Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

7
8/20/2019 Makalah Soetandyo Wignjosoebroto http://slidepdf.com/reader/full/makalah-soetandyo-wignjosoebroto 1/7

Transcript of Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

Page 1: Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

8/20/2019 Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-soetandyo-wignjosoebroto 1/7

Page 2: Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

8/20/2019 Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-soetandyo-wignjosoebroto 2/7

 

NEGARA HUKUM

DAN PERMASALAHAN AKSES KEADILAN

DI NEGERI-NEGERI BERKEMBANG PASCA-KOLONIAL

Sebuah risalah ringkas,

Dimaksudkan sebagai rujukan ceramah dan diskusi

Pada acara seminar bertajuk “Negara Hukum dan Akses Pada Keadilan”

Yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Epistema

Di Jakarta, 09-10 Oktober 2009

Soetandyo WignjosoebrotoGurubesar Emeritus pada Universitas Airlangga

Dalam penjelasan UUD-45 (yang dijadikan bahan penataran P-4 pada masa yang lalu),

apa yang disebut ‘negara hukum’ disebutkan di situ secara lebih lengkap dalam suatu rangkaian

kata-kata: ‘negara yang berdasarkan hukum’. Sebenarnya istilah ini, entah dituliskan pendek-

 pendek entah pula dituliskan agak panjang sebagai suatu frase, adalah hasil terjemahan dari

istilah hukum berbahasa Belanda rechtsstaat . Istilah rechtsstaat ini -- atau yang di dalam Bahasa

Jerman dituliskan Rechtsstaat  atau pula yang di dalam Bahasa Inggris dituliskan the lawstate

atau the(supreme) state of law, yang berarti status hukum yang tertinggi dan berkekuatan ruling)

 – tersimak dalam perundang-undangan di Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1854,

ialah tahun diundangkannya Regeringsreglement Hindia Belanda.

Istilah rechtsstaat dipakai dalam perbincangan kali ini sebagai istilah keilmuan guna

menunjuk ke suatu pengalaman sejarah dalam perkembanagan peradaban masyarakat Eropa

Barat, namun yang akhir-akhir ini kian kehilangan maknanya yang objektif, yang dapat

difungsikan sebagai sarana analisis yang fungsional. Dihubungkan dengan persoalan ‘keadilan’

dan ‘akses untuk memperoleh keadilan’, kata istilah ‘negara hukum’ ini telah kian kian

 berkarakter normatif, legalistik dan cenderung dipercaya sebagai jalan pintas untuk menemukan

solusi berbagai permasalahan yang menghadang negeri-negeri baru pasca-kolonial, yang kini

tengah berupaya mengembangkan diri ke arah modernitas. Karena berkonsep normatif, dan taklagi semata-mata prekriptif-positivistik, secara konseptual kata istilah ‘negera hukum’ ini lalu

 juga menjadi bersifat judgmental, dan kehilangan fungsinya sebagai sarana analisis untuk

mendapatkan simpulan “apa sesungguhnya yang tengah terjadi menurut fakta sosio-histoiknya”,

 pada perkembangan negara hukum ini, as a matter of fact, di negeri-negeri yang tengah

 berkembang pasca-kolonial, khususnya Indonesia. 

Page 3: Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

8/20/2019 Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-soetandyo-wignjosoebroto 3/7

Tentang Istilah dan Konsep ‘Negara Hukum’ 

Apa yang disebut dalam bahasa Indonesia ‘Negara Hukum’ itu – seperti yang telah

dikatakan di muka -- sesungguhnya mulai dikenal dalam perbincangan hukum tatapemerintahan

dan tatanegara di Indonesia sejak dicantumkannya kata istilah ini dalam bahasa asalinya

rechtsstaat di dalam Reglement of het Beleid der Regering van Nederlands –lndie ( PeraturanTentang Kebijakan Pemerintahan Hindia Belanda, disingkat Regeringsreglement atau RR begitu

saja) dari tahun 1854. Ketika RR diganti dengan Indische Staasregeling (Peraturan

Ketatanegaraan Tanah Hindia, disingkat IS, yang berlaku sejak tahun 1926), sehubungan dengan

 persiapan pemberian kekuasaan pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dari Negeri Belanda

kepada Tanah Hindia), janji untuk tetap mempertahankan tanah jajahan Hindia sebagai suatu

rechtsstaat tetap tertulis di IS, dan diterima dalam maknanya sebagai dasar konstitusional

 pemerintahan di Tanah Hindia.

