makalah politik

21
MAKALAH POLITIK YOGYAKARTA, MONARKI DAN DEMOKRASI Disusun oleh: Septi Diah Sukmawati R1-A 25010110120039 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro 2010

Transcript of makalah politik

Page 1: makalah politik

MAKALAH POLITIK

YOGYAKARTA, MONARKI DAN DEMOKRASI

Disusun oleh:

Septi Diah Sukmawati

R1-A

25010110120039

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Diponegoro

2010

Page 2: makalah politik

YOGYAKARTA, MONARKI DAN DEMOKRASI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah daerah otonomi setingkat Provinsi,

satu dari 26 daerah Tingkat I yang ada di Indonesia. Provinsi ini beribukota di

Yogyakarta, sebuah kota yang kaya predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi

yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota

pariwisata. Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa)

adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai

pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang kerta,

Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang

makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil

dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya

sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Yogya(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa

Jawa).

Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam

konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman

penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan

Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini

berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-

kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan

dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak

digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan

Mataram.

Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi Propinsi ini

dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar

kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti

Page 3: makalah politik

wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan, bahkan, yang terbaru,

wisata malam. Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini

dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di setiap

jenjang pendidikan tersedia di Propinsi ini, di Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa

dan pelajar dari 33 Propinsi (dulunya 34 Propinsi sebelum Timor Timur keluar dari

negara kesatuan Indonesia) di Yogyakarta. Tidak berlebihan bila Yogyakarta disebut

sebagai miniatur Indonesia.

Disamping predikat-predikat di atas, sejarah dan status Yogyakarta merupakan

hal menarik untuk disimak. Nama daerahnya memakai sebutan Daerah Istimewa

Yogyakarta sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status Yogyakarta sebagai

Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah Yogyakarta, baik sebelum maupun

sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Status inilah yang membuat

polemik di berbagai kalangan, apalagi setelah keluarnya pernyataan dari Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono jelas bahwa perbedaan pendapat dalam memandang status

keistimewaan Yogyakarta antara pemerintah pusat dan masyarakat Yogyakarta adalah

dalam memahami pelaksanaan monarki dan demokrasi di Yogyakarta.

B. Sejarah

Daerah Istimewa Yogyakarta (atau Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta dan

seringkali disingkat DIY) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian

selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara.

Secara geografis Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian Tengah. Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta memiliki lembaga pengawasan pelayanan umum bernama

Ombudsman Daerah Yogyakarta yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur DIY. Sri

Sultan HB X pada tahun 2004.

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal

13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan

Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian

Gianti yaitu Negara Mataram dibagi menjadi dua : Setengah masih menjadi Hak

Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam

perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah

pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega

Page 4: makalah politik

Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang

menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen,

Kedu, Bumigede dan ditambah daerah lain yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh

Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela,

Kuwu, Wonosari, Grobogan. Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu,

Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan

bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama

Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan

ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan

pusat pemerintahan ini ialah hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa

kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamakan

Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian

diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan

Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk

didirikan Kraton. Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan

menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan

juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755.

Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang

sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki

Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau

dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan

Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah

menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan

Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin,

suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut

nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX

dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan

Wakil Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari Presiden RI, selanjutnya

pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa

daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi

bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Pada tanggal 30 Oktober

1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan

Page 5: makalah politik

Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan

Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja

Komite Nasional. Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari

Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk

suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota

Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau

Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan

masih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi

Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun

1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi

wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang

sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah

yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut

dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.

Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh

Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari

Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata

dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan

Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa

Yogyakarta. Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo

yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi

Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang.

DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20

orang sebagai hasil Pemilu 1955.

Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD

dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta

sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta. Atas dasar Tap MPRS Nomor

XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-

pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, Daerah

Page 6: makalah politik

Istimewa Yogyakarta merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin

oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan

Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan

masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah lainnya, khususnya bagi beliau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri

Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah

Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat

oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat

II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan

pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-

Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan

Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab.

Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota

Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut dengan Pemerintahan Kota

Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.

C. Metode

Dalam penyusunan makalah ini, Penulis menggunakan metode analisis dan

penelaahan literature yang dinilai cukup efektif dalam memperoleh data dan fakta-fakta

yang selanjutnya ditanggapi oleh penulis sehubungan dengan masalah keistimewaan

Yogyakarta yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat

kabinet yang memandang sistem kerajaan dan politik modern.

D. Maksud dan tujuan

Dengan ditulisnya makalah ini penulis berharap agar pembaca dapat lebih

mengetahui tentang permasalahan keistimewaan Yogyakarta yaitu sistem pemerintahan

Monarki yang diterapkan Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan sistem

demokrasi yang dianut negara Indonesia. Munculnya masalah ini berawal dari

pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas status keistimewaan Yogyakarta

dalam rapat kabinet antara pemerintah pusat dan masyarakat Yogyakarta adalah dalam

memahami pelaksanaan monarki dan demokrasi di Yogyakarta.

