Makalah Seminar Hukum Bisnis : Pembahasan Mengenai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik,...
-
Upload
eko-sudarmakiyanto -
Category
Documents
-
view
199 -
download
6
description
Transcript of Makalah Seminar Hukum Bisnis : Pembahasan Mengenai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik,...
TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH HUKUM BISNIS
MAKALAH SEMINAR HUKUM BISNIS “PEMBAHASAN MENGENAI UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK : PERMASALAHAN DAN TANTANGAN”
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara
Bekerja sama dengan Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokat Indonesia
Ruang Audiotorium, Lantai 3, Gedung Utama, Kampus 1, Universitas
Tarumanegara, Jalan Letjen S. Parman No. 1
Kamis, 16 Februari 2009, Pukul 14.00 – 18.00 WIB
Di susun Oleh :
Didin Solihin (1M101526)
Eko Sudarmakiyanto (1M101535)
Imam Aris Munandar (1M101557)
Y. Dhista Priyo aji (1M101627)
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
BANK BPD JATENG
SEMARANG
2012
PERANAN UNDANG-UNDANG ITE
DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dalam lima
tahun terakhir ini telah membawa dampak kepada tingkat peradaban manusia yang
membawa suatu perubahan besar dalam membentuk pola dan perilaku masyarakat2.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat tersebut antara lain terjadi pada
bidang telekomunikasi, informasi, dan komputer. Terlebih dengan terjadinya
konvergensi antara telekomunikasi, informasi, dan komputer.
Dari fenomena konvergensi tersebut, saat ini orang menyebutnya sebagai
revolusi teknologi informasi. Istilah teknologi informasi sebenarnya telah mulai
dipergunakan secara luas pada awal tahun 1980-an. Teknologi ini merupakan
pengembangan dari teknologi komputer yang dipadukan dengan teknologi
telekomunikasi. Teknologi informasi sendiri diartikan sebagai suatu teknologi yang
berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses penyaluran
data/informasi tersebut dalam batas-batas ruang dan waktu.
Penggunaan teknologi informasi yang marak saat ini telah mengindikasikan
bahwa peradaban teknologi informasi yang merupakan ciri dari masyarakat
gelombang ketiga telah nampak. Dengan demikian wujud peradaban yang diuraikan
oleh Alvin Toffler sebagian telah dapat dilihat kenyataannya. Toffler menguraikan
bahwa peradaban yang pernah dan sedang dijalani oleh umat manusia terbagi dalam
tiga gelombang. Gelombang pertama terentang dari tahun 8000 sebelum Masehi
sampai sekitar tahun 1700. Pada tahapan ini kehidupan manusia ditandai oleh
peradaban agraris dan pemanfaatan energi yang terbarukan (renewable). Gelombang
kedua berlangsung antara tahun 1700 hingga 1970-an yang dimulai dengan
munculnya revolusi industri. Selanjutnya adalah peradaban gelombang ketiga yang
kini mulai jelas bentuknya. Peradaban ini ditandai dengan kemajuan teknologi
komunikasi dan Informasi (pengolahan data). Dampak yang ditimbulkan dari
peradaban tersebut adalah arus informasi dalam kehidupan manusia moderen tidak
mungkin lagi dapat dibatasi. Oleh Marshall MacLuhan disebut sebagai Global
Village.
Disini terlihat bahwa ungkapan Latin yang mengatakan “tempora mutantur,
nos et mutamur in Illis (artinya zaman berubah dan kita juga berubah bersamanya)”
terasa sangat relevan dalam era teknologi informasi global ini. Gambaran tentang
fenomena yang sama juga dilukiskan oleh John Naisbitt yang dikatakan bahwa kita
telah menapaki zaman baru yang dicirikan oleh adanya ledakan informasi
(Information Explosion) beserta sepuluh kecenderungan pokok yang sesungguhnya
menunjukkan bahwa kita telah beralih dari masyarakat industrial kemasyarakat
informasi. Kecenderungan terus berkembangnya teknologi tentunya membawa
perbagai implikasi yang harus segera diantisipasi dan juga diwaspadai. Upaya itu
sekarang telah melahirkan suatu produk hukum dalam bentuk Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun dengan lahirnya UU ITE belum semua permasalahan menyangkut masalah
ITE dapat tertangani. Persoalan tersebut antara lain dikarenakan: Pertama, dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik tidak semata-mata UU ini bisa diketahui oleh masyarakat pengguna
teknologi informasi dan praktisi hukum. Kedua, berbagai bentuk perkembangan
teknologi yang menimbulkan penyelenggaraan dan jasa baru harus dapat
diidentifikasikan dalam rangka antisipasi terhadap pemecahan berbagai persoalan
teknis yang dianggap baru sehingga dapat dijadikan bahan untuk penyusunan
berbagai Peraturan Pelaksanaan. Ketiga, pengayaan akan bidang-bidang hukum yang
sifatnya sektoral (rejim hukum baru) akan makin menambah semarak dinamika
hukum yang akan menjadi bagian sistem hukum nasional.
