Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

49
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia sebagai negara dengan luas daratan 1.922.570 km 2 mempunyai sumberdaya alam yang besar dan tersebar diseluruh daerah di wilayah indoensia. Sumberdaya alam ini ada yang telah dimanfaatkan dan ada yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia. Untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut secara maksimal maka diperlukan pendataan sumberdaya alam yang tersedia. Pendataan tentunya memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu yang cukup lama jika dilihat dari kondisi geografis wilayah Indonesia. Provinsi Gorontalo mempunyai pulau-pulau yang berpotensi dikembangkan menjadi asset untuk mendapatkan devisa bagi daerah. Beberapa pulau tersebut tersebar di sepanjang pantai utara Provinsi Gorontalo. Pulau-pulau ini beberapa diantaranya sudah berpenghuni dan dikembangkan menjadi obyek wisata seperti Pulau Dudepo dan Pulau Saronde. Pulau Mohinggito merupakan salah satu pulau yang belum banyak diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo, padahal pulau ini sangat berdekatan dengan Pulau Saronde dan bisa dioptimalkan menjadi wilayah yang mempunyai nilai ekonomis. Cara yang bisa digunakan adalah dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di pulau tersebut. Teknologi penginderaan jauh adalah salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menginfentarisasi sumberdaya alam secara cepat dan akurat. Dengan teknologi ini maka sumberdaya alam yang terdapat pada suatu wilayah dapat diketahui dan dijadikan basisdata untuk pengembangan wilayah. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, citra satelit mulai marak digunakan sebagai komponen data penginderaan jauh. Citra

description

Cara Membuat Jurnal

Transcript of Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

Page 1: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia sebagai negara dengan luas daratan 1.922.570 km2 mempunyai

sumberdaya alam yang besar dan tersebar diseluruh daerah di wilayah indoensia.

Sumberdaya alam ini ada yang telah dimanfaatkan dan ada yang belum

dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia.

Untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut secara maksimal maka

diperlukan pendataan sumberdaya alam yang tersedia. Pendataan tentunya

memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu yang cukup lama jika dilihat dari

kondisi geografis wilayah Indonesia.

Provinsi Gorontalo mempunyai pulau-pulau yang berpotensi dikembangkan

menjadi asset untuk mendapatkan devisa bagi daerah. Beberapa pulau tersebut

tersebar di sepanjang pantai utara Provinsi Gorontalo. Pulau-pulau ini beberapa

diantaranya sudah berpenghuni dan dikembangkan menjadi obyek wisata seperti

Pulau Dudepo dan Pulau Saronde.

Pulau Mohinggito merupakan salah satu pulau yang belum banyak

diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo, padahal pulau ini sangat

berdekatan dengan Pulau Saronde dan bisa dioptimalkan menjadi wilayah yang

mempunyai nilai ekonomis. Cara yang bisa digunakan adalah dengan

memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di pulau tersebut.

Teknologi penginderaan jauh adalah salah satu alternatif yang dapat

digunakan untuk menginfentarisasi sumberdaya alam secara cepat dan akurat.

Dengan teknologi ini maka sumberdaya alam yang terdapat pada suatu wilayah

dapat diketahui dan dijadikan basisdata untuk pengembangan wilayah.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, citra satelit

mulai marak digunakan sebagai komponen data penginderaan jauh. Citra

Page 2: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

2

Quickbird merupakan citra beresolusi tinggi yang memiliki resolusi spasial 0,6 m

(pankromatik) dan 2,4 m (multispektral). Hal tersebut dapat dilihat dari resolusi

spasial (RS) yang melekat pada suatu citra satelit. Resolusi spasial adalah ukuran

objek terkecil yang masih dapat disajikan/dibedakan dan dikenali pada citra.

Antariksa secara dimensional belum dapat diukur dengan akurat oleh setiap

manusia di bumi, sekalipun menggunakan peralatan canggih yang dimilikinya.

Hal ini masih membuktikan bahwa semua yang ada di dunia ini masih memiliki

keterbatasan. Citra satelit yang merupakan hasil teknologi masa kini bukan berarti

segala-galanya dalam arti mampu menyelesaikan segala permasalahan yang ada di

dunia, tetapi juga bukan berarti tidak dapat dimanfaatkan.

Citra satelit Quick Bird milik Amerika Serikat dibuat untuk keperluan

penginderaan jauh tentang sumberdaya di permukaan bumi. Citra tersebut berujud

gambaran secara visual mengenai obyek diatas muka bumi, seperti bangunan

gedung, jalan, sungai, saluran, maupun vegetasi berupa hutan, ladang, sawah dan

sebagainya, sehingga secara umum sering disebut foto satelit karena menyerupai

foto.

Dengan kemampuan yang ada pada Citra Satelit Quick Bird dalam merekam

kenampakan permukaan bumi, maka citra ini dapat dimanfaatkan untuk

interpterasi penggunaan lahan yang ada di Pulau Mohinggito Kecamatan Anggrek

Kabupaten Gorontalo Utara. Citra Satelit Quick Bird dalam bentuk dijital, dengan

piksel 0,61 meter, secara hipotetis cukup memadai untuk keperluan interpretasi

penggunaan lahan lebih baik, dibanding citra satelit lain yang resolusinya lebih

rendah.

Berdasarkan fakta-fakta diatas maka dapat peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul Pemetaan Penggunaan Lahan Menggunakan Citra Satelit

Quickbird di Pulau Mohinggito Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.

1.2 Perumusan Masalah

Seberapa besar kemampuan citra Quickbird untuk Pemetaan Penggunaan

lahan di Pulau Mohinggito Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.

Page 3: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

3

1.3 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketelitian citra Quickbird dalam

mengambil informasi tentang Penggunaan lahan di Pulau Mohinggito Kecamatan

Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.

1.4 Manfaat penelitian

1. Meningkatkan pengetahuan tentang pentingnya penerapan teknologi

penginderaan jauh dalam kaitannya dengan penentuan, perencanaan dan

pengembangan Pulau Mohinggito.

2. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan tentang penginderaan jauh yang

diperoleh di bangku perkuliahan

3. Memberikan informasi tentang sumberdaya alam bagi pemerintah di

Provinsi Gorontalo

Page 4: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Defenisi Penggunaan lahan

Penggunaan lahan yang oleh Sandy (1995) dimaknai sebagai dampak dari

segala kegiatan manusia diatas muka bumi yang dipengaruhi oleh keadaan alam

(fisik lingkungan) serta kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat suatu

wilayah. Sementara itu Barlowe (1978), mengemukakan, bahwa faktor- faktor

yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah faktor-faktor fisik-biologis,

faktor pertimbangan ekonomi, dan faktor institusi (kelembagaan). Penggunaan

lahan juga ditentukan oleh keadaan topografi, relief dan ketinggian, aksesibilitas,

kemampuan dan kesesuaian lahan serta tekanan penduduk.

Lahan yang subur lebih banyak digunakan untuk pertanian dan biasanya

berpenduduk padat (Sandy, 1995). Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi

arah perkembangan dan laju penggunaan lahan pertanian di perkotaan dan

wilayah sekitarnya antara lain: indeks aksesibilitas, faktor sosial, faktor

lingkungan fisik dan kebijakan infrastruktur (Owen, 1978). Sementara itu Bern

(1977), mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan adalah akibat dari

jumlah dan komposisi penduduk secara berkala ataupun permanen. Pengaruh yang

lain ialah terhadap ekonomi lahan, seperti harga, sewa dan pasar lahan.

2.1.2 Pemukiman

Undang-undang RI No. 14 Tahun 1992, tentang Perumahan dan

Permukiman dalam pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan permukiman sebagai berikut:

1) Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan sebagai

sarana pembinaan keluarga.

Page 5: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

5

2) Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan

tempat tinggal yang dilengkapi sarana dan prasaran lingkungan.

3) Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,

baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal dan mendukung perikehidupan dan

penghidupan

Lingkungan permukiman yang mendukung perikehidupan dan penghidupan

menurut Happy RS. (1999), terdiri atas 2 aspek tinjauan yaitu aspek fisik dan

aspek non fisik, yang mana aspek-aspek tersebut terbagi lagi antara lain.

2.1.3 Semak Belukar

Semak belukar adalah tumbuhan kayu-kayuan kecil dan rendah atau tanah

yang ditumbuhi kayu-kayuan kecil dan rendah.

2.1.4 Kebun Campuran

Kebun campuran merupakan salah satu sistem agroforestri yang terdiri dari

beragam jenis pohon dan tanaman semusim yang menciptakan suatu konfigurasi

tajuk yang berlapis-lapis dan membentuk suatu ekosistem yang efisien dalam

pemanfaatan ruang, unsur hara, air, energi dan waktu. Kebun campuran sebagai

sebuah sistem produksi menghasilkan sumber makanan bagi manusia maupun

ternak, sumber bahan bangunan dan sumber energi berupa materi, energi kayu

bakar. Keragaman hasil dari kebun campuran itu menunjukan produksi total

relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya tanaman monokultur.