Page 7: makalah politik

BAB II

PERMASALAHAN

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang pembahasan atas

rancangan Undang - Undang status keistimewaan Yogyakarta dalam rapat kabinet

beberapa waktu yang lalu yang mengundang reaksi keras dari masyarakat luas,

khususnya warga Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri. Substansi keistimewaan yang

dimaksud presiden itu antara lain hal-hal yang berkaitan dengan sisi pemerintahan,

terutama posisi gubernur dan wakil gubernur yang khusus bagi Daerah Istimewa

Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubowono dan Paku Alam. Presiden juga

menyinggung perlakukan khusus dan peran istimewa bagi pewaris Kesultanan dan

Pakualaman secara permanen. Prinsip yang dipegang Presiden Yudhoyono adalah

mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna

menggabungkan warisan tradisi Keraton dengan sistem demokrasi yang telah

berkembang selama satu dekade di era reformasi ini.

Dalam perkembangan kasus ini Pemerintah tetap bersikeras agar kepala daerah

dipilih melalui pemilihan yang demokratis, dengan alasan menghargai dan

menghormati UUD 1945. Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, "Gubernur,

Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,

kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis", sehingga draf Rancangan Undang-

Undang Keistimewaan, tetap dipertahankan. Dan yang tak kalah penting, kepala negara

juga menyinggung masalah pengelolaan tanah sebagai kebutuhan dasar dan aset yang

sangat berharga bagi sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk Yogyakarta.

Reaksi serupa sebenarnya sudah muncul sejak wacana keistimewaan Yogyakarta

hendak diatur kembali dalam Undang - Undang yang baru beberapa tahun sebelumnya.,

yaitu pada tahun 2008 saat Sultan HB X mengisyaratkan untuk tidak lagi bersedia

menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, ribuan rakyat melakukan sidang

rakyat di halaman gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, yang intinya tetap

mendukung Sultan HB X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu

ribuan rakyat dari berbagai penjuru DIY juga melakukan pisowanan agung, yakni

berbondong-bondong datang dan berkumpul di alun-alun utara untuk berdialog dengan

Sultan.

Page 8: makalah politik

Adalah kehendak rakyat Yogyakarta agar tetap dipimpin Sultan. Adalah

kehendak rakyat Yogyakarta agar segala sesuatu yang membuat Yogyakarta istimewa

tetap dipertahankan, selain faktor sejarah. Adalah kehendak rakyat jika monarki itu

tetap ada. Hal itu tak lain karena monarki yang ada di Yogyakarta adalah bukan

monarki absolut yang sama sekali tidak melibatkan rakyat. Monarki di Yogyakarta

adalah monarki terbatas, Monarki kultural.

Bukti bahwa Yogyakarta tidak menerapkan sistem monarki absolut tapi justru

menerapkan sistem demokrasi adalah adanya pilkada di 4 Kabupaten dan 1 Kota. Ada

DPRD. Juga adanya pilihan lurah di tingkat desa, yang pelaksanaannya pun secara

esensial sama dengan pemilu atau pilkada. Selain itu, di saat-saat yang dianggap urgen,

ada pisowanan agung dimana rakyat berdialog dan menyatakan kehendaknya kepada

Sultan

Pada intinya masyarakat menganggap masalah keistimewaan Yogyakarta sudah

final dan tidak perlu dibicarakan kembali. Upaya penghapusan terhadap keistimewaan

itu dianggap sebagai pengingkaran dan pengkhianatan terhadap sejarah, khususnya

peran Sultan Hamengkubowono IX selama masa-masa awal berdirinya Republik ini.

Apalagi sekarang ini warga Daerah Istimewa Yogyakarta menginginkan referendum

jika pemerintah masih mempermasalahkan sistem pemerintahan Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Sementara itu, para politikus di Jakarta menanggapi alasan sejarah sebagai alasan

klasik dan tidak mengikuti perkembangan masyarakat dan pemerintahan ke arah

tatanan demokrasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri mengungkapkan

seharusnya elemen monarki tidak semestinya dipertahankan dalam sistem demokrasi.

Dengan kata lain, presiden masih menganggap bahwa selama ini Yogyakarta

menerapkan sistem monarki dalam pemerintahan di daerah mereka.

Page 9: makalah politik

BAB III

PEMBAHASAN

Status 'istimewa' yang disandang Yogyakarta sejak tahun 1950 bukanlah

kehendak Sultan atau rakyat Yogyakarta sendiri, melainkan diberikan pemerintah pusat,

dalam hal ini Soekarno sebagai presiden terpilih setelah Proklamasi Kemerdekaan

17 Agustus 1945. Sedangkan dalam Pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD

1945 nyata disebutkan : "Negara" begitu bunyinya melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, negara mengatasi

segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut

"Pembukaan" itu menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia

seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.