2.2. Konvergensi Bidang Telematika dan UU ITE
Hasil konvergensi di bidang telematika salah satunya adalah aktivitas dalam
dunia siber yang telah berimplikasi luas pada seluruh aspek kehidupan. Persoalan
yang muncul adalah bagaimana untuk penggunaannya tidak terjadi singgungan-
singgungan yang menimbulkan persoalan hukum. Pastinya ini tidak mungkin, karena
pada kenyataannya kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu. Kegiatan siber tidak lagi
bisa dibatasi oleh teritori suatu negara dan aksesnya dengan mudah dapat dilakukan
dari belahan dunia manapun, karena itu kerugian dapat terjadi baik pada pelaku
internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam
pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.
Meskipun secara nyata kita merasakan semua kemudahan dan manfaat atas
hasil konvergensi itu, namun bukan hal yang mustahil dalam berbagai
penggunaannya terdapat berbagai permasalahan hukum. Hal itu dirasakan dengan
adanya berbagai penggunaan yang menyimpang atas berbagai bentuk teknologi
informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa teknologi informasi digunakan sebagai
alat untuk melakukan kejahatan, atau sebaliknya pengguna teknologi informasi
dijadikan sasaran kejahatan. Sebagai contoh misalnya, dari suatu konvergensi
didalamnya terdapat data yang harus diolah, padahal masalah data elektronik ternyata
sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru
dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa
demikian cepat, bahkan sangat dahsyat.
Pesatnya perkembangan teknologi digital yang hingga pada akhirnya
menyulitkan pemisahan teknologi informasi, baik antara telekomunikasi, penyiaran
dan teknologi informasi merupakan dinamika konvergensi. Proses konvergensi
teknologi tersebut menghasilkan sebuah revolusi “broadband” yang menciptakan
berbagai aplikasi baru yang pada akhirnya mengaburkanpula batasan-batasan jenis
layanan, misalnya VoIP yang merupakan layanan turunan dari Internet, Broadcasting
via Internet (Radio Internet dan TV Internet) dsb. Dengan semakin pesatnya
perkembangan teknologi informasi, maka pengaturan teknologi informasi tidak cukup
hanya dengan peraturan perundang-undangan yang konvensional, namun dibutuhkan
pengaturan khusus yang menggambarkan keadaan sebenarnya dari kondisi
masyarakat, sehingga tidak ada jurang antara substansi peraturan hukum dengan
realitas yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya untuk kegiatan-kegiatan siber.
Meskipun bersifat virtual, kegiatan siber dapat dikategorikan sebagai tindakan dan
perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang siber sudah tidak pada
tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum
konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang
ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum.
Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat
buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus
dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara
nyata.
Aplikasi yang sangat banyak dipakai dari kegiatan siber adalah transaksi-
transaksi elektronik, sehingga transaksi secara online saat ini menjadi isu yang paling
aktual. Dan, sebenarnya hal ini menjadi persoalan hukum semenjak transaksi
elektronik mulai diperkenalkan, di samping persoalan pengamanan dalam sistem
informasi itu sendiri. Tanpa pengamanan yang ketat dan canggih, perkembangan
teknologi informasi tidak memberikan manfaat yang maksimal kepada masyarakat.
Teknologi digital memungkinkan penyalahgunaan informasi secara mudah, sehingga
masalah keamanan sistem informasi menjadi sangat penting.
