Makalah UU Pilkada Copy

27
Warisan Wakil Rakyat: Kontroversi UU MD3 dan RUU Pilkada 1. Pendahuluan Tak banyak hal yang dapat dibanggakan dari Wakil Rakyat (baca DPR RI) Periode 2009-2014 ini. Ini dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi Wakil Rakyat. Dari tiga fungsi utama wakil rakyat yaitu fungsi legislasi[3], fungsi pengawasan[4] dan fungsi anggaran[5], semuanya bermasalah baik dari aspek kuantitas penyelesaian target maupun kualitasnya. Tak luput juga perilaku Anggota DPR yang buruk, seperti korupsi, arogan, dan lain-lain menjadikan DPR lembaga tak berwibawa. Inilah realitas ketatanegaraan dan politik Bangsa Indonesia, sebagai generasi muda kita harus tetap optimis dapat mengubahnya menjadi yang lebih baik. 1. Kontroversi Dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3 B.1 Pengantar UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) ini, diketok palu untuk disepakati menjadi undang-undang satu hari menjelang Pilpres 2014, tepatnya hari Selasa 8 Juli 2014. Dapat dibayangkan waktu itu, energi publik sedang tersedot pada pelaksanaan Pilpres 2014. Akibatnya banyak hal yang luput dari pengawasan publik terhadap revisi UU No. 27 Tahun 2009 tersebut. Karena itu, tidak heran ada berbagai masalah dalam UU MD3 yang baru ini. Saat ini, setidaknya ada 5 kelompok yang mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, antaralain: Penggugat Point Gugatan PDIP[6] Pimpinan DPR dan alat kelengkapan dipilih anggota DPR secara musywarah atau voting Koalisi Masyarakat Sipil[7] Penyidikan anggota DPR terkait pidana umum harus mendapat persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan Hak Anggota DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan Dapil Penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai salah satu alat kelengkapan DPR. Pegiat dan LSM Perempuan[8] Tidak ada jaminan keterwakilan perempuan dalam kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR. Boyamin Saiman dan Sutrisno[9] Pimpinan DPRD langsung ditetapkan berdasarkan peringkat perolehan suara parpol dalam pemilu legislatif.

description

UU PILKADA

Transcript of Makalah UU Pilkada Copy

Page 1: Makalah UU Pilkada Copy

Warisan Wakil Rakyat: Kontroversi UU MD3 dan RUU Pilkada

 1. Pendahuluan

Tak banyak hal yang dapat dibanggakan dari Wakil Rakyat (baca DPR RI) Periode

2009-2014 ini. Ini dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi Wakil Rakyat. Dari tiga

fungsi utama wakil rakyat yaitu fungsi legislasi[3], fungsi pengawasan[4] dan fungsi

anggaran[5], semuanya bermasalah baik dari aspek kuantitas penyelesaian target

maupun kualitasnya. Tak luput juga perilaku Anggota DPR yang buruk, seperti

korupsi, arogan, dan lain-lain menjadikan DPR lembaga tak berwibawa. Inilah

realitas ketatanegaraan dan politik Bangsa Indonesia, sebagai generasi muda kita

harus tetap optimis dapat mengubahnya menjadi yang lebih baik.

 

1. Kontroversi Dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3

B.1 Pengantar

UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) ini, diketok palu untuk

disepakati menjadi undang-undang satu hari menjelang Pilpres 2014, tepatnya hari

Selasa 8 Juli 2014. Dapat dibayangkan waktu itu, energi publik sedang tersedot

pada pelaksanaan Pilpres 2014. Akibatnya banyak hal yang luput dari pengawasan

publik terhadap revisi UU No. 27 Tahun 2009 tersebut. Karena itu, tidak heran ada

berbagai masalah dalam UU MD3 yang baru ini. Saat ini, setidaknya ada 5

kelompok yang mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, antaralain:

Penggugat Point Gugatan

PDIP[6]Pimpinan DPR dan alat kelengkapan dipilih anggota DPR secara musywarah atau voting

Koalisi Masyarakat Sipil[7]

Penyidikan anggota DPR terkait pidana umum harus mendapat persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan DewanHak Anggota DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan DapilPenghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai salah satu alat kelengkapan DPR.

Pegiat dan LSM Perempuan[8]

Tidak ada jaminan keterwakilan perempuan dalam kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR.

Boyamin Saiman dan Sutrisno[9]

Pimpinan DPRD langsung ditetapkan berdasarkan peringkat perolehan suara parpol dalam pemilu legislatif.

DPD[10]Tidak dilibatkannnya DPD dalam proses pembahasan RUU MD3

 

Page 2: Makalah UU Pilkada Copy

Banyaknya pihak yang mengajukan judicial review terhadap UU MD3 yang baru ini,

menjadi salah satu indikasi masih banyak permasalahan yang belum tuntas dalam

pembahasan uu tersebut. Secara sosiologis-politis, hal ini dapat dipahami karena

UU MD3 ini mengatur pembagian kekuasaan khususnya partai politik yang masuk

ke parlemen. Karenanya benturan kepentingan akan sangat terasa. Konfigurasi

politik yang ada yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Pendukung Jokowi-JK

turut memberikan andil terhadap hasil pembahasan UU MD3 ini.

B.2 Latar Belakang Pembentukan UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3

UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama) didesain untuk memposisikan

parlemen (MPR, DPR, DPD dan DPRD) sebagai lembaga legislatif yang kokoh dan

berwibawa. Namun pada taraf implementasinya, dipandang banyak mengandung

kelemahan. Parlemen (khususnya DPR), selama 2009-2014 ini menjadi salah satu

lembaga yang paling disorot dan diberi cap “buruk”. Baik dalam kinerjanya maupun

dalam tingkah lakunya (banyak yang terjerat korupsi, ada pula yang melakukan

perbuatan tercela). Tak sedikit pula yang mengujinya di Mahkamah Konstitusi.

Karena itu tak mengherankan, dari tahun 2010 (padahal usianya baru 2 tahun),

telah dimasukkan RUU Revisi ttg UU 28 Tahun 2009 dalam Prolegnas 2011

(Prolegnas Nomor 26), tahun 2012 (Prolegnas Nomor 40 ) , tahun 2013 (Prolegnas

Nomor 48), dan tahun 2014 (Prolegnas Nomor 37) untuk dilakukan perubahan.

Secara umum, kita bisa melihat nuansa kebatinan Anggota DPR yang merasa

prihatin terhadap kondisi DPR yang “terinjak-injak” menjadi bahan pergunjingan

dimedia massa dan masyarakat. Disebut sarang koruptor, tak aspiratif, dan

sebagainya. Karena sebagai pemilik kewenangan membentuk undang-undang,

mereka pun bersepakat merubah UU MD3 agar mampu keluar dari gunjingan

masyarakat tersebut.

Dalam pengantar pembahasan Revisi UU MD3 ini, Ketua Pansus, Beni K. Harman,

misalnya menyebut “Ada keinginan dari Dewan untuk mereformasi parlemen, agar

bisa kuat, akuntabel, dan kedap korupsi.

Inilah desain besar dari parlemen ke depan”, Kemudian Wakil Ketua Pansus, Ahmad

Yani menyebut “latar belakang perubahan UU MD3 di antaranya belum tertatanya

alat kelengkapan dewan di DPR. Selain itu relasi antarlembaga parlemen terutama

DPR dan DPD belum tertata dengan baik. Kesekjenan DPR juga perlu diperkuat lewat

perubahan UU MD3 ini. Argumentasi lainnya dari perubahan ini adalah MPR dan DPD

selama ini dalam menjalankan kewenangannya masih terjebak pada seremonial

kenegaraan saja. Lalu, kedudukan DPD juga masih lemah, karena

menjadi bagian dari birokrasi Pemda.”

