makalah_hakiim3

7
SEMINAR MASALAH KHUSUS DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA IPB Nama : Hakiim Bashaar NIM : G34102071 Judul Penelitian : Responsivitas dan Kapasitas Embriogenesis Mikrospora Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum spp.) pada Sistem Kultur Sebar- Mikrospora Pembimbing : Dr.Ir. Ence Darmo Jaya Supena, MSi. Ir. Hadisunarso Hari/Tanggal : Kamis/03-01-2008 Waktu/Tempat : 13.00-13.50/BIO 5 PENDAHULUAN Pengembangan kultivar lokal tanaman cabai melalui penelitian genetik dan pemuliaan memerlukan galur murni (GM) yang terjamin keseragaman genetiknya. Pembentukan GM dapat dilakukan secara konvensional melalui proses penyerbukan sendiri terkendali, namun dibutuhkan waktu sedikitnya 5-7 generasi. Teknologi haploid, yaitu regenerasi embrio dari gamet untuk menghasilkan tanaman haploid dan haploid ganda (HG) merupakan alternatif untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembentukan GM karena hanya membutuhkan 1-2 generasi (Ochoa-Alejo & Ramirez-Malagon 2001). Penelitian untuk menghasilkan tanaman haploid dan HG pada cabai melalui kultur antera pada media padat telah banyak dilakukan, namun metode ini masih sangat bergantung pada genotipe, khususnya spesifik untuk jenis paprika (Sibi et al. 1979; Dumas de Vaulx et al. 1981; Gyulai et al. 2000). Metode kultur antera pada media padat ini dilaporkan tidak responsif pada kultivar cabai besar dan bahkan beberapa genotipe paprika (Qin & Rotino 1993, Ltifi & Wenzel 1994). Baru-baru ini Supena et al. (2006a) berhasil mengembangkan prosedur untuk memproduksi tanaman HG varietas lokal cabai Indonesia dengan menggunakan metode kultur sebar-mikrospora (KSM). Prosedur ini menggunakan antera yang dikulturkan pada media dua lapis, yaitu media cair di atas media padat. Selanjutnya dalam masa inkubasi, antera akan membuka secara normal dan mikrosporanya tersebar ke media. Mikrospora ini kemudian akan berkembang menjadi embrio, dan setelah dikecambahkan dan dipindahtanamkan akan menjadi tanaman utuh. Prosedur KSM ini sangat potensial digunakan sebagai langkah awal untuk mengembangkan cabai varietas hibrida berbasis kultivar lokal yang ada di Indonesia maupun dicobakan pada spesies lain pada genus Capsicum. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari responsivitas dan kapasitas embriogenesis mikrospora beberapa genotipe cabai dari spesies Capsicum annuum L. maupun spesies Capsicum frutescens L. pada kondisi lokal di Bogor dengan menerapkan prosedur KSM yang dikembangkan Supena et al. (2006a). WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2006 sampai dengan Juni 2007, bertempat di Laboratorium Biologi Seluler dan Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor. BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman dan Sumber Antera Genotipe cabai yang digunakan adalah: cabai besar Tanjung-2 dan cabai keriting Big Chili yang termasuk spesies C. annuum; cabai rawit tipe hijau Bara dan cabai rawit tipe putih Hot chili yang termasuk spesies C. frutescens, serta

Transcript of makalah_hakiim3

Page 1: makalah_hakiim3

SEMINAR MASALAH KHUSUSDEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA IPB

Nama : Hakiim BashaarNIM : G34102071Judul Penelitian : Responsivitas dan Kapasitas Embriogenesis Mikrospora Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum spp.)

pada Sistem Kultur Sebar-Mikrospora Pembimbing : Dr.Ir. Ence Darmo Jaya Supena, MSi.

