Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

77
BAB I LAPORAN KASUS Data Pasien Tanggal Pemeriksaan : 4 Desember 2012 Np. Medrek : 120xxxxx Nama : Tn. A S Umur : 34 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Bandung Masuk RSHS : 4 Desember 2012 Anamnesis Keluhan Utama : Panas badan Anamnesis Khusus : Sejak 2 minggu lalu pasien mengeluh panas badan terus-menerus. Panas badan berkurang dengan obat penurun 1

Transcript of Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Page 1: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

BAB I

LAPORAN KASUS

Data Pasien

Tanggal Pemeriksaan : 4 Desember 2012

Np. Medrek : 120xxxxx

Nama : Tn. A S

Umur : 34 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Bandung

Masuk RSHS : 4 Desember 2012

Anamnesis

Keluhan Utama : Panas badan

Anamnesis Khusus :

Sejak 2 minggu lalu pasien mengeluh panas badan terus-menerus. Panas

badan berkurang dengan obat penurun panas, namun kemudian kambuh kembali.

Pasien juga mengeluhkan terdapat sariawan pada lidah dan pipi bagian dalam. Pasien

merasa badannya lemas, cepat merasa lelah dan pandangan berkunang-kunang bila

bangun dari duduk/jongkok ke berdiri. Mencret dengan frekuensi kurang lebih 1-2x

sehari, encer, berlendir, dan ada darah.

1

Page 2: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Pasien diketahui menderita B 20 sejak 5 tahun yang lalu, kontrol teratur di

poliklinik Teratai sampai 1 tahun yang lalu. Namun, pasien tidak pernah kontrol lagi

sejak 1 tahun lalu karena merasa sudah sembuh, dan berhenti mengonsumsi obat.

Riwayat penyakit TB sejak 5 tahun lalu, terapi selama 6 bulan di poliklinik

DOTS dan sudah dinyatakan sembuh.

Tanda Vital

Kesadaran : CM

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 98 x / menit

Pernafasan : 20 x / menit

Suhu : febris (38,3oC)

Kepala : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, mukosa bibir kering,

bercak-bercak putih di rongga mulut (+)

Leher : JVP 5+2 cm H2O, KGB tidak teraba

Thorax : Bentuk dan gerak simetris, batas paru-hepar InterCostal Space V

kanan, pergerakan 2 cm.

COR : Ictus cordis tidak tampak, teraba di intercostal space V (mid

clavicularis), tidak kuat angkat, thrill (-), batas kanan linea sternalis

dextra, kiri intercostal space V, (mid clavicularis), batas atas

intercostal space III. Bunyi jantung S1, S2 (-), S3(-)

Pulmo : Vocal Fremitus (VF) kiri=kanan normal, perkusi sonor

kiri=kanan, VBS kiri=kanan, Vocal Resonansi (VR) kiri=kanan N,

ronchi -/- , wheezing -/-

Abdomen : datar, BU (+) N, lembut, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, R.

Trauber kosong, pekak samping (-).

2

Page 3: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Gambar 1. Candidiasis pada dorsum lidah Gambar 2. Xerostomia/dry mouth

Ekstremitas : akral hangat +/+, cap refill < 2”, sianosis -/-, edema pitting pre

tibial -/-

PEMERIKSAAN INTRA ORAL

Kebersihan Mulut : baik/sedang/buruk plak +/- RA

dan RB

Kalkulus +/- RA dan RB stain +/- RA dan RB

Gingiva : Oedem , terdapat destruksi pada papila interdental yang

ditutupi lapisan pseudomembran putih keabuan

Mukosa Bukal : TAK

Mukosa Labial : TAK

Palatum Durum : TAK

Palatum Mole : TAK

Frenulum : TAK

Lidah : terdapat lesi putih, berupa noda dan plak berwarna putih seperti

gumpalan susu (krim) pada dorsum lidah.

Dasar Mulut : TAK

Bibir : kering

3

Page 4: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Gambar 2. NUG pada gingiva

Diagnosis Kerja

B 20 Stadium IV dengan IO : Candidiasis Oral, wasting syndrome

Bisitopenia ec B 20

Diagnosis Intra Oral

NUG

Candidiasis

Xerostomia/dry mouth

Pengobatan

 Bed Rest

  Diet lunak 1500 kkal/hari, protein 1gr/KgBB/24 jam, Kh:L 60:40

  IV NaCl 0,9% 1500 cc/24 jam

 Cotrimoxazol 1x960 mg PO

4

Page 5: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

 Paracetamol 3x500 mg/hari PO (6 Des’12)

 Nystatin oral suspense 4 x 5 cc (4 Des’12 – 5 Des’12)

 Fluconazol 1x200 mg PO (mulai 5 Des’12)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (4 Desember 2012)

No. Pemeriksaan Hasil Nilai Normal1 KIMIA KLINIK

AST (SGOT)ALT (SGPT)

8632

L:s/d 37L: s/d 40

2 URINE/FESESFeses rutinMakroskopis fesesWarna KonsistensiDarah LendirNanahParasitMikroskopis fesesLekositEritrositTelur cacingamoeba

KuningLembekNegatifNegatifNegatifNegatif

Positif 4NegatifNegatif

-LembekNegatif Negatif Negatif Negatif

Negatif Negatif Negatif Negatif

Pemeriksaan Laboratorium (9 Desember 2012)

No. Pemeriksaan Hasil Nilai Normal1. HEMATOLOGI

Darah Rutin Hemoglobin Hematokrit Leukosit Eritrosit

8.023

30002.53

13,5 - 17,5 g/dL40 - 52 %

4400 - 11300/mm34.5 - 6.5 juta/µL

5

Page 6: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Trombosit Indeks Eritrosit MCV MCH MCHC

258000

89.731.635.2

150000 - 450000/mm3

80 - 100 fL26 - 34 pg32 - 36 %

2 KIMIA KLINIK Ureum Kreatinin Glukosa Darah Sewaktu Natrium (Na) Kalium (K)Kalsium (Ca bebas)Magnesium (Mg)

230.721041244.64.901.60

15 - 50 mg/dL0.7 - 1.2 mg/dL

< 140 mg/dL135 - 145 mEq/L3.6 – 5.5 mEq/L4.7 – 5.2 mg/dL

1.70 – 2.55 mg/dL

6

Page 7: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

1. DEFINISI HIV/AIDS

HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang menyerang

kekebalan tubuh pada manusia sehingga tubuhnya rentan terhadap infeksi dan

penyakit. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit

retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresi berat yang

menimbulkan infeksi opurtunistik, neoplasma sekunder dan manifesitasi neurologis

(Viney Kumar, 2007; Sepkowitz, 2001).

Pada tingkat pandemi HIV tanpa gejala jauh lebih banyak dari pada pendrita

AIDS itu sendiri. Penderita AIDS di masyarakat dapat digolongkan kedalam 2

kategori yaitu :

1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita

AIDS positif).

2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita

AIDS negatif).

2. ETIOLOGI

Penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang

tergolong Retrovirus RNA. Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan

7

Page 8: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated

Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi HIV

III. Lalu, pada tahun 1986 atas kesepakatan internasional nama virus ini diubah

menjadi HIV (Siregar, 2004).

HIV merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai

sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Limfosit T, karena ia

mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Limfosit T,

virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama

dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian, virus dalam tubuh penderita

HIV selalu dianggap infeksius yang setiap saat dapat aktif dan ditularkan selama

penderita tersebut hidup. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan terhadap panas

dan bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan

seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai

disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, namun

virus ini relatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet (Siregar, 2004).

Gambar 1. Human Immunodeficiency Virus/HIV(sumber:http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2b/HIV_Virion-en2.png)

8

Page 9: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

3. CARA PENULARAN

HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh, Cairan tubuh merupakan

vehikulum yang dapat membawa virus HIV dan cairan yang terbukti menularkan

diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita.