Syahdan, apa yang semula dituliskan dalam RR 1854 jo IS 1925 itu jelas tak luput dari

 perhatian para juris nasionalis Indonesia yang belajar di sekolah-sekolah tinggi Hindia Belanda

 pada era kolonial. Konsep yang dimaknakan sebagai dasar konstitusional suatu pemerintahan

demokratik, baik yang dinyatakan dalam bahasa asalinya, ‘rechtsstaat ’, maupun terjemahannya

yang dipopulerkan kemudian, ialah ‘negara hukum’, mengisyaratkan bahwa suatu organisasi

 pemerintahan yang baik mestilah disusun atas dasar kesiapannya untuk menundukkan diri pada

ketentuan-ketentuan hukum, dan tidak secara vulgar mendasarkan diri semata pada besarnya

kekuasaan politik (machtstaat ). Tetapi akan diketahui kemudian dalam praktek ketatangaraan di

negeri-negeri berkembang pasca-kolonial bahwa apa yang disebut rechtsstaat atau ‘negara

hukum’ ini ternyata amat mudah diniatkan dan dituliskan di naskah-naskah atau dibicarakan

dalam sidang-sidang pertemuan politik daripada dilaksanakan in concreto 

Sesungguhnya, konsep ‘rechtsstaat ’ atau’negara hukum’ini adalah konsep yang datang

dan berasal dari luar wilayah peradaban pribumi. Inilah konsep yang termutakhirkan lewat

revolusi kerakyatan yang terjadi di kawasan peradaban Eropa Barat, khususnya Amerika dan

Perancis. Konsep ini merupakan paradigma baru bahwa negara dan alat kekuasaannya (yang

disebut pemerintah) tak dibenarkan apabila bertindak atas dasar kekuasaannya belaka; alih-alih,

haruslah ditumpukan pada dasar kebenaran hukum yang telah dipositifkan; ialah undang-undang,

yang pada gilirannya bertegak di atas kebenaran “hukum (ius > iustia) yang telah disepakati dan

dibentuk bersama dalam wujud undang-undang (ius constitutum), khususnya yang paling dasar,

ialah Undang-Undang Dasar. Inilah yang dalam perbendaharaan istilah bahasa Inggris disebutthe state of law atau the lawstate atau l’ état des lois dalam bahasa Perancis.  Dari sinilah

lahirnya sekurang-kurangnya 3 (tiga) karakteristik yang melekat, sine qua non, tak boleh tidak  

dalam konsep rechtsstaat , ialah tatkala harus diterapkan dalam kehidupan bernegara bangsa. 

Yang pertama ialah, bahwa apa yang disebut ‘hukum’ dalam negara hukum itu harus

dibentuk dalam wujudnya yang positif. Demi kepastian berlakunya di alam yang objektif (yang

Page 4: Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

8/20/2019 Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-soetandyo-wignjosoebroto 4/7

dalam bahasa falsafah positivisme Perancis disebut ‘alam positif’), hukum mestilah dibentuk ke

dalam preskripsi-preskripsi, ialah rumus-rumus tertulis yang mendalilkan adanya hubungan

sebab akibat antara suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum tertentu dengan akibat

hukumnya. Kedua, apa yang disebut hukum (yang telah selesai dalam bentuknya yang

 preskriptif-positif itu, dan boleh disebut ius constitutum atau lege alias undang-undang itu) harus

merupakan hasil proses kesepakatan kontraktual antara golongan-golongan partisan dalam suatu

negeri, langsung ataupun melalui wakil-wakilnya, melalui suatu proses yang disebut ‘proses

legislasi’. Ketiga, hukum yang telah diwujudkan dalam bentuk undang-undang (berikut undang-

undang yang paling dasar yang disebut Undang-Undang Dasar) dan bersifat kontraktual itu akan

mengikat seluruh warga bangsa secara mutlak, mengalahkan aturan-aturan normatif macam

apapun, yang lokal ataupun yang sektarian, namun yang belum disepakatkan melalui proses

legislatif agar diberlakukan sebagai bagian dari hukum nasional.