Pendekatan keamanan informasi harus dilakukan secara holistik, karena itu
terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di dunia maya, pertama
adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga
pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi
sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat
mudah disusupi, diintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.
Satu langkah yang dianggap penting untuk menanggulangi itu adalah telah
diwujudkannya rambu-rambu hukum yang tertuang dalam Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 Tahun 2008 yang disebut sebagai
UU ITE). Hal yang mendasar dari UU ITE ini sesungguhnya merupakan upaya
mengakselerasikan manfaat dan fungsi hukum (peraturan) dalam kerangka kepastian
hukum.
Dengan UU ITE diharapkan seluruh persoalan terkini berkaitan dengan
aktitivitas di dunia maya dapat diselesaikan dalam hal terjadi persengketaan dan
pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan bahkan korban atas aktivitas di dunia
maya. Oleh karena itu UU ITE ini merupakan bentuk perlindungan kepada seluruh
masyarakat dalam rangka menjamin kepastian hukum, yang sebelumnya hal ini
menjadi kerisauan semua pihak, khususnya berkenaan dengan munculnya berbagai
kegiatan berbasis elektronik.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU ITE meskipun pengaturannya
secara umum tetapi cukup komprehensif dan mengakomodasi semua hal terkait dunia
siber. Materi yang diatur dalam UU ITE umumnya merupakan hal baru dalam sistem
hukum kita, hal tersebut meliputi : masalah pengakuan transaksi dan alat bukti
elektronik, penyelesaian sengketa, perlindungan data, nama domain dan Hak
Kekayaan Intelektual, serta bentukbentuk perbuatan yang dilarang beserta sanksi-
sanksinya.
Bila dilihat dari sudut pandang keilmuan, UU ITE memiliki berbagai aspek
hukum, sehingga dikatakan sebagai UU multi aspek, karena banyak memiliki aspek,
dan hampir seluruh aspek hukum diatur. Aspek hukum transnasional, karena jelas-
jelas UU ini mengatur lingkup yang tidak saja di Indonesia tetapi melewati batas
negara. Aspek hukum pidana, mengatur Crime (kejahatan), Aspek Hukum Perdata
yang mengatur transaksi-transaksi di bidang bisnis. Aspek Hukum Administrasi,
karena menyangkut adanya pemberian izin oleh pemerintah dan aspek hukum acara
baik Pidana maupun Perdata. Kita harus akui bahwa kritikan yang bertubi-tubi juga
terjadi pada UU ITE. Beberapa persoalan tersebut menyangkut kepada : pertama,
apakah transaksaksi dapat berjalan, karena banyak persoalan teknis yang harus
disiapkan khususnya menyangkut pada transaksi dan penyelenggaraan sistem
elektronik; kedua, masalah berkaitan dengan hak asasi manusia dalam menyampaikan
pendapat; dan ketiga, masalah ketentuan sanksi (pidana), yang dianggap terlalu
berlebihan dan memberatkan. Masalah ini perlu kita perhatikan karena implementasi
peraturan (hukum) setidaknya harus dapat memberikan kepastian, kemanfaatan, dan
keadilan bagi masyarakat.
Di samping segala kelebihan dan manfaat dari internet, penggunaan jaringan
global maya tersebut berpotensi memiliki dampak hukum yang serius dan diperlukan
langkah-langkah konkrit untuk mengatasi masalah yang timbul sekaligus
mengantisipasi berbagai masalah hukum di masa yang akan datang. Dengan
pendekatan hukum yang saat ini telah berdasar atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka UU ITE merupakan
bentuk upaya perlindungan kepada masyarakat. Dan, setidaknya UU ITE mengatur
dua hal yang amat penting, Pertama : pengakuan transaksi elektronik dan dokumen
elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga
kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.