Jika Undang-Undang Dasar telah menjamin kepastian hukum dengan menyatakan

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas

kekuasaan belaka (machtsstaat), maka seharusnya tidak perlu gamang lagi dalam

menegakkan supremasi hukum demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Salah satu rasa keadilan yang dituntut oleh masyarakat Yogyakarta adalah

kepastian hukum terhadap masa depan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terzalimi

akibat dampak perubahan UU Pemerintah Daerah maupun amandemen UUD 1945.

Segera setelah Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di

Jakarta, Sri Sultan HB IX segera mengirimkan surat kawat kepada Soekarno yang berisi

ucapan selamat dan dukungannya terhadap berdirinya Republik. Kawat Sultan itu

segera dibalas Soekarno dengan menerbitkan sebuah dokumen yang disebut dengan

piagam kedudukan Sri Sultan HB IX di dalam wilayah kekuasaan RI pada tanggal 19

Agustus 1945. Sri Sultan HB IX bersama-sama dengan Sri Paku Alam VIII menyambut

piagam kedudukan dari Presiden Soekarno itu dengan menerbitkan dokumen yang

dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Dalam amanat itu pemimpin kedua kerajaan

di Yogyakarta itu menyatakan diri bahwa Yogyakarta adalah bagian yang integral dari

RI dan keduanya akan bertanggung jawab langsung terhadap presiden atas pelaksanaan

pemerintahan dan kemakmuran rakyat Yogyakarta. Kedua dokumen itu menjadi

landasan pokok keluarnya UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah

Istimewa Yogyakarta, kemudian direvisi (atau lebih tepatnya ditambahkan) pemerintah

Page 10: makalah politik

pusat dalam UU No 19 Tahun 1950. Jika dilihat dari isi UU tersebut, jelas bahwa

keistimewaan itu dimaknai pemerintah pusat memberikan dalam bentuk otonomi

khusus, walaupun istilah itu tidak digunakan dalam UU tersebut. Otonomi khusus itu

meliputi 13 bidang pada UU No 3 Tahun 1950 dan kemudian diperluas menjadi 15

bidang pada UU No 19 Tahun 1950, dari urusan pemerintahan umum, sosial,

kebudayaan, pendidikan, agraria, hingga masalah transportasi dan lalu lintas. Pada

masa pemerintahan Soeharto, otonomi khusus itu sedikit demi sedikit mulai

dihilangkan dengan diterapkannya UU baru tentang pemerintahan daerah. Sayang

bahwa selama perubahan UU tentang pemerintahan daerah, Sultan sebagai kepala

daerah dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lagi dilibatkan. Saat ini

keistimewaan itu hanya dikenal dalam satu aspek, yaitu bahwa kedudukan Gubernur

dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta otomatis akan dipegang Sultan

Hamengkubowono dan Paku Alam.

Mengapa pemerintah pusat memberikan status daerah istimewa kepada

Yogayakarta? Di samping landasan yuridis formal tersebut, status itu juga diberikan

dari sisi landasan sosial dan historis. Hal itu dapat pahami dengan merunut kejadian

terutama sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga 1950 sebelum status

istimewa itu diformalkan dalam bentuk UU.

Sultan Hamengkubowono IX, Paku Alam VIII, dan rakyat Yogyakarta telah

menunjukkan konsistensi dan komitmen mereka dalam mendukung berdirinya

Republik, terutama selama periode perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949.

Buku-buku sejarah telah mengungkap secara luas tentang kontribusi Sultan-Paku Alam

dan rakyat Yogyakarta dalam peristiwa-peristiwa itu.

Sultan secara aktif telah turut menggagas Serangan Oemoem 1 Maret yang telah

berhasil membuka mata dunia tentang eksistensi Republik Indonesia sebagai negara

yang berdaulat. Bahkan, Sultan telah mengeluarkan lebih dari 5 juta gulden untuk

membiayai sebagian besar pengeluaran pemerintah RI ketika ibu kota RI dipindahkan

ke Yogyakarta, menyediakan akomodasi bagi para menteri dan keluarga mereka.

Dukungan serupa juga diberikan rakyat kebanyakan di Yogyakarta dengan ikut serta

membatu tentara yang melakukan perlawanan dan gerilya baik di dalam maupun di luar

kota.

Page 11: makalah politik

Konsistensi Sultan HB IX dan rakyat Yogyakarta dalam mendukung dan

mempertahankan Republik inilah yang menjadi pertimbangan pemerintah Soekarno dan

Hatta untuk memberikan status istimewa kepada Yogyakarta segera setelah pengakuan

kedaulatan dari pemeritah Belanda pada akhir 1949.

