengetahui perkembangan penyakit PPOK pasien.
Kasus 2
Tn. HZ umur 55 th masuk RS mengeluh sejak 3 bulan terakhir batuk di siang
hari dan setiap hari. Setiap kali batuk Tn. HZ merasa sesak dan mengeluarkan
dahak kental berwarna kuning kehijauan. Sesaat sebelum masuk RS Tn. HZ
volume sputum/dahak meningkat, nafas semakin sesak/memburuk dan
pendek-pendek, dada terasa berat dan terengah-engah serta merasa lelah dan
lesu, sehingga pekerjaannya memecah batu kapur sambil mencari batu akik
sementara berhenti. Tn. HZ mengaku menghabiskan rokok 2 bungkus/hari
sejak tamat SMA. Oleh dokter dia didiagnosis PPOK dan mendapat
pengobatan: Amoksisilin 3x500 mg/hari, Salbutamol 2x1, Ambroksol 3x1.
Hasil pemeriksaan fisik: BB 55 kg, TB 169 cm, TD 135/90 mmHg, N
28x/menit, S 38 C.
Penyelesaian :
Data pasien :
Tn. HZ umur 55 th
Hasil pemeriksaan fisik:
BB 55 kg, TB 169 cm, TD 135/90 mmHg, N 28x/menit, S 38 C.
Gejala penyakit :
sejak 3 bulan terakhir batuk di siang hari dan setiap hari. Setiap kali batuk Tn.
HZ merasa sesak dan mengeluarkan dahak kental berwarna kuning kehijauan.
Sesaat sebelum masuk RS Tn. HZ volume sputum/dahak meningkat, nafas
semakin sesak/memburuk dan pendek-pendek, dada terasa berat dan
terengah-engah serta merasa lelah dan lesu.
Klasifikasi PPOK :
III berat, ditandai dengan serangan yang intens pada pagi dan siang hari.
Adanya produksi sputum dan serangan sesak nafas sehingga menggganggu
pekerjaan.
Pembahasan :
Pada kasus diatas terjadi eksaserbasi yaitu timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya
komplikasi. Pasien ini masuk dalam tingkat II (eksaserbasi sedang) yang
ditandai dengan 2 gejala yaitu peningkatan sputum dan gejala sesak nafas.
Terapi farmakologi
Pengobatan yang diberikan:
Amoksisilin 3x500 mg/hari, Salbutamol 2x1, Ambroksol 3x1.
Alasan pemilihan obat :
Salbutamol : Sebagai bronkidilator digunakan untuk meredakan sesak nafas.
Amoksilin : Sebagai lini pertama dari antiotik untuk penanganan eksaserbasi
akut sedang.
Ambroxol : Untuk pengobatan yang optimal untuk menangani peningkatan
sputum atau dahak yang diderita.
Terapi non farmakologi
a. Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan
pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural
b. Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )
c. Nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan
mencegah makan berat (ex: nasi) sebelum tidur
d. Tidak minum susu, karena susu dapat menyebabkan sekresi bronkus
meningkat sehingga dapat mengakibatkan penyempitan lumen yang diikuti
fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil yang akan
mempersempit saluran pernafasan
e. Dukungan psikososial sangat penting untuk memberi sugesti pasien agar
cepat sembuh.
Komunikasi, Edukasi, dan Informasi (KIE) yang diberikan yaitu
• Komunikasikan kepada pasien tentang penyakit PPOK pada pasien.
• Memberi informasi pasien tentang penggunaan obat
• Vaksin influenza 1 tahun sekali
• Salbutamol inh 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)
• Tiotropium bromida inhalasi 18 mcg 1 hirupan 1x sehari
• Fluticason propionat inhalasi 100 mcg 2x hirupan 2x sehari
• Memberi edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan sediaan inhalasi
1. Buka penutupnya
2. Hembuskan nafas
3. Letakkan bagian lubang inhaler untuk mulutpersis didepan mulut, kemudian
mjulai bernafas perlahan dan dalam. Lalu tekan MDI, dan sementara obatnya
menyembur, hirup dalam-dalam selama 5 detik atau lebih. Cara ini disebut
teknik “close mouth”. Selain ini, ada teknik yang disebut “open mouth”,
dimana lubang inhaler diletakkan dengan selang dua jari di depan mulut. Mana
yang kan dipilih tergantung kesukaan pasien.
4. Saat mencapai inspirasi maksismal, tahan nafas selama 10 detik dengan mulut
terkatup agar obat mencapai targetnya.
5. Kemudiaan nafas biasa selama 3-5 menit.
6. Jika diminta lebih dari 1 hirupan, tunggu 30 detik, dan ulangi langkah kedua.
7. Setelah selesai menggunakan inhaler, sebaiknya berkumur.
• Edukasikan kepda pasien untuk melakukan rehabilitasi paru-paru secara
komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi,
perkusi dada, dan drainase postural.
• Memberi informasi dan edukasi pada pasien untuk minum air putih cukup 8-
10 gelas sehari), nutrisi yang tepat dengan diet protein tinggi (contoh: telur
dan kacang-kacangan), dan mencegah makan berat (contoh: nasi) sebelum
tidur.
• Memberi informasi pada pasien untuk melakukan tes spirometer secara
periodik untuk mengetahui perkembangan penyakit PPOK pasien.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya. Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik,
dan perokok berat. Yang karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya
penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis fungsional), sedangkan dari
emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada perokok
berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit). Dari pemaparan
diatas rokok mempunyai peran penting sebagai penyebab terjadinya PPOK.
Kebiasan hidup yang sehat dianjurkan Untuk Menghindari penyakit paru
obstruktif kronik.
1.2 Saran
Diharapkan agar pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga
makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya dan juga pembaca pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Sagung Seto: Jakarta
Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit Hipokrates , 2000
Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001
Ikawati, Zullies, 2011, Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya, Bursa Ilmu: Yogyakarta.
Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC, 1998
Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta , EGC, 2002