Makalah suku togutil

19
Suku Togutil (Kab. Halmahera Timur, Prov. Maluku Utara) Gambar : Suku Togutil di Maluku Utara Bertelanjang Dada PEMBAHASAN A. Letak Geografis Suku Togutil Togutil adalah suku yang hidup di pedalaman hutan Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Togutil sendiri memiliki arti “suku yang hidup di hutan” atau dalam bahasa Halmahera pongana mo nyawa. Cara hidup Togutil adalah dengan berpindah-pindah di dalam hutan Wasile, yang terletak di sisi timur Ternate. Jarak terdekat bisa ditempuh melalui Buli, sebuah kota kecamatan di Halmahera Timur. Dari Kota Buli perjalanan menempuh sejauh 40 kilometer menuju hutan Wasile.

Transcript of Makalah suku togutil

Page 1: Makalah suku togutil

Suku Togutil(Kab. Halmahera Timur, Prov. Maluku Utara)

Gambar : Suku Togutil di Maluku Utara Bertelanjang Dada

PEMBAHASAN

A.    Letak Geografis Suku Togutil

Togutil adalah suku yang hidup di pedalaman hutan Kabupaten Halmahera Timur,

Maluku Utara. Togutil sendiri memiliki arti “suku yang hidup di hutan” atau dalam bahasa

Halmahera pongana mo nyawa. Cara hidup Togutil adalah dengan berpindah-pindah di dalam

hutan Wasile, yang terletak di sisi timur Ternate.  Jarak terdekat bisa ditempuh melalui Buli,

sebuah kota kecamatan di Halmahera Timur. Dari Kota Buli perjalanan menempuh sejauh 40

kilometer menuju hutan Wasile.

Suku Togutil terkenal dengan sebutan nomaden, dan karena itu kehidupan mereka masih

sangat tergantung pada keberadaan hutan-hutan asli, maka dapat dikatakan hutan adalah alam

yang paling tepat untuk pemukiman mereka. Mereka bermukim secara berkelompok di sekitar

sungai. Komunitas Togutil yang bermukim di sekitar Sungai Dodaga sekitar 42 rumah tangga.

Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu dan beratap daun palem sejenis Livistonia sp.

Umumnya rumah mereka tidak berdinding dan berlantai papan panggung.

Page 2: Makalah suku togutil

Di lain tempat, suku Togutil juga ditemui menetap di daerah yang berada  di dalam kawasan

usulan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Suku Togutil dan Suku Tobelo juga ditemukan di

hutan nomaden, misalnya hutan Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Kobekulo dan Buli (Anonim,

2011).

B.  Asal-Usul Suku Togutil

Menurut Sosebeko, (2010), Berawal dari maksud mencari rempah-rempah, tanah Maluku

yang terkenal akan cengkeh dan pala menjadi incaran bangsa Eropa yang lalu berlomba-lomba

datang untuk menguasainya. Pada tahun 1546, Portugis mulai menyisir setiap pantai dan pulau

yang ada di bumi Maluku Utara. Teluk Galela tidak ketinggalan. Tahun 1570 Sultan Khairun

diracuni oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya, Sultan Babullah

bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar

mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya

yang tidak tercatat dalam sejarah.

Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari pengejaran pasukan

Korakora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial karena meskipun berhasil meluputkan

diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat

dielakkan lagi. Sengatan lebah-lebah ini ternyata menimbulkan banyak korban di pihak Portugis.

Upaya penyelamatan dilakukan dengan api dan belerang serta serangan balik dengan tembakan

yang membabibuta, membuat pasukan Alifuru mundur dan menghindar dari peluru-peluru

nyasar. Mundurnya pasukan Alifuru digunakan oleh Portugis untuk segera meninggalkan kapal

dan daerah Dokulamo menuju arah selatan. Mereka bermukim di daerah Gunung Hum dan

kemudian menamakan daerah tersebut Rum yang mengisyaratkan bahwa daerah itu adalah

tempat tinggal orang-orang yang berasal dari Rumawi.