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara

penularan HIV yang diketahui adalah melalui :

1. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik merupakan penularan infeksi HIV

yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan

vagina atau servik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV

kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan

pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering

berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia

yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (FHI, 2012; Siregar, 2004).

2. Transimisi Non Seksual

2.1 Transmisi Parenral

1. Penggunaan Jarum Suntik dan alat tusuk (jarum) lainnya

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik/tato)

yang telah terkontaminasi HIV, misalnya pada pengguna narkotika yang

menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Selain itu,

transimisi dapat terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan

9

Page 10: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

tanpa disterilkan terlebih dahulu atau penggunaan jarum yang telah tercemar pada

saat pemasangan tato atau tindik tubuh. Resiko tertular cara transmisi parental ini

kurang dari 1% (FHI, 2012; Siregar, 2004).

2. Transfusi Darah

Transmisi melalui transfusi darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun

1985. Setelah tahun 1985, transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang,

karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular

infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90% (FHI, 2012; Siregar,

2004).

2.2 Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar

50%. Penularan dapat terjadi sewaktu melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan

melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (FHI, 2012; Siregar,

2004).

4.PATOGENESIS HIV/AIDS

Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limfosit T

helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan

pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam

menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas

seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk

zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel limfosit T4. Setelah HIV

10

Page 11: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas

bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA

agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak

akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi

irreversibel dan berlangsung seumur hidup Siregar, 2004).

Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di

infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada

kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun

akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. Setelah

beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan

memperlihatkan gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara

terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6

bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan

pada orang dewasa (Siregar, 2004).

Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak sehingga

mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena

penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,

protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma Kaposi

(Vaseliu, 2013; Siregar, 2004).

11

Page 12: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala (symptoms) yang timbul pada penderita AIDS sulit

didefinisikan karena merupakan gejala tersebut berawal dari gejala umum yang lazim

timbul pada beberapa penyakit lain, yaitu:

Rasa lelah dan lesu

Berat badan menurun secara drastis

Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam

Mencret dan kurang nafsu makan

Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut

Pembengkakan leher dan lipatan paha

Radang paru-paru

Kanker kulit

Klasifikasi Klinis Infeksi HIV pada Orang Dewasa Menurut WHO

Stadium

Gambaran Klinis Skala Aktifitas

I 1. Asimptomatik2. Limfadenopati generalisata

Asimptomatik, aktifitas normal

II 1. Berat badan menurun < 10%2. Kelinan kulat dan mukosa yang ringan

seperti mukosa seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, kheilitis angularis

3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir4. Infeksi saluran nafas bagian atas,

seperti sinusitis bakterialis

Simptomatik, aktifitas normal

III 1. Berat badan menurun < 10% Pada umumnya lemah,

12

Page 13: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

2. Diare kronis yang lebih dari 1 bulan3. Demam berkepanjangan lebih dari 1

bulan4. Kandidiasis orofaringeal5. Oral hairy leukoplakia6. TB paru dalam tahun terakhir7. Infeksi bkcterial yang berat seperti

pneumonia, piomiositis.

aktifitas di tempat tidur < 50%

IV 1. HIV wasting syndrome 2. Pneumonia pneumocytis carinii3. Toksomplasmosis otak4. Diare kriptosporidiosis lebih dari 1

bulan5. Kriptokokosis ekstrapulmonal6. Retinitis virus sitomegalo7. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan8. Leukoensefalopati multifocal

progresif9. Mikosis diseminata seperti

histoplastosis10. Kandidiasis di eosophagus, bronkus,

trakea dan paru11. Mikobakteriosis atipikal desiminata 12. Septisimia salmenolosis non tipoid13. Tuberkolosis di luar paru14. Limfoma15. Sarcoma Kaposi16. Ensefalopati HIV

Pada umunya sangat lemah, aktifitas di tempat tidur > 50%

13

Page 14: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

MANIFESTASI ORAL

Tabel 1. Lesi orofasial yang dihubungkan dengan HIV/AIDS pada orang dewqasa

(Vesiliu, 2013)

6.PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSIS AIDS

Ada lebih dari satu jenis tes HIV yang digunakan untuk menentukan apakah

seseorang telah terinfeksi HIV. Tes-tes ini mendeteksi zat yang berbeda dalam darah

yang muncul ketika seseorang telah terinfeksi HIV. Satu tes mendeteksi protein HIV

14

Page 15: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

yang beredar dalam tubuh setelah seseorang telah terinfeksi. Dua tes lain mendeteksi

antibodi HIV yang telah diproduksi oleh tubuh setelah infeksi HIV terjadi. Tes-tes

tersebut adalah:

ELISA TES

Tes ini mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah. Jika tes ini negatif

maka orang tersebut pasti tidak terinfeksi HIV dan tes lanjutan tidak diperlukan lagi..

Jika tes ini positif langkah kedua dijalankan untuk mengkonfirmasi hasil yang positif

dari tes pertama (Riyarto, 2011).

BLOT WESTERN TES

Tes ini digunakan untuk mengkonfirmasi hasil positif tes Elisa. Uji Blot

Western mendeteksi pita protein spesifik yang hadir dalam individu yang terinfeksi

HIV. Bila tes Elisa positif serta Western Blot positif maka hasilnya adalah 99,9

persen akurat dalam mendeteksi bahwa infeksi HIV telah terjadi (Riyarto, 2011).

HIV PCR

Tes PCR mendeteksi spesifik Asam deoksiribonukleat (DNA) HIV, Tes PCR

mendeteksi spesifik Asam deoksiribonukleat (DNA) HIV, Asam ribonukleat (RNA)

dan sekuens yang menunjukkan adanya HIV dalam struktur genetik orang yang

terinfeksi HIV. Setelah terjadi infeksi HIV, RNA dan DNA dari virus HIV beredar

dalam darah. Kehadiran dari DNA dan RNA "potongan" menunjukkan adanya virus

HIV (Riyarto, 2011).

15

Page 16: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

7.TERAPI

Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk

HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang waktu hidup dari penderita HIV. Pengobatan

ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 penderita

HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka diperlukan suatu

kombinasi yang terdiri dari tiga atau lebih ARV, secara umum disebut Antiretroviral

yang sangat aktif (High Active Antiretoviral Therapy / HAART). Kombinasi dari

ARV dapat mengunakan (FHI, 2012):

1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), menargetkan

pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan

dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).

2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat

reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu

enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam

memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk:

Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).

3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya

sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan

dilepaskan.

16

Page 17: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

2.2 WASTING SYNDROME

Wasting syndrome merupakan kondisi yang ditandai dengan menurunnya

berat badan berhubungan dengan demam kronis dan diare. Selama periode 1 bulan,

pasien bisa saja kehilangan 10% berat badan dari berat awal. Pada kasus infeksi

HIV,malnutrisi wasting dapat memperburuk kondisi. (Mosby's Medical Dictionary,

8th edition. 2009, Elsevier)

Wasting AIDS adalah hilangnya lebih dari 10% berat badan, disertai dengan

>30 hari diare, rasa lemas, dan atau demam. Wasting terkait dengan perkembangan

penyakit dan kematian. Kehilangan hanya 5% dari berat badan dapat memiliki efek

negative yang sama. Meskipun insidensi dari wasting syndrome sudah menurun

secara drastis sejak tahun 1996, wasting tetap menjadi masalah bagi penderita AIDS,

bahkan pada penderita HIV yang terkontrol dengan menggunakan obat-obatan.

Bagian dari berat tubuh yang hilang pada wasting adalah lemak. Yang lebih penting

adalah hiilangnya massa otot. Hal ini juga disebut “lean body mass” atau “body cell

mass” (http://www.aidsinfonet.org).

Wasting AIDS dan lipoatrophy, keduanya bisa menyebabkan beberapa

perubahan pada bentuk tubuh. Wasting merupakan hilangnya berat tubuh dan otot.

Lipoatrophy dapat menyebabkan hilangnya lemak di bawah kulit. Wasting tidak sama

dengan kehilangan lemak karena lipodystrophy. Namun, wasting pada wanita bisa

diawali dengan kehilangan lemak.