Berikut ini ulasan terkait isu-isu yang dipermasalahkan sesuai dengan yang menjadi

fokus diskusi.

Isu Hak untuk Mengusulkan dan Memperjuangkan Program Aspirasi Pembangunan Daerah Pemilihan Oleh Anggota DPR

Page 3: Makalah UU Pilkada Copy

Hak ini, terdapat dalam Pasal 80 huruf (j) bahwa Anggota DPR berhak mengusulkan

dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihannya. Hak ini muncul

dengan berbagai alasan, yaitu

Sistem pemilu legislatif yang memilih langsung Anggota DPR, membuat Caleg banyak mengumbar janji, sehingga harus dibukakan kanal terhadap pelaksanaan janji tersebut. Sehingga hak ini sebagai respon Anggota DPR yang sering ditagih konstituennya di daerah dalam memperjuangkan progam pembangunan daerah.

Sebagai respon terhadap klaim eksekutif baik pusat maupun daerah terkait program pembangunan daerah, sehingga Anggota DPR sering dianggap tidak dapat bekerja dan merealisasikan pembangunan daerah.

Karena itu, kita dapat melihat bahwa hak ini merupakan hak yang wajar muncul

akibat sistem pemilu dan budaya masyarakat ketika bertemu pejabat akan menagih

kemampuannya memperjuangkan pembangunan daerahnya. Apalagi, berdasarkan

studi banding dengan parlemen di Amerika Serikat, Anggota Parlemennya memiliki

anggaran khusus untuk program pembangunan.

Hak memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihan ini juga

merupakan implikasi sumpah Anggota DPR yang tertuang dalam Pasal 78 UU 17

Tahun 2014 ttg MD3:

 

 

“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua

Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai

dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-

sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan

bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;

bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk

mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.”

 

 

 

 

 

Page 4: Makalah UU Pilkada Copy

 

 

Hal memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili tersebut juga merupakan

kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 81 khususnya huruf (e)[11], (i)[12] dan

(j)[13]. Karena itu, secara sistematis dengan keberadaan sumpah dan kewajiban

memperjuangkan aspirasi rakyat, maka juga diberikan hak mengusulkan dan

memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selanjutnya, hal tersebut diatur dalam Tata Tertib DPR yang disahkan dalam

Paripurna DPR Selasa, 16 September 2014. Dalam Pasal 195 disebutkan:

 

Anggota berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional dalam APBN.Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari inisiatif sendiri, pemerintah daerah, atau aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Anggota diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari tiap-tiap daerah pemilihannya selama 1 (satu) menit atau setara 1 (satu) lembar kertas A4 pada setiap rapat paripurna DPR.Paling lambat (1) hari sebelum rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan, Anggota mendaftarkan usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Sekretariat Jenderal DPR.Pimpinan DPR meneruskan usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada komisi terkait untuk dibahas dengan mitra kerja.Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada Badan Anggaran untuk disinkronisasikan.Badan Anggaran menyampaikan hasil sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada komisi terkait dan selanjutnya komisi terkait memberitahukan kepada Anggota yang mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihannya.Anggota yang bersangkutan memberitahukan tindak lanjut usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada konstituen di daerah pemilihannya.

 

Page 5: Makalah UU Pilkada Copy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Melihat hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah

tersebut, beserta mekanismenya, maka ada sisi positif dan negatifnya. Sisi

positifnya adalah terjalinnya hubungan yang erat antara wakil rakyat dengan rakyat

di daerah pemilihannya, karena setiap aspirasi dapat diperjuangkan menjadi

program pemerintah. Namun sisi negatifnya adalah (1) tidak ada standar yang

dipergunakan Anggota DPR untuk setiap program yang diusulkan, (2) sangat

mungkin terjadi jual beli program termasuk pungli terhadap masyarakat yang

mengajukan program. Ujung-ujungnya adalah hak ini bisa berujung pada tindakan

koruptif yang tidak sehat bagi pembangunan bangsa.

Dari aspek hukum tata negara yaitu teori pemisahan kekuasaan dalam 3 cabang

(eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah dipisahkan masing-masing kewenangan.

Maka kewenangan membentuk program pembangunan adalah kewenangan

eksekutif bukan legislatif. Karena itu hak mengusulkan program ini dapat

dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan legislatif mencampuri urusan kekuasaan

eksekutif.

Parlemen dalam hal ini DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu legislasi, pengawasan

dan anggaran. Apabila DPR dengan fungsi anggarannya (memberikan persetujuan

atau tidak memberikan persetujuan APBN), kemudian dijadikan pertimbangan atau

bahkan menekan eksekutif sebagai bargaining position untuk mengakomodir usul

program pembangunan dapil dari Anggota DPR, maka dapat disebut juga sebagai

penyalah gunaan kewenangan. Ini karena, hak budget parlemen adalah hak untuk

memberikan persetujuan atau memberikan persetujuan terhadap rasionalitas APBN

yang diajukan pemerintah,[14] bukan karena belum diakomodirnya usulan program

pembangunan dari Anggota DPR. Selayaknya, memperjuangkan program

Page 6: Makalah UU Pilkada Copy

pembangunan itu di eksekutif melalui Musyawarah Rencana Pembangunan

(Musrenbang) dari tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional.

Kekuasaan DPR harusnya dibatasi pada koridor-koridor pemisahan kekuasaan,

sehingga dapat dihindarkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.

 

 

 

Mengenai Imunitas Hukum Bagi Anggota DPR

Pasal 224

(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,

pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun

tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan

fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan,

kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena

hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.

(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan,

dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar

rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal

anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam

rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia

negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan

persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan

atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)

Hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan

tersebut.

(7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan

persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.

Page 7: Makalah UU Pilkada Copy

 

 

Terkait dengan Imunitas ini, dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3, diatur dalam

Bab II Paragraf 6, Pasal 224 yang terdiri dari 7 Ayat:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini, maka

secara rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar. Karena, selaku

anggota parlemen yang tugas utama berbicara (parle = bicara), maka selayaknya

tugas berbicara tersebut dilindungi undang-undang. Titik tegasnya adalah

berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional, sehingga

ketika membuat pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan

kebebasan, dan tidak boleh sembarangan untuk diproses hukum. Dapat

Page 8: Makalah UU Pilkada Copy

dibayangkan apabila dalam hal pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras

mengkritik Presiden / Wakil Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century,

kemudian dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses

secara hukum.

 

Berbeda halnya apabila kita melihat Bagian Keenam Belas tentang Penyidikan Pasal

245:

Pasal 245

(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota

DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis

dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

 

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari

terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan

keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota

DPR:

tertangkap tangan melakukan tindak pidana;disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; ataudisangka melakukan tindak pidana khusus.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 9: Makalah UU Pilkada Copy

 

 

Inilah yang menjadi permasalahan. Dan ini bukan terkait dengan imunitas,

melainkan perlakuan khusus terhadap Anggota DPR dalam hal diduga melakukan

tindak pidana. Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan dalam penyidikan

harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Disini

terdapat perlakuan istimewa yang dianggap bertentangan dengan prinsip

hukum “equalitiy before the law”/ persamaan dihadapan hukum. Untuk memahami

hal ini, maka perlu kiranya membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum

pidana.

Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle) merupakan

salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut pula dalam

UUD 1945. Asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat

perlindungan yang sama dalam hukum – tidak boleh ada diskriminasi dalam

perlindungan hukum ini”. Prof. Mardjono[15] mengatakan kata kuncinya adalah

“perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa

persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”. Perbedaan kata kunci ini

dapat membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.

Dengan kata-kunci “perlindungan”, maka yang dituju adalah perintah kepada

negara/pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya

(fairness) kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat

majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna

perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan

dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan

rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan

kelompok tertentu.

Namun, kalau dipergunakan kata-kunci “perlakuan”, maka penafsiran yang

berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah perintah kepada

negara/pemerintah untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara

warganya. Dan dalam masyarakat yang terstruktur dalam “kelas”, maka ini

mengandung makna jangan memberi perlakuan istimewa kepada anggota kelas

tertentu. Khususnya dalam beberapa kasus bahwa “kelas pejabat Negara” dan/atau

“kelas orang kaya” mendapat perlakuan khusus/istimewa dalam proses peradilan

pidana. Diskriminasi yang dilarang di sini adalah menguntungkan kelas tertentu.

Karena itu, kita Prof. Mardjono menganalisis terhadap persoalan Pasal 245 dalam

ayat (1) mengecualikan Anggota DPR dari prosedur KUHAP dalam proses penyidikan,

karena penyidik memerlukan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan

Dewan(MKD). Ayat-ayat berikutnya merupakan “tata-cara” melaksanakan “hak-

istimewa” anggota DPR itu.

Page 10: Makalah UU Pilkada Copy

Apakah ini bertentangan dengan asas persamaan dalam hukum? Dijawab  “Ya”,

kalau asas tersebut ditafsirkan sebagai “perlakuan”, dan pasal ini ditafsirkan

sebagai diskriminasi yang “menguntungkan” anggota DPR. Tetapi dapat juga

dijawab “Tidak”, kalau asas tersebut ditafsirkan “perlindungan”, karena tidak ada

diskriminasi yang“merugikan” kelompok non-anggota DPR.

Lebih lanjut, Prof Mardjono mengatakan:

“Suara “protes” mengkaitkan ini juga dengan kemungkinan tersangka

“menghilangkan barang-bukti”, menghalangi penyidikan, terlalu dicari-cari sebagai

alasan. Pendapat yang mengatakan ini bertentangan dengan asas peradilan “cepat,

sederhana, biaya ringan” juga, menurut saya, tidak tepat. Karena asas terakhir ini

ditujukan untuk menguntungkan/melindungi seorang tersangka, agar penyidik

jangan “mengulur-waktu” perkara.

Dengan Pasal 245, memang tersangka/anggota DPR lebih beruntung, karena

kasusnya akan dinilai dahulu oleh MKD (apakah cukup ditangani secara internal,

melalui Kode Etik, ataukah memang beralasan ditangani oleh Penyidik). Pada

dasarnya setiap Organisasi Profesi (Dokter, Advokat, Akuntan,Psikolog, dan lain-

lain) mengatur demikian untuk anggota profesinya. Mengapa kita harus curiga

untuk Anggota DPR?

Pertanyaan sekarang adalah apakah “hak istimewa” (prerogative right) ini perlu

atau pantas diberikan kepada anggota DPR. Menurut saya, kalau kita mengakui

bahwa anggota DPR adalah wakil-wakil rakyat yang “mempersonifikasikan”

kedaulatan rakyat, maka “perlakuan istimewa” ini, adalah sudah sepantasnya kita

berikan. Kita menghormati lembaga DPR dan menurut saya kita juga tidak ingin

anggota-anggotanya dapat begitu saja dipangil oleh Penyidik untuk pelangaran

hukum yang tidak-serius. Dan bukankah ayat (3)

sudah menyempitkan/membatasi hak istimewa ini, dengan tiga perkecualian atas

hak-istimewa dalam ayat (1)?

 

Berbeda halnya dengan pendapat dari Koalisi Masyarakat Sipil yang mengajukan

protes terhadap keberadaan Pasal 245 ini, karena menganggap adanya “perlakuan”

yang berbeda kepada Anggota DPR dalam penyidikan tindak pidana. Setelah

disahkan menjadi undang-undang, Koaliasi Masyarakat Sipil pun

mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dengan Nomor Perkara 76

dan 83/PUU-XII/2014. Dalam pandangannya, Koalisi Masyarakat Sipil

mempermasalahkan keberadaan Pasal 245 ini, dengan mengatakan bertentangan

dengan prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bahkan

sudah ada Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 yang menyebutkan keberadaan Pasal

yang mengharuskan izin dari Presiden dalam Proses Penyidikan (Kepala Daerah),

Page 11: Makalah UU Pilkada Copy

menghambat proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem

penegakan keadilan.

Dengan melihat analisis-analisis tersebut, maka kita dapat melihat dua pemahaman

yang berbeda dalam melihat prinsip persamaan dihadapan hukum. Secara

psikologis, sebenarnya kita bisa melihat dan merasakan, mengapa Anggota DPR

memberikan “perlindungan” atau “perlakuan” khusus untuk mereka, yaitu agar

tidak mudah diproses pidana dalam berbagai kasus pidana. Dari aspek sikap, masih

banyak anggota DPR yang bertindak sok berkuasa sehingga terkadang berlaku

seenaknya. Doktrin “power tend to corrupt, absolutely power corrupt absolutely”

dari Lord Acton, kiranya dapat menjadi pertimbangan kemungkinan

penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu secara pribadi saya melihat Pasal 245 ini

potensial disalahgunakan DPR dan Anggotanya untuk berlaku seenaknya, sehingga

layak untuk didukung dihapuskan.

 

Penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN)

Pada UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama), BAKN merupakan salah

satu alat kelengkapan DPR (diatur dalam Pasal 110-116). BAKN bertugas:

1. Melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan DPR;2. Menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi;3. Menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemerikasaan BPK atas

permintaan komisi; dan4. Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan

pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.

Dengan melihat tugas tersebut, maka BAKN dibuat untuk mempertajam fungsi

pengawasan DPR khususnya dalam pengelolaan keuangan negara. Namun,

berdasarkan evaluasi Pansus MD3, dimana ada keinginan besar supaya komisi lebih

berdaya,[16]sehingga BAKN dihapuskan dan memberikan kewenangan lebih

kepada Komisi, yang tersebut dalam Pasal 98 Ayat (3) UU MD3 Baru:

 

(3) Tugas komisi di bidang pengawasan meliputi:

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; danmembahas dan menindaklanjuti usulan DPD.

 

 

 

Page 12: Makalah UU Pilkada Copy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dengan demikian, komisi diberikan tugas untuk memperdalam setiap laporan hasil

pemeriksaan BPK, yang kemudian dijadikan bahan untuk melakukan evaluasi

kinerja pemerintahan. Agar berdaya, maka hasil rapat kerja komisi atau rapat

gabungan dengan pemerintah tersebut bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan

pemerintah.[17] Apabila tidak dilaksanakan, maka komisi dapat mengusulkan

penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak

anggota mengajukan pertanyaan sesuai peraturan perundang-undangan.

