Makalah Ushul Fiqh

45
1. Pengertian, tujuan, ruang lingkup dan perkembangan ushul fiqh a. Pengertian ushul fiqh secara etimologi dan terminology Jawab: ة ي ل ي ص ف ت ل ا ها لت د ا ن م ة ي م ل ع ل ا ة ي ع ر ش لم ا حكا الأ& م ب عل ل و ا ه ف ة غ ل ل ى ا ف ة ق ف ل ول ا ص الأArtinya: Ushul fiqh menurut bahasa adalah suatu ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syar’iyah tentang suatu perbuatan dari suatu dalil-dalil yang terperinci.” ى ت ل ا وث ح& ب ل وا د واع ف ل ا& م ب عل لو ا هّ ى ع و ش ل لأح ا ط صF ى الأ ف ة ق ف ل ا ول ص م ا عل ف ى ه او ة ي ل ي ص ف ت ل ا ا ه لت اد ن م ة ي ل م ع ل ا ة ي ع ر ش لم ا ا حك الأ ادة ف ت س ا ن م ا ه& بل ص و ت ي ة ي م ل ع ل ا ة ي ع ر ش لم ا حكا الأ ادة ف ت س ى ا ل ا ها& ب ل ص و ت ي ى لت ا وث ح& ب لاعد وا و ف ل ا وعة م& ج م. ة ي ل ص ف ت ل ا ها لت اد ن مArtinya:

Transcript of Makalah Ushul Fiqh

Page 1: Makalah Ushul Fiqh

1.       Pengertian, tujuan, ruang lingkup dan perkembangan ushul fiqh

a. Pengertian ushul fiqh secara etimologi dan terminology

Jawab:

األصول الفقه فى اللغة فهو العلم باألحكام الشرعية العلمية من

أدلتها التفصيلية

Artinya:

“Ushul fiqh menurut bahasa adalah suatu ilmu yang membahas tentang hukum-hukum

syar’iyah tentang suatu perbuatan dari suatu dalil-dalil yang terperinci.”

فعلم اصول الفقه فى اإلصطالح الشؤعّي% هو العلم بالقواعد

والبح,,وث ال,,تى يتوص,,ل به,,ا من اس,,تفادة األحك,,ام الش,,رعية

العملي,,,ة من ادلته,,,ا التفص,,,يلية او هّي مجموع,,,ة القواع,,,د

والبحوث ال,,تى يتوص,,ل به,,ا الى اس,,تفادة األحك,,ام الش,,رعية

العلمية من ادلتها التفصلية.

Artinya:

“Ilmu ushul fiqh istilah adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan

yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara’ yang amaliyah dari dalil-

dalilnya secara rinci atau kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan yang merupakan

cara untuk menemukan (mengambil) hukum syara’ yang amaliyah dalil-dalilnya secara

rinci.”

b. Tujuan mempelajari ushul fiqh menurut Abdul Wahab Khallab adalah:

Page 2: Makalah Ushul Fiqh

وأم,,ا موض,,وع البحث فى علم اص,,ول الفق,,ه فه,,و ال,,دليل

الشرعى الكلى من حيث ما يثبت به من األحكام الكلية.

Artinya:

“Tujuan pembahasan ushul fiqh ialah dalil-dalil syara’ yang umum yang akan

menetapkan hukum-hukum yang kulli atau umum.”

Ushul fiqh mempunyai peranan yang sangat penting di dalam ilmu syar’iy, karena

hukum syar’iy sebagian hanya mengatur permasalahan secara pokok-pokoknya dan tidak

secara mendetail. Hal ini adalah wajar karena hukum syar’iy berlaku sampai zaman.

Padahal di dalam kehidupan manusia selalu akan terjadi perubahan tata sosial

masyarakat, sehingga selalu muncul persoalan-persoalan baru di dalam masyarakat.

Ruang lingkup kajian ushul fiqh sebagai berikut:

1.      Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati seperti al-Qur’an dan Sunnah

maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan mashlahah mursalah.

2.      Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan

ijtihad.

3.      Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, ayat dengan

ayat atau sunah dengan sunah, dan lain-lain.

4.      Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik

yang bersifat tuntunan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga dibahas

tentang hukum, hakim, mahkum alaih (orang yang dibebani), dan lain-lain.

5.      Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam menginstinbath hukum dan

cara menggunakannya.

Page 3: Makalah Ushul Fiqh

Ilmu ushul fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada al-Qur’an dan

Sunah. Dengan kata lain, ushul fiqh tidak timbul dengan sendirinya tetapi benih-benihnya

sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat masalah utama yang menjadi bagian ushul

fiqh, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan

sahabat.

Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan

wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya yang

sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan

rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.

Golongan Hanafiyah misalnya, mengklaim bahwa yang pertama-tama menyusun

ilmu ushul fiqh ialah Abu Hanafiyah, Abu Yusuf Muhammad Ibnu Ali Al-Hasan. Alasan

mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode

istinbath dalam bukunya Ar-Ra’y. Dan Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun

ushul fiqh dalam mazhab Hanafi, demikian pula Muhammad Al-Hasan telah menyusun

kitab ushul fiqh sebelum Asy-Syafi’i, bahkan                  Asy-Syafi’i berguru kepadanya.

Golongan Malikiyah juga mengklaim bahwa Imam Malik adalah orang pertama

yang berbicara tentang ushul fiqh. Namun, mereka tidak mengklaim bahwa Imam Malik

sebagai orang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Pengakuan bahwa Imam Malik

sebagai perinci ushul fiqh, menurut Abdul Wahab Ibrahim Sulaiman dapat saya terima

begitu pula, Syi’ah Imamiyah yang mengklaim bahwa orang yang pertama yang

menyusun kitab ushul fiqh adalah Muhammad al-Baqir Ibnu Ali Ibnu Zain al-Abidin,

kemudian diteruskan oleh puteranya Imam Abu Abdillah Ja’far as-Shadiq. Pernyataan ini

diungkapkan oleh As’ad Haidar, bahwa Imam Baqir adalah peletak dasar dan perintis

ushul fiqh. Dan orang yang pertama yang menyusunnya adalah al-Hisyam Ibnu al-Hakam

yang menulis kitab al-Ahfaz, di dalamnya terdapat uraian sangat penting dalam ilmu

ushul. Pendapat tersebut, diperjelas lagi oleh Yunus ibnu ar-rahman yang menulis kitab

al-Iktilaf al-Hadits wa Masailah yang menguraikan pertentangan antara dua hadits dan

masalah perpaduan serta pen-tarjihan-nya. Setelah itu, berkembanglah ushul fiqh yang

luas.

