Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma
Click here to load reader
-
Upload
made-sudarma -
Category
Documents
-
view
315 -
download
1
Transcript of Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma
MAKALAH
PRODUKSI TERNAK GEMBALA
‘Permasalahan Produksi Ternak Gembala di NTT’
NAMA : I MADE ADI SUDARMA
NIM : 1211010006
SEMESTER : II (DUA)
PRODI : ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah terutama dalam pengembangan ternak
di daerah tersebut. Ternak sapi merupakan salah satu ternak potensial yang sedang
dalam tahap pengembangan oleh pemerintah daerah yang mana berkontribusi terhadap
Produk Domestik Bruto (PDRB) NTT mencapai Rp. 393 miliar pada tahun 2009 yang
berasal dari 58.392 ekor sapi yang diekspor dan 54051 ekor ternak yang dipotong untuk
konsumsi lokal (Statistik Peternakan 2009; dan 2010). Menurut hasil penelitian Jelantik
dkk (2007) dalam Mullik dan Jelantik (2009) mencatat bahwa sebagian besar ternak
sapi Bali yang diekspor maupun dipotong untuk konsumsi lokal, bukan dihasilkan dari
sistem peternakan yang produktif dan efisien, melainkan dari sistem peternakan
tradisional dengan tingkat produktifitas yang rendah.
Ternak gembala merupakan aset pemerintah daerah NTT yang potensial untuk
dikembangkan selain dikarenakan sebagian besar wilayah NTT yang merupakan lahan
marginal dengan padang penggembalaan yang sangat luas yakni 832,228 ha pada tahun
2010 (Statistik Peternakan, 2010) juga dikarenakan tidak membutuhkan aplikasi
teknologi yang susah diterapkan sehingga ternak gembala sangat cocok diadopsi oleh
masyarakat NTT. Salah satu ternak gembala yang banyak dipelihara di NTT adalah sapi
Bali. Menurut Mullik dan Jelantik (2009), terdapat beberapa faktor penting yang
menyebabkan penurunan produktifitas ternak sapi Bali di NTT.
1.2. Rumusan Masalah
Pernyataan Masalah :
Nusa Tenggara Timur memiliki aset yang sangat besar berupa luas padang
penggembalaan yang memungkinkan untuk pengembangan ternak gembala seperti sapi
Bali. Namun, menurut Mullik dan Jelantik (2009) terdapat faktor-faktor yang
menyebabkan penurunan produktifitas ternak sapi Bali di NTT.
Pertanyaan :
Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi produktifitas ternak gembala seperti
sapi Bali di NTT ?
Bagaimana teknik penanganan penurunan produktifitas ternak yang dapat dilakukan
atau disarankan di NTT ?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas ternak gembala
seperti sapi Bali di NTT.
Untuk mengetahui teknik penanganan yang dapat dilakukan/disarankan untuk
menangani penurunan produktifitas ternak tersebut di NTT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gambaran Umum daya dukung dan kekurangan produksi ternak gembala di NTT
Ternak Gembala termasuk dalam sistem peternakan ekstensif. Menurut Mullik dan
Jelantik (2009) mengatakan bahwa sistem peternakan ekstensif adalah teknik pemeliharaan
ternak (sapi Bali) yang digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari,
maupun yang dilepas bebas di padang atau di hutan dan hanya dikumpulkan oleh pemiliknya
pada saat tertentu saja. Walaupun demikian, ternak gembala memegang peranan penting
terutama dalam hal jumlah ternak yang diproduksi yang mana sebagian besar berasal/dimiliki
oleh peternak yang mengadopsi sistem peternakan tradisional dengan tingkat produktifitas
yang rendah (Jelantik dkk, 2007 dalam Mullik dan Jelantik, 2009). Sehingga dibutuhkan
kerjasama dari berbagai pihak dalam menyusun suatu pedoman pemeliharaan ternak gembala
yang cocok dikembangkan di NTT.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah yang potensial dan lebih cocok
diarahkan ke sistem ternak gembala karena memiliki sejumlah padang penggembalaan yang
sangat luas yakni 832.228 ha yang dipimpin oleh kabupaten Sumba Timur (215.799 ha)
diikuti oleh kabupaten Kupang, TTS, dan TTU berturut-turut 159.526 ha, 114.396 ha dan
86.339 ha (Statistik Peternakan, 2010). Namun data tersebut masih belum menjamin produksi
ternak gembala karena menurut laporan Team Undana (2007) bahwa kapasitas tampung
padang penggembalaan di NTT sangat minim rata-rata 0,3 UT/ha dimana kabupaten Kupang,
Sumba Timur, dan TTU masing-masing memiliki kapastitas tampung sebesar 0,26 UT/ha;
0,21 UT/ha; dan 0,46 UT/ha. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktifitas ternak terutama
pada musim hujan yang memiliki kualitas protein pakan yang sangat rendah bagi kebutuhan
ternak gembala di padang rumput. Menurut hasil penelitian Jelantik (2001) dalam Mullik dan
Jelantik (2009) menyatakan bahwa kandungan protein kasar hijauan cukup baik selama
periode November-April, namun menurun secara drastis dibawah kebutuhan minimum untuk
hidup pokok ternak selama periode Mei-Oktober dan ketersediaan bahan kering juga ikut
menjadi masalah utama selama bulan September hingga Desember.