Tiga karakteritik pokok seperti itu berimplikasi konsep dasar bahwa hukum (undang-

undang nasional hasil kesepakatan legislatif) itu berkedudukan tertinggi. Tak ayal lagi, konsep

rechtsstaat itu sekaligus juga menyatakan asas bahwa hukum undang-undang nasional itu

merupakan hukum yang berstatus paling tinggi, (mengatasi norma macam apapun yang berlaku

secara informal dalam masyarakat). Dinyatakan di dalam bahasa Belanda, rechtsstaat itu boleh

 juga terbaca sebagai singkatan dari de hoogste rechtsstaat, atau yang dikatakan di dalam bahasa

Inggris sebagai the supreme state of law, yang apabila diterjemahkan balik ke dalam bahasa

Indonesia tidak lagi berarti ‘negara hukum’, melainkan ‘status supremasi hukum perundang-

undangan nasional’, yang akan mengikat sesiapapun yang berada di teritori berlakunya hukum

nasional hasil kerja legislasi itu, baik yang awam biasa maupun yang memngemban jabatan di

struktur kekuasaan.

Distorsi Konsep Negara Hukum di Negara-Negara Baru Pasca-Kolonial

Masalah  bermula dari ketiadaan paham yang benar oleh para nasionalis pribumi -- yang

 berhasil mengambil alih kekuasaan dari para penguasa Barat -- tentang konsep dan sejarah

lahirnya konsep lawstate/rechtsstaat  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa di Eropa.

Konsep ‘negara hukum’ itu berasal dari pengalaman Barat dan merupakan bagian dari tradisi

yang berkembang dalam sejarah politik dan budaya Barat. Harold Berman, dalam bukunya Law

 And Revolution: The Development of Western LegalTradition – menulis dengan runtut lahir dan

 perkembangan konsep the (supreme) state of law yang juga disebut de hogere rechtsstaat . Nilahkonsep rule of law.  Law adalah hasil kesepakatan, dan hanya hukum yang dibentuk melalui

kesepakatn sajalah yang akan berlaku dalam statusnya yang tertinggi, dan buka kehendak

seseorang secara sepihak, entah itu perintah, titah ataupun fatwa. Inilah konsep yang dikisahkan

oleh Berman, bermula dari terjadinya kesepakatan untuk menyelesaikan konflik dalam perebutan

supremasi kekuasaan antara Paus Gregorius VII dan Kaisar Heinrich pada tahun 1178, atau pula

antara Paus Incentious dan Raja John (1209-1213), berlanjut ke kesepakatan serupa antara Raja

Page 5: Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

8/20/2019 Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-soetandyo-wignjosoebroto 5/7

John dan para baron yang dipiagamkan dalam Magna Charta Libertatum (1215), sampaipun ke

sampaipun ke hari-hari pecahnya revolusi liberal di Perancis yang menghasilkan kesepakatan

konstitusional (1889) sebagai realisasi teori Kontrak Sosial sebagaimana yang dikemukakan

antara lain oleh Jean Jacques Rousseau (1776). .

Perkembangan historik konsep atau dalil kebenaran ‘supremasi hukum’ dalam kehidupan bernegara bangsa – ialah hukum yang ruling sebagai hasil kesepakatan, yang karena itu mesti

dihormati dan akan mengikat para pihak di bawah adagium pacta sunt servanda – tidaklah

dikenal di negeri-negeri Timur. Dunia Timur baru mulai mengenal konsep dan dalil moral

 politik hukum ketatanegraan Barat ini ketika Dunia Timur, sebagai akibat penjelajahan bangsa

Barat, terimbas masuk menjadi bagian dari sejarah bangsa-bangsa barat. Pada periode

kolonialisme, sesungguhnya pengenalan itu dilakukan oleh para penguasa kolonial secara

 berangsur dan amat hati-hati agar tidak terjadi gegar budaya. Dalam persoalan ini, Robert

Seidman, dalam bukunya The State, Law and Development  (1978) pernah menuliskan suatu dalil

 bahwa hukum yang tumbuhkembang sebagai hasil sejarah budaya suatu bangsa tak akan dapat

ditarnasfer begitu saja ke kehidupan bangsa lain yang bersejarah dan bertradisi lain. Itulah yang

menjadi dasar kebijakan pemerintah kolonial Inggris untuk tetap menjalankan kebijakan rule of

(educated) man di daerah jajahannya di Afrika, walau di negerinya sendiri Inggris menerapkan

secara konsekuen prinsip the rule of law. 