Ir. HadisunarsoHari/Tanggal : Kamis/03-01-2008Waktu/Tempat : 13.00-13.50/BIO 5

PENDAHULUAN

Pengembangan kultivar lokal tanaman cabai melalui penelitian genetik dan pemuliaan memerlukan galur murni (GM) yang terjamin keseragaman genetiknya. Pembentukan GM dapat dilakukan secara konvensional melalui proses penyerbukan sendiri terkendali, namun dibutuhkan waktu sedikitnya 5-7 generasi. Teknologi haploid, yaitu regenerasi embrio dari gamet untuk menghasilkan tanaman haploid dan haploid ganda (HG) merupakan alternatif untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembentukan GM karena hanya membutuhkan 1-2 generasi (Ochoa-Alejo & Ramirez-Malagon 2001).

Penelitian untuk menghasilkan tanaman haploid dan HG pada cabai melalui kultur antera pada media padat telah banyak dilakukan, namun metode ini masih sangat bergantung pada genotipe, khususnya spesifik untuk jenis paprika (Sibi et al. 1979; Dumas de Vaulx et al. 1981; Gyulai et al. 2000). Metode kultur antera pada media padat ini dilaporkan tidak responsif pada kultivar cabai besar dan bahkan beberapa genotipe paprika (Qin & Rotino 1993, Ltifi & Wenzel 1994).

Baru-baru ini Supena et al. (2006a) berhasil mengembangkan prosedur untuk memproduksi tanaman HG varietas lokal cabai Indonesia dengan menggunakan metode kultur sebar-mikrospora (KSM). Prosedur ini menggunakan antera yang dikulturkan pada media dua lapis, yaitu media cair di atas media padat. Selanjutnya dalam masa inkubasi, antera akan membuka secara normal dan mikrosporanya tersebar ke media. Mikrospora ini kemudian akan berkembang menjadi embrio, dan setelah dikecambahkan dan dipindahtanamkan akan menjadi tanaman utuh. Prosedur KSM ini sangat potensial digunakan sebagai langkah awal untuk mengembangkan cabai varietas hibrida berbasis kultivar lokal yang ada di Indonesia maupun dicobakan pada spesies lain pada genus Capsicum.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari responsivitas dan kapasitas embriogenesis mikrospora beberapa genotipe cabai dari spesies Capsicum annuum L. maupun spesies Capsicum frutescens L. pada kondisi lokal di Bogor dengan menerapkan prosedur KSM yang dikembangkan Supena et al. (2006a).

WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2006 sampai dengan Juni 2007, bertempat di Laboratorium Biologi Seluler dan Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor.

BAHAN DAN METODEBahan Tanaman dan Sumber Antera

Genotipe cabai yang digunakan adalah: cabai besar Tanjung-2 dan cabai keriting Big Chili yang termasuk spesies C. annuum; cabai rawit tipe hijau Bara dan cabai rawit tipe putih Hot chili yang termasuk spesies C. frutescens, serta cabai besar HG Galaxy sebagai kontrol atau genotipe model. Pertanaman cabai dan pemeliharaannya dilakukan pada lahan terbuka. Pengamatan Morfologi Kuncup Bunga dan Antera Serta Perkembangan Mikrospora

Pengamatan untuk menentukan tahapan perkembangan mikrospora dilakukan pada tanaman model Galaxy, yang selanjutnya digunakan sebagai standar pada penelitian ini. Bunga cabai dikelompokan menjadi enam tahap perkembangan berdasarkan morfologi kuncup bunga dan area warna ungu pada antera. Mikrospora diisolasi dari masing-masing antera kelompok kuncup bunga untuk selanjutnya kromosom inti mikrospora diwarnai dengan 4’,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI). Stadium perkembangan mikrospora diamati dibawah mikroskop fluoresens Nikon Eclipse E-600 dengan filter UV.Kultur Sebar-Mikrospora Antera

Media. Media yang digunakan adalah media dua lapis (Supena et al. 2006a), yaitu lapisan bawah berupa media padat yang mengandung komponen Nitsch (Nitsch & Nitsch 1969) dan maltosa 20 g/l dengan penambahan arang aktif 10 g/l, dan agar gelrite 2 g/l. Sedangkan pada lapisan atas berupa media cair dengan komponen sama seperti pada media padat, kecuali tanpa arang aktif dan agar. Untuk mengatasi kontaminasi digunakan kombinasi antibiotik rifampisin (10 mg/l) dan timentin (400 mg/l).

