Makalah Seluk Beluk Etika

19
MAKALAH TENTANG SELUK BELUK ETIKA Oleh Mukhammad Habib Risvian (116) Lanang Zussaukah (106)

description

Tugas Makalah Seluk Beluk Etika

Transcript of Makalah Seluk Beluk Etika

Page 1: Makalah Seluk Beluk Etika

MAKALAH TENTANG SELUK BELUK ETIKA

Oleh Mukhammad Habib Risvian (116)

Lanang Zussaukah (106)

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Page 2: Makalah Seluk Beluk Etika

BAB I

Pendahuluan

A. LATAR BELAKANG

Kata etika sepertinya tidaklah asing terdengar ditelinga kita, baik di surat

kabar maupun media elektronik acapkali terdengar seruan mengenai etika beserta

komentar-komentar atas urgensi permasalahan tersebut. Seperti misalanya

“pengacara tersebut tidak beretika atau bocah itu kurang mengerti tentang etika

dalam bergaul” Pada hal-hal tersebut tersirat peringatan yang menggambarkan

betapa pentinganya peran etika dalam kehidupan manusia untuk dijadikan sebagai

acuan dalam menentukan tindakanya.

Namun, dilain sisi perspektif masyarakat yang diklaim dalam bingkai etika

itu seringkali meluas–menurut penulis–seakan-akan apa yang disebut etika itu

meliputi keseluruhan sikap dan tindakan manusia secara lahiriah maupun batiniah.

Maka apa yang dinamakan dengan etika menjadi kabur makna serta batasan

pemberlakuanya. Tidak jarang kita menjumpai orang yang menuduh orang lain

tidak beretika lantaran menerima pemberian seseorang dengan tangan kiri, lantas

apakah menerima barang sesuatu pemberian orang lain yang dengan tangan kanan

yang disebut dengan beretika? Apakah etika itu mengenai sikap lahiriah seorang

manusia? Demikian penulis melihat adanya kekeliruan terhadap pemaknaan

daripada apa yang dimaksud etika.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah konsep umum tentang etika?

2. Apa manfaat etika dalam kehidupan manusia?

3. Apa hubungan antara etika dengan profesi hukum?

Page 3: Makalah Seluk Beluk Etika

BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP UMUM TENTANG ETIKA

Konsep mengenai sesuatu, idealnya dimulai dari batasan atau pengertian

daripada obyek yang dibahas, dalam tulisan ini hal yang dibahas tersebut ialah

perihal etika. Maka sub bahasan akan dimulai dari pengertian etika. Etika secara

etimologi berasal kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti tempat tinggal yang

biasa, padang rumput, kandang habitat, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan,

sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan1.

Sedangkan dalam Bahasa Indonesia jika kita melihat pada Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) edisi ke-III etika diartikan sebagai “ilmu tt apa yg baik dan apa

yg buruk dan tt hak dan kewajiban moral (akhlak)”. Jadi menurut KBBI etika

diartikan sebagai ilmu, sedangkan obyek ilmu etika adalah permasalah etik yang

dalam KBBI diartikan 1) kumpulan asas atau nilai yg berkenaan dng akhlak; 2)

nilai mengenai benar dan salah yg dianut suatu golongan atau masyarakat.

Demikian pengertian etika secara etimologi, sedangkan pengertian etika secara

terminologi ialah seperangkat asas-asas mengenai nilai baik dan buruk yang

dianut oleh seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) yang dijadikan acuan

bagi tindakanya. Berdasarkan penjelasan diatas kiranya sudah dapat dimengerti

apa yang maksud dengan etika. Namun keburaman pemahaman seputar masalah

yang berkaitan dengan etika tidak berhenti dengan adanya penjelasan mengenai

apa yang dimaksud dengan etika. Sebab disamping etika terdapat pula istilah-

istilah yang batas-batasnya sering dipahami secara tumpang-tindih dengan

pengertian etika. Istilah-istilah tersebut diantaranya ialah moral, etiket, dan

estetika. Memang jika dilihat dari segi persamaanya, istilah-istilah tersebut

memang memiliki persamaan dengan etika, yakni sama-sama membicarakan

masalah nilai yang merupakan obyek kajian filsafat aksiologi. Tapi, masalahnya

adalah penggunaan istilah tersebut dalam kehidupan nyata seringkali kurang tepat

sebab diantara istiah-istilah terdapat beberapa perbedaan. Untuk itu, akan dimulai

1 K. Bertens, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011. Hlm. 4.

Page 4: Makalah Seluk Beluk Etika

dari perbedaan antara etika dan etiket. Perbedaan etika dan etiket menurut K.

Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika ialah2 :

Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia, tetapi etika

tidak terbatas pada cara dilakukanya suatu perbuatan; etika memberi norma

pada perbuatan itu sendiri. Sehingga dapat dimengerti bahwa etiket

merupakan petunjuk yang berupa cara-cara suatu perbuatan dilakukan yang

disebut dengan sopan-santun, sedangkan etika mengenai bagaimana nilai dari

perbuatan tersebut yang berisi pertimbangan moral.

Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, sedangkan berlakunya etika tidak saja

dalam pergaulan. Maksudnya, bahwa etiket akan berlaku dan dirasakan

keberadaannya jika si subyek (manusia) tersebut berada dalam pergaulan

dengan manusia lainya, jika si subyek (manusia) berada dikesendirian dia

tidak akan dapat dibelenggu oleh nilai-nilai etiket atau sopan santun. Sebab

tidak manusia lain yang menialainya berdasarkan standar nilai-nilai

kesopanan. Lain halnya dengan etika, keberadaanya tidaklah bergantung pada

kondisi keberadaan subyeknya, entah dia berada ditengah-tengah orang, atau

dalam kesendirian ia tetaplah dibelenggu nilai-nilai etik, sebab berlakunya

nilai-nilai etik pada hakikatnya tidak semuanya bersumber dari konvensi

sosial yang ada disekelilingnya. Keberlakuan nilai-nilai etik juga bersumber

dari intuisinya atau gugahan hati nuraninya sendiri. Jadi berlakunya nilai-nilai

etik ini karena hati nuraninya.

Etiket hanya berbicara tentang tindakan manusia dari segi lahiriahnya saja,

sedangkan etika tidaklah melihat dari segi lahiriahnya saja melainkan lebih

kepada aspek batiniah si subyek. Makdunya jika etiket memberi petunjuk cara

dilakukanya suatu perbuatan yang dapat dimanifestasikan secara inderawi,

maka etika lebih mengenai nilai baik atau buruk perbuatanya jika ditinjau

secara intuitif.

Sehingga dapat dipahami bahwa etiket dan etika memiliki perbedaan dari segi

obyeknya, ruang lingkup berlakunya, dan cara penerapanya. Kemudian akan

dibicarakan perbedaan antara etika dan estetika. Sebagaimana disampaikan diatas

2 Ibid., hlm. 9-11

Page 5: Makalah Seluk Beluk Etika

bahwa etika dan estetika sama-sama merupakan nilai, namun keduanya memiliki

perbedaan obyek nilai yang dibicarakan. Jika etika membicarakan nilai-nilai

kebaikan, maka estetika membicarakan nilai-nilai keindahan.

B. SIFAT ETIKA

1. Penyelasian Non-empiris

Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah

ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang konkret. Namun filsafat

tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang konkret dengan

seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala konkret. Demikian

pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang konkret

yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang

seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

2. Berobyekan Hal-hal Praktis

Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”.

Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika

tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus

dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat

praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak

boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis

dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat

teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-

tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb,

sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan

dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri

argumentasi yang tahan uji.

Page 6: Makalah Seluk Beluk Etika

C. MACAM-MACAM ETIKA

Etika Filosofis

Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari

kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika

sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.[butuh rujukan]

Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan

dari filsafat.[butuh rujukan] Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika

maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan

dijelaskan dua sifat etika:[3]

1. Non-empiris[butuh rujukan] Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris.

Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang konkret. Namun

filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang konkret dengan

seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala konkret. Demikian pula dengan

etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang konkret yang secara faktual

dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh

dilakukan.

2. Praktis[butuh rujukan] Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu

“yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi

etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus

dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena

langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia.

Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap

pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya

menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban,

dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan

kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang

tahan uji.

Page 7: Makalah Seluk Beluk Etika

Etika Teologis

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika

teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat

memiliki etika teologisnya masing-masing.[butuh rujukan] Kedua, etika teologis

merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di

dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah

memahami etika secara umum.[4]

Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak

dari presuposisi-presuposisi teologis.[5] Definisi tersebut menjadi kriteria

pembeda antara etika filosofis dan etika teologis.[butuh rujukan] Di dalam etika

Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-

presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber

dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.[butuh rujukan] Karena

itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika

teosentris.[6] Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika

secara umum, yaitu tingkah laku manusia.[butuh rujukan] Akan tetapi, tujuan

yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya

dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.[7]

Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang

diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara

agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam

merumuskan etika teologisnya.[butuh rujukan]

Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam

ranah etika.[butuh rujukan] Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini,

ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:

[8]

Page 8: Makalah Seluk Beluk Etika

Revisionisme

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika

teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika

filosofis.

Sintesis[butuh rujukan]

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang

menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua

jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu

entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat

umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

Diaparalelisme

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap

etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut

dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.

Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai

pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak

dihormati setingkat dengan etika teologis.[butuh rujukan] Terhadap pandangan

Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya

etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika

filosofis telah diperkuat.[butuh rujukan] Terakhir, terhadap pandangan

Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap

setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.[9]

Page 9: Makalah Seluk Beluk Etika

Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis

antara keduanya.[10] Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat

terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja.[butuh

rujukan] Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai

suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia

seharusnya hidup.

