Makalah Seminar 1 Sks Fix

download Makalah Seminar 1 Sks Fix

of 16

Transcript of Makalah Seminar 1 Sks Fix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan usaha budidaya ikan di Indonesia sekarang ini mengalami peningkatan dan merupakan usaha yang memiliki potensi untuk dikembangkan di masa yang akan datang, terlebih lagi pemerintah telah mencanangkan program minapolitan. Akan tetapi, hal ini tidak bisa terlepas dari peristiwa di Indonesia dimana pernah terjadi wabah penyakit ikan sampai 5 kali, yaitu tahun 1932, 1940, 1951, 1971, dan terakhir 1980. Empat wabah pertama peyebabnya belum begitu jelas, mungkin oleh sejenis parasit, sedangkan pada wabah terakhir disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila (Djajadireja dan Cholik, 1982). Wabah penyakit khususnya yang terjadi tahun 1980 telah menyerang beberapa spesies ikan terutama karper dan lele. Sejak wabah terakhir ini penyakit oleh bakteri selalu timbul secara berkala dan menimbulkan kerugian besar sehingga menghambat usaha pengembangan budidaya ikan. Wabah penyakit terjadi karena adanya patogen ganas, inang yang rentan dan lingkungan yang kurang baik (Kamiso & Triyanto, 1990). Penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri lebih umum dikenal dengan penyakit bakterial. Salah satu bakteri tersebut adalah bakteri Aeromonas sp. yang banyak manyebabkan kematian hampir 80-100% dari ikan komoditas yang dibudidayakan dalam waktu 1-2 minggu dan merugikan dari sisi produktivitasnya (Purwaningsih dkk, 2007). Penanggulangan hama dan penyakit ikan selama ini tertumpu pada penggunaan obat-obatan. Penggunaan obat-obatan secara terus menerus akan menimbulkan masalah, yaitu timbulnya patogen yang resisten, penimbunan residu obat-obatan di tubuh ikan, dan pencemaran lingkungan yang akhirnya dapat mempengaruhi organisme perairan yang berguna (Wu dkk., 1981). Pencegahan timbulnya penyakit bakterial dapat dilakukan dengan sanitasi lingkungan, meningkatkan nutrisi yang diberikan maupun dengan vaksinasi. Pengendalian penyakit dengan vaksinasi sangat efisien karena dengan cara ini dapat diperoleh kekebalan hanya dengan sekali atau dua kali pemberian vaksin sampai ikan dipanen. Selain itu vaksinasi tidak menimbulkan efek samping bagi ikan seperti halnya pada penggunaan antibiotik (Supriyadi & Rukyani, 1990). Usaha vaksinasi untuk mencegah penyakit yang disebabkan bakteri A. hydrophila menurut Plumb (1984) 1

mempunyai prospek yang baik tetapi masih terdapat beberapa masalah. Salah satu masalah yang ditimbulkan oleh adanya heterogenitas antigenik dari bakteri tersebut. Untuk mengatasi hal itu Plumb (1984) berpendapat adanya kemungkinan pembuatan vaksin monovalen dengan aplikasi terbatas atau vaksin polivalen dengan aplikasi yang lebih luas. Vaksin monovalen merupakan vaksin yang dibuat dari satu isolat bakteri. Vaksin monovalen didisain untuk imunisasi melawan satu antigen atau satu mikroorganisme Vaksin polivalen adalah vaksin yang terdiri dari beberapa antigen yang memiliki beberapa epitope. Epitope adalah bagian antigen (tempat penentu) yang benar-benar berespon dengan klon-klon limfosit. Tempat penentu tersebut akan menyebabkan reaksi-reaksi silang sesuai dengan gaya ikat masing-masing pada antibodi-antibodi. Sehingga ikan yang telah diberi vaksin maka klon-klon limfosit ikan tersebut akan aktif dan akan menghasilkan antibodi. B. Tujuan 1. Mengetahui sifat dan karakteristik vaksin monovalen dan polivaelen A. hydrophila. 2. Membandingkan keefektifan penggunaaan vaksin monovalen dengan vaksin polivalen Aeromonas hydrophila dalam mencegah penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia). C. Manfaat Kajian ini diharapkan dapat membandingkan keefektifan antara vaksin monovalen dengan vaksin polivalen Aeromonas hydrophila dalam mencegah penyakit MAS (Motile Aeromonas hydrophila) sehingga kedepannya dapat lebih efektif dan efisien.