2.1.5 Mangrove

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu

atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut

tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang

terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut

dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8%

(Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).

Page 6: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

6

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang

digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang

didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang

mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Kata mangrove

mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat

tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air

laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono,

2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila

berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan.

Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau

hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai

bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama

kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung aktivitas

kehidupan di wilayah pantai dan memegang peranan penting dalam menjaga

keseimbangan siklus biologis di lingkungannya. Di samping itu, hutan mangrove

mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Indonesia memiliki sumberdaya hutan

mangrove yang sangat luas yang tersebar di wilayah pesisir di berbagai provinsi.

Potensi kekayaan alam tersebut perlu dikelola dan dimanfaatkan seoptimal

mungkin untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk memperoleh informasi

keberadaan hutan mangrove yang aktual, faktual serta mudah dan cepat dapat

diperoleh melalui data penginderaan jauh.

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang

surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya

mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas

(pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap

keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Dalam dua dekade ini

keberadaan ekosistem mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis.

(Di Ambil Pada Tangga Rabu 30 April 2014 Jam 11.00 Wib)

Page 7: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

7

2.2 Klasifikasi Penggunaan Lahan

Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan

(land cover). Penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan dan

sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan

penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi

yang ada pada lahan tertentu. Penggunaan lahan merupakan aspek penting karena

penggunaan lahan mencerminkan tingkat peradaban manusia yang menghuninya.

Townshend dan Justice (1981) juga memiliki pendapat mengenai

penutupan lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual)

dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi

tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Sedangkan

Barret dan Curtis, tahun 1982, mengatakan bahwa permukaan bumi sebagian

terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain

sebagainya. Sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia

(penggunaan lahan).

Suatu unit penggunaan lahan mewakili tidak lebih dari suatu mental

construct yang didesain untuk memudahkan inventarisasi dan aktivitas pemetaan

(Malingreau dan Rosalia, 1981). Interpretasi penggunaan lahan dari foto udara ini

dimaksudkan untuk memudahkan deliniasi. Untuk dapat mempercepat hasil

inventarisasi dengan hasil yang cukup baik, digunakan pemanfaatan data

penginderaan jauh, karena dari data penginderaan jauh memungkinkan diperoleh

informasi tentang penggunaan lahan secara rinci.selain itu, adanya perubahan

pemanfaatan lahan kota yang cepat dapat pula dimonitor dari data penginderaan

jauh.

Identifikasi, pemantauan, dan evaluasi penggunaan lahan perlu selalu

dilakukan pada setiap periode tertentu, karena ia dapat menjadi dasar untuk

penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan

lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi bagian yang penting dalam

usaha melakukan perencanaan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan

Page 8: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

8

keruangan di suatu wilayah. Prinsip kebijakan terhadap lahan perkotaan bertujuan

untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan pengadaan lahan untuk

menampung berbagai aktivitas perkotaan. Dalam hubungannya dengan

optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan penggunaan lahan diartikan sebagai

serangkaian kegiatan tindakan yang sitematis dan terorganisir dalam penyediaan

lahan, serta tepat pada waktunya, untuk peruntukan pemanfaatan dan tujuan

lainnya sesuai dengan kepentingan masyarakat (Suryantoro, 2002).

Menurut Malingreau (1979), penggunaan lahan merupakan campur tangan

manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan

keduanya. Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam perencanaan

wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting

dalam perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan

penggunaan lahan.

Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni

keadaan kenampakan penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu

tertentu. Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-

sistematik. Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang

berulang, yakni tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang sama.

Kecenderungan perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta multiwaktu.

Fenomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan

penggunaan lahan dapat diketahui. Perubahan non-sistematik terjadi karena

kenampakan luasan lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap.

Perubahan ini pada umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah,

baik penutup lahan maupun lokasinya (Murcharke, 1990).

Penggunaan lahan mencerminkan sejauh mana usaha atau campur tangan

manusia dalam memanfaatkan dan mengelola lingkungannya. Data

penggunaan/tutupan lahan ini dapat disadap dari foto udara secara relatif mudah,

dan perubahannya dapat diketahui dari foto udara multitemporal. Teknik

Page 9: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

9

interpretasi foto udara termasuk di dalam sistem penginderaan jauh. Penginderaan

jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah

atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan

alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau gejala yang dikaji

(Lillesand dan Kiefer, 1997).

Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam

proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra

penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang

sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan para ahli berpendapat Penggunaan

lahan yaitu segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap maupun

berpindah – pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya

buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi

kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kedua – duanya (Malingreau,

1978).

Pengelompokan objek-objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan persamaan

dalam sifatnya, atau kaitan antara objek-objek tersebut disebut dengan klasifikasi.

Menurut Malingreau (1978), klasifikasi adalah penetapan objek-objek

kenampakan atau unit-unit menjadi kumpulan-kumpulan di dalam suatu sistem

pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat yang khusus berdasarkan

kandungan isinya. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan

dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan

citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi

yang sederhana dan mudah dipahami

2.2.1 Klasifikasi Penggunaan Lahan menurut Malingreau

Sistem klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan adalah sistem

klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreu. Dalam suatu kerangka kerja,

menurut Dent (1981) dalam membuat klasifikasi penggunaan lahan dibagi

menjadi tingkatan-tingkatan yang terbagi menjadi kelompok-kelompok sebagai

berikut :

Page 10: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

10

� Land cover/land use Order (cover type);

� Land cover/land use Cover Classes;

� Land cover/land use Sub-Classes;

� Land cover/land use Management Units (comparable to land utilization

types).

Dari klasifikasi tersebut oleh Malingreu diubah menjadi 6 kategori sebagai

berikut :

� Land cover/land use Order e.g. vegetated area;

� Land cover/land use Sub-Order e.g. cultivated area;

� Land cover/land use Family e.g. permanently cultivated area;

� Land cover/land use Class e.g. Wetland rice (sawah);

� Land cover/land use Sub-Class e.g. irrigated sawah;

� Land Utilization Type e.g. continous rice.

Klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreu yang digunakan

didasarkan pada penutup lahan, klasifikasi tersebut sebagai berikut :

Jenjang I Jenjang II Jenjang III Jenjang IV Simbol

1. Daerah

Bervegetasi

A. Daerah

Pertanian

1. Sawah Irigasi Si

2. Sawah Tadah

Hujan

St

3. Sawah Lebak Sl

4. Sawah pasang surut Sp

5. Ladang/Tegal L

6. Perkebunan Cengkeh C

Coklat Co

Karet K

Kelapa Ke

Page 11: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

11

Kelapa Sawit Ks

Kopi Ko

Panili P

Tebu T

Teh Te

Tembakau Tm

7. Perkebunaan

Campuran

Kc

8. Tanaman

Campuran

Te

Bukan

Daerah

Pertanian

Huatan lahan

kering

Hutan bambu Hb

Hutan campuran Hc

Hutan jati Hj

Hutan pinus Hp

Hutan lainnya Hl

Hutan lahan basah Hutan bakau Hm

Hutan campuran Hc

Hutan nipah Hn

Hutan sagu Hs

Belukar B

Semak S

Page 12: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

12

Padang Rumput Pr

Savana Sa

Padang alang-alang Pa

Rumput rawa Rr

II. Daerah tak

bervegetasi

C. Bukan

daerah

pertanian

1. Lahan terbuka Lb

2. Lahar dan Lava Ll

3. Beting Pantai Bp

4. Gosong sungai Gs

5. Gumuk pasir Gp

III. Permukiman

dan lahan bukan

pertanian

D. Daerah

tanpa

liputan

vegetasi

1. Permukiman Kp

2. Industri In

3. Jaringan jalan

4. Jaringan jalan KA

5. Jaringan listrik

tegangan tinggi

6. Pelabuhan udara

7. Pelabuhan laut

IV. Perairan E. Tubuh

perairan

1. Danau D

2. Waduk W

3. Tambak ikan Ti

Page 13: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

13

4. Tambak garam Tg

5. Rawa R

6. Sungai

7. Anjir pelayaran

8. Saluran irigasi

9. Terumbu karang

10. Gosong pantai

Sumber: Malingreau, dalam Suharyadi (2001)

2.2.2 Bentuk Penggunaan Lahan menurut klasifikasi Darmoyuwono (1964)

Darmoyuwono membagi klasfisikasi penggunaan lahan sebagai berikut :

1. Lahan permukiman dijabarkan menjadi permukiman dan lahan non-

pertanian, meliputi permukiman perkotaan, permukiman pedesaan,

permukiman pedesaan bercampur kebun dan tanaman keras, dan lahan

non-pertanian lain.

