Makalah prioritas kerja profesi guru
-
Upload
septian-muna-barakati -
Category
Devices & Hardware
-
view
90 -
download
3
description
Transcript of Makalah prioritas kerja profesi guru
Prioritas Kerja Profesi Guru
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lagu himne guru menunjukkan betapa pentingnya keberadaan seorang guru bagi
kehidupan seorang manusia dalam mengenal dunia. Tanpa guru, tidak akan muncul
generasi pintar yang akan membangun bumi ini. Semua orang pasti mengakui jasa seorang
guru bagi dirinya walau hanya di dalam hati, tetapi mereka hanya mengakui dengan tanpa
upaya memberikan suatu penghargaan yang lebih dibanding kepada profesi lain.
Akibatnya, profesi guru yang dulu merupakan profesi yang paling bergengsi dan menjadi
dambaan bagi generasi muda pada zaman leluhur kita, kini menjadi profesi yang kurang
diminati dan dihargai dibanding dengan profesi lainnya. Orang tua akan sangat bangga
jika anaknya menjadi seorang dokter, insinyur, tentara, polisi, atau profesi lainnya
dibanding menjadi seorang guru.
Pada jaman penjajahan Belanda, status profesi guru memang sangat tinggi. Guru
dipandang sebagai pemimpin masyarakat yang disegani dan mempunyai status ekonomi
yang relatif tinggi. Dalam buku Siti Sahara, Wanita Guru Pertama dari Mandailing, dalam
Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ditulis, pada tahun 1920-an misalnya, Ibu Guru Siti
Sahara mempunyai gaji sebesar 40 gulden sebagai guru Kepala Sekolah Wanita di
Bireum. Suatu jumlah yang amat besar waktu itu, mengingat ungkapan pada masa kolonial
mengatakan bahwa seorang inlander cukup hidup dengan segobang (2,5) sen sehari.
B. Tujuan
Makalah ini bertujuan :
1 Prioritas kerja Profesi Guru.
2 Untuk mengetahui prioritas dsan kesahteraan guru
C. Rumusan Masalah
Bagaimanakah sebenarnya Prioritas Kesejahteraan Guru
D. Lingkup Penelitian
Makalah ini hanya terbatas pada Prioritas Kesejahteraan Profesi Guru
BAB II
ANALISIS
Prioritas kerja Profesi Guru
A. Pengertian Profesi
Menurut Dra. Ani M.Hasan,M.Pd, Profesi dalam pengertian yang lebih luas yaitu kegiatan
untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan
dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian
tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan
baik.
Sedangkan Sumargi profesi guru adalah profesi khusus _ luhur. Mereka yang memilih
profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah
keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode
etik yang telah diikrarkannya, bu-kan semata-mata segi materinya belaka
Pada masa penjajahan Jepang, status profesi guru juga masih terhormat. Para guru
diberi julukan Sensei yang dalam kebudayaan Jepang mempunyai kedudukan sosial yang
amat dihormati. Dalam masa awal perjuangan kemerdekaan, para guru juga dihargai
karena mereka bukan saja mengambil peran amat penting dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa, tetapi juga ada yang ikut aktif menjadi tentara rakyat dan berperang
mengusir penjajah.
Pascakemerdekaan sampai tahun 1950-an, citra dan status profesi guru dalam
masyarakat juga masih tinggi. Para guru masih dilihat dan diperlakukan bukan hanya
sebagai pendidik yang pantas digugu dan ditiru di sekolah, tetapi juga sebagai pemimpin
masyarakat yang terhormat. Tingginya citra guru pada zaman penjajahan dan awal
kemerdekaan di Indonesia berkait erat dengan citra masyarakat memandang profesi
guru. Pada masa itu, guru dicitrakan amat bagus karena berkait erat dengan status
sosial (ekonomis, politis dan budaya) pemegang profesi yang bersangkutan dan
kredibilitas professional para guru. Status ekonomi para guru pada waktu itu memang
tinggi. Mereka mendapat imbalan jasa yang memadai untuk hidup sejahtera bersama
keluarga.