Isolasi Antera. Kuncup bunga yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah dengan antera yang mengandung lebih dari 50% mikrospora pada stadium uninukleat akhir (Supena et al. 2006a). Karakterisasi untuk stadia ini adalah adanya warna ungu pada antera, yaitu pada kelompok perkembangan ke-2 dan ke-3. Kuncup bunga diberi praperlakuan suhu dingin berinterval 5-10 0C selama satu hari yang diletakkan pada wadah tertutup yang berisi kertas lembab. Proses isolasi antera dilakukan pada kondisi steril di dalam laminar. Kuncup bunga didesinfeksi

Page 2: makalah_hakiim3

selama 1 menit dalam etanol 70%, kemudian dibilas 2 kali dalam akuades steril. Desinfeksi dilanjutkan dalam NaOCl 2% selama 15 menit dengan penambahan Tween-20 0.05% (v/v), kemudian dibilas 3 kali dalam akuades secara bertahap selama 1 menit, 5 menit, dan terakhir minimal 10 menit. Proses isolasi antera dari kuncup bunga yang sudah disterilisasi dengan cara mengelupas kelopak dan mahkota serta melepaskan filamennya.

Inkubasi dan Produksi Embrio. Hasil isolasi antera dikulturkan dalam sistem media dua lapis dan diinkubasi pada suhu dingin berinterval 6-110 C selama seminggu pertama kultur, selanjutnya dipindahkan pada suhu 25-280 C dan selalu dalam kondisi gelap. Embrio yang terbentuk dalam masa inkubasi dipanen pada umur 7-8 minggu kultur untuk selanjutnya dikecambahkan.Perkecambahan dan Pertumbuhan Tanaman

Embrio dikecambahkan dalam medium yang mengandung elemen MS, sukrosa 20 g/l dan 6-benzylaminopurin (BA) 0.1 M, dipadatkan dengan gelrite 2 g/l. Kultur dilakukan pada botol kultur berdiameter 6 cm dan diinkubasi pada suhu 25-280 C dengan pencahayaan selama 16 jam. Setelah tiga sampai empat minggu bibit yang telah berdaun 4-5 buah dan memiliki perakaran yang baik dipindahkan ke dalam botol berdiameter 8 cm dan tinggi 11 cm dengan media campuran tanah, kasting dan arang sekam (1:1:1) setebal 4-5 cm yang dilembabkan dengan air, kemudian botol di-seal untuk menjaga kelembaban dan dibuka secara bertahap. Tanaman pada stadium berdaun 5-6 buah siap diaklimatisasikan dan ditanam dalam pot di rumah kaca.Pengamatan dan Analisis Data

Perkembangan kultur diamati setiap minggu. Setelah kultur berumur 7-8 minggu, embrio yang terbentuk diamati dan dihitung. Embrio dikelompokkan ke dalam dua katagori, yaitu embrio lengkap dan embrio tidak lengkap. Embrio lengkap merupakan embrio yang berkembang baik, memiliki radikula, hipokotil, kotiledon, epikotil dan plumula yang akan berkembang menjadi tanaman yang tumbuh normal. Sedangkan embrio tidak lengkap adalah embrio yang tidak mempunyai kotiledon.

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan metode analisis sidik ragam dan uji beda nyata terkecil (BNT) dengan program komputer SPSS 14.0.

HASIL

Hubungan Morfologi Kuncup Bunga dan Antera dengan Stadia MikrosporaHubungan perkembangan stadia mikrospora dengan ciri morfologi kuncup bunga dan warna antera pada

tanaman model haploid ganda Galaxy disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Fase stadia uninukleat akhir telah didapati pada kelompok perkembangan ke-1 (48.5 %), persentase ini semakin meningkat pada perkembangan ke-2 (60.1 %) dan ke-3 (66.7 %), dan kemudian menurun pada perkembangan ke-4 (42.8 %). Stadia uninukleat akhir tidak didapati lagi pada perkembangan ke-5 dan ke-6 karena pada kelompok ini mikrospora telah menjadi polen dan mikrospora tidak berinti.

