Makalah sumber-daya-lahan

109
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 25 Rasio Biofilter dan Sawah untuk Meningkatkan Kualitas Air Buangan di Lahan Sulfat Masam The Ratio of a Biofilter And Paddy Field To Improve Water Quality Discharge In Acid Sulfate Land Ani Susilawati dan Achmadi Jumberi Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA) Jl. Kebun Karet, Loktabat Banjarbaru Kalimantan Selatan Email : [email protected] HP. 081349404884 ABSTRACT Water management in tidal land acid sulfate can increase the productivity of land and crops. The reaction of oxidation-reduction (redox) pyrite is the main cause of problems in acid sulphate soils. Poisons leaching into the drainage channel that is not a good impact on the environment. Water quality can be improved with the water flowing past the biofilter "Purun Tikus" (Eleocharis dulcis) that can absorb or neutralize poison element. This study aims to obtain an effective ratio between the rice fields with biofilter to improve the quality of waste water in acid sulfate soil. The experiment was conducted at the experimental Belandean, Barito Kuala, South Kalimantan on MK 2009. The treatment arranged in a randomized block design with three replications. The treatment includes the ratio between the plot of the biofilter with paddy fields, namely; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, and (4) 40%. with paddy plot size of 10 m x 10 m. The results showed that mice with a biofilter purun area ratio of 10% can improve the quality of drainage water is indicated by a decrease in the concentration of Fe 2+ , Fe-total, and SO4 2- . Keywords: biofilter, waste water quality, acid sulfate soils ABSTRAK Pengelolaan/penataan air di lahan pasang surut sulfat masam dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman. Reaksi reduksi-oksidasi (redoks) pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di tanah sulfat masam. Pencucian unsur meracun ke saluran drainase memberikan dampak yang tidak baik terhadap lingkungan. Kualitas air dapat diperbaiki dengan mengalirkan air tersebut melewati biofilter berupa purun tikus (Eleocharis dulcis) yang dapat menyerap atau menetralisir unsur meracun. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rasio yang efektif antara sawah dengan biofilter untuk meningkatkan kualitas air buangan di lahan sulfat masam. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Belandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan pada MK 2009. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan

Transcript of Makalah sumber-daya-lahan

Page 1: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

25

Rasio Biofilter dan Sawah untuk Meningkatkan Kualitas Air Buangan di Lahan Sulfat Masam

The Ratio of a Biofilter And Paddy Field To Improve Water Quality

Discharge In Acid Sulfate Land

Ani Susilawati dan Achmadi Jumberi Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA)

Jl. Kebun Karet, Loktabat Banjarbaru Kalimantan Selatan

Email : [email protected] HP. 081349404884

ABSTRACT

Water management in tidal land acid sulfate can increase the productivity of land and crops. The reaction of oxidation-reduction (redox) pyrite is the main cause of problems in acid sulphate soils. Poisons leaching into the drainage channel that is not a good impact on the environment. Water quality can be improved with the water flowing past the biofilter "Purun Tikus" (Eleocharis dulcis) that can absorb or neutralize poison element. This study aims to obtain an effective ratio between the rice fields with biofilter to improve the quality of waste water in acid sulfate soil. The experiment was conducted at the experimental Belandean, Barito Kuala, South Kalimantan on MK 2009. The treatment arranged in a randomized block design with three replications. The treatment includes the ratio between the plot of the biofilter with paddy fields, namely; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, and (4) 40%. with paddy plot size of 10 m x 10 m. The results showed that mice with a biofilter purun area ratio of 10% can improve the quality of drainage water is indicated by a decrease in the concentration of Fe 2+, Fe-total, and SO42-. Keywords: biofilter, waste water quality, acid sulfate soils

ABSTRAK

Pengelolaan/penataan air di lahan pasang surut sulfat masam dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman. Reaksi reduksi-oksidasi (redoks) pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di tanah sulfat masam. Pencucian unsur meracun ke saluran drainase memberikan dampak yang tidak baik terhadap lingkungan. Kualitas air dapat diperbaiki dengan mengalirkan air tersebut melewati biofilter berupa purun tikus (Eleocharis dulcis) yang dapat menyerap atau menetralisir unsur meracun. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rasio yang efektif antara sawah dengan biofilter untuk meningkatkan kualitas air buangan di lahan sulfat masam. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Belandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan pada MK 2009. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan

Page 2: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

26

tiga ulangan. Perlakuan tersebut meliputi rasio antara petakan biofilter dengan petak sawah yaitu; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, dan (4) 40%. dengan ukuran petakan sawah 10 m x 10 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biofilter purun tikus dengan rasio luas 10 % dapat memperbaiki kualitas air drainase ditunjukkan oleh penurunan konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO4

2- . Kata Kunci : Biofilter, Kualitas Air Buangan, Tanah Sulfat Masam

PENDAHULUAN

Pengembangan pertanian di tanah sulfat masam sering menghadapai beberapa permasalahan seperti ; rendahnya pH tanah dan posfat tersedia, tingginya kandungan Fe (Purnomo et al., 2005) keracunan Al, dan H2S serta kahat hara N, P, K, Si. Salah satu kunci keberhasilan pertanian di tanah sulfat masam adalah pengelolaan air (Fahmi et al., 2006).

Pengelolaan/penataan air di lahan pasang surut sulfat masam dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman. Pengaturan air sistem satu arah dapat mengurangi akumulasi unsur-unsur yang meracun (Anwar et al., 1994; Sarwani, 2002). Pencucian unsur meracun ke saluran drainase memberikan dampak yang tidak baik terhadap lingkungan, berkurangnya ikan dan biota air lainnya. Kualitas air di lahan sulfat masam yang rendah diindikasikan oleh pH < 3,5 dan unsur-unsur yang bersifat meracun yang umumnya didominasi oleh Fe, Al dan SO4. Salah satu pendekatan yang ditempuh untuk mengatasi dampak air buangan adalah dengan menyaring atau menyerap unsur meracun yang ada dalam air buangan tersebut. Gulma purun tikus dapat digunakan sebagai biofilter untuk meningkatkan kualitas air.

Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan tanaman air yang banyak ditemui pada tanah sulfat masam, merupakan gulma yang sangat cepat berkembang dan mempunyai adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan. Tanaman purun tikus ini bersifat spesifik lahan sulfat masam, karena sifatnya yang tahan terhadap kemasaman tinggi (pH 2,5-3,5), oleh sebab itu tumbuhan ini dapat dijadikan vegetasi indikator untuk tanah sulfat masam (Noor, 2004).

Hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada tahun 2003 menunjukkan bahwa gulma purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat digunakan sebagai biofilter untuk meningkatkan kualitas air buangan pada musim kemarau, karena mampu meningkatkan pH 0.14 – 0.25 unit dan menurunkan konsentrasi Fe sebanyak 6-27 ppm dan SO4 30-75 ppm. Kualitas air dapat diperbaiki dengan mengalirkan air melewati media biofilter berupa tanaman purun tikus yang dapat menyerap atau menetralisir unsur Fe dan SO4. (Balittra, 2003).

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi rasio yang efektif antara sawah dengan biofilter untuk meningkatkan kualitas air buangan di lahan sulfat masam.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Belandean, Kabupaten Barito

Kuala, Kalimantan Selatan pada MK 2009. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Perlakuan tersebut meliputi rasio antara

Page 3: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

27

petakan biofilter dengan petak sawah yaitu; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, dan (4) 40%. dengan ukuran petakan sawah 10 m x 10 m.

Sistem irigasi pada petak percobaan ditata dengan sistem aliran air satu arah dengan menggunakan pintu otomatis. Air dari saluran tersier masuk melalui pintu ke saluran masuk, kemudian dialirkan ke petakan sawah. Dari petakan sawah air keluar ke saluran biofilter melalui paralon yang dipasang pada kedua sudut galangan. Gerakan air horizontal antar petakan dihindari dengan memasang plastik (tegak lurus) ditengah galangan dengan kedalaman 60 cm.

Bibit padi varietas Silugonggo yang berumur 15 hari setelah semai ditanam pada petakan, masing-masing 3 bibit/rumpun dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Pertanaman dipupuk dengan dosis 100-200-100 kg/ha N-P2O5-K2O yang bersumber dari urea, SP36, dan KCl. Pemeliharaan (penyiangan gulma dan pengendalian hama dan penyakit tanaman) dilakukan secara intensif sesuai dengan kondisi pertanaman di lapangan.

Parameter yang diamati meliputi; (1) Analisis air (pH, Fe, SO4, Ca, Mg, K) dilakukan secara periodik setiap satu minggu sekali pada saluran tersier, saluran air masuk, petakan sawah dan saluran bio filter. (2) Data curah hujan dan tinggi air pada saluran tersier selama penelitian.

HASIL

Purun tikus sebagai biofilter diletakkan setelah lahan sawah. Tujuannya

adalah untuk memperbaiki kualitas air drainase yang berasal dari sawah melewati purun tikus kemudian dikeluarkan ke saluran drainase. Pengamatan kualitas air dilakukan pada bulan Juli-September. Data curah hujan menunjukan bahwa pada saat pengamatan dilakukan (Juli – September) curah hujan berada dibawah normal < 100 mm (Gambar 1), sehingga ketinggian air pada saluran primer hanya dipengaruhi oleh arus pasang dan surutnya air. Dari pengamatan di lapangan diketahui bahwa yang mempengaruhi ketinggian air pada saluran tersier dan saluran air masuk ke petakan sawah adalah air dari saluran primer.

Gambar 1. Rata-rata curah hujan di Kecamatan Mandastana (Batola),

Kalimantan Selatan. Tahun 2009.

0

50

100

150

200

250

300

Cu

rah

hu

jan

(m

m)

Bulan

Dekade III

Dekade II

Dekade I

Page 4: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

28

0

1

2

3

4

5

6

7

8

I II III IV V VI VII

me

/L

Pengamatan

Fe (me/L)

B 1 B 2 B 3 B 4

Gambar 2. Pengaruh rasio luas purun tikus dengan lahan sawah terhadap

konsentrasi Fe pada air drainase Tabel 1. Pasang air harian tertinggi pada saluran tersier, KP. Belandean (Batola),

MK 2009.

Tinggi Air (cm) Pada Pengamtan

Pengamatan I II III IV V VI VII

Saluran primer 140 138 135 120 140 143 137

0

1

2

3

4

5

6

I II III IV V VI VII

me

/L

Pengamatan

SO4 (me/L)

B 1 B 2 B 3 B 4

Gambar 3. Pengaruh rasio luas purun tikus dengan lahan sawah terhadap

konsentrasi SO4 pada air drainase

Page 5: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

29

0

1

2

3

4

5

6

I II III IV V VI VII

me

/L

Pengamatan

K (me/L)

B 1 B 2

B 3 B 4

Gambar 4. Dinamika konsentrasi K pada air drainase selama masa pertanaman

padi

Gambar 5. Dinamika konsentrasi Ca pada air drainase selama masa pertanaman

padi

0

2

4

6

8

10

12

14

16

I II III IV V VI VII

me/L

Pengamatan

Ca (me/L)

B 1 B 2

B 3 B 4

Page 6: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

30

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

I II III IV V VI VII

me

/L

Pengamatan

Mg (me/L)

B 1 B 2

B 3 B 4

Gambar 6. Dinamika konsentrasi Mg pada air drainase selama masa pertanaman

padi

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar rasio luas purun tikus dengan lahan sawah, konsentrasi Fe pada air drainase akan semakin kecil (Gambar 2). Namun demikian pada minggu II dan seterusnya rasio luas 10 % ( B1) dianggap cukup baik dalam menekan konsentrasi Fe pada air drainase. Konsentrasi Fe mengalami peningkatan pada minggu III dan IV disebabkan karena adanya perubahan pola pasang surut air (Tabel 1). Pada minggu III dan IV terjadi pasang kecil, akibatnya lahan tidak terluapi oleh air pasang sehingga terjadi oksidasi. Oksidasi pada tanah sulfat masam dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi Fe. Minggu V hingga VII memasuki musim kemarau, lahan mengering dan air payau hingga asin (789 µ mhos) masuk, akibatnya konsentrasi Fe pada air drainase sangat kecil (tak terukur).

Pengaruh rasio luas purun tikus dengan lahan sawah terhadap konsentrasi SO4 pada air drainase menunjukkan bahwa rasio luas 10 % (B1) cukup baik dalam menekan konsentrasi SO4 (Gambar 3).

Pengaruh rasio luas purun tikus dengan sawah terhadap konsentrasi basa-basa seperti K, Ca, dan Mg memperlihatkan bahwa konsentrasi basa-basa menurun dari minggu I hingga II (Gambar 4, 5, 6). Ini disebabkan karena pengambilan unsur-unsur tersebut oleh tanaman purun tikus untuk pertumbuhannya. Memasuki minggu III dan IV konsentrasi basa-basa mengalami peningkatan karena masuknya air payau yang mengandung basa-basa. Selanjutnya dari minggu IV hingga VII konsentrasi basa-basa meningkat tajam, ini disebabkan karena masuknya air laut akibat musim kemarau. Hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat berharga untuk penelitian selanjutnya karena pada pertanaman padi menjelang musim kemarau jumlah pupuk KCl dan kapur sebaiknya dikurangi bahkan tidak diberikan. Sedangkan pupuk SP-36 jumlahnya ditambah, karena adanya pengikatan fosfat oleh Ca dan Mg.

Page 7: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

31

KESIMPULAN

Biofilter purun tikus (Eleocharis dulcis) dengan rasio luas 10 % dapat

memperbaiki kualitas air drainase ditunjukkan oleh penurunan konsentrasi Fe2+,

Fe-total, dan SO42- .

DAFTAR PUSTAKA

Anwar K, M Sarwani dan R Itjin. 1994. Pengembangan Pengelolaan Air Di Lahan Pasang Surut Pengalaman Dari Kalimantan Selatan Dan Tengah, Dalam M Sarwani. M Noor dan MY Maamun. Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Pasang Surut : Pengalaman dari Kalimantan Selatan dan Tengah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Banjarbaru.

Balittra. 2003. Laporan Hasil Penelitian TA. 2002/2003. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.

Fahmi A, A Susilawati dan A Jumberi. 2006. Dinamika Unsur Besi, Sulfat dan Fospor serta Hasil Padi Akibat Pengolahan Tanah, saluran Kemalir dan Pupuk Organik di Lahan Sulfat Masam. Jurnal Tanah Tropika. Vol. 12 No. I.

Noor M. 2004. Lahan Rawa. Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Purnomo E, A Mursyid, M Syarwani, A Jumberi, Y Hashidoko, T Hasegawa, S Honma and M Osaki. 2005. Phosphorus Solubilizing Microorganisms In The Rhyzosphere Of Local Rice Varities Grown Without Fertilizer On Acid Sulphate Soils. Soil Sci. Plant Nutr. 51 (5). 2005.

Sarwani M. 2002. Penegelolaan Air Di Lahan Pasang Surut. Dalam Ar-Riza,

M. Sarwani dan T. Alihamsyah (eds). Monograf pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru.

Page 8: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

32

Peningkatan Produksi Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Lebak dengan Pemberian Jenis Pupuk

Increased Production of Rice (Oryza sativa L.) by Giving Types of

Fertilizer on Lowland Swamp Area

Neni Marlina1), Fitri Yetty Zairani1), Nuni Gofar2), Ahmad Yani3)

1) Staf Pengajar FP UNPAL

Email: [email protected]

2) Staf Pengajar FP UNSRI

3) Alumni FP UNPAL

*)Penulis untuk korespondensi: 082306516545 email: [email protected]

ABSTRACT

The research objective was deterimne the proper types of fertilizer to increase rice yield at lowland swamp area. This research was conducted in the green house at Jalan Darmapala of the month January 2014 to May 2014. The design used in this research was completely randomized design with five treatments and five replications for each treatment. Treatments are inorganic fertilizers (based on the recommended dose), rice straw compost (3 tons ha-1), composted cow manure (3 tons ha-1), biofertilizer to 300 kg ha-1, biofertilizer to 300 kg ha-1 + 75% inorganic fertilizers). The results showed that the biofertilizer treatment with dose of 300 kg ha-1 + 75% inorganic fertilizers had increased of productive tillers numbers, filled grains number per panicle, decreased empty grains percentage, increased 100 grains weight and dry milled grain weight of 40.32 g pot-1. Keywords: Type of Fertilizers, lowland swamp area, Production of Rice

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pupuk yang tepat dalam meningkatkan produksi tanaman padi di tanah lebak. Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Plastik di Jalan Darmapala dari bulan Januari 2014 sampai Mei 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan yang diulang lima kali. Perlakuannya adalah pupuk anorganik (berdasarkan dosis anjuran), kompos jerami padi (3 ton ha-1) , kompos kotoran sapi (3 ton ha-1) , pupuk organik hayati 300 kg ha-1, pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik dapat meningkatkan anakan produktif, jumlah gabah isi per malai, menurunkan persentase gabah hampa, meningkatkan berat 100 butir dan berat gabah kering giling sebesar 40,32 g pot-1. Kata Kunci: Jenis Pupuk, Tanah Lebak, Produksi Tanaman Padi

Page 9: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

33

PENDAHULUAN Lahan rawa lebak merupakan lahan suboptimal yang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian terutama untuk tanaman padi. Lahan rawa lebak yang ada di Sumatera Selatan seluas 650.000 ha dan telah dikembangkan untuk pertanian seluas 190.000 ha (Thamrin, 2010). Namun produksi padi di lahan rawa lebak tergolong rendah yaitu 3,7 ton ha-1 (BPS, 2010). Rendahnya produktivitas lahan rawa lebak diakibatkan karena kendala fisik berupa genangan air, kendala kimia sepertinya tingginya kemasaman tanah, keberadaan kation Al dan Fe yang mengikat fosfor dan miskin unsur hara. Menurut Alihamsyah dan Ar-Riza (2004), tingkat kesuburan tanah di lahan rawa lebak dapat dikatakan kurang sampai sedang, sehingga untuk meningkatkan produktivitasnya perlu dilakukan pemupukan. Pupuk yang dapat diberikan dapat berupa pupuk anorganik dan pupuk organik serta pupuk organik hayati atau pemupukan berimbang (pupuk organik + pupuk anorganik). Pemberian pupuk anorganik, pupuk organik, pupuk organik hayati atau pupuk yang berimbang merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi padi di lahan rawa lebak, hal ini dikarenakan semua jenis pupuk tersebut dapat menyumbangkan unsur hara N,P,K bagi tanaman padi agar dapat berproduksi baik. Ketiga unsur hara tersebut mempunyai peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, dimana ketiga unsur hara tersebut dapat berinteraksi satu sama lain dalam menunjang pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Selain itu penggunaan pupuk organik merupakan pilihan dalam mendukung produktivitas padi rawa lebak karena pupuk organik dapat membantu dalam meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang air, meningkatkan pori-pori tanah, dan dalam jangka panjang pemberian pupuk organik dapat meningkatkan pH tanah, hara NPK, KTK tanah dan hasil tanaman dan dapat menurunkan kadar Al dan Fe. Beberapa hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk anorganik NPK 700 ppm dapat meningkatkan hasil gabah padi dibandingkan kontrol (0 ppm) yaitu dari 19,94 g menjadi 33,13 g gabah pot-1 (Londong, 2009). Kompos jerami padi 2,5 ton ha-1 dapat meningkatkan hasil gabah kering giling sebesar 47,90 g rumpun-1 (Rosiana et al., 2013). Pupuk organik hayati 300 - 400 kg ha-1 + pupuk anorganik 75% dari dosis anjuran dapat meningkatkan hasil gabah sebesar 93,67 g pot-1 (Marlina et al., 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pupuk yang tepat dalam meningkatkan produksi tanaman padi di tanah lebak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Plastik di Jalan Darmapala dari

bulan Januari 2014 sampai Mei 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan yang diulang lima kali. Perlakuannya adalah pupuk anorganik (berdasarkan dosis anjuran), kompos jerami padi (3 ton ha-1) , kompos kotoran sapi (3 ton ha-1) , pupuk organik hayati 300 kg ha-1, pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik).

Page 10: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

34

Pengisian tanah ke dalam pot yaitu tanah di timbang sebanyak 10 kg kemudian imasukkan ke dalam pot.

Pembuatan pupuk organik hayati yaitu kompos jerami padi sebanyak 100 kg yang telah dicacah halus dicampur dengan bakteri Azotobacter 100 ml, Azospirillum 100 ml, bakteri pemacu tumbuh 100 ml, dan bakteri pelarut fospat 100 ml. Bakteri tersebut disentrifuse untuk diambil panen biomassanya. Setelah disentrifuse biomassa bakteri tersebut disemprotkan secara zig-zag di atas kompos yang telah dihamparkan, kemudian diaduk-aduk dan dibiarkan selama satu jam. Kemudian pupuk organik hayati tersebut telah siap digunakan.

Pemupukan yaitu dilakukan satu hari sebelum dilakukan penanaman, dengan banyak pupuk yang diberikan sesuai dengan perlakuan .

Penanaman yaitu dilakukan sebanyak lima benih untuk setiap pot dengan kedalaman dua cm, setelah satu minggu dipilih dua tanaman yaitu yang menunjukkan pertumbuhan yang seragam.

Pemeliharaan meliputi penyiraman benih yang di tanam dalam pot yang dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari, sesuai dengan keadaan kelembaban tanah. Apabila terlihat gulma langsung dilakukan pembersihan dengan cara mencabutnya langsung dengan tangan.

Pemanenan dilakukan setelah lebi dari 75 % bulir masak pada setiap rumpun yang dicirikan dengan daun bendera yang menguning. Bagian tanaman yang dipanen adalah bulir padi.

HASIL

Karakteristik Tanah Awal. Berdasarkan kriteria penelitian menurut PPT (1983) dan Balai Penelitian Tanah (2005) menunjukkan bahwa tanah yang digunakan pada penelitian ini tergolong masam (pH H2O=5,50) dengan kapasitas tukar kation tergolong sedang (17,52 cmol(+) kg-1), kandungan C-organik 12,7 g kg-1 tergolong rendah, C/N ratio 9,77 tergolong rendah, kandungan N-total dan P tersedia tergolong rendah (1,30 g kg-1 dan 4,50 mg kg-1 ), basa tertukar seperti Ca-dd 10,58 cmol(+) kg-1 tergolong sedang, Mg-dd 3,45 cmol(+) kg-1 tergolong tinggi, K-dd 0,77 cmol(+) kg-1 tergolong tinggi, Na-dd 0,68 cmol(+) kg-1 tergolong sedang, dengan Kejenuhan Basa 84,47 % tergolong tinggi, Al-dd 0,2 cmol(+) kg-1, H-dd 0,19 cmol(+) kg-11, Kejenuhan Al 1,14 % tergolong sangat rendah, Fe 174,38 mg kg-1, Cu 5,02 mg kg-1, Zn 8,80 mg kg-1, Mn 228,56 mg kg-1 tergolong sangat tinggi (Tabel 1). Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah awal sebelum tanam No. Jenis Analisa Hasil analisis Penilaian*

1. pH H2O (1:1) 5,50 Masam 2. pH KCl (1:1) 4,80 3. 4.

C/N ratio C-organik (g kg-1 )

9,77 12,7

Rendah Rendah

5. N-total (g kg-1) 1,3 Rendah 6. P Bray I (µg g-1) 4,50 Rendah 7. P CHCl 25 %` 43,90 8. Ca-dd (mcmol(+) kg-1) 10,58 Sedang 9. Mg-dd (mcmol(+) kg-1) 3,45 Tinggi

Page 11: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

35

No. Jenis Analisa Hasil analisis Penilaian*

10. K-dd (mcmol(+) kg-1) 0,77 Tinggi 11. Na-dd (mcmol(+) kg-1) 0,68 Sedang 12. KTK (mcmol(+) kg-1) 17,52 Sedang 13. KB (%) 84,47 Sangat tinggi 14. 15.

Al-dd (mcmol(+) kg-1) Kejenuhan Al

0,20 1,14

Sangat rendah

16. H-dd (mcmol(+) kg-1) 0,19 17 18. 19. 20.

Fe (µg g-1) Cu (µg g-1) Zn (µg g-1) Mn (µg g-1)

174,38 5,02 8,80 228,56

Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi

Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB (2012) *Pusat Penelitian Tanah (1983) dan Balai Penelitian Tanah (2005)

PEMBAHASAN

Secara umum dapat disimpulkan bahwa tanah yang digunakan sebagai media tumbuh dalam penelitian ini termasuk kategori dengan kesuburan tanah rendah dengan pH H2O tergolong masam dengan kandungan C-organik, N-total dan P tersedia rendah serta tingginya kandungan logam didalam tanah (Fe, Mn, Cu dan Zn), oleh karena itu tanah pada penelitian ini perlu diberi berbagai jenis pupuk baik pupuk anorganik maupun pupuk organik dan pupuk organik hayati yang mengandung bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp., Pseudomonas pseudomallei, Bacillus firmus agar kandungan unsur hara N, P dan K meningkat sehingga tanaman padi dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik.

Produksi Tanaman Padi. Hasil analisis keragaman diketahui bahwa

perlakuan jenis pupuk berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap jumlah anakan produktif, persentase gabah hampa dan berat gabah kering giling, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah gabah per malai dan berat 100 butir. Ringkasan hasik analisis ragam terhadap peubah yang diamati dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis keragaman jenis pupuk terhadap peubah yang diamati Peubah yang diamati F hitung Jumlah anakan produktif (malai) Nyata Jumlah gabah per malai (malai) Tidak nyata Persentase gabah hampa (%) Sangat nyata Berat 100 butir (g) Tidak nyata Berat gabah kering giling (g) Sangat nyata Berdasarkan Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa jenis pupuk organik hayati + 75 % pupuk anorganik dari dosis anjuran berkontribusi nyata sampai sangat nyata meningkatkan jumlah anakan produktif (19,40 malai), jumlah gabah per malai (134,41 malai), menurunkan persentase gabah hampa (23,92 %),

Page 12: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

36

meningkatkan berat 100 butir (1,92 g) dan berat gabah kering giling (40,32 g). Hal ini disebabkan perlakuan pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik yang diberikan pada tanaman padi ini merupakan jenis pupuk yang cukup dan berimbang sehingga tanaman padi dapat memanfaatkan unsur hara dari pupuk anorganik yang lebih dulu tersedia dan disusul oleh sumbangan unsur hara dari pupuk organik hayati yang mengandung bakteri Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. yang dapat menambat N2 dari udara, bakteri Pseudomonas pseudomallei yang dapat memacu pertumbuhan tanaman dan bakteri Bacillus firmus yang dapat melariutkan fosfat dan kalium, sehingga kedua pupuk diatas saling mendukung satu sama lain dalam menyumbangkan unsur hara N, P dan K yang sangat dibutuhkan oleh tanaman padi untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik. Sumbangan unsur hara N, P dan K oleh bakteri yang terdapat dalam pupuk organik hayati dan pupuk anorganik ini pada tanaman padi bersama-sama ikut terlibat dalam proses reaksi fotosintesis sehingga hasil fotosintat berupa senyawa organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan mengisi gabah dengan penuh dan berat GKG tertinggi dapat dicapai. Hal ini dapat dibuktikan persentase peningkatan berat GKG yang diperoleh dari pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik yaitu sebesar 21,45 %, 238,29 %, 283,54 % dan 197,07 % bila dibandingkan dengan pupuk anorganik, kompos jerami padi, kompos kotoran sapi dan pupuk organik hayati 300 kg ha-1. Tabel 3. Pengaruh perlakuan jenis pupuk terhadap peubah yang diamati Perlakuan Jumlah anakan

produktif (malai) Jumlah gabah per malai (malai)

Persentase gabah hampa (%)

Pupuk anorganik 17,60 bc

AB 125,07 24,26 a

A

Kompos jerami padi 12,40 a

A 124,74 68,10 b

B

Kompos kotoran sapi

13,40 ab

A 128,94 55,70 b

B

Pupuk organik hayati

16,00 abc

AB 132,32 47,26 b

AB

Pupuk organik hayati + 75 % pupuk anorganik

19,40 c

B 134,41 23,92 a

A

BNT 0,05= 0,01=

4,22 5,76

tn 22,86 31,86

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.

Page 13: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

37

Tabel 4. Pengaruh perlakuan jenis pupuk terhadap peubah yang diamati Perlakuan Berat 100 butir (g) Berat GKG (g) Persentase

peningkatan (%) Pupuk anorganik 1,90 23,20 bc

AB 21,45

Kompos jerami padi 1,76 16,92 a

A 238,29

Kompos kotoran sapi

1,70 14,22 a

A 283,54

Pupuk organik hayati

1,80 20,46 ab

AB 197,07

Pupuk organik hayati + 75 % pupuk anorganik

1,92 40,32 c

B -

BNT 0,05= 0,01=

tn Isi ya

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata

Tanaman padi lebih banyak memerlukan nitrogen (N) dalam jumlah

banyak pada awal pertumbuhan sampai pembungaan untuk memaksimalkan jumlah malai produktif serta pada tahap pengisian biji. Banyaknya jumlah gabah yang terisi memberikan kontribusi penting dalam menurunkan rata-rata jumlah gabah yang hampa. Distribusi asimilat yang lebih banyak diarahkan ke fase generatif seperti pengisian biji yang menyebabkan lebih banyak jumlah gabah berisi dibandingkan dengan gabah hampa, menyebabkan rasio jumlah bagian yang bernilai ekonomis terhadap biomassa tanaman menjadi meningkat (Yoshida, 1981; Doberman and Fairhust, 2000).

Pupuk organik hayati yang diberian merupakan kompos jerami padi yang diperkaya oleh bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp., Pseudomonas pseudomallei dan Bacillus firmus.

Bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp. sangat membantu dalam mekanisme penambatan N2 dari udara. Mekanisme penambatan N2 yaitu konversi N2 dari udara menjadi amonia oleh enzim nitrogenase. Enzim ini mengandung dua molekul protein yaitu protein besi dan satu mol protein Mo. Reaksi ini berlangsung ketika mol N2 terikat pada kompleks enzim nitrogenase. Protein Fe mula-mula direduksi oleh elektron yang diberikan oleh ferredoksin. Kemudian protein Fe reduksi mengikat ATP dan mereduksi protein Mo-Fe, yang memberikan elektron kepada N2 sehingga menghasilkan NH=NH. Pada daur berikutnya protein ini (masing-masing membutuhkan elektron yang disumbangan oleh ferredoksin), NH=NH direduksi menjadi H2N-NH2 dan selanjutnya direduksi menjadi NH3 (Saika dan Jain, 2007; Danapriatna, 2010).

Bakteri pelarut fosfat seperti Bacillus firmus dapat melarutkan fosfor yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan fosfor dalam tanah. Ketersediaan fosfor dalam tanah dibutuhkan tanaman pada fase generatif (saat pengisian dan pemasakan biji).

Bakteri Pseudomonas pseudomallei merupakan bakteri yang berperan dalam menghasilk an hormon tumbuh yang sangat mempengaruhi interaksi antar

Page 14: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

38

mikroba tanah dan tanaman. Keberadaan hormon disekitar perakaran tanaman akan myang tinggi embantu pembelahan dan pembesaran sel sehingga akar tanaman menjadi lebih aktif dalam proses metabolisme termasuk dalam hal penyerapan air dan hara. Penyerapan hara yang meningkat berpengaruh terhadap pembentukan jumlah anakan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi perolehan biomasaa. Bakteri ini berkemampuan memproduksi IAA (Goenarto, 2000), produksi IAA sebesar 6-10 mg kg-1 (Gofar et al., 2012), produksi IAA sebanyak 5,13 – 14,58 mg kg-1 (Dungpaeng et al., 2012).

Perlakuan kompos jerami padi dan kompos kotoran sapi memberikan produksi yang rendah pada produksi tanaman padi, hal ini disebabkan kompos jerami padi dan kompos kotoram sapi belum terlapuk sempurna dan bersifat slow release sehingga sumbangan unsur hara yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak ada sumbangan unsur hara dari pupuk anorganik, sehingga produksi yang dicapai rendah.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapat bahwa jenis pupuk organik hayati 300 kg ha-1

dengan 75 % pupuk anorganik dapat meningkatkan berat gabah kering sebesar 21,45 %, 238,29 %, 283,54 % dan 197,07 % bila dibandingkan dengan pupuk anorganik, kompos jerami padi, kompos kotoran sapi dan pupuk organik hayati 300 kg ha-1 dengan berat GKG 40,32 g.

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T. dan Ar-Riza. 2004. Potensi dan Teknologi Pemanfaatan Lahan

Rawa Lebak untuk Pertanian. Makalah Utama Workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Pemda Kabupaten Hulu Sungai, Dinas Pertanian Propinsi Kalimantan Selatan, Kandangan

Balai Penelitian Tanah. 2008. Pupuk organik untuk tingkatkan produksi pertanian. Balittanah. Bogor. [email protected]

BPS. 2010. Sumsel dalam Angka 2009. BPS, Palembang Danapriatna, N. 2010. Biokimia Pembentukan Nitrogen oleh Bakteri Non

Simbiotik. J. Agribisnis dan Pengembangan Wilayah 1(2):1-10 Doberman, A and Fairhust T. 2000. Rice Nutrient Disorders and Nutrient

Management. Potash and Phosphate Institute of Canada and International Rice Research Institute. Oxford Geographic Printers Pte Ltd. Canada, Philippines. 192p.