Page 4: Makalah Ushul Fiqh

 

Golongan Syafi’iyah mengklaim bahwa Imam Syafi’i-lah orang pertama yang

menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini diungkapkan oleh Allamah Jama’ ad-Din Abd

arRahman ibnu Hasan al-Ansawani. Menurutnya, Tidak diperselisihkan lagi Imam

Syafi’i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab

yang tidak asing lagi dan sampai kepada kita sekarang, yakni kitab ar-Risalah.

Tahapan-tahapan perkembangan ushul fiqh secara garis besar, yaitu tahap awal

(abad 3 H) di bawah pemerintahan Abbasiyah, tahap perkembangan (abad 4 H) pada abad

ini dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil. Tahap

penyempurnaan (abad 5-6 H).

 

2.       Lima buah kaidah pokok menurut ulama ushul di bawah ini:

األمور بمقاصدها   .1

اليقين اليزال بالشك.2

المشقة يجليب التيسير.3

الضرر يزال.4

العادة محكمة.5

Jawab:

artinya segala perbuatan yang dicakup oleh perkara, yaitu dengan األمور بمقاصدها

niat, landasan.

a.       “بمقاصدها setiap ”األمور perkara tergantung kepada maksud mengerjakan”

qaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang

Page 5: Makalah Ushul Fiqh

berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut niat si pelaku. Untuk mengetahui

sejauh mana niat pelaku, haruslah dilihat adanya qarinah-qarinah yang dapat dijadikan

petunjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya. Landasan rumusan qaidah ini

adalah QS: al-Bayinah: 5, Ali Imran: 145.

.Tiada pahala kecuali dengan niat ”األلواب إال بالنية“      (1

Qaidah ini termasuk salah satu dari qaidah enam yang dirumuskan oleh Zainal

Abidin ibn Ibrahim al-Mishri sebagai qaidah pokok yang kemudian oleh ulama

selanjutnya hanya diambil lima saja dan ditinggalkan qaidah ini dan dicukupkan

dengan qaidah pertama.

الع,,بر قف,,ر العق,,ود للمقاص,,د والمع,,انى ال لأللف,,اظ“      (2

Yang ”والمبانى dianggap (dinilai) dalam aqad adalah maksud-maksud dan

makna-makna, bukan lafazh-lafazh dan bentuk-bentuk perkataan.

Bila terjadi suatu perbedaan pendapat dalam suatu transaksi antara maksud pembuat

dengan lafaz yang diucapkan, maka yang harus dipegangi ialah maksud pembuatan

transaksi, selama maksud itu diketahui.

b.      اليقين اليزال بالشك

1)      Pengertian

Yang dimaksud dengan “Yakin” adalah:

اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر والدليل

Artinya:

“sesuatu yang tetap, baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil”. (Abdul Mujib,

1980: 25)

Page 6: Makalah Ushul Fiqh

Sedangkan yang dimaksud dengan “syak” sebagai berikut:

الشك هو ما كان مترددا بين الثب,,وت وعدم,,ه م,,ع تس,,اوى

طر فى الصواب والخطاء دون ترجيح احدهما على االخر

Artinya:

“Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiada, dan dalam ketidak tentuan itu

sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah

satunya.” (Abdul Mujib, 1980: 25-26)

2)      Dasar-dasar Nash Kaidah

Sabda Nabi SAW:

اذا وجد احدكم فى بطنه شيئا فاء شكل علي,,ه اخ,,رج من,,ه

شيئ ام ال فال يخرجن من المسجد ح,,تى يس,,مع ص,,وتا او

يجد ريحا )رواه مسلم عن ابى هريرة(

Artinya:

“(Apabila di antara kalian menemukan sesuatu di dalam perut kemudian sangsi

apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari

mesjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya)”. (HR. Muslim dari

Abu Harun)

Kandungan hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang semula suci, kemudian ia

ragu-ragu apakah ia mengeluarkan angin atau belum, maka ia harus dianggap masih

dalam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang

kesuciannya semula, sedangkan keragu-raguan itu baru timbul kemudian. Suatu

Page 7: Makalah Ushul Fiqh

keyakinan yang sudah matap merupakan kekuatan yang tidak mudah digoyahkan oleh

keragu-raguan. Kecuali keraguan itu sudah berubah sifatnya menjadi keyakinan.

اذا شك احدكم فى صالته فلم يدركم صلى اثالث,,ا او اربع,,ا

فليطرح الشك وليبن على ما استيقن )رواه الترم,,دي عن

عبد الرحمن(

Artinya:

“(Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam mengerjakan shalat tidak

tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga atau empat rakaat, maka buanglah

keraguan itu dan berpeganglah kepada apa yang diyakini (yang paling sedikit).”

(HR. Thurmudi dari Abdurrahman)

Pada kedua dalil itu disebutkan bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan

keraguan. Misalnya seseorang ragu-ragu dengan beberapa rakaat yang ia lakukan

dalam shalatnya, maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang

paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak merupakan yang diragu-

ragukan.

c.       المشقة يجليب التيسير

“ Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”

1)      Pengertian

Artinya dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan.

Maksudnya, suatu hkum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya baik

kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, diringankan sehingga tidak

memudharatkan lagi. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah

rukhsah.

Page 8: Makalah Ushul Fiqh

 

 

2)      Dasar-dasar Nash Kaidah

Firman Allah SWT:

(185يريد الله بكم اليسر وال يريد بكم العسر )البقرة:

Artinya:

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesukaran

bagi kalian”.