Nusa Tenggara Timur memiliki curah hujan yang relatif tinggi intensitasnya namun
hanya berlangsung pada periode waktu yang pendek sehingga akan berpengaruh terhadap
fluktuasi ketersediaan pakan di padang penggembalaan. Menurut Hau dkk. (2005)
menyatakan bahwa ketersediaan hijauan rumput alam di NTT pada musim hujan (3-4 bulan)
berada dalam jumlah cukup bahkan berlebihan dan sebaliknya pada musim kemarau (8-9
bulan) ketersediaan rumput alam masih cukup namun kualitasnya menurun drastis karena
tingginya kandungan dinding sel NDF (neutral detergent fiber). Menurut hasil penelitian
Jelantik (2001) dalam Hau dkk. (2005) menunjukkan bahwa rumput alam di NTT pada
musim kemarau memiliki dinding sel NDF sebesar 58%-80% dengan kandungan protein
kasar sebesar 2-3% dan tingkat kecernaan mendekati 42%. Menurut Van Soest (1982) dalam
Hau dkk. (2005) menyatakan bahwa rumput dengan kandungan NDF yang tinggi tersebut
akan memnurunkan kecernaan dimana umumnya rumput di daerah tropis mengandung kadar
lignin yang cukup tinggi sehingga sulit terdegradasi oleh mikroba rumen. Rumput dengan
kecernaan yang rendah akan menggangu produksi ternak terutama karena ketersediaan
protein khususnya nitrogen bagi mikroba rumen menjadi terbatas dan ketersediaan zat-zat
gizi yang lain juga akan berkurang (Beberjee, 1982 dalam Hau dkk., 2005).
Ketersediaan kuantitas dan kualitas rumput di padang penggembalaan yang minim pada
musim kemarau juga diteliti oleh Mullik dan Jelantik (2009), yang menyatakan bahwa
fluktuasi curah hujan terutama pada bulan Mei hingga Oktober yang cukup riskan
menyebabkan fluktuasi kuantitas dan kualitas hijauan di padang menjadi cukup besar
sehingga performans produksi dan reproduksi ternak gembala tidak optimal seperti tingkat
mortalitas ternak tinggi, calving interval yang panjang hingga calf crop yang rendah akibat
defisiensi nutrisi. Hal ini menjadi nyata apabila kita mencoba membandingkan antara sistem
cut and carry yang pada umumnya selalu mendapat makanan akan lebih memperlihatkan
bobot badan yang lebih baik dibandingkan sistem peternakan ekstensif yang digembalakan.
Menurut Mullik dan Jelantik (2009), dalam jangka waktu 3 tahun ternak yang dipelihara
secara intensif mencapai bobot hidup 493 kg sedangkan yang dipelihara secara ekstensif
hanya mencapai berat 311 kg. Hal ini diperkirakan karena adanya penurunan bobot badan
ternak selama musim kemarau sehingga rata-rata pertambahan bobot badan ternak menjadi
kecil setiap tahunnya.