Tabel 1 Tahapan perkembangan mikrospora pada beberapa fase perkembangan kuncup bunga tanaman cabai besar HG Galaxy

Fase perkembangan kuncup bunga

Warna ungu pada antera dari beberapa perkembangan kuncup bunga

Persentase tahapan perkembangan mikrospora

EU MU LU EB MB G+V TI

1 Belum ada 6.0 45.5 48.5 0 0 0 02 Hanya tipis pada bagian ujung 14.2 25.7 60.1 0 0 0 03 Sekitar ¼ panjang antera 0 33.3 66.7 0 0 0 04 Seluruh antera berwarna ungu 0 0 42.8 28.6 28.6 0 05 Warna ungu memucat pada kuncup

dengan mahkota yang akan mekar0 0 0 0 0 68.0 32.0

6 Warna ungu memucat pada kuncup yang baru mekar

0 0 0 0 0 35.0 65.0

Keterangan : EU: uninukleat awal, MU: uninukleat pertengahan, LU: uninukleat akhir, EB: binukleat awal, MB: binukleat pertengahan, G+V: polen dengan inti generatif dan vegetatif, TI: Tidak berinti (mikrospora mati)

Gambar 1 Morfologi bunga cabai HG Galaxy pada beberapa kelompok perkembangan. Bar: 5 mm

4 65321

Page 3: makalah_hakiim3

Embriogenesis mikrosporaEmbriogenesis mikrospora melalui metode KSM berhasil dilakukan pada tanaman cabai kontrol serta tiga dari

empat genotipe tanaman cabai yang dicobakan dalam penelitian ini. Analisis statistik terhadap data kultur memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh genotipe terhadap respon embriogenesis dan vitalitas kultur. Respon embriogenesis terbesar dimiliki Tanjung-2 sebesar 58 % yang tidak berbeda nyata dengan Galaxy (53%) dan Big Chili (44%), dan nilai respon terkecil pada Hot Chili sebesar 19 % dan Bara yang tidak respon sama sekali (0%) (Tabel 2). Dalam hal vitalitas kultur (ketahanan terhadap kontaminasi) kontrol lebih tahan dibandingkan ke empat genotipe lainya, dimana 60 % dari jumlah petri yang dikulturkan terbebas dari kontaminasi, sebaliknya nilai vitalitas kultur terendah dimiliki oleh cabai keriting Big Chili dan cabai rawit Bara masing-masing sebesar 26 % dan 24 % (Tabel 2).

Tabel 2 Penampilan beberapa genotipe cabai (Capsicum spp.) untuk vitalitas, responsivitas dan kapasitas embriogenesis mikrosporanya

GenotipeJumlah total kultur (petri)

Kultur tidak kontaminasi 1

(%)

Kultur terjadi respon embriogenesis 2

(%)

Rata-rata embrio per kuncup

Rata-rata embrio lengkap per kuncup

embrio lengkap (%)

Galaxy 103 60 a 53 a 7.1 4.1 57.5Tanjung-2 94 48 ab 58 ab 3.5 2.2 64.4Big Chili 68 26 b 44 ab 1.9 0.6 33.3Hot Chili 66 24 b 19 bc 1.3 0.3 25.0Bara 79 42 ab 0 c 0 0 0

keterangan: 1= dari jumlah petri awal, 2 = dari jumlah petri tidak kontaminasi. Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %

Jumlah embrio per petri responsif yang dihasilkan terbesar pada Galaxy yaitu 7.1 embrio dan yang terkecil pada Hot Chili hanya 1.3 embrio (Tabel 2). Hasil ini mengambarkan bahwa genotipe berpengaruh juga terhadap kemampuan produksi embrio. Dalam hal kualitas embrio yang dihasilkan, yang diperlihatkan melalui persentase embrio lengkap (Gambar 2a-c), ternyata kultivar Tanjung-2 (64.4 %) tidak kalah dibanding Galaxy (57.5 %). Tanaman hasil metode KSM juga berhasil didapatkan pada cabai kultivar Tanjung-2 (Gambar 2e). Hasil pengamatan jumlah kloroplas dalam sel penjaga daun didapatkan rata-rata jumlah kloroplas sebesar 10.2.