(78وما جعل عليكم فى الدين من حرج )الحج:

Artinya:

“Dan Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan”.

الدين يسر احب الدين الى الله الحنيفة السمحة

Artinya:

“Agama itu memudahkan agama yang disenangi Allah SWT adalah agama yang

benar dan mudah).” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

d.      الضرر يزال

Artinya: “Kemudharatan itu harus dihilangkan”

Arti qaidah ini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu dihilangkan. Dengan kata

lain qaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu tidak dibolehkan dalam agama

Page 9: Makalah Ushul Fiqh

Islam. Adapun yang berkaitan dengan ketetentuan Allah, sehingga kerusakan itu

menimpa seseorang kedudukannya menjadi lain, bahkan bisa dianggap sebagai bagian

dari keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah SWT. Karena segala sesuatu menjadi

boleh bagi Allah SWT. Dan dari-Nya lah kemanfaatan.

 

 

 

Sumber kaidah الضرر يزال

Qaidah ini disimpulkan dari beberapa ayat dan hadits yang diantaranya sebagai berikut:

وال تفسدوا فى االرض

Artinya:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi ...”

وال تبغ الفساد فى االرض إن الله ال يحب المفسدين.

 

 

Artinya:

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan (di muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash: 77)

Firman Allah SWT, dalam surat Al-Baqarah ayat 231:

Page 10: Makalah Ushul Fiqh

وال تمسكوهن ضرارا لتعتدوا

Artinya:

“Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudharatan.” (Q.S. Al-Baqarah:

231)

Firman Allah SWT, dalam surat An-Nisa 4:12

... من بعض وصية يوصى بها أو دين غير مضار

Artinya:

“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudahnya dibayar hutangnya

dengan tidak memberi mudharat.” (Q.S. An-Nisa: 12)

 

 

Hadits yang diriwayatkan Imam Malik

ال ضرر والصرر من ضر ضرة الله ومن شق شق الله عليه

 

Artinya:

“Tidak boleh memudharatkan dan dimudharatkan, barangsiapa memudharatkan maka

Allah SWT, akan memudharatkannya, dan siapa saja yang menyusahkan, maka Allah

akan menyusahkannya.” (HR. Imam Malik)

Hadits yang meriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

Page 11: Makalah Ushul Fiqh

من ضرا ضرة الله به وعن شق شق الله عليه

Artinya:

“Barangsiapa yang memudharatkan (orang lain), maka Allah akan memudharatkannya,

dan barangsiapa yang menyusahkan (orang lain), maka Allah menyusahkannya.” (HR.

Bukhari dan Muslim)

Hadits riwayat Turmudzi:

من حسن اسالم المرء تركه ماال نعنيه

Artinya:

“Diantara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.”

(HR. Tirmidzi)

e.       العادة محكمة

“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”

Qaidah ini dirumuskan berdasarkan firman Allah QS 7:91 yang artinya “Dan suruhlah

mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh”. Adapun batasan

suatu perbuatan dikatakan adat, para fuqaha memberikan definisi : ‘Urf ialah apa yang

dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun

meninggalkan sesuatu.

Dari qaidah kelima ini keluar beberapa qa’idah yaitu :

Apa yang diperbuat“ ”استعمال الناس حجة يجب العمل بها“           .1

oreang banyak, merupakan hujjah yang wajib diamalkan.

Page 12: Makalah Ushul Fiqh

Qaidah ini adalah merupakan pengertian yang berasal dari qaidah : Al-Adatu

Muhakkamah yaitu segala sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh masyarakat

adalah bisa menjadi patokan.”

Tidak“ ”ال ينكر تغير األحكام بتغير األزم,,ان“           .2 dapat diingkari

adanya perubahan perubahan hukum akibat berubah masa.” Hal ini mempunyai

pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan suatu hukum yang didasarkan pada

kemaslahan itu, suatu hukum yang pada masa loampau didasarkan pada

kemaslahatan pada masa itu.

“ Tulisan itu sama dengan ucapan“”الكتاب كالخطاب“           .3

Maksud daripada qa’idah ini adalah : bahwa pada suatu keterangan ataupun

yang lainnya yang diterangkan dalam bentuk tulisan mempunyai kekuatan

hukum yang sama dengan ucapan lisan.

بالنص“           .4 كالتعيين بالعرف Menentukan dengan dasar“ ”التعيين

‘urf seperti menentukan dengan berdasarkan nash.” Satu penetapan hukum

berdasarkan ‘urf (adat) yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai unsur

hukum. Maka kedudukannya dengan pendekatan hukum yang didasarkan nash.

 

 

3.       Definisi dari ‘illat, macam dan pembagiannya menurut ulama ushul, sebagaimana cara-cara mengetahuainya adalah:

 

‘Illat

a.       Pengertian ‘Illat

Page 13: Makalah Ushul Fiqh

Secara etimologi ‘illat berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya

keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya.” Misalnya, penyakit itu dikatakan

‘illat, karena dengan adanya “penyakit” tersebut tubuh manusia berubah dari sehat

menjadi sakit. Oleh sebab itu apabila dikatakan ,إعتل فالن maka hal itu berarti

keadaannya berubah dari sehat menjadi sakit.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama

ushul fiqh. Mayoritas ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Hanabilah dan Imam Baidhawi

(tokoh ulama fiqh Syafi’iyah), merumuskan definisi ‘illat dengan:

الوصف المعر%ف للحكم

Artinya:

“Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.”

Imam Ghazali, mengemukakan definisi ‘illat sebagai berikut:

المؤثر فى الحكم بجعله تعالى ال بالذات

Artinya:

“Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas

perbuatan Syafi’i.”