Kebijakan kolonial Inggis untuk daerah jajahannya di Afrika, sebagaimana dilaporkan

Seidman, rupanya bersejajar benar dengan kebijakan kolonial Belanda untuk Indonesia pada

masa lalu.. Itulah yang menjadi dasar rasionalisasi politik kolonial Belanda untuk bekerja pada

alur kebijakan dualisme. Karena diketahui bahwa hukum itu – dalam bentuknya yang formil

mauoun dalam substansinya yang materiil -- merupakan suatu produk sejarah bangsa, maka penguasa kolonial Belanda masa itu memisahkan secara jelas dua wilayah jurisdiksi hukum, satu

yang berlaku untuk warga negara Belanda dan orang Barat asing lainnya, dan satu untuk

golongan penduduk non-Eropa. Untuk orang-orang dari golongan penduduk Bumiputera berlaku

dalam wilayah jurisdiksinya “ zijn eigen gewoonte, gebruiken en godsdienstige instellingen” (adat

tradisi, kebiasaan dan lembaga-lembaga keagamaan mereka sendiri).

Permasalahan Access to Justice : Kasus Indonesia 

Kebijakan dualisme kolonial ini ternyata tak lagi diikuti ketika kekuasaan kolonial

 berakhir di Indonesia. Para nasionalis pribumi menganggap, bahkan menuduh, bahwa kebijakan

dualisme adalah kebijakan diskriminatif yang akan menghambat kemajuan bangsa pribumi

memasuki dunia modern. Dualisme jurisdiksi -- yang secara implisit juga merupakan pemisahan

antara kawasan ‘negara hukum’ yang nasional-modern dan kawasan ‘masyarakat hukum’ yang

lokal-adat (yang dalam literatur Belanda diistilahi adat  rechtsgemeenschap) dianggap tak lagi

sejalan dengan cita-cita modernisasi bangsa. Akan tetapi, ketika konsep negara hukum diambil-

Page 6: Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

8/20/2019 Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-soetandyo-wignjosoebroto 6/7

alih untuk dipakai begitu saja, ternyata dalam praktek terjadi kebijakan-kebijakan nasional yang

mendua juga di sini. Konsep negara hukum yang berasal dari bumi asing diambil untuk

ditumbuhkembangkan di suatu bumi tradisi yang masih banyak dicoba dipertahankan

 berdasarkan “kepribadian bangsa sendiri”, nota bene yang untuk sebagian besar masih

mencerminkan kuatnya budaya patron-klien, yang tidak memuliakan kebebasan melainkan

kesetiaan klien. Di sini hukum (undang-undang) tak selalu dijadikan rujukan. Alih-alih,

kebijakan atau fatwa yang bersifat non-kontraktual itulah yang acap dijadikan rujukan.

Bukan sekali dua kali otoritas hukum undang-undang, yang bertumpu pada formalitas

kesepakatan legislatif, masih selalu dipertanyakan legitimasinya. Dalam banyak peristiwa,

 postulat-postulat undang-undang – dikalahkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang bertolak

dari substansi moralitas keadilan warga masyarakat. Bukan sekali pula putusan-putusan hakim

yang bertolak dari premis hukum undang-undang dipandang tak adil, sekalipun prosedur formal

telah diikuti secara relatif ketat. Ada konsep keadilan menurut bunyi hukum undang-undang

yang dalam kehidupan negara hukum harus dipandang supreme dan final, namun tidak demikian

menurut adat atau hukum adat lokal, yang mulai menyeruak ke tataran nasional, harus dilihat

sebagai keadilan yang tak sekali-kali substantif. Terjadi apa yang disebut legal gaps, suatu

silang selisih yang sering tajam antara apa yang seharusnya berlaku menurut bunyi undang-

undang dan apa yang seharusnya berlaku menurut tradisi, adat atau moral masyarakat. Dari

sinilah datangnya amatan sosiologik bahwa law is not always society.