Orang-orang Portugis di daerah Hum/Rum tidak dapat tinggal dengan tenang dikarenakan

orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian memilih hijrah

ke daerah Tobelo dengan menepati bebukitan Karianga arah selatan daerah Wangongira, Kusuri,

lembah Kao, batang sungai kali Jodo menuju arah Tetewang. Perpindahan ini mempertemukan

mereka dengan sesama bangsanya yang bernasib serupa di sekitar Pasir Putih yang kapalnya

karam.

Page 3: Makalah suku togutil

Sebagian dari mereka menetap dan menyatu dengan masyarakat setempat. Untuk

menghilangkan jejak sebagai orang Portugis mereka pun belajar bahasa Tobelo dan berusaha

keras menghilangkan aksen bahasanya. Mereka kemudian hidup bergaul dengan orang Tobelo

dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi dengan

menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menghindari

kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang Portugis di Maluku Utara yang lari

ke hutan.

Pada perkembangannya, orang-orang Portugis ini kemudian hidup dengan cara

berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap berkembang biak.

Populasi mereka diketahui menempati hutan di selatan Halmahera Utara sampai ke hutan Wasilei

di Halmahera Timur. Mereka senang tinggal ditepian sungai. Rumah mereka terbuat dari kayu

bulat beratapkan daun rumbia atau daun woka tanpa dinding. Pola makan mereka adalah dengan

menyantap makanan mentah atau dimasak dengan cara dibakar dengan bambu. Air kebanyakan

mereka minum langsung dari sungai.

Perawakan suku Togutil yang belum kawin campur adalah seperti orang Portugis pada

umumnya. Mereka berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung. Anak-

anak perempuan mereka cantik-cantik dengan bola mata yang berwarna bening-keabuan. Pola

hidup mereka masih sangat bergantung pada hasil alam. Makan dari buah-buahan, umbi-umbian,

pucuk-pucuk daun muda dan dari hasil buruan binatang hutan dan ikan sungai.

C. Makna Suku Togutil

Togutil adalah suku yang hidup di pedalaman hutan Kabupaten Halmahera Timur,

Maluku Utara. Togutil sendiri memiliki arti "suku yang hidup di hutan" atau dalam bahasa

Halmahera pongana mo nyawa. Cara hidup Togutil adalah dengan berpindah-pindah di dalam

hutan Wasile, yang terletak di sisi timur Ternate.

Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, yaitu identik dengan makna

kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi

konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya. Warga Suku Togutil hidup dalam kondisi

primitif, bahkan tidak mengenal huruf. Mereka juga terlihat bertelanjang dada. Suku Togutil

sebenarnya telah mengenal peradaban luar, namun mereka memilih menjauhi modernitas. Tradisi

turun-temurun membawa mereka ke kerangka hidup sederhana dan terus dipertahankan.

Page 4: Makalah suku togutil

Suku Togutil di Halmahera yang tinggal di hutan diperkirakan masih sekitar 200 kepala

keluarga. Sedangkan 46 kepala keluarga telah direlokasi di Kecamatan Wasile Timur. Menurut

Bupati Halmahera Timur Rudi Irawan, program relokasi telah ada sejak 1967. Pada 2009

relokasi rumah mulai dibangun kembali. "Mula-mula mereka tidak betah karena biasa hidup di

ruang terbuka," ujar Rudi.

Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga

telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada

saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan

terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60

tahun yang lalu.

Pembahasan hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku

Togutil yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural

yang disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan

lingkungan manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba,

sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.

Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku

pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di

utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di

tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman

Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan

juga terdapat beberapa komunitas mereka di

pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas

(kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu

dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.

Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang

Togutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja. Yang membedakan sebutan terhadap

mereka adalah kawasan yang menjadi tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo,

Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.

Page 5: Makalah suku togutil

Usaha pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah

dalam usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani). Menetap

dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohani. Usaha ini dimaksudkan

agar mereka dapat secepatnya mencapai taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia

umumnya.