Menurutnya, ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya

hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat menyebabkan munculkan hukum. Pada dasarnya

definisi yang dikemukakan al-Ghazali ini tidak berbeda dengan definisi di atas. Akan

tetapi, al-Ghazali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan

sendirinya, melainkan harus karena dengan izin Allah. Maksudnya, Allah-lah yang

menjadikan ‘illat itu berpengaruh terhadap hukum. Misalnya, wajibnya hukuman potong

tangan bagi pencuri, disebabkan perbuatan mencuri yang dilakukan. Akan tetapi,

hukuman potong tangan itu sendiri pada hakekatnya merupakan kehendak Allah, bukan

Page 14: Makalah Ushul Fiqh

semata-mata karena perbuatan mencuri itu sendiri. Contoh lain, seorang pembunuh

terhalang mendapatkan warisan dari harta orang yang ia bunuh, disebabkan pembunuhan

yang ia lakukan. Dalam kasus ini, bukan karena membunuh semata-mata -yang menjadi

‘illat- yang menyebabkan ia tidak mendapatkan warisan, tetapi atas perbuatan dari

kehendak Allah. Dengan demikian, ‘illat dalam kedua definisi di atas hanya merupakan

indikasi, penyebab dan motiv dalam suatu hukuman, yang dapat dijadikan ukuran untuk

mengetahui suatu hukum.

Saifuddin al-Amidi mengatakan ‘illat itu adalah عليه motiv) الباعث terhadap

hukum). Maksudnya, ‘illat itu mengandung hikmah yang layak menjadi tujuan syari’

dalam menetapkan suatu hukum.

b.      Macam-macam ‘Illat

Para ulama ushul fiqh mengemukakan pembagian ‘illat itu dari berbagai segi, di

antaranya adalah dari segi cara mendapatkannya dan dari segi bisa atau tidaknya ‘illat itu

diterapkan pada kasus hukum lainnya.

Dari segi cara mendapatkannya, ‘illat itu, menurut ulama ushul fiqh ada dua macam,

yaitu al-‘illah al-manshushah (العلة المنصوصة) dan al-‘illah al-mustanbathah (

.(العلة المستنبطة

Al-‘Illah al-manshushah adalah ‘illat yang dikandung langsung oleh nash. Misalnya,

dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda:

كنت نهيتكم عن إدهار لحوم األضاحى من اجل الدافة

 

Artinya:

Page 15: Makalah Ushul Fiqh

“Dahulu saya melarang kamu menyimpan daging korban untuk kepentingan al-daffah

(para tamu dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan

daging korban), sekarang simpanlah daging itu. (HR. Al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, al-

Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

c.       Cara-cara mengetahui ‘illat

Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa ‘illat suatu hukum dapat diketahui:

1)      Melalui nash, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW.

Adakalanya ‘illat yang terdapat dalam nash itu bersifat pasti dan adakalanya ‘illat itu

jelas, tetapi mengandung kemungkinan yang lain. Contoh ‘illat yang pasti dapat

dilihat dalam firman Allah pada surat al-Hasyr, 57:7:

ما افاء الله على رسوله من اهل الق,,رى فلل,,ه والرس,,ول

ولذى الق,,ربى واليت,,امى والمس,,اكين وابن الس,,بيل كّي ال

يكون دولة بين األغنياء منكم.

Artinya:

“Dan apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang

berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,

anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,

supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu

saja ...”

2)      Cara kedua untuk mengetahui ‘illat suatu hukum adalah melalui ijma’. Melalui

ijma’, diketahui sifat tertentu yang terdapat dalam hukum syara’ yang menjadi ‘illat

hukum itu. Misalnya, yang menjadi ‘illat perwalian terhadap anak kecil dalam

masalah harta adalah karena “masih kecil.” ‘Illat ini diqiyaskan kepada perwalian

dalam masalah nikah.

Page 16: Makalah Ushul Fiqh

3)      Melalui al-ima’ wa al-tanbih (اإليماء والتنبيه), yaitu penyertaan sifat dengan

hukum dan disebutkan dalam lafal, tetapi ada juga ulama fiqh yang menyatakan

bahwa penyebutan sifat ini bisa diistinbatkan. Adapun hukum yang menyertai sifat

itu bisa ditetapkan melalui nash dan bisa pula hukum yang ditetapkan melalui

ijtihad. Penetapan ‘illat melalui al-ima’ wa al-tanbih ini terdapat beberapa bentuk, di

antaranya:

(a)    Penetapan hukum oleh syar’i setelah mendengar suatu sifat. Hal ini mengandung

pengertian bahwa sifat yang menimbulkan hukum itu menjadi’illat utuk hukum

tersebut. Misalnya, ketika seorang Arab Baui menyatakan bahwa Nabi SAW

bahwa ia telah mencampuri isterinya di siang hari bulan Ramadhan, Nabi SAW

bersabda: “merdekakanlah seorang budak”. Penetapan hukum wajib

memerdekakan budak tersebut muncul setelah Arab Badui itu mengatakan bahwa

ia telah membatalkan puasanya dengan mencampuri isterinya di siang hari bulan

Ramadhan. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut menjadi ‘illat

diberlakukannya hukum wajib memerdekakan seorang hamba sahaya.

(b)   Penyebutan sifat oleh syar’i dalam hukum yang memberi petunjuk bahwa sifat

yang disebutkan bersama hukum itu adalah ‘illat untuk hukum tersebut.

Misalnya, rasulullah SAW mengatakan:

ال يقضى القاضى وهو غضبان

Artinya:

“(seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan marah.” (HR.

Al-Bukhari dan Muslim)

Sifat marah yang menyertai hukum merupakan ‘illat bagi dilarangnya hakim

memutuskan perkara.

Page 17: Makalah Ushul Fiqh

(c)    Pembedaan dua hukum yang disebabkannya adanya sifat, syarat, mani’

(halangan), atau pengecualian; baik kedua hukum yang dibedakan itu disebut

secara jelas, atau hanya satu hukum saja yang disebutkan secara jelas.

4)      Melalui al-sibr wa al-taqsim (السبر والتقسيم). Sibr adalah penelitian dan

pengujian yang dilakukan mujtahid terhadap beberapa sifat yang terdalam suatu

hukum. Apakah sifat tersebut layak untuk dijadikan ‘illat hukum atau tidak.