[18] Pejabat pemerintah yang tidak menjalankan hasil rapat tersebut dapat

direkomendasikan diberikan sanksi kepada presiden.[19]

Pengaturan mengikatnya hasil rapat kerja komisi tersebut yang menjadi pembeda

dengan yang diatur dalam UU MD3 lama. Hal inilah yang menjadi salah satu

semangat Revisi UU MD3. Karena itu, secara rasional, penghapusan BAKN

dapatlah diterima. Namun demikian, patut untuk terus dipantau dan diawasi,

jangan sampai komisi tidak fokus dalam mempertajam analisis pengelolaan

keuangan negara, akibat dihapuskannya BAKN tersebut. Setiap komisi harus

membentuk Panitia Kerja yang fokus membahas pengelolaan akuntabilitas

keuangan negara untuk kemudian dibawa ke Komisi dan dibahas dalam rapat

pengawasan. Dari aspek badan penunjang keahlian, semestinya dibentuk sebuah

badan yang berisikan pakar dan professional dibawah DPR sebagai Pusat

Pengkajian dan Analisis APBN serta Pengelolaan Akuntabilitas Keuangan Negara,

sebagai contoh di Amerika Serikat mempunyai Congressional Budget Office (CBo).

[20]

 

Turunnya Angka Kuorum Pengambilan Keputusan DPR Dalam Hal Hak Menyatakan Pendapat

Page 13: Makalah UU Pilkada Copy

Turunnya angka kuorum pengambilan keputusan DPR dalam hal Hak Menyatakan

Pendapat (HMP) terdapat dalam Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru sebagai

Perubahan Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama.

Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama

 

Usul sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) menjadi hak menyatakan

pendapat DPR apabila mendapatkan

persetujuan dari rapat paripurna

DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4

(tiga per empat) dari jumlah

anggota DPR dan keputusan diambil

dengan persetujuan paling sedikit

3/4 (tiga per empat) dari jumlah

anggota DPR yang hadir.

Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru

 

Usul sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) menjadi hak menyatakan

pendapat DPR apabila mendapatkan

persetujuan dari rapat paripurna

DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3

(dua per tiga) dari jumlah anggota

DPR dan keputusan diambil dengan

persetujuan paling sedikit 2/3 (dua

per tiga) dari jumlah anggota DPR

yang hadir.

 

Latar belakang turunnya angka kuorum ini adalah pengalaman DPR Periode 2009-

2014 yang kesulitan untuk melanjutkan Hasil Hak Angket Kasus Bail Out Bank

Century (yang menyatakan Bail Out Bank Century tidak dibenarkan dan dinyatakan

telah terjadi pelanggaran pidana) untuk dibawa Hak Menyatakan Pendapat (HMP).

Untuk itu diperlukan penurunan angka kuorum.

Apabila dicermati, dalam Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, disebutkan

“Pengajuan permintaan Dewan perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi

hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah

anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang

dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan

Rakyat”.

Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 inilah yang menjadi acuan, mengingat

untuk proses “impeachment” saja syaratnya 2/3 hadir dan didukung 2/3 yang hadir,

mengapa HMP harus dinaikkan menjadi ¾ hadir dan didukung ¾ yang hadir. Jadi

keberadaan syarat HMP pada UU MD3 lama sebenarnya sudah menyalahi

konstitusi, oleh karena itu juga sudah seharusnya dirubah.

 

Selain isu-isu tersebut, ada beberapa isu lain yang muncul, yaitu[21]:

Pertama, minimnya ruang pengawasan, transparansi dan akuntabilitas

penyelenggaraan DPR dengan menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi

Page 14: Makalah UU Pilkada Copy

kinerja anggotanya, dan melaporkan kepada publik. Tidak hanya itu. Kewajiban

DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja

tahunan sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun

2009 pun turut dihapus. DPR juga masih akan mempertahankan berlangsungnya

rapat-rapat tertutup apabila disetujui peserta rapat.

Kedua, soal Tren Penambahan Kewenangan MPR. Jika diamati sejak UU No 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU

Susduk) hingga UU MD3 yang baru (sebagaimana yang disahkan pada 8 Juli 2014),

ada kecenderungan penambahan kewenangan MPR. Sebagian besar penambahan

kewenangan praktis hanya untuk kepentingan sosialisasi dan ini tentu saja akan

berdampak pada pembengkakan anggaran. Selain itu, potensi penganggaran ganda

bisa ditemui pada pelaksanaan tugas MPR berupa penyerapan aspirasi masyarakat

berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Mengingat anggota MPR terdiri dari

anggota DPR dan anggota DPD yang pada saat bersamaan mendapatkan pula

alokasi anggaran untuk kegiatan menyerap aspirasi dari masyarakat.

Ketiga, soal Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR. Tidak konsistennya pengaturan

mekanisme pemilihan pimpinan DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

menunjukkan bahwa Pansus RUU MD3 tidak mempunyai visi yang jelas terhadap

desain kelembagaan pimpinan lembaga legislatif. Selain itu, mekanisme pemilihan

pimpinan DPR yang telah ditetapkan dalam UU MD3 yang baru merupakan daur

ulang mekanisme lama yang sudah terbukti mengakibatkan kinerja DPR periode

2004-2009 khususnya pada tahun pertama menjadi terhambat. Hal itu disebabkan

tarik ulur kepentingan yang terpolarisasi melalui Koalisi Kerakyatan dan Koalisi

Kebangsaan. Naskah Akademik, suatu dokumen rujukan yang memuat asal usul

atau latar belakang kenapa butuh UU MD3 yang baru, tidak pernah mencantumkan

kebutuhan untuk mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR.

Keempat, soal Mahkamah Kehormatan.     Dalam konteks tugas dan wewenang,

keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan dibandingkan Badan

Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik, keberadaan

Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin

pemanggilan dan pemeriksaan.

 

 

 

 

 1. Kontroversi RUU Pilkada

Selain UU MD3 yang telah disahkan pada 8 Juli 2014, saat ini ada RUU yang juga

cukup menyita perhatian publik, yaitu RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang

Page 15: Makalah UU Pilkada Copy

rencananya akan disahkan pada Paripurna DPR RI 25 September 2014 mendatang.

Perdebatan sentralnya adalah Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung via

DPRD. Untuk membedahnya, kita akan membahasnya dari segi sejarah

pembentukan, konstitusi, konfigurasi politik dan perkembangan demokrasi.

C.1. Sejarah Lahirnya RUU Pemilihan Kepala Daerah         

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebelumnya diatur dalam UU No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengingat ada banyak pasal yang diatur

khusus mengenai mekanisme Pilkada yakni 63 Pasal (Pasal 56 – Pasal 119), maka

dalam revisinya, Pilkada ini dipisahkan dari UU Pemda. Dalam Prolegnas sejak

tahun 2011 sudah dimasukkan dengan No. 42, Prolegnas tahun 2012 No. 52,

Prolegnas tahun 2013 No. 3, Prolegnas tahun 2014 No. 3. Ini artinya sudah 4 tahun

RUU ini dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional dimana RUU disiapkan

pemerintah selama 2 tahun, kemudian dibahas bersama di DPR selama 2 tahun.

Sehingga dari sisi waktu memang sudah waktunya untuk segera disahkan.

Pilkada secara langsung sejak 1 Juni 2005 telah melahirkan beberapa yang

menyebabkan pemerintah mengusulkan Revisi RUU Pilkada, antara lain[22]: Pilkada langsung dibeberapa tempat melahirkan konflik horizontal antara sesama masyarakat.

Benturan masyarakat ini tentu menjadi keprihatinan yang mendalam, karena ketidaksiapan menang atau kalah.