D. PEMBAGIAN ETIKA

a. Etika deskriptif3.

Etika deskriptif berperan dalam menggambarkan atau melukiskan suatu

perilaku moral yang di anut oleh adat atau budaya tertentu mengenai apa

yang di sebut baik dan apa yang di sebut buruk. Etika deskriptif sesuai

dengan namanya yakni medeskripsikan tentu ia tidak memberikan penilaian

mengenai gejala moral dalam suatu masyarakat tertentu, artinya dalam

paradigma etika deskriptif si peneliti berada dalam posisi yang netral.

Sehingga yang terdapat dalam kajian etika deskriptif hanyalah gambaran-

gambaran tertentu dari suatu realitas etik.

b. Etika normatif.

Etika normatif merupakan kebalikan daripada etika deskriptif yang mana

etika deskriptif hanya menggambarkan sedangkan etika normatif turut

memberikan penilaian terhadap suatu gejala moral tertentu. Sehingga ahli

terkait berperan aktif untuk memberikan penilaian terhadap suatu gejala

moral tertentu mengenai suatu hal yang seyogyanya baik dan buruk. Untuk

itu dapat juga di katakan bahwa etika normatif itu bersifat pespkriptif karena

dia sudah membicarakan mengenai hal yang seharusnya.

E. MANFAAT ETIKA DEWASA INI

Dalam kehidupan sehari-hari, Etika sangat penting untuk di terapkan untuk

menciptakan nilai moral yang baik. Beberapa orang mengartikan bahwa etika

hanyalah sebagai konsep untuk dipahami dan bukan menjadi bagian dari diri kita.

3 Wikipedia, Etika, http://www.wikipedia.com, tanggal 23 September 2015.

Page 10: Makalah Seluk Beluk Etika

Namun sebenarnya etika harus benar-benar dimiliki dan diterapkan oleh diri kita

masing-masing, sebagai modal utama moralitas kita pada kehidupan yang

menuntut kita berbuat baik. Etika yang baik, mencerminkan perilaku yang baik,

sedangkan etika yang buruk , mencerminkan perilaku kita yang buruk pula. Selain

itu etika dapat membuat kita menjadi lebih tanggung jawab, adil dan responsif.

Beberapa contoh Tujuan kita menerapkan atau mempelajari etika itu sendiri ialah :

1. Untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan

buruknya perilaku atau tindakan manusia dalam ruang dan waktu tertentu.

2. Mengarahkan perkembangan masyarakat menuju suasana yang harmonis,

tertib, teratur, damai dan sejahtera.

3. Mengajak orang bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan

secara otonom.

4. Etika merupakan sarana yang memberi orientasi pada hidup manusia.

5. Untuk memiliki kedalaman sikap; untuk memiliki kemandirian dan tanggung

jawab terhadap hidupnya.

6. Mengantar manusia pada bagaimana menjadi baik.

F. HUBUNGAN ETIKA DENGAN PROFESI HUKUM

Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi adalah sebagai

sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan

profesional di bidang hukum terhadap masyarakat sehingga dapat memenuhi

kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi. sehingga dalam pelayanan terhadap

masyarakat menerapkan perilaku yang bermoral dan mempunyai etika yang baik

di luar maupun di dalam tiap individu yang berprofesi sebagai ahli hukum.

Hubungan mengapa etika di hubungkan dengan profesi hukum karena

adanya penyebab-penyebab yang perlu di lakukan agar di masukkan pengajaran

tentang etika dalam profesi hukum. Etika di masukan dalam disiplin pendidikan

hukum di sebabkan, belakangan ini terlihat adanya gejala penuruna etika di

kalangan aparat penegak hukum, yang mana hal ini tentunya akan merugikan bagi

pembangunan masyarakat indonesia. Adanya sasaran bidang pembangunan jangka

panjang yang membutuhkan tenaga-tenaga aparatur hukum yang profesional yang

Page 11: Makalah Seluk Beluk Etika

berintergritas yang menyebabkan konsorsium ilmu hukum memandang perlu

memasukan etika profesi hukum ke dalam mata kuliah mahasiswa. Agar waktu

pendidikan mahasiswa hukum telah di bekali dengan pelajaran etika profesi

hukum. dengan harapan agar para lulusan lebaga pendidikan tinggi hukum

memiliki etis, sehingga mereka dapat menopang dan mendorong pembangunan

nasional. Dengan adanya pelajaran etika profesi hukum ini di harapkan lahirlah

nantinya sarjana-sarjana hukum yang profesional dan beretika4.

4 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Hlm. 5-6

Page 12: Makalah Seluk Beluk Etika

DAFTAR RUJUAKAN

K. Bertens, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011.

Wikipedia, Etika, http://www.wikipedia.com.

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.