Makalah-RJP

48
BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Resusitasi jantung paru adalah serangkaian usaha penyelamatan hidup pada henti jantung. Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung penyelamat, korban dan keadaan sekitar, tantangan mendasar tetap ada, yaitu bagaimana melakukan RJP yang lebih dini, lebih cepat dan lebih efektif. Untuk menjawabnya, pengenalan akan adanya henti jantung dan tindakan segera yang harus dilakukan menjadi prioritas dari tulisan ini. (1) Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil dan lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi. (1,2) Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan anak juga mengalaminya 1

description

rjp

Transcript of Makalah-RJP

Page 1: Makalah-RJP

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Resusitasi jantung paru adalah serangkaian usaha penyelamatan hidup

pada henti jantung. Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda,

tergantung penyelamat, korban dan keadaan sekitar, tantangan mendasar tetap

ada, yaitu bagaimana melakukan RJP yang lebih dini, lebih cepat dan lebih

efektif. Untuk menjawabnya, pengenalan akan adanya henti jantung dan tindakan

segera yang harus dilakukan menjadi prioritas dari tulisan ini.(1)

Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara.

Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan

sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika

dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal

akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk

melakukan resusitasi tidak selalu berhasil dan lebih banyak nyawa yang hilang

akibat tidak dilakukannya resusitasi.(1,2)

Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan

bayi dan anak juga mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi

penyebab utama kematian yang prematur, dan perbaikan kecil dalam usaha

penyelamatannya akan menjadi ribuan nyawa yang dapat diselamatkan setiap

tahun. (1,2)

Bantuan hidup dasar atau basic life support adalah pendekatan

sistemik untuk penilaian pertama pasien, mengaktifkan respon gawat darurat

dan juga inisiasi CPR atau RJP. RJP yang efektif adalah dengan

menggunakan kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. Tindakan ini dapat

dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang

kesehatan.

Keadaan yang perlu perhatian dan dapat menyebabkan Systemic

Cardiopulmonary Arrest (SCA) adalah seperti kecelakaan, sepsis, kegagalan 1

Page 2: Makalah-RJP

respiratori, sudden infant death syndrome dan banyak lagi yang dilakukan

saat pertama kali menemukan pasien atau korban adalah melakukan penilaian

dini. Jika dalam penilaian ditemukan :

1. Tersumbatnya jalan nafas

2. Tidak ditemukan adanya nafas

3. Tidak ada nadi

Maka lakukan tindakan BHD segera.

Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan

mempunyai hubungan erat dengan resusitasi jantung paru, karena penderita

yang diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang besar untuk dapat hidup

kembali. RJP yang digunakan dirujuk kepada pedoman dari AHA yaitu 2010

American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation

and Emergency Cardiovascular care. Ini merupakan adaptasi daripada buku

ABC of resuscitation yang ditulis oleh Peter Safar pertama kali pada tahun

1957.

Terdapat beberapa pembaharuan pada pedoman pada tahun 2010 dan

yang dahulu yaitu pada tahun 2005. Pada tahun 2010, terdapat pembaharuan

yang besar di mana kompresi didahului sebelum ventilasi.

I.2 TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi,

indikasi, dan algoritma resusitasi jantung paru. Selain itu, makalah ini juga

dapat memberi informasi yang lengkap tentang pembaharuan untuk RJP pada

tahun 2010 dibandingkan dengan pada tahun 2005 berdasarkan American

Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and

Emergency Cardiovascular Care.

2

Page 3: Makalah-RJP

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation

(CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk

mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian klinis)

ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Kematian klinis

ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis,

terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan

terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran. Mati klinis dapat

reversible.Pasien /korban mempunyai kesempatan waktu selama 4-6 menit

untuk dilakukan resusitasi, sehingga memberikan kesempatan kedua

sistem tersebut berfungsi kembali. Kematian biologis dimana kerusakan

otak tak dapat diperbaiki lagi/irreversible, dapat terjadi dalam 4 menit

setelah kematian klinis. Oleh Karena itu, berhasil atau tidaknya tindakan

RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang

dilakukan.3

Pasien/korban mengalami henti nafas dan henti jantung

mempunyai harapan hidup lebih baik jika semua langkah dalam ”rantai

penyelamatan” (Chain of Survival) dilakukan. Rantai ini diperkenalkan

oleh AHA (American Heart Association) :

1.      Kecepatan dalam permintaan bantuan

2.      Kecepatan dalam melakukan RJP

3.      Kecepatan dalam melakukan Defibrilasi

4.      Kecepatan dalam pertolongan Hidup Lanjut di RS (Advance

Cardiac Life Support)

3

Page 4: Makalah-RJP

II.2 INDIKASI

A. Henti Napas

Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh

banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam,

inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat

listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis,

tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya(4).

Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba

nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup

sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan

segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau

terlambat akan berakibat henti jantung(3,4).

B. Henti Jantung

Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan

curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ

vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan

tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan

otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis

tentu tidak termasuk henti jantung(3,4).

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel

atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel

asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua

jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat

gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena

koordinasi aktivitas jantung menghilang.

Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba

(karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat

sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi

pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar(3,4).

Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar

hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan.

Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek

4

Page 5: Makalah-RJP

serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung

berdenyut kembali(3,4).

II.3 FASE RJP

Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase(3). Pembagian fase ini

dimaksudkan agar memudahkan dalam latihan dan mengingat tahap yang

harus dilakukan. Perlu diperhatikan juga kesiapan penolong, apakah

mampu atau tidak, dan lingkungan sekitar, perlu tidaknya menjauhkan

pasien atau penderita dalam lingkungan yang berbahaya.

A. FASE I :

Basic Life Support (BLS), yaitu prosedure pertolongan darurat dalam

mengatasi obstruksi jalan nafas, henti jantung, dan bagaimana

melakukan RJP secara benar. Dalam fase ini terdiri dari langkah yang

di A (airway), B (breathing), C (circulation).

C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi

jantung paru.

A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.

B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.

B. FASE II :

Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan

hidup dasar ditambah dengan D (drug) dan E (EKG).

D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.

E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk

mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal

ventricular complexes.

F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi

ventrikel.

C. FASE III :

Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support). G (gauge),

H (head), I (Intensive care).

5

Page 6: Makalah-RJP

G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring

penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan

kemudian mengobatinya.

H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan

sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti

jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic

yang permanen.

I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan

ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus,

sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan

tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.(3)

II.4 Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan

prosedur awal pada pasien/korban, yaitu:

Memastikan keamanan lingkungan. Aman bagi penolong maupun

aman bagi pasien/korban itu sendiri.

Memastikan kesadaran pasien/korban. Dalam memastikan

pasien/korban dapat dilakukan dengan menyentuh atau

menggoyangkan bahu pasien/korban dengan lembut dan mantap,

sambil memanggil namanya atau Pak!!!/ Bu!!!!/ Mas!!!/Mbak!!!,

dll.

Meminta pertolongan. Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau

tidak ada respon segera minta pertolongan dengan cara : berteriak

”tolong!!!!” beritahukan posisi dimana, pergunakan alat komunikasi

yang ada, atau aktifkan bel/sistem emergency yang ada (bel

emergency di rumah sakit).

Memperbaiki posisi pasien/korban. Tindakan BHD yang efektif

bila pasien/korban dalam posisi telentang, berada pada permukaaan

yang rata/keras dan kering. Bila ditemukan pasien/korban miring

atau telungkup pasien/korban harus ditelentangkan dulu dengan

membalikkan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencegah

cedera/komplikasi.

6

Page 7: Makalah-RJP

Mengatur posisi penolong. Posisi penolong berlutut sejajar dengan

bahu pasien/korban agar pada ssat memberikan batuan nafas dan

bantuan sirkulasi penolong tidak perlu banyak pergerakan.

Gambar II.4.1. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi

A  (AIRWAY) Jalan Nafas

Setelah melakukan tahap awal kemudian :

1. Pemeriksaan Jalan Nafas

Untuk memastikan jalan nafas bebas dari sumbatan karena

benda asing. Bila sumbatan ada dapat dibersihkan dengan

tehnik cross finger ( ibu jari diletakkan berlawan dengan jari

telunjuk pada mulut korban).