Kemudian mujtahid mengambil salah satu sifat yang menurutnya paling tepat

dijadikan ‘illat dan meninggalkan sifat-sifat lainnya.

Adapun taqsim adalah upaya mujtahid dalam membatasi ‘illat pada satu sifat dari

beberapa sifat yang dikandung oleh suatu nash. Oleh sebab itu, dengan cara al-sibr

wa al-taqsim kemungkinan berbedanya ‘illat suatu hukum dalam pandangan

beberapa orang mujtahid yang melakukannya, adalah wajar, disebabkan kualitas

analisis dan pengujian yang mereka lakukan. Misalnya, dalam menentukan ‘illat

perwalian dalam nikah terhadap anak kecil yang dikemukakan di atas, seorang

mujtahid melihat beberapa sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, seperti karena ia

masih kecil atau karena ia masih perawan (belum pernah kawin). Penentuan ‘illat

dalam kasus ini antara sifat masih kecil dengan sifat masih perawan bisa

menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan para mujtahid. Ada yang melihat

sifat “masih kecil” lebih tepat dijadikan ‘illat. Akan tetapi, mujtahid lain menjadikan

sifat “masih perawan” sebagai ‘illat, dan sifat “masih kecil” tidak cocok dijadikan

‘illat, akrena wanita yang telah janda, sekalipun masih kecil, tidak bisa dipaksa oleh

walinya untuk kawin, sesuai dengan kandungan hadits:

األيم أحق بنفسها من وليها

 

Artinya:

“Janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” (HR. Muslim)

Page 18: Makalah Ushul Fiqh

Cara untuk memilih dan memilah sifat yang akan dijadikan ‘illat itu dapat dilakukan

dengan tiga cara, yaitu:

(a)    Mujtahid tersebut melihat bahwa sifat yang dipilihnya ternyata telah membentuk

suatu hukum, sedangkan sifat yang lainnya tidak demikian. Cara seperti ini

disebut para ahli ushul fiqh dengan ilgha’ (اإللغاء).

(b)    Sifat yang tidak dipakai sebagai ‘illat tersebut memang sifat yang tidak diterima

oleh syara’. Misalnya, sifat laki-laki dan wanita dalam masalah memerdekakan

budak. Sifat laki-laki dan wanita memang sifat yang menentukan dalam masalah

persaksian, peradilan dan perwalian. Akan tetapi, menurut ulama ushul fiqh, sifat

laki-laki dan wanita dalam masalah memerdekakan nudak tidak bisa dijadikan

‘illat, akrena baik budak laki-laki maupun wanita, sama-sama harus

dimerdekakan.

(c)    Mujtahid itu sendiri tidak melihat adanya keterkaitan dan kesesuaian

(munasabah) sifat itu dengan hukum yang dibahas, karena syara’ tidak

menjadikannya sebagai sifat yang dapat menjadi ‘illat dalam kasus hukum apa

pun.

5)      Munasabah (المناسبة), yaitu sifat nyata yang terdapat pada suatu hukum, dapat

diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan yang dikandung hukum itu, yaitu berupa

pencapaian terhadap suatu kemaslahatan atau penolakan terhadap kemudharatan.

Munasabah ini disebut juga oleh para ahli ushul fiqh dengan ikhalah (اإلخالة) yang artinya: diduga bahwa suatu sifat itu merupakan (‘illat) hukum, atau disebut

juga dengan mashlahah (المصلحة/kemaslahatan), atau ri’ayah al-maqashid

mashlahah atau disebut ,(’pemeliharaan tujuan-tujuan syara/رعاية المقاصد)

juga dengan takhrij al-manath                         (المناط mendapatkan/تخريج

‘illat pada hukum ashl semata-mata mengaitkan antara munasabah dengan hukum).

Page 19: Makalah Ushul Fiqh

Contoh munasabah, adalah perbuatan zina. Perzinaan itu merupakan suatu sifat

perbuatan yang dapat diukur dan menurut nalar sejalan dengan hukum

diharamkannya zina tersebut, untuk suatu kemaslahatan, yaitu memelihara

keturunan, atau untuk menolak kemudharatan/kemafsadhatan, beberapa

tercampurnya nasab dan tidak dapat membedakan suatu keturunan.

Munasabah, apabila dilihat dari segi layak atau tidaknya dijadikan ‘illat, menurut

para ulama ushul fiqh ada tiga macam, yaitu:

(a)     Al-Munasib al-Mulghi (الملغى ,(المناسب yaitu sifat yang menurut

pandangan mujtahid mengandung kemaslahatan, tetapi ada nash hukum yang

menolaknya. Misalnya, menetapkan kaffarah puasa dua bulan berturut-turut bagi

orang kaya yang melakukan hubungan suami isteri di siang hari bulan

Ramadhan. Pada dasarnya penetapan puasa dua bulan berturut-turut sebagai

kaffarah bagi orang kaya yang melakukan hubungan suami isteri di siang hari

bulan ramadhan mengandung kemaslahatan, yaitu agar bisa mencegahnya

melakukan hal yang sama, karena jika dikenakan kaffarah memerdekakan

mudak, bagi orang kaya tidak akan mempengaruhi sikapnya, disebabkan ia

orang kaya sehingga berapa pun banyak budak bisa ia merdekakan. Akan tetapi,

sesuai dengan nash, kaffarah untuk kasus seperti ini harus dilakukan secara

berturut-turut; dimulai dari memerdekakan budak, jika tidak mampu puasa dua

bulan berturut-turut, dan apabila juga tidak mampu, maka memberi makan 60

orang miskin. Oleh sebab itu, mendahulukan puasa berurut-turut secara langsung

dianggap bertentangan dengan nash.

(b)    Al-Munasib al-Mu’tabar (المعتبر ,(المناسب yaitu munasabah yang

didukung oleh syara’, yaitu sifat al-munasabah itu dipergunakan syara’ sebagai

‘illat dalam hukum. Munasabah seperti ini ada empat macam, yaitu:

(1)    Materi sifat itu sendiri terdapat pada materi hukum, seperti sifat

memabukkan terdapat dalam khamar.