Dungpaeng, A, P. Phetcharat, S. Chanthapho, N. Boonkantong and N. Okuda. 2012. The Study and Development of Endophytic Bacteria for Enhancing Organic Rice Growth. Procedia Engineering 32(2012):172-176

Goenarto, L. 2000. Mikroba Rhizosfer Potensi dan Manfaatnya. Jurnal Litbang Pertanian 19(2): 40-48

Gofar, N., H. Widjajanti dan N.L.P. Sriratmini. 2012. Uji Kemampuan Isolat Bakteri Endofitik Penghasil IAA dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman Padi pada Tanah Asal Rawa Lebak. Prosiding InSINAs. 0423:293-297

Page 15: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

39

Londong, P. 2009. Hubungan Pupuk NPK dengan Pertumbuhan dan Hasil Padi Mira 1 pada Lahan Pasang Surut. J. Agroscientise 16(2): 112-115

Marlina, N., N. Gofar, A.H.P.K. Subakti, A. Rahim. 2014. Improvement of Rice Growth dan Productivity Through Balance Application of Inorganic Fertilizer dan Biofertilizer ini Inceptisol Soil of Lowland Swamp Area. J. Of Agricultural Science Agrivita 36(1):48-56

Pusat Penelitian Tanah. 1983. Terms of Reference Type. As. P3TT Bogor Rosiana, F., T. Turmuktini, Y. Yuwariah, M. Arifin dan T. Simarmata. 2013.

Aplikasi Kombinasi Kompos Jerami, Kompos Azolla dan Pupuk Hayati untuk Meningkatkan Jumlah Populasi Bakteri Penambat Nitrogen dan Produktivitas Tanaman Padi Berbasis IPAT-BO. J. Agrovigor 6(1): 16-22

Saika, S.P. and V. Jain. 2007. Biological nitrogen fixation with non-legumes : An achievable target or dogma ?. Current Sci. 92 (3) : 317 – 322.

Yoshida, S. 1981. Fundamental of rice crop science. IRRI, Philippines.

Page 16: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

40

Kajian Kesuburan Tanah Lahan Rawa di Provinsi Bengkulu

Study of Soil Fertility Land Swamp in Bengkulu Province

Wahyu Wibawa, Nurmegawati, Dedi Suganti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu, telp (0736) 23030

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Wetlands is a potential land resources that can support the sustainability of rice self-sufficiency , especially uncertainties associated with climate (climate change ) . One of the factors that determine the success of lowland farming is soil fertility . This study aims to assess the fertility of the soil wetlands in the province of Bengkulu . The results showed that ( 1 ) In the swampy wetlands including acidic pH , organic C content is very high - level decomposition rate of organic matter yet further , the availability of P is classified, K -dd classified as very low , relatively low cation exchange capacity , toxicity of iron ( Fe ) is very high with a base saturation ( KB ) is classified, ( 2 ) In tidal wetlands including acidic acid levels , C - organic content with a very high degree of decomposition of organic materials classified as being : the availability of P is classified, the exchange capacity cation is high , very high Fe content ; base saturation is high , ( 3 ) Judging from the cation exchange capacity ( CEC ) and base saturation ( KB ) , the level of soil fertility in lowland swamp land is relatively lower than the tidal marsh.

Keywords: soil fertility, swampy marsh, tidal marsh

ABSTRAK

Lahan rawa merupakan potensi sumberdaya lahan yang dapat mendukung kelestarian swasembada beras, apalagi dikaitkan dengan ketidakpastian iklim (climate change). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani lebak adalah kesuburan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kesuburan tanah lahan rawa di Provinsi Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pada lahan rawa lebak pH-nya termasuk masam, kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat laju dekomposisi bahan organik belum lanjut, ketersedian P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah, kapasitas tukar kation tergolong rendah, keracunan besi (Fe) sangat tinggi dengan kejenuhan basa (KB) tergolong sedang, (2) Pada lahan rawa pasang surut tingkat keasamannya termasuk masam, kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat dekomposisi bahan organik tergolong sedang: ketersedian P tergolong sedang, kapasitas tukar kation termasuk tinggi, kandungan Fe sangat tinggi; kejenuhan basa termasuk tinggi, (3) Dilihat dari kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) maka tingkat kesuburan tanah pada lahan rawa lebak relatif lebih rendah daripada rawa pasang surut.

Kata kunci: kesuburan tanah, rawa lebak, rawa pasang surut

Page 17: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

41

PENDAHULUAN

Lahan rawa merupakan potensi sumberdaya lahan yang dapat mendukung kelestarian swasembada beras, apalagi dikaitkan dengan ketidakpastian iklim (climate change). Lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan sistem perairan (Subagyo, 1997). Berdasarkan sifat-sifat dan karakteristik tanah yang berpengaruh langsung terhadap pertanian, seperti kedalaman pirit, kemasaman tanah, pengaruh garam, pengaruh pasang surut dan ketebalan gambut maka lahan rawa terbagi dalam 5 tipologi, yaitu (1)lahan alluvial bersulfida, (2) lahan alluvial bersulfat, (3) lahan gambut, (4) lahan salin, dan (5) lahan lebak (Suriadikarta dan Sutriadi (2007).

Luas lahan rawa di Provinsi Bengkulu cukup luas (12.411 ha) yang terdiri dari rawa lebak mencapai 11.609 ha dan rawa pasang surutnya sekitar 802 ha, yang mencakup Kabupaten Seluma, Mukomuko, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah (BPS Provinsi Bengkulu, 2010). Disamping rawa lebak, di Provinsi Bengkulu juga terdapat rawa pasang surut air asin. Menurut Subagyo (2006) wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas.

Lahan tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan khususnya untuk tanaman padi dan diharapkan mampu menjadi penyumbang produksi beras yang cukup signifikan. Namun budidaya padi di lahan rawa mempunyai resiko yang cukup tinggi karena mempunyai masalah dalam hal kesuburannya. Tanah pada lahan rawa bersifat masam, miskin unsur hara, dan mengandung besi (Fe) yang tinggi. Keracunan besi dan ketidakseimbangan kandungan unsur hara merupakan permasalahan utama yang menyebabkan produktivitas padi rendah (1-2 t/ha) atau bahkan tidak menghasilkan. Menurut Waluyo dan Djamhari (2011) melaporkan bahwa faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani lebak salah satunya kesuburan tanah.

Kesuburan tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, maka penilaian status hara tanah mutlak diperlukan. Menurut Nyakpa et al., (1988) salah satu cara untuk menilai status hara dalam menilai kesuburan hara yaitu dengan analisis tanah, yang mempunyai konsep bahwa tanaman akan respon terhadap pemupukan bila kadar hara tersebut kurang atau jumlah yang tersedia tidak cukup untuk pertumbuhan yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kesuburan tanah lahan rawa di Provinsi Bengkulu.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang

surut, untuk rawa lebak dilakukan di Desa Dusun baru kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah sedangkan rawa pasang surut dilakukan di Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Muara Bangkahulu Kota Bengkulu. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode purposive random sampling, pada kedalaman 0 – 20 cm.

Sampel tanah tidak utuh atau contoh tanah terganggu diambil secara komposit dengan pemboran yang digunakan untuk penetapan pH tanah, kandungan C-organik, KTK serta unsur hara makro yaitu N,P,K, Mg. Sampel tanah yang diperoleh selanjutnya dibawa ke laboratorium tanah BPTP Bengkulu

Page 18: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

42

untuk analisis kimia tanah sebagai berikut : penetapan pH tanah metode pH metri, penetapan C-Organik metode spektrofotometri, penetapan N metode kjeldahl, penetapan P metode spektrofotometri, penetapan kation K metode flamephotometer , kation Mg dengan metode titrasi dan KTK metode destilasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan tingkat kesuburan tanah pada lahan rawa lebak dan pasang surut.

HASIL

Tabel 1. Status hara rawa lebak No Sifat Kimia dan Fisika Nilai Keterangan * 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15

Kadar Air (%) Tekstur pH (H2O) pH (KCl) C-organik (%) N-total (%) C/N P tersedia K-dd (me/100g) Ca-dd (me/100g) Mg-dd (me/100g) Na-dd (me/100g) KTK (me/100g) Al (me/100g) Fe (%) KB (%)

4 lempung

4,78 4,18 6,91 0,32 21,59 8,04 0,02 0,20 4,95 0,10 11,07 0,09 0,85 47,61

- -

Masam -

Sangat tinggi Sedang Tinggi Sedang

Sangat rendah Rendah

Sangat tinggi Sedang Rendah

Sangat rendah Sangat tinggi

Sedang Keterangan : Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu Sumber : * Balai Penelitian Tanah (2009)

Tabel 2. Status hara rawa pasang surut No Sifat Kimia dan Fisika Nilai Keterangan * 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Kadar air (%) Tekstur pH (H2O) pH (KCl) C-organik (%) N-total (%) C/N P-Bray.I (ppm) K-dd (me/100g) Ca-dd (me/100g) Mg-dd (me/100g) Na-dd (me/100g) KTK (me/100g) Al (me/100g) Fe (%) KB (%)

12 Lempung liat berdebu

4,88 3,96 7,32 0,35 20,91 8,04 0,04 1,88 15,43 0,52 25,97 0,10 2,20 68,81

-

Masam

Sangat tinggi Sedang Sedang Sedang

Sangat rendah Sangat rendah Sangat tinggi

Sedang Tinggi

Sangat rendah Sangat tinggi

Tinggi Keterangan : Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu Sumber : * Balai Penelitian Tanah (2009)

Page 19: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

43

Tabel 3. Pedoman umum kebutuhan kapur mencapai pH 5,5.

No pH Kebutuhan kapur (Ton/Ha)

No pH

Kebutuhan kapur (Ton/Ha)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

4,0 4,1 4,2 4,3 4,4 4,5 4,6 4,7 4,8 4,9 5

6,38 5,99 5,59 5,32 4,92 4,52 4,12 3,86 3,46 3,06 2,39

12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 -

5,1 5,2 5,3 5,4 5,5 5,6 5,7 5,8 5,9 6,0 -

2,0 1,73 1,33 0,93 0,53 0,27 0,00 0,00 0,00 0,00. -

Sumber: pH TSK, Dept, Tanah, Faperta IPB Bogor,1985 di dalam Iqro5

PEMBAHASAN

Rawa lebak. Secara umum kelas tekstur tanah pada rawa lebak termasuk lempung; pH H2O tergolong masam; Kandungan C-organik tergolong sangat tinggi; kandungan N tergolong sedang; kandungan P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah; kandungan Ca tergolong sangat rendah; Mg-dd tergolong tinggi; Na-dd tergolong rendah; Al3+ tergolong sangat rendah; dan KTK tergolong rendah; kandungan Fe tergolong tinggi sedangkan kejenuhan basa tergolong sedang (Tabel 1). Kemasaman (pH) tanah merupakan penciri utama lahan rawa. Kemasaman tanah juga mengambarkan kondisi reaksi tanah, kandungan kation-kation masam. Tingkat kemasaman tanah di lahan rawa dipengaruhi oleh lingkungan pembentuk pirit, sebaran bahan organik dan perbedaan tingkat oksidasi. pH pada lokasi pengkajian termasuk masam yaitu 4,78. Untuk meningkat kan pH yang ideal yang dibutuhkan tanaman agar unsur hara dapat di serap secara baik dibutuhkan pH masam Ph 5,5. Di bawah menunjukkan besarnya pemberian kapur pada tiap-tiap tanah masam (pH).

Tabel di atas menunjukkan kebutuhan kapur dalam meningkatkan dari masam ke optimum basa, meningkatkan pH berarti akan mengurangi Al (Aluminium) yang beracun bagi tanaman, serta meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman,terutama unsur P (phospor) sehingga sesuai dengan pertumbuhan tanaman yang optimal. Selanjutnya dikatakan oleh Widodo (2000) dalam bahwa kapur yang ideal adalah mempunyai sifat kejenuhan basa tinggi, dapat meningkatkan pH tanah serta memiliki kandungan unsur hara yang lengkap, sehingga juga berfungsi sebagai dan mempunyai kemampuan memperbaiki struktur tanah rawa.

Kandungan C-orgnik yang tergolong sangat tinggi dan kandungan N tergolong sedang. Tingkat kematangan bahan organik ditunjukkan oleh nisbah C/N yang tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pelapukannya

Page 20: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

44

belum lanjut dengan bahan organik masih kasar. Kandungan fosfor ekstrak Bray I tergolong sedang, ini menunjukkan P tersedia untuk tanaman tergolong sedang. Rachim (1995) dalam Hartatik dan Idris (2008) melaporkan bahwa lamanya pengusahan dapat meningkatkan P terekstrak dengan Bray I, peningkatan ini berkaitan dengan dekomposisi dan mineralisasi bahan organik, sehingga unsur P menjadi terlepas.

Basa-basa dapat dipertukarkan ditentukan dengan melepaskan basa-basa tersebut dari koloid tanah, K-dd tergolong sangat rendah, Ca-dd tergolong rendah, Mg-dd tergolong sangat tinggi sedangkan Na-dd tergolong sedang. Kapasitas tukar kation tanah didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk menyerap dan mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam milliekivalen per 100 gram. Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menukar kation yang dijerap . Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. KTK pada lokasi penelitian tergolong rendah, ini menunjukkan bahwa tanahnya belum mampu menyerap dan menyediakan unsur hara, karena unsur-unsur hara tersebut mudah hilang tercuci oleh air.

Kandungan Fe tergolong sangat tinggi yang berpengaruh pada tingkat keasaman tanah. Kandungan basa-basa tergolong rendah akan mempengaruhi serapan Fe. Menurut Tan (2007) tingginya kadar Fe salah satu penyebab terjadinya keasaman tanah. Basa-basa tukar (Ca, Mg, Na, K) yang berfungsi untuk menetralisir keasaman tanah ketersediaannya pada tanah yang digunakan sangat rendah akibatnya Fe dan Mn akan mudah terserap oleh tanaman dan pada kosentrasi tertentu berpotensi terjadi keracunan. Menurut Yoshida (1981) batas kritis keracunan Fe pada tanaman padi sawah adalah 300 ppm. Besi yang berlebihan dapat membentuk lapisan oksida ferri pada permukaan akar, sehingga akan memperlambat penyerapan hara lainnya oleh tanaman. Pengelolaan lahan ini dalam jangka panjang kalau tidak dikelola dengan baik akan selalu berpotensi menjadi lahan yang masam dan miskin terhadap unsur hara tertentu

Kejenuhan basa merupakan perbandingan antara jumlah me kation basa dengan me kapasitas tukar kation. Kejenuhan basa pada lokasi penelitian tergolong sedang dan termasuk tidak subur. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dilakukan pemupukan dan pemberian kapur (dolomit) yang cukup, sehingga pertumbuhan tanaman normal. Wakhid ( 2011) melaporkan bahwa nilai kejenuhan basah tanah > 80%, 50-80% dan < 50% untuk tanah gambut berturut-turut termasuk kategori sangat subur, sedang dan tidak subur. Nilai KB menentukan kemasaman tanah dan ketersediam unsur hara, khususnya kalium, kalsium dan magnesium.

Pasang surut. Secara umum kelas tekstur tanah pada daerah pengkajian rawa pasang surut termasuk lempung liat berdebu; pH H2O tergolong masam; Kandungan C-organik tergolong sangat tinggi; kandungan N tergolong sedang; kandungan P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah; kandungan Ca tergolong rendah; Mg-dd tergolong sangat tinggi; Na-dd tergolong sedang; Al3+

tergolong sangat rendah; dan KTK tergolong tinggi; Fe tergolong tinggi dengan kejenuhan basa tergolong tinggi (Tabel 2).

Dilihat dari analisis tanah maka terlihat bahwa lahan penelitian tersebut memiliki beberapa kendala dalam kesuburannya seperti miskin unsur hara (unsur K sangat rendah), pH tanah termasuk masam, kandungan Fe sangat tinggi serta

Page 21: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

45

kandungan Na yang termasuk sedang.Kandungan C-organik yang sangat tinggi dengan nisbah C/N yang sedang menunjukkan bahwa laju dekomposisi bahan organik belum lanjut. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju perombakan bahan organik diantaranya suhu, curah hujan, aerasi tanah akan sangat menentukan jumlah bahan organik dalam tanah. Vangnai dan Chantadisai (1984) dalam Mawardi dan Kertonegoro (2011) menyatakan bahwa laju perombakan pada kondisi tergenang sepuluh kali lebih rendah dibanding tidak tergenang. Subowo et al,. (2013) menambahkan bahwa pada kondisi tergenang laju dekomposisi bahan organik untuk melepas hara yang terkandung di dalamnya berlangsung lambat.

Kandungan Fe yang sangat tinggi yang mencapai 0.22 % (22.000 ppm) merupakan kendala untuk lahan rawa. Jika digunakan varietas padi sawah maka pertumbuhan tanaman akan terganggu serta hasil yang rendah, sehingga diperlukan varietas yang toleran. Menurut Yoshida (1981) batas kritis keracunan Fe pada tanaman padi sawah adalah 300 ppm. Khairullah et al., (2011) menambahkan bahwa konsentrasi Fe2+ sebesar 300-400 ppm saja akan meracuni tanaman padi dan mengakibatkan meracuni tanaman padi dan meningkatkan ketersedian hara tanaman rendah.

Keracunan besi akan menghambat pertumbuhan tanaman dan kematian pada tanaman padi, menunjukkan gejala bronzing dan akan menurunkan hasil hingga 75 % pada varietas peka dan 30 % pada varietas toleran keracunan besi (Khairullah et al., 2011). Suprihatno et al. (2010) menambahkan bahwa keracunan besi menyebabkan produktivitas padi dilahan rawa relatif rendah (1-2 t/ha) atau bahkan tidak menghasilkan.

Ada beberapa cara untuk mengatasi keracunan besi, diantaranya adalah penanaman varietas yang toleran dan pemupukan untuk meningkatkan keseimbangan unsur hara.Khairullah et al., (2011) menyatakan bahwa perlakuan tata air intermitten (digenangi dan dikeringkan berselang 1 minggu) dan waktu tanam 14 sampai 21 hari setelah aplikasi tata air merupakan kombinasi yang terbaik untuk mengendalikan keracunan besi.

KESIMPULAN

1. Pada lahan rawa lebak pH-nya termasuk masam, kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat laju dekomposisi bahan organik belum lanjut, ketersedian P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah, kapasitas tukar kation tergolong rendah, keracunan besi (Fe) sangat tinggi dengan kejenuhan basa (KB) tergolong sedang

2. Pada lahan rawa pasang surut tingkat keasamannya termasuk masam, kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat dekomposisi bahan organik tergolong sedang: ketersedian P tergolong sedang, kapasitas tukar kation termasuk tinggi, kandungan Fe sangat tinggi; kejenuhan basa termasuk tinggi

3. Dilihat dari kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) maka tingkat kesuburan tanah pada lahan rawa lebak relatif lebih rendah daripada rawa pasang surut.

Page 22: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

46

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Hendri Suyanto yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor

BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Bengkulu dalam Angka. Hartatik. W. Idris,K. 2008. Kelarutan fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang

diberikan bahan amelioran tanah mineral. Jurnal Tanah dan Iklim 27: 45-56 Khairullah,I.L.Indrawati,A.Hairani,A.susilowati.2011. Pengaruh waktu tanam dan

tata air untuk mengendalikan keracunan besi pada tanaman padi di lahan rawa pasang surut sulfat masam potensi tipe b. Jurnal Tanah dan Iklim. Edisi khusus rawa: 13-24.

Mawardi dan B.D.Kertonegoro. 2011. Deskripsi beberapa unsur hara pada lapisan olah di tanah sulfat masam balandean dengan durasi penggunaan lahan yang berbeda. Jurnal Tanah dan Iklim edisi khusus rawa.79:87

Nyakpa, M.Y. A.M.Lubis, M.A. Pulung, A.G.Amrah, A.Munawar, G.B.Hong, N.Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung

Subagyo H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. Prosiding simposium Nasional dan Konggres PERAGI. Jakarta 25- 27 Juni 1996.

Subagyo H. 2006. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Satoto, Baehaki, Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari, I.P. Wardana, dan H. Sembiring. 2010. Deskripsi varietas padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian

Suriadikarta,D.A dan Sutriadi,M.T.2007. Analisis potensi lahan rawa untuk pengembangan agribisnis. Jurnal Sumberdaya Lahan vol 1.No. 3 Agustus 2007. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Tan, K. H. 2007. Tanah-tanah daerah bermusim dan tropis basah dari Indonesia. Pembentukan sifat-sifat dan pengolahan. Dept of Crops and Soil Science. University of Georgia, Athens, GA, USA.

Wakhid, N. 2011. Teknologi pemberian bahan amelioran di lahan gambut. Prosiding seminar nasional sumberdaya lahan pertanian Banjarbaru, 13-14 Juli 2011. Hal 165-180

Waluyo dan Djamhari,S.2011. Sifat kimia tanah dan kesesuaian lahan pada masing-masing tipologi lahan rawa lebak untuk budidaya tanaman padi, kasus di Desa Tanjung Elai, Ogan Komering Ilir. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 13(3): 204-209.

Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crops science. International Rice Research Institut. Philipinnes;269p.

Page 23: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

47

Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Di Kabupaten Bengkulu Tengah, Indonesia

Zoning Maps of Agricultural Commodities in Central Bengkulu District, Indonesia

Hamdan dan Irma Calista Siagian

BPTP Bengkulu Jalan Irian Km. 6.5 Bengkulu 38119

e-mail : [email protected]

ABSTRACT

Bengkulu Province has limited natural resources, so it is necessary efforts optimal land use. Problems faced in agricultural development with regard to the utilization of land resources which have not been mapped based comparative and competitive advantages. Preparation of zoning maps of agricultural commodities is done in Central Bengkulu District with several stages of the methodology are inventory of land resources and land resource evaluation. Preparation of zoning maps of agricultural commodities by agro-ecological zone scale 1: 50,000 is intended as an effort to provide information about the potential biophysical (soil, climate, vegetation), socio-economic, and land suitability superior agricultural commodities. Inventory of land resources is done with several phases of activities, namely: the preparation of base maps, land units of analysis and field verification of land resources while evaluation is done by the analysis of soil samples and preparation of the database. Based on the interpretation of the results and observations in the field, the study area were grouped into 6 groups, namely alluvial landform, marin, marin fluvio, tectonic, volcanic and various shapes. Land characteristics used in assessing land cover annual average temperature, precipitation, humidity, drainage, texture, coarse material, the effective depth, maturity and thickness of peat, CEC, KB, pH, organic C, total N, P2O5 , K2O, salinity, alkalinity, sulfidic depth, slope, surface rock, rock outcrop, the danger of landslides, erosion and inundation of high and long. Central Bengkulu District area of 74649.90 ha (71.40%) consisted of crop development zone wetlands and dry land, the development zone of crops and food crops and agroforestry systems development zone of annual crops / plantation.

Keywords: agro-ecological zones, zoning commodity, applied technology

ABSTRAK

Provinsi Bengkulu memiliki potensi sumberdaya alam yang terbatas, sehingga sangat diperlukan upaya pemanfaatan lahan secara optimal. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan yang belum dipetakan berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif. Penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian ini dilakukan di Kabupaten Bengkulu Tengah dengan beberapa tahapan metodologi

Page 24: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

48

yaitu inventarisasi sumberdaya lahan dan evaluasi sumberdaya lahan. Penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menyajikan informasi mengenai potensi biofisik (tanah, iklim, vegetasi), sosial ekonomi, dan kesesuaian lahan berbagai komoditas pertanian unggulan. Inventarisasi sumberdaya lahan dilakukan dengan beberapa tahapan kegiatan, yaitu: penyusunan peta dasar, analisis satuan lahan dan verifikasi lapangan sedangkan evaluasi sumberdaya lahan dilakukan dengan analisis contoh tanah dan penyusunan database. Berdasarkan hasil interpretasi dan pengamatan di lapangan, daerah penelitian dikelompokkan ke dalam 6 grup landform yaitu aluvial, marin, fluvio marin, tektonik, volkanik dan aneka bentuk. Karakteristik lahan yang digunakan dalam menilai lahan meliputi temperatur rata-rata tahunan, curah hujan, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif, kematangan dan ketebalan gambut, KTK, KB, pH, C-Organik, N-Total, P2O5, K2O, salinitas, alkalinitas, kedalaman sulfidik, lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan, bahaya longsor, bahaya erosi serta tinggi dan lama genangan. Kabupaten Bengkulu Tengah seluas 74.649,90 ha (71,40%) terdiri dari zona pengembangan tanaman pangan lahan basah dan lahan kering, zona pengembangan tanaman tahunan dan tanaman pangan dengan sistem wana tani dan zona pengembangan tanaman tahunan/perkebunan. Kata Kunci: zona agroekologi, pewilayahn komoditas, teknologi aplikatif

PENDAHULUAN

Kebutuhan lahan yang semakin meningkat dan persaingan penggunaan

lahan antara sektor pertanian dan non pertanian, memerlukan teknologi tepat guna dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan. Permasalahan utama yang dihadapi berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan untuk sector pertanian, yaitu belum dipetakannya tingkat kesesuaian lahan yang menunjukkan keunggulan komparatif. Pengembangan komoditas pertanian unggulan harus didukung oleh daya dukung agroekologi, artinya bahwa komoditas tersebut untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi harus didukung oleh kondisi biofisiknya (tanah dan iklim), teknologi, dan sosial budaya petani. Selain itu komoditas pertanian tersebut harus mempunyai permintaan yang tinggi baik di pasar dalam maupun di luar daerah tersebut yang merupakan keunggulan kompetitif.

Provinsi Bengkulu memiliki potensi sumberdaya alam yang terbatas, sehingga sangat diperlukan upaya pemanfaatan lahan secara optimal. Dari luas wilayah provinsi 1.978.870 ha, hanya 1.000.913 ha (51,58%) yang dapat digolongkan sebagai kawasan budidaya. Selebihnya merupakan kawasan hutan dengan topografi bergelombang hingga berbukit/bergunung. Oleh sebab itu dalam pengembangan usaha pertanian, kebijakan yang diperlukan adalah mewujudkan optimalisasi penggunaan lahan, melakukan usaha intensifikasi teknologi pertanian dan penggunaan komoditas unggulan/spesifik lokasi pada lahan-lahan yang telah dimanfaatkan.

Data dan informasi sumberdaya lahan yang dikemas dalam produk AEZ merupakan data dasar yang penting dalam perencanaan pengembangan sistem

Page 25: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

49

usaha pertanian spesifik lokasi. Penyusunan peta pewilayahan komoditas skala 1:50.000 Kabupaten Bengkulu Tengah berdasarkan AEZ dilakukan dengan identifikasi dan karakterisasi sumberdaya lahannya melalui pendekatan analisis terrain, dengan mempertimbangkan karakteristik lahan yaitu relief, lereng, proses geomorfologi, litologi/bahan induk, dan hidrologi sebagai parameter dalam analisis terrain (Van Zuidam, 1986).

Unsur-unsur terrain seperti lereng dan tingkat torehan mempunyai kaitan erat dengan tingkat kesesuaian lahan, sehingga delineasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai satuan dasar dalam evaluasi lahan. Secara hirarki, terrain dapat dibedakan berdasarkan skala peta (1:250.000-1:10.000) kedalam empat kategori yaitu: terrain province, terrain system, terrain unit, dan terrain component. Kategori terrain unit yang setara dengan land catena dapat digunakan untuk mendelineasi satuan lahan pada skala 1:50.000 (Kips et al., 1981; Van Zuidam, 1986; Meijerink,1988).

Kabupaten Bengkulu Tengah memiliki luas wilayah 112.394 ha yang terdiri dari 10 kecamatan, 112 desa definitif dan 1 kelurahan yang secara geografis berbatasan; Sebelah Utara dengan Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah Selatan dengan Kabupaten Seluma, sebelah Timur dengan Kabupaten Kepahiang, dan sebelah Barat dengan Kota Bengkulu. Sebagai kabupaten baru, tentunya memerlukan data dukung yang memadai dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada khusunya sumberdaya pertanian.

Tujuan dari kegiatan ini untuk mengidentifikasi, mengkarakterisasi sumberdaya lahan di Kabupaten Bengkulu Tengah dan menyusun peta kesesuaian lahan dan peta pewilayahan komoditas berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 serta memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam pengembangan komoditas pertanian unggulan dengan melakukan evaluasi kesesuaian lahan sehingga dapat meningkatkan keunggulan komparatifnya dan melakukan analisis ekonomi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Dengan meningkatnya keunggulan komparatif dan kompetitif tersebut, diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk baik secara regional, nasional dan bahkan internasional.

BAHAN DAN METODE

Lokasi penelitian mencakup seluruh batas administrative Kabupaten Bengkulu Tengah, di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Seluma, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kepahiang. Penyusunan Peta Pewilayahan komoditas Kabupaten Bengkulu Tengah Skala 1:50.000 dilakukan dengan dua tahapan metodologi: 1. Inventarisasi Sumberdaya Lahan meliputi: penyusunan peta dasar, analisis satuan lahan dan verifikasi lapangan (pengamatan tanah, pengambilan contoh tanah, penyusunan satuan evaluasi lahan), 2. Penyusunan Peta Satuan Lahan, terdiri dari pendetilan peta satuan lahan skala 1:250.000 dilakukan dengan overlay peta kontur, peta lereng interval 12.5 dari Digital Elevation Model (DEM) dengan bantuan program SAGA serta interpretasi citra landsat 7 ETM+. Pengelompokkan landform mengacu pada Klasifikasi Landform LREP II (Marsoedi et.al, 1997). Pengambilan contoh tanah

Page 26: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

50

Contoh tanah diambil dari profil tanah atau minipit. Contoh tanah profil diambil di seluruh lapisan/horison tanah kemudian dianalisis di laboratorium untuk mendukung klasifikasi tanah, sedangkan contoh minipit diambil sampai kedalaman + 60 cm (mengikuti horisonisasi, dapat terdiri dari 2-3 contoh) untuk mendukung sifat kesuburan tanah yang mewakili satu jenis tanah di dalam satuan lahan. Apabila satuan lahan mempunyai penyebaran yang luas, pengambilan contoh tanah dilakukan pada beberapa lokasi pengematan dan distribusinya merata dan mewakili seluruh satuan lahan. Data hasil analisis tanah digunakan untuk reklasifikasi tanah, evaluasi tingkat kesuburan, dan evaluasi lahan.

Page 27: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

51

HASIL Peta Satuan Lahan Kabupaten Bengkulu Tengah

Tabel 1. Legenda satuan lahan Kabupaten Bengkulu Tengah

Page 28: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

52

Simbol Litologi Relief

(% lereng) Elevasi (m dpl)

Karakteristik dan Klasifikasi Tanah L u a s

Ha % Af.1121-n

Endapan liat Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sangat terhambat; pH sangat masam; KTK 61,09 ( Tropaquepts) 1.599,02 1,53

Af.1122-f

Endapan liat Datar (0-1) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sangat terhambat; pH masam; KTK 61,09 ( Tropaquepts) 654,14 0,63

Af.12-n Endapan liat Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur lempung liat berdebu; drainase sangat terhambat; pH masam; KTK 61,09 ( Tropaquepts) 1.845,30 1,77

Mf.32-f Endapan liat Datar (0-1) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 32,77 (Hapludults) 2.647,57 2,53 Mf.32-n Endapan liat Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 32,77 (Hapludults) 7.394,78 7,07 Mf.32-u Endapan liat Berombak (3-8) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 24,25 (Hapludults) 6.037,37 5,77 Mfq.111-n

Endapan liat, pasir Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase cepat; pH masam; KTK 24,25 (Tropopsamments) 1.193,14 1,14

Mfq.112-n

Endapan liat, pasir Agak datar (1-3) 0-400 Dalam; tekstur liat berdebu; drainase baik; pH masam; KTK 59,18 (Hapludults) 1.182,23 1,13

Bu.03-f Endapan liat, gambut Datar (0-1) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase terhambat; pH masam; KTK 11,82 (Hydraquents) 1.383,32 1,32

Va.32-h Tuff andesit Berbukit (25-40) 400-700 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 36,26 (Dystropepts) 3.233,72 3,09

Va.33-c Tuff andesit Berbukit kecil (15-25)

0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 36,26 (Dystropepts) 2.559,12 2,45

Va.33-m Tuff andesit Bergunung (>40) 700-1.200

Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts) 3.523,69 3,37

Vab.31-n Tuff andesit, basal Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts) 351,74 0,34

Vab.31-r Tuff andesit, basal Bergelombang (8-15)

0-400 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts) 1.766,91 1,69

Vab.31-u Tuff andesit, basal Berombak (3-8) 0-400 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts) 57,34 0,05

Vab.32-c Tuff andesit, basal Berbukit kecil (15-25)

0-400 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts) 2.242,92 2,15

Vab.32-h Tuff andesit, basal Berbukit (25-40) 400-700 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts) 1.472,15 1,41

Vab.33-h Tuff andesit Berbukit (25-40) 400-700 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 29,74 (Dystropepts) 915,62 0,88

Vab.33-m

Tuff andesit Bergunung (>40) 700-1.200

Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 29,74 (Dystropepts) 11.630,56 11,12

Tq.101-n Endapan batuan felsik kasar

Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase baik; pH masam; KTK 16,74 (Haplohumults) 2.176,06 2,08

Tq.102-u Endapan batuan felsik Berombak (3-8) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 33,25 3.895,37 3,73

Page 29: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

53

kasar (Dystropepts)

Tq.103-r Endapan batuan felsik kasar

Berbukit kecil (15-25)

0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 33,25 (Dystropepts) 3.138,36 3,00

Tq.111-n Batu pasir Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase sedang; pH masam; KTK 22,37 (Dystropepts) 98,15 0,09 Tq.112-u Batu pasir Berombak (3-8) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase sedang; pH masam; KTK 22,37 (Dystropepts) 7.730,57 7,39

Tq.113-r Batu pasir Berbukit (25-40) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts)

11.724,69 1,21

Tq.121-c Batu pasir Berbukit kecil (15-25)

0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase sedang; pH masam; KTK 22,37 (Dystropepts) 8.056,03 7,71

Tq.121-h Batu pasir Berbukit (25-40) 700-1200

Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts) 10.544,32 10,09

Tq.122-c Batu pasir Berbukit kecil (15-25)

0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts) 780,51 0,75

Tq.122-m

Batu pasir Bergunung (>40) 400-700 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts) 2.528,29 2,42

X.1 Bukit Terjal 1.132,68 1,08 X.2 Pemukiman 851,43 0,81 X.3 Tubuh air 32,30 0,03

X.5 Areal Tambang

169,98

0,16 Jumlah

104.549,36

100,00

Sumber:Dataprimer(diolah)2013

Page 30: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

54

Dari kegiatan pemetaan satuan lahan di Kabupaten Bengkulu Tengah dengan skala 1:50.000 dihasilkan 28 satuan peta tanah dan setiap satuan peta lahan/tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei dan pemetaan sumberdaya lahan mempunyai karakteristik-karakteristik yag dapat dirinci dan diuraikan sebagai karakteristik lahan, baik berupa karakteristik tanah maupun fisikk lingkungannya. Karakteristik lahan yang digunakan dalam evaluasi dapat bersifat tunggal maupun bersifat lebih dari satu karena mempunyai interaksi satu sama lain. Karenanya dalam interpretasi perlu mempertimbangkan atau membandingkan lahan dengan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Dari karakteristik lahan pada tabel 1 diketahui bahwa drainase pada 28 satuan peta tanah cenderung sedang hingga terhambat. Pada kondisi drainase sedang, air meresap ke dalam massa tanah agak lambat. Air tanah bebas berada di dalam tanah cukup dalam. Tanah basah terjadi hanya dalam wajtu yang singkat selama masa pertumbuhan, tetapi cukup panjang bagio pertumbuhan berbagai tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan yaitu tanah berwarna homogen, tanpa bercak atau karatan besi dan mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampau ≥ 50 cm. Sedangkan pada kondisi drainase lambat, air meresap ke dalam tanah secara sangat lambat, sehingga tanah menjadi basah pada lapisan teratas secara periodik selama masa pertumbuhan tanaman, atau selalu basah pada masa yang panjang. Air bebas biasanya berada di permukaan tanah dalam waktu yang cukup lama. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat ditemui di lapangan yaitu tanah berwarna gley (reduksi) dan bercak atau karatan besi dan mangan sedikit pada lapisan sampai permukaan.