Cara melakukan tehnik cross finger

Silangkan ibu jari dan telunjuk penolong

Letakkan ibu jari pada gigi seri bawah korban/pasien dan

jari telinjuk pada gigi seri atas

Lakukan gerakan seperti menggunting untuk membuka

mulut pasien/korban.

Periksa mulut setelah terbuka apakah ada cairan,benda

asing yang menyumbat jalan nafas.

2. Membuka Jalan Nafas

Pada pasien/korban tidak sadar tonus otot menghilang, maka

lidah dan epiglotis akan menutup faring dan laring sehingga

menyebabkan sumbatan jalan nafas. Keadaan ini dapat

dibebaskan dengan tengadah kepala topang dahi (Head tild

7

Page 8: Makalah-RJP

Chin lift) dan manuver pendorongan mandibula (Jaw thrush

manuver).                                                                          

Cara melakukan tehnik Head tilt chin lift

Letakkan tangan pada dahi pasien/korban

Tekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak

tangan penolong.

Letakkan ujung jari tangan lainnya dibawah bagian ujung

tulang rahang pasien/korban

Tengadahkan kepala dan tahan/tekan dahi pasien/korban

secara bersamaan sampai kepala pasien/korban pada posisi

ekstensi.

Cara melakukan tehnik jaw thrust manuver

Letakkan kedua siku penolong sejajar dengan posisi

pasien/korban

Kedua tangan memegang sisi kepala pasien/korban

Penolong memegang kedua sisi rahang

Kedua tangan penolong menggerakkan rahang keposisi

depan secara perlahan

Pertahankan posisi mulut pasien/korban tetap terbuka

(a) (b)

Gambar II.4.2. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan

tehnik jaw thrust manuver (b)

B  ( BREATHING) Bantuan Nafas

Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan pasien/korban tidak bernafas

8

Page 9: Makalah-RJP

Dengan cara melihat pergerakan naik turunya dada (look),

mendengar bunyi nafas (listen)dan merasakan hembusan nafas

(feel), dengan tehnik penolong mendekatkan telinga diatas mulut

dan hidung pasien/korban sambil tetap mempertahankan jalan nafas

tetap terbuka. Dilakukan tidak lebih dari 10 detik.

Gambar II.4.3. Cek pernafasan

 

2. Memberikan bantuan nafas

Bantuan nafas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke

hidung, mulut ke stoma( lubang yang dibuat pada tenggorokan).

Bantuan nafas diberikan sebanyak 2 kali, waktu tiap kali hembusan

1,5 – 2 detik dan volume 700 ml – 1000 ml (10 ml/kg atau sampai

terlihat dada pasien/korban mengembang.Konsentrasi oksigen yang

diberikan 16 – 17 %. Perhatikan respon pasien.

Cara memberikan bantuan pernafasan :

Mulut ke mulut

Merupakan cara yang  cepat dan efektif. Pada saat memberikan

penolong tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya

mulut pasien/korban dan hidung pasien/korban harus ditutup

dengan telunjuk dan ibu jari penolong.Volume udara yang

berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke lambung.

                                                                                                                  

9

Page 10: Makalah-RJP

Gambar II.4.4. Pemberian nafas dari mulut ke mulut

Mulut ke hidung

Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak

memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus

atau luka berat.Penolong sebaiknya menutup mulut 

pasien/korban pada saat memberikan bantuan nafas. 

Gambar II.4.5. Pernafasan dari mulut ke hidung

Mulut ke stoma

Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi

atau mengalami laringotomi.

Gambar II.4.6. Pernafasan mulut ke stoma.

10

Page 11: Makalah-RJP

C  (CIRCULATION)  bantuan sirkulasi

Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban

Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher

pasien/korban dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba

pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian digeser ke arah

penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5 – 10 detik.

Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada

nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas

pertahankan airway pasien/korban.

2. Memberikan bantuan sirkulasi

Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi

atau kompresi jantung luar dengan cara:

Tiga jari penolong (telunjuk,tengan dan manis) menelusuri

tulang iga pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong

sehingga bertemu tulang dada (sternum).

Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah

tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong.

Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk

satu telapak tangan diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-

jari menyentuh didnding dada pasien/korban.

Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada

pasien/korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur

sebanyak 30 kali dengan  kedalaman   penekanan 1,5 – 2 inchi (

3,8 – 5 cm).

Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan

mengembang kembali ke posisi semula setiap kali

kompresi.Waktu penekanan dan melepaskan kompresi harus

sama ( 50% duty cycle).

Tangan tidak boleh berubah posisi.

11

Page 12: Makalah-RJP

Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu

penolong maupun dua penolng.Kecepatan kompresi adalah 100

kali permenit. Dilakukan selama 4 siklus.  

Tindakan kompresi  yang benar akan menghasilkan tekanan

sistolik 60 – 80 mmHg dan diastolik yang sangat rendah.Selang

waktu mulai dari menemukan pasien/korban sampai dilakukan

tindakan bantuan sirkulasi tidak lebih dari 30 detik.

D  (DEFIBRILATION)  terapi listrik

Terapi dengan memberikan energi listrik Dilakukan pada

pasien/korban yang penyebab henti jantung adalah gangguan irama

jantung. Penyebab utama adalah ventrikel takikardi atau ventrikel

fibrilasi.Pada penggunaan orang awam tersedia alat Automatic

External Defibrilation (AED).

PENILAIAN ULANG

Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban

dievaluasi kembali :

Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas

dengan ratio 30 : 2

Jika ada nafas dan denyut  jantung teraba letakkan korban pada posisi

sisi mantap

Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas

sebanyak 12 kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.    

II.5 PEMBAHARUAN PADA BLS GUIDELINES 2010

Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2010, berbanding

dengan 2005. Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti

berikut:(1,2,5,6)

1. Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan

pernafasan. (ie korban tidak bernafas)

12

Page 13: Makalah-RJP

2. “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS

3. Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang

tidak terlatih

4. Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum

breathing.

5. Health care providers memberi chest compression yang efektif

sehingga terdapat sirkulasi spontan.

6. Lebih terfokus kepada kualiti CPR.

7. Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care

providers.

8. Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.

9. Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak mengandali

chest compression, airway management,rescue breathing, rhythm

detection dan shock.

Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest)

adalah hal yang tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan

untuk bertindak dan memulakan CPR, ini akan mengurangi survival rate

korban tersebut. Chest compression merupakan antara tindakan yang

sangat penting dalam CPR kerana perfusi tergantung kepada kompresi.

Oleh kerana itu, chest compression merupakan tindakan yang terpenting

jika terdapat korban yang mempunyai SCA.

Prinsip utama dalam resusitasi: memperkuat rantai harapan

hidup (chain of survival).

Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi jalur chain of

survival. Jalur ini meliputi:

Pengenalan segera akan henti jantung dan aktivasi sistem respons darurat

(emergency response system)

RJP  dini dengan penekanan pada kompresi dada

Defibrilasi cepat

Advance life support  yang efektif

13

Page 14: Makalah-RJP

Post-cardiac arrest care (perawatan pasca henti jantung) yang

terintegrasi’

Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini dapat

meningkatkan harapan hidup pasien dengan henti jantung VF (ventricle

fibrillation) hingga 50%. Pada sebagian besar sistem gawat darurat angkanya

masih lebih rendah, menandakan bahwa masih ada ruang untuk perbaikan

dengan evaluasi ulang dari jalur ini.

Penyelamat dapat memiliki berbagai pengalaman, pelatihan dan

kemampuan. Begitu pula dengan status korban dan keadaan sekitar kejadian.

Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan RJP yang lebih dini dan lebih

efektif bagi setiap korban.

Chain of survival(1,2,5,6)

Kerangka kerja RJP: interaksi antara penyelamat dan korban

RJP secara tradisional menggabungkan antara kompresi dada dan

nafas buatan dengan tujuan untuk meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi.

Karakteristik penyelamat dan korban dapat mempengaruhi penerapannya.

Penyelamat

Setiap orang dapat menjadi penyelamat bagi korban henti jantung.

Kemampuan RJP dan penerapannya tergantung dari hasil pelatihan,

pengalaman dan kepercayaan diri si penyelamat.

Kompresi dada adalah dasar RJP. Setiap penyelamat, tanpa

memandang hasil pelatihan, harus melakukan kompresi dada pada

semua korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi dada harus

menjadi tindakan RJP yang pertama kali dilakukan terhadap semua

korban tanpa memandang usianya. Penyelamat yang memiliki 14

Page 15: Makalah-RJP

kemampuan sebaiknya juga melakukan ventilasi. Beberapa penyelamat

yang sangat terlatih harus saling berkoordinasi dan melakukan kompresi

dada serta nafas buatan secara tim.

Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan pada penolong

sesuai dengan keadaannya, yaitu: untuk penolong non petugas kesehatan

yang tidak terlatih, mereka dapat melakukan strategi “Hands only CPR”

(hanya kompresi dada). Kompresi dada sebaiknya dilakukan hingga

petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.

Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih,

mereka dapat melakukan strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan

dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. RJP sebaiknya dilakukan

hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.

Ketiga, untuk petugas kesehatan, lakukan RJP kompresi dada

sebanyak satu siklus yang dilanjutkan dengan ventilasi dengan

perbandingan 30 : 2.

Korban

Sebagian besar henti jantung dialami orang dewasa secara tiba-

tiba setelah suatu sebab primer; karenanya sirkulasi yang dihasilkan dari

kompresi dada menjadi yang terpenting. Sebaliknya, henti jantung pada

anak-anak sebagian besar karena asfiksia yang memerlukan baik ventilasi

dan kompresi untuk hasil yang optimal. Karenanya, bantuan nafas lebih

penting bagi anak-anak dibandingkan orang dewasa.

15

Page 16: Makalah-RJP

AHA 2010 dalam panduannya memberikan 2 jenis algoritma BLS

bagi korban dewasa yaitu algoritma sederhana untuk penolong non

petugas kesehatan dan khusus untuk petugas kesehatan.

Simple Algorithma

Gambar II.5.1. Algoritma RJP sederhana

16

Page 17: Makalah-RJP

Ketika menemui korban henti jantung dewasa yang bersifat

mendadak, seorang penolong pertama kali harus mengenali henti jantung

itu dari unresponsiveness dan tidak adanya pernafasan normal. Setelah

mengenali, penolong harus segera mengaktifkan sistem respons gawat

darurat, mengambil defibrilator/AED, jika ada, dan memulai RJP dengan

kompresi dada. Jika AED tidak tersedia, penolong harus memulai RJP

langsung. Jika ada penolong lain, penolong pertama harus memerintahkan

dia untuk mengaktifkan sistem respons gawat darurat dan mengambil

AED/defibrilator sambil dia langsung memulai RJP.

Ketika AED/defibrilator datang, pasang pad, jika memungkinkan,

tanpa memotong kompresi dada yang sedang dilakukan, dan nyalakan

AED. AED akan menganalisis ritme dan menunjukkan apakah akan

melakukan kejutan (defibrilasi) atau melanjutkan RJP.

Jika AED/defibrilator tidak tersedia, lanjutkan RJP tanpa interupsi

hingga ditangani oleh penolong yang lebih berpengalaman/ahli.

Pengenalan dan aktivasi respons gawat darurat

Seorang korban henti jantung biasanya tidak bereaksi. Tidak

bernafas atau bernafas tetapi tidak normal. Deteksi nadi saja biasanya

tidak dapat diandalkan, walaupun dilakukan oleh penolong yang terlatih,

dan membutuhkan waktu tambahan. Karenanya, penolong harus memulai

RJP segera setelah mendapati bahwa korban tidak bereaksi dan tidak

bernafas atau bernafas secara tidak normal (terengah-engah). Petunjuk

“look, listen and feel for breathing” tidak lagi direkomendasikan. Petugas

evakuasi harus membantu assessment dan memulai RJP.

Kompresi dada

Memulai dengan segera kompresi dada adalah aspek mendasar

dalam resusitasi. RJP memperbaiki kesempatan korban untuk hidup

dengan menyediakan sirkulasi bagi jantung dan otak. Penolong harus

melakukan kompresi dada untuk semua korban henti jantung, tanpa

memandang tingkat kemampuannya, karakteristik korban dan lingkungan

sekitar. Penolong harus fokus pada memberikan RJP yang berkualitas

baik:17

Page 18: Makalah-RJP

Melakukan kompresi dada dalam kecepatan yang cukup (setidaknya

100/menit)

Melakukakan kompresi dada pada kedalaman yang cukup (dewasa:

setidaknya 2 inchi/5 cm, bayi dan anak-anak: setidaknya sepertiga

diameter anteroposterior (AP) dada atau sekitar 1,5 inchi/4 cm pada

bayi dan sekitar 2 inchi/5 cm pada anak-anak).