Pilkada langsung secara biaya cukup menyedot anggaran, baik pusat maupun daerah. Berdasarkan data dari Mahkamah Konstitusi, disetiap Pilkada langsung, dipastikan akan gugatan

sengketa Pemilukada ke MK, termasuk juga ketika sengketa Pilkada di Mahkamah Agung.[23] Sering terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif khususnya dalam bentuk

money politik dan vote buying, sehingga memberikan pelajaran demokrasi yang buruk pada masyarakat.

Terjadinya politisasi birokrasi pemerintahan daerah. Penegakan hukum dank ode etik tidak berjalan. Partisipasi pemilih yang rendah (rata-rata dibawah 70%). Banyak kepala daerah terjerat korupsi.[24] Kepala daerah tidak akur dengan wakil kepala daerah. Kepemimpimpinan lemah, manajemen rendah, dan birokrasi amburadul, serta terjadi politik

transaksional dalam menjalankan roda pemerintahan. Pemerintah tidak efektif.

Atas pertimbangan tersebut, maka Pemerintah sebagai pihak yang diberi tugas

menyiapkan Drat RUU Pilkada melakukan langkah memberi usulan revoluioner

berupa mengubah Pilkada langsung menjadi Pilkada tidak langsung via DPRD.

C.2. Perspektif Konstitusi terhadap Pemilihan Kepala Daerah.

Dalam UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18 Ayat (4) disebutkan kepala daerah dipilih

secara demokratis. Untuk memahaminya, maka salah satu caranya adalah dengan

membukaoriginal intent Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Untuk melihat hal

tersebut, dapat dilihat dalam Risalah Pembahasan UUD 1945, yang dapat diunduh

lewatwww.mahkamahkonstitusi.go.id tentang Naskah Komprehensif Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang,

Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan

Page 16: Makalah UU Pilkada Copy

Negara Jilid 2. Dalam risalah tersebut khususnya Bab V (hlm. 1107-1432) diulas

secara khusus pembahasan Perubahan UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah.

Ketika itu, draft naskah perubahan dari Badan Pekerja adalah kepala daerah dipilih

secara demokratis, namun Prof Bagir Manan mengusulkan pemerintahan daerah

mengakomodir pemilihan kepala daerah secara langsung.[25] Atas draft tersebut,

beberapa Fraksi memberikan klarifikasi dan komentar, seperti Soedijarto dari

Fraksi Utusan Golongan mengklarifikasinya dengan mengatakan:[26]

“…mengenai pemilihan Gubernur, walikota yang langsung disarankan dipilih

langsung sedangkan konsepnya kan sangat demokratis, dan masih tergantung

perkembangan pemilihan presiden dan sebagainya. Indonesia belum pernah

berpengalaman memilih pemimpun langsung kecuali Kepala Desa yang praktiknya

main uang, dan semua pemimpn sekarang termasuk ketua partaipun tidak dipilih

oleh anggota partai, kok sedang Gubernur sudah mau dipilih rakyat. Apakah ini

tidak riskan karena budaya demokrasi kita belum tumbuh, karena itu saya ingin

kembali kepada asalnya yaitu dipilih secara demokratis, …. Konstitusi tidak

mendikte kepada daerah supaya dipilih langsung”.

Kemudian Pataniari Siahaan dari F-PDIP megusulkan agar kepala daerah “… dipilih

secara demokratis sebagaimana diatur undang-undang. Jadi demokratisnya bukan

oleh rakyat”.[27] Atas beberapa pendapat tersebut, Prof Bagir Manan menyerahkan

kepada anggota rapat, apakah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih secara

demokratis.[28]Pada akhirnya draft yang disepakati dan dibawa ke Rapat Paripurna

ke-9, 18 Agustus 2000 adalah Pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis.

Hamdan Zoelva, memberikan pandangan terdapat dua prinsip yang terkandung

dalam rumusan “kepala daerah dipilih secara demokratis”, yaitu pertama: kepala

daerah harus “dipilih”, tidak dimungkinkan untuk langsung

diangkat. Kedua, pemilihan dilakukan secara demokratis, maknanya tidak harus

dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh DPRD

yang anggota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui Pemilu.[29]

Atas pertimbangan tersebut, maka klausul pemilihan kepala daerah dipilih secara

demokratis memiliki makna harus adanya proses pemilihan yang dapat langsung

oleh rakyat dan dapat juga melalui DPRD. Untuk itu, klausul ini disebut

sebagai open legal policy secara konstitusi. Kedua opsi yang sedang diperdebatkan

dalam draft RUU Pilkada saat ini sama-sama konstitusional.[30]

C.3. Perspektif Konfigurasi Politik

Konfigurasi Politik di DPR sangat berpengaruh dalam pembahasan RUU Pilkada.

Pada tahun 2012 ketika draft RUU Pilkada dimasukkan Pemerintah ke DPR,

klausulnya pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Klausul tersebut didukung

mayoritas partai politik dengan jumlah kursi besar seperti Partai Demokrat, Partai

Golkar, dan PKB. Sementara itu, PKS karena jumlah kursinya tidak besar menolak

usulan Pilkada melalui DPRD.

Page 17: Makalah UU Pilkada Copy

Berbicara konfigurasi politik tersebut, mengapa pemerintah mengajukan opsi

Pilkada melalui DPRD dapat dimaklumi, karena partai politik penguasa

pemerintahan yakni Partai Demokrat merupakan partai terbesar dengan 148

anggota dari 560 anggota.

Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah sebenarnya hampir

menemui titik temu, yaitu; pertama tetap dilakukan pemilihan

langsung; keduapelaksanaan dilakukan secara serentak antara Pilkada Gubernur

dan Pilkada Bupati/Walikota dalam rangka penghematan anggaran dan

memperjelas konfigurasi politik didaerah sehingga rakyat lebih rasional dalam

memilihnya.

Namun, perhelatan Pemilu Presiden 2014 dengan 2 (dua) calon pasangan, berimbas

pula pada konfigurasi politik setelah Pilpres. Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri

Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKS termasuk juga Partai Demokrat

(6 partai dengan jumlah 421 kursi DPR) pada 9 September 2014 bersepakat

mendukung Pilkada melalui DPRD. Sementara Koalisi penyokong Calon Presiden-

Wakil Presiden Jokowi JK yang terdiri dari PDIP, PKB dan Partai Hanura (3 partai

degan jumlah 139 kursi DPR) mendukug Pilkada langsung.

Polarisasi konfigurasi politik tersebut merupakan konsekuensi sistem multipartai

yang dianut di Indonesia, dimana partai-partai politik sangat cair dalam ideologi

dan dalam penentuan dukungan politik. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada

dinamika RUU Pilkada, tetapi juga berpengaruh pada RUU MD3 yang telah dibahas

sebelumnya.

Terakhir, 19 September 2014 kemarin, Fraksi Partai Demokrat balik badan

mendukung Pilkada Langsung, sehingga mengubah konfigurasi politik yang pro

Pilkada langsung menjadi 4 partai dengan 287 kursi di DPR, dan yang pro Pilkada

melalui DPRD menjadi 5 partai dengan 273 kursi di DPR.

C.3. Perspektif Perkembangan Demokrasi

Apabila kita mempelajari mengenai demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh, dan

untuk rakyat dari awal mula zaman Yunani Kuno sampai dengan zaman sekarang

(modern dan postmodernisme), maka kita akan menemui uniknya perkembangan

demokrasi.