2. Kebun ditanami sayuran, buah-buahan kecil dan bunga. Kelas ini sangat

umum dan terdapat di beberapa pedesaan wilayah Indonesia, biasanya

sayuran, buah-buahan kecil seperti tomat, mentimun, dan lainnya

merupakan tanaman campuran (tumpang sari) seperti halnya di pertanian

lahan kering.

3. Tanaman keras, antara lain tanaman kelapa, rambutan,tanaman pohon

lainnya.

4. Lahan untuk tanaman semusim, antara lain padi, jagung, ketela pohon,

tanaman perdagangan.

5. Lahan padang rumput yang dikelola, seperti lapangan olah raga.

6. Tanaman padang rumput yang tidak dikelola untuk penggembalaan.

Page 14: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

14

7. Lahan hutan, dikelaskan hutan lebat, hutan terbuka, pohon jarang

merupakan sabana tropis, hutan belukar, hutan rawa, hutan sudah dibuka

atau dibakar, hutan industri, hutan ladang.

8. Bentuk-bentuk tubuh perairan, adalah rawa air tawar, rawa pasang surut,

kolam ikan, sungai, danau, laut.

9. Lahan tidak produktif, seperti lahan kosong, lahan berbatu, lahan berpasir,

lahan berbukit (perbukitan), gunung (pegunugan).

2.2.3 Bentuk Penggunaan Lahan menurut klasifikasi I Made Sandy (1977)

1. Berdasarkan pemetaan penggunaan lahan skala 1:250.000 dan skala

1:200.000, maka bentuk penggunaan lahan dibedakan menjadi 8 kategori,

yaitu perkampungan, sawah, tegalan dan kebun, ladang berpindah, hutan,

alang-alang dan semak belukar, rawa, lahan lain-lain.

2. Berdasarkan pemetaan penggunaan lahan skala 1:100.000, skala 1:50.000,

dan skala 1:25.000, penggunaan lahan dibedakan dalam 10 kelas, dengan

beberapa sub-kategori :

a. Perkampungan berupa kampung, kuburan, emplesemen.

b. Tanah pertanian berupa sawah ditanami padi dua kali setahun,

sawah padi satu kali setahun, sawah ditanami setiap tahun

bergantian, yaitu padi sekali setahun, sekali setahun bukan padi,

dan ladang berpindah.

c. Lahan perkebunan dengan jenis tanaman karet, kopi, jenis tanaman

perkebunan lainnya.

d. Kebun dapat berupa sawah ditanami sayuran dan tidak pernah

ditanami padi, kebun kering dengan berbagai tanaman, hutan

dibedakan hutan lebat; belukar; satu jenis tanaman.

e. Kolam ikan.

f. Tanah rawa / rawa-rawa.

g. Tanah tandus atau tanah yang tidak bernilai ekonomis.

h. Hutan penggembalaan.

i. Lain-lain (kalau ada sesuai kondisi daerahnya).

Page 15: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

15

Secara umum sebagaimana tertuang dalam Peta Rupabumi Indonesia,

penggunaan lahan di Indonesia meliputi permukiman, sawah irigasi, sawah tadah

hujan, kebun/perkebunan, hutan, semak/belukar, tegalan/ladang, rumput/tanah

kosong, dan hutan rawa.

2.2.4 Bentuk Penggunaan Lahan menurut klasifikasi V.F.L Polle et al (1977 )

Ada 7 kategori penggunaan lahan yang dikemukakan olehnya, yakni :

1. Lahan kosong/pertanian : tanaman musiman, perkebunan, hutan perikanan,

kulturil (tempat pembangunan dan tempat perombakan).

2. Permukiman : perumahan (modern tersendiri, modern setengah tersendiri,

modern berjajar).

3. Perdagangan dan “Entertainment”. Perdagangan : toko, pusat

perbelanjaan, department store, bank, pasar, jasa professional (dokter,

notaries, arsitek), salon kecantikan, tukang cukur, steambath. Entertaiment

: rumah makan, hotel dan penginapan, klab malam, bioskop dan tempat

hiburan.

4. Industri : gudang, industri kimia dan farmasi, industri tekstil, timbunan air,

pembangkit tenaga listrik.

5. Transportasi : jalan, jembatan, jalan kereta api, stasiun, tempat parkir.

6. Kelembagaan : keagamaan, lembaga edukatif, lembaga social, kesehatan,

administrrasi pemerintah.

7. Rekreasi : lapangan olahraga, geedung olahraga, tempat bermain anak-

anak, tempat berkemah, pusat rekreasi, stadion.

2.2.5 Bentuk Penggunaan Lahan menurut klasifikasi N.C.Gautam (1976 )

Ada 8 kategori penggunaan lahan yang dikemukakan olehnya, yakni :

1. Permukiman : terpisah, setengah terpisah, memanjang, “slum”

2. Perdagangan : pertokoan, jasa, pusat perdagangan, gudang.

3. Industrri : jasa (gilingan, tukang sepatu, pembuatan minyak), industri besar

(pabrik).

Page 16: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

16

4. Jasa : pendidikan, administrasi dan jasa (kantor pos, pompa bensin, rumah

sakit).

5. Rekreasi : taman dan kebun umum, stadion dan gedung umum, gedung

bioskop yang merupakan kampus tersendiri, tempat bermain yang

terorganisasi, klab atau gedung pertemuan.

6. Keagamaan ; candi, mesjid, gereja.

7. Transpor dan komunikasi : jalan, jalan kereta api, stasiun.

8. Tubuh air : danau dan tempat penimbunan air, saluran pengering.

2.2.6 Klasifikasi Lahan menurut USGS

Pada level I dan II Tingkat I Tingkat II

1. Perkotaan atau

lahan terbangun

1.1.Permukiman

1.2.Perdagangan dan jasa

1.3.Industry

1.4.Transportasi, komunikasi dan umum

1.5.Kompleks industry dan perdagangan

1.6.Kekotaan campuran atau lahan bangunan

1.7.Kekotaan atau lahan bangunan lainnya

2. Lahan pertanian 2.1.Tanaman semusim dan padang rumput

2.2.Daerah buah-buahan, bibit, dan tanaman hias

2.3.Tempat penggembalaan terkurung

2.4.Lahan pertanian lainnya

3. Lahan

peternakan

3.1.Lahan tanaman/ rumput

3.2.Lahan peternakan semak dan belukar

3.3.Lahan peternakan campuran

4. Lahan hutan 4.1.Lahan hutan gugur dan musiman

4.2.Lahan hutan yang selalu hijau

4.3.Lahan hutan campuran

5. Air 5.1.Sungai dank anal

Page 17: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

17

5.2.Danau

5.3.Waduk

5.4.Teluk dan muara

6. Lahan basah 6.1.Lahan hutan basah

6.2.Lahan basah bukan hutan

7. Lahan gundul 7.1.Dataran garam kering

7.2.Gisik

7.3.Daerah berpasir selain gisik

7.4. Batuan singkapan gundul

7.5.Tambang terbuka, pertambangan dan tambang kecil

7.6.Daerah peralihan

7.7.Daerah gundul campuran

8. Padang lumut 8.1.Padang lumut semak dan belukar

8.2.Padang lumut tanah gundul

8.3.Padang lumut basah

8.4.Padang lumut campuran

9. Es atau salju

abadi

9.1.Lapang salju abadi

9.2.Glasier

Pada level I, II, III, IV Tingkat I Tingkat II Tngkat III Tingkat IV Kota dan daerah terbangun

1. Perumahan

2. Perdagangan dan jasa

a. satu keluarga

b. >satu keluarga

c. Penginapan

d. Asrama e. Tempat kost f. Panti

a. Pasar

a.1. Lantai Satu a.2. Lantai > Satu …. c.1. Losmen c.2. Hotel c.3. Motel …. …. f.1. Panti Jompo f.2. Panti asuhan a.1. Pasar hewan

Page 18: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

18

b. Pertokoan c. Perkantoran d. Pendidikan

e. Rumah sakit f. Bank

a.2. Pasar umum a.3. Pasar …. …. d.1. SD d.2. SLTP/TA d.3. Kampus d.4. Pesantren …. dst

2.2.7 Klasifikasi menurut Anderson(1970)

1. Ekologis

1.1. Nomaden

1.2. Perladangan Berpindah

2. Subsisten

• Perladangan Menetap belum berkembang

• Perladangan Intensif Subsisten(didominasi padi)

• Perladangan Intensif Subsisten(tidak didominasi padi)

• 2.4.Pertanian Ternak dan Tanaman Subsisten

• 2.5.Pertanian Masyarakat Mediterania(Kuno dan Komersil)

3. Komersil

3.1.Peternakan Sederhana

3.2.Pertanian Biji-bijian Komersil

3.3. Pertanian Ternak dan Tanaman Komersil

3.4. Peternakan Sapi Perah Komersil

3.5.Hortikultur dan Olerikultur terspesialisasi

3.6.Tanaman Industri

4. Kolektif .

4.1.Pertanian Kolektif

5. Sistem ”Cash-Cropping”

5.1. Ladang Perkebunan Komersil di daerah tropis

Page 19: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

19

Berdasarkan klasifikasi penggunaan lahan diatas maka peneliti dapat

menyimpulkan bahwa kelas penggunaan lahan dalam penelitian ini adalah

penggunaan lahan yang telah mendapat perlakuan dari manusia dalam hal ini

pemukiman dan kebun campuran serta kelas penggunaan lahan yang

belum/sedikit mengalami campur tangan manusia yaitu mangrove dan semak

belukar.