Atas pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah

membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di kecamatan

Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil Dodaga adalah

sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat Dodaga. Penambahan kata

Dodaga di belakang nama golongan etnis ini adalah agar dengan mudah dapat membedakannya

dengan orang-orang suku Togutil lain yang terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di

kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau Halmahera.

Beberapa saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang

dibangun pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama.

Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan usaha-usaha

serupa berhasil di tempat lain, seperti Suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak Bukit di

Kalimantan, Suku Sakai di Sumatera dsb.

Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim

hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak terbuat

dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin

karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.

Suku Togutil di pedalaman hutan Halmahera ada dua, yaitu;

1. Orang Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak relokasi oleh Pemerintah, dan

2. Orang Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman yang masih menggunakan pola

hidup dan ketergantungan hidup dari pemberian alam (nomaden) dan belum mengenal

sistem bercocok tanam serta kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia luar.

Page 6: Makalah suku togutil

D. Unsur-Unsur Kebudayaan suku Togutil

1. Sistem Religi / Kepercayaan

Berdasarkan hasil pengamatan

dan wawancara selama

penelitian orang Togutil atau

masyarakat Togutil saat ini yang

tinggal di satuan pemukiman

desa Dodaga, Tukur-Tukur,

Toboino (Totodoku) dan

Tutuling jaya dan Foli adalah

sebagian besar merupakan menganut agama Kristen Protestan. Hanya 3 Kepala Keluarga

saja yang memeluk agama Islam. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Togutil saat

ini merupakan perpindahan dari sistim kepercayaan asli yang mulai ditinggalkan pada

akhir tahun 1970an ketika masuknya penyebaran agama Kristen di daerah Lolobata

sebagai wilayah dimana orang Togutil penghuni hutan Tututing awalnya tinggal.

Pengenalan agama ini lebih meningkat lagi sejak adanya proyek pemukiman kembali

masyarakat terasing pada tahun 1970.

Menurut informasi dari beberapa informan bahwa masyarakat Togutil yang masih

menganut sistim kepercayaan asli atau belum memiliki agama tertentu adalah mereka

yang masih tinggal jauh di dalam hutan yang sama sekali belum mendapat pembinaan

dari pemerintah maupun berhubungan dengan dunia luar. Kesatuan pemukimannya masih

sangat terisolir. Kelompok ini oleh Huliselan 1980 dikelompok sebagai Togutil biri-biri

atau dalam Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 1999 termasuk dalam kategori KAT

Kategori I.

Sistim Kepercayaan atau Keyakinan asli orang Togutil menurut hasil penelitian

Martodirdjo (1996) terpusat pada ruh-ruh leluhur yang menempati seluruh alam

lingkungan. Orang Togutil percaya akan adanya kekuatan dan kekuasaan tertinggi yaitu

Jou Ma Dutu, pemilik alam semesta atau biasanya disebut juga o gikiri-moi yaitu jiwa

atau nyawa. Walaupun demikian orang Togutil tidak pernah melakukan upacara-upacara

pemujaan. Mereka tidak pernah menyebut istilah atau nama khusus untuk sistim relegi

aslinya.

Page 7: Makalah suku togutil

Kepercayaan asli orang Togutil yang terpusat pada penghormatan dan pemujaan

pada leluhur tersebut digambarkan dalam berbagai makhluk halus yang dalam pandangan

orang Togutil menempati seluruh lingkungan hidup sekitar baik dalam bentuk benda

yang bersifat alami (nature) maupun benda hasil karya cipta manusia (culture) yang

dipercaya memiliki yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan usaha ataupun

aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.

2. Sistem Kekerabatan.

Orang-orang Togutil hidup berkelompok yang anggotanya masih keluarga luas.

Mereka masih merupakan kerabat yang terdiri dari orang tua, anak, keponakan, dan

saudara-saudara. Syafruddin yang tengah menempuh program magister Antropologi di

Universitas Gajah Mada mengatakan, suku Togutil menganut paham patriarki.

Karenanya, jika dia lelaki dan sudah menikah, akan menjadi bagian dari kelompok

tersebut. Jika perempuan dan sudah menikah, biasanya akan ikut dengan kelompok

suaminya.