Pada awalnya demokrasi di Yunani Kuno masih bersifat polis-polis atau the Greek

Stateyaitu pada mula pertamanya merupakan suatu tempat dipuncak suatu bukit.

[31] Lama kelamaan orang-orang banyak yang tinggal di tempat itu dengan jalan

mendirikan tempat tinggal bersama, berupa rumah-rumah dan kemudian tempat

tersebut dikelilinginya dengan suatu benteng tembok untuk menjaga serangan dari

luar.

Pemerintahan dalam polis merupakan hal yang tinggi, karena di atas polis tidak ada

lagi suatu organisasi kekuasaan lain yang menguasai dan memerintah polis itu.

Page 18: Makalah UU Pilkada Copy

Inilah letak keistimewaan dari polis. Organisasi yang mengatur hubungan antar

orang se-polis itu tidaklah hanya mempersoalkan hubungan organisasinya saja

melainkan juga mempersoalkan mengenai hidup kepribadian orang-orang yang

hidup disekitarnya. Oleh karena itu terdapat campur tangan organisasi yang

mengatur polis. Karena polis disamakan (identik) dengan masyarakat negara atau

negara, maka polis merupakan negara kota (standstaat atau citystate).

Sehubungan dengan itu, dikalangan pemerintahan lazimnya berwujud demokrasi

langsung atau direct democracy, rakyat di dalam polis ikut serta secara langsung

menentukan beleid kebijaksanaan pemerintah atau adanya direct government by all

the people.[32]

Dalam episode Yunani Kuno tersebut, dapat kita temui beberapa pemikir hebat

yang sampai saat ini masih dipelajari, seperti Plato, Aristoteles, Polybios dan lain-

lain. Misalnya yang menarik adalah pendapat Polybios,[33] yang menjelaskan

bahwa sebagai bentuk negara yang tertua ialah monarki, pemerintahan dijalankan

oleh seorang pemimpin negara, karena orang tersebut mempunyai bakak

kepandaian dan keberanian dari yang lain-lainnya sehingga merupakan primus iner

pares atau yang pertama diantara yang sama. Ia memerintah dengan tujuan baik

dan ditujukan demi kepentingan umum berlandaskan keadilan. Akan tetapi para

penggantinya kemudian bertindak menyeleweng, memerintah demi kepentingan

diri pribadi dan bertindak sewenang-wenang. Karena itu timbulah tirani.

Dari bentuk negara tirani ini lama kelamaan para warganya memberontak karena

tidak tahan akan penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh seorang tiran

itu. Hasil perlawanan itu, para warga memilih beberapa orang dari golongan

ningrat cerdik pandai, yang diberi kepercayaan memerintah, dengan demikian

timbulah negaraaristokrasi.

Kemudian aristokrasi mengalami proses kemunduran dan kemerosotan karena

pimpinan negara bertindak demi kepentingan mereka yang memerintah, bertindak

main hakim sendiri secara semena-mena, hal yang demikian mengakibatkan

terbentuknya negara oligarkhi.

Dari bentuk negara oligarkhi pun mengalami nasib yang sama seperti tirani, akrena

tindakan sewenang-wenang dan memperkosa hukum, menimbulkan perlawanan

dari para warganya terhadap beberapa pimpinan negara itu. Dalam perjuangan itu

para warganya mengambil alih kekuasaan pemimpin negara, maka mereka, yaitu

para warga atau rakyat memegang pemerintahan, sehingga timbulah

negara demokrasi.

Apabila bentuk negara demokrasi ini dalam prosesnya mengalami kemunduran,

disebabkan warganya atau rakyat tidak tahu sedikitpun tentang pemerintahan dan

tanpa pendidikan turut campur dalam pemerintahan, maka timbullah pemerintahan

secara liar dari rakyat gembel yang hina. Karena itu timbulah negara okhlokrasi.

Setelah pemerintahan okhlokrasi menimbulkan kebejatan dan kebobrokan dari

demokrasi, maka para wargapun sadar dan menginginkan adanya pemerintahan

Page 19: Makalah UU Pilkada Copy

yang baik dan adil. Karenanya muncul seorang warga yang berani maju kedepan

dan mengambil alih pimpinan negara. Timbulah negara monarkhi.

Pemikiran tersebut kemudian sering disebut siklus Polybios:

Bagan Siklus Polybios

 

Pemikiran mengenai adanya bentuk-bentuk negara yang bertujuan untuk

kepentingan umum, disertai pula bentuk pemerosotannya memberikan pelajaran

berharga dalam perjalanan bernegara. Khususnya mengenai demokrasi, akan

menjadi bentuk pemerosotan apabila rakyat tidak memiliki pendidikan dan

kemampuan mengelola negara, sehingga negara akan roboh akibat salah atur.

Demokrasi langsung yang berlaku di Yunani Kuno dianggap salah satu bentuk

pemerintahan yang baik. Namun, karena perkembangan negara yang meluas dan

lintas polis, sehingga demokrasi langsung sulit diterapkan. Karenanya timbul

demokrasi tidak langsung (indirect democracy) melalui pelembagaan badan

perwakilan rakyat.

Perkembangan demokrasi berikutnya berlangsung di Romawi Kuno dengan

keberhasilan rezimnya menetapkan konstitusi yang memadukan bentuk-bentuk

pemerintahan antara monarkhi, aristokrasi dan demokrasi. Bentuk pemerintahan

itu kemudian disebut dengan republic. Terminologi republik berasal dari Bahasa

Latin yang terdiri dari dua suku kata yakni res yang berarti kejadian atau peristiwa

dan publicusyang berarti publik. Jika kedua kata digabungkan secara peristilahan

akan membentuk suatu pengertian yang menunjukkan kepemilikan rakyat.[34]

Dengan melihat demokrasi tidak langsung merupakan perkembangan demokrasi

langsung, maka klaim perdebatan dalam RUU Pilkada, bahwa Pilkada melalui DPRD

adalah kemunduran demokrasi kuranglah tepat. Karena derajat maju mundurnya

demokrasi subtantif sebenarnya tidak diukur dari prosedur bentuk langsung atau

tidak langsungnya saja.

Dalam perkembangan demokrasi modern ini, baik demokrasi langsung maupun

tidak langsung adalah sebuah keniscayaan. Karenanya, diperlukan perpaduan yang

saling melengkapi agar pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat dapat berjalan

dengan efektif.

Demokrasi subtantif saat ini sering disebut dengan istilah demokrasi partisipatif

sebagai bentuk perlawanan demokrasi elitis. Partisipasi masyarakat dalam hal ini

merupakan cerminan demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B.

Gibson, bahwa:[35]

“… that the purpose of democracy is to ensure that decisions are made by

individuals who will be affected. The requirements of this democracy are fully met

only if all individuals are enables and encouraged to participate ini the decisions

Page 20: Makalah UU Pilkada Copy

which will affect their lives. Thus, in participatory theory, the sphere of democracy

encompasses all areas of collective action and decision, regardless of the arbitrary

divisions of social, economic, and political concern. Participatory theory purposes

democratic societies, not just democratic government.”