2

II. PEMBAHASAN

A. Bakteri Aeromonas hydrophila Menurut Buchanan dan Gibbon (1974) cit Lestari (2002), Holt et al., (2000), Aeromonas hydrophila diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Family Genus Spesies : Protophita : Schizomycetes : Pseudomonadales : Aeromonadaceae : Aeromonas : Aeromonas hydrophila Bakteri A. hydrophila merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat patogen terhadap ikan dan bersifat oportunis. Pada dasarnya A. hydrophila sangat umum dijumpai di air dan memiliki beragam serotipe yang berbeda tingkatan virulensinya. Ciri utama bakteri Aeromonas adalah bentuknya batang, ukurannya 1-4 0,4-1 m, bersifat Gram negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak berspora, bersifat motil (bergerak aktif) karena mempunyai satu flagel (monotrichous flagella) yang keluar dari salah satu kutubnya, senang hidup di lingkungan bersuhu 15-30oC dan pH antara 5,5-9 (Kordi, 2004). Menurut Kamiso dkk., (1993), A. hydrophila juga bersifat oksidase positif, membentuk asam dan gas pada medium karbohidrat, dan fermentatip. Berbentuk batang, bergerak, tanpa endospora dan tanpa kapsul serta bersifat katalase positif. Bersifat H2S positif dan indol positif (Austin dan Austin, 1986). Holt et al., (2000) menyatakan bahwa genus Aeromonas secara biokimia bersifat chemoorganotrophic, tipenya fermentatif metabolisme. Kebanyakan spesies tumbuh baik pada suhu 37 oC, tetapi setiap strains berbeda. Memproduksi asam dan gas pada proses katabolisasi karbohidrat seperti pada glukosa. Dapat menghidrolisis arginin, bersifat decarboxylase ornithin negatif yang artinya bakteri A. hydrophila tidak dapat menguraikan gugus karboksil dari suatu molekul organik untuk menghasilkan CO2, dan tidak dapat menghidrolisis urea artinya bakteri A. hydrophila tidak dapat menghasilkan enzim urease untuk menguraikan urea menjadi ammonium dan CO2, serta pada test deaminase phenylalanin bernilai negatif yang artinya tidak dapat mengkatalisis pemindahan gugus 3

amino (NH2) dari asam amino dan molekul lainnya yang mengandung NH-. Gelatin positif yang berarti bahwa A. hydrophila mampu menghidrolisis gelatin oleh eksoenzim yang disebut gelatinase, dapat mereduksi nitrat, dapat memfermentasi karbohidrat untuk semua strains yaitu maltosa, D-galaktosa, dan trehalose. y Epizootiologi Penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri tersebut dikenal dengan nama MAS (Motil Aeromonas Septicaemia) atau menurut Irianto (2004), dikenal dengan nama BHS (Bacterial Hemorrhagic Septicaemia), dengan tanda-tanda antara lain warna kulit menjadi gelap, bercak-bercak merah pada permukaan tubuh, dan pada sirip-siripnya, mata rusak dan menonjol serta adanya benjolan-benjolan yang terdapat pada permukaan tubuh (Kamiso dan Triyanto, 1991). Pada bagian dalam tubuh juga terdapat tanda-tanda antara lain hemorrhage pada intestinum, peritonium dan jaringan otot serta isi perut tampak berdesakkan. Secara histopatologis tampak terjadinya nekrosis pada limpa, hati, ginjal, dan jantung. Seringkali bakterimia ditandai oleh penampakkan sel-sel bakteri pada jaringan tersebut (Irianto, 2004). y Epidemiologi Umumnya penyebaran terjadi secara horizontal lewat kontak langsung dengan air atau hewan yang sakit (Irianto, 2004). Menurut Kordi (2004), penularan bakteri Aeromonas juga dapat melalui kontak dengan peralatan yang telah tercemar atau karena pemindahan ikan yang telah terserang Aeromonas dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya bakteri Aeromonas hidup di air tawar yang mengandung bahan organik tinggi.