Dalam setiap perubahan UU Pemerintah Daerah, negara telah melupakan hak-hak

asal-usul suatu daerah maupun hak-hak kultural maupun hak-hak politik yang telah

disepakati bersama antara Kasultanan Yogyakarta dan Praja Kadipaten Pakualaman

dengan Presiden Republik Indonesia Soekarno pada waktu itu.

Secara yuridis, substansi Daerah Istimewa Yogyakarta menyangkut tiga hal:

Pertama, istimewa dalam hal sejarah pembentukan pemerintahan DIY dalam NKRI,

terkait perjuangan kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945; Kedua, istimewa dalam

hal bentuk pemerintahan sebagai daerah istimewa setingkat provinsi yang bersifat

kerajaan ( UUD 1945 Pasal 18 B, Pasal 1; Negara mengakui dan menghormati satuan –

satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur

dengan Undang – Undang, Pasal 2; Negara mengakui dan menghormati kesatuan –

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang – Undang. ; UU Nomor 3/1950, Pasal

2; Amanat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945); Ketiga, istimewa dalam

hal kepala pemerintahan DIY yang dijabat oleh sultan/ adipati yang bertakhta (lihat

Piagam Kedudukan, 19 Agustus 1945, yang menjamin keduanya tetap pada

kedudukannya dengan menulis nama, gelar, dan kedudukan secara lengkap).

Berdasarkan fakta-fakta sosio-historis, sosio-yuridis, sosio-filosofis, dan sosio-

politis yang terus berkembang sampai detik ini, seharusnya pemerintah pusat segera

meninjau kembali setiap perubahan UUD 1945, perubahan UU Pemerintah Daerah

apakah sudah menjamin hak-hak asal-usul suatu dan melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar persatuan dengan

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Page 12: makalah politik

Setelah dicermati ternyata perubahan UUD 1945 yang mengamanatkan pemilihan

umum secara demokratis apabila dikorelasikan dengan fakta historis, fakta yuridis yang

tertulis maupun tidak tertulis serta amanat Pancasila, Sila IV yang mengedepankan

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan

Perwakilan masih belum sepenuhnya sesuai dengan cita-cita demokrasi kita, yaitu

demokrasi deliberative (menimbang-nimbang) atau musyawarah untuk mencapai

mufakat sebagai demokrasi yang paling substansial dalam memperkokoh semangat

"ethno-nationalism" yang berbasis multikulturalisme dan pluralisme sesuai semboyan

"Bhineka Tunggal Ika".

Page 13: makalah politik

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari data dan fakta – fakta hasil telaahan, diperoleh beberapa kesimpulan:

1. Dalam setiap perubahan UU Pemerintah Daerah, negara telah melupakan hak-hak

asal-usul suatu daerah maupun hak-hak kultural maupun hak-hak politik yang telah

disepakati bersama antara Kasultanan Yogyakarta dan Praja Kadipaten Pakualaman

dengan Presiden Republik Indonesia Soekarno pada waktu itu.

2. Pelaksanaan sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dijalankan

secara demokratis, walaupun penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan

secara langsung.

3. Pengelolaan dan pemanfaatan "Sultanaat Grond" dan "Pakualamanaat Grond" atau

tanah keraton ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan pengembangan

kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan rakyat.

B. Saran

1. Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh Sultan dan Paku Alam yang dilakukan

secara turun menurun sebaiknya tetap dipertahankan, sebagai penghormatan atas

sistem pemerintahan yang masih berhubungan dengan kebudayaan atau adat

istiadat Yogyakarta.

2. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah keraton hingga saat ini masih menguntungkan

rakyat Yogyakarta walaupun tanah tidak bisa dimiliki sepenuhnya oleh rakyat

Yogyakarta.

3. Pemerintah sebaiknya memikirkan kembali alasan yang tepat dan kuat untuk dapat

merubah suatu budaya yang mendarah daging, sehingga tidak menyinggung dan

membuat masyarakat melakukan perlawanan kepada pemerintah.

Page 14: makalah politik

DAFTAR PUSTAKA

1. http://detik.com

2. http://frijal.com

3. http://www.rimanews.com

4. http://www.wikipedia.id

5. http://kompas.com

a. Keistimewaan Yogyakarta jangan diganggu gugat

b. Keistimewaan DIY dalam kegamangan politik

c. Pernyataan Yogya Monarki Sakiti Rakyat

d. Warga Yogya akan melawan

e. Yogya dan ancaman kisruh soal tanah

6. http://okezone.com/gubernur-diy-dipilih-dprd-bukan-solusi