Gambar 2 Embriogenesis mikrospora beberapa genotipe cabai (Capsicum spp.) dalam metode KSM dan tanaman yang dihasilkan : a. Embrio pada Galaxy; b. Embrio dan kecambah pada Tanjung-2; c. Embrio pada Big Chili; d. Embrio pada Hot Chili; e. Tanaman berasal dari hasil KSM cabai varitas Tanjung-2. Karakter-karakter embrio: el (embrio lengkap); et (embrio tidak lengkap); ek (embrio yang telah berkecambah) Bar: a-d = 3 mm, e = 4 cm

e

el

et

ek

b

et

d

a

el

et

et

c

el

Page 4: makalah_hakiim3

PEMBAHASAN

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan induksi androgenesis melalui kultur antera ataupun isolasi mikrospora adalah penggunaan stadia perkembangan mikrospora yang tepat. Untuk cabai, stadia kuncup bunga atau antera yang tepat adalah yang mengandung lebih dari 50 % mikrosporanya berada pada tahap uninukleat akhir (Supena et al. 2006a). Hasil pengamatan pada HG Galaxy, ciri morfologi untuk stadia populasi mikrospora tersebut adalah ketika panjang mahkotanya sama dengan atau sedikit lebih panjang dari kelopaknya, dan ketika warna antera berwarna hijau dengan terdapat warna keunguan pada ujungnya. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Supena et al. (2006a) dan bahkan sepertinya berlaku umum untuk kultivar cabai besar (Sibi et al. 1979, Andrezejewski & Mol 1985, Dolcet-Sanjuan et al. 1997, Tipirdamaz & Ozkum Ciner 2001, Kim et al. 2004, Supena et al. 2006a). Kedua penciri ini digunakan juga untuk genotipe cabai lainya dalam penelitian ini, yaitu tipe cabai keriting ataupun untuk spesies yang berbeda C. frutescens.

Pengaruh genotipe terhadap kapasitas embriogenesis mikrospora (produksi embrio per kuncup bunga dan pembentukan embrio lengkap) berbeda untuk setiap kelompok genotipe cabai dan atau antar tipe dalam spesies. Spesies C. annuum yang diwakili tipe cabai besar (Galaxy dan Tanjung-2) dan tipe cabai keriting (Big Chili) memiliki kapasitas yang berbeda, dan kedua tipe tersebut berbeda terhadap spesies C. frutescens yang diwakili oleh tipe cabai rawit putih (Hot Chili) dan Bara. Secara umum terlihat bahwa responsivitas cabai besar lebih baik dibandingkan cabai keriting, dan cabai keriting lebih baik dari cabai rawit. Pada kultivar Tanjung-2, berhasil didapatkan tanaman haploid dari perkembangan embrio yang dihasilkan melalui metode KSM, tanaman ini memiliki rata-rata jumlah kloroplas sebesar 10.2, dimana jumlah ini mendekati nilai yang diukur oleh Supena et al. (2006b) yaitu sebesar 9.0 untuk tanaman haploid dan 17.0 untuk tanaman haploid ganda atau diplod cabai kultivar Galaxy.

Ketahanan terhadap kontaminasi merupakan syarat utama keberhasilan kultur in vitro. Kontaminasi merupakan masalah utama pada pelaksanaan kultur di Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan tingkat keragaman mikroorganisme yang tinggi (Supena et al. 2006b). Pada penelitian ini kontaminasi sangat mempengaruhi kultur dengan menyebabkan terkolonisasinya antera maupun media oleh bakteri yang berakibat terhadap terhambatnya bahkan terhentinya pertumbuhan mikrospora dalam kultur. Semua genotipe yang dicobakan mengalami kontaminasi dengan tingkat yang berbeda-beda, dan tingkat kontaminasi terbesar mencapai 76 % pada genotipe Hot Chili. Penggunaan lahan terbuka sebagai tempat tanam dan dugaan adanya bakteri endofitik merupakan alasan mengapa masih terjadi tingkat kontaminasi yang cukup tinggi dalam penelitian ini. Penggunaan kombinasi antibiotik Rifampisin (10 mg/l) dan Timentin (400 mg/l) belum sepenuhnya mampu mengatasi kontaminasi kultur, dimana menurut laporan Supena et al. (2006b) kombinasi antibiotik Rifampisin (10 mg/) dan Timentin (200 mg/l) sudah mampu menekan kontaminasi hingga 82 % pada kultur antera cabai yang ditumbuhkan di rumah kaca.