Di mana keadilan? Keadilan yang mana? ‘Keadilan komutatif’ yang dikonstruksi

menurut kesepakatan legislatif dalam bingkai rechtsstaat , ataukah ‘keadilan distributif’

sebagaimana yang dititahkan sang tribunus yang kepala suku”, yang bisa bertindak sebagai

 patron yang baik bagi para kliennya dalam kehidupan rechtsgemeenschappen? Ke manamenemukan keadilan? Ke hakim negara yang berstatus pejabat negara, yang karena itu harus

memberikan putusan berdasarkan hukum materiil dan formil yang telah diundangkan badan

legislatif dan ditegakkan oleh aparat eksekutif, ataukah mencari penyelesaian ke tokoh-tokoh

informal yang acapkali masih berwibawa tinggi dalam kehidupan masyarakat.

Tak muhal dan tak jarang pula resistensi terhadap hukum undang-undang justru

diprakarsai oleh para patron atau elit lokal yang konservatif namun berpengaruh. Para elit lokal

ini acapkali lebih mampu memobilisasi klien-kliennya berdasarkan sentimen-sentimen lokal

daripada para birokrat nasional. Menghadapi kenyataan seperti ini, hukum (undang-undang)

yang dimuliakan dalam kehidupan bernegara hukum seakan-akan kehilangan legitimasinya dankehilangan daya keefektifan serta kebermaknaan sosiologiknya. Persoalannya kini ini ialah,

 bahwa pelanggaran dan/atau pengabaian hukum undang-undang itu tidak hanya dilakukan oleh

seorang dua orang saja, yang akan bisa ditindak dengan penjatuhan sanksi terhadapnya,

melainkan oleh beratusribu orang. Persoalannya yang paling mendasar adalah bahwa para

“pelanggar” itu berkilah dengan merujuk ke dasar pembenar yang berada di ranah kesadaran dan

keyakinannya sendiri. Itulah keyakinan hukum yang berakar dalam-dalam di dalam struktur

Page 7: Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

8/20/2019 Makalah Soetandyo Wignjosoebroto

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-soetandyo-wignjosoebroto 7/7

 budaya warga masyarakat, yang bisa sungguh berbeda dengan postulat yang diambil sebagai

 premis kebijakan negara, baik kebijakan yang terproses di badan-badan legislatif maupun yang

diimplementasi di badan-badan eksekutif dan/atau yudisial.

Semua pengabaian yang berujung pada menjadi tak bermaknanya hukum undang-undang

itu bersebab dari kenyataan bahwa hukum undang-undang ini acapkali dipandang tidak ataukurang bersesuaian dengan rasa kepatutan yang telah terkanjur diadatkan. Dalam banyak

 peristiwa, pengabaian itu mungkin pula disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan yang

terkandung dalam hukum undang-undang itu dipandang kurang berpihak kepada -- dan oleh

sebab itu juga dinilai kurang menguntungkan -- kepentingan warga masyarakat dalam jumlah

signifikan. Kebijakan investasi, misalnya dipandang kurang adil dan kurang menguntungkan

apabila diwawas dari pertimbangan para buruh yang “ngeri” pada kebijakan outsourcing.

Pengabaian dan penolakan seperti itu akan kian nyata lagi apabila hukum negara ini nyatanya

hanya hendak memperbanyak jumlah kewajiban yang mesti dipenuhi warga negara, dan bukan

hendak memberikan hak-hak baru yang akan menjamin warga untuk memperoleh layanan sosial

yang lebih memadai daripada layanan yang terdahulu diberikan para pejabat negara. Kenyataan

ini tak hanya terjadi tatkala para ahli hukum di negeri ini getol mengembangkan teori ‘hukum

 pembangunan’ dengan doktrin law is a tool of social engineering, akan tetapi masih juga terjadi

ketika banyak pemikir hukum mulai mencoba melakukan siar ajaran hukum progresif, yang

diam-diam menyiratkan kembali ajaran hukum kodrat rintisan Romo Jesuit Fransisco Suarez

(1548-1617) dari madhab Salamanca. [***]