1. Rincian Relief Kabupaten Bengkulu Tengah Berdasarkan bentukan relief, Kabupaten Bengkulu Tengah mempunyai ketinggian dari 0-1.225m dpl. Lahan umumnya mempunyai relief dari datar sampai bergunung. Rincian relief lahan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rincian relief Kabupaten Bengkulu Tengah

Simbol Relief Lereng (%)

Beda Tinggi (m)

Luas Ha %

F n u r c h m X1 X2 X3 X5

Datar Agak Datar Berombak Bergelombang Berbukit Kecil Berbukit Bergunung Lereng terjal Pemukiman Badan air/sungai Areal tambang

<1 1-3 3-8 8-15 15-25 25-40 >40 - -

<5 <5 5-10 10-50 10-50 50-300 >300 - -

4.685,03 15.462,34 17.720,65 16.633,47 13.638,58 12.932,08 20.916,25 1.132,68 1.226,00 32,30 169,98

4,48 14,79 16,95 15,91 13,05 12,37 20,01 1,08 1,17 0,03 0,16

J u m l a h 104.549,36 100,00 Sumber: Data primer (diolah) 2013

PEMBAHASAN

Penilaian kualitas/karakteristik lahan terhadap persyaratan tumbuh tanaman yang dinilai dipisahkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) persyaratan tumbuh tanaman (crop requirements) yang merupakan karakteristik zone agroekologi; (2) persyaratan pengelolaan [management pengelolaan (management requirements)] yang

Page 31: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

55

merupakan grup manajemen atau grup perbaikan lahan; (3) persyaratan pengawetan (conservation requirements) yang merupakan grup konservasi dan lingkungan. Khusus bagi peruntukan pengembangan peternakan terdapat satu kriteria lainnya, yakni (4) persyaratan faktor kenyamanan (freshness) bagi kehidupan ternak.

Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. karakteristik lahan yang digunakan dalam menilai lahan adalah temperatur rata-rata tahunan, curah hujan (tahunan atau pada masa pertumbuhan), kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif, kematangan dan ketebalan gambut, KTK, KB, pH, C organik, total N, P2O5, K2O, salinitas, alkalinitas, kedalaman sulfidik, lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan, bahaya longsor, bahaya erosi serta tinggi dan lama genangan.

Evaluasi lahan. Penilaian kualitas/karakteristik lahan terhadap persyaratan tumbuh tanaman yang dinilai dipisahkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) persyaratan tumbuh tanaman (crop requirements) yang merupakan karakteristik zone agroekologi; (2) persyaratan pengelolaan [management pengelolaan (management requirements)] yang merupakan grup manajemen atau grup perbaikan lahan; (3) persyaratan pengawetan (conservation requirements) yang merupakan grup konservasi dan lingkungan. Khusus bagi peruntukan pengembangan peternakan terdapat satu kriteria lainnya, yakni (4) persyaratan faktor kenyamanan (freshness) bagi kehidupan ternak.

Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. karakteristik lahan yang digunakan dalam menilai lahan adalah temperatur rata-rata tahunan, curah hujan (tahunan atau pada masa pertumbuhan), kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif, kematangan dan ketebalan gambut, KTK, KB, pH, C organik, total N, P2O5, K2O, salinitas, alkalinitas, kedalaman sulfidik, lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan, bahaya longsor, bahaya erosi serta tinggi dan lama genangan. Dalam penilaian kesesuaian lahan perlu ditentukan komoditas apa yang akan dinilai disesuaikan dengan tujuan penelitian. Penentuan komoditas tersebut mempertimbangkan kondisi biofisik dan kimia lahan, iklim dan sosial ekonomi pada suatu sistem usahatani (Tabel 3). Kondisi biofisik tersebut dipakai sebagai dasar penentuan kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan. Komoditas yang dinilai adalah usahatani tanaman pangan, hortikultura, tanaman tahunan. Tanaman pangan terdiri dari: padi sawah, padi gogo, ubi jalar, dan jagung. Tanaman tahunan/perkebunan dan hortikultura terdiri dari: kelapa sawit, karet, jeruk kalamansi, durian, pisang, nenas, buah naga dan sayuran.

Page 32: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

56

Tabel 3 Kondisi biofisik dan kimia lahan, iklim Kabupaten Bengkulu Tengah No Tanah

Temperatur

rerata (°C) Ketinggian

Curah

Hujan

Bulan

Kering

Kelembaban

(%) Drainase Tekstur

Kedalaman tanah

(cm)

KTK liat

(cmol)

Kejenuhan basa

(%)

pH

H2O

C-organik

(%)

N-

Total P2O5 K2O

Lereng

(%)

Bahaya

erosi Soil Taxonomy

1 26,93 38 3134 2 83,51 1 11 100 61,09 53,11 5,42 1,25 0,18 72,07 81,87 3 1 Tropaquept

2 26,93 12 3134 2 83,51 1 11 100 61,09 53,11 5,42 1,25 0,18 72,07 81,87 1 1 Tropaquept

3 26,93 88 3134 2 83,51 1 9 100 61,09 53,11 5,42 1,25 0,18 72,07 81,87 3 1 Tropaquept

4 26,93 38 3134 2 83,51 2 11 100 32,77 23 4,27 2,25 0,24 17,62 16,48 1 1 Hapludult

5 26,93 50 3134 2 83,51 2 11 100 32,77 23 4,27 2,25 0,24 17,62 16,48 3 1 Hapludult

6 26,93 38 3134 2 83,51 2 11 100 24,25 15,75 4,75 2,47 0,2 12,78 8,47 8 2 Hapludult

7 26,93 12 3134 2 83,51 7 11 100 24,25 15,75 4,75 2,47 0,2 12,78 8,47 3 1 Psamment

8 26,93 12 3134 2 83,51 5 11 75 59,18 15,71 4,5 0,04 0,64 153,63 19,85 3 1 Hapludult

9 26,93 12 3134 2 83,51 2 12 100 11,82 15,3 4,92 2,9 0,06 13,14 8,81 1 1 Hydraquent

10 26,93 450 3134 2 83,51 5 11 100 36,26 11,21 4,97 2,19 0,33 27,21 21,38 40 3 Dystropept

11 26,93 462 3134 2 83,51 4 11 100 36,26 11,21 4,97 2,19 0,33 27,21 21,38 25 3 Dystropept

12 26,93 1200 3134 2 83,51 4 11 100 62,01 55,14 5,08 0,29 0,11 191,41 156,43 100 4 Dystropept

13 26,93 50 3134 2 83,51 4 12 100 32,76 9,67 4,9 2,7 0,14 14,61 6,66 3 1 Dystropept

14 26,93 325 3134 2 83,51 4 12 100 32,76 9,67 4,9 2,7 0,14 14,61 6,66 15 3 Dystropept

15 26,93 62 3134 2 83,51 4 12 100 32,76 9,67 4,9 2,7 0,14 14,61 6,66 8 2 Dystropept

16 26,93 325 3134 2 83,51 4 12 100 32,76 9,67 4,9 2,7 0,14 14,61 6,66 25 4 Dystropept

17 26,93 300 3134 2 83,51 4 12 100 32,76 9,67 4,9 2,7 0,14 14,61 6,66 40 4 Dystropept

18 26,93 538 3134 2 83,51 5 11 100 29,74 14,32 4,72 1,85 0,23 31,17 10,92 40 4 Dystropept

19 26,93 950 3134 2 83,51 5 11 100 29,74 14,32 4,72 1,85 0,23 31,17 10,92 100 1 Dystropept

20 26,93 62 3134 2 83,51 5 12 100 16,74 20,68 4,73 2,86 0,15 13,31 12,19 3 1 Haplohumult

21 26,93 75 3134 2 83,51 4 11 100 33,25 15,51 4,52 2,15 0,24 83,47 91,08 8 2 Dystropept

22 26,93 225 3134 2 83,51 4 11 100 33,25 15,51 4,52 2,15 0,24 83,47 91,08 15 2 Dystropept

23 26,93 75 3134 2 83,51 1 11 100 22,37 38,86 5,55 3,63 0,19 136,02 89,67 3 1 Dystropept

24 26,93 75 3134 2 83,51 4 12 100 22,37 38,86 5,55 3,63 0,19 136,02 89,67 8 2 Dystropept

25 26,93 225 3134 2 83,51 4 11 100 62,01 55,14 5,08 0,29 0,11 191,41 156,43 15 2 Dystropept

26 26,93 325 3134 2 83,51 4 12 100 22,37 38,86 5,55 3,63 0,19 136,02 89,67 25 3 Dystropept

27 26,93 975 3134 2 83,51 4 11 100 62,01 55,14 5,08 0,29 0,11 191,41 156,43 40 4 Dystropept

28 26,93 175 3134 2 83,51 4 11 100 62,01 55,14 5,08 0,29 0,11 191,41 156,43 25 3 Dystropept

29 26,93 638 3134 2 83,51 4 11 100 62,01 55,14 5,08 0,29 0,11 191,41 156,43 100 4 Dystropept

Sumber: Data primer (diolah) 2013

Page 33: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

57

Pewilayahan Komoditas Pertanian Pewilayahan komoditas pertanian merupakan kegiatan yang menghasilkan arahan penggunaan lahan untuk pertanian dengan mempertimbangkan daya dukung lahan (kesesuaian lahan), penggunaan lahan saat ini (existing landuse), kondisi sosial ekonomi (kompetitif dan komperatif), tabel prioritas tanaman unggulan daerah, dan peta status kawasan hutan. Perhitungan luas wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu tahun 2010, sebesar 104.549 ha.

Sistem budidaya pertanian di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah budidaya lahan basah dan budidaya lahan kering, mencakup areal seluas seluas 76.942 ha (73,59%) termasuk dalam zona IV, III, dan II, sedangkan sisanya seluas 27.607 ha (26,41%) tidak dapat dikembangkan untuk pertanian dikarenakan kondisi biofisik lahan tidak memungkinkan. Komoditas pertanian yang disarankan berupa komoditas tanaman pangan, tanaman tahunan/perkebunan, kehutanan dan hortikultura. Pembudidayaan komoditas dapat secara tumpangsari atau monokultur. Pengembangan sistem budidaya pertanian dirinci menjadi: Pertanian bebasis tanaman pangan, pertanian berbasis tanaman perkebunan dan kehutanan. Legenda pewilayahan komoditas pertanian Kabupaten Bengkulu Tengah

Zona Sistem Pertanian/Alternatif Komoditas Pertanian Luas

Ha %

Pertanian lahan basah, tanaman pangan

IV/Wfs Padi sawah, umbi-umbian, sayuran 3.940 3,77

Pertanian lahan kering, tanaman tahunan/perkebunan, tanaman pangan

IV/Dfsei Kelapa sawit, karet, padi gogo, jagung, umbi-umbian 31.598 30,22

III/Dfsei Kelapa sawit, karet, padi gogo, jagung, umbi-umbian 15.879 15,19

Pertanian lahan kering, tanaman pangan, tanaman hortikultura

IV/Dfuf Ubi jalar, pisang 1.193 1,14

Pertanian lahan kering, tanaman tahunan/perkebunan

II/Dei Karet, kelapa sawit, kopi robusta, durian 8.932 8,54

Pertanian lahan kering, tanaman kehutanan

II/Dej Durian, sengon, kayu bawang 10.823 10,35

I/Dej Durian, sengon, kayu bawang 2.063 1,97

Status kawasan

HL Hutan lindung 27.607 26,41

Lain-lain

X.1 Bukit terjal 1.133 1,08

X.2 Pemukiman 851 0,81

X.3 Badan air/danau 360 0,34

X.5 Areal tambang 170 0,16

J u m l a h 104.549 100,00 Sumber: Data Primer (diolah) 2013

Pertanian lahan basah adalah budidaya pertanian yang dilakukan pada lahan-lahan yang secara alami mempunyai drainase sangat terhambat. Tanaman pangan yang dapat dibudidayakan adalah padi sawah. Lahan ini dapat juga dimanfaatkan untuk budidaya palawija dan sayuran terutama pada musim kemarau apabila dilakukan pengelolaan air. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan membuat saluran drainase dan atau guludan sebagai media tumbuh

Page 34: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

58

palawija dan sayuran. Berdasarkan kondisi drainasenya, lahan basah yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan lahan adalah subzona IV/Wfs yaitu lahan basah yang mempunyai kondisi drainase sangat terhambat dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan padi sawah, umbi-umbian, dan sayuran dengan luas areal 3.940 ha (3,77%). Faktor pembatas pemanfaatan lahan adalah media perakatan (rc) yang dipengaruhi oleh kondisi drainase yang sangat terhambat dan tekstur tanah.

Pertanian lahan kering adalah budidaya pertanian yang dilakukan pada lahan-lahan yang mempunyai drainase tanah baik. Pertanian lahan kering secara zonasinya termasuk dalam zona IV, III, dan II. Komoditas pertanian yang disarankan berupa komoditas tanaman pangan, tanaman tahunan/perkebunan, dan hortikultura. Pembudidayaan komoditas dapat secara tumpangsari atau monokultur. Berdasarkan pola pengembangannya pertanian lahan kering di Kabupaten Bengkulu Tengah dapat dibedakan menjadi 2 pola, yaitu pertanian lahan kering berbasis tanaman pangan (tanaman pangan dan hortikultura, dan perkebunan; tanaman pangan dan tanaman perkebunan) dan pertanian lahan kering berbasis tanaman perkebunan (wanatani dan monokultur).

Sistem pertanian lahan kering, tanaman pangan dan perkebunan seluas 31.598 ha (30,22%), termasuk dalam zona IV dengan kelerengan <8% dan menurunkan subzona IV Dfsei dan zona III dengan kelerengan 8-15% menurunkan subzona III/Dfsei seluas 15.879 ha (15,19%). Komoditas yang dianjurkan adalah kelapa sawit, karet, padi gogo, jagung, umbi-umbian seluas 31.598 ha (30,22%) dan 15.879 ha (15,19%). Lahan yang saat ini berupa lahan sawah termasuk kelas cukup sesuai untuk padi dan sesuai marjinal untuk tanaman semusim atau tanaman lainnya, dengan faktor pembatas utama retensi hara (nutrient retention, nr), yang dicirikan oleh pH tanah masam (pH 4,7-5,1), kandungan C organik dan kapasitas tukar kation rendah. Oleh karena itu, untuk usahatani tanaman semusim diperlukan masukan unsur hara dengan pemupukan yang berimbang baik dengan pupuk organik maupun an-organik.

Pertanian lahan kering, tanaman pangan, tanaman hortikultura (IV/Dfuf) komoditas ubi jalar, pisang seluas 1.193 ha (1,14%). Pertanian lahan kering, tanaman tahunan/perkebunan (II/Dei) dengan komoditas anjuran karet, kelapa sawit, kopi robusta, durian seluas 8.932 ha (8,54%). Faktor pembatas pemanfaatan lahan adalah bahaya erosi (eh) dan ketersediaan air (wa) disebabkan kelerengan lahan yang berada pada 25-40%. Pemanfaatan lahan harus mempertimbangkan konsep konservasi dengan pembuatan teras dan pengolahan tanah minimum.

Pertanian lahan kering, tanaman kehutanan (II/Dej dan I/Dej ) komoditas anjuran durian, sengon, kayu bawang seluas 10.823 ha (10,35%) dan 2.063 ha (1,97%). Faktor pembatas pemanfaatan lahan adalah bahaya erosi (eh) karena kelerangan lahan 25-40% dan diatas 40%.

Page 35: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

59

Gambar 4 Peta pewilayahan komoditas pertanian Kabupaten Bengkulu Tengah

Page 36: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

60

KESIMPULAN 1. Dari kegiatan pemetaan satuan lahan di Kabupaten Bengkulu Tengah dengan

skala 1:50.000 dihasilkan 28 satuan peta tanah 2. Sistem budidaya pertanian di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah budidaya lahan

basah dan budidaya lahan kering, mencakup areal seluas seluas 76.942 ha (73,59%) termasuk dalam zona IV, III, dan II, sedangkan sisanya seluas 27.607 ha (26,41%) tidak dapat dikembangkan untuk pertanian dikarenakan kondisi biofisik lahan tidak memungkinkan.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanah. 2002. Petunjuk Teknis Penyusunan Pewilayahan

Komditas Pertanian Berdasakan Zona Agroekologi (ZAE) Skala 1:50.000 (Model 1).

Balai Penelitian Tanah. 2002. Penyusunan Peta Satuan Evaluasi Lahan Untuk Pewilayahan Komoditas Pertanian Skala 1:50.000 Melalui Analisis Terrain (Model 2).

Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani, dan N. Suharta. 2000. Kriteria kesesuaian lahan versi 3.0. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

FAO. 1977. Guidelines for soil profile description. FAO Soil Bulletin 73. Rome. Goosen, D. 1967. Aerial photo interpretation in soil survey. FAO Soil Bulletin

No.6. Rome. Hartomi, H. D. dan H. Suhardjo. 2001. Kebijakan Pewilayahan Komoditas.

Makalah Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Puslitbangtanak, Bogor.

FAO. 1996. Agro-ecological zoning guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome. Kassam, A.H., H.T. van Velthuizen, G.W. Fischer and M.M. Shah. 1991.

Agroecological land resources assessment for agricultural development planning. A case study of Kenya. Resource data base and land productivity. Technical Annex 1. Land Resources. Land and Water Development Division, FAO, Rome.

Kips, A.. Djaenudin, and Nata Suharta. 1981. The land unit approach to land resources surveys for land use planning with particular reference to the Sekampung watershed, Lampung Province, Sumatra., Indonesia. AGOF/INS/78/006. Technical Note No. 11. Centre for Soil Research, Bogor.

Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J. Hof dan ER. Jordens. 1997. Pedoman klasifikasi landform LT 5 Versi 3.0. Proyek LREP II, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Muljadi, D., and F.J. Dent. 1979. Evaluation of Indonesian soil and land resources. Indonesian Agricultural Research and Development Journal. No. 1-2: 21-23.

Mulyani, A. 2001. proposal Penelitian Pembinaan Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE) Skala 1 : 50.000. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Page 37: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

61

Soil Survey Staff, 1998. Keys to Soil Taxonomy. United States Department of Agriculture. Natural Resources Conservation Service. Eighth Edition, 1998.

Van Zuidam, R. 1986. Air photo-interpretation for terrain analysis and geomorphologic mapping. Smits Publ. The Hague, The Netherlands.

Page 38: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

62

Faktor Predominan Anasir Iklim Terhadap Kondisi Rizozfer Perakaran Tanaman Jeruk

Predominant Factors of Climate Element at Rhizozfer Citrus Plant

Oka Ardiana Banaty1*), B. Al Fanshuri1, O. Endarto1, Joni Karman2 1Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika,Tlekung

2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan *) Telp. (0341) 592683 Fax. (0341) 593047

Email: [email protected]

ABSTRACT

Climate is one of barrier factors in agricultural production, and one of climate elements which are very influential to agricultural production is rainfall. Rainfall may directly or indirectly affect the condition of plant rhizozfer, and lead to the impact in water availability and nutrients in the soil. The objective of this research was to determine the predominant factors of climate to rhizozfer condition of citrus plant. Research was conducted in Dau Sub district of Malang Regency, East Java, and Sambas Regency, West Kalimantan on January to December 2012. Observation was for soil water content, soil physical characteristics, and soil chemicals. Data collection of climate was taken from the nearest climatology station. Plants used as observation unit were selected in Systematically Purposive Sampling among 5-10% of total citrus plant population of 0,5-1 ha citrus area. Citrus varieties for this research comprised of Batu 55, Manis Pacitan, Mandarin Terigas and Tangerine Pontianak. The result indicated that rainfall fluctuation in 2012 affected the pattern difference of water availability in citrus rhizozfer. Water availability in the soil may take effect on plant fenology and finally affect the production of citrus plants.

Keywords: rainfall, rhizozfer, citrus plant

ABSTRAK

Iklim merupakan salah satu faktor pembatas produksi pertanian. Salah satu anasir iklim yang sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian adalah curah hujan. Curah hujan secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi rizosfer perakaran tanaman, sehingga berdampak terhadap ketersediaan air dan unsur hara dalam tanah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor predominan iklim terhadap kondisi rizozfer tanaman jeruk. Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Dau kabupaten Malang, Jawa Timur dan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat pada bulan Januari – Desember 2012. Pengamatan dilakukan terhadap kadar lengas tanah, sifat fisik tanah, kimia tanah dan pengambilan data iklim dari stasiun klimatologi terdekat. Tanaman yang digunakan sebagai unit pengamatan dipilih secara Purposive Sistematik Sampling antara 5-10% total populasi tanaman dari luasan tanaman 0,5-1 ha tanaman jeruk. Varietas jeruk yang digunakan dalam penelitian adalah keprok Batu 55, Manis Pacitan, Keprok Terigas dan Siam Pontianak. Hasil penelitian diketahui bahwa

Page 39: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

63

fluktuasi curah hujan pada tahun 2012 berpengaruh terhadap perbedaan pola ketersediaan air pada rizozfer tanaman jeruk. Ketersediaan air atau kadar lengas tanah ini akan berpengaruh terhadap fenologi tanaman yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi tanaman jeruk.

Kata Kunci: curah hujan, rhizozfer, tanaman jeruk

PENDAHULUAN

Iklim adalah unsur utama yang berpengaruh dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan ketahanan pangan. Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya pola curah hujan, (c) makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan (d) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara (Anonim, 2009).

Perkembangan profil tanah sangat dipengaruhi oleh iklim, terutama curah hujan dan temperatur. Kedua faktor ini menentukan reaksi-reaksi kimia dan sifat fisis di dalam tanah. Faktor iklim mempengaruhi jumlah bahan organik di dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika temperatur rata-rata tahunan meningkat, sedangkan kelembaban tanah dan lain-lain tetap konstan maka jumlah bahan organik di dalam tanah akan menurun. Sebaliknya, peningkatan supplay air dengan temperatur tetap konstan menunjukkan peningkatan kandungan bahan organik di dalam tanah. Curah hujan yang tinggi terutama di daerah tropis dapat mencuci kation-kation dari lapisan permukaan tanah (top soil) ke lapisan tanah yang lebih dalam maka nilai tukar kation (KTK) juga akan meningkat (Hakim et al., 1986).

Selain sifat tanah, faktor tumbuhan dan iklim sangat mempengaruhi jumlah air yang dapat diabsorsikan tumbuhan dari tanah. Faktor tumbuhan antara lain bentuk perakaran, daya tahan terhadap kekeringan, tingkat dan stadia pertumbuhan. Selama periode tertentu, akar sering memanjang begitu cepat sehingga kontak baru dengan partikel tanah selalu tercipta, walaupun suplai air cepat menurun dan tanpa bantuan air kapiler. Perpanjangan akar yang begitu cepat dapat memenuhi kebutuhan air bagi tumbuhan yang tumbuh pada keadaan optimum (Hakim, et al., 1986). Tanaman akan kecukupan air sesuai yang diperlukan tergantung pada ketersediaan air di mintakat perakaran/rhizozfer dan permeabilitas tanah. Ketersediaan air total pada tanah adalah kandungan lengas pada kapasitas lapangan (KL) dikurangi kandungan lengas pada titik layu (TL) dikalikan tebal perakaran tanaman (Sutanto, 1995). Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui faktor predominan iklim terhadap kondisi rizozfer tanaman jeruk yang kedepannya dapat digunakan untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan panen akibat adanya perubahan iklim.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari s/d November 2012, di lokasi sentra pertanaman jeruk di Malang, Jawa Timur dan Sambas, Kalimantan Barat.

Page 40: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

64

Kebun yang dipilih merupakan kebun jeruk milik petani berumur 5-7 tahun. Sebagai tanaman contoh dipilih dengan kondisi tanaman dan ukuran tajuk hampir sama. Tanaman yang akan digunakan sebagai unit pengamatan dipilih secara Purposive Sistematik Sampling sekitar 5-10% dari total populasi tanaman dari luasan tanaman 0,5-1 ha tanaman jeruk. Pengamatan terhadap kesuburan tanah dilakukan dengan mengambil sampel tanah di 4 titik didaerah rhizozfer dengan kedalaman antara 0-20 dan 20-40 kemudian dikomposit tiap sampel selanjutnya dibawa ke laboratorium tanah terakreditasi untuk dianalisa kandungan hara N, P, K, C- Organik, KPK tanah dan sifat fisika tanahnya. Pengukuran kadar lengas dilakukan setiap dua minggu sekali pada masing-masing daerah perakaran tanaman jeruk yang terpilih sebagai sampel pengamatan.

HASIL

Tabel 1. Karakteristik sifat kimia dan Fisika tanah awal di Selokerto, Jatim dan Sambas, Kalbar

Parameter

Sifat Kimia Tanah

Selokerto, Jatim Sambas, Kalbar

K.Batu 55 Manis Pacitan K.Trigas Siam Ponti

pH H2O 5.40 6.10 4.80 4.60 pH KCL 3.90 3.50 4.40 3.40

C- Organik (%) 0.88 0.69 1.63 1.38

N- Total (%) 0.14 0.10 0.17 0.16 C/N 6 7 10 9

P Bray 1 (mg/kg) 51.89 6.88 7.64 4.61

K-dapat ditukar 0.82 0.02 0.07 0.01 Na (%) 0.46 0.40 0.37 0.36

Ca (%) 6.50 9.02 2.95 3.08

Mg (%) 0.33 1.45 2.64 1.23

KTK (%) 31.07 26.67 19.8 17.66 jml Basa (%0 8.11 10.89 6.04 4.68

Kejenuhan Basa (%) 26 41 30 27

Pasir (%) 17 31 1 1 Debu (%) 55 52 44 53

Liat (%) 28 17 55 46

Tekstur (%) Lempung berdebu

Lempung berdebu

Liat berdebu

Liat Berdebu

Tabel 2. Kadar air tanah dan air tersedia di Selokerto, Jatim dan Sambas, Kalbar Parameter

Pengamatan Sifat Fisika Tanah

Selokerto, Jatim Sambas, Kalbar

K.Batu 55 Manis Pacitan K.Trigas Siam Ponti

pF 0 (%) 55,00 47,00 57,00 49,00 pF 2 (%) 40,00 38,00 46,00 39,00

pF 2,54 (%) 38,00 37,00 42,00 37,00

pF 4,2 (%) 20,00 21,00 20,00 20,00

Air tersedia 18,00 16,00 22,00 17,00

Page 41: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

65

Gambar 1. Curah hujan rata-rata tahunan di Kabupaten sambas, Kalbar dan

Malang, Jatim pada tahun 2002-2012

Gambar 2. Jumlah hari hujan tahunan di Kabupaten sambas, Kalbar dan Malang,

Jatim pada tahun 2002-2012

Gambar 3. Pola ketersediaan air pada rizozfer perakaran tanaman jeruk tahun

2012

Page 42: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

66

Gambar 4. Curah Hujan, jumlah hujan, temperatur dan evaporasi rata-rata bulanan

tahun 2012 pada dua lokasi penelitian

Page 43: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

67

PEMBAHASAN

Karakteristik Tanah Dari hasil analisa tekstur tanah (Tabel 1) di atas diketahui bahwa tekstur tanah di kedua lokasi penelitian berbeda. Tanah di lokasi Selokerto, Jawa Timur memiliki tekstur lempung berdebu dengan dominasi debu, sedangkan tekstur tanah di lokasi Sambas, Kalbar memiliki tekstur liat berdebu dengan dominasi liat. Jenis tanah dengan tekstur yang berbeda ini akan mempunyai kapasitas menahan dan menyediakan air untuk tanaman yang berbeda. Tanah di Selokerto, Jawa Timur memiliki kandungan kimia tanah (pH, P, K, Mg, KTK dan Kejenuhan basa) yang berbeda di daerah rhizozfer tanaman jeruk. Kandungan kimia tanah di daerah perakaran jeruk keprok Batu 55 cenderung lebih tinggi dibandingkan di daerah perakaran jeruk Manis Pacitan. Hal tersebut disebabkan penggunaan pupuk untuk tanaman jeruk keprok Batu 55 lebih banyak dibanding manis pacitan sehingga residu pupuk yang tertinggal di tanah lebih besar pada lokasi keprok batu 55. Penggunaan pupuk yang berlebih dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan pH tanah semakin masam, seperti terlihat pada pH keprok batu 55 yang lebih rendah dibanding manis pacitan. Sedangkan di Sambas, Kalimantan Barat, budidaya tanaman jeruk keprok Terigas dan Siam Pontianak tidak berbeda jauh sehingga sifat kimia dan fisika tanah tidak ada perbedaan yang signifikan.

Karakteristik Iklim yang Dominan. Berdasarkan data klimatologi yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG) stasiun Meteorologi Karang Ploso, Malang, Jawa Timur dan stasiun Meteorologi Supadio, Kalimantan Barat pada 10 tahun terakhir (2002-2011) menunjukkan bahwa di dua lokasi tersebut mempunyai pola iklim yang berbeda, terutama untuk parameter curah hujan. Curah hujan di Sambas, Kalimatan Barat rata-rata lebih tinggi tiap tahunnya dibandingkan curah hujan di Malang, Jawa Timur. Curah hujan di kabupaten Sambas, rata-rata antara 300-400 mm/tahun sedangkan di Malang rata-rata sekitar 100 mm/tahun. Namun pada tahun 2010 terlihat bahwa terjadi peningkatan curah hujan yang cukup tinggi di Malang hingga dua kali lipatnya yaitu 250 mm/tahun.

Peningkatan curah hujan dipengaruhi oleh jumlah hari hujan yang terjadi pada suatu daerah tersebut. Dari Gambar 2 terlihat bahwa jumlah hari hujan di Sambas juga lebih tinggi dibandingkan di Malang. Namun pada tahun 2010 juga terlihat adanya perubahan intensitas atau jumlah hujan di wilayah Malang, Jawa Timur menjadi lebih tinggi dibandingkan di wilayah Sambas, Kalimantan Barat. Apabila kita lihat kembali data produksi buah jeruk pada tahun tersebut mengalami kegagalan panen, hal tersebut terjadi salah satunya karena adanya dampak perubahan iklim terutama untuk anasir curah hujan.

Hubungan Ketersediaan Air pada rhizozfer Tanaman Jeruk dengan Anasir Perubahan Iklim yang Dominan. Salah satu cekaman yang sering dialami tanaman adalah defisit air. Defisit air untuk jangka waktu yang pendek ataupun lama pada umumnya menjadi penyebab utama menurunnya produksi pertanian karena akan mempengaruhi fisiologi tanaman tersebut. Manajemen air untuk pertanian dan penggunaan air oleh tanaman selayaknya dioptimalkan. Hal ini memerlukan pemahaman bagaimana defisit air mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman serta mekanisme yang terjadi di balik itu. Menurunnya ketersediaan air tanaman akibat pengeringan tanah menyebabkan menurunnya

Page 44: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

68

penyerapan air oleh akar tanaman, dan pada gilirannya akan menurunkan kandungan air tanaman, potensial air tanaman (status air daun), tekanan turgor dan konduktivitas stomata, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan tanaman menjadi stress (Kramer, 1988).

Beberapa anasir iklim yang diduga sebagai faktor predominan yang berpengaruh terhadap kondisi rhizozfer tanaman jeruk antara lain: curah hujan, jumlah hujan, evaporasi dan temperatur rata-rata. Namun faktor iklim yang berpengaruh secara langsung terhadap kondisi rizozfer pada tanaman jeruk adalah curah hujan dan jumlah hujan karena kondisi air dalam tanah akan mempengaruhi fenologi pembungaan dan pembuahan sehingga kedepannya akan berpengaruh terhadap jumlah produksi buah tersebut.