B. PROFESIONAL
Secara politis, guru diperlukan pemerintahan penjajah dalam rangka menunjang politik
etisnya. Dengan kebijakan memberikan pendidikan dasar pada sementara inlander untuk
tugas-tugas administratif yang diperlukan penjajah.
Dari sisi budaya, relasi guru dengan padepokan-padepokan sebagaimana terungkap dalam
hubungan dengan para kyai di pesantren-pesantren, guru sungguh dilihat sebagai
pemimpin yang digugu dan ditiru. Dalam masyarakat Jawa ada ungkapan, guru ratu wong
tuwo akaro. Artinya, orang wajib menaati pertama-tama gurunya, kemudian rajanya, dan
baru orang tuanya.
Dari uraian itu, jelas salah satu cara mengangkat citra guru bukan dengan memberikan
sertifikasi seperti pengacara atau dokter, melainkan dengan memperbaiki citranya
dalam masyarakat. Perbaikan citra erat kaitannya dengan mengubah cara pandang
masyarakat terhadap pekerjaan guru. Persoalannya, kini citra guru sudah telanjur
terpuruk dan bahkan pekerjaan guru dianggap pelarian karena tidak ada pekerjaan yang
lebih layak.
Menurut penelitian Dr Martinus Tukir Handoko dari sekian banyak guru sebenarnya pada
mulanya tidak mempunyai motivasi menjadi guru. Pada mulanya, mereka memang
bersekolah di Sekolah Pendidikan Guru, tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksud
menjadi guru. Ada yang karena tidak diterima di sekolah lain, ada yang karena dipaksa
orang tuanya, karena ekonomi keluarganya yang lemah, sehingga terpaksa masuk ke
pendidikan guru.
Banyak orang tak mau menjalani profesi tersebut, sementara mereka yang sudah
menjadi guru beralih ke profesi lain yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Menurut
data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, jumlah guru SD yang berpindah
profesi per Juli 2004 sudah mencapai 50,6 persen dari 993.108 guru yang ada.
Menjadikan guru sebagai profesi tidak menjamin citra guru akan meningkat. Bahkan guru
semakin dituntut pengabdiannya yang besar kepada masyarakat bahkan dengan imbalan
yang amat rendah.
Mending, menjadi pengacara atau dokter yang memperoleh izin membuka praktik sendiri
manakala imbalan dari pekerjaan resminya sangat kecil. Guru sangat tergantung pada
pekerjaan yang diciptakan oleh orang lain entah itu perorangan, yayasan atau
pemerintah. Dengan demikian, guru harus patuh terhadap norma-norma yang dibuat oleh
kekuasaan di luar dirinya sendiri.
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan
kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan
rasa keterpanggilan - serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut -
untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama
yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999).
Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang
diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping
itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) di dalam melaksanakan suatu
kegiatan kerja.
Hal ini perlu ditekankan benar untuk membedakannya dengan kerja biasa (occupation)
yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi. Lebih
lanjut dijabarkan, profesionalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan persyaratan
dari setiap kegiatan pemberian "jasa profesi" (dan bukan okupasi).
Pertama, bahwa kerja seorang profesional itu beriktikad untuk merealisasikan kebajikan
demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu
mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;
Kedua, bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang
berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang
panjang, eksklusif dan berat;
Ketiga, bahwa kerja seorang profesional - diukur dengan kualitas teknis dan kualitas
moral - harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang
dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi.
Ketiga watak kerja tersebut mencoba menempatkan kaum profesional (kelompok sosial
berkeahlian) untuk tetap mempertahankan idealisme yang menyatakan bahwa keahlian
profesi yang dikuasai bukanlah komoditas yang hendak diperjual-belikan sekadar untuk
memperoleh nafkah, melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi
kesejahteraan umat manusia.
Kalau di dalam pengamalan profesi yang diberikan ternyata ada semacam imbalan
(honorarium) yang diterimakan, hal itu semata hanya sekadar "tanda kehormatan"
(honour) demi tegaknya kehormatan profesi, yang jelas akan berbeda nilainya dengan
pemberian upah yang hanya pantas diterimakan bagi para pekerja upahan saja.