Page 20: Makalah Ushul Fiqh

(2)    Jenis sifat itu terdapat pada jenis hukum, seperti haid menyebabkan seorang

wanita meninggalkan shalat, akrena adanya masyaqqah seorang wanita

meninggalkan shalat, karena adanya masyaqqah untuk mengulang beberapa

shalat yang mereka tinggalkan. Hal yang sama juga terdapat pada hukum

lainnya, yaitu safar (perjalanan) merupakan ‘illat untuk mengqashar

(meringkas) dan menjama’ shalat, karena adanya masyaqqah dalam

perjalanan itu. Dengan demikian, bagi orang haid dan orang yang dalam

perjalanan terdapat jenis sifat yang sama, yaitu mayaqqah. Oleh sebab itu,

keringanan untuk mengqashar dan menjama’ shalat serta keringanan untuk

meninggalkan shalat tanpa qadha (wajib mengganti) bagi orang haid, sama-

sama berada dalam satu jenis sifat.

(3)    Materi sifat itu terdapat dalam jenis hukum. Misalnya, hak perwalian dalam

nikah, menurut seorang mujtahid adalah karena ia masih kecil, seperti yang

terdapat dalam haditd:

اليزوج البكر الصغيرة إال وليها

Artinya:

“Gadis kecil tidak boleh kawin melainkan dikawinkan walinya”. (HR.

Muslim, Abu Daud dan al-Nasa’i)

Lalu mujtahid tersebut mencari bandingannya dalam hukum lain. Ternyata ada

juga hukum lain yang menjadikan “leadaan masih kecil” itu sebagai ‘illat, yaitu

perwalian dalam masalah harta. Oleh sebab itu, materi sifat yang menjadikan

‘illat itu terdapat pula dalam jenis hukum lain.

(4)    Jenis sifat itu terdapat dalam jenis hukum. Misalnya, apabila hari hujan

dibolehkan menjama’shalat, karena hujan itu, menurut penelitian seorang

mujtahid, membawa kepada suatu masyaqqah (kesulitan), dan kesulitan ini

sejalan dengan hukum bolehnya jama’ tersebut. Lalu mujtahid tersebut

mencari jenis kesulitan yang sama dalam hukum syara’ lain, dan ternyata ia

Page 21: Makalah Ushul Fiqh

temukan bahwa safar menjadi ‘illat dibolehkan menjama’ shalat. Hujan dan

safar sama-sama berada dalam satu jenis, yaitu masyaqqah.

(c) Al-Munasib al-Mursal (المناسب المرسل), yaitu suatu sifat yang tidak

didukung oleh nash yang bersifat rinci, tetapi juga tidak ditolak oleh syara’,

namun, sifat ini mengandung suatu kemaslahatan yang didukung oleh sejumlah

makna nash. Menurut ulama Malikiyyah dan Hanabilah, sifat seperti ini dapat

dijadikan ‘illat, dengan alasan bahwa sekalipun nash secara rinci tidak ada yang

mendukung sifat ini, namun, sifat ini didukung oleh sejumlah makna nash.

Pendapat mereka ini juga diterima oleh Imam al-Ghazali, dengan syarat bahwa

kemaslahatannya bersifat dharuri, pasti, dan universal. Akan tetapi, menurut

ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah tidak dapat dijadikan ‘illat hukum, karena

tidak didukung secara langsung oleh nash yang rinci.

6)      Cara keenam dalam mencari ‘illat adalah melalui tanqih al-manath (تنقيح

yaitu upaya seorang mujtahid dalam menentukan ‘illat dari berbagai sifat ,(المناط

yang dijadikan ‘illat oleh syara’ dalam berbagai hukum. Dengan demikian, sifat

yang dipilih untuk dijadikan ‘illat itu dalah sifat-sifat yang terdapat dalam nash.

Misalnya, menjadikan ‘illat kaffarat bagi orang yang melakukan hubungan suami

isteri pada siang hari bulan Ramadhan. Seorang mujtahid melihat bahwa nash hadits

yang membicarakan kaffarat orang yang bersenggama di siang hari Ramadhan itu

mengisyaratkan beberapa sifat yang bisa dijadikan ‘illat dalam kasus ini, seperti

pelakunya orang Arab, yang disenggamai itu seorang wanita, dan yang disenggamai

itu isterinya sendiri. Akan tetapi, tiga sifat yang disebutkan ini menurut nalar seorang

mujtahid tidak tepat dijadikan ‘illat, karena hukum itu harus berlaku secara umum,

bukan khusus terhadap orang Arab saja, senggama dengan bukan isteri dan bukan

seorang wanita, mestinya hukumannya lebih berat. Oleh karena itu, ketiga sifat ini,

menurutnya tidak dapat dijadikan ‘illat, karena sifatnya berlaku khusus. Agar ‘illat

dan hukumnya berlaku umum, maka mujtahid tersebut memilih “sifat senggama di

siang hari Ramadhan” itulah yang paling tepat. Pemilihan dan pemilahan ‘illat yang

Page 22: Makalah Ushul Fiqh

diisyaratkan nash ini, oleh para ulama ushul fiqh disebut dengan tanqih

al-manath.

7)      At-Tard (الطرد), yaitu penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya keserasian

antara keduanya. Misalnya, dikatakan “hukumlah orang pincang itu”. Dalam

pernyataan ini perintah menghukum tidak ada kaitannya dengan sifat orang yang

dihukum, yaitu pincang. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat ulama ushul

fiqh tentang bisa tidaknya tard dijadikan sebagai salah satu cara menetapkan ‘illat.

Saifuddin al-Amidi mengemukakan bahwa pendapat terkuat menyatakan bahwa tard

tidak bisa dipakai sebagai salah satu cara untuk menetapkan ‘illat. Sebagian ulama

ushul fiqh lainnya, di antaranya dari kalangan Mu’tazilah, menyatakan thard dapat

dijadikan suatu cara untuk menetapkan ‘illat.