Dari gambar 4 diatas terlihat bahwa di Malang, Jawa Timur pada bulan July hingga September 2012 curah hujan dan jumlah hujan sudah sangat sedikit atau hampir tidak ada, namun di daerah Sambas justru masih terdapat hujan yang cukup tinggi diatas 200 mm/bulan. Sedangkan untuk anasir suhu udara rata-rata tiap bulannya di Sambas lebih tinggi (26,1 -28,1 0C) namun evaporasinya terlihat lebih rendah pada bulan Juli – November. Perbedaan pola anasir-anasir iklim tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi ketersediaan air dalam tanah dan fenologi pembungaan pada tanaman jeruk.

Selisih antara pF 2,54 dengan pF 4,2 dapat digunakan untuk menentukan kadar air tersedia bagi tanaman. Perbedaan nilai pF 2,54 dengan pF 4,2 pada kedua lokasi tersebut diatas adalah (16-18 % volume) untuk lokasi Selokerto, Jawa Timur dan (17-22 % volume) untuk daerah Sambas, Kalbar. Nilai ini merupakan kriteria nilai pori air tersedia yang sedang (Table 2).

Dari gambar 3 terlihat pola ketersediaan air berbeda pada daerah rhizozfer dari keempat varietas jeruk yang diamati. Kadar air aktual tanah di daerah rhizozfer yang ditunjukkan dengan kadar lengas tanah pada jeruk varietas keprok Trigas dan Siam Pontianak untuk wilayah Kalimantan Barat menunjukkan kadar lengas tanah yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lengas di daerah rizozfer pada tanaman jeruk varietas keprok Batu 55 dan manis Pacitan untuk wilayah Malang, Jawa Timur. Hal ini dikarenakan di wilayah Kalimantan Barat hujan lebih sering terjadi karena pengaruh iklim di garis khatulistiwa menyebabkan pola hujan menjadi tidak menentu. Selain itu, kondisi lengas tanah juga karena dipengaruhi oleh pasang surut sehingga tanaman jeruk lebih sering terendam air (kondisi jenuh air). Sedangkan untuk wilayah Malang, Jawa Timur hujan baru turun pada akhir bulan Oktober sehingga pola ketersediaan air meningkat mulai bulan Oktober. Kondisi lengas tanah pada daerah rizozfer tanaman jeruk keprok batu 55 cenderung lebih rendah daripada di daerah rizozfer tanaman jeruk Manis Pacitan. Hal ini menjelaskan bahwa varietas tanaman jeruk juga berpengaruh terhadap kondisi kelengasan tanah disekitarnya. Jeruk keprok Batu 55 cenderung menyerap air yang lebih banyak dibandingkan dengan jeruk Manis Pacitan pada bulan Juli.

Tanah-tanah dengan kandungan air yang sama belum tentu memiliki kemampuan menyediakan air untuk tanaman dalam jumlah yang sama. Hal ini karena penyerapan air oleh tanaman lebih dipengaruhi oleh potensial air tanah daripada kandungan air tanah (Ali et al., 1999). Baik potensial maupun kandungan air pada suatu profil tanah tidak akan seragam sehingga diduga hal ini akan mempengaruhi adaptasi tanaman terhadap kekeringan. Dari hasil

Page 45: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

69

pengamatan terhadap kondisi rhizozfer pada tanaman jeruk, terutama untuk kadar lengas tanah/ketersediaan air dalam tanah dan pengaruhnya terhadap fisiologi tanaman dapat digunakan sebagai acuan dalam pengaturan managemen kebun dan menyusun teknologi antisipasi/mitigasi dalam menghadapi isu perubahan iklim khususnya parameter curah hujan untuk meminimalkan resiko kegagalan panen.

KESIMPULAN 1. Faktor predominan iklim yang mempengaruhi kondisi tanaman jeruk adalah

curah hujan dan jumlah hujan, karena pola anasir tersebut berbanding lurus dengan pola ketersediaan air di daerah rizozfer perakarannya.

2. Pola ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi juga oleh varietas tanaman jeruk yang dibudidayakan.

3. Kondisi rhizozfer pada daerah perakaran tanaman jeruk terutama kadar lengas tanah dapat digunakan sebagai acuan dalam pengaturan managemen pengairan untuk meminimalkan resiko kegagalan panen buah jeruk pada tahun berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pedoman Sekolah Lapang Iklim TA 2009. Direktorat Jenderal Pengelolaan Tanah dan Air. Departemen Pertanian. Jakarta.

Boer,R.,2009. Strategi Menghadapi Perubahan Iklim Untuk Sektor Tanaman Pangan. Pusat Kajian Risiko dan Pemanfaatan Iklim di Asia Tenggara dan Pasifik. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hakim,N.,Yusuf, N., Lubis, A.M., Nugroho,S.G. dan Bailey,H.H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Jakarta.

Sutanto, R.,1998. Dasar-Dasar ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Wright, S.F. and A. Uphadhyaya. 1998. Survey of soils for aggregate stability and glomalin,a glycoprotein produced by hyphae of arbuscular mycorrhizal fungi. Plant Soil 198: 97−107.

Page 46: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

70

LAMPIRAN Tabel 1. Data Iklim tahun 2012 di kedua lokasi penelitian

Parameter Lokasi Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop

Curah Hujan (mm) Sambas 504.2 273.5 232.0 123.7 79.5 48.9 218.8 112.8 20.9 237.7 245.0

Malang 286.9 422.0 211.0 66.3 24.2 16.0 0.0 4.0 0.0 107.0 149.0

Hari hujan (hari) Sambas 19.0 22.0 18.0 14.0 7.0 9.0 17.0 13.0 5.0 21.0 22.0

Malang 29.0 22.0 21.0 14.0 10.0 6.0 0.0 1.0 0.0 10.0 16.0

Evaporasi (mm) Sambas 111.6 92.8 108.5 111.0 127.1 123.0 89.9 111.6 114.0 108.5 96.0

Malang 87.2 99.1 98.2 133.0 126.8 121.7 167.8 157.2 134.7 178.7 144.4

Temperatur ( C ) Sambas 26.2 26.1 26.5 27.3 28.1 27.6 27.1 27.4 27.8 27.1 26.8

Malang 23.5 23.5 23.8 23.8 23.7 22.7 21.4 21.7 23.0 24.6 24.7

Sumber data BMKG, stasiun klimatologi Supadio, Kalbar dan stasiun klimatologi

Karangploso, Jawa Timur

Page 47: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

71

Peran Mulsa Organik pada Lahan Tadah Hujan Khususnya dalam Menekan Serangan Hama Pertanian

Role of Organic Mulch in sub optimal lands in Suppressing Agricultural Pests

Wiratno1) dan Rohimatun2)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan1),

Jl. Kol H. Barlian Km. 6, Palembang Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik2),

Jl. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111

ABSTRACT

A new paradigm for agricultural development today is directed among others to sustaianability improves the quality of human life. Paradigm relies on the natural balance through the utilization of organic waste. Refers to this paradigm as well as considers potential as well as the abundance of organic solid wastes, the utilization of organic waste as mulch material should be encouraged to farmers. The role of the organic mulch in suboptimal lands is essential ingredient of which can improve soil quality especially in safe guarding the stability of temperature and soil moisture, improve the physical and biological properties of soil, suppress weed growth after weeding, prevent environmental degradation, as a source of additional nutrients for plants and food sources for soil microorganisms that increase the population of microorganisms that live in the soil. Besides, the decomposition process of organic matter present in the mulch sometimes contains certain chemicals that are able to suppress populations of plant pests that live in the soil. Thus in general organic mulch is able to improve soil fertility and crop production.

Keywords: organic material, mulch, suboptimal land.

ABSTRAK

Paradigma baru dalam pembangunan pertanian dewasa ini diarahkan antara lain untuk meningkatkan kualitas hidup manusia yang berkelanjutan. Paradigma tersebut bertumpu pada keseimbangan alam melalui pemanfaatan limbah organik. Mengacu pada paradigma tersebut serta menimbang potensi serta melimpahnya limbah padat organik, maka pemanfaatan limbah organik sebagai bahan mulsa perlu dianjurkan kepada para petani. Peran mulsa bahan organik khususnya di lahan tadah hujan sangat penting diantaranya dapat memperbaiki kualitas tanah yaitu dengan menjaga kestabilan suhu dan kelembaban tanah, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, menekan pertumbuhan gulma setelah penyiangan, mencegah terjadinya degradasi lingkungan, sebagai salah satu sumber unsur hara tambahan bagi tanaman dan sumber makanan bagi

Page 48: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

72

mikroorganisme tanah sehingga meningkatkan populasi mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Disamping itu proses dekomposisi bahan organik yang ada dalam mulsa kadangkala mengandung bahan kimia tertentu yang ternyata mampu menekan populasi organisme pengganggu tanaman yang hidup di dalam tanah. Dengan demikian secara umum peran mulsa organik pada lahan sawah tadah hujan mampu membantu meningkatkan kesuburan tanah sehingga diharapkan produksi tanaman meningkat.

Kata kunci: Bahan organik, mulsa, sawah tadah hujan.

PENDAHULUAN

Intensifikasi pertanian dengan menggunakan berbagai jenis pupuk dan pestisida kimia menimbulkan berbagai dampak diantaranya perusakan sumber daya alam dan degradasi fungsi lingkungan. Keadaan ini mengakibatkan menurunnya daya dukung lahan. Sejalan dengan hal tersebut perhatian masyarakat mulai bergeser kepada konsep pertanian berwawasan lingkungan yang lebih dikenal sebagai usahatani pertanian organik, pertanian alami, atau pertanian berkelanjutan dengan masukan rendah (Sudirja, 2008).

Konsep tersebut tersebut di atas sebelumnya telah diutarakan oleh Reijntjes, et al. (1992) yang menyatakan bahwa pembangunan pertanian selayaknya dilaksanakan dengan input rendah dan berkelanjutan (Low External Input and Sustainability Agriculture/LEISA). Petani diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada tetapi layak secara ekonomi dan mantap secara ekologis serta sesuai dengan budaya dan kondisi sosial setempat.

Apabila dikaji lebih lanjut konsep LEISA selaras dengan konsep yang telah dikembangkan oleh para ahli perlindungan tanaman di Indonesia yaitu konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Salah satu unsur penting di dalam konsep PHT adalah melakukan manipulasi habitat agar terjadi peningkatan keanekaragaman hayati (Subiyakto dan Indrayani, 2008) salah satunya dengan menggunakan mulsa organik. Saat ini kajian-kajian dan informasi tentang pemanfaatan mulsa organik dalam mengendalikan hama masih kurang popular di tingkat petani. Tulisan ini mengangkat arti penting pemanfaatan mulsa organik dalam budidaya tanaman khususnya di lahan sawah tadah hujan yaitu selain mampu memperbaiki kondisi tanah sekaligus mampu menekan serangan hama di pertanaman.

KONDISI UMUM LAHAN SAWAH TADAH HUJAN

Sawah tadah hujan adalah usaha pertanian yang memanfaatkan hujan sepenuhnya sebagai sumber air untuk mengairi lahan. Sawah ini hanya menghasilkan di musim hujan sedangkan di musim kering dibiarkan tidak diolah karena air sulit didapat atau bahkan tidak ada sama sekali. Pertanaman yang dibudidayakan pada lahan sawah tadah hujan umumnya hanya dipanen setahun sekali. Intensitas penggunaan tenaga kerja di sawah tadah hujan lebih tinggi karena petani harus menyulam lebih sering dibandingkan sawah

Page 49: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

73

beririgasi, akibat suplai air yang tidak stabil. Selain itu, tingkat produktivitas sawah tadah hujan secara umum rendah dikarenakan kondisi tanah yang terdegradasi, tingginya evaporasi, kekeringan, banjir, dan minimnya manajemen air. Namun usaha pertanian di lahan sawah tadah hujan memiliki potensi untuk lebih produktif apabila air hujan dapat dikelola dengan baik dan kelembaban tanah dapat dipertahankan lebih efektif.

Salah satu cara efektif untuk mempertahankan kelembaban tanah di lahan sawah tadah hujan sehingga tingkat kematian tanaman dapat ditekan adalah dengan pemberian mulsa. Mulsa terdiri dari bahan organik sisa tanaman seperti jerami padi dan batang jagung serta hasil pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman. Bahan tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan tanah setebal 2-5 cm sehingga permukaan tanah tertutup sempurna.

PERAN MULSA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN

Mulsa sisa tanaman dapat memperbaiki kesuburan, struktur, dan cadangan air tanah sehingga sangat baik untuk diberikan di lahan tadah hujan yang rentan akan kekeringan dan rendah kadar bahan organiknya. Mulsa juga menghalangi pertumbuhan gulma, dan menyangga (buffer) suhu tanah agar tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Selain itu, sisa tanaman dapat menarik binatang tanah seperti cacing, karena kelembaban tanah yang tinggi dan tersedianya bahan organik sebagai makanan cacing. Adanya cacing dan bahan organik akan membantu memperbaiki struktur dan daya dukung tanah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik (Sugito, et al., 1995).

Proses dekomposisi bahan organik yang ada dalam mulsa kadangkala mengandung bahan kimia tertentu yang ternyata mampu menekan populasi organisme pengganggu tanaman yang hidup di dalam tanah (Akhtar dan Malik 2000; Nahar et al., 2006; Wang et al., 2004) seperti nematoda parasit tanaman (Mian dan Rodriguez-Kabana, 1982). Penekanan populasi nematoda parasit diduga berkaitan erat dengan ketersediaan sumber makanan bagi berbagai mikroorganisme di dalam tanah sehingga terjadi peningkatan populasi sampai ke titik keseimbangan alamiahnya. Hasil dekomposisi bahan organik merupakan media tumbuh bagi berbagai jenis bakteri dan jamur tanah. Dengan meningkatnya populasi bakteri dan jamur, maka populasi nematoda pemakan bakteri dari famili Rhabditidae, Cephalobidae dan nematoda pemakan jamur juga akan meningkat (Forge et al., 2003) sehingga populasi nematoda predator dari famili Mononchidae meningkat (Yeates et al., 1999) mempengaruhi populasi nematoda parasit tanaman melalui kompetisi, antagonisme, atau karena terciptanya kondisi kurang menguntungkan bagi kehidupan nematoda parasit tersebut. Selain itu proses dekomposisi bahan organik akan menghasilkan senyawa nitrat dan ammoniak nitrogen yang beracun bagi berbagai organisme pengganggu tanaman termasuk nematoda parasit tanaman (Mian dan Rodriguez-Kabana, 1982).

Hasil penelitian Brown dan Tworkoski (2004) menunjukkan bahwa pemberian mulsa kompos pupuk kandang secara nyata mempengaruhi kelimpahan artropoda, yang ditunjukkan dengan lebih banyaknya predator dan sedikitnya herbivora dibanding kontrol pada kurun waktu 1999-2000 di perkebunan apel (Tabel 1 dan 2). Pemberian mulsa juga mempengaruhi dinamika kepadatan

Page 50: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

74

populasi mikroartropoda tanah (perombak, predator, dan semut) di plot jagung. Kepadatan rata-rata mikroartropoda perombak dan pemakan tumbuhan di plot percobaan menurun dalam urutan sebagai berikut: jerami Oryza sativa (padi) > pangkasan Gliricidia sepium > pangkasan Leucaena leucocephala > brangkasan daun dan batang Zea mays (jagung) > pangkasan Acioa barteri > kontrol 2 (90 kg pupuk N/ha/tahun) > bera > kontrol 3 (135 kg pupuk N/ha/tahun) > kontrol 1 (45 kg pupuk N/ha/tahun) > gundul bera (bare fallow) (Badejo, et al.,1995).

Page 51: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

75

Tabel 1. Rata-rata nilai logaritma (±S.E.) grup serangga yang terperangkap pada tahun 1999

Grup serangga 1Juli 11 Agustus 24 September

Kontrol Kompos Kontrol Kompos Kontrol Kompos

Predators 0.76 ± 0.20 0.96 ± 0.20 0.47 ± 0.14 1.00 ± 0.14a 0.63 ± 0.07 0.91 ± 0.07a

Carabids 0.11 ± 0.07 0.27 ± 0.07 0.10 ± 0.04 0.00 ± 0.06 0.17 ± 0.10 0.29 ± 0.10

Staphylinids 0.16 ± 0.28 0.61 ± 0.28a 0.04 ± 0.12 0.61 ± 0.12a 0.25 ± 0.16 0.27 ± 0.16

Araneae 0.54 ± 0.09 0.41 ± 0.09 0.25 ± 0.12 0.43 ± 0.12 0.27 ± 0.08 0.58 ± 0.08a

Ants 1.67 ± 0.24 1.56 ± 0.24 1.11 ± 0.19 1.14 ± 0.19 1.16 ± 0.18 1.13 ± 0.18

Detritivores 1.62 ± 0.19 1.19 ± 0.19 1.45 ± 0.28 2.49 ± 0.28a 1.71 ± 0.14 2.67 ± 0.14a

Herbivores 1.92 ± 0.17 1.76 ± 0.17 1.72 ± 0.24 1.84 ± 0.24 1.63 ± 0.12 1.47 ± 0.12

Aphids 0.83 ± 0.17 0.25 ± 0.17a 1.27 ± 0.44 1.40 ± 0.44 1.04 ± 0.15 0.65 ± 0.15 Sumber: Brown dan Tworkoski (2004) Tabel 2. Rata-rata nilai logaritma (±S.E.) serangga yang terperangkap pada tahun 2000

Gruip serangga 26 June 21 Agustus

Control Compost Control Compost

All predators 1.49 ± 0.08 1.68 ± 0.08 1.18 ± 0.08 1.40 ± 0.08

Carabids 0.47 ± 0.13 0.76 ± 0.13 0.67 ± 0.07 0.73 ± 0.07

Staphylinids 0.53 ± 0.26 0.87 ± 0.26 0.60 ± 0.14 0.85 ± 0.14

Araneae 0.66 ± 0.10 0.79 ± 0.10 0.16 ± 0.09 0.50 ± 0.09a

Ants 1.21 ± 0.13 1.31 ± 0.13 0.38 ± 0.12 0.74 ± 0.12

Detritivores 1.30 ± 0.12 1.51 ± 0.12 0.87 ± 0.12 1.19 ± 0.12a

All herbivores 1.02 ± 0.19 0.49 ± 0.19a 0.80 ± 0.10 0.77 ± 0.10

Aphids 1.83 ± 0.16 1.26 ± 0.16a 0.21 ± 0.11 0.31 ± 0.11 Sumber: Brown dan Tworkoski (2004)

Page 52: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

76

PERAN MULSA YANG MENGANDUNG BAHAN AKTIF PESTISIDA

Efektifitas mulsa dalam menekan populasi organisme pengganggu tanaman di dalam tanah akan semakin meningkat apabila bahan penyusun organik material mengandung bahan kimia tertentu (Rodriguez-Kabana et al., 1987) atau dicampur dengan bahan yang mengandung zat kimia tertentu yang beracun untuk organisme pengganggu tanaman (Tombe, 1993). Sebagai contoh, pemulsaan tanaman vanili yang dicampur dengan material tanaman cengkeh terbukti mampu menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang vanili yang disebabkan oleh serangan jamur Fusarium oxysporum (Tombe, 1993) dan penyakit busuk akar tanaman jambu mete di Bali (Tombe, 2003) yang diduga disebabkan oleh Rigidophorus microporus (R. lignosus) (Arya dan Temaja, l996), atau F. solani dan F. oxysporum (Tombe et al., l997). Cengkeh sangat berperan dalam menekan perkembangan serangan penyakit karena diketahui bahwa cengkeh ternyata juga bersifat fungisidal (anti jamur) (Serrano et al., 2005).

Mulsa limbah nilam ternyata juga dapat menekan tingkat serangan hama di pertanaman. Wiratno et al. (1991) menyatakan bahwa pemanfaatan mulsa limbah nilam pada pertanaman lada ternyata mampu menekan tingkat serangan penggerek batang lada, Lophobaris piperis, sehingga menekan 5% kehilangan hasil. Diduga bahwa menurunnya tingkat serangan hama disebabkan oleh bau yang dihasilkan oleh limbah mampu mengusir hama yang ada dan yang akan datang ke pertanaman. Sifat repelensi nilam disebabkan oleh sesquiterpen yang dikandung dalam tanaman nilam (Ketaren, 1985). Hasil survey di Desa Kemutug Lor, Purwokerto, diperoleh bahwa limbah hasil penyulingan nilam telah dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai mulsa dan pengusir lalat di tempat pembuangan sampah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa beberapa limbah tanaman atsiri mampu meningkatkan performa tanaman dan mempengaruhi imago Dolescorea polibete untuk tidak meletakkan telur dan kelompok telur yang ditunjukkan dengan tingginya index repelensi (Tabel 3).

Hasil evaluasi beberapa bahan tanaman sebagai mulsa organik dalam menekan hama Heteroligus sp.di Delta State, Nigeria menyebutkan bahwa tanaman Cymbopogon citrates L. dan Ocimum viridae L. Menunjukkan aktivitas penolakan atau antifeedant dibanding yang lain. Petak dengan perlakuan ini secara nyata menghasilkan umbi lebih banyak dan mengurangi kerusakan akibat kumbang tetapi tidak ada yang menyebabkan mortalitas kumbang (Okiemute, 2011). Tabel 3. Rata-rata jumlah kelompok telur dan telur D. Polibete pada tanaman

handeuleum pada perlakuan pemanfaatan limbah tanaman atsiri sampai dengan hari ke-10

Perlakuan Rataan kelompok telur

Rataan telur Indeks repelensi

Kontrol 5,3 48,7 68,1 42,9 58,9 61,6 53,6

Serai dapur 0,3 3,9 Nilam 3,4 45,1 Cengkeh 1,8 17,3 Serai wangi 1,4 9,6 Akar wangi 1,2 11,5 Sumber: Wiratno, et al. (2010)

Page 53: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

77

KESIMPULAN

Paradigma budidaya berkelanjutan mengajak petani kembali memanfaatkan mulsa limbah bahan organik. Pemanfaatan mulsa organik pada ekosistem pertanian dan khususnya pada lahan-lahan suboptimal seperti pada lahan sawah tadah hujan menghasikan berbagai manfaat diantaranya memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah serta menyeimbangkan populasi mikroorganisme tanah sehingga tanah kembali menjadi subur dan mampu menopang pertumbuhan tanaman secara maksimal. Pemanfaatan mulsa organik diharapkan mampu menunjang keberhasilan program pengembangan pertanian organik yang saat ini sedang digalakkan pemerintah serta telah menjadi tuntutan utama pasar dunia khususnya dalam rangka menghadapi perdagangan bebas.

DAFTAR PUSTAKA

Akhtar M and A. Malik . 2000. Roles of organic soil amendments and soil organisms in the biological control of plant-parasitic nematodes: a review. Bioresource Technology 74(1):35-47Anon. 1987. Budidaya Nilam. Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian. Balai Informasi Pertanian Propinsi Sumatera Barat. 36 hal.

Arya, N. dan G.R.M. Temaja, 1996. Penelitian Pengendalian Biologi Penyakit Jamur Akar pada Tanaman Jambu Mete. Prosiding Pengendalian Penyakit Utama Tanaman Industri Secara Terpadu. Bogor, 13-14 Maret. hal. 224-235.

Badejo, M. A.,G. Tian, dan L. Brussaard. 1995. Effect of Various Mulches on Soil Microarthropods Under A Maize Crop. Biol Fertil Soil 20 (4): 294-298. http://www.springerlink.com/content/u826l73101523506. Diakses tanggal 26 Mei 2011.

Brown, M. W dan T. Tworkoski. 2004. Pest Management Benefits of Compost Mulch in Apple Orchads. Agriculture, Ecosystem, and Environment 103 (3): 465-472. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167880903004146.Mei. Diakses tanggal 25 Mei 2011.

Djazuli, M. 2002. Pengaruh aplikasi kompos limbah penyulingan nilam. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik, Jakarta, 2-3 Juli 2002. hlm. 323-332.

Forge, T.A., E. Hogue, G. Neilsen, D. Neilsen. 2003. Effects of organic mulches on soil microfauna in the root zone of apple: implications for nutrient fluxes and functional diversity of the soil food web Applied Soil Ecology 22(1):39-54.

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa Jakarta. hlm. 6

Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta. 427 hlm.

Mian, I.H. and R. Rodriguez-Kabana. 1982. Soil amendments with oil cakes and chicken litter for control of Meloidogyne arenaria. Nematropica 12(2):205-220.

Page 54: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

78

Moko, H. , H. Muhammad dan S. Ningrum. 1998. Budidaya, Monograf Nilam No. V. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 56 –64.

Nahar, M.S., P.S. Grewal, S.A. Miller, D. Stinner, B.R. Stinner, M.D. Kleinhenz, D. Wszelaki, D. Doohan. 2006. Differential effects of raw and composted manure on nematode community, and its indicative value for soil microbial, physical and chemical properties. Applied Soil Ecology 34(2-3):140-151.

Okiemute, T.F. 2011. Evaluation of Some Plants Materials as Organic Mulch for the Control of Yam Tuber Beetles (Heteroligus sp.) in Delta State, Nigeria. Agricultural Journal 6(4): 166-171. Http://docsdrive.com/pdf/medwelljournals/aj/2011/166-171.pdf. Diakses dari internet tanggal 25 Mei 2011.

Purwowidodo, 1982. Teknologi Mulsa. Dewa Ruci Press. Jakarta. Reijntjes, C., H. Bartus, dan Water-Bayer, A. 1999. Pertanian Masa Depan:

Pengantar untuk Pertanin berkelanjutan untuk Input Luar Rendah. Diterjemahkan oleh Y. sukoco. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Rodriguez-Kabana, R, G. Morgan-Jones and I. Chet. 1987. Biological control of plant nematodes: soil amendments and microbial antagonists. Plant Soil 10:237-247.

Serrano, M, D. Martinez-Romero, S. Castillo, F. Guillen and D. Valero. 2005. The use of natural antifungal compounds improves the beneficial effect of MAP in sweet cherry storage. Innovative Food Science & Emerging Technologies 6:115-123.

Subiyakto dan Indrayani, I G., A. A. 2008. Pengendalian Hama Kapas Menggunakan Mulsa Jerami Padi. Perspektif, Review Penelitian Tanaman Industri 7 (2): 55-64. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Sudirja, R. 2008. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Organik. Disampaikan pada Acara Penyuluhan Pertanian KKNM UNPAD, Desa Sawit, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta 7 Agustus 2008.

http://pustaka.unpad.ac.id. Diakses tanggal 23 Mei 2011. Sugito, Y., Y. Nurani, dan E. Nihayati. 1995. Sistem Pertanian Organik. Fakultas

Pertanian Universitas Brawijaya. 84 hal. Tasma, I. M. dan P. Wahid. 1988. Pengaruh mulsa dan pemupukan terhadap

pertumbuhan dan hasil nilam. Pemberitaan Littri 15 (1-2): 34 – 41. Tombe, M, Agus N, dan Sukamto, 1993. Penelitian penggunaan daun cengkeh

dalam pengendalian penyakit busuk batang panili. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor 1-2 Des. 1993. hlm.28-35.

Tombe, M., E. Taufiq, Supriadi dan D. Sitepu, 1997. Penyakit Busuk Akar Fusarium pada Bibit Jambu Mete. Prosiding Forum Konsultasi IlmiahTanaman Rempah dan Obat. Bogor, 13 - 14 Maret 1997. hlm. 183-190.

Tombe, M, D. Wahyuno., I G. N. R. Purnayasa. 2003. Pengendalian penyakit akar putih pada tanaman jambu mente. Laporan Hasil Penelitian PHTBUN.

Page 55: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

79

Wang KH, McSorley R, Marshall AJ, Gallaher RN. 2004. Nematode community changes associated with decomposition of Crotalaria juncea amendment in litterbags. Applied Soil Ecology 27(1):31-45.

Wiratno, E. A. Wikardi dan M. Iskandar, 1991. Prospek Pemanfaatan Limbah Tanaman Atsiri Sebagai Repelen Serangga. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X, tanggal 24-26 September 1991. Bogor.p 10.

Wiratno, Suriati, S. dan E. Sugandi. 2010. Pemanfaatan Limbah Aromatik sebagai Repelen Hama (30%) dan Pupuk Organik (2% Kadar N). Dalam Supriadi, M. Rizal, M. Yusron, O. Rostiana, dan Sujianto (Eds.). Laporan Teknis Penelitian 2009. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Hal 147-155.

Yeates GW, Wardle DA, Watson RN. 1999. Responses of soil nematode populations, community structure, diversity and temporal variability to agricultural intensification over a seven-year period. Soil Biology and Biochemistry 31(12):1721-1733.

Page 56: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

80

Identifikasi dan Karakterisasi Sumberdaya Lahan pada Tanaman Pangan di Lahan Sub-optimal Muaro Jambi

Land Resouces Identification and Characterization of Sub-Optimal

Swamp Areas for Cereals Farming Systems In Muaro Jambi

Lutfi Izhar1), Salwati, dan D. Novalinda1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Jl. Samarinda. Paal V Kota Baru. Jambi. 36128. Hp. 08127389986 Email: [email protected]

ABSTRACT Identification and characterization of swamp for farming systems have

been done in Seponjen village, sub-district Kumpeh, regency of Muaro Jambi, Jambi Province in the areas of 10 ha. Research aimed to identify swamp potency to lessen failure risk and increase cereals crop production. Categorization used physiographic approach and land-use, thickness of peat, soil color, deepness of water, soil pH, water pH in incoming irrigate channel, water pH in drainage channel, maximum tide level, minimum tide level, water irrigation system, soil type, soil chemical feature, high stage and pond period, pyrite deepness and swamp type. Research shown Seponjen village is located in 5-10 m above sea level, soil topography level vary from flatter until hilly areas. 80% soil type was predominated by Ultisol. Land used was predominated estate crop plantation. Soil type in Seponjen is generally categorized as peat type. Peat type of each deepness was varying from: fabric, hemic, sapric, fibric to hemic, and hemic to sapric. In some deepness was met a soil mineral type and peat soil (clay) that caused by floods in which carry out erosion and form mineral geology interspersed by peat layers. Soil pH in 0 - 20 cm deepness was roughly 4 - 5, and water pH in irrigation channel was 5 - 5,5. Water surface was generally in the deepness of 80 - 120 cm from soil surface. Soil color of each deepness was vary from 10 YR 2/1 - 10 YR 5/1, 5 Y 6/3 and 7,5Y 4/3. Swamp type in Seponjen was inclusively categorize as of into middle swamp type, Pyrite was not found except in one assessment location. Pyrite placed in 80 - 100 cm and 100 - 120 cm from soil surface, with rate of pyrite < 2%, and Fe+2 of equal to 100 mg/liter. Hence location of the study was free from the poisonous affect of pyrite for crop grown.

Keywords: Identify, Characterization, Sub-Optimal, Muaro Jambi

ABSTRAK

Identifikasi dan karakterisasi rawa untuk sistem pertanian telah dilakukan

pada lahan 10 ha di Desa Seponjen, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi potensi rawa,

Page 57: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

81

mengurangi risiko kegagalan dan meningkatkan produksi tanaman sereal. Perlakuan menggunakan pendekatan fisiografi dan penggunaan lahan, ketebalan gambut, warna tanah, kedalaman air, pH tanah, pH air dalam saluran mengairi masuk, pH air di saluran drainase, tingkat pasang maksimum, tingkat pasang minimal, sistem irigasi air, jenis tanah , fitur kimia tanah, tahap tinggi dan periode kolam, kedalaman pirit dan jenis rawa. Penelitian menunjukkan Desa Seponjen terletak di 5-10 m di atas permukaan laut, tingkat topografi tanah bervariasi dari datar sampai daerah perbukitan. 80% jenis tanah yang didominasi oleh Ultisol. Jenis tanah di Seponjen umumnya dikategorikan sebagai gambut. Jenis gambut setiap kedalaman yang bervariasi dari: kain, Hemic, saprik, fibric untuk Hemic, dan Hemic untuk saprik. Dalam beberapa kedalaman bertemu jenis mineral tanah dan lahan gambut (tanah liat) yang disebabkan oleh banjir yang melaksanakan geologi erosi dan bentuk mineral diselingi oleh lapisan gambut. PH tanah di 0-20 cm kedalaman kira-kira 4 - 5, dan pH air di saluran irigasi adalah 5 - 5,5. Permukaan air umumnya di kedalaman 80-120 cm dari permukaan tanah. Warna tanah masing-masing kedalaman itu bervariasi dari 10 YR 2/1 - 10 YR 5/1, 5 Y 6/3 dan 4/3 7,5Y. Jenis rawa di Seponjen itu inklusif dikategorikan ke dalam jenis dari rawa tengah, Pirit tidak ditemukan kecuali dalam satu lokasi penilaian. Pirit ditempatkan dalam 80-100 cm dan 100-120 cm dari permukaan tanah, dengan tingkat pirit <2%, dan Fe + 2 sebesar 100 mg / liter. Oleh karena itu lokasi penelitian ini bebas dari racun pirit untuk tumbuh tanaman. Kata kunci: Identifikasi, karakterisasi, Sub-Optimal, Muaro Jambi

PENDAHULUAN

Program pembangunan pertanian dirumuskan dalam dua program utama yaitu; (1) Program pengembangan agribisnis, dan (2) Program peningkatan ketahanan Pangan. Untuk melaksanakan kedua program tersebut, diperlukan data dan informasi pengembangan suatu komoditas di wilayah tertentu. Data dan informasi tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan identifikasi dan karakterisasi wilayah (Manwan et al,.1992; Nasoetion dan J. Winoto, 1995; Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1995; Alihamsyah, et al,. 2001 ).