2.3 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknik untuk memperoleh

informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan menganalisis data yang

diperoleh menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah atau

gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Penginderaan jauh adalah akuisisi

data dari obyek yang diindera sebuah sensor dimana sensor tersebut jauh dari

obyek (Cowell, 1983).

Tenaga dalam penginderaan jauh terdiri dari dua macam, yaitu tenaga

alam (misalnya sinar matahari, emisi/pancaran suhu benda di permukaan bumi)

yang digunakan dalam penginderaan jauh sistem pasif, dan tenaga buatan (pulsa

radar, sinar lampu) yang digunakan dalam penginderaan jauh sistem aktif. Tenaga

yang paling banyak digunakan dalam sistem penginderaan jauh ialah tenaga

elektromagnetik, yaitu tenaga yang bergerak dengan kecepatan sinar dengan pola

gelombang sinusoidal yang harmonis

1. Tenaga

Penginderaan jauh sistem fotografik pada umumnya menggunakan tenaga

alamiah. Matahari merupakan sumber tenaga yang utama. Tenaga yang digunakan

yaitu tenaga elektromagnetik dengan panjang gelombang 0,3 µm – 0,9 µm. Pada

umumnya bagian yang lebih sempit dari julat tersebut. Disamping sinar matahari,

dapat pula digunakan sinar bulan maupun sinar buatan apabila pemotretannya

dilakukan pada malam hari (Estes dan Holz, 1985).

2. Obyek

Page 20: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

20

Obyek dapat digambarkan pada foto udara terbatas pada obyek yang

tampak, yaitu obyek di permukaan bumi yang tidak terlindung oleh obyek

lainnya. Obyek di bawah permukaan tanah dan obyek di permukaan tanah yang

tertutup vegetasi tidak dapat tergambar pada foto udara. Meskipun demikian, ada

obyek tak tampak tetapi dapat ditafsirkan berdasarkan obyek yang tampak.

Sebagai contoh, jenis batuan dapat ditafsirkan berdasarkan topografi, pola aliran,

dan vegetasi penutupnya.

3. Sensor

Sensor yang digunakan penginderaan jauh fotografi adalah kamera dan

sensor. Ada lima jenis kamera yang digunakan di dalam penginderaan jauh

fotografik hingga saat ini, yaitu kamera kamera kerangka untuk pemetaan, kamera

kerangka untuk keperluan tinjau, kamera panoramik, kamera strip, dan kamera

multispektral (Estess, 1985).

Kamera pada dasarnya terdiri dari tiga bagian yaitu kelompok kerucut

lensa, tubuh kamera, dan magasaen. Di dalam kelompok kerucut lensa terdapat

lensa, filter, diafragma, dan penutup lensa (shutter). Lensa berfungsi untuk

memasukkan sinar dan memfokuskannya. Filter digunakan untuk mengatur berkas

sinar yang masuk ke kamera, yaitu sinar dengan panjang gelombang tertentu yang

dikehendaki untuk membentuk gambar pada film. Penutup lensa digunakan untuk

membuka dan menutup lensa, sedangkan diafragma digunakan untuk mengatur

besarnya diameter bukaan lensa pada saat pemotretan. Diafragma dan penutup

lensa mengatur banyaknya sinar yang masuk ke kamera.

4. Keluaran

Keluaran sistem penginderaan jauh fotografik berupa foto udara dan foto

satelit. Foto udara pada umumnya dibuat dengan menggunakan pesawat terbang

sebagai wahananya. Meskipun demikian kadang-kadang digunakan juga balon

udara dengan ketinggian mencapai 35 km, lebih tinggi dari ketinggian pesawat

terbang pada umumnya. Foto satelit dibuat dengan menggunakan satelit sebagai

Page 21: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

21

wahananya. Salah satu contoh foto satelit yaitu foto satelit seperti dibuat oleh

satelit Landsat, SPOT dan satelit lain yang sejenis.

Menurut Butler et al. (1988), terdapat empat komponen fisik yang terlibat

dalam sistem penginderaan jauh. Keempat komponen fisik tersebut, yaitu :

a) Matahari sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik.

b) Atmosfer sebagai media perantara dari energi elektromagnetik.

c) Objek yang akan diteliti.

d) Sensor yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dari suatu objek dan

merubahnya menjadi bentuk signal yang selanjutnya dapat diproses dan

direkam.

Sebelum radiasi elektromagnetik dari objek terdeteksi oleh sensor, terlebih

dahulu radiasi elektromagnetik berinteraksi dengan atmosfer. Bentuk interaksi

yang terjadi biasanya berupa pantulan, hamburan dan penyerapan. Hamburan

adalah pantulan ke arah serba beda yang disebabkan oleh benda yang memiliki

permukaan kasar dan bentuk tak menentu (Sutanto, 1986). Penyerapan merupakan

fenomena berkurangnya radiasi elektromagnetik karena diserap oleh partikel-

partikel yang terdapat dalam atmosfer seperti uap air, CO2 dan O

3.

Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah

adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya.

Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh

seperti : radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near

sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang

dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro. Setiap

material pada permukaan bumi juga mempunyai reflektansi yang berbeda

terhadap cahaya matahari. Sehingga material-material tersebut akan mempunyai

resolusi yang berbeda pada setiap band panjang gelombang. Piksel adalah sebuah

titik yang merupakan elemen palong kecil pada citra satelit. Angka numerik (1

byte) dari piksel disebut Digital Number (DN). Digital Number bisa ditampilkan

dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (greyscale), tergantung level

Page 22: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

22

energi yang terdeteksi. Piksel yang disusun dalam order yang benar akan

membentuk sebuah citra.

Berdasarkan resolusi yang digunakan, citra hasil penginderaan jarak jauh

bisa dibedakan atas (Jaya, 2002):

� Resolusi spasial

Merupakan ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi

yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan disekitarnya, atau sesuatu

yang ukurannya bisa ditentukan. Kemampuan ini memungkinkan kita

untuk mengidentifikasi (recognize) dan menganalisis suatu objek di bumi

selain mendeteksi (detectable) keberadaannya.

� Resolusi spektral

Merupakan dimensi dan jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif

terhadap sensor

� Resolusi radiometrik

Merupakan ukuran sensitifitas sensor untuk membedakan aliran radiasi

(radiation flux) yang dipantulkan atau diemisikan suatu objek oleh

permukaan bumi.

� Resolusi Temporal

Merupakan frekuensi suatu sistem sensor merekam suatu areal yang sama

(revisit). Seperti Landsat TM yang mempunyai ulangan setiap 16 hari,

SPOT 26 hari dan lain sebagainya.

Berdasarkan teori tentang pengindraan jauh di atas peneliti dapat

mendefiniskan penginderaan jauh adalah alat yang digunakan untuk memperoleh

informasi berupa analisis data tanpa kontak langsung dengan objek yang di

lapangan , obyek kajian dalam penelitian ini adalah penggunaan lahan berupa

pemukiman, semak belukar, kebun campuran dan mangrove yang ada di Pulau

Mohinggito Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.

2.4 ENVI

ENVI (The Environment For Visualizing Images) merupakan suatu image

processing system yang revolusioner yang dibuat oleh Research System, Inc

Page 23: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

23

(RSI). Dari permulaannya ENVI dirancang untuk kebutuhan yang banyak dan

spesifik untuk mereka yang secara teratur menggunakan data penginderaan jauh

dari satelit dan pesawat terbang. ENVI menyediakan data visualisasi yang

menyuluruh dan analisis untuk citra dalam berbagai ukuran dan tipe, semuanya

dalam suatu lingkungan yang mudah dioperasikan dan inovatif untuk digunakan.

2.5 ArcGis

ArcGIS merupakan produk software GIS paling mutakhir saat ini dari

ESRI (Environment Science & research Institute) dengan segala

"kecanggihannya". Bagi sebagian praktisi GIS yang sudah lama berkecimpung

dalam "kubangan" pemetaan dan juga mencoba software ArcGIS tersebut,

sebagian beranggapan lebih ribet dan susah dibandingkan dengan pendahulunya

ArcView 3.x, dan sebagian lagi menganggap lebih baik, bagus, dan lengkap untuk

semua jenis kebutuhan pekerjaan GIS, bahkan jika dibandingkan dengan software

GIS dari vendor lain.