Namun tak jarang, menurutnya, hubungan pernikahan bisa terjadi antara anggota

keluarga luas yang ada dalam satu kelompok itu. Pada kelompok kecil ini, biasanya

paling banyak terdiri dari 10 kepala keluarga (KK). Tapi, tak seluruhnya membangun

rumah. “Satu rumah dihuni minimal dua KK. Bahkan bisa tiga sampai empat KK.

Sehingga satu kelompok hanya membangun sekitar tiga rumah saja,” ujar Syafruddin.

Bangunan rumah mereka,

adalah rumah panggung setinggi

satu meter dari tanah berukuran

sekitar 3×4 meter. Rumah yang

mereka bangun tanpa sekat juga

tak memiliki dinding. Di bawah

rumah biasanya dibuat perapian

yang berfungsi sebagai

penghangat kala hawa dingin

menyapa. Di rumah itulah mereka berkumpul, makan, istirahat, dan bercengkerama dengan

para kerabatnya.

Page 8: Makalah suku togutil

Jalinan kekerabatan suku Togutil kerap diwujudkan dalam satu upacara makan

bersama yang disebut makkudotaka. Upacara dilakukan antara satu kelompok dan

kelompok yang lain. Upacara ini dilakukan tanpa ikatan waktu, bukan sebulan sekali

ataukah setahun sekali. Biasanya, jika ada kelompok A bertemu dengan kelompok B,

ketika kelompok B mengatakan dia suka makan telur ayam hutan, daging rusa, atau

berbagai makanan enak lainnya menurut mereka, maka kelompok A tidak bisa menolak.

Mereka harus menerima untuk menyiapkan segala makanan yang disebutkan tadi.

Kelompok A akan minta diberi waktu, misalnya sebulan atau dua bulan untuk

menyiapkan bahan makanan yang diminta. Jika dalam tempo yang diminta, makanan

belum juga terkumpul, mereka akan memperpanjang waktu lagi. “Pokoknya sampai

makanan itu tersedia, baru dilaksanakan,” terang Syafruddin. Saat itulah dua kelompok

akan bertemu dan menikmati kebersamaan ala makkudotaka. Inilah sebuah upacara

kebersamaan dari para penghuni rimba Halmahera.

3. Mata Pencaharian

Ketergantungan mereka pada alam

membuat mereka memiliki pola hidup

nomaden. Setelah persediaan umbi-

umbian dan buah-buahan serta hewan

menjadi berkurang mereka akan

berpindah ke daerah baru. Demikianlah

sehingga mereka kemudian dikenal sebagai pemilik hutan Halmahera mengingat

merekalah yang pertama menjelajahi dan menempati hutan Halmahera. Bagi masyarakat

Togutil yang masih primitif, tidak mengenal sistem bercocok tanam dan menetap.

Sehingga salah satu mata pencaharian andalan mereka adalah berburu, menangkap ikan,

mengumpulkan hasil hutan dan menggunakan sagu sebagai sumber karbohidratnya.

Pola hidup suku Togutil yang sudah berbaur dengan masyarakat dapat dilihat dari

kemampuan mereka dalam bercocok tanam umbi-umbian dan buah-buahan serta tanaman

tahunan sehingga hidupnya tidak lagi berpindah-pindah tempat. Mereka juga sudah dapat

menggunakan alat-alat pertanian dan berbusana dengan baik.

Page 9: Makalah suku togutil

Syaiful Majid, seorang peneliti kehidupan Suku Togutil dari Universitas

Muhammadiyah Maluku Utara dan melakukan riset selama hampir dua tahun mendalami

aspek budaya dan sosiologis dari suku ini. Menurut Syaiful, bagi suku ini hutan adalah

sumber makanan. “Sehingga, dalam pemaknaan Suku Togutil, hutan adalah rumah

mereka,” jelas Syaiful. Karena itu pula, menjaga hutan dianggap sama dengan menjaga

rumah sendiri.