Salah satu aplikasi dari kedua program tersebut adalah pemanfaatan lahan rawa lebak seluas 13,4 juta hektar yang merupakan salah satu alternatif pengembangan dan berpotensi besar untuk dijadikan areal produksi tanaman pangan dimasa yang akan datang. Hasil penelitian dan pengalaman memperlihatkan bahwa dengan pengelolaan yang tepat sesuai identifikasi dan karakteristik serta melalui penerapan teknologi yang benar, maka lahan rawa lebak dapat dijadikan areal pertanian produktif (Manwan et al., 1993 dan Ismail et al., 1993).

Diperkirakan lebih dari 9 juta hektar berpotensi lahan lebak untuk dijadikan areal produksi pertanian dan sampai saat ini sekitar 2,3 juta hektar telah dibuka/direklamasi oleh pemerintah untuk berbagai penggunaan. Beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi telah melakukan kegiatan penelitian di beberapa lokasi lahan rawa Kalimantan dan Sumatera (Nugroho, K., et al., 1992). Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa

Page 58: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

82

dan berbagai Proyek Penelitian telah melakukan kegiatan penelitian secara intensif sejak pertengahan tahun 1980-an (Adimihardja, et al., 1998; dan Ananto, et al., 2000). Berbagai komponen teknologi usahatani sudah dihasilkan dan berbagai paket teknologi usahatani juga sudah direkayasa untuk mendukung pengembangan usahatani tanaman pangan di lahan rawa guna menunjang peningkatan ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani (Direktorat Rawa. 1984; dan Suprihanyo, et al., 2000).

Namun karena lahan rawa tergolong marjinal dan tidak stabil (rapuh) terutama dengan adanya berbagai zat beracun, dinamika kondisi tanah dan fluktuasi air serta rendah dan beragamnya kesuburan alami tanahnya, maka pengembangannya untuk tanaman pangan pada suatu kawasan luas perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati dengan memilih teknologi dan pola penerapannya yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Kekeliruan dalam mereklamasi dan mengelola lahan ini membutuhkan biaya besar untuk merehabilitasinya serta sulit untuk memulihkan seperti kondisi semula. Hasil dari berbagai penelitian identifikasi dan karakterisasi lahan, pengelolaan tanah dan air serta budidaya tanaman pangan di lahan rawa yang sudah dilakukan, hendaknya digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan tanaman pangan berkelanjutan pada lahan rawa tersebut (Widjaya A. 1995).

BAHAN DAN METODE

Identifikasi dan karakterisasi lahan rawa lebak dilakukan dari bulan

Februari sampai April 2006. Identifikasi dan karakterisasi dilaksanakan di lahan petani (on-farm research ) rawa lebak Desa Seponjen, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : Data iklim pengamatan selama 5 (lima) tahun (periode 1999 – 2003) diambil dari stasiun Sungai Duren Kabupaten Muaro Jambi, peta administrasi Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, dan laporan/tulisan sekunder dari berbagai institusi. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : Geografi Position System (GPS), bor tanah tipe Belgia, cangkul, sekop, buku “Munsell Soil Color Chart”, pH Truogh, kompas, “abney level”, meteran, pisau tanah, kantong plastik, label, form isian data lapang dan manual pengisian.

Pengumpulan data dalam kegiatan ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan yaitu data sumber daya lahan dan air, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan yaitu data iklim selama 5 (periode tahun 1999 – 2003) dari stasiun Sungai Duren Kabupaten Muaro Jambi.

Kegiatan yang dilakukan untuk mengamati sumberdaya lahan dan air, yang menyangkut faktor fisik lingkungan antara lain : fisiografi dan penggunaan lahan, tinggi dan periode genangan, jenis tanah dan tipe lebak, tata air dan lahan serta vegetasi yang dominan pada lahan rawa lebak wilayah kajian.

Identifikasi dan karakterisasi dilakukan melalui kegiatan Base Line Survey yang meliputi karakterisasi biofisik lahan. Karakterisasi lahan dilakukan dengan metode survey lapangan, pengambilan contoh dengan jalan mengebor tanah dan analisis tanah dilakukan di Laboratorium.

Data yang dikumpulkan antara lain: fisiografi dan penggunaan lahan, ketebalan gambut, warna tanah, kedalaman air, pH tanah, pH air saluran masuk,

Page 59: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

83

pH air saluran draenase, pasang besar, pasang kecil, sistem tata air, jenis tanah, kimia tanah, tinggi dan periode genangan, kedalaman pirit dan kadar pirit serta tipe lebak.

Analisis data iklim (curah hujan, suhu, radiasi matahari, kelembaban dan angin) dilakukan dengan mentabulasi data selama 5 tahun, selanjutnya diolah dengan menggunakan software Minitab 11. Analisis data hasil survei dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat komputer. Data yang didapat diolah dengan cara diklasifikasi, ditabulasi sesuai jenis data dan keperluan tampilan.

HASIL

Tabel 1. Curah Hujan Rata-rata Bulanan Periode tahun 2008 – 2012 Lokasi Pengkajian (Stasiun Sungai Duren ).

Bulan Tahun

Rata-rata 2008 2009 2010 2011 2012

Januari 318.2 120.7 230.0 256.2 319.9 249.0 Februari 172.4 299.3 191.8 19.2 355.3 207.6 Maret 326.5 314.8 325.2 286.4 171.7 284.9 April 168.1 190.6 192.5 257.4 368.3 235.4 Mei 258.7 84.4 92.2 185.3 174.9 159.8 Juni 104.9 336.9 138.5 108.0 25.7 142.8 Juli 101.3 127.1 - 287.4 201.9 143.5 Agustus 76.80 68.8 314.6 81.1 257.7 159.8 September 62.80 116.9 57.1 169.7 339.9 149.3 Oktober 425.3 286.1 332.5 94.4 231.9 274.0 November 268.0 170.5 462.4 243.4 122.1 253.3 Desember 176.9 269.5 366.6 276.1 200.0 257.3 Total 2462.9 2385.6 2703 2264.6 2769.3

Sumber : Stasiun Klimatologi Sei Duren, 2012 Tabel 2. Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin dan Rata-rata Penyinaran

Matahari Periode tahun 2005 – 2012 di Lokasi Pengkajian. (Stasiun Sungai Duren)

Bulan Suhu (0C)

Kelembaban (%)

Kecepatan Angin

(km/jam)

Penyinaran Matahari (%)

Januari 25.9 87.9 1.4 34.4 Februari 26.2 86.7 1.6 41.3 Maret 26.5 86.3 1.5 45.1 April 26.8 86.7 1.2 53.2 Mei 27.9 86.4 1.0 61.2 Juni 26.8 85.1 1.1 59.7 Juli 26.5 85.9 1.2 54.7 Agustus 26.5 85.0 1.4 58.6 September 26.5 85.3 1.3 49.4

Page 60: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

84

Bulan Suhu (0C)

Kelembaban (%)

Kecepatan Angin

(km/jam)

Penyinaran Matahari (%)

Oktober 26.5 86.0 1.0 44.3 Nofember 26.3 86.7 1.0 44.8 Desember 26.3 87.3 1.2 40.0

Sumber : Analisis data sekunder Tabel 3. Hasil Evaluasi Karakteristik Lahan Lokasi Pengkajian Desa Seponjen

No. Parameter Nilai Keragaan Keterangan 1. Lapisan Pirit

(sedikit sekali ditemui) 80 – 120 cm Dalam Pengeboran

Tanah 2. Kadar Pirit

(sedikit sekali ditemui) < 2% Dalam Pengukuran

Lapangan 3. Kedalaman Air 80 – 120 cm Dalam Pengeboran

Tanah 4. pH Tanah 4 – 5 Sangat Masam Pengukuran

Lapangan 5. pH air Saluran Draenase

5 – 5,5 Sangat Masam Pengukuran

Lapangan 6. PH Air Saluran Masuk

4.5 – 5.5 Masam Pengukuran

Lapangan 7. Sistem Tata air Telah ada tata

air dan saluran air

Pengamatan Lapangan

8. Jenis Tanah Typic Haplosapris, typic endoaquapt, typic haplohemist

Pengamatan Lapangan

Sumber : Analisis data primer 2012 Tabel 6. Hasil analisis tanah areal pengkajian Desa Seponjen

Jenis analisis Nilai Kriteria

pH H2O 3,80 – 4,28 Sangat masam C-Organik (%) 11,07 -30,38 Sangat tinggi N-total (%) 0,44 – 1,34 Sedang – sangat tinggi P-potensial ( ppm) 35,27 – 193-57 Sangat rendah – rendah K-Potensial (ppm) 3,54 – 8,74 Sangat rendah KTK (me/100 g 56,47 – 88,20 Sangat tinggi Basa-basa tukar (me/100 g) Na-dd 0,090 - 3,220 Sangat rendah – sangat

tinggi K-dd 0,100 – 2,100 Sangat rendah – sangat

tinggi Ca-dd 2,060-3,080 Rendah

Page 61: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

85

Jenis analisis Nilai Kriteria

Mg-dd 0,070 – 2, 200 Sangat rendah – sedang Al-dd (me/100 g) 3,95 – 9,15 H-dd (me/100 g) 1,33 – 2,61

Sumber: Analisis Laboratorium 2012

PEMBAHASAN

Desa Seponjen secara administrasi masuk ke dalam Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Jarak desa ini dari ibukota kecamatan sekitar 2 – 6 km, dan jarak dari kabupaten 105 km. Desa Seponjen memiliki luas wilayah seluas 8.000 ha, yang terdiri dari lahan kering seluas 7.500 ha dan lahan basah seluas 500 ha , dengan jumlah penduduk 1.704 jiwa. Dari luasan tersebut penggunaan lahannya dikelompokkan menjadi enam tipe penggunaan lahan yaitu : 1) perkebunan seluas 1.254 ha; 2) tegalan seluas 556 ha; 3) lahan rawa lebak atau sawah lebak/payau seluas 150 ha; 4) pemukiman/pekarangan seluas 91 ha; 5) hutan/belukar seluas 5.599 ha; dan 6) perairan umum seluas 350 ha. Pada tahun 2006 areal tanam intensifikasi padi sawah sudah mencapai 90 ha dengan peningkatan produksi padi dari 1,5 t/ha pada tahun 2005 menjadi 2 – 3 t/ha pada tahun 2006. Areal tanam jagung sudah mencapai 400 ha dengan peningkatan produksi dari 4 t/ha tahun 2005 menjadi 5 t/ha tahun 2006. Desa Seponjen ini terletak pada ketinggian 5 – 10 m dari permukaan laut, dengan bentuk topografi datar sampai berbukit. Jenis tanah di desa Seponjen 80% didominasi oleh tanah Ultisol yaitu seluas 7.120 Ha, sisanya jenis tanah Aluvial yaitu seluas 880 Ha (Jumbriono, 2006). Tetapi setelah disurvei, sekitar 400 ha lahan yang diperuntukan untuk tanaman jagung merupakan lahan gambut.

Keadaan iklim di suatu tempat ditentukan oleh faktor curah hujan, suhu udara, radiasi matahari, angin dan kelembaban. Desa Seponjen berdasarkan analisis data iklim harian periode 1999 – 2003 dari stasiun Sungai Duren (Tabel 1) memiliki curah hujan yang tinggi dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 2000 – 2200 mm/tahun. Di mana musim hujan terjadi pada bulan Oktober - April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei - September. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni yaitu sebesar 142,8 mm dan tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 284,9 mm, besar curah hujan tertinggi mencapai dua kali lipat dari curah hujan terendah. Setelah mencapai nilai maksimum pada bulan Maret curah hujan akan mengalami penurunan dan akan kembali naik pada bulan Oktober.

Tipe iklim utama menurut klasifikasi iklim Oldeman, yang didasarkan pada bulan basah berturut-turut, lokasi pengkajian termasuk ke dalam tipe iklim D. Di mana jumlah bulan basah berturut-turut 3-4 bulan basah (curah hujan 200 mm). Sedangkan subdivisinya berdasarkan bulan kering berturut- turut termasuk ke dalam subdivisi 1, dengan 1 – 2 bulan kering (curah hujan < 200 mm) berturut-turut. Sehingga lokasi pengkajian klasifikasi iklimnya termasuk tipe iklim D1.

Tipe iklim D1 ini dapat dijabarkan sebagai daerah yang dapat diusahakan tanaman padi umur pendek satu kali dan biasanya produksi bisa tinggi karena

Page 62: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

86

kerapatan fluks radiasi tinggi, waktu tanam tanaman palawija juga cukup. Klasifikasi berdasarkan Oldeman ini tergolong klasifikasi yang baru di Indonesia dan dapat digunakan untuk keperluan praktis. Klasifikasi ini cukup berguna khususnya dalam klasifikasi lahan pertanian tanaman pangan, yang pembagiannya bisa hanya didasarkan pada peluang curah hujan (Widjaya A., 1995).

Berdasarkan analisis data iklim harian dari Stasiun Sungai Duren periode 2005 – 2012 yang disajikan pada Tabel 2, suhu udara rata-rata di desa Seponjen berkisar antara 25,9 - 27,9 oC, kelembaban udara rata- rata berkisar antara 85,1 – 87,9%, kecepatan angin berkisar antara 1,0 – 1,6 km/jam, dan penyinaran matahari berkisar antara 34,4 – 61,2%.

Keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa lebak sangat tergantung pada pengendalian tata air, iklim (banjir dan kekeringan). Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan bahwa lahan rawa lebak desa Seponjen sudah dilengkapi dengan saluran tata air, yaitu saluran primer, sekunder (SK) terdiri dari SK 1 sampai SK 5 dan tersier. Saluran primer dan sekunder sudah tertata dan berfungsi dengan baik, tapi belum dilengkapi oleh kondisi pintu air yang baik sehingga aliran air yang masuk (inflow) dan keluar (outflow) belum terkendali. Hal ini mengakibatkan lokasi pengkajian tergenang air pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.

Lahan rawa lokasi pengkajian ini termasuk ke dalam rawa lebak tipe tengahan, lahan tergenangi selama 4 bulan, di mana pada musim hujan lahan mengalami genangan karena tingginya curah hujan yang biasanya berlangsung dari bulan Oktober – April, sedangkan musim kemarau lahan mengalami kekeringan, biasanya berlangsung dari bulan Mei – September. Dari hasil survei yang dilakukan pada lokasi saluran sekunder 2 (SK 2) didapatkan bahwa lahan rawa lebak desa Seponjen pada musim hujan sekali setahun lahan banjir karena luapan sungai Batanghari, biasanya terjadi pada bulan Desember – Januari dengan tinggi genangan air 0,5 – 2 meter, dan pada musim kemarau lahan tidak terluapi.

Lahan rawa lebak lokasi pengkajian desa Seponjen berada pada wilayah topografi datar, dengan kelerengan 0 – 3%, fisiografi pada daerah belakang tanggul sungai, vegetasi didominasi oleh tanaman jagung. Kesuburan tanah lokasi pengkajian diamati dengan melakukan survei biofisik, Survei dilaksanakan untuk mengevaluasi karakteristik lahan (Tabel 3).

Evaluasi dilaksanakan dengan melakukan pemboran tanah masing-masing pada kedalaman : 0 – 20 cm, 20 – 40 cm, 40 – 60 cm, 60 – 80 cm, 80 – 100 cm, dan 100 – 120 cm. Hasil pengukuran di lapangan didapatkan pH tanah pada kedalaman 0 – 20 cm adalah 4 - 5, dan pH saluran air 5 – 5,5. Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan bahwa lahan rawa lebak desa Seponjen termasuk ke dalam jenis tanah bergambut. Jenis gambut pada masing-masing kedalaman bervariasi dari fibrik, hemik, saprik, fibrik ke hemik, dan hemik ke saprik. Pada beberapa kedalaman juga dijumpai tanah gambut dan tanah mineral (tanah berliat). Hal ini disebabkan karena pada saat terjadi banjir membawa tanah-tanah hanyutan sehingga terbentuk suatu lapisan tanah mineral yang diselang-selingi lapisan gambut. Air pada umumnya baru dijumpai pada kedalaman 80 – 120 cm dari permukaan tanah. Warna tanah pada masing-masing kedalaman bervariasi dari 10 YR 2/1 – 10 YR 5/1, 5 Y 6/3 dan 7,5Y 4/3.

Page 63: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

87

Lahan rawa lebak desa Seponjen yang termasuk ke dalam lebak tipe tengahan ini, pirit

tidak ditemukan kecuali pada lokasi pengamatan kelompok 6. Pirit dijumpai pada kedalaman 80 – 100 cm dan 100 – 120 cm dari permukaan tanah, dengan kadar pirit < 2%, dan Fe+2 sebesar 100 mg/liter, sehingga lokasi pengkajian dapat dikatakan aman dari keracunan pirit. Pada waktu survei biofisik ini juga dilakukan pengambilan sampel tanah secara komposit untuk analisis sifat fisika dan kimia tanah lokasi pengkajian.

Kesuburan tanah pada lokasi kegiatan dapat dilihat dari hasil analisis (Tabel 4). Bila dilihat dari data kesuburan tanah di atas menunjukkan bahwa lahan yang dianalisis adalah lahan gambut. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah gambut yang terbentuk dari bahan organik atau sisa-sisa pepohonan, yang dapat berupa bahan jenuh air dengan kandungan karbon organik 12-18 % atau bahan tidak jenuh air dengan kandungan carbon organik sebanyak 20 % dan yang dicirikan kandungan bahan organik tanah lebih dari 30 % . Bahan organik = 1,724 x % C-organik

Hasil analisis tanah menunjukkan lebih dari 80 % mempunyai bahan organik diatas 30 %. Sebagian besar lahan ini termasuk kedalam tipe lahan bergambut sedang dengan kedalaman gambut 100-200 cm dan sebagian lagi gambut yang diselingi tanah mineral dengan ketebalan gambut 20-50 cm lapisan atas, diselingi dengan tanah mineral dengan tekstur liat. Sehingga lahan dengan kriteria ini bila dimusim panas, masih mengandung air pada lapisan liatnya.

Tanah gambut ini mempunyai daya memegang air yang sangat tinggi, tetapi kebanyakan air tertahan pada pori kasar atau dalam pori-pori yang sangat halus sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Kesuburan tanah sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, kandungan basa-basa tukar rendah walaupun kapasitas tukar kation tinggi, Tingginya KTK ini tidak disebabkan karena tinggi kation dapat tukar tetapi karena adanya gugusan karboksil dan phenolik, dimana KTK ini akan semakin tinggi bila dekomposisi semakin lanjut. Kemasaman tanah sangat tinggi, hal ini akan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman apabila tidak diberi ameliorasi tanah.

PROSPEK UNTUK PRODUKSI TANAMAN PANGAN

Berdasarkan tipe lebak didaerah tersebut yaitu lebak tengahan, dapat ditanami dengan 2 musim tanam, padi gogo rancah-bera-padi gogo rancah atau padi rancah gogo-palawija atau padi rancah gogo-hortikultura. Tapi kenyataan dilokasi ini baru ditanami 1 x dalam setahun. Lebak dengan jenis lahan gambut ini tidak boleh ditata sebagai surjan. Lahan gambut ini mempunyai kesuburan yang rendah, untuk itu perlu diberikan ameliorasi kedalam tanah, agar produktivitas tanah dapat dipertahankan. Ameliorasi ini bisa berupa kapur, bahan organik (pupuk kandang atau sisa panen) dan pupuk anorganik (Subagyo dan Adhi W. 1998).

Pengambangan sistim usahatani dapat dilakukan dengan kemungkinan peningkatan produksi 2 kali lipat dibanding yang biasa dilakukan petani pada musim yang sama, apabila menerapkan beberapa komponen teknologi terutama pemupukan, jadwal tanam, jarak pertananaman serta teknologi panen (Widjaya, et al., 1992).

Page 64: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

88

Perbaikan rutin harus dilakukan pada saluran drinase dan tata air. Sementara ini disekitar lokasi pengkajian, saluran air dalam kondisi kurang baik dengan banyaknya vegetasi liar disekitar saluran serta pendangkalan air di tempat tertentu. Hal ini bisa membahayakan pertanaman khususnya tanaman pangan apabila terjadi banjir yang luas dan cukup lama.

Respon petani dalam hal teknologi ini cukup baik, tetapi karena kendala seperti kekurangan modal, keterampilan dan teknologi yang minim, serta kelembagaan yang kurang sehingga petani masih belum sepenuhnya menerapkan semua komponen teknologi dan kosep pertanian berkelanjutan. Kesadaran petani akan penerapan konsep inovasi teknologi akan menambah biaya produksi baik itu saprodi, maupun efisiensi tenaga kerjanya maka keinginan untuk menerapkan konsep tersebut semakin kuat. Sementara ini, petani dalam mengusahakan pertaniannya lebih banyak menggunakan tenaga kerja keluarga, yang tidak mereka hitung tenaga yang telah dipergunakan.

KESIMPULAN

1. Tipe lahan usaha tani di Desa Seponjen termasuk lebak tengahan, dengan jenis tanah gambut, dan campuran tanah mineral dan gambut, dengan kesuburan rata-rata rendah, pH tanah sekitar 4. Tipe iklim adalah D1 dengan 3-4 bulan basah (curah hujan 200 mm) berturut- turut dan 1 – 2 bulan kering (curah hujan < 200 mm).

2. Peningkatan produksi dan effisiensi usahatani tanaman pangan masih berpeluang baik melalui peningkatan indeks pertanaman menjadi 2 kali/tahun, penerapan beberapa komponen inovasi teknologi pertanian tanaman pangan seperti perbaikan pemupukan, pengunaan benih unggul, pengaturan waktu tanam dan jarak tanam serta teknologi panen.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, A., K. Sudarman dan D. A. Suriadikarta. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut : keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia lahan pasang surut. Dalam M. Sabran dkk. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru.

Ananto, E.E., Hermanto, K. Ketut, Soentoro, I.W. Suastika, I.G.M Subiksa, dan T. Alihamsyah. 2000. Laporan Utama : Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian.

Alihamsyah, T., E. E. Ananto, H. Supriadi, I. G. Ismail dan DE. Sianturi. 2000. Dwi Windu Penelitian Lahan Rawa : Mendukung Pertanian Masa Depan. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu – ISDP. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Alihamsyah, T., D. Nazemi, Mukhlis, I. Khairullah, H.D. Noor, M. Sarwani, H. Sutikto, Y. Rina, F.N. Saleh dan S. Abdussamad. 2001. Empat Puluh Tahun Balittra : Perkembangan dan Program Penelitian Ke Depan. Balai

Page 65: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

89

Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Badan Litbang Pertanian. Banjarbaru.

Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1995. Luas Penggunaan Lahan Rawa Pasang Surut, Lebak, Polder Dan Rawa Lainnya Di Tujuh Propinsi. Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.

Direktorat Rawa. 1984. Kebijaksanaan Departemen Pekerjaan Umum Dalam Rangka Pengembangan Daerah Rawa. Diskusi Pola Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan di Lahan Pasang Surut/Lebak. Tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1984 di Palembang.

Ismail, I.G., T. Alihamsyah, IPG Widjaja Adhi, Suwarno, T.Herawati, R. Thahir, dan DE, Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa : Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Swamps II. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.

Manwan, I., I.G. Ismail, T. Alihamsyah, dan S. partohardjono. 1992. Teknologi pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut : potensi, relevansi dan faktor penentu. Dalam prosiding “Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3-4 Maret 1992.

Nasoetion, L.I. dan J. Winoto. 1995. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian Dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air : Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan, Cipayung, Bogor, 31 Oktober – 2 November 1995.

Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahidin, Abdulrachman, H. Suharjo, dan IPG Widjaja Adhi. 1992. Peta Areal Potensial Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut, Rawa Dan Pantai. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Subagyo H. dan IPG Widjaja Adhi. 1998. Peluang Dan Kendala Penggunaan Lahan Rawa Untuk Pengembangan Pertanian Di Indonesia, Kasus : Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agronomi, Bogor, 10 Februari 1998. Puslittanak.

Suprihatno, B., T. Alihamsyah dan E. E. Ananto. 2000. Teknologi pemanfaatan lahan pasang surut dan lebak untuk pertanian tanaman pangan. Dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor, 2000.

Widjaya Adhi, I. G. P., K. Nugroho, D.S. Ardi, dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya Lahan Pasang Surut, Rawa, dan Pantai : Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam prosiding “Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3-4 Maret 1992.

Widjaya Adhi, I, G. P. 1995. Pengelolaan Tanah Dan Air Dalam Pengembangan Sumberdaya Lahan Rawa Untuk Usahatani Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.

Page 66: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

90

Rekomendasi Pemupukan Tanaman Jagung untuk Kabupaten Bengkulu Selatan

Recommended Fertilization of Maize

For South Bengkulu

Nurmegawati, Yahumri, dan Yong Farmanta

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Fertilization is a component technology that affect the increased production

of corn production. Fertilizer recommendation for maize crops in particular is still very limited. This study aims to get a corn crop fertilizer recommendations for South Bengkulu. This study was conducted in South Bengkulu, which includes two main activities namely soil sampling and measuring the level of soil fertility and fertilizer recommendations using a test device to dry land. The results showed Rokomendasi fertilizer for corn crops and Seginim Lime Water District is 300 kg / ha urea (+ organic matter) or 350 kg / ha urea (Without organic matter), 250 kg / ha of SP-36, 75 kg / ha KCl, 750 kg / ha of lime and 2,000 t / ha of organic matter. Corn crop fertilizer recommendations for the District of Ulu Manna, Pino, Manna, and Flowers Mas is 300 kg / ha urea (+ organic matter) or 350 kg / ha urea (Without organic matter), 250 kg / ha of SP-36, 100 kg / KCl ha, 500 kg / ha of lime and 2,000 t / ha of organic matter. Keywords: Maize, nutrient status, fertilizer recommendation

ABSTRAK

Pemupukan merupakan komponen teknologi produksi yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi jagung. Rekomendasi pemupukan khususnya tanaman jagung masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan mendapatkan rekomendasi pemupukan tanaman jagung untuk Kabupaten Bengkulu Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bengkulu Selatan, yang meliputi 2 kegiatan utama yaitu pengambilan sampel tanah dan mengukur tingkat kesuburan tanah dan rekomendasi pupuk dengan menggunakan perangkat uji tanah kering. Hasil penelitian menunjukkan Rokomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Air Nipis dan Seginim adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 75 kg/ha KCl, 750 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Ulu Manna, Pino, Manna, dan Bunga Mas adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl, 500 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik. Kata kunci : Jagung, status hara, rekomendasi pemupukan

Page 67: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

91

PENDAHULUAN

Jagung merupakan salah satu dari lima komoditas prioritas yang diprogramkan oleh Kementerian Pertanian. Produksi jagung dalam negeri belum mencukupi kebutuhan, sehingga setiap tahun masih dilakukan impor. Produktivitas jagung nasional baru mencapai 48,44 Ku/ha (BPS, 2014). Peluang untuk peningkatan produksi jagung cukup besar karena sekitar 94,1 juta ha lahan Indonesia diantaranya merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian dan ditambah dengan adanya penerapan teknologi. Pemupukan merupakan komponen teknologi produksi yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi jagung. Data menunjukkan bahwa tanaman jagung yang kekurangan nitrogen hasilnya turun sampai 30 %. Fosfor berperan dalam pembentukan bunga, buah, biji, dan perkembangan akar yang pada gilirannya meningkatkan kualitas tanaman. Kekurangan fosfor mempengaruhi aspek metabolisme dan pertumbuhan tanaman, khususnya pembentukan tongkol dan biji tidak normal. Demikian juga kalium mengakibatkan hasilnya turun sampai 10% (Taufik dan Thamrin, 2009). Pemupukan merupakan faktor penentu keberhasilan budidaya jagung manis pada lahan kering. Lahan kering di daerah tropis seperti Indonesia umumnya memiliki kesuburan tanah atau kandungan unsur hara tanah yang rendah (Suratmini, 2009).

Produktivitas jagung di Kabupaten Bengkulu selatan masih rendah, hal ini akibat dari masih rendahnya penerapan teknologi yang adopsi salah satunya mengenai pemupukan. Praktek pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi, mulai dari input rendah sampai sedang, petani masih menggunakan pupuk N yang berlebihan sebaliknya pupuk P dan K diberikan dengan dosis terbatas, sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi rendah. Rekomendasi pemupukan yang dipakai masih bersifat umum, sementara kondisi lahan berbeda sesuai dengan karakteristik tanahnya. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk tidak efisiensi sehingga pendapatan petani tidak optimal.

Rekomendasi pemupukan adalah suatu rancangan yang meliputi jenis dan takaran pupuk untuk tanaman pada areal tertentu. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008) banyak manfaat dan dampak penerapan pemupukan spesifik lokasi antara lain : (1) pemberian pupuk yang tepat takaran, tepat waktu dan jenis pupuk yang diperlukan sesuai maka pemupukan akan lebih efisien, hasil tinggi dan pendapatan petani meningkat, (2) pencemaran lingkungan dapat dihindari, kesuburan tanah tetap terjaga dan produksi padi lestari atau berkelanjutan, (3) mengurangi biaya pembelian pupuk.

Mengingat rekomendasi pemupukan khususnya tanaman jagung masih sangat terbatas maka penelitian terhadap aspek tersebut perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan rekomendasi pemupukan tanaman jagung untuk Kabupaten Bengkulu Selatan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bengkulu Selatan pada 6 kecamatan yaitu Kecamatan Air Nipis, Seginim, Ulu Manna, Pino, dan Bunga Mas, yang meliputi 2 kegiatan utama yaitu pengambilan sampel dan mengukur tingkat kesuburan tanah dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Kering (PUTK).

Page 68: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

92

Cara pengambilan contoh tanah komposit meliputi : (1) Contoh tanah komposit diambil sebelum tanam atau menjelang pengolahan tanah, sekali dalam empat tahun. (2) Tentukan cara pengambilan contoh tanah tunggal dengan salah satu dari empat cara, yaitu secara diagonal, zig-zag, sistematik atau acak, (3) Rumput-rumput, batu-batuan atau krikil, sisa-sisa tanaman atau vahan organik segar/serasah yang dipermukaan tanah disisihkan, (4) Pada saat pengambilan contoh, sebaiknya tanah dalam kondisi tidak terlalu basah, (5) Contoh tanah individu diambil dengan bor tanah, cangkul, atau sekop pada kedalaman 0-20 cm, (6) Contoh tanah individu yang diambil dengan cangkul atau sekop usahakan sama banyak, (7) Secara garis besar urutan pengukuran kadar hara dengan PUTK adalah sebagai berikut: (a) Contoh tanah sebanyak ½ sendok stainless dimasukkan ke dalam tabung reaksi, atau tanah diambil sebanyak 0,5 ml sesuai dengan batas yang tertera pada tabung (b) tambahkan pengekstrak dan diaduk hingga tanah dan larutan menyatu dan homogen dengan pengaduk kaca. Lakukan penambahan pengekstrak sesuai dengan urutannya., (c) Diamkan sekitar + 10 menit hingga timbul warna. Warna yang muncul pada larutan jernih dibaca atau dipadankan dengan bagan warna yang disediakan, (d) status hara P dan K tanah terbagi menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. C-organik dibuat 2 kelas yaitu < 3 % tergolong rendah dan > 3 % tergolong sedang sampai tinggi. (e) Rekomendasi pemupukan P, K C-organik dan kebutuhan kapur ditentukan sesuai dengan bacaan status hara hasil pengujian.

HASIL

Tabel 1. Status hara tanah lahan kering Kabupaten Bengkulu Selatan

No Kecamatan Status Hara P K pH C-org

1 Air Nipis R S AM R 2 Seginim R S AM R 3 Ulu Manna R R AM R 4 Pino R R AM R 5 Manna R R AM R 6 Bunga Mas R R AM R

Keterangan : S : sedang, R : rendah, AM : Agak masam

Tabel 2. Rekomendasi pupuk tunggal untuk tanaman jagung

Kecamatan Rekomendasi (kg/ha)

Urea SP-36 KCl Kapur Bahan Organik

+ BO Tanpa BO Air Nipis 300 350 250 75 750 2.000 Seginim 300 350 250 75 750 2.000 Ulu Manna 300 350 250 100 500 2.000 Pino 300 350 250 100 500 2.000 Manna 300 350 250 100 500 2.000 Bunga Mas 300 350 250 100 500 2.000

Page 69: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

93

PEMBAHASAN

Status Hara Tanah. Dari hasil analisis tanah dengan PUTK maka diperoleh status hara tanah di Kabupaten Bengkulu Selatan yaitu Kecamatan Air Nipis, Seginim, Ulu Manna, Pino, Manna, dan Bunga Mas dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan analisa tanah dengan PUTK maka status hara P, K, pH dan C-organik pada 6 kecamatan di Kabupaten Bengkulu Selatan yaitu masing-masing berturut-turut tergolong rendah, sedang, agak masam dan rendah. Status P tersedia pada daerah penelitian termasuk rendah, hal ini diduga sebagai akibat dari fiksasi P salah satunya unsur Al. P merupakan kunci kehidupan karena langsung berperan dalam proses kehidupan tanaman. Umumnya P sukar tercuci oleh air hujan. Masalah yang sering timbul di lapangan adalah adanya fiksasi P sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman, sehingga ketersedian P tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri tanah. Menurut Nursyamsi Dan Setyorini (2009) faktor yang mempengaruhi ketersediaan P tanah yaitu jumlah dan jenis mineral tanah, pH tanah, pengaruh kation, pengaruh anion, tingkat kejenuhan P, bahan organik, waktu dan suhu, penggenangan. Santun, et al (2011) menambahkan bahwa pada tanah yang telah terdegradasi sedang sampai berat memiliki kandungan P tersedia rendah sampai sangat rendah akibat terbawah erosi dan aliran permukaan.