Software ArcGIS pertama kali diperkenalkan kepada publik oleh ESRI

pada tahun 1999, yaitu dengan kode versi 8.0 (ArcGIS 8.0). ArcGIS merupakan

penggabungan, modifikasi dan peningkatan dari 2 software ESRI yang sudah

terkenal sebelumnya yaitu ArcView GIS 3.3 (ArcView 3.3) dan Arc/INFO

Workstation 7.2 (terutama untuk tampilannya). Bagi yang sudah terbiasa dengan

kedua software tersebut, maka sedikit lebih mudah untuk bermigrasi ke ArcGIS.

Setelah itu berkembang dan ditingkatkan terus kemampuan si ArcGIS ini oleh

ESRI yaitu berturut turut ArcGIS 8.1, 8.2, 9.0, 9.1, 9.2, dan terakhir saat ini

ArcGIS 9.3 (9.3.1) dan sekarang sudah ada ArcGIS 10 dan versi updatenya.

Dalam kaitannya dengan ArcGIS ini, secara umum ada dua versi yaitu

ArcGIS Desktop (untuk komputer biasa/PC/Laptop based) dan ArcGIS Server

yaitu untuk GIS berbasis web dan "ditanamkan" pada komputer/software Server.

Dalam keseharian yang disebut ArcGIS sebetulnya adalah ArcGIS Desktop,

berhubung mungkin ArcGIS Server belum banyak yang memakainya.

2.6 Karakteristik Satelit QuickBird

Page 24: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

24

Perusahaan swasta AS lainnya Digital Globe, tahun 2002 meluncurkan

satelit komersial dengan kemampuan mengungguli Ikonos. Quickbird, nama

satelit ini, beresolusi spasial hingga 60 sentimeter dan 2,4 meter untuk moda

pankromatik dan multispektral.

Setelah kegagalan EarlyBird, satelit Quickbird diluncurkan tahun 2000

oleh DigitalGlobe. Namun, kembali gagal. Akhirnya Quickbird-2 berhasil

diluncurkan 2002 dan dengan resolusi spasial lebih tinggi, yaitu 2,4 meter

(multispektral) dan 60 sentimeter (pankromatik). Citra Quickbird beresolusi

spasial paling tinggi dibanding citra satelit komersial lain.

Selain resolusi spasial sangat tinggi, keempat sistem pencitraan satelit

memiliki kemiripan cara merekam, ukuran luas liputan, wilayah saluran spektral

yang digunakan, serta lisensi pemanfaatan yang ketat. Keempat sistem

menggunakan linear array CCD-biasa disebut pushbroom scanner. Scanner ini

berupa CCD yang disusun linier dan bergerak maju seiring gerakan orbit satelit.

Jangkauan liputan satelit resolusi tinggi seperti Quickbird sempit (kurang

dari 20 km) karena beresolusi tinggi dan posisi orbitnya rendah, 400-600 km di

atas Bumi. Berdasarkan pengalaman penulis, dengan luas liputan 16,5 x 16,5

km², data Quickbird untuk 4 saluran ditambah 1 saluran pankromatik telah

menghabiskan tempat 1,8 gigabyte. Data sebesar ini disimpan dalam 1 file tanpa

kompresi pada resolusi radiometrik 16 bit per pixel.

Semua sistem menghasilkan dua macam data: multispektral pada empat

saluran spektral (biru, hijau, merah, dan inframerah dekat atau B, H, M, dan

IMD), serta pankromatik (PAN) yang beroperasi di wilayah gelombang tampak

mata dan perluasannya. Semua saluran pankromatik, karena lebar spektrumnya

mampu menghasilkan resolusi spasial jauh lebih tinggi daripada saluran-saluran

multispektral.

Unsur penting lain adalah ketatnya pemberian lisensi pemanfaatan.

DigitalGlobe misalnya, hanya memberikan satu jenis lisensi pemanfaatan

Quickbird pada pembeli. Jadi, bila pemerintah kota di Indonesia membeli data ini

untuk keperluan perbaikan lingkungan permukiman urban misalnya, data yang

Page 25: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

25

sama tidak boleh digunakan untuk keperluan lain seperti pajak bumi dan

bangunan (PBB).

Resolusi spasial tinggi ditujukan untuk mendukung aplikasi kekotaan,

seperti pengenalan pola permukiman, perkembangan dan perluasan daerah

terbangun. Saluran-saluran spektral B, H, M, IMD, dan PAN cenderung dipilih,

karena telah terbukti efektif dalam menyajikan variasi fenomena yang terkait

dengan kota.

Kondisi vegetasi tampak jelas pada komposisi warna semu (false color),

yang tersusun atas saluran-saluran B, H, IMD ataupun H, M, IMD yang masing-

masing ditandai dengan urutan warna biru, hijau, dan merah. Pada citra komposit

warna ini, vegetasi dengan berbagai tingkat kerapatan tampak bergradasi

kemerahan.

Teknik pengolahan citra digital dengan indeks vegetasi seringkali

memilih formula NDVI (normalised diference vegetation index= IMD-

M/IMD+M). Indeks atau nilai piksel yang dihasilkan kemudian sering dijadikan

ukuran kuantitatif tingkat kehijauan vegetasi. Apabila diterapkan di wilayah kota,

maka tingkat kehijauan lingkungan urban dapat digunakan sebagai salah satu

parameter kualitas lingkungan.

Untuk lahan pertanian, NDVI terkait dengan umur, kesehatan, dan

kerapatan tanaman semusim, sehingga seringkali dipakai untuk menaksir tingkat

produksi secara regional.

Kehadiran Quickbird dan Ikonos telah melahirkan eforia baru pada

praktisi inderaja yang jenuh dengan penggunaan metode baku analisis citra

berbasis Landsat dan SPOT. Klasifikasi multispektral standar berdasarkan

resolusi spasial sekitar 20-30 meter seringkali dianggap kurang halus untuk

kajian wilayah pertanian dan urban di Jawa. Model-model dengan knowledge-

based techniques (KBT) yang berbasis Landsat dan SPOT umumnya tidak

tersedia dalam menu baku di perangkat lunak komersial, dan lebih sulit

dioperasikan.

Page 26: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

26

Quickbird menjawab kebutuhan itu. Resolusi 60 cm bila dipadukan

dengan saluran multispektralnya akan menghasilkan pan-sharped image, yang

mampu menonjolkan variasi obyek hingga marka jalan dan tembok penjara.

Citra ini mudah sekali diinterpretasi secara visual. Meski demikian, para

pakar inderaja saat ini masih bergulat dengan pengembangan metode ekstraksi

informasi otomatis berbasis citra resolusi tinggi seperti Quickbird. Resolusi

spasial yang sangat tinggi pada Quickbird telah melahirkan masalah baru dalam

inderaja digital, di mana respons spektral obyek tidak berhubungan langsung

dengan karakter obyek secara utuh, melainkan bagian-bagiannya.

Bayangkan citra multispektral SPOT-5 beresolusi 10 meter, maka dengan

relatif mudah jaringan jalan dapat kita klasifikasi secara otomatis ke dalam

kategori-kategori íjalan aspalí, íjalan betoní, dan íjalan tanahí, karena jalan-jalan

selebar sekitar 5 hingga 12 meter akan dikenali sebagai piksel-piksel dengan nilai

tertentu. Namun, pada resolusi 60 cm, jalan selebar 15 meter akan terisi dengan

pedagang kakilima, marka jalan, pengendara motor, dan bahkan koran yang

tergeletak di tengah jalan. (Danoedoro, 2004)

Tabel 2.1 Karakteristik Citra Quickbird

Sistem Quickbird

Orbit 600 km2 Sunsynchronous 10.00 am

Sensor Liner array CCD

Swath Width 20 km (CCD-array)

Ukuran Piksel Lapangan 60 cm (PAN) 2.4 (MUL)

Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), karakteristik tiap kanal (spektrum

energi) adalah sebagai berikut :

a. Kanal 1, spektrum biru

Baik untuk pemetaan perairan pantai karena penetrasinya dalam kolom air

cukup tinggi. Sangat kuat diabsorpsi oleh klorofil sehingga berguna untuk

membedakan tanah dan vegetasi.

b. Kanal 2, spektrum hijau

Digunakan untuk mengukur pantulan warna hijau dari puncuk vegetasi untuk

Page 27: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

27

mengetahui seberapa sehat vegetasi tersebut dan menguji daya tegak vegetasi.