Bagaimanapun dengan terpilihnya wakil rakyat tidak menghilangkan peran

masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan

masyarakat itu sendiri. Kalau dalam demokrasi elit, partisipasi masyarakat begitu

dibatasi, dalam demokrasi partisipatoris keterlibatan masyarakat yang luas dan

bermakna merupakan keniscayaan. Argumentasinya, makna hakiki dari demokrasi

adalah memberi dorongan bagi masyarakat berperan serta dalam pembuatan

keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. R. B. Gibson menambahkan,

demokrasi partisipatori tidak hanya berupaya mewujudkan pemerintahan yang

demokratis (democratic government), tetapi juga masyarakat yang demokratis

(democratic societies).[36]

Hal tersebut tentunya berbeda dengan demokrasi elit yang merupakan lawan dari

demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B. Gibson, yaitu[37]

“… that the main purpose of the democratic aspect of government is to ensure that

the elite leaders who are charged with making governmental decisions do not vary

too far from general interests of the electorate. In the elite theory the sphere of

democracy is confined to the elective positions of public government. The

requirements of democracy will be met if citizens are allowed to choose leaders

freely from the ranks of competing elites.”

Demokrasi elit cenderung menisbikan peran masyarakat setelah proses pemilihan

umum selesai, yaitu dengan terpilihnya wakil rakyat. Jika warga negara telah

melaksanakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, maka seterusnya

penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada mereka yang terpilih menjadi

anggota lembaga legislatif. Hal ini berpotensi pada pengabaian atau juga upaya

melupakan kepentingan masyarakat yang mengitari anggota legislatif tersebut.

Gibson menambahkan, masyarakat lebih cenderung memikirkan diri sendiri

sehingga sering terjadi perbedaan kepentingan yang dapat menimbulkan konflik.

[38]

Uraian tersebut menunjukkan bahwa negara demokratis partisipatoris dan elit

menunjukkan juga kualitas demokrasi perwakilan yang dibangun. Selain demokrasi

partisipatif, dewasa ini berkembang juga demokrasi deliberatif yang dikembangkan

Jurgen Habermas.[39] Bagi Habermas, perkembangan demokrasi saat ini berbeda

dengan zaman Yunani Kuno yang masyarakatnya kecil berupa polis-polis, menjadi

masyarakat yang besar (gigantis), dipenuhi dengan pluralitas masyarakat yang

kompleks yang juga terglobalisasi. Dalam demokrasi deliberatif yang memiliki

peran besar adalah komunikasi antara pemimpin yang dipimpinnya.

Deliberatif atau bahasa Latinnya deliberation, bahasa

Inggrisnya deliberation, berarti “konsultasi”, mengacu pada prosedur formasi opini

dan aspirasi masyarakat secara demokratis. Dalam demokrasi deliberatif bukanlah

Page 21: Makalah UU Pilkada Copy

jumlah kehendak individual atau juga kehendak umum yang menjadi sumber

legitimasi. Yang menjadi sumber legitimasi adalah proses formasi deliberatif

(konsultasi), argumentative-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang

bersama-sama senantiasa bersifat sementara dan terbuka untuk direvisi.

Dengan ungkapan lain, legitimasi kebijakan publik bukan terletak pada hasil

komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses, yakni

semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, makin terlegitimasi pula

hasilnya.[40]

Pemahaman demokrasi partisipatif dan deliberatif sekaligus perlawanan terhadap

demokrasi elitis tersebut, menjadikan dasar untuk menilai apakah Pilkada

Langsung atau Pilkada Lewat DPRD dapat dikatakan meningkatkan kualitas

demokrasi atau tidak.

Apabila dicermati mengenai pelaksanaan Pilkada Langsung sejak 1 Juni 2005, maka

saat ini telah memasuki periode ke-3 Pilkada Langsung. Pada periode pertama,

Pilkada Langsung masih banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin stok lama yang

belum mampu memberikan perubahan dalam pemerintahan. Namun, dalam periode

kedua, mulai terpilih Kepala Daerah yang mampu menjalankan fungsi

kepemimpinannya secara baik, termasuk juga membangun komunikasi yang intensif

dengan masyarakat. Ditambah teknologi yang mendukung melalui social media,

twitter, 

facebook, path, dan lain-lain, sehingga mendekatkan pemimpin dengan rakyat secara langsung. Periode kedua ini menghasilkan pemimpin-pemimpin yang menjadi idola publik, apakah itu Jokowi, Ridwan Kamil, Risma, Ahmad Heriawan, dan lain-lain. Model kepemimpinannya sudah lebih partisipatif bahkan deliberatif, dengan mengajak warga yang dipimpinnya untuk bersama membangun daerah. Dengan melihat fakta tersebut, maka Pilkada langsung adalah salah satu sarana memperoleh pemimpin yang partisipatif dan deliberatif.

Namun, tidak semua kepala daerah yang dipilih langsung berprestasi. Padahal

anggaran untuk Pilkada langsung lebih besar dibandingkan dengan Pilkada tidak

langsung. Sebagaimana disebut sebelumnya, banyak Kepala Daerah yang

tersangkut korupsi pula, selain juga banyak ekses negatif akibat Pilkada langsung

tersebut.

Karenanya model Pilkada melalui DPRD bisa dipertimbangkan, dengan syarat DPRD

khususnya Partai Politik siap menjalankan partisipasi dan deliberasi dalam

pemilihan kepala daerah. Mekanismenya, pertama, semua calon dapat terakomodir

dalam Pilkada melalui DPRD, termasuk juga calon independen. Kedua, calon kepala

daerah harus kapabel dan berintegritas. Ketiga, partai politik di DPRD melakukan

proses konsultasi kepada masyarakat dengan cara membuka diskusi dan

perdebatan bahkan melalui mekanisme konvensi. Keempat, partai politik di DPRD

Page 22: Makalah UU Pilkada Copy

harus menjalankan hasil konsultasi tersebut untuk kemudian dijadikan dasar dalam

pemilihan kepala daerah.

Permasalahannya, wakil-wakil rakyat kita saat ini masih bertindak sebagai elit yang

sering melupakan rakyatnya. Karenanya kita perlu mengungkap pendapat Gilbert

Abcarian sebagai mana dikutip Max Boboy yang membagi empat tipe hubungan

antara wakil dengan yang diwakili sebagai berikut:[41] Sang wakil bertindak sebagai wali (truste), dimana wakil bebas bertindak berdasarkan

pertimbangannya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan yang diwakilinya; Sang wakil bertindak sebagai utusan (delegate) yakni sang wakil bertindak sebagai utusan atau

duta dari yang diwakilinya sehingga sang wakil senantiasa mengikuti perintah atau instruksi serta petunjuk dari yang diwakili dalam melaksanakan tugas;

Sang wakil bertindak sebagai politico artinya kedudukan wakil terkadang bertindak sebagai wali (truste), dan kadang kala bertindak sebagai utusan (delegate). Hal itu tergantung pada issu dan pembahasan di tingkat lembaga perwakilan; dan

Sang wakil bertindak sebagai partisan. Posisi wakil dalam persoalan ini cenderung kepada kehendak atau aspirasi partainya, sedangkan hubungan dengan konstituen pemilihnya setelah pemilihan tidak terlalu nampak.

Selain itu juga, A. Hoogerwerf membagi lima model hubungan antara wakil dengan

yang diwakili sebagai berikut:

Model utusan (delegate) yakni wakil bertindak sebagai diperintah atau kuasa usaha yang menjalankan perintah dari yang diwakili;

Model wali (truste) yakni sang wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa penuh dari yang diwakili sehingga memiliki kebebasan bertindak berdasarkan pendiriannya;

Model politicos yakni model yang memungkinkan sang wakil bertindak kadang sebagai delegasi dan kadang sebagai kuasa penuh;

Model kesatuan yakni model yang mengonsepsi anggota parlemen sebagai wakil rakyat seluruhnya; dan

Model penggolongan (diversifikasi) yakni keanggotaan wakil di parlemen dipandang sebagai wakil kelompok territorial, kelompok sosial atau kelompok politik tertentu.