Status K pada daerah penelitian termasuk sedang dan rendah dengan kandungan K-dd > 0,25 me/100 g. Unsur hara kalium di dalam tanah selain mudah tercuci, tingkat ketersediaanya sangat dipengaruhi oleh pH dan kejenuhan basa. Pada pH rendah dan kejenuhan basa rendah kalium mudah hilang tercuci, pada pH netral dan kejenuhan basa tinggi kalium diikat oleh Ca. Kapasitas tukar kation yang makin besar meningkatkan kemampuan tanah untuk menahan K, dengan demikian larutan tanah lambat melepaskan K dan menurunkan potensi pencucian. Penyebab kekurangan unsur Kalium antara lain unsur Kalium yang terdapat di dalam tanah rendah, kemasaman tanah tinggi dengan kemampuan tukar kation rendah, aplikasi pemupukan unsur Kalium kurang atau tidak seimbang.

pH tanah pada daerah penelitian termasuk agak masam, Kemasaman tanah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain bahan induk tanah, reaksi oksidasi terhadap mineral tertentu, bahan organik dan pencucian basa-basa. Tingkat keasaman tanah saat penting karena mempengaruhi proses-proses yang lain . Menurut (TAN,1998) sejumlah proses tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah. Banyak reaksi kimia dan biokimia tanah hanya dapat berlangsung pada reaksi tanah spesifik. Pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh reaksi asam-basa dalam tanah, baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsungnya terhadap tanaman adalah melalui pengaruhnya terhadap kelarutan dan ketersedian hara tanaman. Secara langsung, ion H+ dilaporkan mempunyai pengaruh meracun terhadap tanaman jika terdapat dalam konsentrasi tinggi.

Kandungan bahan organik dalam bentuk karbon organik tergolong rendah. Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah

Page 70: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

94

yang umum terjadi. Dengan banyaknya bahan organik maka warna tanah menjadi coklat hingga hitam, biasanya warna tanah yang hitam tanahnya subur. Tinggi rendahnya bahan organik juga mempengaruhi jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah, meningkatnya kegiatan organisme tanah akan mempercepat dekomposisi bahan organik menjadi humus. Menurut HAKIM, et al . (1986) Bahan organik adalah bahan perekat tanah yang tiara taranya, sekitar setengah dari KTK beasal dari bahan organik. Ia merupakan sumber hara tanaman dan sumber energi sebagian besar organisme tanah.

Rekomendasi Pemupukan. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk 6 kecamatan diKabupaten Bengkulu Selatan dapat dilihat pada Tabel 2. Rokomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Air Nipis dan Seginim adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 75 kg/ha KCl, 750 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Ulu Manna, Pino, Manna, dan Bunga Mas adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl, 500 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik.

KESIMPULAN

1. Rokomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Air Nipis dan Seginim adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 75 kg/ha KCl, 750 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik.

2. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Ulu Manna, Pino, Manna, dan Bunga Mas adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl, 500 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Hendri Suyanto yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2014 (www.bps.go.id) diakses tanggal 6 September 2014) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Modul pemupukan padi

sawah spesifik lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta

Hakim, N. M.Y.Nyakpa, A.M.Lubis, S.G.Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Universitas lampung. Lampung.

Nursyamsi,D. D,Setyorini. 2009. Ketersedian P tanah-tanah netral dan alkalin. Jurnal Tanah dan Iklim 30 : 25-36

Santun,R.P.Sitorus,B.Susanto, Haridjaja,O.2011. Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degradasi dan Iklim. 34: 66-83

Setyorini, D. Nurjana. Widowati, L.R, Kasno, A. 2009. Petunjuk penggunaan perangkat uji tanah kering (PUTK). Balai Penelitian Tanah. Bogor.

Page 71: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

95

Suratmini, P. 2009. Kombinasi pemupukan urea dan pupuk organik pada jagung manis di lahan kering. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan. 28 (2) : 83-88.

Tan, K.H, 1998. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Taufik,M. M,Thamrin. 2009. Analisis input-output pemupukan beberapa varietas jagung di lahan kering. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman pangan 28 (2) : 78-82.

Page 72: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

96

Pengaruh Cara Aplikasi dan Dosis Kompos Terhadap Sifat Fisik Tanah Pada Pertanaman Tebu

Effect Of The Way Of Application And Dose Of Compost On Physical Soil Characteristics Of Sugarcane Cultivation

Rahadian Mawardi1*), Yuana Juwita2 dan Puspita Damaiyani 3 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan 3Fakultas Pertanian Univ. Lampung

*)Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62721781776/+62721705273 email: [email protected]

ABSTRACT

Sugar consumption in Indonesia is very high, meanwhile the national

sugar production is not adequate to meet the demand. An attempt to overcome this problem is to increase the domestic production which is done at sugar plantation PT Gunung Madu Plantations. The problem is the destruction of soil structure, erosion and declining soil organic matter to overcome these problems, it is important to improve soil structure and increase soil water availability. The aim of the research was to examine the technique of compost application and dose of compost and its interaction to water availability, volume density and total pore at planting sugar cane in PT GMP Central Lampung. This study was carried out from April to July 2007, the treatment consisted of the way of compost application, and compost dose. Treatment plots were arranged in a strip plot design, consisted of two treatments and three replicates. The data were analized with Contrast Orthogonal test. The results indicated that the way to apply compost did not affect the phisical characteristics of soil. Administration of compost with the higher dose could withstand higher water compared with no provision of compost. Interaction between the way the application of compost and compost dose was highly significant to the density of the soil content and total pore space. Kaandungan din had a tendency to increase soil organic matter.

Keywords: Sugarcane, compost, physical soil characteristics

ABSTRAK

Konsumsi gula di Indonesia sangat tinggi sedangkan produksi gula nasional sampai saat ini belum dapat memenuhi konsumsi. Upaya untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan meningkatkan produksi dalam negeri seperti dilakukan oleh perkebunan gula PT Gunung Madu Plantations. Permasalahan yang dihadapi adalah rusaknya struktur tanah, terjadinya erosi, dan menurunnya bahan organik tanah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu upaya perbaikan struktur tanah dan peningkatan ketersediaan air tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksinya terhadap sifat fisik tanah yaitu air tersedia, kerapatan isi dan ruang pori total pada pertanaman tebu di Terbanggi Besar Gunung Batin Udik Terusan Nunyai Lampung Tengah. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April – Juli

Page 73: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

97

2007, perlakuan terdiri dari cara aplikasi kompos dan dosis kompos. Perlakuan disusun dalam rancangan petak berjalur (strip plot design) terdiri dari dua perlakuan dan tiga ulangan kemudian data dianlisis dengan uji Ortogonal Kontras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara aplikasi kompos tidak mempengaruhi sifat fisik tanah. Pemberian kompos dengan dosis yang semakin besar dapat menahan air lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian kompos. Interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan isi tanah dan ruang pori total. Kandungan bahan organik tanah mengalami kecenderungan meningkat.

Kata Kunci: Tebu, kompos, sifat fisik tanah

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara terbesar pengimpor gula di dunia setelah Rusia. Pada tahun 2006 impor nasional mencapai 1,6 juta ton (Wartaekonomi, 2007). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi impor gula nasional adalah dengan cara peningkatan produksi perkebunan gula sepeti dilakukan oleh Perkebunan Gula (PG), yaitu PT Gunung Madu Plantations (GMP) berlokasi di Terbanggi Besar Gunung Batin Udik Terusan Nunyai Lampung Tengah.

Produksi tebu di lokasi perkebunan ini mengalami kecenderungan penurunan. Pada tahun 1985 produksi mencapai kira-kira 90 TCH (ton cane/ha) dan terus menurun hingga tahun 2005 produksi mencapai sekitar 70 TCH. Walaupun produksi gulanya mengalami peningkatan, tetap sulit untuk ditingkatkan lagi (levelling off), yaitu masih di bawah 8 TSH (ton sugar/ha) (Widyatmoko, 2007). Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah dan iklim di lokasi ini kurang mendukung untuk produksi tinggi. Tanahnya merupakan tanah Ultisol yang didominasi fraksi pasir, merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut dan mempunyai curah hujan tinggi yaitu mencapai 2500-2700 mm/tahun sehingga dapat memicu terjadinya degradasi lahan (Herman, 2007). Degradasi lahan juga dapat dipicu oleh cara budidaya dengan menggunakan alat-alat berat yang sangat intensif selama 30 tahun. Menurut Widyatmoko (2007), masalah sifat tanah yang terjadi di lokasi ini antara lain terjadinya erosi, kemampatan tanah (soil compaction) terutama di sub soil, tanaman makin rentan terhadap kemarau (kekeringan), waterlogged area, dan degradasi sumberdaya air (tendon air). Pemadatan tanah di lapisan bawah (sub soil) dapat mengakibatkan penetrasi akar menjadi terhambat sehingga air maupun unsur hara sulit dimanfaatkan oleh tanaman secara maksimal.

Salah satu upaya peningkatan produksi tebu adalah pembenahan media tanam untuk tumbuh dengan baik, yaitu tanahnya. Tanah merupakan sumber unsur hara bagi tanaman dan juga agar tanaman berdiri dengan kokoh. Perbaikan dapat dilakukan dimulai dari sifat fisik tanahnya. Menurut Utomo (1994), sifat fisik tanah dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah lainnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan masukan dari luar yaitu aplikasi bahan organik. Bahan organik yang tersedia di perkebunan cukup melimpah, baik berupa serasah tanaman tebu maupun limbah dari proses penggilingan. Volume limbah padat yang dihasilkan berupa bagas sebanyak 3600 ton/hari/musim, blotong sebanyak 480 ton/hari/musim, dan abu (ash) sebanyak 600 ton/hari/musim. Untuk

Page 74: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

98

blotong dan abu (ash) dapat diaplikasikan langsung ke lahan, tetapi untuk bagas tidak dapat langsung diaplikasikan dikarenakan C/N rationya mencapai 90.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik tanah dengan cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksinya terhadap air tersedia, kerapatan isi dan ruang pori total pada pertanaman tebu di Terbanggi Besar Gunung Batin Udik Terusan Nunyai Lampung Tengah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan PT Gunung Madu

Plantations (GMP) Terbanggi Besar Gunung Batin Udik Terusan Nunyai Lampung Tengah di blok 85 BU 10 A pada bulan April – Juli 2007. Rancangan yang digunakan dalam penelitan ini adalah rancangan petak berjalur (strip plot design) terdiri dari petak utama adalah aplikasi bahan organik (kompos) yang ditanam di dalam kairan (tempat menanam tebu) (B1) dan aplikasi bahan organik dengan cara disebar(B2), sebagai anak petak yaitu dosis kompos, terdiri dari tanpa kompos (kontrol) (K0), kompos dengan dosis 50 (K1), 100 (K2), dan 150 (K3) ton/ha. Bahan baku kompos berasal dari limbah padat yang dihasilkan dalam proses pengolahan tebu menjadi gula.

Lahan yang digunakan terdiri dari 2 aplikasi kompos. Setiap lahan dibagi menjadi 3 petak sebagai ulangan dan setiap ulangan dibagi lagi menjadi 4 untuk dosis kompos. Antara 2 aplikasi kompos dan ulangan diberi jarak 250 cm, sedangkan untuk setiap perlakuan diberi jarak 50 cm. Petak berukuran 32 x 17 m. Lahan diolah secara mekanis, tahap satu lahan dibajak dengan menggunakan traktor dengan implement jenis piringan tipe Baldan Harrow, tahap kedua lahan dibajak kembali dengan traktor dengan menggunakan implement Mould Board Plough (bajak singgkal). Setelah olah tanah kedua selesai kompos diaplikasikan secara disebar sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Tahap ketiga lahan dibajak kembali dengan traktor berimplement Mould Board Plough. Tahap selanjutnya adalah pembuatan kairan dengan menggunakan ridger mata dua dengan jaraknya 150 cm (tanaman tebu ditanam untuk satu baris). Setelah kairan terbentuk maka kompos diaplikasikan di kairan sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Setelah semua olah tanah selesai tebu ditanam dengan menggunakan varietas RGM 97-10240 pada kedalaman kurang lebih 30 cm. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada saat tanaman tebu berumur 4 bulan. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboraturium PT Gunung Madu Plantations (GMP).

Parameter yang diamati adalah air tersedia dengan menggunakan metode tekanan angin (pressure). Contoh tanah dijenuhi dengan air terlebih dahulu, kemudian dimasukkan contoh tanah ke dalam alat piring tekan (pressure plate apparatus). Penekanan dilakukan selama 48 jam untuk contoh tanah agregat. Untuk mengukur kadar air kapasitas lapang pF 2,5 menggunakan manometer. Jika menggunakan contoh tanah utuh pengukuran dilakukan dari pF yang lebih rendah, sehingga tanah yang telah ditimbang dapat dilanjutkan pengukurannya dengan pF yang lebih tinggi. Pada pF tekanan tinggi (pF 4,2/kadar air titik layu permanent) menggunakan contoh tanah terganggu. Contoh tanah kurang lebih 15 g yang lolos ayakan 2 mm dimasukan ke selang karet (t = 2 cm), kemudian ditetesi dengan air, dimasukan ke dalam ketel, diatur tekanan dan dibiarkan selama 48 jam. Setelah

Page 75: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

99

%100)(

% xWb

WbWaW

xBIW

pFn

pFpFn

selesai ditimbang beratnya, kemudian dioven dan dihitung kadar lengasnya, yaitu menggunakan metode Afandi5 sebagai berikut :

Dalam hal ini :

θpFn = kadar lengas volumetrik pada pF ke n (%) %WpFn = kadar lengas gravimetrik pada pF ke n (%) BI = berat isi Wa = berat contoh tanah basah Wb = berat contoh tanah kering Penetapan kerapatan isi tanah dilakukan dengan menggunakan metode Clod

(Afandi, 2005) dengan perhitungan sebagai berikut : Prinsip : bobot benda yang ditimbng dalam air sama dengan volume benda tersebut. - Mp = Mw/ (1+w) - Volume tanah + parafin = Volume tanah + Volume parafin - Berat parafin = Berat tanah + parafin – Berat tanah = Mc – Mw - Berat jenis parafin sekitar 0,9 g/cm3 - Volume tanah = Volume tanah + lilin – Volume lilin Dimana Volume tanah+parafin adalah berat tanah + parafin di dalam air

Mp Kerapatan Isi Tanah = Vtanah

Keterangan : Mp : massa padatan tanah w : kadar lengas tanah Ruang Pori Total dihitung dengan rumus :

RPT % =

%100

tan

tan1

JenisTanahKerapa

IsiKerapa

Keterangan :

RPT = Ruang Pori Total (%) Kerapatan Isi (g/cm3) Kerapatan Jenis Tanah (2,65 g/cm3) Data air tersedia, kerapatan isi, dan ruang pori total tanah kemudian diuji lanjut menggunakan Ortogonal Kontras. Data dukung pada penelitian ini adalah kandungan bahan organik.

Page 76: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

100

HASIL

Berdasarkan analisis ragam tentang cara aplikasi dan dosis kompos terhadap air tersedia (Tabel 1) diketahui bahwa perlakuan cara aplikasi kompos tidak berpengaruh nyata terhadap air tersedia. Dosis kompos berpengaruh nyata terhadap air tersedia. Interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap air tersedia.

Tabel 1. Analisis ragam cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksi antara kedua faktor terhadap air tersedia SK Db JK KT Fhit F table Petak utam:

5% 1%

Ulangan 2 7,802737 3,901369

PU (A) 1 1,527465 1,527465 0,026143 tn 18,51 98,49

galat (a) 2 116,8554 58,42772

Anak Petak

AP (B) 3 169,8921 56,63071 5,929031 * 4,76 9,78 galat (b) 6 57,30856 9,551427

AxB 3 0,65826 0,21942 0,012904 tn 4,76 9,78 galat © 6 102,021 17,00347

Galat 14 307,57 21,969

..addtv 1 1,113 1,113 0,047233 tn 4,67 9,07 ..sisa 13 306,45 23,573

Total 23 456,065 19,82893 KK a=60,13 KK b=24,31 KK c=32,44

Keterangan : tn = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata pada taraf 5%

Tabel 2. Ringkasan hasil uji orthogonal kontras pengaruh dari kombinasi perlakuan

dari aplikasi kompos terhadap air tersdia

kontras F HIT SELISIH %

BEDA A.E. VS B.C.D.F.G.H. 7.391096* -18.0209 0.57738 A.B.C.D vs E.F.G.H. 0.069528tn -1.51367 0.961081

Keterangan : A = B1K0; B = B1K1; C = B1K2; D = B1K3; E = B2K0; F = B2K1; G = B2K2; H = B2K3; tn = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata pada taraf 5.

Tabel 3. Data air tersedia, kerapatan isi, ruang pori total, dan bahan organik tanah Cara Aplikasi

Dosis Kompos (ton/ha)

Air Tersedia (%v/v)

Kerapatan Isi Tanah (g/cm3)

Ruang Pori Total (%)

% Bahan Organik

Dikairan 0 8,21 1,65 37,69 1,90

50 14,67 1,64 37,96 1,98

100 13,39 1,77 33,31 2,09

Page 77: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

101

Cara Aplikasi

Dosis Kompos (ton/ha)

Air Tersedia (%v/v)

Kerapatan Isi Tanah (g/cm3)

Ruang Pori Total (%)

% Bahan Organik

150 13,57 1,71 35,59 2,31

Disebar 0 8,21 1,75 34,06 1,90

50 15,54 1,93 27,12 1,91

100 13,82 1,71 35,34 2,31

150 14,29 1,61 39,19 2,05

Tabel 4. Analisis ragam cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksi antara kedua faktor terhadap kerapatan isi tanah SK Db JK KT Fhit F table Petak utama:

5% 1%

Ulangan 2 0,001369 0,000684

PU (A) 1 0,020709 0,020709 0,917502 tn 18,51 98,4

9

galat (a) 2 0,045143 0,022571

Anak Petak

AP (B) 3 0,054698 0,018233 1,537085 tn 4,76 9,78 galat (b) 6 0,071171 0,011862

AxB 3 0,135026 0,045009 12,74144 ** 4,76 9,78 galat © 6 0,021 0,003532

Galat 14 0,1149 0,00821

..addtv 1 0,00836 0,00836 1,01971 tn 4,67 9,07 ..sisa 13 0,1066 0,0082

Total 23 0,349 0,015187

KK a=8,73 KK b=6,33 KK c=3,45

Keterangan : tn = tidak berbeda nyata; ** = berbeda nyata pada taraf 1% Tabel 5. Ringkasan hasil uji orthogonal kontras pengaruh dari kombinasi perlakuan dari aplikasi kompos terhadap kerapatan isi tanah

kontras F HIT SELISIH % BEDA

A.E. vs B.C.D.F.G.H. 7.391096tn -18.0209 0.57738 A.B.C.D vs E.F.G.H. 0.069528tn -1.51367 0.961081 D.H VS A.B.C.E.F.G 3.801378tn -0.24983 0.952206 D.H vs B.C.F.G. 5.358883* -0.24983 0.940548

Page 78: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

102

Tabel 6. Analisis ragam cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksi antara kedua faktor terhadap ruang pori total SK Db JK KT Fhit F tabel Petak utam:

5% 1%

Ulangan 2 1,94919375 0,974597

PU (A) 1 29,43735 29,43735 0,915706 tn 18,51 98,49

galat (a) 2 64,2943562 32,14718

Anak Petak

AP (B) 3 77,9487583 25,98292 1,538102 tn 4,76 9,78 galat (b) 6 101,357073 16,89285

AxB 3 192,276292 64,0921 12,71527 ** 4,76 9,78 galat © 6 30,243 5,040563

Galat 14 163,7869 11,6991

..addtv 1 11,927228 11,9272 1,02103 tn 4,67 9,07 ..sisa 13 151,8597 11,6815

Total 23 497,506 21,63071

KK a=16,18 KK b=11,73 KK c=6,41

Keterangan : tn = tidak berbeda nyata; ** = berbeda nyata pada taraf 1% Tabel 7. Ringkasan hasil uji orthogonal kontras pengaruh dari kombinasi perlakuan dari aplikasi kompos terhadap ruang pori total.

KONTRAS F HIT SELISIH % BEDA

A.E. vs B.C.D.F.G.H. 0.488261tn 3.38 1.032421 A.B.C.D vs E.F.G.H. 2.516214tn 6.645 1.065291 D.H VS A.B.C.E.F.G 3.800513tn 9.43 1.091785 D.H vs B.C.F.G. 5.358274* 9.43 1.118415

PEMBAHASAN

Air tersedia. Hasil uji ortogonal kontras menunjukkan bahwa dosis

kompos berpengaruh nyata terhadap air tersedia. Aplikasi dosis kompos meningkatkan air tersedia dibandingkan dengan tanpa kompos (kontrol). Pengaruh pemberian kompos sampai dengan 150 ton/ha meningkatkan kandungan bahan organik (Tabel 3), namun perbedaan perlakuan tidak terlalu besar (0,58), karena belum maksimalnya peranan bahan organik di dalam tanah. Hal ini dapat diatasi dengan waktu pengamatan yang lebih lama. Perbedaan perlakuan yang tidak terlalu besar juga dikarenakan adanya proses evaporasi, karena naungan yang terbentuk masih sedikit akibat umur tanaman yang masih pendek. Korelasi antara air tersedia tanah dan bahan organik memiliki nilai kecil (r2 = 0,39), berarti bahwa bahan organik belum berperan maksimal dalam meningkatan kemampuan tanah untuk menahan air.

Bahan organik dapat meningkatkan jumlah air tersedia tanah. Menurut Stevanson dalam Nugroho (1991), bahan humus dapat memegang air 20 kali lebih besar dari bobot bahan, sehingga meningkatnya jumlah air tersedia disebabkan oleh meningkatnya kadar koloidal organik yang terdapat di dalam tanah. Hal ini

Page 79: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

103

juga dikarenakan sifat bahan aktif dari bahan organik bahwa kompos dari sisa-sisa proses pengolahan tanaman tebu memiliki bahan aktif yang bersifat hidrofilik, yaitu dapat menyerap air. Selain itu, hal ini dikarenakan oleh tekstur tanah yang didominasi pasir. Menurut McRae dan Mchuys dalam Nugroho (1991), meningkatnya air tersedia akibat pemberian bahan organik pada tanah-tanah yang didominasi pasir dikarenakan adanya air tersedia intrinsik yang relatif rendah. Menurut Hudson (1994), meningkatnya bahan organik antara 0,5-3,0% dapat meningkatkan air tersedia mencapai dua kali lipat.

Air tersedia berpengaruh karena adanya bahan organik, sebagaimana diketahui pada tanah yang kandungan liatnya rendah maka bahan organik yang lebih berperan dalam memperbaiki beberapa sifat fisik tanah, seperti agregasi dan ketersediaan air di dalam tanah. Akan tetapi karena bahan organik yang tersedia masih sedikit (Tabel 3) maka pengaruhnya masih belum signifikan terhadap ketersediaan air untuk dimanfaatkan oleh tanaman.

Kerapatan isi tanah. Analisis ragam cara aplikasi dan dosis kompos terhadap kerapatan isi tanah (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan cara aplikasi dan dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan isi tanah, tetapi interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan isi tanah.

Pada perlakuan aplikasi kompos, nilai kerapatan isi berkisar 1,64 -1,77 g/cm3 pada aplikasi kompos di dalam kairan, dan nilai kerapatan isi berkisar 1,61-1,93 g/cm3 pada aplikasi kompos dengan cara disebar (Tabel 3). Keefektifan fungsi bahan organik yang diberikan lebih tinggi pada aplikasi kompos di dalam kairan sehingga merangsang granulasi tanah akibatnya partikel-partikel tanah menjadi tidak berdekatan satu dengan yang lainnya yang mengakibatkan kerapatan isi pada aplikasi kompos di dalam kairan menjadi lebih rendah. Selain itu pada aplikasi kompos dalam kairan lebih sering dilakukan penggemburan dibandingkan dengan aplikasi kompos secara disebar. Riadi (2002), melaporkan bahwa lapisan tanah yang sering digemburkan pada saat pemeliharaan memiliki nilai kerapatan isi yang rendah dibandingkan dengan lapisan tanah yang tidak mengalami penggemburan, sehingga pemadatan tanah pada aplikasi kompos secara disebar menjadi lebih tinggi.

Uji ortogonal kontras menunjukkan bahwa cara aplikasi dan dosis kompos yang paling besar (150 ton/ha) memberi pengaruh nyata terhadap kerapatan isi tanah. Namun perbedaan perlakuan maupun kombinasi perlakuan tidak terlalu besar (0,94). Hal ini disebabkan karena adanya perubahan tekstur yang terjadi di lahan perkebunan PT Gunung Madu Plantations terutama pada kedalaman 0-20 cm. Perubahan tekstur yang terjadi dapat menyebabkan cepat terurainya bahan organik yang diberikan ke dalam tanah, sehingga partikel tanah menjadi mudah pecah apabila terdapat gangguan-gangguan mekanis diatasnya dan menyebabkan kerusakan struktur tanah terutama pemadatan tanah.

Kerapatan isi tanah memiliki korelasi negatif terhadap bahan organik tanah (r2 = -0,19), dimana terjadi penurunan kerapatan isi tanah akibat peningkatan dosis bahan organik. Nilai kerapatan isi relatif besar yaitu rata-rata di atas 1,55-1,65 g/cm3 (Tabel 3), yang artinya bahwa dalam kondisi kering tanah berpasir memiliki volume yang diisi ruang pori lebih rendah. Tanah berpasir memiliki ruang pori total terdiri dari pori-pori besar yang sangat efisien dalam lalu

Page 80: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

104

lintas air maupun udara (Hakim, dkk., 1986). Dengan kondisi ruang pori besar yang dominan, maka tanah tersebut memiliki daya menahan air rendah.

Ruang pori total. Analisis ragam cara aplikasi dan dosis kompos terhadap ruang pori total (Tabel 6) menunujukkan bahwa perlakuan cara aplikasi dan dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap ruang pori total. Dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap ruang pori total, dan pada interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap ruang pori total.

Nilai ruang pori total tanah disajikan pada Tabel 2. Ruang pori total penting artinya dalam penilaian kepadatan tanah atau kesarangan tanah, karena semakin tinggi nilai ruang pori total maka kepadatan tanah semakin menurun. Nilai ruang pori total pada aplikasi kompos di dalam kairan berkisar antara 33,31-37,96% dan pada aplikasi kompos dengan cara disebar nilai ruang pori total berkisar antara 27,12-39,19%.

Nilai ruang pori total berbanding terbalik terhadap kerapatan isi tanah, dimana kombinasi aplikasi kompos di dalam kairan dosis yang paling besar (150 ton/ha) berpengaruh sangat nyata terhadap ruang pori total tanah. Kerusakan struktur menyebabkan tanah menjadi peka terhadap pemadatan. Hal ini menyebabkan berat volume tanah menjadi meningkat, kekuatan tanah meningkat, sebaliknya ruang pori yang diperlukan untuk pertumbuhan akar tanaman berkurang, dan kemampuan tanah menyimpan air menjadi berkurang (Negara, 2007). Menurut Hillel (1980), secara agronomi tanah disebut padat apabila porositas totalnya, terutama porositas terisi udara, sangat rendah sehingga menghalangi aerasi dan menghambat penetrasi akar dan drainase.

Uji ortogonal kontras menunjukkan bahwa cara aplikasi dan dosis kompos yang paling besar (150 ton/ha) memberi pengaruh yang sangat nyata terhadap ruang pori total. Namun perbedaan perlakuan maupun kombinasi perlakuan tidak terlalu besar (1,12). Korelasi antara ruang pori total tanah dan bahan organik sendiri memiliki nilai kecil (r2 = 0,18). Lintasan peralatan budidaya pada waktu pengolahan tanah, pemeliharaan tanah, pemeliharan tanaman, pemanenan, dan pengangkutan dapat memadatkan tanah sampai kedalaman tertentu (Riadi, 2002). Menurut Afandi.,dkk (1996), pori-pori yang dihasilkan dari tanah bajakan umumnya jauh lebih besar dibandingkan akar tanaman. Pemadatan alami dan kompaksi oleh traktor menyusun ulang pori-pori baru sehingga memberikan ruang pori yang lebih rendah. Dekomposisi bahan organik dipercepat oleh pori-pori yang baru.

Kandungan bahan organik di dalam tanah mengalami kecenderungan meningkat dengan peningkatan dosis kompos baik pada aplikasi disebar maupun di kairan (Tabel 2). Peningkatan kandungan bahan organik masih kecil yang diakibatkan pada saat penelitian ini dilakukan waktunya perlu diamati lebih lama.

KESIMPULAN

Cara aplikasi kompos berpengaruh terhadap sifat fisik tanah. Perlakuan

dosis kompos memberikan pengaruh terhadap air tersedia tanah. Interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan isi tanah dan ruang pori total. Kandungan bahan organik tanah mengalami kecendrungan meningkat.

Page 81: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

105

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Koko Widyatmoko

(Manajer Departemen R&D PT Gunung Madu Plantations) yang telah memberi kesempatan dan membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, dan kepada Bapak Suwarto staf laboratorium tanah Universitas Lampung atas bantuannya.

DAFTAR PUSTAKA Industri Gula: mulai terasa manis. 2007. ( www.wartaekonomi.com diakses

tanggal 7 Agustus 2007). Widyatomoko. K. 2007. Kajian Edafologis Kondisi Tanah Gunung Madu

Plantations Pasca 30 Tahun Budidaya Intensif Tanaman Tebu. Seminar Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Herman. 2007. Pengelolaan Tebu Lahan Kering Dan Permasalahan Yang Dihadapi (Pengalaman PT Gunung Madu Plantations). Disampaikan sebagai materi seminar Workshop Master Plan Reserch Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung dalam rangka Pelaksanaan Program Hibah Kompetisi A-2 Bandar lampung 19-20 Juni 2007. Lampung.

Utomo, W. H. 1994. Pengelolaan Sifat Fisik Tanah Syarat Mutlak untuk Sistem Pertanian Berkelanjutan. Majalah Gula Indonesia. XIX (1):9-13.

Afandi. 2005. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Nugroho, S. G. 1991. Pengaruh Cara Penempatan dan Dosis Kompos Terhadap Bobot Isi, Porositas, Air Tersedia, dan Permeabilitas Tanah. Buletin Ilmiah Universitas Lampung. 2(8):81-90.

Hudson, B.D. 1994. Soil organic matter and available water capacity. (http://www.jswconline.org/content/49/2/189.short, diakses 24 Februari 2013).

Riadi, A. A. 2002. Pemadatan Tanah Akibat Operasi Mesin Pada Budidaya Tebu Lahan Kering di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang, Jawa Barat. Skirpsi.

Hakim, N. dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Negara, L.P. 2007. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Air Tersedia Pada Berbagai Kedalaman Tanah Pada Pertanaman Jagung (Zea mays, L.) di tanah inceptisol metro kibang lampung timur. Skripsi, Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.

Hillel, D. 1980. Fundamental of Soil Physic. Academic Press. New York Afandi, Indarto, Sugiatno, dan M. Utomo. 1996. Keragaan Tanaman Tebu

Keprasan I dan Kompaksi Tanah Akibat Penerapan Beberapa Cara Pengolahan Tanah Pada Saat Penyiapan Lahan. Laporan Penelitian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Page 82: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

106

Potensi Mikoriza Dalam Penyerapan Hara P pada Rizosfer Zone di Lahan Suboptimal

Mycorrhizal Potential in Absorption Nutrient Phosphate

at Rhizospheres Zone in Suboptimal Land

Kurniawan Subatra1*) dan Dedeh Hadiyanti1,2

1Mahasiswa Program Magister Ilmu Tanaman

Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya 2BPTP Sumatera Selatan

*)Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +6285377866427 email: [email protected]

ABSTRACT

Mycorrhizae are associations between plant roots with fungi in the root zone (rhizosphere zone) on the plant. The presence of the high solubility of aluminum in an Ultisol key constraints often limit plant growth in the soil. Exploiting symbiosis with VMA (Vesicular-Arbuscular Miccorhizal) can be used as an alternative to overcome the problems in plants experiencing stress Al. External hyphae of VMA were grown expansively to the subsoil layers can help root function in nutrient and water absorption ability of plant adaptation to stress of Al can be improved by AMF inoculation. VMA symbiosis and plant proven to increase nutrient uptake, especially P and resistance to drought and reduce the accumulation of Al element is at issue in the Ultisol. With the VMA symbiosis, the plant is expected to grow better on Ultisol.

Keywords: mycorrhizae, nutrient phosphate, suboptimal land

ABSTRAK

Mikoriza merupakan asosiasi antara akar tanaman dengan fungi di daerah perakaran (rizosfer zone) pada tanaman. Adanya kelarutan aluminium yang tinggi pada tanah Ultisol merupakan kendala utama yang sering membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah tersebut. Pemanfaatan simbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi masalah pada tanaman yang mengalami cekaman Al. Aktivitas hifa eksternal dari FMA yang tumbuh ekspansif sampai ke lapisan subsoil dapat membantu fungsi akar dalam penyerapan hara dan air. Kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dapat ditingkatkan dengan inokulasi FMA. Simbiosis FMA dan tanaman terbukti mampu meningkatkan serapan hara, terutama P dan ketahanan terhadap kekeringan serta mereduksi akumulasi unsur Al yang menjadi masalah pada tanah Ultisol. Dengan adanya simbiosis FMA, tanaman diharapkan tumbuh lebih baik pada tanah Ultisol.