17

Page 18: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap wasting AIDS diantaranya:

- Asupan makanan yang rendah:

- Penyerapan gizi yang buruk: Pada orang yang sehat, penyerapan nutrisi

berlangsung pada usus kecil. Pada penderita HIV, adanya beberapa infeksi

(termasuk parasit) dapat mengganggu proses ini. HIV secara langsung dapat

mempengaruhi lapisan usus dan mengurangi penyerapan nutrisis. Diare

menyebabkan hilangnya kalori serta nutrisi.

- Perubahan metabolism: pencernaan makanan dan pembentukan protein

terganggu dengan penyakit HIV, bahkan sebelum gejala muncul, dibutuhkan

energi lebih banyak. Hal ini mungkin disebabkan karena peningkatan aktivitas

dari system imun. Penderita HIV membutuhkan lebih banyak kalori hanya

untuk mempertahankan berat tubuhnya.

Tingkat hormon dapat mempengaruhi metabolisme. HIV tampaknya

mengubah tingkat beberapa hormon, termasuk testosteron dan tiroid. Sitokin

jugaberperan dalam wasting. Sitokin adalah protein yang menghasilkan peradangan

untuk membantu tubuh memerangi infeksi. Orang dengan HIV memiliki tingkat

sitokin yang sangat tinggi. Hal ini membuat tubuh memproduksi lebih banyak lemak

dan gula, tetapi protein kurang.

Sayangnya, faktor-faktor ini dapat bekerja sama untuk menciptakan sebuah

“downward spiral”. Misalnya, infeksi dapat meningkatkan kebutuhan energi tubuh.

Pada saat yang sama, mereka dapat mengganggu penyerapan gizi dan menyebabkan

18

Page 19: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

kelelahan. Hal ini dapat mengurangi nafsu makan, mereka makan lebih sedikit, hal ini

mempercepat proses penurunan berat badan.

Tidak terdapat standar untuk mengobati Wasting AIDS. Namun, pengobatan

antiretroviral yang sukses biasanya menyebabkan naiknya berat badan yang sehat.

Pengobatan wasting berhubungan dengan masing-masing penyebab yang disebutkan

di atas (http://www.aidsinfonet.org).

- Mengurangi rasa mual dan muntah membantu meningkatkan jumlah makanan

yang masuk. Stimulan nafsu makan juga dapat digunakan.

- Mengobati diare dan infeksi oportunistik dalam usus membantu meringankan

penyerapan gizi yang buruk. Namun, dua infeksi parasit - kriptosporidiosis

dan mikrosporidiosis - masih sangat sulit untuk diobati. Pendekatan lainnya

adalah penggunaan suplemen gizi yang dirancang khusus untuk memberikan

kemudahan menyerap nutrisi. Suplemen harus digunakan sebagai tambahan

untuk diet seimbang.

- Mengobati perubahan dalam metabolisme: perawatan hormon sedang dalam

tahap penelitian. Hormon pertumbuhan manusia (Serostim) meningkatkan

berat badan dan lean body mass, sekaligus mengurangi massa lemak.

Testosteron dan anabolik (muscle building) mungkin juga dapat membantu

mengobati wasting.

19

Page 20: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

2.3 NECROTIZING ULCERATIVE GINGIVITIS (NUG)

1. Definisi

NUG adalah kondisi inflamasi pada gingiva yang mengalami kerusakan

berupa ulserasi dan nekrosis pada papila dan margin gingiva. NUG sering terjadi pada

perokok dan pasien immunocompromised, terutama pada mereka dengan human

immunodeficiency virus (HIV). NUG dianggap sebagai infeksi oportunistik.

Penyebab pasti NUG tidak diketahui, tetapi diduga bahwa mikroorganisme yang

paling sering menyebabkan lesi ini adalah bacillus fusiform dan spirochetes. Ada juga

proliferasi obligat anaerob, batang non-spora (Field and Longman, 2004; Newman

et.al., 2002).

Sebagai akibat dari rasa sakit yang berat, timbul ketidakmampuan untuk

makan dan menjaga kebersihan mulut dan ada kaitannya dengan penurunan berat

badan. Dalam beberapa pasien dengan NUG terdapat demam, malaise, dan

limfadenitis. Setiap pasien dengan faktor predisposisi yang tidak dapat diidentifikasi,

harus dicurigai menderita gangguan sistemik yang mendasari, mengingat

kemungkinan adanya kelainan darah pada pasien tersebut, sehingga pemeriksaan

hematologis harus dilakukan. Salah satu masalah klinis terbesar dalam penanganan

NUG adalah kekambuhan. Pasien dengan kebersihan mulut yang buruk atau dengan

kontur gingiva berubah sebelumnya, karena faktor-faktor lokal, rentan terhadap

infeksi berulang, terutama jika faktor predisposisi masih bertahan (Field and

Longman, 2004).

20

Page 21: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

2. Gambaran Klinis

Gambaran klinis NUG adalah nyeri dan perdarahan gingiva, disertai dengan

nekrosis papila gingiva, tenderness, dan rasa logam. Lesi awal umumnya terbatas

pada ujung papila interdental. Ulserasi ini kemudian menyebar di sepanjang margin

gingiva. Ulserasi ditutupi lapisan pseudomembran berwarna putih keabu-abuan.

Seiring dengan kerusakan papilla, nekrosis umumnya memanjang kea arah lateral di

sepanjang margin gingiva di permukaan facial atau lingual dari gigi (Field and

Longman, 2004).

Gambar. Lesi nekrosis yang meluas dari papila dan margin gingiva padapasien HIV (http://gr.dentistbd.com/necrotizing-ulcerative-gingivitis-ppt.html)

Pindborg dkk, menjelaskan proses pada NUG sebagai berikut:

a. erosi hanya pada ujung interdental papilla;

21

Page 22: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

b. lesi yang berlanjut ke marginal gingival dan menyebabkan erosi lanjutan

pada papilla dan berpotensi menghilangkan seluruh papilla;

c. attached gingiva juga terpengaruh; dan

d. pembukaan tulang.

Horning dan Cohen menjelaskan tahap dari perjalanan suatu penyakit nekrosis

seperti dibawah ini :

Tahap 1 : Nekrosis pada ujung papila interdental

Tahap 2 : Nekrosis seluruh bagian papila

Tahap 3 : Nekrosis berlanjut ke margin gingiva

Tahap 4 : Nekrosis juga berlanjut ke attached gingiva

Tahap 5 : Nekrosis berlanjut ke mukosa bukal atau mukosa labial

Tahap 6 : Nekrosis merusak tulang alveolar

Tahap 7 : Nekrosis melobangi kulit pipi

Menurut Horning dan Cohen, tahap 1 adalah NUG, tahap 2 bisa digolongkan

sebagai NUG atau NUP jika terjadi loss attachment, tahap 3 dan 4 merupakan tahap

terjadinya NUP, tahap 5 dan 6 adalah necrotizing stomatitis, dan tahap 7 adalah noma

(Newman et.al., 2002).

Pada pasien immunocompromised kondisi lesi NUG akan memburuk karena

kerusakan fungsi T-cell dan pada pasien HIV yang jumlah neutrofil dalam darahnya

menurun dapat menyebabkan lesi nekrosis berkembang dengan cepat. Pasien

terinfeksi HIV dengan NUG, proses nekrosis dan ulserasi bersifat progresif, pertama

melibatkan gingiva saja, dan kemudian berkembang menjadi NUP (necrotizing

22

Page 23: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

ulcerative periodontitis) dengan keterlibatan perlekatan jaringan periodontal dan

tulang alveolar (Regezi et.al., 2003).

3. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi terkait dengan NUG yang paling umum secara sistemik

adalah stres psikologis, kelelahan, daya tahan tubuh yang menurun, kekurangan gizi,

penyakit yang mempengaruhi neutrofil (seperti leukemia atau anemia aplastik), dan

infeksi HIV, juga faktor lain seperti merokok, meskipun tidak mudah untuk melihat

bagaimana faktor-faktor beroperasi. Nikotin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh

darah dengan penurunan aliran darah ke jaringan dan peningkatan kerentanan

terhadap infeksi dan kerusakan.