2.2. Permasalahan penurunan produktifitas ternak gembala di NTT
Produktifitas ternak gembala dalam hal ini ternak sapi Bali yang dipelihara secara
ekstensif cukup rendah karena adanya berbagai faktor yang saling berinteraksi dalam
mempengaruhi produktifitas ternak gembala. Faktor tersebut misalnya seperti nutrisi,
lingkungan, tatalaksana maupun penyebaran penyakit ternak di padang penggembalaan di
NTT. Menurut Mullik dan Jelantik (2009) terdapat 3 permasalahan utama yang menyebabkan
produktifitas ternak sapi Bali sangat rendah di NTT yakni angka kelahiran yang rendah,
angka kematian pedet yang tinggi dan rata-rata pertambahan bobot hidup yang rendah.
2.2.1. Angka kelahiran rendah
Menurut Mullik dan Jelantik (2009) menyatakan bahwa angka kelahiran ternak sapi
Bali cukup rendah yang bervariasi antara 44,3% - 98,3% (rata-rata 70,7%) dari jumlah betina
umur produktif. Lebih lanjut dikemukakan bahwa faktor penyebabnya adalah adanya
kehadiran jantan pemacek yang tidak mencukupi, jumlah ternak dalam satu kelompok (herd
size), proporsi betina tidak produktif dalam kelompok, dan faktor neuro-hormonal
(fotoperiodik) bukan nutrisi.
Kehadiran jantan pemacek di padang penggembalaan sangat penting karena
perkawinan ternak gembala dilakukan melalui kawin alam. Hal ini bertolak belakang dengan
sistem pemasaran ternak oleh peternak yang mana menjual ternak jantan dewasa atau muda
yang unggul karena harganya yang tinggi dibandingkan dengan menjual ternak jantan atau
betina tua (afkir) dari populasi ternaknya. Selain itu, faktor kepemilikan ternak juga ikut
mempengaruhi angka kelahiran yang rendah dimana peternak yang hanya memiliki ternak
sedikit (<5 ekor) tidak merasa harus untuk memelihara pejantan sehingga ternak betinanya
akan dibiarkan dikawinkan oleh kelompok sapi lainnya yang kemungkinan memiliki tampilan
produksi yang kurang baik atau memiliki calving interval yang panjang akibat tidak dikawini
oleh ternak jantan. Proporsi betina tidak produktif dalam suatu populasi juga ikut menentukan
persentase angka kalahiran dimana biasanya peternak di NTT tidak memperhatikan umur dari
ternak betina yang dimilikinya dan lebih menyayangi ternaknya yang sudah lama dipelihara
serta lebih mengarah kepada sistem penjualan ternak jika membutuhkan biaya/uang secara
tunai sehingga tidak melakukan culling apabila ternak betina yang dipelihara sudah tidak
produktif.
Hal terakhir yang paling menonjol untuk dibahas adalah adanya faktor neuro
hormonal bukan nutrisi dari ternak sapi Bali gembala yang cukup spesial di NTT. Hal ini
dikarenakan ternak sapi Bali tidak akan sembarangan kawin dan melahirkan tetapi melalui
suatu fenomena tertentu. Menurut hasil pengamatan Mullik dan Jelantik (2009) bahwa ternak
sapi Bali umumnya mwnunjukkan pola kelahiran yang selalu sama setiap tahun dimana akan
melahirkan pada musim kemarau (Juni-Agustus) yang berarti sudah kawin pada awal musim
hujan (September-November) yang kuantitas dan kualitas pakannya belum memadai serta
dikemukakan juga bahwa adanya peningkatan aktifitas dan intensitas birahi ternak betina
(>80%) dipagi harinya apabila terjadi hujan atau rintik dimalam sebelumnya. Hal ini
menandakan adanya suatu pola tetap yang terjadi pada ternak sapi Bali gembala yang
diasumsikan apabila ternak yang menyusui kemudian anaknya mati karena kekurangan pakan
di musim kemarau pada bulan Desember, maka ternak tersebut tidak kawin dibulan tersebut
tetapi akan menunggu hingga bulan September-November yang tentu saja akan menurunkan
angka kelahiran ternak.