SIMPULAN Untuk mendapatkan populasi mikrospora yang mengandung lebih dari 50 % nya berada pada tahap uninukleat

akhir adalah dari antera yang berwarna hijau dengan warna keunguan pada ujungnya yang diperoleh dari kuncup bunga dengan ciri panjang mahkotanya sama dengan atau sedikit lebih panjang dari kelopaknya. Induksi androgenesis berhasil dilakukan terhadap tiga kultivar anggota C. annuum dan satu kultivar anggota C. frutescens. Responsivitas terbaik diperlihatkan oleh cabai besar Tanjung-2 dan Galaxy (kontrol) masing-masing sebesar 58 % dan 53 %, dengan jumlah embrio lengkap masing-masing 2.2 dan 4.1 embrio per kuncup bunga. Secara umum responsivitas cabai besar lebih baik dibandingkan cabai keriting, dan cabai keriting lebih baik dari cabai rawit.

DAFTAR PUSTAKADumas de Vaulx R, Chambonnet D, Pochard E. 1981. Culture in vitro d’anthères du piment (Capsicum annuum L.):

amélioration des taux d’obtention de plantes chez différents génotypes par des traitements à +35 0C. Agronomie 1: 859-864. (Dalam bahasa Perancis dilengkapi abstrak bahasa Inggris)

Dolcet-Sanjuan R, Claveria E, Huerta A. 1997. Androgenesis in Capsicum annuum L.-Effects of carbohydrate and carbon dioxide enrichment. J Amer Soc Hort Sci 122: 468-475.

Gyulai G, Gémesné JA, Sági ZS, Venezel G, Pintér P, Kristóf Z, Törjék O, Heszkey I, Bottka S, Kriss J, Zatykó L. 2000. Doubled haploid development and PCR-anlaysis of F1 hybrid derived DH-R2 paprika (Capsicum annuum L.) lines. Plant Physiol 156:168-174.

Ltifi A, Wenzel G. 1994. Anther culture of hot and sweet pepper (Capsicum annuum L.): Influence of genotype and plant growth temperature. Capsicum and Eggplant Nwsl 13: 74-77.

Nitsch JP, Nitsch C. 1969. Haploid plants from pollen grains. Science 163: 85-87.Ochoa-Alejo N, Ramirez-Malagon R. 2001. In vitro chili pepper biotechnology. In Vitro Cell Dev Biol-Plant 37:701-

729.Powell W. 1990. Environmental and Genetical Aspects of Pollen Embryogenesis. Di dalam : Bajaj YPS, editor.

Biotechnology in Agriculture and Forestry, Vol. 12 Haploids in Crop Improvement I. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag. hlm. 45-65.

Qin X, Rotino GL. 1993. Anther culture of several sweet and hot pepper genotypes. Capsicum and Eggplant Nwsl 12: 59-62.

Sibi M, Dumas de Vaulk R, Chambonnet D. 1979. Obtention de plantes haploïdes par androgenèse in vitro chez le piment (Capsicum annuum L.). Ann Amelior Plantes 29:583-606. (Dalam bahasa Perancis dilengkapi abstrak bahasa Inggris)

Page 5: makalah_hakiim3

Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E, Custers JBM. 2006a. Succesful development of a shed-microspore culture protocol for double haploid production in Indonesian hot pepper (Capsicum annuum L.). Plant Cells Rep 25:1-10.

Supena EDJ, Muswita W, Suharsono S, Custers JBM. 2006b. Evaluation of crucial factors for implementing shed-microspore culture of Indonesian hot pepper (Capsicum annuum L.) cultivars. Scientia Horticulturae 107: 226-232.