Penurunan respon imun merupakan faktor predisposisi sistemik penting untuk

NUG. Sebuah chronic necrotizing gingivitis berhubungan dengan infeksi HIV. Pada

pasien yang sehat dengan NUG, penyebaran infeksi dari margin gingiva relatif jarang

terjadi. Pada pasien dengan penyakit sistemik tertentu infeksi dapat menyebar ke

jaringan sekitarnya (Newman et.al., 200; Pindborg, 2009).

4. Diagnosis NUG

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan penemuan klinis. Smear bakteri

digunakan untuk menguatkan diagnosis klinis. Bakteri yang mungkin dapat ditemui

meliputi, Treponema vincentii, denticola, dan macrodentium, Prevotella intermedia,

Porphyromonas gingivalis, dan Fusobacterium nucleatum. Dari penelitian Loesche

23

Page 24: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

1972, sampel plak yang diambil dari pasien NUG menunjukkan adanya flora anaerob

Treponema spp, Selenomonas spp, Fusobacterium spp, dan Bacteroides intermedius

(Field and Longman, 2004; Newman et.al., 2002).

5. Penatalaksanaan NUG

Pengobatan awal NUG terdiri dari kontrol plak supragingiva, menghilangkan

faktor-faktor predisposisi dan penggunaan antibiotik sistemik. Pasien yang

mempunyai kebiasaan merokok harus dianjurkan untuk menahan diri dari merokok.

Instruksi yang diberikan pada pasien untuk menggunakan chlorhexidine gluconate

0,12% dengan cara berkumur dan menyikat gigi dengan lembut. NUG merespon

dengan cepat penggunaan Metronidazol dengan dosis 200 mg tiga kali sehari selama

3 hari, dan Penicillin 250mg sampai 500mg diberikan 4 kali sehari selama 5 hari,

dalam banyak kasus cukup untuk mengurangi gejala. Setelah fase akut telah teratasi,

perawatan periodontal harus dimulai seperti scaling dan root planning, serta dengan

saran berhenti merokok karena faktor predisposisi sangat bepengaruh pada

kekambuhan NUG (Field and Longman, 2004; Greenberg et.al., 2008; Newman

et.al., 2002).

2.4 XEROSTOMIA / DRY MOUTH

Xerostomia atau biasa disebut dengan mulut kering merupakan hal yang

umum dijumpai pada orang lanjut usia dan dapat pula disebabkan karena penyakit

24

Page 25: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

sistemik, obat-obatan, maupun terapi radiasi pada kepala dan leher. Seseorang dengan

xerostomia biasanya merasa terganggu pada saat pengunyahan, berbicara, penelanan

dan penggunaan gigi tiruan. Kurangnya saliva dapat menjadi predisposisi salah satu

infeksi mulut seperti Candidiasis dan meningkatkan resiko karies gigi. Dokter gigi

harus bisa mendiagnosis kondisi ini dan memberikan terapi yang sesuai agar pasien

merasa nyaman (Dugal, 2010).

1. Definisi

Xerostomia diartikan sebagai keluhan subyektif dari mulut kering,yang bisa

disebabkan karena hipofungsi kelenjar saliva atau persepsi rasa kering meskipun

aliran salivanya normal (Bruch and Treister, 2010).

Biasanya kata ini digunakan untuk menggambarkan rasa subyektif dari mulut

kering (misalnya perasaan pasien yang merasa mulutnya kering) maupun tanda

obyektif dari mulut kering. Baru-baru ini, telah disarankan bahwa “xerostomia”

digunakan sebagai perasaan subyektif dari pasien, sedangkan pernyataan seperti

“berkurangnya aliran saliva” dan “hiposalivasi” digunakan ketika membahas kondisi

obyektif pasien, dimana saat pengukuran didapatkan aliran saliva yang berkurang

atau bahkan tidak ada. Masalah terminologi ini lebih rumit dari kenyataannya,

faktanya tidak semua pasien yang secara obyektif telah diukur aliran salivanya

berkurang (hiposalivasi) menderita xerostomia, begitu pula sebaliknya, banyak pasien

yang mengeluh perasaan subyektif mulut kering (xerostomia) menunjukkan hasil

25

Page 26: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

pengukuran aliran saliva belum termasuk kategori hiposalivasi. Hal ini dikarenakan

tidak hanya jumlah dari saliva yang bertanggung jawab dalam membasahi mukosa

mulut, kualitas dari saliva juga penting.

2. Etiologi

Berkurangnya produksi saliva biasanya disebabkan oleh : efek dari terapi

obat; penyakit yang berhubungan dengan system imun; terapi radiasi; atau dehidrasi.

Kegelisahan juga dapat menyebabkan berkurangnya produksi saliva. Xerostomia

karena kelainan kongenital atau kegagalan perkembangan dari kelenjar saliva sangat

langka (Jordan and Lewis, 2004).

Xerostomia merupakan masalah yang umum dikeluhkan yang berhubungan

dengan beberapa kondisi, termasuk efek samping dari berbagai pengobatan, terapi

radiasi pada kepala dan leher, penyakit sistemik dan penyakit yang berhubungan

dengan kelenjar saliva. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kelenjar ludah rentan

terhadap kerusakan, pada orang lanjut usia terlihat adanya peningkatan prevalensi

gangguan saliva berhubungan dengan pertambahan usia (Dugal, 2010).

Tabel berikut ini merupakan rangkuman dari penyebab umum xerostomia.

Penyebab umum xerostomiaPengobatan (obat-obatan) - Antihistamines

- Antidepressants dan antipsychotics- Antihypertensives- Antianxiety agents- Diuretics- Obat antiparkinsonism

26

Page 27: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

- Antiematics- Bronchodilators- sedatives

Penyakit yang mempengaruhi kelenjar saliva

- sjogren’s syndrome- sarcoidosis- amyloidosis

Penyakit sistemik - diabetes- HIV infections- Chronis graft-vs-host disease setelah allogenic bone marrow transplant- Stress emosional dan depresi mental

Terapi radiasi (menyebabkan perubahan permanen)

- Terapi radiasi pada regio kepala dan leher untuk pengobatan Squamos cell kanker di rongga mulut, orofaring, nasofaring dan sinus.- Tumor otak- Tumor pada kelenjar ludah

Kemoterapi (menyebabkan perubahan sementara)

3. Manifestasi Klinis Xerostomia

Saliva sangat penting untuk menjaga kesehatan rongga mulut, dan memiliki

banyak fungsi pada rongga mulut serta gastrointestinal. Saliva membantu pada saat

pengunyahan, berperan sebagai self cleansing pada rongga mulut, membantu saat

berbucara, pengunyahan dan pengecapan. Saat hipofungsi atau terjadi xerostomia,

dapat terjadi gangguan sementara ataupun tetap pada intraoral maupun extraoral

(Dugal, 2010 ; Fox, 2008). Gejala dari xerostomia adalah rasa kering, sensasi terbakar

pada mulut dan tenggorokan, bibir kering dan pecah-pecah, terutama pada sudut

mulut. Gejala bibir pecah-pecah mulai dari yang ringan sampai dengan berdarah.

Pada orang lanjut usia dapat ditemukan masalah dalam penggunaan gigi tiruan dan

terdapat gangguan pada saat pengunyahan maupun penelanan makanan. Dapat juga

27

Page 28: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

merasa kesulitan pada saat berbicara karena adanya sariawan dan peningkatan karies

gigi juga penyakit periodontal (Fox, 2008; Mohammad, 2006).

Gambar : bibir, lidah, dan seluruh permukaan mukosa terlihat kering pada pasien dengan Sjogren’s syndrome. Terlihat pula adanya erosi dan debris epitel pada gigi,

merupakan tanda dari berkurangnya sekresi saliva. (Fox, 2008).