8)      Al-Syabah (الشبه), yaitu sifat yang mempunyai keserupaan,            al-syabah ini,

menurut para ulama ushul fiqh, ada dua bentuk, yaitu:

(a)    Melakukan qiyas kesamaan yang dominan dalam hukum dan sifat, yaitu

mengkaitkan furu yang mempunyai bentuk kesamaan dengan dua hukum asl-ashl.

Tetapi, kemiripannya dengan salah satu sifat lebih dominan dibandingkan dengan

sifat lainnya. Contohnya, menyamakan hamba shaya dengan harta, karena

statusnya yang bisa dimiliki, atau menyamakan hamba sahaya dengan orang

merdeka, disebabkan keduanya adalah manusia. Dalam persoalan ganti rugi

akibat suatu tindakan hukum yang dilakukan seorang hamba sahaya, sifat

kesamaannya dengan orang merdeka lebih dominan dibanding sebagai sesuatu

yang dimiliki. Artinya, apabila kesamaannya dengan harta yang dimiliki lebih

dominan, maka ganti rugi terhadap kelalaiannya tidak dapat dituntut. Oleh sebab

itu, dalam kasus ganti rugi ini, hamba sahaya lebih mirip dan lebih dominan

kesamaannya dengan orang merdeka, sehingga tindakan hukumnya harus

dipertanggung jawabkan.

(b)    Qiyas shuri atau qiyas yang semu, yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada yang lain

semata-mata karenha kesamaan bentuknya. Contohnya, menyamakan kuda

Page 23: Makalah Ushul Fiqh

dengan keledai dalam kaitannya dengan masalah zkat, sehingga apabila keledai

tidak wajib dikenai zakat, maka kuda pun tidak wajib dikenai zakat.

Dalam menempatkan syabah sebagai salah satu cara dalam menetapkan ‘illat,

terdapat perbedaan para ulama ushul fiqh. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa

apabila tidak dapat menggunakan ‘illat karena tidak ada unsur kesesuaian antara

suatu sifat dan hukum, maka al-syabah dapat dijadikan ‘illat. Yajuddin ‘Abdul

Wahhab al-Subki, menempatkan syabah antara munasabah dengan thard, karena

dari satu sisi syabah tidak mengandung unsur munasabah (kesesuaian), di pihak

lain syara’ secara universal dapat menerimanya. Akan tetapi, al-Shairafi (tokoh

ushul fiqh Syafi’iyyah), menolak syabah sebagai salah satu cara dalam

menetapkan ‘illat. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (tokoh ushul fiqh Hanbali), juga

menolak syabah sebagai salah satu cara menetapkan ‘illat hukum, karena syabah,

hanya bersifat semua dan tidak nyata.

9)      Dauran (الدوران), suatu keadaan di mana ditemukan hukum apabila bertemu

sifat dan tidak terdapat hukum ketika sifat tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan

bahwa sifat yang selalu menyertai hukum itu adalah ‘illat hukum.

Dalam menetapkan dauran sebagai salah satu cara menemukan ‘illat, para ulama ushul

fiqh juga berbeda pendapat. Al-Bannani dalam kitabnya, Syarh al-Mahalli ‘ala Jam’i al-

Jawami, mengatakan bahwa pendapat terkuat yang dianut ulama ushul fiqh adalah

bahwa dauran bisa dijadikan salah satu cara menemukan ‘illat, tetapi hanya dalam

kualitas yang zhanni, tidak qath’i. Namun, ada juga ulama ushul fiqh lainnya yang

mengatakan bahwa dauran dapat digunakan untuk menemukan ‘illat secara qath’i.

10)  Ilgha al-Fariq (إلغاء الفارق), yaitu terdapat titik perbedaan antara sifat dengan

hukum, tetapi titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal hanya

kesamaannya. Contohnya firman Allah dalam surah al-Nisa, 4: 101:

وإذا ضربتم فى األرض فال جناح عليكم أن تقصروا الصالة

Page 24: Makalah Ushul Fiqh

 

 

 

 

Artinya:

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu

mengqasharkan (meringkas) shalat (mu).”

Apabila diperhatikan kalimat yang digunakan dalam ayat ini, maka khitab dalam ayat itu

secara zhahir ditujukan kepada kaum lelaki, karena Allah menggunakan kalimat

“dharabtum”. Oleh sebab itu, secara shahir ayat ini mengandung makna lelaki yang

melakukan perjalanan di atas bumi boleh mengqashar shalat. Namun, apakah dengan

demikian wanita tidak boleh mengqashar shalat apabila melakukan perjalanan?

Dalam kasus-kasus tertentu, memang wanita dibedakan dengan pria, misalnya, dalam

masalah perwalian dan kesaksian. Wanita tidak boleh menjadi wali nikah dan wanita

tidak boleh menjadi saksi dalam kasus perzinahan. Akan tetapi, kasus-kasus seperti ini

sangat terbatas;           di samping dalam maslaah ibadah antara pria dan wanita tidak ada

bedanya. Oleh sebab itu, sekalipun dalam beberapa kasus pria dibedakan dengan wanita,

namun dalam masalah ibdah tidak ada perbedaan kelamin; karena wanita pun boleh

mengqashar shalat dalam perjalanan. Artinya perbedaan sifat tersebut disingkirkan,

sehingga yang tinggal hanya persamaan antara pria dan wanita saja.

 

4.       Pengertian Ta’arudh Adhillah

Secara etimologi, ta’arud berarti pertentangan dan al-adhillah jamak dari dalil yang

berarti alasan atau argumen.