Menunggu dada mengembang sempurna setelah setiap kompresi

Meminimalisir interupsi selama kompresi

Menghindari ventilasi yang berlebihan.

Jika ada lebih dari satu penolong, mereka harus bergantian melakukan

kompresi setiap 2 menit.

Jalan nafas (airway) dan ventilasi

Membuka jalan nafas (dengan head tilt, chin lift atau jaw thrust)

yang diikuti nafas bantuan dapat meningkatkan oksigenasi dan ventilasi.

Tetapi manuver ini dapat menjadi sulit dan mengakibatkan tertundanya

kompresi dada, terutama pada penolong yang sendirian dan tidak terlatih.

Karenanya, penolong yang sendirian dan tidak terlatih hanya melakukan

kompresi dada saja tanpa ventilasi. Ventilasi harus diberikan jika korban

cenderung disebabkan oleh asfiksia (contohnya pada bayi, anak-anak atau

korban tenggelam).

Begitu alat bantu nafas tersedia, penolong harus memberikan

ventilasi dalam kecepatan yang tetap 1 nafas setiap 6-8 detik (8-10

nafas/menit) dan kompresi dada tetap diberikan tanpa terputus.

Defibrilasi

Kesempatan korban untuk selamat menurun seiring jeda waktu

antara henti jantung dan defibrilasi. Karenanya defibrilasi tetap menjadi

dasar tatalaksana untuk fibrilasi ventrikel (VF ventricular fibrillation)

dan pulseless ventricular tachycardia. Strategi bersama antara masyarakat

dan rumah sakit harus ditujukan untuk mengurangi jeda waktu ini.

Satu penentu defibrilasi yang berhasil adalah efektifitas kompresi

dada. Defiibrilasi lebih berhasil jika interupsi pada kompresi dada sedikit.

Untuk penolong yang terlatih atau petugas kesehatan 18

Page 19: Makalah-RJP

Lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu siklus yang

dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. Lakukan hal

tersebut hingga advanced airway tersedia, kemudian lakukan kompresi

dada tanpa terputus sebanyak 100 kali/menit dan ventilasi setiap 6-8

detik/kali (8-10 nafas/menit). Untuk petugas kesehatan penting untuk

mengadaptasi urutan langkah sesuai dengan penyebab paling mungkin

yang terjadi pada saat itu. Contohnya, jika melihat seseorang yang

tiba-tiba jatuh, maka petugas kesehatan dapat berasumsi bahwa korban

mengalami fibrilasi ventrikel, setelah petugas kesehatan

mengkonfirmasi bahwa korban tidak merespon dan tidak bernapas atau

hanya sesak terengah-engah, maka petugas sebaiknya mengaktifasi

sistem respon darurat untuk memanggil bantuan, mencari dan

menggunakan AED (Automated External Defibrilator), dan melakukan

RJP. Namun jika petugas menemukan korban tenggelam atau henti

nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-C)

sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem

respon darurat. Sama halnya dalam bayi baru lahir, penyebab

arrestkebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya

dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung

yang diketahui. , Berikut algoritmanya:

19

Page 20: Makalah-RJP

Gambar II.5.2. Algoritma RJP khusus

Prinsip dasar langkah-langkah algoritma tetap sama dengan yang

sederhana.

II.6 PENGENALAN DINI

Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive

maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan

memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama

korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah.

Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan.

20

Page 21: Makalah-RJP

Korban yang tidak responsif serta tidak ada nafas atau hanya terengah-

engah maka petugas kesehatan dapat mengasumsi bahwa korban

mengalami henti jantung.

Aktivasi sistem darurat

Petugas sebaiknya mengaktivasi sistem respon darurat yang dalam hal

ini berarti menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan

gawat darurat, contohnya menghubungi rumah sakit, polisi, atau

instansi terkait.

Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA 2010 ini ada dua hal

yang tidak dianjurkan setelah memeriksa korban tidak responsif yaitu :

Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban dengan “look, feel,

listen”. Sulitnya menilai nafas yang adekuat pada korban

merupakan alasan dasar hal tersebut tidak dianjurkan. Nafas

yang terengah dapat disalah artikan sebagai nafas yang adekuat

oleh professional maupun bukan. Contohnya pada korban

dengan sindroma koroner akut sering kali terdapat nafas

terengah yang dapat disalah artikan sebagai pernafasan yang

adekuat. Maka tidak dianjurkan memeriksa pernafasan dengan

“look, feel, listen” dan direkomendasikan untuk menganggap

pernafasan terengah sebagai tidak ada pernafasan.

Memeriksa denyut nadi pasien. Untuk petugas kesehatan,

pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10 detik

jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi

yang definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP.

Kedua hal tersebut tidak lagi dianjurkan bertujuan untuk

meminimalisir waktu untuk memulai RJP.

21

Page 22: Makalah-RJP

Resusitasi Jantung Paru dini

Seperti yang telah disebutkan, mulai RJP dengan algoritma “C-A-B” .

Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik).

Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:

Frekuensi kompresi setidaknya 100 kali/menit.

Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm),

sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-

posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak

sekitar 2 inchi (5 cm).

Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah

bawah sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di

bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di

tempat tidur (bila perlu dengan bantuan ganjalan kaki untuk

mencapai tinggi yang diinginkan sehingga dan papan kayu

untuk mendapatkan kompresi yang efektif selama tidak

memakan waktu).

Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi.

Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi.

Menghindari ventilasi berlebihan.

Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian

setiap 2 menit.

Airway dan Breathing

Kriteria penting pada Airway dan Breathing adalah :

Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang

belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift.

Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka

bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.

22

Page 23: Makalah-RJP

Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian

ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan

kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang

masuk adekuat.

Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :

Pastikan hidung korban terpencet rapat

Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)

Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin

Berikan satu ventilasi tiap satu detik

Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua

selama satu detik.

Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut

korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban. Untuk

pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa

dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang

memenuhi volume tidal sekitar 600 ml. Setelah terpasang advance

airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi

atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa

interupsi.

Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan

bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau

sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2

menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah

30 : 2, setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus

menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8

detik/kali.

RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien

bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas

23

Page 24: Makalah-RJP

kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk

pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.

Alat defibrilasi otomatis

Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat tersedia/datang

ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada,

kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya

lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit

dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut

lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan

terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life

Support ) datang, atau korban mulai bergerak.

Posisi mantap

Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada korban

tidak responsive yang memiliki pernafasan dan sirkulasi yang baik.

Tidak ada posisi baku yang menjadi standar, namun posisi yang stabil

dan hamper lateral menjadi prinsip ditambah menaruh tangan yang

berada lebih bawah ke kepala sembari mengarahkan kepala menuju

tangan dan menekuk kedua kaki menunjukan banyak manfaat.

24

Page 25: Makalah-RJP

Ringkasan komponen BLS (basic life support) bagi dewasa, anak-anak dan bayi

Komponen Dewasa Anak-Anak Bayi

Pengenalan Tidak responsif,

tidak bernafas

atau tersedak

(gasping)

Tidak responsif,

tidak bernafas

atau tersedak

(gasping)

Tidak responsif,

tidak bernafas

atau tersedak

(gasping)

  Nadi tidak teraba

dalam 10 detik

Nadi tidak teraba

dalam 10 detik

Nadi tidak teraba

dalam 10 detik

Urutan RJP CAB CAB CAB

Kecepatan

kompresi

100/menit 100/menit 100/menit

Kedalaman

kompresi

2 inchi (5cm) 1/3 AP, sekitar 2

inchi (5cm)

1/3 AP, sekitar

1,5 inchi (4 cm)

Interupsi

kompresi

Minimalisir

interupsi hingga

< 10 detik

Minimalisir

interupsi hingga

< 10 detik

Minimalisir

interupsi hingga

< 10 detik

Jalan nafas Head tilt-chin

lift-jaw thrust

Head tilt-chin lift-

jaw thrust

Head tilt-chin lift-

jaw thrust

Rasion

kompresi:ventilasi

30:2 (1 atau 2

penyelamat)

30:2 (satu), 15:2

(2 penyelamat)

30:2 (satu), 15:2

(dua penyelamat)