Gambaran klinis dari xerostomia diantaranya gambaran mukosa oral yang

kering, pucat maupun atropik. Pada lidah dapat terlihat hilangnya papilla dan

terdapatnya fisur juga gambaran inflamasi. Karies yang baru maupun rekuren,

kesulitan dalam pegunyahan serta penelanan dan gangguan pengecapan juga sering

terjadi. Biasanya terjadi infeksi jamur pada pasien xerostomia (Mohammad, 2006).

Gambar: Mulut kering yang terkait dengan sjogren’s syndrome. Lidah tampak kering dan pucat, papilla pada permukaan lidah hilang (Fox, 2008).

28

Page 29: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

4. Implikasi Dental (Dugal, 2010)

Pasien dengan xerostomia mengalami bermacam gejala pada rongga

mulutnya seperti:

- Meningkatnya kerentanan terhadap penyakit periodontal : xerostomia

menurunkan pH rongga mulut dan meningkatkan pembentukan plak gigi juga karies.

Karies merupakan masalah gigi yang sering terjadi pada pasien xerostomia, karena

berkurangnya aliran saliva dan ketidakmampuan pembersihan debris makanan dari

rongga mulut terutama gula dan makanan yang asam. Perkembangan dari rampan

karies terutama pada daerah servikal gigi telah diteliti beberapa minggu setelah terapi

radiasi pada kepala dan leher.

- Berkurangnya retensi pada geligi tiruan penuh karena berkurangnya

saliva.

- Iritasi dan ulserasi pada mukosa.

- Berkurangnya kapasitas buffering pada rongga mulut disertai

meningkatnya resiko infeksi opportunistik. Berkurangnya saliva

menyebabkan mudahnya pertumbuhan yang berlebihan dari jamur C.

albicans. Hal ini dapat bertambah dengan penggunaan denture, merokok

dan adanya penyakit diabetes.

- Meningkatnya sensitivitas oral, eritema pada jaringan lunak, sensasi

terbakar pada mulut, dan ketidaktoleran pada pemakaian denture.

29

Page 30: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

- Demineralisasi pada jaringan gigi, karies gigi yang cepat dan progresif

serta atrisi gigi.

5. Diagnosis

Diagnosis dapat diperoleh dari riwayat dan pemerikasaan rongga mulut

pasien, atau dengan sialometry (mengukur laju aliran saliva). Ada empat penilaian

klinis yang dapat diandalkan sebagai prediksi hipofungsi dari kelenjar saliva pada

saat pemeriksaan, diantaranya: kekeringan pada bibir, kekeringan pada mukosa bukal,

tidak adanya produksi saliva saat palpasi kelenjar saliva, dan skor

decayed/missing/filled teeth (DMFT) (Dugal, 2010).

Sialography dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya batu maupun

suatu masa. Salivary scintigraphy dapat digunakan untuk menilai fungsi kelenjar

saliva. Biopsi kelenjar saliva minor digunakan untuk mendiagnosis Sjogren’s

syndrome, HIV salivary gland disease, sarcoidosis dan amyloidosis. Biopsi kelenjar

saliva mayor merupakan pilihan apabila dicurigai adanya keganasan (Dugal, 2010).

Skrining proaktif untuk mulut kering dapat dimasukkan secara sederhana

dalam pemeriksaan rutin pada pasien yang beresiko atau memiliki gejala melalui

(http://www.dental-professional.com):

- Catatan riwayat medis

- Riwayat penggunaan obat

- Pertanyaan subjektif mengenai gejala mulut kering

- Pemeriksaan klinis pada rongga mulut

30

Page 31: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Tanda-tanda khas dari xerostomia yang dapat diidentifikasi oleh dokter gigi

antara lain:

- Kaca mulut menempel pada lidah atau mukosa bukal.

- Tidak ada pooling saliva

- Karies pada servikal gigi

- Saliva yang berbuih “frothy saliva”

- Perubahan pada arsitektur gingival (tidak hanya berhubungan dengan mulut

kering)

Gambar: Frothy saliva (Jordan and Lewis, 2004)

6. Penatalaksanaan Xerostomia (Dugal, 2010)

Penatalaksaaan harus mencakup identifikasi penyebab dasar. Bahan-bahan

dan kebiasaan pasien yang berpotensi menyebabkan mulut kering seperti merokok,

alkohol, dan kafein harus dihindari.

Apabila ada keterlibatan obat xerogenic, maka pengobatan alternatif,

pengurangan dosis, atau penghentian obat harus dipertimbangkan. Pilihan lain adalah

31

Page 32: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

dengan mengatur regimen : misalnya nocturnal xerostomia bisa diminimalkan dengan

meminum obat xerogenic pada saat siang hari saat produksi saliva optimal.

- Pencegahan Karies :

Diet rendah gula dan penggunaan topikal flouride sehari-hari, pemakaian

sealants dan obat kumur anti mikroba penting untuk mencegah karies gigi. Pasien

diintruksikan untuk meminu banyak cairan terutama saat memakan makanan yang

kering dan kasar, tetapi harus menghindari jus dan minuman ringan yang

mengandung gula. Flouride topical sangat berguna untuk mencegah karies apabila

terdapat peningkatan insidensi karies koronal, karies akar maupun keduanya serta

dapat membalikkan dekalsifikasi. Suplemen yang mengandung sodium fluoride,

acidulated phosphate fluoride atau sodium monoflourophosphate tersedia untuk

penggunaan rumah maupun dokter gigi. Produk-produk ini tersedia dalam bentuk gel

dan obat kumur.

- Stimulasi saliva dan substitusi saliva:

Pada pasien yang memiliki jaringan kelenjar saliva yang masih aktif, stimulasi

saliva dapat membantu. Permen karet bebas gula, permen dan mints dapat digunakan

untuk menstimulasi saliva. Pilocarpine hydrochloride dan Cevimiline hydrochloride

adalah obat yang umum digunakan untuk stimulasi saliva dan meningkatkan aliran

saliva secara signifikan pada pasien xerostomia. Obat ini dikontraindikasikan pada

pasien dengan asthma yang tidak terkontrol, narrow angle glaucoma atau iritis.

Variasi dari pengganti (substitusi) saliva tersedia dan efektif untuk mengurangi mulut

32

Page 33: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

kering. Pengganti saliva sangat berguna bagi pasien yang salivanya tidak bisa

distimulasi.

- Pengobatan oral Candidiasis :

Candidiasis oral merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien

xerostomia. Anti jamur topical yang digunakan antara lain clotrimazole, ketokonazol

dan nystatin. Nystatin dalam bentuk oral suspensi merupakan obat yang umum

diberikan untuk terapi infeksi candida. Untuk infeksi yang lebih parah, penggunaan

obat anti jamur sistemik seperti fluconazole (diflucan) atau amphotericin B

dianjurkan. Amphotericin B sistemik harus digunakan dengan hati-hati karena

berpotensi menyebabkan toksisitas hati.

2.5 ORAL CANDIDIASIS

1. Definisi

Kandidiasis oral merupakan salah satu infeksi pada mukosa mulut yang paling

umum dan dapat diobati pada orang yang terkena penyakit HIV atau AIDS.

Kandidiasis oral dapat menyebabkan ketidak nyamanan pada mulut, hilangnya rasa,

dan keenggenan untuk makan. Infeksi ini disebabkan oleh Candida albicans

merupakan organisme jamur dimorfik yang biasanya hadir di dalam rongga mulut

dalam keadaan non-patogen (Dangi, Y.S., 2010).

Kandidiasis oral merupakan salah satu infeksi jamur yang umum yang

mempengaruhi mukosa mulut. Lesi ini disebabkan oleh ragi Candida albicans.

33

Page 34: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Candida albicans merupakan salah satu komponen dari mikroflora mulut yang

normal dan sekitar 30% - 50% orang terdapat organisme ini di dalam mulut (Rao,

P.K., 2012).

Kandidiasis adalah infeksi pada mulut yang paling umum yang terjadi pada

mukosa pasien. Manifestasi oral yang seringkali terjadi pada pasien penderita AIDS.