Kedua: diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi
pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI disertai sanksi pidananya termasuk
untuk tindakan carding, hacking dan cracking. Beberapa masalah hukum yang
teridentifikasi dalam penggunaan teknologi informasi adalah mulai dari penipuan,
pelanggaran, pembobolan informasi rahasia, persaingan curang sampai kejahatan
yang sifatnya pidana. Kejadian-kejadian tersebut sering terjadi tanpa dapat
diselesaikan secara memuaskan melalui hukum dan prosedur penyidikan yang ada
saat ini. Tentunya ini merupakan tantangan bagi penegak hukum. UU ITE telah
sangat tegas mengatur secara tegas baik dari tata cara penyidikannya hingga
perluasan alat bukti. Namun bagian terpenting adalah implementasi di lapangan untuk
penegakan hukum dalam kaitannya beraktivitas di dunia maya.
Dalam hukum perdata dan bisnis, urusan yang diatur dalam UU ITE adalah
didasarkan pada urusan transaksi elektronik yang meliputi transaksi bisnis dan
kontrak elektronik. Masalah yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE tersebut
adalah hal yang berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari
Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik. Pengaturan Informasi,
Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik. Juga secara umum dikatakan bahwa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya
dengan Tanda Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang
sah. Disamping itu Pasal 5 ayat 1 s/d ayat 3, secara tegas menyebutkan : Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Namun dalam ayat (4) ada
pengecualian yang menyebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.
Dalam kaitannya dengan Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik dan Sistem
Elektronik, kewajiban Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik menjadi hal yang
penting diatur dalam UU ini, misalnya Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus
menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna jasa,
yang meliputi: a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda Tangan; b.
hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat Tanda Tangan
Elektronik; dan c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan dan
keamanan Tanda Tangan Elektronik. Sedang, bagi Penyelenggaraan Sistem
Elektronik, Penyelenggara harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal
dan aman agar Sistem Elektronik beroperasi sebagaimana mestinya. Dan, untuk
memberikan perlindungan bagi masyarakat, maka dalam UU ITE diatur masalah
berkenaan dengan transaksi secara elektronik. Hal ini untuk menjaga hubungan antar
pihak dalam menentukan rambu-rambu dalam melaksanakan transaksi. Urusan
transaksi elektronik yang diatur dalam Pasal 5 s/d 22 UU ITE merupakan inti dari
masalah keperdataaan dan bisnis. Urusan ini dalam peraturan pelaksanaan dan
peraturan teknisnya harus jelas dan detail, khususnya untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat, khususnya konsumen. Karena peluang pelanggaran
melalui tele-marketing, seperti pemberian informasi yang benar; perlindungan untuk
memperoleh produk sesuai dengan yang dijanjikan atau ditawarkan; perlindungan
untuk memperoleh kompensasi akibat produk seringkali tidak sesuai dengan yang
ditawarkan atau dijanjikan.
3. Pembahasan
Untuk Indonesia, UU ITE (hukum siber) menjadi bagian penting dalam
sistem hukum positif secara keseluruhan. Adanya bentuk hukum baru sebagai akibat
pengaruh perkembangan teknologi dan globalisasi merupakan pengayaan bidang-
bidang hukum yang sifatnya sektoral. Hal ini tentunya akan menjadi suatu dinamika
hukum tersendiri yang akan menjadi bagian sistem hukum nasional.
Hukum nasional sesungguhnya merupakan suatu sistem. Menurut Subekti
sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri
dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana
atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Dalam pola pikir
yang disampaikan oleh Sunaryati Hartono, Sistem terdiri dari sejumlah unsur atau
komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruhmempengaruhi, terkait satu sama
lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi. Semua unsur/komponen/fungsi/
variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu,
sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi. Asas utama
yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan
UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain seperti asas
kenusantaraan, kebangsaan, dan kebhinekaan.
Sistem hukum nasional pada dasarnya tidak hanya terdiri dari kaidahkaidah
atau norma-norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur dan
organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk
juga perilaku hukum pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan pandangan sistemik, Sistem Hukum Nasional mencakup
berbagai sub bidang-bidang hukum dan berbagai bentuk hukum yang berlaku yang
semuanya bersumber pada Pancasila. Keragaman hukum yang sebelumnya terjadi di
Indonesia (pluralisme hukum) diusahakan dapat ditransformasikan dalam bidang-
bidang hukum yang akan berkembang dan dikembangkan (ius constituendum).