2.2.2. Angka kematian tinggi
Menurut Wirdahayati et.al. (1994) dalam Hau dkk. (2004) menyatakan bahwa
terdapat kematian anak sapi selama peiode bulan Juli sampai Desember yang mencapai 30-
50%. Hal ini juga diikuti oleh pernyataan Pohan (2004) yang menyatakan bahwa tingkat
kematian anak sapi pada musim kemarau (6,6%) lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan
(2,5%). Namun hasil penelitian terbaru memperlihatkan adanya tingkat kematian pedet sapi
Bali yang dipelihara secara ekstensif di NTT yang mencapai 35% memiliki keunikan tertentu
yakni adanya pola kematian yang terjadi pada dua puncak yakni pada bulan pertama setelah
dilahirkan pada musim kemarau dan diawal musim hujan terutama anak sapi yang tubuhnya
kurang baik (Mullik dan Jelantik, 2009). Lebih lanjut dikemukakan bahwa faktor penyebab
kematian anak sapi disebabkan oleh stress nutrisi akibat kekurangan air susu induk dan pakan
berkualitas dan minimnya perhatian peternak terhadap anak sapi yang dimilikinya serta
serangan penyakit dan parasit.
Kematian pedet yang cukup tinggi ini berdampak terhadap kerugian ekonomi bagi
NTT dimana diasumsikan populasi induk 40% (80% ternak induk dari 50% jumlah betina
dalam populasi) dari total populasi sapi 778.633 ekor pada tahun 2011 (BPS NTT, 2012),
tingkat kelahiran 70,7% dari total induk dan tingkat kematian pedet 35% (Mullik dan
Jelantik, 2009), serta harga bakalan sekarang ini sekitar Rp. 2.000.000 / ekor, maka akan
diperoleh kerugian ekonomi yang diderita oleh peternak sapi Bali di NTT sekitar 154,1
mililar rupiah per tahun akibat kematian pedet.
Kematian pedet yang tinggi pada saat lahir dikarenakan adanya kekurangan nutrisi
oleh ternak pedet yang diakibatkan oleh rendahnya produksi susu ternak induk karena masih
berada pada musim kemarau yang kuantitas dan kualitas hijauan sangat rendah. Selain itu,
perhatian peternak juga sangat minim terhadap kondisi pedet dan induknya juga menjadi
perhatian utama karena pedet yang sudah minim konsumsi nutrisi harus ikut berjalan
bersama-sama dengan induk mengembara mencari makanan. Faktor terakhir yang ikut
mempengaruhi angka kematian ternak adalah serangan penyakit dan parasit, dimana pada
awal musim hujan ditandai dengan tingginya parasit yang hidup dan berkembang sehingga
pedet yang masih belum memiliki kekebalan tubuh yang optimum karena konsumsi susu
induk yang rendah menyebabkan pedet mudah terserang penyakit dan parasit kemudian mati.
2.2.3. Rata-rata pertambahan bobot hidup rendah
Menurut hasil penelitian Mullik dkk. (2004) dalam Mullik dan Jelantik (2009)
menyatakan bahwa ternak yang diikat atau diberi pakan (cut and carry) memiliki laju
pertambahan bobot badan yang lebih baik (rata-rata 250g/hari) dibandingkan dengan yang
hanya digembalakan (rata-rata 120 g/hari) yang diamati selama tiga tahun. Hal yang sama
juga dikemukakan oleh Rubinho yang disitasi Ginting dan Belli (1994) dalam Hau, dkk.
(2005), bahwa adanya penyusutan bobot badan ternak sapi Bali sebesar 20-50 kg/ekor selama
musim kemarau dan adanya penyusutan bobot badan ternak pada bulan Juli sampai
Desember yang mencapai 0,4-0,5 kg/ekor/hari (Wirdahayati et. al., 1994 dalam Hau dkk.,
2004).
Hal ini diperkirakan karena adanya curah hujan di NTT yang tinggi intensitasnya
namun pendek lama periodenya sehingga ternak akan memiliki pertambahan bobot badan
yang tinggi namun akan menurun bahkan terjadi penyusutan bobot badan ternak pada musim
kemarau yang panjang sehingga rata-rata pertambahan bobot badan ternak sapi Bali di NTT
tidak melebihi 0,2 kg/hari/tahun. Selain itu, pola kelahiran ternak yang umum terjadi pada
musim kemarau menyebabkan adanya bobot lahir yang rendah dan stress nutrisi pada awal
hidup dan pada musim kemarau selama masa hidupnya menyebabkan penurunan potensi
ternak untuk bertumbuh secara maksimal.