B. Vaksin dan Vaksinasi 1. Vaksin dan pembuatannya Menurut Kordi dan Ghufran (2004), vaksin adalah satu antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk meningkatkan ketahanan (kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu. Vaksin berfungsi sebagai antigen stimulan untuk memacu selsel terspesialisasi untuk memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umunya adalah limfosit (Anderson, 1974). Meskipun dari proses masuknya vaksin ke dalam tubuh 4

ikan sampai terbentuknya antibodi secara biokimia dan fisiologis belum diketahui dengan jelas, tetapi sampai sekarang dikenal adanya dua imunitas pada vertebrata, yaitu imunitas sel dan imunitas humoral. Pada prinsipnya vaksin dapat mencegah terjadinya infeksi yaitu vaksin yang mengandung seluruh sel, dan vaksin dapat mencegah efek infeksi yaitu vaksin toxoid clostridium (Soeripto, 2001). Mekanisme kerjanya, sebelum vaksin dibuat lakukan kultur bakteri dan setelah disiapkan kultur bakteri dari masing-masing isolat, bakteri diinaktifkan dengan larutan formalin sampai 2 % dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian sel-sel bakteri dipanen, sel-sel bakteri yang diperoleh kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali dengan menggunakan sentrifuse selama 10 menit pada kecepatan 3000 rpm. Sebelum vaksin digunakan atau disimpan, diadakan uji viabilitas terlebih dahulu untuk melihat kemungkinan adanya sel bakteri yang masih hidup. Caranya yaitu dengan mengambil sampel dan ditumbuhkan pada medium TCBS selama 24 jam. Bila ternyata masih ada yang hidup, inaktivasi diulangi kembali. Selanjutnya vaksin disimpan dalam refrigerator untuk sewaktu-waktu digunakan. Antigen O (Ag O) dibuat dari kultur murni bakteri pada medium Trypticase Soya Broth (TSB) yang telah berumur 18-24 jam. Inaktivasi bakteri dengan cara pemanasan pada suhu 100 oC selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan Phosphate Buffer Saline (PBS) (pH 7,0) sebanyak 3 kali dengan sentrifuse (3000 rpm selama 10 menit). Selanjutnya Ag O tersebut disimpan dalam refrigerator sampai digunakan. Pada saat penggunaan antigen O melalui pemanasan, hal ini ditujukan agar didapat bagian membran sel yang hanya mengandung polisakarida murni tanpa ada lagi campuran dari lipid yang hilang karena pemanasan. Antigen H (Ag H) dibuat dengan menginaktivasi bakteri dari kultur murni dalam medium TSB umur 18-24 jam dengan formalin konsentrasi 2%. Selanjutnya dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali. Untuk penggunaan selanjutnya, antigen H tersebut disimpan dalam refrigerator. pada penggunaan antigen H dengan perendaman formalin yang bertujuan untuk melemahkan bakteri sehingga mengalami pengkerutan karena kehilangan cairan sel. Biasanya titer antibodi yang didapat relatif tinggi karena antigen H mempunyai afinitas tinggi terhadap flagel dan mudah menyebabkan bergerombolnya flagel. Semua vibrio mempunyai antigen H yang sama. Antigen H ini bersifat tahan