Juga untuk identifikasi kenampakan kultur.

c. Kanal 3, spektrum merah

Energi pada spektrum ini sangat kuat diserap oleh klorofil sehingga

membantu perbedaan spesies tanaman. Diserap oleh banyak vegetasi.

d. Kanal 4, spektrum inframerah dekat

Energi pada saluran ini diserap seluruhnya oleh air, sehingga berguna untuk

mengidentifikasi badan atau kolom air. Dipantulkan seluruhnya oleh vegetasi,

sehingga berguna untuk menentukan tipe vegetasi, daya tegak, dan

kandungan biomassanya. Menghasilkan kontras yang nyata antara darat dan

air.

Berdasarkan kemampuan band pada citra quickbird maka peneliti

menggunakan band 3 dan komposit band 321 untuk memperoleh data tentang

penggunaan lahan yang ada di Pulau Mohinggito.

2.7 Uji ketelitian interpretasi citra Quickbird

Uji ketelitian dilakukan dengan membandingkan antara hasil interpretasi

citra Quickbird dengan kenyataan yang diperoleh dari pengamatan dan

pengukuran lapangan, ketelitian yang dihasilkan ada dua jenis, yaitu ketelitian

hasil kesesuaian interpretasi dan ketelitian pemetaan. Dalam penelitian ini

menggunakan ketelitian hasil kesesuaian interpretasi. Dalam hal ini yang diuji

Adalah hasil kesesuaian interpretasi citra Quickbird yang didapat dari survey

lapangan dengan alat berupa tabel kesesuaian hasil interpretasi.

Uji ketelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah uji Short.

Uji ini dilakukan karena luas wilayah penelitian yang bisa dijangkau sehingga

setiap kelas penggunaan lahan akan diambil beberapa sampel sesuai dengan luas

wilayah yang ada. Setelah itu hasil cek lapangan akan dibandingkan dengan hasil

peta tentatif yang ada.

Menurut campbell (1983) dalam Danoedoro (2005) nilai ambang akurasi

keseluruhan adalah sebesar 85%. Nilai tersebut digunakan sebagai nilai minimum

Page 28: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

28

untuk diterimanya suatu pemetaan penutup/penggunaan lahan berbasis citra

penginderaan jauh. Sedangkan ketelitian interpretasi atau klasifikasi menurut

jensen (sutanto 1999) merupakan fungsi dari tema studi, kesesuaian lokasi studi,

karakteristik objek (jenis, ukuran, bentuk, distribusi), kemampuan sensor dan

resolusi metode klasifikasi.

2.8 Kajian yang relevan

Gutama dkk dalam penelitian yang berjudul “ Analisis Perbandingan

Ketelitian Pengukuran Luasan Bidang Tanah Antara Citra Satelit Alos

Prism dan Formosat-2 “ Sebagai citra beresolusi tinggi, ALOS PRISM dan

FORMOSAT-2 dapat digunakan untuk memperbaharui peta yang sudah ada

selama ketelitian dan hasil yang diperoleh memenuhi ketentuan yang disyaratkan.

Penelitian mengenai kemampuan keduanya dalam mengukur luasan bidang tanah

memungkinkan pembuatan peta-peta skala besar dari citra satelit ini.

Dalam penelitian ini, citra ALOS PRISM dan FORMOSAT-2 dipotong, lalu

dikoreksi geometrik menggunakan metode polinomial orde kedua dengan 7 GCP.

Sampel bidang tanah pada citra diukur untuk mendapatkan data panjang dan luas.

Uji t dilakukan pada hasil pengukuran menggunakan derajat kepercayaan 5%.

Kemudian hasilnya dibandingkan dengan data bidang tanah BPN untuk

mendapatkan nilai ketelitian dan akurasinya.

Berdasarkan hasil koreksi geometrik, diperoleh RMSE sebesar 0,619 untuk

ALOS PRISM dan 0,354 untuk FORMOSAT-2. Selain itu, diperoleh standar

deviasi 0,590 untuk ALOS PRISM dan 0,522 untuk FORMOSAT-2. Persentase

perbedaan luas antara pengukuran pada data acuan dengan hasil dijitasi sampel

pada citra adalah sebesar 1,83% untuk FORMOSAT-2 dan 4,01% untuk ALOS

PRISM. Dari penelitian ini, disimpulkan bahwa citra FORMOSAT-2 mempunyai

ketelitian dan akurasi posisi yang lebih baik daripada citra ALOS PRISM. Untuk

cakupan wilayah yang sempit FORMOSAT-2 lebih efektif digunakan karena

ketelitian dan akurasinya lebih baik daripada ALOS PRISM. Untuk cakupan

wilayah yang luas, citra ALOS PRISM lebih efisien digunakan karena lebih murah

dengan ketelitian dan akurasi yang relatif sama

Page 29: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

29

Cevalda dkk dalam penelitian yang berjudul “ Pemetaan Mangrove

Dengan Teknik Image Fusion Citra Spot Dan Quickbird Di Pulau Los Kota

Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau” Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui kemampuan dari citra hasil fusi dalam mendeteksi mangrove,

menghitung luasan mangrove, dan memetakan vegetasi mangrove yang ada di

pulau Los. Penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2012 hingga April 2013

dengan menggunakan metode Principal Component Analysis.

Objek yang dikaji adalah mangrove di pulau Los. Hasil dari penelitian ini

adalah nilai korelasi koefisien sebesar 0,854600386-0,966323207, Root Mean

Square Error sebesar 1,449990716-2,854063346, ketepatan klasifikasi mangrove

sebesar 86,67% dengan ketepatan total sebesar 88%, koefisien kappa sebesar 0,79

dan hasil interprestasi citra fusi di pulau Los dengan luasan mangrove sebesar

10,6140293 hektar.

2.9 Kerangka Berfikir

Pemetaan ini pada umumnya di arahkan kepada pemerintah untuk dapat

mengetahui keadaan pengunaan lahan seperti pulau mohinggito yang kurang di

perhatikan oleh pemerintah setempat. Kawasan pulau mohinggito ini tidak

terlepas dari potensi sumber daya yang dimilikinya. Potensi yang dimiiki kawasan

Pulau mohinggito cukup baik, dapat dilhat baik dari potensi alam berupa pantai,

hewan endemic dan potensi perikanan. Dengan melihat kurangnya perhatian dari

pemerintah dalam pembuatan tentang kondisi pulau-pulau kecil yang berada di

Kecamatan Anggrek serta kondisi sumber daya yang ada di pulau tersebut.

Penelitian ini berfokus pada uji ketelitian citra Quickbird untuk interpretasi

penggunaan lahan ( pemukiman, semak belukar, kebun campuran dan mangrove).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka berpikir penelitian berikut.

Citra Quickbird

Pengolahan Citra

Koreksi INPUT

Page 30: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

30

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Interpretasi

Kerja Lapangan

Analisis

Peta Hasil Penelitian

Uji Ketelitian

PROSES

OUTPUT

Page 31: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

31

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau mohinggito, Kecamatan Anggrek,

Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Penelitian dilaksanakan pada

Bulan April 2014 sampai Bulan Juni 2014

Gambar 3.1 Citra lokasi penelitian

3.2 Alat Penelitian

Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel

berikut ini :

Tabel 3.1 Jenis alat dan kegunaanya

No Jenis Alat Kegunaan Alat

1 Kompas Penunjuk Arah

2 Kamera Pengambilan gambar di lapangan

3 GPS Penentuan titik koordinat

4 Kertas/Plastik Transparan Kelengkapan peta

5 Alat tulis menulis dan buku Pencatatan data lapangan

6 Aplikasi Envi 4.2 Pengolahan citra

7 Aplikasi Arc GIS 9.3 Pembuatan Peta

8 Laptop Pembuatan Peta dan pengolahan citra

LOKASI PENELITIAN

Page 32: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

32

3.3 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Peta RBI skala 1: 50.000 Kabupaten Gorontalo Utara

2. Citra Satelit Quickbird Pulau Mohinggito rekaman bulan juni tahun 2012

3.4 Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah interpretasi penggunaan lahan Pulau

Mohinggito menggunakan citra satelit quickbird.

3.5 Jenis dan Sumber Data

3.5.1 Data Primer

Adapun data primer yang didapat dari penelitian ini adalah data

penggunaan lahan yang diperoleh melalui interpretasi citra quickbird yang uji

keabsahannya melalui cek lapangan di lokasi penelitian dengan mengambil

sampel sesuai kelas penggunaan lahan.

3.5.2 Data sekunder

Adapun data sekunder yang mendukung penelitian ini adalah peta rupa

bumi dan beberapa jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.

3.6 Pelaksanaan Penelitian

Tahap-tahap penelitian

Agar lebih jelas dan terinci, maka berikut ini disajikan tahapan-tahapan

yang ditempuh dalam melakukan penelitian.

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan sebagai berikut.

a. Studi pustaka; sebagai acuan perumusan masalah, menjelaskan satelit

quickbird, penggunaan lahan, kelas penggunaan lahan.

b. Pengumpulan data yang berkaitan dengan penelitian seperti citra quickbird

dan peta RBI

c. Survai awal untuk mengetahui gambaran umum wilayah penelitian

2. Tahap Pekerjaan Laboratorium I

Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut.