2.3. Strategi penanganan penurunan produktifitas ternak gembala di NTT
Penurunan produktifitas ternak gembala perlu ditangani secara dini dengan berbagai
metode dan kerjasama pemberdayaan peternak, dinas dan perguruan tinggi serta bank karena
bagaimanapun juga para peternaklah yang memiliki ternak, dinas yang memiliki kebijakan,
perguruan tinggi yang memiliki ilmu dan bank yang memiliki dana. Pemberdayaan peternak
sangat penting dalam hal ini selain karena mereka memiliki ternak juga dikarenakan
merekalah yang akan mengimplementasikan hasil pemikiran dan perguruan tinggi dan dinas
sehingga sangat penting dilakukan penyuluhan-penyuluhan berkaitan dengan strategi
pengembangan ternak gembala di NTT.
2.3.1. Strategi peningkatan angka kelahiran ternak
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa angka kelahiran ternak cukup rendah
sehingga dibutuhkan strategi penanganan yang tepat dan dapat dilakukan oleh peternak.
Menurut Mullik dan Jelantik (2009), strategi peningkatan angka kelahiran pada sistem
peternakan ekstensif dapat dilakukan dengan cara menjamin kecukupan jantan pemacek
termasuk membuat kandang kolektif untuk kelompok ternak yang kecil dan menyingkirkan
ternak betina yang secara reproduksi sudah tidak produktif.
Dengan menjamin kecukupan jantan pemacek pada kelompok ternak gembala yang
cukup besar maupun menggabungkan kelompok ternak yang kecil dalam suatu kandang
kelompok agar dapat diseleksi ternak jantan pemacek yang produktif sehingga dapat
meningkatkan angka kelahiran ternak dari populasi tersebut. Selain itu, penyingkiran ternak
betina yang sudah tidak produktif secara reproduksi akan menurunkan jumlah pembilang
ternak betina dalam populasi sehingga akan meningkatkan angkat kelahiran ternak. Kedua hal
ini tidak sulit dilakukan oleh peternak dan tidak membutuhkan biaya yang besar dalam
pelaksanaanya, kecuali kerjasama diantara para peternak kecil dalam membentuk suatu
kelompok ternak dan mau mengubah pola pikir dengan mengganti menjual ternak jantan
dewasa manjadi menjual ternak betina maupun jantan yang tidak produktif (afkir).
2.3.2. Strategi penurunan angka kematian ternak
Angka kematian yang tinggi pada pedet sapi Bali sangat penting untuk ditangani
sehingga angka kelahiran yang sudah diperoleh tinggi tidak hancur begitu saja dikarenakan
oleh angka kematian yang tinggi akibat stress nutrisi, kelelahan maupun parasit. Menurut
Mullik dan Jelantik (2009), menyatakan bahwa strategi yang tepat dalam menangani
kematian pedet sapi Bali di NTT adalah dengan pemberian pakan suplemen bagi pedet yang
diikuti dengan pengandangan pedet pada siang hari ketika induk mencari makan di padang,
yang mana dapat menekan kematian pedet hingga 0%. Hal ini sangat penting dan strategis
untuk menekan kematian pedet karena pedet mendapatkan nutrisi tambahan yang belum
maksimal diperoleh dari susu induk, pedet terhindar dari kelelahan dan ancaman binatang
buas serta parasit dan induk dapat dengan bebas mencari makan tanpa kuatir dengan
keselamatan anaknya. Namun hal berikut yang paling penting adalah bagaimana cara
mengubah main set peternak dalam mengubah pola pemeliharaan yang membiarkan pedet
kekurangan nutrisi bersama induknya di padang menjadi mulai mengandangkan pedet dan
memberi pakan suplemen agar keselamatan pedet dapat terjaga dengan baik.