Saat ini sebagian merupakan petani (Togutil kategori Menetap) dan sebagian lagi

masih tergantung pada hasil hutan meskipun telah mengenal sistim bercocok tanam

(Togutil kategori Menetap sementara). Mata pencaharian tambahan adalah berburu

binatang damar  maupun telur maleo untuk dijual atau ditukarkan dengan penduduk di

kampung pada saat hari pasar.

Tingkat pendapatan penduduk berdasarkan hasil penelitian dilapangan sangat

bervariasi yaitu antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 750.000,- per bulan. Sumber

penghasilan umumnya berasal penjualan hasil buruan atau hasil yang diperoleh dari hutan

maupun dari hasil kebun yang dikelola disekitar satuan pemukiman atau satuan

rumahnya. Pendapatan diatas 500.000 merupakan pendapatan masyarakat Togutil

Menetap yang memiliki profesi sebagai petani kopra maupun usaha sampingan lainnya

seperti pedagang dan tukang ojek (Kartini, et. al. 2006).

4. Sistem Bahasa

Suku ini memiliki rumpun yang sama dengan Suku Tobelo, kebanyakan orang

Togutil berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole.. Mereka

hidup berkelompok, satu rumah bisa dihuni dua atau tiga keluarga.

Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih

besar pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian

besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu

bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang

mayoritas berbahasa Maba.

Suku Togutil yang dikategorikan suku terasing tinggal di pedalaman Halmahera

bagian utara dan tengah, menggunakan bahasa Tobelo sama dengan bahasa yang

dipergunakan penduduk pesisir, orang Tobelo.

Page 10: Makalah suku togutil

5. Sistem Kesenian

Musik BAMBU HITADA & Musik YANGER, ( Kesenian Tradisional orang Halmahera)

Setiap masyarakat daerah manapun di setiap bangsa pasti memiliki suatu bentuk kesenian tradisional-nya masing-masing. Menurut sProf. DR. Kuntjaraningrat dalam buku “Pengantar Antropologi” mengatakan bahwa pokok-pokok Etnologi yang bersifat Universal dalam setiap Kebudayaan, meliputi 7 (tujuh) aspek, antara lain; Sistem peralatan hidup atau teknologi, Sistem Mata pencaharian hidup, Sistem kemasyarakatan, Sistem Pengetahuan, Bahasa, Kesenian, dan Religi.

Di Maluku Utara, pohon bambu selain dimanfaatkan sebagai bahan baku peralatan dalam kebutuhan seperti; pembuatan rumah, pagar, tiang, dipan, rakit sungai, dll, juga dimanfaatkan sebagai “alat musik” yang dikenal dengan "Musik Bambu Hitada". Selain itu bambu dipakai sebagai alat utama untuk permainan “Bambu Gila” yang dalam bahasa Ternate disebut permainan

“Baramasuwen” Sebagian masyarakat di pulau Halmahera provinsi Maluku Utara terutama di

kecamatan Sahu, Ibu dan Jailolo, termasuk orang Tobelo di Halmahera utara hingga kini masih mempertahankan jenis kesenian tradisional ini. Seni Musik Bambu ini mereka sebut dengan “Musik Bambu Hitada” atau sering disebut juga “Hitadi”. Sedangkan jenis musik tradisional yang lain yang tidak menggunakan bambu dikenal dengan “Musik Yanger”.

Musik Bambu Hitada dan Yanger ini biasanya dimainkan pada acara-acara tertentu, seperti; Hajatan Perkawinan, Pesta Rakyat atau Hajatan Syukuran di suatu kampung. Musik tradisional ini biasanya dimainkan secara bersama-sama oleh beberapa orang dalam ikatan “Group”. Sebuah group musik beranggotakan 5 hingga 13 orang. (Foto-1 : Musik Bambu Hitada - Halmahera)

Selain itu dibutuhkan beberapa buah gitar kecil buatan sendiri yang disebut “Juk” serta satu atau dua buah Biola tradisional. Kedua alat ini biasanya dicat dengan warna-warni yang kontras untuk keindahan. Alat-alat musik ini dimainkan secara bersama-sama, sehingga menghasilkan satu irama musik yang enak didengar. Pada musik Bambu Hitada lebih

membutuhkan banyak personil untuk memainkannya, karena setiap orang hanya memegang dua batang bambu yang hanya memiliki nada satu tone saja. (Foto - 3 ; Cikir, terbuat dari batok kelapa dan biji kacang hijau kering).