C. Kode Etik Guru
KODE ETIK GURU INDONESIA
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia
seutuhnya berjiwa Pancasila
2. Guru memiliki dan melaksanakan kewjujuran professional
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan
bimbingan dan pembinaan
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses
belajar mengajar
5. guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya
untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan
6. guru secara pribadi dan secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan
mutu da martabat profesinya
7. guru memelihara hubungan profesi semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana
nasional
8. guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi PGRI
sebagai sarana perjuangan dan pengabdian
9. guru melaksanaakn segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Masih rendahnya tingkat profesionalisme guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor
yang berasal dari internal guru itu sendiri dan faktor lainnya yang berasal dari luar.
Faktor-faktor tersebut antara lain: Penghasilan yang diperoleh guru belum mampu
memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga secara mencukupi. Oleh karena itu, upaya
untuk menambah pengetahuan dan informasi menjadi terhambat karena dana untuk
membeli buku, berlangganan koran, internet, tidak tersedia. Bahkan, untuk memenuhi
kebutuhan dapur harus juga melakukan kerja sampingan lainnya.
Di samping itu, kurangnya minat guru untuk menambah wawasan sebagai upaya
meningkatkan tingkat profesionalisme sebab bertambah atau tidaknya pengetahuan
serta kemampuan dalam melaksanakan tugas rutin tidak berpengaruh terhadap
pendapatan yang diperolehnya. Kalaupun ada, hal itu tidak seimbang dengan pengorbanan
yang telah dikeluarkan.
Serta, meledaknya jumlah lulusan sekolah guru dari tahun ke tahun. Hal itu merupakan
akibat dari mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian LPTK (Lembaga Pendidikan
Tinggi Keguruan). Mereka yang tidak tertampung oleh pasar kerja, mencoba menjadi
guru, sehingga profesi ini menjadi pekerjaan yang "murah".
Ironis memang, guru yang telah banyak menghasilkan para pemimpin, politisi dan ilmuwan
serta berbagai profesi lainnya, kini dianggap sebagai profesi "murah" dan menjadi
kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Hal ini bukanlah harus dilawan oleh guru
secara fisik atau perang kata-kata agar yang lain mau mengakui dan menerima guru
sebagai tenaga yang profesional yang berjasa bagi pembangunan negeri ini.
J Sudarminta mengatakan, dari sisi guru sendiri rendahnya mutu guru tampak dari
gejala: 1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; 2) ketidaksesuaian antara bidang
studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan di lapangan dijabarkan; 3) kurang
efektifnya cara pengajaran; 4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; 5) lemahnya
motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak
yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; 6) kurangnya
kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap sehingga dari
kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik dan 7) relatif rendahnya
kapasitas intelektual calon guru dan para guru.
B. Saran
Mengangkat citra guru, sebagaimana zaman penjajahan, jelas tidak mungkin. Namun, jika
pemerintah mau sungguh-sungguh, seperti perbaikan insentif material dan
kesejahteraan hidup, maka profesi guru akan membaik. Komitmen politik Mendiknas
mestinya tidak hanya menjadikan guru sebagai profesi tetapi juga didahului dengan
perbaikan kesejahteraan dan kualitas guru.
DAFTAR PUSTAKA
Azzra, Azyumardi. 2004, Birokrasi, Fobi Sekolah, dan Citra Guru. Dalam Horison Esai
Indonesia Kitab 2 Taufiq Ismail (editor), Jakarta: Horison dan Ford Foundation
De Porter, Bobbi.dkk. 2001. Peran Seorang Guru , Bandung: Kaifa Pendidikan,
Madjid, Nurcholis.2001. Pengantar Langkah Strategis Mempersiapk an SDM Berkualitas,
dalam Pengantar Menuju Masyarakat belajar - Indradjati Sidi, Jakarta: Paramadina dan
LOGOS.