Bidang-bidang hukum inilah yang merupakan fokus perhatian perkembangan
dan pengembangan Hukum Nasional menuju pada tatanan Hukum Modern Indonesia
yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan (lingkaran terakhir), yurisprudensi
(lingkaran keempat), peraturan perundang-undangan (lingkaran ketiga), UUD 1945
(lingkaran kedua), dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Bila dilihat dari gambar di atas, khususnya pada lingkaran kelima, akan
muncul berbagai bidang hukum baru. Oleh karena itu Prof. Sunaryati
mengantisipasinya dengan menuliskan bidang hukum lainnya. Mengutip atas
pandangan yang disampaikan oleh Prof. Sunaryati, tepat sekali apabila saat ini telah
benar terjadi dan hadirnya teknologi informasi merupakan hasil konvergensi
telekomunikasi, media dan komputer sehingga muncul suatu media yang dikenal
dengan internet. Atas itu lahirlah suatu rejim hukum baru yang dinamakan dengan
hukum siber. Dan, ini merupakan suatu dinamika dari suatu konvergensi yang
melahirkan hukum baru. Untuk pembangunan hukum siber dari sisi substansi tentu
harus pula mengantisipasi berbagai bentuk perkembangan teknologi.
4. Penutup
Dengan diundangkannya UU ITE, bukan berarti seluruh permasalahan yang
terjadi di bidang telematika sudah selesai, masih banyak persoalan yang harus juga
diantisipasi, terutama atas hasil konvergensi yang pastinya menimbulkan berbagai
bentuk layanan virtual baru dan berbagai persoalan teknis yang pastinya terus
berkembang.
Perkembangan hukum yang sifatnya sektoral sesungguhnya menjadi suatu
bagian yang perlu mendapat perhatian kita semua. Dan, sesungguhnya tidak dapat
dihindari bahwa perkembangan hukum yang sektoral telah menjadi kenyataan. Bila
kita lihat beberapa produk hukum yang ada saat ini, kekentalan anutan sektoral
nampak sering terlihat, sifat sektoral tersebut karena pengaturannya yang teknis dan
spesifik. Sesuatu yang sektoral umumnya sering berjalan tanpa melihat kepentingan
sektor-sektor lain. Untuk mengantisipasi dan menghindari pertentangan yang sifatnya
tarik menarik antar sektor, sinkronisasi dan harmonisasi dalam tahapan pra legislasi,
mulai dari kajian dan penyusunan naskah akademik untuk menunjang dasar
pengajuan legislasi menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan.
Untuk lebih memberikan pemahaman terhadap hukum, khususnya terhadap
produk-produk hukum yang sifatnya teknis seperti UU ITE, disamping harus
dilakukan diskusi-diskusi ilmiah, juga perlu dilakukan pembudayaan hukum melalui
sosialisasi yang intens yang ditujukan terhadap seluruh lapisan masyarakat dan aparat
penegak hukum.
Untuk melaksanakan pembinaan hukum nasional yang ditujukan untuk
pembentukan sistem hukum nasional, kajian-kajian terhadap berbagai persoalan yang
merupakan bagian dari tugas pembinaan hukum terus diupayakan agar hukum dapat
berjalan dengan baik. Dalam konteks UU ITE, kajian-kajian yang menyangkut
persoalan teknis terus dilakukan mengingat UU ITE memerlukan beberapa peraturan
pelaksanaan yang sifatnya teknis seperti : persoalan yang menyangkut sertifikasi
keandalan, tanda tangan elektronik, penyelenggaraan sistem elektronik,
penyelenggaraan transaksi elektronik, penyelenggaraan agen elektronik, pengelolaan
nama domain, masalah intersepsi, pengelolaan data strategis.
Daftar Pustaka
Richardus Eko Indrajit, Sistem Informasi dan Teknologi Informasi, Elex Media
Komputindo, Jakarta: Gramedia, 2000
Ahmad Ramli, Cyber Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum di Indonesia, Refika
Aditama, 2004
UU No. 11 Tahun 2008, tentang Transaksi elektronik dan dan kontrak elektronik.
Subekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional, makalah
disampaikan pada Seminar Hukum Nasional IV tahun 1979.
Sunaryati Hartono, Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi
Masyarakat Dunia.
Pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran Bandung, 1991.