Infeksi kandida biasanya bersifat kronis dan tampak merah, putih, rata, menimbul,

atau noduler. Semua permukaan mulut dapat terinfeksi seperti palatum, lidah, dan

mukosa pipi. Gejala-gejala infeksi dapat berupa rasa ketidaknyamanan pada rongga

mulut, rasa terbakar, atau pengecapan yang berubah (Langlais dan Miller, 2002).

2.Etiologi

Infeksi ini disebabkan oleh Candida albicans merupakan organisme jamur

dimorfik yang biasanya hadir di dalam rongga mulut dalam keadaan non-patogen.

Biasanya hadir sebagai ragi, organisme, di bawah kondisi yang menguntungkan,

memiliki kemampuan untuk berubah menjadi patogen (penyebab penyakit) bentuk

hyphael. Kondisi yang mendukung perubahan ini termasuk terapi spektrum antibiotik

yang luas, seperti xerostomia, disfungsi kekebalan tubuh (diabetes atau penggunaan

obat penekan kekebalan tubuh). Perubahan dalam lingkungan mulut dapat

mempengaruhi atau memicu kandidiasis oral, seperti : antibiotik, kortikosteroid,

mulut kering (xerostomia), diabetes mellitus, kekurangan gizi, dan penyakit

imunosupresif dan terapi (Dangi, Y.S., 2010).

34

Page 35: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Ada tiga faktor umum yang membantu infeksi Candida albicans untuk

berkembang dalam tubuh pasien yaitu status imun pasien, keadaan mukosa oral,

strain of Candida albicans. Faktor utama yang meningkatkan kerentanan kandidiasis

oral yaitu imunosupresi, endocrinopathies, kekurangan nutrisi, keganasan, pemakaian

gigi tiruan, epithelial alteration, high carbohydrate diet, dewasa dan orang tua,

kebersihan mulut yang buruk, perokok berat (Akpan and Morgan, 2002).

3. Gambaran Klinis

Biasanya kandidiasis oral menyebabkan warna merah atau putih (terkadang

keduanya) yang terdapat pada lapisan mulut. Terdapat kemerahan dan pecah-pecah

pada sudut mulut. Beberapa pasien akan memiliki area berwarna merah yang halus

pada bagian tengah lidah, ke arah belakang, atau di langit-langit (Gambar 1 dan 2)

(web.aaomp.org).

Gambar 1. Gambar 2.

35

Page 36: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Tipe-tipe kandidiasis meliputi kandidiasis pseudomembranosus,

kandidiasis eritematous (atrofi), kandidiasis hiperplastik, dan keilitis

angularis. Kandidiasis pseudomembranosus ditandai dengan adanya plak

putih sepeti krem, yang pada saat dikerok menunjukan permukaan yang

merah, kasar, atau berdarah. Usap pewarnaan KOH atau kultur jamur

menunjukan morfologi khas dari Candida albicans. Pada kandidiasis

eritematous (atrofi) secara klinis tampak sebagai suatu daerah merah difus,

dapat terjadi di rongga mulut tetapi biasanya terletak pada dorsum lidah yang

disertai dengan hilangnya papila filiformis dan biasa disebut median rhomboid

glositis. Pada kandidiasis hiperplastik kronis yaitu tahap akhir dari infeksi

candida secara klinis tampak sebagai plak-plak keratotik putih dan difus pada

mukosa pipi, plak-plak ini tidak dapat dihapus (Langlais dan Miller, 2002).

Gambar. Lesi pseudomembranous pada trush yang berat (Greenberg and Glick,

2008)

4. Terapi

36

Page 37: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Untuk pasien sehat dan normal, pengobatan kandidiasis oral relatif sederhana

dan efektif. Biasanya, obat topikal yang memadai. Agen antifingal yang biasa

digunakan, suspensi nystatin oral, biasanya akan mengobati sebagian besar. Namun,

obat topikal harus berada dalam kontak dengan organisme untuk menghilangkannya.

Troches clotrimazole merupakan alternatif yang efektif karena pasien biasanya tidak

dapat menahan cairan di mulut mereka lebih lama. Ini terlarut perlahan dalam rongga

mulut, yang memungkinkan obat untuk bekerja dalam panjang waktu yang lebih

besar (Dangi, Y.S., 2010).

Ketika terapi topikal gagal maka kita harus memulai terapi sistemik karena

kegagalan respon obat merupakan tanda awal penyakit sistemik yang mendasarinya.

Tindak lanjut pengobatan setelah 3 sampai 7 hari sangat penting untuk memeriksa

efek obat. Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengidentifikasi &

menghilangkan faktor penyebab yang mungkin terjadi, untuk mencegah penyebaran

sistemik, untuk menghilangkan ketidaknyamanan yang terkait, untuk mereduksi

beban candida. Pilihan pengobatan dikategorikan ke dalam dua lini yaitu, pengobatan

lini pertama & lini kedua (Rao, P.K., 2012). Nystatin merupakan pilihan obat lini

pertama. Biasanya digunakan obat lain untuk kandidiasis ringan dan lokal yang

meliputi clotrimazole dalam bentuk Lozenge dan Amphotercin B dalam bentuk

suspensi oral. Pengobatan lini keduaditerapkan pada pasien dengan penyakit yang

lebih berat, terlokalisasi, pasien imunosupresi, dan pasien yang tidak berespon

terhadap pengobtan lini pertama yaitu ketoconazole, fluconazole, dan itraconazole

(Pappas, 2004).

37

Page 38: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

BAB III

PEMBAHASAN

38

Page 39: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Seorang pasien laki-laki berusia 34 tahun datang dengan keluhan panas badan

sejak 2 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh badan lemas, cepat merasa lelah,

pandangan berkunang-kunang dari duduk lalu berdiri, buang air besar sebanyak 4 kali

sehari dengan konsistensi encer, tidak berlendir, dan tidak berdarah, tidak ada nyeri

dan mules pada perut, berat badan menurun secara drastis, demam, muntah, dan

kurangnya nafsu makan.

Dari hasil anamnesis diketahui pasien menderita HIV/AIDS sejak 5 tahun

yang lalu. Pasien melakukan kontrol rutin di Poli Klinik Teratai hingga 1 tahun yang

lalu. Namun pasien tidak pernah kontrol lagi dan berhenti mengonsumsi obat sejak 1

tahun yang lalu karena merasa sudah sembuh. Terdapat riwayat TB 5 tahun yang lalu

dan dilakukan pengobatan di Klinik DOTS dan dinyatakan sudah sembuh. Pasien

mengaku mengonsumsi narkoba dengan menggunakan jarum suntik secara bergantian

pada tahun 2004.

Pada pemeriksaan klinis, kesadaran pasien dalam kondisi compos mentis,

tekanan darah pasien 110/70 mmhg, denyut nadi 98 x/menit, pernafasan 20 x/menit,

suhu febris (38,30 C). Pada mata pasien didapatkan konjungtiva anemis, sklera tidak

ikterik, mukosa bibir kering, bercak-bercak putih di rongga mulut.

Pada pemeriksaan darah pasien yang terakhir didapatkan hemoglobin,

hematokrit, leukosit, eritrosit berada di bawah nilai normal.

Keadaan lain yang terlihat pada pasien ini adalah adanya penurunan berat

badan yang drastis dari 60 kg menjadi 46 kg, demam yang terus menerus, sehingga

39

Page 40: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

dapat dikatakan pasien mengalami wasting syndrome. Wasting syndrome dikatakan

sebagai berkurangnya berat badan lebih dari 10% disertai dengan demam yang terus

menerus selama 30 hari baik intermiten maupun konstan, dihubungkan dengan infeksi

HIV (Glick, 1994).