Jika penyelamat

tidak terlatih

Kompresi saja Kompresi saja Kompresi saja

Ventilasi jika

mungkin

1 nafas setiap 6-8

detik, tanpa

menyesuaikan

dengan kompresi,

1 detik setiap

nafas, hingga

dada

mengembang

1 nafas setiap 6-8

detik, tanpa

menyesuaikan

dengan kompresi,

1 detik setiap

nafas, hingga

dada

mengembang

1 nafas setiap 6-8

detik, tanpa

menyesuaikan

dengan kompresi,

1 detik setiap

nafas, hingga

dada

mengembang

Defibrilasi Gunakan AED

sesegera

mungkin,

Gunakan AED

sesegera

mungkin,

Gunakan AED

sesegera

mungkin,

25

Page 26: Makalah-RJP

minimalisir

interupsi

kompresi,

lanjutkan

kompresi setelah

setiap kejutan

minimalisir

interupsi

kompresi,

lanjutkan

kompresi setelah

setiap kejutan

minimalisir

interupsi

kompresi,

lanjutkan

kompresi setelah

setiap kejutan

II.7 BANTUAN HIDUP LANJUT

Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:

D (Drugs): Pemberian obat-obatan. Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2

golongan:

1. Penting:

a. adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan

beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit

sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat

meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi

ventrikel(4).

b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik

asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik

berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10

menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi

spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan

karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan

hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka

ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama(3).

c. Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan

konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung

pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam

mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder

karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang

dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang

dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60

26

Page 27: Makalah-RJP

/menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok

atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.

d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek

antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik

dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak

ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan

arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama

efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya

fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif

mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan

episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv

sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat

dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak

lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 %

larutan (1 mg/ml) (3).

2. Berguna:

a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan

segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia

diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-

10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur

untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60

kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang

tidak berhasil diatasi dengan Atropine(3).

b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti

aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi

ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana

ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis

umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg,

dengan pengawasan yang ketat(3).

c. Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis

(5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1

mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok

27

Page 28: Makalah-RJP

kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada

kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg

methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan

menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia

post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap

6 jam(3).

E (EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi

ventrikel dan monitoring.

F: (Fibrilation Treatment)

Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik

tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.

Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu

obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi. Tindakan defibrilasi untuk

mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri papila

mamae sinistra dan di sebelah kanan sternum atas.

28

Page 29: Makalah-RJP

II.7 BANTUAN HIDUP TERUS-MENERUS (3)

G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-

menerus terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.

H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf

dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan

neurologic yang permanen.

29

Page 30: Makalah-RJP

H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan

saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.

H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah

manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya

berdasarkan perikemanusiaan.

I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :

trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,

pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,

mengendalikan kejang.

Keputusan untuk mengakhiri resusitasi

Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah

medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan

kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan

adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan

spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan

spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan

kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia.

Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas

elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau

lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat(3).

30

Page 31: Makalah-RJP

BAB III

KESIMPULAN

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan

henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah

kematian biologis

Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami

henti jantung tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa

negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan

sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan

Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat

henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan

resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak

dilakukannya resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam

dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesihatan. Ini bermaksud bahwa RJP

boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam.

Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta

mampu melaksanakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaan RJP yang

dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Amerikan Heart Assosiation.

Amerikan Heart Assosiation merevisi pedoman RJP setiap lima tahun, dengan

revisi terbaru pada tahun 2010. AHA merevisi dari A-B-C ke C-A-B, dan

memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk

masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma

khusus untuk petugas kesehatan.

31

Page 32: Makalah-RJP

DAFTAR PUSTAKA

1. John M. Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart

Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and

Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S640-S656.

2. Sayre MR. et al. Highlights of the 2010 American Heart Association

Guidelines for CPR and ECC. 7272 Greenville Avenue. Dallas, Texas

75231-4596.. 90-1043.

3. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007. Hal. 173-7.

4. Latief S.A. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI.

Jakarta. 2007

5. Robert A. Berg, et al. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American

Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and

Emergency Cardiovascular Care. Circulation2010;122;S685-S705.

6. Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart

Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and

Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684

32

Page 33: Makalah-RJP

33