Kata kunci: hara fosfor, lahan suboptimal, mikoriza,

Page 83: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

107

PENDAHULUAN

Lahan kering yang tersebar luas di luar Pulau Jawa mencapai 132.88 juta

hektar cukup potensial dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanian. Namun, 33.58% dari luas lahan tersebut atau seluas 44.62 juta ha merupakan jenis tanah Ultisol yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Maluku (Hidayat dan Mulyani, 2002). Adanya kelarutan aluminium yang tinggi pada tanah Ultisol merupakan kendala utama yang sering membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah tersebut (Marschner, 1995). Pada tanah Ultisol dengan pH kurang dari 5.0, oksida-oksida aluminium akan memfiksasi ion-ion fosfat (P) sehingga menurunkan ketersediaan hara P (Baligar et al., 1997). Selain itu, kelarutan Al pada pH kurang dari 4.5 banyak didominasi bentuk Al3+ yang dapat menghambat pertumbuhan akar sehingga menurunkan kemampuan akar dalam menyerap hara mineral dan air (Samuel et al., 1997). Mikoriza dikenal dengan jamur tanah karena habitatnya berada di dalam tanah dan berada di area perakaran tanaman (rizosfer). Selain disebut sebagai jamur tanah juga biasa dikatakan sebagai jamur akar. Keistimewaan dari jamur ini adalah kemampuannya dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara terutama unsur hara Phosphates (Syib’li, 2008). Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antar cendawan dengan akar tanaman. Baik cendawan maupun tanaman sama-sama memperoleh keuntungan dari asosiasi ini. infeksi ini antara lain berupa pengambilan unsur hara dan adaptasi tanaman yang lebih baik. Dilain pihak, cendawan pun dapat memenuhi keperluan hidupnya (karbohidrat dan keperluan tumbuh lainnya) dari tanaman inang (Anas, 1997). Cendawan Mikoriza Arbuskular merupakan tipe asosiasi mikoriza yang tersebar sangat luas dan ada pada sebagian besar ekosistem yang menghubungkan antara tanaman dengan rizosfer. Simbiosis terjadi dalam akar tanaman dimana cendawan mengkolonisasi apoplast dan sel korteks untuk memperoleh karbon dari hasil fotosintesis dari tanaman (Delvian, 2006). CMA termasuk fungi divisi Zygomicetes, famili Endogonaceae yang terdiri dari Glomus, Entrophospora, Acaulospora, Archaeospora, Paraglomus, Gigaspora dan Scutellospora. Hifa memasuki sel kortek akar, sedangkan hifa yang lain menpenetrasi tanah, membentuk chlamydospores (Morton, 2003). Marin (2006) mengemukakan bahwa lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan CMA serta terdapat pada sebagian besar ekosistem alam dan pertanian serta memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan, kesehatan dan produktivitas tanaman.

KARAKTERISTIK FUNGI MIKORIZA

Istilah mikoriza diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa mutualisme antara jamur dan akar tumbuhan. Jamur memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa) dari tumbuhan. Sebaliknya, jamur menyalurkan air dan hara tanah untuk tumbuhan. Mikoriza merupakan jamur yang hidup secara bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi. Walau

Page 84: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

108

ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu) jamur. Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur ini memberikan manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat jamur tersebut tumbuh dan berkembang biak. Jamur mikoriza berperan untuk meningkatkan ketahanan hidup bibit terhadap penyakit dan meningkatkan pertumbuhan (Hesti L dan Tata, 2009)

Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp dan Gigaspora sp.

Berdasarkan struktur dan cara cendawan menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokkam ke dalam tiga tipe yaitu Ektomikoriza, Ektendomikoriza, dan Endomikoriza. Ektomikoriza mempunyai sifat antara lain akar yang kena infeksi membesar, bercabang, rambut-rambut akar tidak ada, hifa menjorok ke luar dan berfungsi sebagi alat yang efektif dalam menyerap unsur hara dan air, hifa tidak masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding-dinding sel jaringan korteks membentuk struktur seperrti pada jaringan Hartiq. Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan Hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteknya. Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga pengetahuan tentang mikoriza tipe ini sangat terbatas. Endomikoriza mempunyai sifat-sifat antar lain akar yang kena infeksi tidak membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut Vasiculae (vesikel) dan sistem percabangan hifa yang dichotomous disebut arbuscules (arbuskul) (Brundrett, 2004).

Hampir sebagian besar jenis tumbuhan berasosiasi dengan jamur tipe AM (Arbuskul Mikoriza), mulai dari paku-pakuan, jenis rumput-rumputan, padi, hingga pohon rambutan, mangga, karet, kelapa sawit, dll. Sedangkan beberapa keluarga (family) pohon tingkat tinggi yang biasa dijumpai pada tahap suksesi akhir bersimbiosa dengan jamur EM (Ekto Mikoriza), misalnya jenis-jenis meranti, kruing, kamper (jenis-jenis Dipterocarapaceae), pasang, mempening (jenis-jenis Fagaceae), pinus, beberapa jenis Myrtaceae (jambu-jambuan) dan beberapa jenis legum.

Suatu simbiosis terjadi apabila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora didalam tanah. Hifa yang tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk arbuskul, vesikel intraseluler, hifa internal diantara sel-sel korteks dan hifa ekternal. Penetrasi hifa dan perkembangnnya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensissi dan proses pertumbuhan. Hifa berkembang tanpa merusak sel (Anas, 1998).

Hampir semua tanaman pertanian akarnya terinfeksi cendawan mikoriza. Gramineae dan Leguminosa umumnya bermikoriza. Jagung merupakan contoh tanaman yang terinfeksi hebat oleh mikoriza. Tanaman pertanian yang telah dilaporkan terinfeksi mikoriza vesikular-arbuskular adalah kedelai, barley, bawang, kacang tunggak, nenas, padi gogo, pepaya, selada, singkong dan sorgum.

Page 85: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

109

Tanaman perkebunan yang telah dilaporkan akarnya terinfeksi mikoriza adalah tebu, teh, tembakau, palem, kopi, karet, kapas, jeruk, kakao, apel dan anggur (Rahmawati, 2003).

Cendawan ini membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika berassosiasi dengan tanaman inang. Sampai saat ini berbagai usaha telah dilakukan untuk menumbuhkan cendawaan ini dalam media buatan, akan tetapi belum berhasil. Faktor ini merupakan suatu kendala yang utama sampai saat ini yang menyebabkan CMA belum dapat dipoduksi secara komersil dengan menggunakan media buatan, walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat mengembirakan. Spora cendawan ini sangat bervariasi dari sekitar 100 mm sampai 600 mm oleh karena ukurannya yang cukup besar inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari dalam tanah dengan menyaringnya (Pattimahu, 2004).

FUNGI MIKORIZA DALAM BIDANG PERTANIAN

Tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa

bermikoriza. Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Selain itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Anas, 1997).

Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan adanya simbiosis ini adalah 1) miselium fungi meningkatkan area permukaan akuisisi hara tanah oleh tanaman, sehingga meningkatkan penyerapan P, 2) meningkatkan toleransi terhadap kontaminasi logam, kekeringan, serta patogen akar,3) memberikan akses bagi tanaman untuk dapat memanfaatkan hara yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Gentili & Jumpponen, 2006).

Selanjutnya Sagin Junior dan Da Silva (2006) mengungkapkan bahwa adanya mikoriza berpengaruh terhadap: 1) adanya peningkatan absorpsi hara, sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai akar lebih cepat,2) meningkatkan toleransi terhadap erosi, pemadatan, keasaman, salinitas, 3) melindungi dari herbisida, serta 4) memperbaiki agregasi partikel tanah.

Cumming dan Ning (2003) mengemukakan bahwa simbiosis CMA berperan penting dalam resistansi tanaman terhadap Al. Pengaruh ini terutama terlihat pada peningkatan serapan hara yang diperlukan tanaman (P, Cu, dan Zn). Selain itu, CMA mereduksi akumulasi elemen lain seperti Al, Fe, dan Mn yang menjadi masalah pada tanah masam. Penelitian oleh Lee dan George (2001) menunjukkan bahwa hara P, Zn, dan Cu diserap dan ditransportasikan ke tanaman inang oleh hifa CMA dan sebaliknya unsur-unsur Cd dan Ni tidak ditransportasikan oleh hifa ke tanaman inang. Hal ini menunjukan bahwa kolonisasi CMA dapat melindungi tanaman dari pengaruh toksik unsur Cd dan Ni tersebut.

Pada kedelei, infeksi CMA menstimulasi penyerapan Zn. Dengan adanya CMA, konsentrasi Zn pada daun lebih tinggi. Konsentrasi Cu lebih tinggi pada tanaman dengan CMA dibandingkan dengan tanaman tanpa CMA pada tahap awal pertumbuhan, tetapi menurun pada saat berbunga dan setelah itu meningkat lagi (Raman dan Mahadevan, 2006). Hal ini sejalan dengan Pacovsky et al. (1986)

Page 86: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

110

yang mengemukakan bahwa adanya penurunan penyerapan Mn dan Fe sedangkan P, Zn dan Cu meningkat.

Perbaikan pertumbuhan tanaman karena mikoriza bergantung pada jumlah fosfor yang tersedia di dalam tanah dan jenis tanamannya. Pengaruh yang mencolok dari mikoriza sering terjadi pada tanah yang kekurangan fosfor. Efisiensi pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza. Hasil penelitian Mosse (1981) menunjukkan bahwa tanpa pemupukan TSP produksi singkong pada tanaman yang tidak bermikoriza kurang dari 2 g, sedangkan ditambahkan TSP pada takaran setara dengan 400 kg P/ha, masih belum ada peningkatan hasil singkong pada perlakuan tanpa mikoriza. Hasil baru meningkat bila 800 kg P/ha ditambahkan. Pada tanaman yang diinfeksi mikoriza, penambahan TSP setara dengan 200 kg P/ha saja telah cukup meningkatkan hasil hampir 5 g, penambahan pupuk selanjutnya tidak begitu nyata meningkatkan hasil.

PERANAN MIKORIZA PADA PERBAIKAN LAHAN KERING MASAM

Biasanya lahan kering seperti Ultisol dan Latosol didominasi padang

alang-alang yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau besar lainnya. Lahan alang-alang pada umumnya adalah tanah mineral masam, miskin hara dan bahan organik, kejenuhan Al tinggi. Disamping itu padang alang-alang juga memiliki sifat fisik yang kurang baik sehingga kurang menguntungkan kalau diusahakan untuk lahan pertanian. Alang-alang dikenal sebagai tanaman yang sangat toleran terhadap kondisi yang sangat ekstrim. Diketahui bahwa alang-alang berasosiasi dengan berbagai cendawan mikoriza arbuscular seperti Glomus sp., Acaulospora dan Gigaspora (Widada dan Kabirun ,1997).

Kendala pokok pembudidayaan lahan kering ialah keterbatasan air, baik itu curah hujan maupun air aliran permukaan. Notohadinagoro (1997) mengatakan bahwa tingkat kekeringan pada lahan kering sampai batas tertentu dipengaruhi oleh daya tanah menyimpan air. Tingkat kekeringan berkurang atau lamanya waktu tanpa kekurangan air (water stress) bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air besar. Sebaliknya tingkat kekeringan meningkat, atau lamanya waktu dengan kekurangan air bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air kecil. Lama waktu tanpa atau dengan sedikit kekurangan air menentukan masa musim pertumbuhan tanaman, berarti lama waktu pertanaman dapat dibudidayakan secara tadah hujan.

Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Killham, 1994). Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K dan S. sehingga serapan unsur tersebut juga makin meningkat. Disamping serapan hara melalui aliran masa, serapan P yang tinggi juga disebabkan karena hifa cendawan juga mengeluarkan enzim phosphatase yang mampu melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga tersedia bagi tanaman.

Page 87: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

111

Inokulasi mikoriza yang mempunyai hifa akan membantu proses penyerapan air yang terikat cukup kuat pada pori mikro tanah. Sehingga panjang musim tanam tanaman pada lahan kering diharapkan dapat terjadi sepanjang tahun. Sejumlah percobaan telah membuktikan hubungan saling menguntungkan, yaitu adanya cendawan mikoriza sangat meningkatkan efisiensi penyerapan mineral dari tanah. Cendawan MVA mempunyai hubungan mutualistik dengan tanaman inang, dengan jalan memobilisasi fosfor dan hara mineral lain dalam tanah, kemudian menukarkan hara ini dengan karbon inang dalam bentuk fotosintat.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus) (Castillo dan Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa mikoriza yang ditandai dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi yang lebih besar, meningkatnya tekanan osmotik, terhidar dari plasmolisis, meningkatnya kandungan pati dan kandungan proline (total dan daun) yang lebih rendah selama stress air (Tabel 1)

Tabel 1. Potensial air, net fotosintesis dan kadar hara pada tanaman H. almeriense yang dinokulasi dengan T. claveryi dibawah kondisi normal dan stres air.

Tanaman Perlakuan Potensial air (Mpa)

Net Fotosintesis*

Kadar hara tanaman (%) N P K Na

Cukup Air Kontrol - 1,22 c 8,51 b 1,03 a 0,13 a 0,67 a 0,07 a T. claveryi - 1, 04 d 13,1 c 1,09 a 0,14 a 0,83 b 0,04 a Stres Air Kontrol - 1,94 a 4,79 a 0,99 a 0,15 a 0,71 a 0,05 a

T. claveryi - 1,44 b 9,01 b 1,32 b 0,18 b 0,92 b 0,06 a Sumber : Morte et al, 2000

Kemasaman dan Al-dd tinggi bukan merupakan faktor pembatas bagi cendawan mikoriza tersebut, tapi merupakan masalah besar bagi tanaman/tumbuhan. Dengan demikian cendawan mikoriza ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan. Kabirun dan Widada (1994) menunjukkan bahwa inokulasi FMA mampu meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan hasil kedelai pada tanah Podsolik dan Latosol. Pada tanah Podsolik serapan hara meningkat dari 0,18 mgP/tan menjadi 2,15 mg P/tan., sedangkan hasil kedelai meningkat dari 0,02 g biji/tan. menjadi 5,13 g biji /tan. Pada tanah Latosol serapan hara meningkat dari 0,13 mg P/tan. menjadi 2,66 mg P/tan, dan hasil kedelai meningkat dari 2,84 g biji/tan menjadi 5,98 g biji/tan. Penelitian pemupukan tanaman padi menggunakan perunut 32P pada Ultisols menunjukkan bahwa serapan hara total maupun yang berasal dari pupuk meningkat nyata pada tanaman yang diinokulasikan dengan FMA (Ali et al,1997).

Tanaman yang tercekam Al akan mengalami kerusakan ujung akar sehingga pemanjangan akar terhambat, akar terlihat pendek dan gemuk (Watanabe & Okada, 2005; Bakhtiar et al., 2007). Kerusakan akar karena cekaman Al menyebabkan tanaman mengalami kekahatan hara dan cekaman kekeringan (Marschner, 1995) sehingga pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah Ultisol. Cabai yang ditanam pada tanah Ultisol dengan

Page 88: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

112

kejenuhan Al 60.85% dapat mengalami penurunan hasil hingga 53.61% (Purnomo et al., 2007).

Pemanfaatan simbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat dijadikan alternatif untuk cekaman Al. Adanya hifa eksternal dari FMA yang tumbuh ekspansif sampai ke lapisan subsoil dapat membantu fungsi akar dalam penyerapan hara dan air (Cruz et al., 2004). Kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dapat ditingkatkan dengan inokulasi FMA. Simbiosis FMA dan tanaman terbukti mampu meningkatkan serapan hara, terutama P (Widiastuti et al., 2003) dan ketahanan terhadap kekeringan (Hanum, 2004) serta mereduksi akumulasi unsur Al yang menjadi masalah pada tanah Ultisol (Cumming dan Ning, 2003). Dengan adanya simbiosis FMA, tanaman diharapkan tumbuh lebih baik pada tanah Ultisol.

KESIMPULAN

Simbiosis FMA dan tanaman terbukti mampu meningkatkan serapan hara, terutama fosfor dan ketahanan terhadap kekeringan, peningkatan penyerapan unsur hara P serta mereduksi akumulasi unsur Al yang menjadi masalah pada tanah Ultisol. Dengan adanya simbiosis FMA, tanaman diharapkan tumbuh lebih baik pada tanah Ultisol.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan pada Bapak Dr. Ir. Adipati Napoleon, MP, dan Rekan-rekan BPTP Sumatera Selatan yang telah memberikan dukungannya berupa saran dan kritikan dalam penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anas, I. 1997. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB.

Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB.

Ali, G.M., E.F. Husin, N. Hakim dan Kusli, 1997. Pemberian mikoriza vesikular asbuskular untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat tanaman padi gogo pada tanah Ultisols dengan perunut 32P. p. 597-605 dalam Subagyo et al (Eds). Prosiding Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12-15 Desmber 1995.

Azcon, R. and F. El-Atrash, 1997. Influence of arbuscular mycorrhizae and phosphorus fertilization on growth, nodulation an N2 fixation (15N) in Medicago sativa at four salinity level. Biol. Fertil. Soils 24 : 81-86.

Bakhtiar, B.S. Purwoko, Trikoesoemaningtyas, M.A. Chozin, I. Dewi, M. Amir. 2007. Penapisan galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera untuk toleransi terhadap cekaman aluminium. Bul Agron. 35(1):8-14.

Brundrett, M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. Biol. Rev. 79:473–495.

Page 89: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

113

Cruz, C., J.J. Green, C.A. Watson, F. Wilson, M.A. Martin-Lucao. 2004. Functional aspects of root architecture and mycorrhizal inoculation with respect to nutrient uptake capacity. Mycorrhiza 14: 177-184.

Cumming, J.R., J. Ning. 2003. Arbuscular mycorrhizal fungi enhanced aluminum resistance of broomsedge (Andropogon virginicus, L.). J. Exp Bot. 54: 1447-1459.

Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd Ed. Academic Press. San Diego. 565 p.

Killham, K, 1994. Soil ecology. Cambridge University Press. Kim, K.Y., D. Jordan, and McDonald, 1998. Effect of phosphate-solubilizing

bacteria and vesicular-arbuscular mycorrhizae on tomato growth and soil microbial activity. Biol. Fertil. Soils 26 : 79-87.

Mosse, S. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorizarescarh for tropical agriculture. Ress. Bull Manjunath, A., D. J. Bagrayad. 1984. Effect of funicides on mycorrhizal colonization and growht of anion. Plant and Soil 78: 147-150.

Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember.

Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Purnomo, D.W., B.S. Purwoko, S. Yahya, S. Sujiprihati, I. Mansur. 2007. Evaluasi pertumbuhan dan hasil beberapa genotipe cabai (Capsicum annuum L.) untuk toleransi terhadap aluminium. Bul. Agron. 35(3): 183-190.

Rahmawaty. 2003. Restorasi lahan bekas tambang berdasarkan kaidah ekologi. http ://www.library.usu.ae.id.download/tp/htm-rahmawaty s.pdf. 24 Januari 2006.

Singh, S., and K.K. Kapoor, 1999. Inoculation with phosphate-solubilizing microorganisms and a vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus improves dry matter yield and nutrient uptake by wheat grown in a sandy soil. Biol. Fertil. Soils 28 : 139-144.

Watanabe, T., K. Okada. 2005. Interactive effects of Al, Ca and other cations on root elongation of rice cultivars under low pH. Ann. Bot. 95:379-385.

Widada, J, dan S. Kabirun, 1997. Peranan mikoriza vesikular arbuscular dalam pengelolaan tanah mineral masam. p. 589-595 dalam Subagyo et al (Eds). Prosiding Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12-15 Desmber 1995.

Widodo, A. Romeida, dan Marlin. 2006. Unsur hara tanaman. Bahan Ajar Nutrisi Tanaman. Jurusan Budidaya Pertanan Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Widiastuti, H, E. Guhardja, N. Sukarno, L.K. Darusman, D.H. Goenadi, S.E. Smith. 2003. Arsitektur akar bibit kelapa sawit yang diinokulasi beberapa cendawan mikoriza arbuskula. Menara Perkebunan 71(1): 28-43.

Page 90: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

114

Aspek Budidaya Lahan dalam Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung Ketahanan Pangan Nasional

(Studi Kasus: Danda Besar, Kab. Barito Kuala)

Aspects of Aquaculture Development Land Agricultural Land in Tidal Swamp National Food Security Support (Case Study: Large Danda, Kab. Barito Kuala)

Supriyo, A1 dan NP. Sri Ratmini2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah 2Balai Pengkajian teknologi Pertanian (BPTP) Sumsel

Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Great Danda unit is tidal marsh area that has been reclaimed since 1969 with 2,200 hectares of reclaimed network developed for food crops, especially rice plants. Generally in the form of paddy land use. Land productivity in the reclamation area of the still low Danda with rice yield levels between 1.5 to 2.25 t / ha. Field survey research conducted in July - Agutus 2011. The method using the "participatory rural appraisal" (PRA) with village officials interviewed, extension workers, farmers, community leaders, institutional support. Besides using secondary data obtained from the "desk study". Then the data were analyzed by using analysis "Weakness Opportunity stregth and Threart" (SWOT), to establish development scenarios tidal wetlands. The results showed that the aspect of land cultivation in the development of tidal wetlands consist of the problem (a) land management (land arrangement paddy systems ranging from upstream to downstream areas, low soil fertility as sour pH <4, the land of immature) (b) setting water system (macro and micro as tertiary channel conditions unfavorable, yet made worm channels and channel quarter), (c) the participation of farmers (labor and limited skills), and (d) external support (KUD not function as a provider of production and marketing, extension number of the extension services is limited to only 1 PPLs serve 659 farmers and covering an area of 1,546 ha). Keywords: farming, food security, and tidal swamps

ABSTRAK

Unit Danda Besar merupakan areal rawa pasang surut yang telah direklamasi sejak Tahun 1969 dengan jaringan reklamasi seluas 2.200 hektar yang dikembangkan untuk pertanian pangan khususnya tanaman padi. Penggunaan lahan umumnya berupa persawahan. Produktivitas lahan di daerah reklamasi Danda Besar masih rendah dengan tingkat hasil padi antara 1,5 sampai 2,25 t/ha. Penelitian survai lapangan dilaksanakan pada bulan Juli – Agutus 2011. Metode penelitian menggunakan metode “partisipatory rural appraisal” (PRA) dengan mewawancari aparat desa, tenaga penyuluh, kelompok tani, tokoh masyarakat, kelembagaan penunjang. Disamping menggunakan data sekunder yang diperoleh dari ”desk study ”. Kemudian data di analisis dengan

Page 91: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

115

menggunakan analisis “Stregth Weakness Opportunity dan Threart” (SWOT), untuk menetapkan skenario pengembangan lahan rawa pasang surut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek budidaya lahan dalam pengembangan lahan rawa pasang surut terdiri atas masalah (a) pengelolaan lahan (penataan lahan sistem sawah mulai daerah dari hulu sampai hilir, kesuburan tanah rendah seperti pH masam < 4, tanah belum matang) (b) pengaturan tata air (makro dan mikro seperti kondisi saluran tertier kurang baik, belum dibuat saluran cacing dan saluran kuarter), (c) partisipasi petani (tenaga kerja dan ketrampilan terbatas), serta (d) dukungan eksternal (KUD belum berfungsi sebagai penyedia sarana produksi dan pemasaran hasil, lembaga penyuluhan jumlah penyuluh terbatas hanya 1 tenaga PPL melayani 659 petani dan mengcover lahan seluas 1.546 ha). Katakunci: budidaya, ketahanan pangan, dan rawa pasang surut

PENDAHULUAN

Luas lahan rawa di Indonesia ± 33.316.770 Ha, dari 9 juta Ha diantaranya potensial untuk dikembangkan menjadi lahan budidaya pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan pertambakan. Selebihnya diperuntukkan untuk konservasi air, tumbuhan dan hewan rawa akan memiliki peran penting dan strategis bagi pengembangan pertanian yang sekaligus mampu mendukung ketahanan pangan nasional terutama bila dikaitkan dengan perkembangan penduduk dan berkurangnya lahan subur untuk berbagai penggunaan non pertanian. Setelah selama 25 tahun pengembangan lahan rawa pasang surut, 89.036 hektar lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan telah direklamasi untuk lahan pertanian dengan padi sebagai komoditas utama (Dinas Kimpraswil Kalsel, 2006). Produksi padi yang berasal dari sawah pasang surut mencapai 38% dari total produksi padi di Kalimantan Selatan (Diperta Kalsel, 2006). Di Kalimantan Selatan terdapat lahan rawa pasang surut seluas 172.117 Ha tersebar di Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tapin dan Tanah Laut, sampai saat ini sudah dimanfaatkan seluas 150.335 Ha ( 81 % ). Jaringan reklamasi rawa Danda Besar merupakan salah satu jaringan reklamasi rawa pasang surut di wilayah Kabupaten Barito Kuala yang kondisi hidrologisnya dipengaruhi oleh fluktuasi pasang surut Sungai Barito yang dimulai sejak Tahun 1969 melalui program transmigrasi. Jaringan ini memiliki lahan potensial kurang lebih seluas 2.200 ha dan dikembangkan untuk lahan pertanian. Secara umum produktivitas lahan di daerah reklamasi Danda Besar masih rendah. Musim tanam pertama untuk padi rata-rata hanya menghasilkan 2,0 ton per ha. Rendahnya produksi padi umumnya disebabkan oleh masalah kondisi fisik lahan yang meliputi status air dan kesuburan tanah. Mengingat akan besarnya potensi daerah rawa dan sementara ini masih amat kecil yang telah dikelola dan dikembangkan sehingga terbuka luas peluang untuk pemanfaatan lebih lanjut. Karena daerah rawa mempunyai keadaan hidro-topografi yang relatif bervariasi secara fisik, maka diperlukan pengembangan informasi dan berkelanjutan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan studi aspek budidaya lahan pasang surut di Danda Besar sebagai suatu pendekatan dari pengelolaan lahan yang berbasis tanaman padi.

Page 92: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

116

BAHAN DAN METODE

Kajian dilaksanakan di Unit Danda Besar, Desa Dandajaya , Kecamatan . Rantau Badauh, Kabupaten. Barito Kuala, Kalimantan Selatan tahun 2008. Metode penelitian menggunakan metode partisipatory rapid appraisal (PRA) dengan mewawancari aparat desa, tenaga penyuluh, kelompok tani, tokoh masyarakat, kelembagaan penunjang (koperasi unit desa, kelembagaan penyuluhan, pengamat air dsb). Disamping menggunakan data sekunder yang diperoleh dari ”desk study ”. Kemudian data di analisis dengan menggunakan analisis Stregth Weakness Opportunity dan Threart (SWOT)”, untuk menetapkan skenario pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut. Kondisi aspek sosial, proses dan hasil budidaya yang dinamis dengan kondisi lahan begitu terbatas merupakan permasalahan utama yang harus dihadapi oleh Masyarakat dibantu unsur-unsur terkait lainnya agar tujuan kemantapan pangan dapat dicapai dengan baik. Kemudian dirumuskan kuadran SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) yang merupakan potensi dan persoalan melalui aspek internal dan eksternal diharapkan strategi pengembangannya dapat meningkatkan pembudidayaan di daerah rawa dengan mengatasi persoalan dan meningkatkan progress sebagai langkah antisipatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Daerah Studi Gambaran lokasi studi yang dilaksanakan adalah sebagai berikut : a. Unit Rawa : Danda Besar b. Letak Geografis : 03° 06′16′′ - 03° 09′ 01′′ LS dan 114° 35′ 58′′ - 114° 39′ c. Secara wilayah : Desa Dandajaya , Kecamatan . Rantau Badauh,

Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan Untuk lebih jelasnya lokasi studi disajikan pada Gambar 1. Sementara itu

pada Gambar 2. dapat dilihat skema jaringan tata air Unit Danda Besar yang mempunyai saluran primer, saluran sekunder dan 54 (lima puluh empat) saluran Tersier yang terbagi atas 27 buah saluran Tersier Kiri dan 27 buah saluran Tersier Kanan serta sebuah kolam pasang yang sudah tidak berfungsi

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Page 93: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

117

Gambar 2. Jaringan tata air unit Danda Besar Gambar 3. Peta topografi Unit Danda Besar, Kab. Barito Kuala (Triadi, B, 2006) Berdasarkan analisis peta hidrotopografi, daerah Danda Besar terdiri atas tiga kelas hidrotopografi yaitu areal kelas B dan C relatif sama yaitu 820,78 ha dan 815,17 ha sedangkan kelas A hanya seluas 800,20 ha (Tabel 1 dan Gambar 3). Kondisi aktual di lapangan sebagian besar masih digunakan untuk pertanian tanaman pangan khususnya padi, sebagian kecil yang digunakan untuk tanaman tahunan terutama pada bagian pekarangan.

Page 94: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

118

Tabel 1. Luas dan Penyebaran lahan kelas hidrotopografi

No. Kelas

Hidrotopografi lokasi penyebaran

Luas (Ha) (%)

1. A di bagian dalam dan luar Tka serta di bagian tengah Tki

800,20 32,85

2. B di bagian tengah Tka sebelah timur & di bagian luar Tki

820,78 33,69

3. C di bagian dalam dan luar Tka Seb. timur serta bagian dalam Tki

815,17 33,46

Total 2436,15 100,00 Sumber : Analisis Peta Hidro-topografi

Penggunaan lahan di desa Danda Jaya sebagian besar berupa lahan sawah yang terdiri atas sawah pasang surut seluas 900 ha dan sawah tadah hujan (tidak terpengaruh luapan air pasang) seluas 450 ha, sedangkan areal pemukiman seluas 165 ha dan sisanya berupa fasilitas umum sehingga total luas lahan di Desa Danda Jaya sekitar 1546,8 ha (Tabel 2). Tabel 2. Penggunaan lahan di Desa Danda Jaya, Kec. Rantau Badauh, Kabupaten

Barito Kuala, propinsi Kalimantan Selatan 2008 No Penggunaan lahan Areal (ha) 1. Sawah pasang surut 900,0 2. Sawah tadah hujan 450,0 3. Pemukiman umum 165,5 4. Perkantoran 5,0 5. Sekolahan 10,0 6. Pertokoan 2,0 7. Pasar 1,0 8. Tempat ibadah 5,5 9. Makam 3,0 10. Jalan 4,8 Total 1546,8

Sumber : Monografi Desa Danda Jaya, 2008 Berdasarkan sumber matapencaharian penduduk di Desa Danda Jaya

sesuai dengan kondisi lapangan bermacam-macam namun yang dominan adalah petani, peternak, jasa. Mata pencaharian yang dominan adalah petani (pemilik) sebesar 650 KK, 75 KK petani penggarap dan 50 KK buruh petani (Tabel 3) menunjukkan bahwa mayoritas sumber mata pencaharian utama penduduk adalah petani terutama petani tanaman pangan (padi), adapun adanya petani penggarap diduga karena adanya pecahan keluarga akibat pemukiman transmigrasi daerah Danda Jaya telah berjalan lebih kurang 26 tahun. Sedangkan untuk profesi penjual jasa yang dominan adalah jasa pertukangan terutama tukang kayu 75 jiwa dan tukang batu 50 jiwa, untuk jasa angkutan yang tadinya berupa angkuta sungai, dengan adanya perbaikan kondisi ekonomi dan adanya jalan darat jasa angkutan darat berupa sepeda motor telah meningkat yaitu 125 buah dan mobil sebanyak 10 buah (Tabel 3).

Page 95: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

119

Tabel 3. Sumber Mata pencaharian penduduk di Desa Danda Jaya, Kec. Rantau Badauh, Kab. Barito Kuala, propinsi Kalimantan Selatan 2008

No Jenis Mata pencaharian Jumlah 1. Petani (pemilik) 650 Petani (penggarap) 75 Buruh tani 50 2. Peternak sapi 10 Peternak kambing 16 Peternak ayam 300 3. PNS - Guru 58 - Bidan 1 - Mantri kesehatan 1 - Pamong 5 4. Jasa Keterampilan - Tukang kayu 50 - Tukang Batu 25 - Penjahit 4 - Tukang cukur 1 5 Jasa angkutan - Klotok 2 - Spd motor 125 - Mobil 10 6 Lembaga keuangan desa - Bank desa 1 - Bank Perkreditan Rakyat 1

Sumber : Monografi Desa Danda Jaya, 2008

Penduduk di Desa Danda Jaya berdasarkan pendidikan yang dominan adalah tamat SD yaitu 1213 jiwa (47 %) dari total penduduk desa, sedangkan yang berpendidikan SLA sebesar 220 jiwa (8,5%) dari total penduduk, sedangkan yang tamat D1-D3 hanya 12 jiwa (0,4%) (Tabel 4). Hal ini berimplikasi pada tingkat implementasi teknologi pertanian di lapang, karena tingkat pendidikan mempengaruhi adopsi teknologi. Namun berdasarkan jumlah tenaga kerja penduduk desa Danda Jaya yang usia produktif sebesar 1.704 jiwa setara 66 % dari total penduduk desa 2.587 jiwa, sedangkan yang berpendidikan SLA sebesar 220 jiwa (8,5 %) dari total penduduk (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja di daerah Danda Jaya masih cukup potensial karena mata pencaharian utama adalah dibidang pertanian., sedangkan usia non produktif hanya 153 jiwa (6 %) (Tabel 4). Tabel 4. Penduduk di Desa Danda Jaya, Kec. Rantau Badauh, Kabupaten Barito

Kuala, berdasarkan tingkat pendidikan dan usia kerja Tahun 2008 No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) 1. Buta aksara 26,0 2. Tak Tamat SD 674,0 3. Tamat SD 1213,0 4. Tamat SLP 419,0 5. Tamat SLA 220,0 5. Tamat D1 – D3 12,0 6. Tamat S1 8,0

Page 96: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

120

Tingkat usia penduduk 1. Balita 36,0 2. Usia sekolah 694,0 3. Usia produktif 1.704,0 4. Usia non produktif 153,0 5. Jumlah KK 659,0 6 Jumlah penduduk 2.587,0

Sumber : Monografi Desa Danda Jaya, 2008 Hasil pengamatan dan sumber data primer/sekunder lainnya didapatkan data yang mendukung potensi budidaya, yaitu sebagai berikut : a. Penguasaan lahan setiap kepala keluarga (KK): 2,25 Ha dengan rincian lahan

pekarangan : 0,25 Ha, lahan usaha I dan LU II masing-masing 1,0 ha b. Budidaya Tanaman :

Pola tanam padi lokal satu kali setahun, sebagian kecil yang menerapkan padi unggul tidak ditanam secara kontinyu karena : 1) Hama tikus pada periode menjelang padi berbunga 2) Kondisi tata air yang tidak mendukung, 3) Permodalan dan tenaga kerja terbatas, 4) Penggunaan sarana produksi yang tinggi dan perlu pengelolaan intensif, 5) Pemanfaatan air saluran tertier kurang maksimal karena aliran air tak lancar, 6) Harga hasil panen fluktuatif dan 7) Penerimaan usahatani padi unggul relatif rendah.