Page 25: Makalah Ushul Fiqh

Secara terminologi:

a.     Imam Syaukani mendefinisikan dengan suatu dalil yang menentukan hukum tertentu

terhadap satu persoalan. Sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan

hukum tersebut.

b.     Kamal ibn al-Humam dan al-Taftah Zani keduanya mendefinisikan sebagai pertentangan

dua dalil yang tidak mungkin dibakukan pengkompromian antara keduanya.

c.     Ali Hasaballah mendefinisikan terjadinya pertentangan hukum yang dikandunf satu dalil

dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu

derajat (antara ayat dengan ayat, sunnah dengan sunnah)

Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa persoalan ta’arudh al-adillah dibahas para ulama

ketika ada pertentangan antara dua dalil atau antara satu dalil dengan dalil lainnya secara

zahir pada derajat yang sama.

Cara penyelesaian ta’arudh al-adillah :

a.     Menurut Syafi’iyah, Malikiyyah dan Zhahiriyah

1)    Jamu’ wa al-Taufiq

Yaitu mengkompromikan kedua dalil tersebut dengan alasan kaidah

menyatakan, “mengamalkan kedua dalil baik daripada meninggalkan atau

mengabaikan dalil yang lain”. Untuk mengkompromikan dua dalil yang bertentangan

ada tiga cara:

(a)    Membagi kedua hukum yang bertentangan.

(b)   Memilih suatu salah satu hukum.

(c)    Mengambil dalil yang lebih khusus.

2)    Tarjih

Page 26: Makalah Ushul Fiqh

Yaitu menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya yakni memilih mana dalil

yang kuat di antara dalil yang tampaknya berlawanan.

3)    Nasakh

4)    Tatsaqut al-dalilain.

Yaitu meninggalkan kedua dalil dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya

lebih rendah.

b.      Menurut Hanafiyah dan Hanabilah

Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa cara menyelesaikan antara dua masalah yang

saling bertentangan sebagai berikut:

 

1)    Nasakh

Yaitu membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang

datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda.

2)    Tarjih

Yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan.

3)    Al-jam’ wa At-Taufiq

Yaitu mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan

keduanya.

4)    Tasaqut Ad-Dalilain

Yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih

rendah.

Page 27: Makalah Ushul Fiqh

 

5.       Intisari dari Makalah Saya adalah:

a.     Ta’arudh Al-Adillahyaitu kontradiksi dua dalil dalam satu hukum atau pertentangan dua

dalil atau lebih dalam satu masalah di mana pertentangan itu satu sama lainnya tidak

bersesuaian.

b.     Apabila kita menemukan adanya dua dalil bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua

cara penyelesainnya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing  oleh ulama

Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah. Ada berbagai macam penyelesaian ta’arudh al-

Adillah ini menurut ulama Hanafiyyah dan Hanabilah. Ada juga menurut Syafi’iyyah,

Malikiyyah dan Zhahiriyyah.

Kasus hukumnya tentang :

a.     Dirajihkan zahirnya

Sesudah menerangkan siapa-siapa yang haram dinikahi, maka Allah SWT

mengemukakan:

(24احل لكم ما ورآء ذلكم )النساء:

 

Artinya:

“Dihalalkan bagimu apa yang sebaik itu.”

Isinya : Boleh nikah lebih dari empat orang.

Nash yang menentangnya :

Page 28: Makalah Ushul Fiqh

فانكحوا ما طاب لكم من النساء مث,,نى وثل,,ثى وربعى. )النس,,اء :

2)

Artinya:

“Nikahilah yang baik bagimu dari wanita dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat.”

Nash ini menerangkan haram nikah lebih dari empat orang. Ini dinamakan rajih.

b.     Dirajihkan nashnya

Menurut nashnya

Firman Allah mengenai wanita mustahadah:

المستحاضة تتوضأ لكل صالة )رواه مسلم وابو داود(

Artinya:

“Wanita mustahadah harus berwudhu untuk tiap shalatnya.”

Isinya; bahwa wanita itu harus berwudhu tiap shalat walaupun hanya dalam satu waktu.

Ditafsirkan orang, wanita mustahadah harus (wajib) berwudhu untuk tiap shalatnya,

walaupun lebih dari satu shalat padanya.

 

 

 

 

 

Page 29: Makalah Ushul Fiqh

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Aminuddin, Khairul Umam dan A. Achyar, Ushul Fiqh II, Fakultas Syari’ah, Bandung, Pustaka Setia, 1989.

 

Departemen Agama, Ushul Fiqih II, Qaidah-qaidah Fiqh dan Ijtihad, Jakarta,Depag, 1986.

 

Djafar, Muhammadiyah, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta, Kalam Mulia, 1993.

 

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.

 

Karim, A. Syafi’i, Fiqih Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1997.

 

Khallaf, Abdul Wahab, Ushul Fiqh.

 

Rahman, Mukhtar Yahya dan Fachur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1983.

 

Page 30: Makalah Ushul Fiqh

Rafi’i, Moh., Ushul Fiqh, Bandung, Al-Ma’arif, 1973.

 

SW, Zarkasyi Abdul Salim dan Oman Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh, Yogyakarta, CV. Bina Usaha, 1986.

 

Syafi’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1998.

 

Usman, Muclis, Qaidah-qaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta,                   PT. RajaGrafindo Persada, 1983.

 

Zahrah, Muhammad Abu, (دار الفكر العربى) اصول الفقة

 

Muhammad Abu Zahrah, (دار الفكر العربى) اصول الفقة, h. 6.

Abdul Wahab Khallaf, Ushul Fiqh, h. 12.

A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 28.

Zarkasyi Abdul Salim dan Oman Fathurrohman SW, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh, (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1986), h. 83.

Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 23.

Departemen Agama, Ushul Fiqih II, Qaidah-qaidah Fiqh dan Ijtihad, (Jakarta:Depag, 1986), h. 180.

Muclis Usman, Qaidah-qaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1983), h. 115.

Mukhtar Yahya dan Fachur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1983), h. 497.

Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 284.

Ibid., h. 287-288.

Page 31: Makalah Ushul Fiqh

Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993),     h. 135-136.

Departemen Agama, op. cit.,ih. 213.

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 76-95.

Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II, Fakultas Syari’ah, (Bandung: Pustaka Setia, 1989), h. 184.

Nasrun Haroen, op.cit., h. 176-173.