2.3.3. Strategi peningkatan pertambahan bobot badan ternak
Pertambahan bobot badan ternak perlu dijaga kestabilannya agar dapat diperoleh rata-
rata pertambahan bobot badan ternak yang cukup tinggi bagi ternak gembala di padang
rumput. Menurut Mullik dan Jelantik (2009) menyatakan bahwa stress nutrisi yang dialami
pedet dan ternak sapi Bali semasa hidupnya dapat di atasi dengan menggunakan dua macam
strategic feeding yakni strategi pemberian suplemen pada pedet dan strategi pemberian low
cos suplement bagi kelompok ternak.
Strategi pemberian pakan pada pedet sangat penting untuk menjaga kelangsungan
hidupnya dan meningkatkan pertambahan bobot badan dari pedet itu sendiri sedangkan
pemberian pakan alternatif yang murah kepada kelompok ternak dimaksudkan untuk menjaga
kelangsungan hidup ternak pada musim kemarau. Pemberian pakan suplementasi yang murah
dapat berupa pakan alternatif yang diintegrasikan dengan limbah tanaman pertanian dan
perkebunan maupun penggunaan leguminosa pohon seperti lamtoro yang tersedia sepanjang
tahun minimal untuk tetap menjaga kondisi tubuh ternak agar tidak menyusut secara
berlebihan. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diperlukan perubahan pola
pikir masyarakat yang sangat ekstensif menjadi lebih fleksibel dan tertuju pada penyelamatan
ternak yang dimilikinya agar lebih produktif dan bernilai jual tinggi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Adapun simpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan diatas adalah sebagai
berikut :
Ada empat faktor yang mempengaruhi produktifitas ternak yang saling berinteraksi
yakni nutrisi, lingkungan, tatalaksana dan penyebaran penyakit yang mana akan
mempengaruhi faktor utama penurunan produktifitas ternak di NTT seperti tingkat
kelahiran yang rendah, tingkat kematian yang tinggi dan rata-rata pertambahan
bobot badan yang rendah.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang ada di
padang penggembalaan seperti dengan cara penyediaan jantan pemacek,
penyingkiran betina tidak produktif, mengandangkan dan memberikan pakan
suplemen bagi pedet dan memberikan paka suplemen yang murah dengan cara
integrasi dengan limbah pertanian maupun penggunaan pakan leguminosa pohon
bagi kelompok ternak pada masa musim kemarau.
3.2. Saran
Dibutuhkan lebih banyak data untuk menggali model pengembangan ternak gembala
yang cocok dan dapat diterapkan terutama bagi ternak sapi di daerah NTT.
Dibutuhkan adanya partisipasi bagi mahasiswa dalam membangun pola pikir
masyarakat peternak yang masih belum memberikan kontribusi yang layak dalam
pengembangan ternaknya dibandingkan dengan apa yang dapat mereka peroleh dari
ternak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
BPS NTT. 2012. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2011.
Hau Debora Kana, Mariana Nenobais, Jacob Nulik, dan Nathan G. F. Katipana. 2005. Pengaruh Probiotik Terhadap Kemampuan Cerna Mikroba Rumen Sapi Bali. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. pp.171-180.
Hau D. Kana, N. G. F. Katipana, J. Nulik, A. Pohan, Onike T. Lailogo dan C. Liem. 2004. Pengaruh Probiotik Terhadap Retensi Nitrogen dan Energi serta Pertumbuhan Ternak Sapi Bali Timor Jantan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. pp.91-96.
Mulik Marthen dan I Gusti N. Jelantik. 2009. Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem Pemeliharaan Ekstensif di Daerah Lahan Kering : Pengalaman Nusa Tenggara Timur. Disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan Dalam Sistem Peternakan Rakyat. Mataram.
Pohan A., C. Liem Dan J. Nulik. 2004. Tampilan Produktivitas Ternak Sapi Bali Pada Dua Musim Yang Berbeda di Timor Barat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. pp.155-161.
Statistik Peternakan. 2009. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2010. Kupang.
Statistik Peternakan. 2010. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2011. Kupang.
Team Undana. 2007. The Genetics Qulity of Bali Cattle In East Nusa Tenggara. Report of Research and Development Center of Bali Cattle. Undana. Kupang.