Berdasarkan karekteristik, kekuatan, kendala, peluang dan tantangan pada aspek budidaya lahan rawa, alternatif penyelesaian masalah disajikan pada Tabel 5.

Page 97: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

121

Tabel 5. Alternatif penyelesaian masalah (skenerio) pada aspek budidaya dalam pengembangan lahan rawa Kriteria/ Aspek

Karakteristik Kekuatan (strength) Kelemahan (weakness) Peluang (opportunities) Tantangan (threats)

Pengembangan Budidaya Lahan Rawa

Tanah Mengandung keasaman/pH < 4

Pada Lokasi tinjauan, Kondisi hidrotofografi termasuk Tipe B

Lahan relatif datar / rawa, berdrainase lambat.

Berdasarkan kesesuaian lahan, areal jaringan reklamasi rawa pasang surut tersebut ditanami padi lokal (tanaman adaftif),rendah penggunaan input, pendapatan tinggi

Pengelolaan tipe luapan B dengan sistem surjan,(meningkatkan difersifikasi tanaman dan mengurangi resiko serangan OPT.

Berdasarkan ketersediaan air ada peluang untuk meningkatkan intensitas tanam dari pola tanam 1

Secara biofisik, aliran air pada saluran tersier tidak lancar.

Adanya serangan Hama/penyakit pada tanaman padi

Penerapan inovasi teknologi rendah: a. Penggunaan padi varietas

lokal b. Operasional tata air

mikro belum sesuai yang diharapkan

c. Penggunaan pupuk dibawah rekomendasi

Dukungan eksternal: 1. KUD : sebagai penyedia

sarana produksi (pupuk dan pestisida) tak tepat jumlah dan waktu serta belum menampung pemasaran hasil

2. Penyuluhan kurang intensif

3. Pengamat air terbatas

Hasil padi dari segi hasil pendapatan masih menguntungkan untuk petani

Dapat dilakukan mixed farming (tanaman selain padi, seperti jagung, kacang, dll yang panennya berumur pendek)

Dukungan pemerintah dalam memberikan kredit

Dukungan dari instansi petanian dalam penyuluhan pertanian Inovasi teknologi: Penggunaaan varietas padi unggul adaptif, pemupukan berimbang,perbaikan /penerapan tata air mikro dan penerapan PHT

Dukungan eksternal: KUD (penyediaan pupuk dan pestisida tepat waktu, jumlah serta peningkatan informasi teknologi dalam bentuk cetak atau media elektronik

Ada penggunaan pengapuran secara massal pada tahap awal transmigrasi

Pembuatan saluran drainase dengan pengaturan sistem tata air mikro

Penggunaan varietas tahan asam

Pemberdayaan kelompok tani untuk bekerjasama lebih sinergis

Permodalan

Page 98: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

122

Kriteria/ Aspek

Karakteristik Kekuatan (strength) Kelemahan (weakness) Peluang (opportunities) Tantangan (threats)

kali setahun menjadi 2 kali dalam setahun.

Pemilikan lahan cukup luas 2 Ha per KK

jumlahnya Terbatasnya informasi

teknologi budaya lahan rawa

Keterampilan petani terbatas

Penggunaan bibit lokal (umur panjang 8-9 bln

Tenaga kerja terbatas Pendapatan Usaha Tani

(rendah)

Introduksi mekanisasi (alat pra panen dan pasca panen) dengan sistem usaha pelayanan jasa (upja) dalam budidaya pertanian pangan (padi)

Penerapan teknologi dengan meningkatkan faktor efisiensi input bagi usaha tani dilahan rawa.

Kekuatan merupakan fakto-faktor positif dari aspek kebijaksanaan, ekonomi kota, sosial kebudayaan penduduk, lingkungan kota, dan transportasi internal dan sebagainya yang dapat dijadikan sebagai salah satu modal dan kemampuan daerah dalam mengembangkan ruangnya.

Kelemahan adalah faktor-faktor negatif yang menjadi kelemahan atau kendala dalam mengembangkannya. Faktor-faktor tersebut dapat berbentuk ketidakmampuan dalam berbagai bidang pembangunan dan ketidaksediaan sumber dayanya secara alami.

Peluang (opportunities), yang merupakan kesempatan atau harapan perkembangan dari luar untuk mengembangkannya atau dari faktor eksternal

Tantangan (threats) yang merupakan hambatan luar yang dapat memperlambat atau menyaingi perkembangannya

Page 99: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

123

Skenario Aspek Budidaya dalam Pengembangan Lahan Rawa Faktor-faktor terkait dalam aspek budidaya untuk pengembangan lahan

rawa adalah a) pengelolaan lahan b) pengelolaan air, c) dukungan eksternal (lembaga KUD, penyuluhan, pengamat air) dan d) Partisipasi petani.

a. Pengelolaan lahan Pengelolaan lahan tipe luapan B dengan sistem surjan bertahap dan sistem

surjan pada lahan tipe luapan C (untuk meningkatkan difersifikasi tanaman dan mengurangi serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).

Introduksi alat mesin pertanian (alsintan) pra panen dan pasca panen sesuai dengan karakteristik lahan pasang surut dengan sistem usaha pelayanan jasa (UPJA) untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja dalam usahatani mengingat kepemilikan lahan rerata 2 ha tiap keluarga.

b. Pengelolaan air Pengelolaan air di petak tersier (tata air mikro). Ini merupakan pengelolaan air

di lahan usaha tani yang menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman menjadi tanggung jawab petani dan dikelola secara kelompok yang dikerjakan secara gotong royong. Pada lahan tipe luapan B perlu diterapkan pengaturan air sisten satu arah (one way flow systems), sedangkan pada lahan luapan C pengaturan airnya dengan sistem tabat dengan memasang pintu ”stoplog” pada saluran tersier dengan memanfaatkan air hujan atau koservasi air di bagian hulu (hutan sekunder). c. Dukungan eksternal Peningkatan peran KUD dalam penyediaan sarana produksi (pupuk dan

pestisida) dalam jumlah dan waktu yang tepat serta pemasaran hasil. Perlu dukungan instansi terkait baik pemerintah, swasta dalam

pengembangan Community Development dalam penyedia modal usahatani Perlu dukungan penyuluhan khususnya teknologi budidaya lahan rawa

(pengelolaan, pemupukan berimbang) dan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) dan penambahan tenaga penyuluh pertanian dan pengamat air.

Penyediaan informasi berupa inovasi teknologi budidaya lahan rawa dalam bentuk media cetak ataupun melalui media elektronik.

d. Partisipasi petani Peningkatan keterampilan dan kekompakan kelompok tani merupakan syarat mutlak dalam pengelolaan lahan dan air dalam skala hamparan serta kesadaran tingkat kelompok tani dalam pemupukan modal kelompok dan pengelolaan aset kelompok.

KESIMPULAN

1. Daerah Danda Besar mempunyai kelas hidro-topografi B dan C memiliki luasan hampir berimbang, yaitu berturut-turut 821 ha dan 815 ha atau 34 % dan 33 % dan kelas A seluas 800 ha sehingga luas total sebesar 2436 ha.

2. Faktor– faktor yang perlu dipertimbangkan dalam budidaya lahan pertanian meliputi kedalaman air tanah, gerakan, kuantitas dan kualitas air agar selalu dimonitoring termasuk adanya lapisan pirit (tanah sulfat masam), ketebalan lapisan gambut, intrusi air payau dan efek lingkungan setempat.

Page 100: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

124

3. Aspek budidaya dalam pengembangan lahan rawa di kawasan Danda Besar adalah a) pengelolaan lahan, b. pengeloalaan air, c. Dukungan eksternal (keberfungsian lembaga KUD, pemasaran, kecukupan jumlah penyuluh pertanian dan tenaga pengamat air) dan d. Partisipasi petani.

DAFTAR PUSTAKA

Saidy A.R & A.Yusuf,2008. Implikasi Perubahan Iklim Global: Estimasi

kehilangan produksi pertanian di propinsi Kalimantan Selatan karena Kenaikan Muka Air Laut. Makalah Seminar Nasional Rawa. Teknik Pengembangan Sumberdaya Rawa. Fak Teknik Sipil UNLAM – HATHI Komda Kal-Sel. 13 p.

Statistics Board of South Kalimantan Province, 2006. Kalimantan Selatan in Figure 2006 Statistcs Board of South Kalimantan Provincie Banjarmasin.

Supriyo, A dan A. Jumberi 2007. Kearifan lokal dalam budidaya padi di lahan pasang surut. Dalam kearifan lokal pertanian di lahan rawa. Mukhlis dkk (Eds). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Halaman : 45 – 62.

Triadi, B. 2008. Kesesuaian lahan rawa pasang surut Danda Besar, Kalimantan Selatan. Makalah Seminar Nasional Rawa. Teknik Pengembangan Sumberdaya Rawa. Banjarmasin. 4 Agustus 2008. HATHI Komda Kal-Sel. 14 p.

Page 101: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

125

Efektifitas Tata Air dalam Mendukung Peningkatan Indeks Pertanaman di Daerah Pasang Surut Sumatera Selatan

NP. Sri Ratmini

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6 Palembang Sumatera Selatan

e-mail: [email protected].

ABSTRAK

Lahan pasang surut memiliki potensi yang sangat tinggi untuk pengembangan pertanian ke depan dengan penerapan teknologi yang memadahi. Pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian memerlukan langkah-langkah yang tepat agar terbentuk lahan budidaya yang mantap dan berkelanjutan. Indek pertanaman di lahan pasang surut sebagian besar saat ini adalah IP 100 (satu kali tanam). Untuk meningkatkan indek pertanaman maka pengaturan tata air sangat diperlukan. Permasalahan air merupakan salah satu yang harus ditanggulangi untuk meningkatkan indek pertanaman di lahan pasang surut. Akumulasi kelebihan air untuk tanaman palawija tanpa proses pembuangan dengan sirkulasi pasang surut cukup besar. Untuk itu pengaturan tata air sangat diperlukan untuk mengatur kelebian dan kekurangan air pada petak persawahan dan untuk dapat mengatur pola tanam. Indek pertanaman dapat ditingkatkan menjadi IP 200/IP300 (2/3 kali tanam) dengan pola tanam padi-palawija; padi-padi-palawija dengan mengatur tata air dan disesuaikan dengan tipe luapan air. Kata kunci: indek pertanaman, tata air, tipe luapan dan pasang surut

PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia bertekad untuk dapat mencapai swasembada pangan

dan mengurangi impor utamanya padi. Program ini dapat ditempuh melalui berbagai upaya antara lain, perluasan areal lahan, peningkatan produksi dan peningkatan indek pertanaman. Perluasan areal lahan saat ini sangat susah dilakukan dengan adanya persaingan pemakain lahan dengan bidang non tanaman pangan dan non pertanian. Peluang tebesar yang bisa dilakukan adalah dengan peningkatan indek pertananan.

Pemanfaatan lahan pasang surut sebagai lahan pertanian mempunyai potensi yang cukup tinggi melalui pengelolaan yang tepat sehingga lahan pasang surut dapat dijadikan pertumbuhan pertanian yang produktif (Manwan et al.,1992 dan Ismail, et al., 1993). Menurut Alihamsyah (2001), dengan pengelolaan yang baik maka produksi lahan ini dapat mencapai 5 t/ha. Sumatera Selatan (Sumsel) mempunyai luas pasang surut yang berpoteni untuk lahan pertanian 961.000 ha dan telah direklamasi seluas 359.250 ha (Dirjen Pengairan, 1998), namun dalam pengembangannya memiliki kendala baik fisik, kimia biologi dan sosial budaya. Lahan pasang surut diklasifikasikan berdasarkan tipologinya menjadi lahan potensial, sulfat masam, gambut, bergambut dan salin (Ismail, 1993), kemudian berdasarkan tipe luapan air dibedakan menjadi tipeluapan A, B, C dan D (Ananto et al., 2000). Sumsel memiliki semua jenis tipologi lahan pasang surut dan tipe luapan air tersebut. Perbedaan tipologi dan tipe luapan berpengaruh dalam

Page 102: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

126

pemanfaatannya untuk lahan pertanian memiliki upaya dan penataan yang berbeda. Tanaman pangan umumnya dilakukan pada tipologi lahan potensial, sulfat masam, bergambut dan salin dengan tipe luapan A, B, dan C. Untuk tipologi gambut dalam dan tipe luapan D tidak direkomendasikan untuk diusahakan sebagai lahan tanaman pangan, melainkan direkomendasikan untuk lahan perkebunan atau sebagai lahan (Widjaja-Adhi, 1986).

Pemanfaatan lahan pasang surut sebagai lahan pertanian sangat bergantung pada beberapa aspek diantaranya adalah: pasang surutnya air sungai/laut, kondisi biofisik lahan, sumberdaya manusia, sosial ekonomi dan pengaturan tata air (Kurdi, 2012). Pengaturan tata air dilakukan pada jaringan tata air makro maupun jaringan tata air mikro. Pengendalian tata air makro dan tersier yang baik akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian tata air mikro. Apabila pengendalian jaringan tata air makro dan tersier tidak berjalan dengan baik maka akan berpengaruh terhadap pengelolaan jaringan tata air mikro. Pengaturan tata air ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air untuk tanaman, upaya untuk memperbaiki aerasi tanah serta mengendalikan unsur-unsur yang dapat meracuni tanaman (Lakitan, 2013).

Lahan pasang surut merupakan lumbung padi di Sumsel yang tersebar di sepanjang daerah aliran sungai Musi di sebelah Ilir, dan tersebar di empat kabupaten yaitu, Muara Enim, Ogan Ilir, Musi Banyuasin dan Banyuasin. Produktivitas lahan pasang surut di Sumsel saat ini adalah 45,54 ku/ha gabah kering panen (BPS, 2014). Selama ini pemanfaatannya khusus untuk tanaman padi masih dilakukan satu kali pertanaman dalam setahun. Hal ini disebabkan adanya kendala kekeringan pada saat musim kemarau dan serangan hama tikus. Kendala ini dapat ditanggulangi dengan pemanfaatan teknologi yang benar, salah satunya adalah dengan pengelolaan tata air. Pengaturan tata air di lahan pasang surut selain berfungsi untuk mengendalikan air (mengatur kelebihan air dan menahan air) juga dapat berfungsi sebagai upaya untuk mengendalikan hama tikus. Pada paper ini akan dibahas berbagai aspek fungsi tata air di lahan pasang surut.

SISTEM PENGELOLAAN AIR

Pemanfaatan lahan pasang surut untuk lahan pertanian, didahului dengan

reklamasi lahan yaitu dengan pembuatan saluran-saluran drainase yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai saluran irigasi. Pada lahan pasang surut, drainase sangat penting untuk membuang unsur-unsur yang berlebihan dan dapat meracuni tanaman dapat cepat tercuci. Umumnya sistem saluran yang dibuat pada lahan pasang surut adalah saluran drainase terbuka, baru sebagian saluran tersier dan skunder yang telah dilengkapi dengan pintu air. Pintu air yang telah ada umumnya belum terawat dengan baik, sehingga fungsi dari saluran tidak termanfaatkan dengan maksimal. Kondisi saluran yang tidak bersih akan berpengaruh terhadap jangkauan air pasang dan tingkat pencucian. Hal ini juga akan mempengaruhi kualitas air menjadi rendah sehingga tidak berfungsi sebagai hidromeliorasi (Idjuddin, 2000).

Sistem jaringan tata air di lahan pasang surut dibagi menjadi sistem jaringan tata air makro dan tata air mikro. Sistem jaringan tata air makro terdiri dari saluran primer, sekunder, dan tersier. Sistem saluran makro yang ada di

Page 103: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

127

Sumsel terdiri dari lima tipe yaitu sisir tunggal, sisir berpasangan, garpu, kombinasi garpu dengan sisir, dan tangga (Ananto et al., 2000). Sedangkan sistem jaringan tata air mikro adalah dari aluran kuarter sampai saluran yang terdapat di petakan persawahan. Pintu air merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan air. Pintu air berfungsi untuk mengatur tingkat genangan di petakan persawahan, mencegah genangan air di petak persawahan pada saat pasang besar, dan mengurangi dampak kekeringan pada saat musim kemarau. Keberhasilan pertanian di lahan pasang surut sangat dipengaruhi dengan adanya pintu air, utamanya pada saat penanaman di musim kemarau. Beberapa tipe pintu air yang dapat digunakan di lahan pasang surut disesuaikan dengan kondisi tipe luapan air. Berdasarkan tipe luapan air pasang dan kedalaman air tanah, lahan pasang surut dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu tipe luapan A, B, C dan D. Tipe luapan A adalah lahan yang selalu terluapi air pasang besar dan kecil, baik pada musim hujan maupun musim kemarau, tipe luapan B adalah lahan yang hanya terluapi air pasang besar pada musim hujan saja. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm, sedangkan lahan bertipe luapan D adalah seperti tipe C hanya kedalaman muka air tanahnya lebih dari 50 cm (Anantoet al., 2000). Pengelompokkan ini sangat dibutuhkan untuk arahan penataan dan pemanfaatan lahan, sistem pengelolaan air dan penentuan pola tanam. Gambar 1. Lima sistem jaringan tata air makro di lahan pasang surut Sumatera

Selatan

Tipe sisir tunggal Tipe sisir berpasangan

Tipe garpu Tipe garpu-sisir berpasangan

Tipe tangga

Page 104: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

128

TATA AIR SEBAGAI PENGENDALI KEMASAMAN TANAH

Tingkat produksi padi di lahan pasang surut sangat dipengaruhi dengan manajemen pengaturan air (Adam et al., 2013). Permasalahan yang umum dihadapi adalah kemasaman yang tinggi sehingga memicu kelarutan besi dan aluminium (Purnomo et al., 2005).

Penurunan muka air tanah pada musim kemarau mengakibatkan kelarutan besi meningkat sangat tajam. Kondisi ini akan sangat berbahaya untuk tanaman apabila besi naik ke permukaan tanah atau lapisan olah. Oksidasi pirit akan terjadi apabila kondisi muka air tanah berada di bawah lapisan pirit. Lapisan pirit yang teroksidasi akan mengakibatkan unsur hara Fe dan Al teroksidasi dan akan terlarut terbawa air kepermukaan hal ini mempengaruhi ketersediaan akan beberapa unsur hara (De Datta, 1981).

Pada proses oksidasi pirit, setiap molekul pirit akan menghasilkan 16 mol ion H+ (Migaszewski et al. 2007 dan Descostes et al. 2002). Adapun proses terjadinya oksidasi pirit dapat digambarkan dalam reaksi berikut:

FeS2 + 7/2 O2 + H2O → Fe 2+ + 2 SO2–

4 + 2 H + (1) FeS2 + 14 Fe 3+ + 8 H 2O → 15 Fe 2+ + 2 SO 2–

4 + 16 H+ (2) Pada kondisi pH rendah tanaman budidaya pada umumnya sering

mengalami keracunan Fe2+, asam-asam organik dan H2S (Shamshuddin et al., 2004), hal ini mengakibatkan tingkat ketersediaan hara P menjadi sangat rendah (Purnomo et al., 2005).

Oksidasi pirit ini dapat ditanggulangi dengan pengaturan tata air disesiauikan dengan kodisi tipe luapan airnya. Pada saat kemarau atau air di sungai mulai surut maka fungsi pintu air harus difungsikan untuk mempertahankan air di saluran tersier. Pada saat pasang besar pintu air dibiarkan terbuka, sehingga air pasang dan air surut dapat mengalir ke luar dan masuk petakan secara otoatis. Kondisi ini akan mengakibatkan pada saat air masuk ke petakan membawa air segar dari sungai dan pada ssat air surut akan melarutkan unsur unsur logam seperti Al, Fe dan Mn yang sangat berbahaya untuk tanaman apabila konsentrasinya tinggi, hal ini sering disebut dengan proses pencucian. Konsentrasi Fe di lahan pertanian dan di saluran air mengalami penurunan dengan adanya pengaturan tata air, dimana awalnya konsentrasi Fe 25 menjadi 5 ppm dalam saluran air dan pada air tanah yang awalnya 50 menjadi 5 ppm (Hadi, 2004).

Hasil penelitian Imanudin et al., (2010) menunjukkan bahwa pada lahan sulfat masam potensial di Sumsel kedalaman pirit berada pada kedalaman dibawah 60 cm, namun kedalaman air tanah sangat bervariasi dari 0-2 cm dimuasim hujan dan turun sangat drastis sampai mencapai 90-100 cm pada saat musim kemarau. Kondisi ini akan memicu okidasi pirit karena air tanah berada di bawah lapisan pirit. Untuk itu maka pengendalian air di petakan tersier sangat penting untuk menghindari turunnya permukaan air tanah yang sangat dalam.

Page 105: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

129

TATA AIR SEBAGAI PENGATUR POLA TANAM

Pengaturan pola tanam di lahan pasang surut sangat erat kaitannya dengan tipe luapan air. Badan Litbang Pertanian mengelompokkan tipe luapan air di lahan pasang surut menjadi empat kelompok yaitu tipe luapan A, B, C dan D. Tipe luapan A adalah lahan yang selalu terluapi air pasang besar maupun pasang kecil, baik pada musim hujan atau musim kemarau. Tipe luapan B adalah lahan yang hanya terluapi air pasang besar pada saat musim hujan saja. Tipe luapan C adalah lahan yang tidak dapat terluapi air pasang namun mempunyai kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm, sedangkan bertipe luapan D adalah lahan yang tidak terluapi air pasang dan kedalaman muka air tanahnya lebih dari 50 cm. Pengelompokan tipe luapan air pasang di lahan pasang surut sangat penting untuk penataan lahan dan menyusun pola tanam. Pengembangan tanaman pangan di lahan pasang surut umumnya dilakukan satu kali dalam setahun.

Di Sumatera Selatan sebaran tipe luapan air didominasi dengan tipe luapan B dan C. Luasan lahan yang terkategori tipe luapan B dan C berturut-turut adalah 66.132 ha (45,64%) dan 51.372 ha (35,45%), sedangkan untuk tipe luapan A dan D sekitar 13.258 ha (9,15%) dan 14.140 ha (9,76%) (Ananto et al., 2000).

Pintu air merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan air untuk pengaturan pola tanam. Pintu air berfungsi untuk mengatur tingkat genangan di petakan persawahan, mencegah genangan air di petak persawahan pada saat pasang besar, dan mengurangi dampak kekeringan pada saat musim kemarau. Keberhasilan pertanian di lahan pasang surut sangat dipengaruhi dengan adanya pintu air, utamanya pada saat penanaman di musim kemarau. Beberapa tipe pintu air yang dapat digunakan di lahan pasang surut disesuaikan dengan kondisi tipe luapan air. Tipe luapan A dan B, sitem pengaturan air di saluran menggunakan aliran satu arah, dimana air masuk dan keluar berada pada saluran yang berbeda (Widjaja-Adhi, et al., 2000). Aliran satu arah berujuan supaya air buangan dari petakan sawah tidak kembali masuk saat pasang berikutnya. Pintu air yang dapat digunakan pada tipe luapan A dan B adalah pintu air yang dapat membuka dan menutup secara langsung (flapgate). Pintu flapgate dipasang menyesuaikan dengan fungsi saluran apakah untuk saluran drainase atau irigasi. Untuk saluran irigsi maka pintu dipasang dengan membuka ke dalam dan pada saluran drainase pintu dipasang membuka ke luar, sehingga dengan pemasangan seperti ini pintu akan membuka dan menutup secara otomatis akibat daya dorong air. Pintu air sistem flapgate berfungsi optimal untuk mencuci unsur-unsur toksik. Pada lahan dengan tipe luapan C yang diperlukan adalah pemasangan pintu air sistem tabat (stoplog), gunanya untuk mempertahankan genangan air di petakan persawahan. Pada kondisi kemarau yang panjang terkadang diperlukan pompa air untuk mencukupi kebutuhan air di saluran dan untuk mempertahankan muka air tanah tetap berada di atas permukaan lapisan pirit.

Page 106: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

130

A A’50 cm 50 cm

100 m

50 cm50 cm

A’

Saluran Primer

Sa

lura

n S

ek

un

de

rA

Saluran Kuarter

Pintu engse l (Flapgate) inlet

Saluran Tersier

Pintu engse l (Flapgate) outlet

Pintu engse l (Flapgate) inlet

Pintu engse l

(Flapgate) outlet

Penampang A-A’

A A’50 cm 50 cm

100 m

50 cm50 cm

A’

Saluran Primer

Sa

lura

n S

ek

un

de

rA

Saluran Kuarter

Pintu engse l (Flapgate) inlet

Saluran Tersier

Pintu engse l (Flapgate) outlet

Pintu engse l (Flapgate) inlet

Pintu engse l

(Flapgate) outlet

Penampang A-A’

Gambar 2. Skema sistem aliran air satu arah pada lahan dengan tipe luapan air A dan B.

AA’

Stoplog

A

A’

Saluran Primer/Jalur

keliling

Saluran

Sa

lura

n S

ek

und

er

Salura n Tersier

Stoplog Stoplog

Salura n K uarte r

200 m

Stoplog

Salura n

tengah

Salura n C acing (Kemalir)

Stoplog100 m

Penampang A-A’

AA’

Stoplog

A

A’

Saluran Primer/Jalur

keliling

Saluran

Sa

lura

n S

ek

und

er

Salura n Tersier

Stoplog Stoplog

Salura n K uarte r

200 m

Stoplog

Salura n

tengah

Salura n C acing (Kemalir)

Stoplog100 m

Sa

lura

n S

ek

und

er

Salura n Tersier

Stoplog Stoplog

Salura n K uarte r

200 m

Stoplog

Salura n

tengah

Salura n C acing (Kemalir)

Stoplog100 m

Penampang A-A’

Gambar 3. Skema sistem tabat pada lahan dengan tipe luapan C dan D.

Pengaturan pola tanam di lahan pasang surut sangat ditentukan dengan tipe

luapan air pasang dan pengaturan tata airnya. Lahan dengan tipe luapan A dan B yang selalu terluapi air pasang maka lahan dengan tipe ini dapat di tanami padi dengan pola padi-padi-palawija, sedangkan lahan dengan tipe luapan C dapat ditanami padi dengan pola tanam padi-palawija-palawija. Arahan penataan lahan pasang surut disajikan pada Tabel 1 dan 2. Selanjutnya Imanudin et al., (2010) menyarankan bahwa untuk lahan dengan tipe luapan C maka pola tanam yang dapat diterapkan adalah padi-bera; padi – jagung; jagung-jagung.

Page 107: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

131

Tabel 1. Arahan penataan lahan aluvial bersulfida dan bersulfat.

Tipe luapan air

Kode*) Tipologi lahan A B C D

SMP-1 Aluvial bersulfida dangkal Sawah Sawah Sawah - SMP-2 Aluvial bersulfida dalam Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan Tegalan/ kebun SMP-3/A Aluvial bersulfida sangat Sawah Sawah/surjan Sawah/tegalan/ Tegalan/kebun dalam kebun SMA-1 Aluvial bersulfat 1 - Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/ kebun SMA-2 Aluvial bersulfat 2 - Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/ kebun SMA-3 Aluvial bersulfat 3 - - Sawah/kebun Tegalan/kebun HSM Aluvial bersulfida dangkal - Sawah Sawah/tegalan

Tegalan/kebun bergambut

Sumber: Widjaja-Adhi (1995).

*) Padanan kode dan tipologi lahan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Arahan pemanfaatan lahan bergambut/gambut.

Tipe luapan air

Kode*) Tipologi lahan A B C D G-0 Bergambut Sawah Sawah/surjan Tegalan Tegalan G-1 Gambut dangkal Sawah Sawah Tegalan/kebun Tegalan/kebun G-2 Gambut sedang - Konservasi Kebun Kebun G-3 Gambut dalam - Konservasi Kebun Kebun G-4 Gambut sangat dalam - Konservasi Kebun Kebun D Kubah (Dome) gambut - Konservasi Konservasi Konservasi

*) dengan substratum liat marin, padanan kode dan tipologi lahan dapat dilihat pada Tabel 2. Sumber: Widjaja-Adhi (1995).

PENUTUP

Pemanfaatan lahan pasang surut dapat dioptimalkan dengan pengaturan tata air. Indek pertanaman sangat ditentukan dengan tipe luapan air pasang dan pengaturan tata air. Indek pertanaman yang awalnya hanya satu kali tanam dalam satu tahun, maka dengan pengaturan tata air dapat ditingkatkan menjadi dua kali sampai tiga kali tanam dalam setahun.Untuk lahan yang selalu terluapi air pasang (tipe A) dapat diterapkan dengan pola tanam padi-padi-palawija, tipe luapan B: padi-palawija-palawija, sedangkan untuk tipe luapan C padi bera; padi-jagung atau jagung – jagung. Pengaturan pola tanam ini akan berhasil apabila pengaturan tata air dlakukan dengan baik dan benar. Fungsi pengaturan tata air dengan prinsip dasar mencukupi kebutuhan air untuk tanaman, mencegah terjadinya oksidasi lapisan pirit, mencuci unsur/senyawa beracun bagi tanaman, menjaga kelembaban gambut dan mencegah intrusi air asin.

Page 108: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

132

DAFTAR PUSTAKA

Adam, H., R.H. Susanto, B. Lakitan, A. Saptawan, and M. Yazid. 2013. The

problems and contraints in managing tidal swamps land for sustainable food crop farming (a case study for transmigration area of Tanjung Jabung Tiur Regency, Jambi Province, Inndonesia. International confrence on sustainable environment and agriculture. IPCBEE vol. 57.

Alihamsyah, T., D. Nazemi, Nazemi, I. Khairullah, H.D. Noor, M. Sarwani, H. Sutikno, Y. Rina, F.N. Saleh, ddan S. Abdussamad. 2001. Empat puluh tahun Balitra: erkembanan dan program penelitian kedepan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru.

Ananto, E.E., A. Supriyo, Soentoro, Hermanto, Y. Soelaeman, I.W. Suastika, dan B. Nuryanto. 2000. Pengembangan usaha pertanian lahan pasang surut Sumatera Selatan; mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.

BPS. 2014. Sumatera Selatan dalam angka. Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan

De data, S.K. 1981. Principles an practices of rice production. H. Willey Interscience Publication. John Willey & Soons. New York.

Descostes, M., C. Beaucaire, F. Mercier, S. Savoye, J. Sow, and P. Zuddas. 2002. Effect of carbonate ions on purite (FeS2) dissolution. Bull. Soc. Geol. France 173(3):265-270

Direktorat Jendral Pengairan. 1998. Profil proyek pengembangan daerah rawa Sumatera Selatan. Departemen Pekerjaan Umum.

Hadi, R. 2004. Teknik pencegahan oksidasi pirit dengan tata air mikro pada usahatani jagung di lahan pasang surut. Buletin Teknik Pertanian, Vol. 9 Nomor 2.

Kurdi, H. 2012. Penentuan elevasi dasar lahan pertanian berdasarkan pada kisaran pasang surut air laut pada lokasi unit Kecamatan Barambai. INFO TEKNIK, Vol. 13 Nomor 1, Juli 2012.

Lakitan, B dan N. Gofar. 2013. Kebijakan inovasi teknologi untuk pengelolaan lahan suboptimal berkelanjutan. Prosiding seminar lahan suboptimal. PUR-PLSO Universitas Sriwijaya.

Idjuddin, A.B. 2000. Pengelolaan air sebagai hidromeliorasi lahan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung 25 – 27 Juli 2000.

Imanudin, M. S., E. Armanto, R. H. Susanto, dan S.M. Bernas. 2010. Water table fluctuation in tidal lowland for developing agricultural management startegist. J. Trop. Soils, Vol. 15, (3): 277-282

Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I.P. Widjaja-Adhi, Suwaro, T. Herawati, R. Tahir, dan D. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian Lahan Rawa; Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan, Bogor.

Manwan, I., I.G. Ismail, T. Alihansyah dan S. Partoharjono. 1992. Teknologi pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut: potensi, relevansi dan

Page 109: Makalah sumber-daya-lahan

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

133

faktor penentu. Dalam prosiding Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Puslitbangtan, Bogor.

Migaszewski, Z.M., A. Galuszka, P. Paslawski, E. Starnawska. 2007. An influence of pyrite oxidation on generation of unique acidic pit water: A case study, podwisniowka quarry, Holy Cross Mountains (South-Central Poland). Polish J. Of Environ. Stud., 16 (3): 407-421

Purnomo, E., A. Mursyid, M. Syarwani, A. Jumberi, Y. Hashidoko, T. Hasegawa, S. Honma, and M. Osaki. 2005. Phosphorus solubilizing microorganisms in the rhizosphere of local rice verities grown without fertilizer on acid sulphate soils. Soil Sci. Plant Nutr, 51(5): 679-681

Shamshuddin, J., M. Syarwani, S. Fauziah, dan I.V. Ranst. 2004. A laboratory study on pyrite oxidation in acid sulphate soils. Soil Sci. Plant Anl., 35 (1): 117 - 129

Widjaja-Adhi, I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal Penenlitian dan Pengembangan Pertanian V (1).

Widjaya Adhi, IPG. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.

Widjaya Adhi, IPG., D.A. Suriadikarta, M.T. Sutriadi, IGM. Subiksa, dan I.W. Suastika. 2000. Pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa. Dalam A. Adimihardja et al. (eds). Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Puslittanak, Bogor.