Page 11: Makalah suku togutil

Kerajinan Tangan SALOI, Saloi adalah tas punggung tradisional masyarakat Halmahera Utara. Saloi terbuat dari rotan dan biasanya digunakan kaum perempuan untuk pergi ke kebun. Saloi memiliki bentuk bundar yang mengerucut ke bawah. Saloi yang terdapat di Malifut biasanya berukuran lebih kecil. Bentuk Saloi di Halmahera Utara sangat mirip dengan Saloi yang terdapat di kepulauan Sangihe hanya saja berbeda dalam hal bahan dasar yang

digunakan. 

TOLU, Tolu atau topi biasanya digunakan masyarakat Halmahera Utara untuk berkebun ataupun melaut. Tolu berbahan dasar pelepah pinang yang sudah terlebih dahulu dikeringkan. Bentuknya sangat mirip dengan topi tradisional petani Indonesia. Tolu dapat dijumpai pada hampir semua suku di Halmahera Utara dan berfungsi sebagai peneduh dari hujan dan terik matahari. 

 

PIRING ROTAN, Sesuai namanya, piring ini terbuat dari rotan yang saling dililit-lilitkan dan dibentuk menyerupai piring makan pada umumnya. Biasanya sebelum diisi makanan piring rotan akan terlebih dahulu dialasi daun pisang. 

  POROCOSIGI, Porocosigi dengan bentuk menyerupai botol dibuat dengan memanfaatkan daun pandan kering. Di bagian atas Porocosigi biasanya dihiasi dengan daun Woka yang sudah terlebih dahulu diwarnai. Bagi masyarakat Halmahera Utara, Porocosigi berfungsi sebagai wadah penyimpan beras.

Page 12: Makalah suku togutil

KESIMPULAN

Suku Togutil sangat menjaga kearifan lokal berupa bentuk larangan untuk

menebang hutan atau pohon sagu secara tidak terorganisir. Suku ini telah

mengalami banyak perubahan baik dari segi agama yang telah beralih dari agama

lokal menjadi agama resmi, dari yang nomaden menjadi menetap dan bermata

pencaharian di luar berburu dan menangkap ikan. Namun, itu tidak berlaku pada

suku primitif yang masih menetap di dalam kawasan hutan.

Pola hidup pada Suku Togotil yang sudah berbaur dengan masyarakat luar

yang dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam bercocok tanam. Sehingga dapat

dikatakan bahwa pada Suku Togutil sudah mau membuka diri bagi masyarakat luar

terkait kebudayaan walaupun masih ada sebagian yang masih tertutup dengan

adanya budaya luar.

Page 13: Makalah suku togutil

DAFTAR  PUSTAKA

Aminah, Andi Nur. 2011. Togutil Penghuni Rimba Halmahera. Bataviase.co.id

Anonim. 2011. Mengenali Suku Togutil. Http://aci.detik.travel/grouppetualang/1.com.

Kartini, et.al. 2006. Pemanfaatan Keanekaragaman Genetik Tumbuhan Oleh Masyarakat Togutil

Di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jurnal Fakultas Kehutanan Ipb : Bogor.

Latif, Busranto. 2009. Mengenai “Orang Togutil” Suku Terasing Di Pedalaman Pulau

Halmahera. http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-

pulau-halmahera-2.com. diakses 20 Desember 2011.

Martodirdjo, h.s. 1996. Orang Togutil Di Halmahera. [Disertasi]. Universitas Padjadjaran

Bandung.

Sosebeko, theo s. 2010. Asal Usul Suku Togutil Di Bumi Halmahera.

Http://www.halmaherautara.com/bdy/asal-usul-suku-togutil-di-halmahera.html. Diakses 17

Desember 2011.