Page 33: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

33

a. Koreksi geometrik untuk memperbaiki posisi citra satelit quickbird agar

mendekati posisi sebenarnya di permukaan bumi. Koreksi dilakukan

menggunakan aplikasi ENVI 4.2

b. Melakukan interpretasi citra untuk pemetaan penggunaan lahan. Pemetaan

penggunaan lahan dilakukan secara visual ( digitizer on screen) dengan

memperhatikan unsur-unsur interpretasi citra sateliti. Ada 3 unsur yang

dipakai dalam melakukan interpretasi ini yaitu Rona, Warna dan tekstur

c. Membuat peta tentatif penggunaan lahan Pulau Mohinggito. Peta tentative

adalah peta yang dihasilkan sebelum dilakukan cek lapangan.

3. Tahap Pekerjaan Lapangan

Pekerjaan lapangan yang akan dilakukan sebagai berikut.

a. Melakukan cek atas hasil interpretasi penggunaan lahan yang meliputi

pemukiman, semak belukar, kebun campuran dan mangrove.

b. Pengambilan gambar lokasi yang dijadikan sampel penelitian

c. Wawancara dengan penjaga Pulau Mohinggito

4. Tahap Pekerjaan Laboratorium II

a. Interpretasi ulang dan perbaikan hasil interpretasi setelah dilakukan kerja

lapangan. Tujuan interpretasi ulang adalah untuk memperbaiki kesalahan

interpretasi, baik kesalahan dari interpreter atau kesalahan produksi.

b. Membuat peta penggunaan lahan hasil cek lapangan

c. Melakukan uji ketelitian hasil interpretasi untuk mengetahui ketelitian

pembuatan dan uji ketelitian pengguna. Uji ketelitian menggunakan metode

Short Formula I yaitu dengan melakukan pengeekan setiap obyek yang

dijadikan sampel untuk setiap kelas penggunaan lahan.

5. Tahap Penyelesaian

a. Pembuatan peta titik sampel penelitian lokasi penelitian.

b. Keluaran dilakukan dengan mencetak peta penggunaan lahan Pulau

Mohinggito sesuai hasil cek lapangan dan reinterpretasi.

Page 34: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

34

3.7 Analisis Data

Uji hasil ketelitian citra dalam penelitian ini menggunakan metode short

(susanto, 1999) yang dapat dilihat pada tabel.

Tabel 3.2 Uji ketelitian interpretasi

Kategori

lapangan

Kategori hasil interpretasi

Jumlah Omisi Komisi Ketelitian

pemetaan A B C D

A

B

C

D

Jumlah

Keterangan

A,B,C,D = Jenis Objek

Omisi = Jumlah semua obyek bukan X pada garis X

Komisi = Jumlah semua obyek bukan X pada jalur X

Rumus ketelitian interpretasi (Kp) Sutanto, 1999)

Kp

=�����ℎ �� �� � ��� �����

Jumlah obyek X yang betul + Jumlah omisi obyek X + Jumlah komisi obyek X

Page 35: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

35

Citra Quickbird

Koreksi Geometrik Koreksi Radiometrik

Peta RBI

Interpretasi

Kelas Penggunaan Lahan

Peta Tentatif Penggunaan Lahan

Cek Lapangan

Reinterpretasi

Peta Titik Sampel

Uji Ketelitian Interpretasi

Peta Penggunaan Lahan

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

Page 36: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

36

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas hasil penelitian dan analisis data baik data hasil cek

lapangan maupun hasil analisis laboratorium sampai diperoleh hasil akhir berupa

peta penggunaan lahan Pulau Mohinggito. Hal-hal yang dibahas pada bab ini

mencakup pembahasan tentang data yang diperoleh, tinjauan atas aplikasi

penginderaan jauh, hasil yang diperoleh dan pemetaan penggunaan lahan di Pulau

Mohinggito.

4.1. Hasil Penelitian

Pada sub bab ini akan diuraikan tentang semua hasil yang diperoleh

selama penelitian, yaitu pemetaan penggunaan lahan berupa pemukiman, kebun

campuran, semak belukar dan mangrove menggunakan citra quickbird tahun 2012

yang dipadukan dengan data hasil cek lapangan tahun 2014.

4.1.1. Pemukiman

Hasil interpretasi citra quickbird pada daerah penelitian menunjukkan tiga

titik sampel lokasi pemukiman penduduk yang ada di Pulau Mohinggito tersebar

di tiga titik terpisah dengan luas dengan luas 359 m2. Dari ketiga pemukiman ini

hanya di bagian selatan Pulau Mohinggito yang dijadikan pemukiman tetap,

sedangkan 2 titik lainnya hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu misalnya

pada saat panen kelapa dan mengolah lahan pertanian . Luas pemukiman

penduduk di pulau ini hanya 0,12 % dari luas Pulau Mohinggito.

4.1.2. Semak Belukar

Hasil interpretasi citra quickbird daeran penelitian menunjukkan semak

belukar merupakan area yang menjadi bagian terluas dari Pulau Mohinggito. Luas

semak belukar pada daeran ini adalah 237. 421 m2 yang berada di bagian tengah

dari pulau ini.

Page 37: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

37

Semak belukar di pulau ini merupakan habitat tempat hidup dari burung

endemik pulau Sulawesi yaitu burung maleo. Hal ini berdasarkan hasil cek

lapangan peneliti yang menemukan kawanan burung maleo serta hasil wawancara

dengan penduduk setempat.

Dari total luas semak belukar ini didapatkan persentase 81, 94 % dari

seluruh luas Pulau Mohinggito.

4.1.3. Kebun Campuran

Hasil interpretasi citra quickbird di Pulau Mohinggito diketahui luas

daerah yang dimanfaatkan oleh penduduk di pulau ini untuk menjadi kebun

campuran ( kelapa, mangga, cabe) adalah 17.008 m2.

Kebun campuran terdapat di dua wilayah yaitu bagian timur Pulau

Mohinggito dengan luas 6.415 m2 yang baru dibuka oleh penduduk pada tahun

2013 dan di bagian barat selatan Pulau Mohinggito dengan luas 10.593 m2. Luas

kebun campuran di pulau ini adalah 5, 87 % dari luas keseluruahn Pulau

Mohinggito.

4.1.4. Mangrove

Hasil interpretasi citra untuk mangrove menunjukkan luas daerahnya

diperoleh 34.950 m2 yang berada di bagian barat pulau mohinggito dan berbatasan

dengan Pulau Saronde. Kondisi mangrove dipulau ini berdasarkan hasil cek

lapangan masih baik dan terjaga kelestariannya sehingga belum ada kerusakan

akibat ulah perbuatan manusia.

Dari luas mangrove di pulau ini maka diperoleh persentase luas 12,06 %

dari luas keseluruahn dari Pulau Mohinggito.

Page 38: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

38

4.2. Pembahasan

4.2.1 Interpretasi Citra Quickbird

Faktor fisik lahan yang digunakan sebagai parameter dalam pemetaan

penggunaan lahan pada penelitian ini diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit

quickbird tahun 2012. Untuk mengetahui tingkat ketelitian ketelitian interpretasi

perlu dilakukan uji ketelitian agar dapat diketahui seberapa besar tingkat ketelitian

hasil interpretasi dibandingkan dengan kenyataan di lapangan. Adapun tingkat

ketelitian dari interpretasi sangat tergantung pada resolusi citra dan kualitas dari

citra yang dipakai. Ketelitian interpretasi citra ini akan sangat mempengaruhi

keakuratan data di lapangan

4.2.2. Interpretasi Pemukiman

Hasil interpretasi pemukiman yang dilakukan cek lapangan pada tiga titik

yaitu titik 1 (486 402 BT dan 101 750 LU ), titik 2 ( 486 219 BT dan 102 135 LU)

dan titik 3 ( 486 102 BT dan 101802 LU) menunjukkan pemukiman setelah di

cek lapangan.

Dari hasil ini maka diperoleh uji ketelitian interpretasi pemukiman

menggunakan citra quickbird di Pulau Mohinggito adalah 100 %.

Tabel 4.1 Data lapangan uji ketelitian pemukiman

No Titik Koordinat ( BT /LU) Foto Lapangan

1 486 402/101 750

Page 39: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

39

2 486 219/102 135

3 486 080/102 208

4.2.3. Interpretasi Semak Belukar

Hasil uji ketelitian interpretasi citra quickbird untuk semak belukar

dilaukan pengecekan pada 5 titik yang berbeda pada Pulau Mohinggito. Dari lima

titik tersebut ada satu titik yang telah beralih fungsi menjadi kebun campuran

yaitu pada titik koordinat 486 219 BT dan 102 133 LU.