 

Dari pembagian model tersebut, sejauh ini wakil rakyat masih banyak yang

berperan sebagai wali (truste) yang bekerja tanpa berkonsultasi pada rakyatnya.

Mereka belum mampu membuka diri secara partisipatif dan deliberatif. Sehingga

terkait dengan pilihan Pilkada melalui DPRD justru akan mengarahkan pada

demokrasi elitis. Karenanya, pilihan Pilkada melalui DPRD untuk saat ini kuranglah

tepat.

Inilah pelajaran penting bagi perjalanan demokrasi kita. Dan mahasiswa

seharusnya tidak terjebak dalam blok-blok dukung mendukung Pilkada Langsung

atau Tidak Langsung. Mahasiswa harusnya memberikan rekomendasi subtantif

demi perkembangan demokrasi yang lebih baik, sehinggga tidak terjadi politisasi

mahasiswa.

 

1. Penutup

Dari pembahasan mengenai berbagai macam isu dalam UU MD3 dan RUU Pilkada

sebagai warisan sang wakil rakyat periode 2009-2014, maka kita bisa memberikan

Page 23: Makalah UU Pilkada Copy

penilaian positif dan negatif. Hal ini karena keran demokrasi partisipatif maupun

deliberatif belum dilakukan secara baik oleh partai politik di lembaga perwakilan

rakyat.

Bagi mahasiswa, maka mendorong perbaikan bangsa dapat dilakukan dengan

berbagai macam cara, tanpa kemudian harus terjebak dalam blok-blok partai politik

yang terpolisasi. Sehingga, peran mahasiswa sebagi agent of change, dan agent of

control social dapat dilakukan dengan baik.

[1] Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Publik “Warisan Wakil Rakyat” yang

diselenggarakan oleh Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB, 19 September 2014 di

Kampus ITB Bandung.

[2] Tenaga Ahli di DPR RI, Peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN),

Wakil Presiden BEM Kema Unpad 2009-2010, Kordinator Isu Pemilu BEM Seluruh

Indonesia Tahun 2008-2010.

[3] Fungsi Legislasi masih bermasalah, misal tahun 2010 dengan Prolegnas 70 RUU

hanya 16 yang disahkan, pada tahun 2011 dengan Prolegnas 93 hanya 24 yang

disahkan, pada 2012 dengan Prolegnas 69 RUU hanya 30 disahkan.

[4] Fungsi pengawasan dalam bentuk Hak Angket Century belum mampu

menyelesaikan kasus tersebut secara efektif, juga dalam masalah Mafia Pajak yang

tidak terselesaikan.

[5] Fungsi Anggaran DPR belum optimal mendorong APBN untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat, misal pemborosan dalam hal Anggaran Perjalan Dinas yang

terlalu besar dibandingkan Anggaran untuk Pengentasan Kemiskinan. Selain itu

adanya Oknum Anggota DPR terlibat Mafia Anggaran semakin memperburuk kerja

DPR.

[6] Permohonan Perkara No. 73/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK

diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.

[7] Permohonan Perkara No. 76/PUU-XII/2014 dan 83/PUU-XII/2014 lihat Risalah

Sidang MK di www.mahkamahkonstitusi.go.id.

[8] Pemohonan Perkara No. 82/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK

diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.

[9] Sumber: Harian Kompas, Kamis 11 September 2014, hlm. 2.

[10] Permohonan Perkara No.79/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK

diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.

[11] Pasal 81 huruf (e) memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

 

[12] Pasal 81 huruf (i) menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui

kunjungan kerja secara berkala.

[13] Pasal 81 huruf (j) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan

masyarakat

 

Page 24: Makalah UU Pilkada Copy

[14] Mei Susanto, Hak Budget Parlemen Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

[15] Lihat Pendapat Prof. Mardjono, tentang Hak Imunitas dan Asas Persamaan

Kedudukan Di Hadapan Hukum Dalam UU

MD3,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt540d7c056fc44/hak-imunitas-dan-

asas-persamaan-kedudukan-di-hadapan-hukum-dalam-uu-md3-broleh–prof-

mardjono-reksodiputro–sh–ma.

[16] Disampaikan Ketua Pansus MD3, Beni K. Harman dalam pengantar Revisi UU

No. 27 Tahun 2009.

[17] Pasal 96 Ayat (6) UU MD3 Baru: “Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja

komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan

Pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh Pemerintah.”

 

[18] Pasal 96 Ayat (7) UU MD3 Baru.

[19] Pasal 96 Ayat (8) UU MD3 Baru.

[20] Mei Susanto, Ibid., hlm. 336.

[21] Beberapa hal tentang isu-isu dalam UU MD3 Baru diungkapkan Koalisi

Masyarakat Sipil.

[22] Dielaborasi dari beberapa sumber media, dan Presentasi Parludem,

Pemilukada yang Demokratis dan Efisien, Masalah Pemilukada dan Masalah Pasca

Pemilukada, dalam Prosiding Seminar Nasional Evaluasi Pemilihan Umum Kepala

Daerah, Jakarta 24-26 Januari 2012, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal

Mahkamah Konstitusi.

[23] Pada Tahun 2008/2009 tercatat ada 30 gugatan sengketa Pilkada ke MK, tahun

2010 ada 230 gugatan. Dan tahun 2011 ada 137 gugatan.

[24] Data Kemendagri, terdapat 318 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi sampai

dengan tahun 2013.

[25] Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan

Pemerintahan Negara Jilid 2, Jakarta, 2010, hlm. 1360.

[26] Ibid., hlm. 1365.

[27] Ibid., hlm. 1397.

[28] Ibid. hlm. 1360.

[29] Hamdan Zoelva, Tinjauan Konstitusi Pemilihan Kepala Daerah.

[30] Sebagai catatan tambahan, pada pembahasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, tidak terjadi perdebatan panjang mengenai makna dipilih

secara demokratis, karena langsung diusulkan opsi dipilih secara langsung oleh

rakyat, hal ini disebabkan pertama, hasil Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945

tahun 2001, Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih secara langsung oleh

rakyat, kedua, berbagai penyerapan aspirasi masyarakat diseluruh Indonesia

diperoleh aspirasi dominan dari masyarakat menghendaki kepala daerah dipilih

Page 25: Makalah UU Pilkada Copy

secara langsung oleh rakyat. Hanya yang menjadi perdebatan adalah bagaimana

mekanisme pemilihan langsung ini dilakukan disetiap daerah apakah disamakan

atau bisa berbeda-beda dimasing-masing daerah disesuaikan dengan kondisi dan

kekhususan masing-masing daerah. Lihat Hamda Zoelva, Ibid.

[31] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997, hlm. 92.

[32] Ibid., hlm. 93.

[33] Ibid., hlm. 125-127.

[34] Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Yogyakarta, Liebe Book, 2004, hlm. 15.

[35] R.B. Gibson, The Value of Participation, dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi

Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial

Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010., hlm. 283.

[36] Ibid., hlm. 284.

[37] Ibid., hlm. 283.

[38] Ibid.

[39] Lihat F. Budi Hadirman, Demokrasi Deliberatif, Menimbang ‘Negara Hukum’

dan ‘Ruang Publik’ daalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius,

2009. Hlm. 125.

[40] Ibid. hlm. 130.

[41] Ibid,. hlm. 23.