Pada pemeriksaan intra oral ditemukan selaput berwarna putih pada dorsum

lidah, terlihat pula adanya destruksi pada interdental papil, oedem pada gingiva, bibir

pasien terlihat kering dan pecah-pecah, “frothy saliva”, serta tidak terdapat pooling

saliva. Dari hasil pemeriksaan intra oral tersebut didapatkan diagnosis candidiasis

oral, NUG, dry mouth. Kelainan tersebut merupakan manifestasi oral dari penyakit

HIV/AIDS yang disebabkan karena rusaknya pertahanan sistem imun (Greenberg and

Glick, 2008).

Kandidiasis oral merupakan salah satu infeksi pada mukosa mulut yang paling

umum dan dapat diobati pada orang yang terkena penyakit HIV atau AIDS.

Kandidiasis oral dapat menyebabkan ketidak nyamanan pada mulut, hilangnya rasa,

dan keenggenan untuk makan. Infeksi ini disebabkan oleh Candida albicans

merupakan organisme jamur dimorfik yang biasanya hadir di dalam rongga mulut

dalam keadaan non-patogen (Dangi, Y.S., 2010). Kandidiasis oral merupakan salah

satu infeksi jamur yang umum yang mempengaruhi mukosa mulut. Lesi ini

disebabkan oleh ragi Candida albicans. Candida albicans merupakan salah satu

komponen dari mikroflora mulut yang normal dan sekitar 30% - 50% orang terdapat

organisme ini di dalam mulut (Rao, P.K., 2012). Biasanya kandidiasis oral

menyebabkan warna merah atau putih (terkadang keduanya) yang terdapat pada

40

Page 41: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

lapisan mulut. Terdapat kemerahan dan pecah-pecah pada sudut mulut. Beberapa

pasien akan memiliki area berwarna merah yang halus pada bagian tengah lidah, ke

arah belakang, atau di langit-langit (web.aaomp.org).

NUG adalah kondisi inflamasi pada gingiva yang mengalami kerusakan

berupa ulserasi dan nekrosis pada papila dan margin gingiva. NUG sering terjadi pada

perokok dan pasien immunocompromised, terutama pada mereka dengan human

immunodeficiency virus (HIV). Gambaran klinis NUG adalah nyeri dan perdarahan

gingiva, disertai dengan nekrosis papila gingiva, tenderness, dan rasa logam. Lesi

awal umumnya terbatas pada ujung papila interdental. Ulserasi ini kemudian

menyebar di sepanjang margin gingiva. Ulserasi ditutupi lapisan pseudomembran

berwarna putih keabu-abuan (Field and Longman, 2004).

Pada pasien ini juga ditemukan dry mouth. Dry mouth merupakan keadaan

kekeringan pada mulut yang disebabkan oleh penghentian sekresi saliva normal.

Kondisi ini merupakan gejala dari berbagai penyakit seperti diabetes, infeksi akut,

hysteria, Sjogren’s sindrom dan dapat disebabkan oleh kelumpuhan saraf wajah.

Dapat pula merupakan reaksi umum dari obat (Mosby’s Medical Dictionary 8 th ed,

2009). Gejala dari dry mouth adalah rasa kering, sensasi terbakar pada mulut dan

tenggorokan, bibir kering dan pecah-pecah, terutama pada sudut mulut. Gejala bibir

pecah-pecah mulai dari yang ringan sampai dengan berdarah. Pada orang lanjut usia

dapat ditemukan masalah dalam penggunaan gigi tiruan dan terdapat gangguan pada

saat pengunyahan maupun penelanan makanan. Dapat juga merasa kesulitan pada

41

Page 42: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

saat berbicara karena adanya sariawan dan peningkatan karies gigi juga penyakit

periodontal (Fox, 2008; Mohammad, 2006).

Pada pasien ini kemungkinan dry mouth dikarenakan infeksi HIV/AIDS dan

terapi obat antiretroviral yang dikonsumsi. Obat anti retroviral menyebabkan jumlah

aliran saliva berkurang sehingga menyebabkan dry mouth. Keadaan dry mouth dapat

menyebabkan ketidak seimbangan flora normal pada mulut sehingga dapat

menimbulkan Candidiasis dengan mudahnya (Little, W.G., 2004). Penyakit

imunosupresif seperti HIV/AIDS dapat memicu munculnya infeksi kandidiasis oral

(Dangi, Y.S., 2010).

Terapi yang diberikan pada pasien ini untuk mengobati infeksi candidiasis

oral adalah nystatin dalam bentuk suspensi oral 3 x 3-5cc, selain itu diberikan juga

flukonazol per oral. Pilihan pengobatan dikategorikan ke dalam dua lini yaitu,

pengobatan lini pertama & lini kedua (Rao, P.K., 2012). Nystatin merupakan pilihan

obat lini pertama. Biasanya digunakan obat lain untuk kandidiasis ringan dan lokal

yang meliputi clotrimazole dalam bentuk Lozenge dan Amphotercin B dalam bentuk

suspensi oral. Pengobatan lini kedua diterapkan pada pasien dengan penyakit yang

lebih berat, terlokalisasi, pasien imunosupresi, dan pasien yang tidak berespon

terhadap pengobatan lini pertama yaitu ketoconazole, fluconazole, dan itraconazole

(Pappas, 2004).

42

Page 43: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Terapi yang diberikan pada NUG adalah terapi antibiotik dengan

menggunakan metronidazol dan penicilin untuk 3-5 hari. Dilanjutkan dengan scaling

dan debridement jaringan nekrotik pada jaringan lunak dan keras. Pada pasien ini

tidak diberikan terapi NUG seperti yang disebutkan diatas (Greenberg and Glick,

2008).

43

Page 44: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

BAB IV

SIMPULAN

Pasien laki-laki berusia 34 tahun menderita penyakit B20 stadium IV dengan

wasting syndrome dan candidiasis oral. Penularan HIV pada pasien ini diduga melalui

penggunaan jarum suntik bergantian untuk pemakaian narkoba pada tahun 2004.

Pada rongga mulutnya ditemukan beberapa manifestasi oral sebagai akibat dari

penyakit sistemik yang diderita oleh pasien dan efek samping dari pengobatan yang

diberikan. Manifestasi oral yang ada di rongga mulut pasien antara lain, adalah

candidiasis, dry mouth dan NUG. Terapi yang diberikan untuk pengobatan

candidiasis pada pasien adalah nystatin dalam bentuk suspensi oral dan flukonazol

per oral; sedangkan untuk dry mouth dan NUG tidak diberikan terapi khusus.

44

Page 45: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

DISKUSI SEMINAR

1. Pertanyaan dari Aco karso

NUG disebabkan oleh apa?

Beberapa faktor predisposisi dari NUG adalah stres psikologis, kelelahan, daya

tahan tubuh yang menurun, merokok, kekurangan gizi, penyakit yang

mempengaruhi neutrofil. Pada pasien immunocompromised kondisi lesi NUG

akan memburuk karena kerusakan fungsi T-cell dan pada pasien HIV yang

jumlah neutrofil dalam darahnya menurun dapat menyebabkan lesi nekrosis

berkembang dengan cepat. Pasien terinfeksi HIV dengan NUG, proses nekrosis

dan ulserasi bersifat progresif, pertama melibatkan gingiva saja, dan kemudian

berkembang menjadi NUP (necrotizing ulcerative periodontitis) dengan

keterlibatan perlekatan jaringan periodontal dan tulang alveolar.

2. Pertanyaan dari M. Erlangga

- Kenapa xerostomia dapat menyebabkan kandidiasis, bagaimana mekanismenya?

Jawab: Pada pasien xerostomia (dry mouth), aliran salivanya berkurang, sehingga

mengakibatkan berkurangnya kapasitas buffering pada rongga mulut disertai

meningkatnya resiko infeksi opportunistik seperti infeksi jamur candidiasis.

Kurangnya saliva dapat menjadi predisposisi salah satu infeksi mulut seperti

Candidiasis, juga menyebabkan mudahnya pertumbuhan yang berlebihan dari

jamur C. albicans

45

Page 46: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

- Kalau tidak xerostomia apakah bisa kandidiasis?