5

panas. Antibodi terhadap antigen H tidak bersifat protektif. Sedangkan Antibodi terhadap antigen O bersifat protektif. 2. Vaskinasi Vaksinasi adalah salah satu cara pemberian rangsangan atau antigen secara sengaja agar ikan dapat memproduksi antibodi terhadap suatu bibit penyakit atau patogen. Keberhasilan vaksinasi tergantung beberapa vaktor antara lain jumlah dan mutu antigen, cara vaksinasi, umur ikan, lingkungan hidup, serta sifat dan kemampuan masing-masing individu ikan (Dorson, 1984). Menurut Souter (1984), cara vaksinasi dapat dilakukan dengan injeksi peritoneal, injeksi intramuskular, merendam dalam suspensi vaksin, menyemprotkan suspensi vaksin bertekanan tinggi ketubuh ikan dan melalui makanan atau oral. Vaskinasi dilakukan dengan tujuan peningkatan antibodi. Adapun mekanisme terbentuknya antibodi yaitu dimulai dengan adanya 2 macam sel limfosit, limfosit T yang dipersiapkan oleh atau mempunyai ketergantungan dari kelenjar timus dan berperanan dalam kekebalan seluler dan limfosit B yang mempunyai ketergantungan dari bursa dan berperanan dalam kekebalan humoral. Kedua macam limfosit setelah dirangsang oleh antigen akan mengalami proliferasi dan perubahan morfologi. Limfosit B akan berubah menjadi sel plasma yang mensintesa dan mengeluarkan antibodi. Kemudian limfosit T berubah menjadi sel limfoblas yang mengandung

banyak ribosom sehingga menjadi basofilik dalam pewarnaan. Kegiatan limfosit B dapat dilihat dari pembentukan pusat germinatif di daerah korteks kelenjar limfe dan penyebaran sel plasma ke daerah medulla. Immunoglobulin hanya ditemukan pada permukaan sel limfosit B dan sebagian besar memilki immunoglobulin jenis IgM pada permukaan sel, mungkin dalam bentuk monomer. Antibodi pada ikan terletak di dalam serum dan yang digunakan dalam Ab adalah serum dan PBS yang diletakkan dalam sumuran. Antibodi digunakan untuk mengetahui adanya reaksi antara antigen dengan antibodi atau disebut dengan aglutinasi. Setelah dilakukan booster perbandingan antara vaksin dan kontrol cukup terlihat jelas yaitu terjadi peningkatan pada titer antibodi akhir setelah divaksin yaitu 4,5 dan kontrol 4. Hal tersebut dikarenakan didalam tubuh ikan yang divaksinasi sudah

6

ada respon imun yang terbentuk secara alami dalam tubuh ikan tersebut, dengan demikian terjadi reaksi antigen-antibodi. Menurut Kamiso dan Triyanto (1990), mengatakan bahwa besarnya titer

antibodi tidak langsung sebanding dengan kemampuan daya tahan ikan. Hal ini diindikasikan bahwa ikan yang memiliki titer Ab rendah lebih tahan dibandingkan ikan yang memilki titer tinggi. Hal tersebut tergantung sifat dan kemampuan Ab yang terbentuk walaupun Ab yang dimiliki mempunyai kelas yang sama (IgM pada ikan). SR (Survival Rate) merupakan tingkat kelulushidupan ikan setelah divaksin. Variasi dari tingkat kelulushidupan dikarenakan adanya perbedaan kondisi lokasi percobaan, baik keadaan fisik bak pemeliharaan, kualitas air, jumlah dan mungkin tingkat keganasan dari vibrio yang ada serta cara pemeliharaan. RPS (Relative Percent Survival) atau tingkat perlindungan relatif digunakan untuk menunjukkan efikasi vaksin atau penggunaan vaksin untuk melindungi ikan dari serangan bakteri. Menurut Kamiso dkk., (1993) mengatakan bahwa hasil uji laboratorium dimana RPS vaksinasi sekitar 58-100%. Umur ikan sangat berpengaruh terhadap evikasi vaksin. Semakin besar atau semakin tua ikan nila yang divaksin semakin tinggi RPS-nya. Karena menurut Thune (1980), semakin besar atau bertambahnya umur ikan, tanggapan kekebalannya semakin baik, sebab organ tubuh yang berhubungan dengan tanggapan kekebalan sudah lebih berkembang. MTD (Mean Time To Death) atau rata-rata hari kematian, vaksinasi tidak selalu mempengaruhi hari kematian ikan. Menurut Kamiso (1986) pada vaksinasi untuk mencegah vibriosis mengatakan bahwa meskipun vaksinasi meningkatkan tingkat perlindungan ikan, ternyata rata-rata waktu kematian tidak berbeda antara ikan yang divaksin dan kontrol. Vaksin atau vaksinasi itu meningkatkan daya tahan tidak hanya humoral tetapi juga seluler dalam pertahanan tubuh antara seluler dan humoral tidak saja bekerja sendiri-sendiri tetapi juga saling bekerja sama. Apabila pertahanan, baik itu humoral maupun seluler meningkat maka antibodi pun juga akan meningkat. Karena kita tahu bahwa pertahanan humoral berperan di dalam sel limfosit B dan sedangkan petahanan seluler berperan dalam sel limfosit T. Setelah kedua macam sel tersebut dirangsang oleh antigen maka akan mengalami proliferasi dan perubahan morfologi. Pada sel 7