Setelah dilakukan wawancara dengan penduduk setempat maka menurut

penuturan meraka, lahan ini diolah pada tahun 2013 menjadi kebun campuran.

Tabel 4.2 Data lapangan uji ketelitian semak belukar

No Titik Koordinat ( BT /LU) Foto Lapangan

1 486 049/101 808

Page 40: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

40

2 485 956/101 858

3 485 352/101 979

4 486 219/102 133

5 486 221/102 138

4.2.4. Interpretasi Kebun Campuran

Berdasarkan hasil cek lapangan untuk kebun campuran yang dilakukan

pada tiga titik lokasi sampel, maka semua sampel menunjukan kondisi yang sama

seperti pada citra yaitu kebun campuran .

Page 41: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

41

Tabel 4.3 Data lapangan uji ketelitian kebun campuran

No Titik Koordinat ( BT /LU) Foto Lapangan

1 486 402/101 751

2 486 172/102 060

3 486 217/102 131

4.2.5. Interpretasi Mangrove

Hasil cek lapangan untuk penggunaan lahan berupa mangrove dilakukan

pada tiga titik sampel penelitian. Pada titik 1 dengan koordinat 486 923 BT dan

101 935 LU setelah dicek di lapangan menunjukkan mangrove dengan kondisi

yang jarang. Pada titik 2 dengan koordinat 485 922 BT dan 101 989 LU

menunjukkan obyek mangrove dengan kondisi rapat.

Begitu pula pada titik 3 ( 486 011 dan 102 223 LU menunjukkan obyek di

lapangan berupa mangrove dengan kondisi yang masih rapat.

Page 42: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

42

Tabel 4.4 Data lapangan uji ketelitian mangrove

No Titik Koordinat ( BT /LU) Foto Lapangan

1 485 923/101 935

2 485 922/101 989

3 486 011/102 223

4.3. Uji Ketelitian Interpretasi Citra Quickbird

Uji hasil ketelitian citra dalam penelitian ini menggunakan metode short

(susanto, 1999) yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.5 Uji ketelitian interpretasi penggunaan lahan citra satelit quickbird

tahun 2012

Page 43: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

43

Kategori

lapangan

Kategori hasil interpretasi

Jumlah Omisi Komisi Ketelitian pemetaan

Pmk Smb Kc Mv

Pmk 3 0 0 0 3 0

0 3

3 + 0 + 0× 100% = 100%

Smb 0 4 1 0 4 1

0 4

4 + 1 + 0× 100% = 80%

Kc 0 0 3 0 3 0

0 3

3 + 0 + 0× 100% = 100%

Mv 0 0 0 3 3 0

0 3

3 + 0 + 0× 100% = 100%

Jumlah 3 4 4 3 14 1 0 100% + 80% + 100% + 100%

4= 95 %

Keterangan :

Pmk : Pemukiman

Smb : Semak Belukar

Kc : Kebun Campuran

Mv : Mangrove

Page 44: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

44

Peta Penggunaan Lahan Pulau Mohinggito

Page 45: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

45

4.3.1. Pemukiman

Dari tabel uji interpretasi menunjukkan 3 sampel yang dijadikan lokasi cek

lapangan. Dari tiga lokasi tersebut semuanya menunjukkan obyek pemukiman di

lapangan sehingga nilai omisi adalah 3 karena semua nilai x benar. Nilai komisi

adalah 0 karena tidak ada obyek lain yang berbeda di lapangan. Dari nilai tersebut

maka hasil uji interpretasi citra memperoleh hasil 100 % setelah dihitung melalui

nilai obyek yang sesuai dibagi dengan nilai obyek yang sesuai dan penjumlahan

nilai omisi dan nilai komisi.

4.3.2. Semak Belukar

Dari tabel uji interpretasi menunjukkan 5 sampel yang dijadikan lokasi cek

lapangan. Dari lima lokasi tersebut 4 menunjukkan obyek semak belukar di

lapangan sehingga nilai omisi adalah 4 karena hanya 4 nilai x benar. Nilai komisi

adalah 1 karena 1 obyek lain yang berbeda di lapangan. Dari nilai tersebut maka

hasil uji interpretasi citra memperoleh hasil 80 % setelah dihitung melalui nilai

obyek yang sesuai dibagi dengan nilai obyek yang sesuia dan penjumlahan nilai

omisi dan nilai komisi.

4.3.3. Kebun Campuran

Dari tabel uji interpretasi menunjukkan 3 sampel yang dijadikan lokasi cek

lapangan. Dari tiga lokasi tersebut semuanya menunjukkan obyek kebun

campuran di lapangan sehingga nilai omisi adalah 3 karena semua nilai x benar.

Nilai komisi adalah 0 karena tidak ada obyek lain yang berbeda di lapangan. Dari

nilai tersebut maka hasil uji interpretasi citra memperoleh hasil 100 % setelah

dihitung melalui jumlah obyek yang sesuai dibagi dengan jumlah obyek yang

sesuai dan penjumlahan nilai omisi dan nilai komisi.

4.3.4. Mangrove

Dari tabel uji interpretasi menunjukkan 3 sampel yang dijadikan lokasi cek

lapangan. Dari tiga lokasi tersebut semuanya menunjukkan obyek mangrove di

lapangan sehingga nilai omisi adalah 3 karena semua nilai x benar. Nilai komisi

Page 46: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

46

adalah 0 karena tidak ada obyek lain yang berbeda di lapangan. Dari nilai tersebut

maka hasil uji interpretasi citra memperoleh hasil 100 % setelah dihitung melalui

nilai obyek yang sesuai dibagi dengan nilai obyek yang sesuai dan penjumlahan

nilai omisi dan nilai komisi.

Dari semua hasil interpretasi penggunaan lahan di Pulau Mohinggito maka

diperoleh ketelitian interpretasi citra quickbird untuk Pemetaan penggunaan laha

di Pulau Mohinggito adalah 95 % yang didapat dari rata-rata nilai ketelitian

pemukiman, semak belukar, kebun campuran dan mangrove.

Page 47: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

47

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Hasil uji ketelitian interpretasi citra quickbird Pulau Mohinggito untuk

semua obyek kelas penggunaan lahan yang dapat disadap dikategorikan

sangat baik karena mencapai 95 %. Untuk pemukiman ketelitian citra

mencapai 100 %, begitu pula untuk kebun campuran dan mangrove

mencapai 100 %, sedangkan tingkat ketelitian citra untuk interpretasi

semak belukar mencapai 80 %.

2. Penggunaan citra quickbird untuk pemetaan penggunaan lahan di Pulau

Mohinggito sangat baik karena citra mempunyai resolusi yang tinggi dan

memberikan infomasi yang jelas dan detail untuk semua karakteritik

fisik lahan.

5.2. Saran

1. Sebaiknya dilakukan pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra

satelit quickbird dengan metode yang berbeda dan uji ketelitian citra

yang berbeda

2. Pemerintah daerah perlu membuat pemetaan seluruh sumberdaya alam

yang terdapat di pulau-pulau terluar agar bisa dimanfaatkan secara

optimal sesuai peruntukannya.

Page 48: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

48

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed A. Land use/land cover change dynamics of a district with one of the

highest population growth rate in India: A geo-spatial approach. 2012

Journal

Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics . Michigan State University,

Printice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey

Dahuri, R., J. Rais, S. P Ginting, dan M.J Sitepui., 2001. Pengelolaan Sunber

Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita.

Jakarta

Jr, Gibson W. L, R. H Hild reth, dan Gene Wunderlich. 1966. Methods for Land

Economics Research . University of Nebraska Press. Lincoln

Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat.

Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.

Lillesand T. M. and R.W. Keifer. 1994. Remote Sensing and Image

Interpretation. John Willey and Sons, New York.

Malingreau. Remote Sensing for Natural Resources Surveys New Approaches in

Quantitative Analysis. Seminar Soils Department Faculty of Agriculture

UGM February l9, 1983 Jean-Paul Malingreau

Malingreau J.P., 1978. Penggunaan Lahan Pedesaan Penafsiran Citra untuk

Inventarisassi dan Analisanya. Pusat Pendidikan Interpretasi Citra

Penginderaan Jauh dan Survei Terpadu UGM- BAKOSURTANAL,

Yogyakarta

Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.

Jakarta

Supriharyono., 2000. Pelestarian dan pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah

Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta

Page 49: Makalah Untuk Pelatihan Jurnal

49

Sandy, I Made.Geografi regional: buku teks/I Made Sandy. UI Press

Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 1. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta

Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh. Jilid 2. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

Sitorus, Santun R.P. Evaluasi Sumberdaya Lahan . Tarsito. Bandung 2000

Sepriyanto B. P evaluasi perubahan penggunaan lahan dengan interpretasi citra

quickbird terhadap peta hasil RDTRK Surabaya (studi kasus kecamatan

sukolilo) 2009