Jawab: kalau tidak xerostomia tetap bisa kandidiasis. Hal ini dikarenakan

kandidiasis tidak hanya bisa disebabkan karena xerostomia, ada etiologi lain

yang bisa menyebabkan kandidiasis, seperti: obat antibiotik, kemoterapi,

perubahan sistemik misalnya pada penyakit Diabetes Melitus, imunodefisiensi

(HIV/AIDS), malnutrisi, dan oral hygiene yang buruk.

3. Pertanyaan dari Arina Hidayati

Pada pasien HIV kandidiasis apa yang sering terjadi?

Jawab : Salah satu manifestasi oral yang terjadi pada pasien HIV yaitu

kandidiasis oral. Terdapat berbagai macam kandidiasis oral seperti kandidiasis

pseudomembran, kandidiasis hiperplastik, kandidiasis eritematous, dan keilitis

angularis. Tidak hanya salah satu macam kandidiasis oral yang terjadi, tetapi

berbagai macam kandidiasis oral dapat terjadi pada pasien HIV.

4. Pertanyaan dari Ester vania

Apakah median rhomboid glositis sama dengan atrofi glositis?

Jawab : Median rhomboid glositis sama dengan atrofi glositis yang terjadi karena

hilangnya papila filiformis. Perbedaan median rhomboid glositis dengan atrofi

glositis hanya pada tempat yang terkena.

5. Pertanyaan dari Tri utami

Apa efek samping dari ARV?

Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS

tetapi cukup memperpanjang waktu hidup dari penderita HIV. Obat-obatan ini

46

Page 47: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

dibagi dalam 3 golongan yaitu Nucleosid Reverse Transcriptase inhibitor

(NRTI), Non Nucleosid Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan Protease

Inhibitor (PI).

Yang termasuk dalam golongan NRTI adalah Zidovudine (AZT), Didanosine

(DDL), Zalcitabine (ddC), Stavudin (d4T), Lamivudine (3TC), Abacavir (ABC),

Tenofovir (TDF), dan Emtricitabine (FTC). Zidovudine (AZT, ZDV, Retrovir)

memiliki efek samping anemia, netropenia, mual, muntah, rasa lemah, lelah,

asidosis laktat.  Sedangkan Stavudine (d4T, Zerit) memiliki efek samping

neuropati, lipoatrofi. Dosis pemakaiannya berdasarkan berat badan. Lamivudine

(3TC, Epivir, Hiviral) biasanya dapat ditoleransi baik dengan efek samping

ringan.

Obat yang termasuk dalam golongan NNRTI adalah Nevirapine (NVP),

Delavirdine (DLV), Efavirenz (EFV). Nevirapine (Viramun, Neviral) memiliki

efek samping rash karena alergi, steven johnsons syndrome, anafilaksis,

meningkatnya SGOT/PT, menurunkan konsentrasi rifampisin dan ketokonazol

dalam darah. Efek samping mengonsumsi obat Efavirenz (stocin, sutiva)

adalah teratogenik, gejala sistem saraf pusat (dizziness, sakit kepala ringan,

mimpi buruk) yang akan hilang pada mingggu pertama pertama.

Golongan obat ketiga dari ARVadalah PI, yang terdiri dari Saquinavir (SQV),

Indinavir (IDV), Ritonavir (RTV), Nelvinafir (NFV), Amprenavir (APV),

Lopinavir/Kaletra (LPV/r), Atazanavir (ATV).  Golongan obat ini memiliki

47

Page 48: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

kontraindiksi jika dipakai bersama dengan obat antiaritmia, hinotik-sedatif, dan

derivat ergot serta menurunkan knsentrasi plasma lovastatin dan simvastatin

secara umum.

Untuk mencari kombinasi ARV yang tepat untuk seorang pasien sangatlah sulit

sehingga kombinasi ARV seorang pasien dengan pasien lainnya dapat berbeda.

Oleh karena itu, apabila telah mendapatkan kombinasi ARV yang tepat pasien

harus mengonsumsi obat ARV itu setiap hari sepanjang hidupnya.

6. Pertanyaan dari Prilinar H.

Dalam kasus ini pasien sudah berhenti meminum ARV 1 tahun yang lalu, apakah

sekarang diberikan terapi ARV lagi? Bagaimana penanganan xerostomia?

Pada kasus ini, di medrek dan status pasien ditulis re-start pengobatan ARV.

Namun, tidak disebutkan lebih rinci macam obat ARV yang digunakan. Untuk

penanganan xerostomia pada pasien diinstruksikan minum air putih yang cukup

banyak dan memakai vaseline pada bibir untuk mengurangi keluhan pada bibir

keringnya.

48

Page 49: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

DAFTAR PUSTAKA

Akpan, A. and Morgan, R. 2002. Oral candidiasis-Review. Postgrad. Med.J., 78:455–459

Bruch, J.M and Nathaniel S.T. 2010. Clinical Oral Medicine and Pathology. New York: Humana Press.

Dangi, Y. S., et al. 2010. Oral Candidiasis : A Review. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Selences Vol. 2 Issue 4. p. 36-41.

Dugal, Ramandeep. 2010. Xerostomia : Dental implications and management. Annals and Essences of Dentistry Vol II Issue 3 July-Sept 2010.

Field, Anne and L. Longman. 2004. Tyldesley’s Oral Medicine. 5th edition. Oxford. Oxford University Press.

FHI (Family Health International). 2012. Apa Itu HIV/AIDS?. Median And Hiv/Aids, Pp 1-5.

Fox, P.C. 2008. Xerostomia: Recognation and Management. Access Special Supplementary Issue-Feb 2008. ADHA.

Greenberg, M.S; M. Glick. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 10th ed. Hamilton: BC Decker Inc.

Greenberg. M.S.; M. Glick; J.A. Ship. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 11th edition. New York. BC Decker Inc.

Jordan, R.C.K and Michael A.O.Lewis. 2004. A Color Handbook of Oral Medicine. Thieme.

Langlais, R.P. dan Miller, C.S. 2002. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Jakarta : Hipokrates. Hal. 104.

Mohammad, A.B. 2006. Xerostomia (Dry Mouth) as a Challenge in Management of the Medically Complex Patient. US Dentistry.

Mosby’s Medical Dictionary, 8th edition. 2009. Elsavier.

49

Page 50: Makalah Mayor Fix Stlh Seminar

Newman, M.G.; H.H. Takei; F.A.Carranza. 2002. Carranza’s Clininal Periosontologi 9th ed. London. W.B Saunder Co.

Pappas, P.G. 2004. Guidelines for Treatment of Candidiasis. CID, 38:161-89Pindborg, J.J. 2009. Terjemahan oleh drg. Kartika Wangsaraharja, Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Tangerang. Binarupa Aksara Publisher.

Rao, P. K. 2012. Oral Candidiasis – A Review. Scholarly Journal of Medicine, Vol. 2(2) pp. 26-30.

Regezi, J.A.; J.J. Sciubba; R.C.K. Jordan. 2003. Oral Pathology Clinical Pathology Correlations. 4th edition. Missouri. Saunders.

Riyarto, S; Dkk. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keterlambatan Diagnosis HIV Dan AIDS Di Yogyakarta, Solo Dan Semarang. Lapotan Penelitian. Universitas Gajah Mada, Fakultas Kedokteran: Pp 1-28.

Sepkowitz KA, 2001. "AIDS--the first 20 years". N. Engl. J. Med. 344 (23): 1764–72.

Siregar, F.A. 2004. Pengenalan Dan Pencegahan AIDS. Universitas Sumatera Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Digitized By Usu Digital Library Pp 1-9.

Vaseliu, N.; Et.Al. Oral Manifestation Of HIV. 184-193. Available At (Diakses Pada 2 Januari 2013): Https://Pipl.Com/Directory/Name/Vaseliu/Nicoleta/

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2b/HIV_Virion-en-2.png)

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2b/HIV_Virion-en-2.png)

www.dental-proffesional.com/Conditions_DryMouth.aspx

www.aaomp.org

http://gr.dentistbd.com/necrotizing-ulcerative-gingivitis-ppt.html

50