limfosit B akan menjadi sel plasma yang mensintesis dan memproduksi antibodi. Dengan demikian apabila sel limfosit B tersebut meningkat akibat rangsangan vaksin maka produksi antibodi yang dihasilkan pun juga akan meningkat. Vaksin merupakan antigen stimulan yang memacu sel-sel terspesialisasi untuk memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umumnya adalah limposit (Anderson, 1974). Sedangkan antibodi adalah molekul immunoglobulin yang memilki urutan asam amino khas, hanya berinteraksi dengan antigen yang sintesanya dirangsang mutagen tersebut di jaringan limfoid (Kamiso dkk., 1993). Vaksin dengan antigen memiliki hubungan yang sangat erat karena vaksin sendiri adalah bahan atau antigen yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuh ikan untuk merangsang kekebalan spesifik pada ikan. Kemudian antigen memiliki hubungan yang erat pula dengan titer antibodi, karena jenis antigen akan menentukan tingginya titer antibodi. Selain itu juga variasi antigenik dari bakteri yang digunakan tidak saja pada jenis antigen tetapi juga besarnya titer antibodi yang terbentuk. Dengan demikian tingginya titer antibodi tergantung dari jenis antigen yang digunakan dan variasi antigenik dari bakteri tersebut. Jika titer antibodi tinggi maka tingkat kelulushidupan dari ikan pun juga akan tinggi. Karena semakin baik efikasi vaksin yang digunakan untuk merangsang sel limfosit dalam membentuk antibodi maka semakin baik pula pertahanan baik itu humoral maupun seluler. Sehingga akan menekan tingkat kematian yang tinggi akibat infeksi bakteri dan sebaliknya akan meningkatkan laju pertumbuhan.

C. Perbandingan Keefektifan antara Vaksin Monovalen dengan Polivalen Dalam pengembangannya, vaksin dapat bersifat monovalen maupun polivalen. Sifat vaksin monovalen didesain untuk imunisasi melawan satu antigen atau satu mikroorganisme. Vaksin polivalen adalah vaksin yang dirancang untuk melawan dua atau lebih antigen dari mikroorganisme yang sama atau mikroorganisme yang berbeda. Penelitian tentang penggunaan kedua vaksin ini telah banyak dilakukan sehingga perlu dilihat tingkat keefektifan dari kedua sifat vaksin tersebut. Song et al. (1984) telah berhasil mengebalkan ikan Japanese Eel (Anghuila japonica) dengan vaksin monovalen A. hydrophila. Daya kandung vaksin tersebut pada ikan sekitar 87%. Penelitan lain juga dilakukan oleh Kamiso dan Triyanto (1992), dimana 8

membandingkan antara vaksin monovalen dengan polivalen dalam uji tantang Aeromonas hydrophila di Yogyakarta dengan berbagai perlakuan.

Tabel 1, menunjukkan bahwa vaksin monovalen sangat efektif bila digunakan secara rendaman dan vaksin polivalen secara injeksi. Perlindungan juga terlihat beda nyata (P0,05) antara ikan yang divaksin monovalen (11,92%) dengan polivalen (11,10%). Rata-rata hari kematian (MTD), antara ikan yang divaksin monovalen (hari ke 22,6), polivalen (hari 26,6) dan kontrol (hari ke 25,4) juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (tabel 2.). Tetapi apabila ke empat lokasi dibandingkan terdapat perbedaan yang nyata (P