Makalah Penyakit Lupus

download Makalah Penyakit Lupus

of 28

description

pentakit lupus

Transcript of Makalah Penyakit Lupus

Makalah Penyakit lupus

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangDalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit Lupus ini adalah Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Istilah Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi ini disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit ini diberi nama Lupus.

Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Penyakit ini tergolong misterius. Lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus), yaitu penyakit auto imun kronis yang menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau sistem yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.

Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8 per 100.000. Di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya. Sedangkan di RS Ciptomangunkusumo Jakarta, dari 71 kasus yang ditangani sejak awal 1991 sampai akhir 1996 , 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki. Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sembilan puluh persen kasus Lupus Eritematosus Sistemik menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1.

Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit Lupus biasanya menyerang wanita produktif. Meski kulit wajah penderita Lupus dan sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh merasa kelelahan berkepanjangan serta sensitif terhadap sinar matahari. Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit Lupus.

Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat, dan virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. Saat bepergian, penderita memakai sun block atau sun screen (pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan.

B. Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah dalam penyakit lupus ini antara lain:

1. Apa pengertian dari penyakit lupus?

2. Bagaimana patogenesis pada penyakit lupus?

3. Apa saja penyebabnya seseorang terkena penyakit lupus?

4. Bagaimana pencegahan yang harus dilakukan pada penyakit lupus?

5. Apa saja jenis-jenis penyakit lupus?

6. Bagaimana diagnosis (gejala) yang muncul pada penyakit lupus dan cara membuktikan diagnosisnya?

7. Bagaimana tata laksana penyakit pada penderita lupus?

C. TujuanAdapun tujuan dalam pembahasan makalah ini mengenai penyakit lupus antara lain:

1. Mampu mendeskripsikan pengertian penyakit lupus.2. Mampu mengetahui patogenesis pada penyakit lupus.

3. Mampu mendeskripsikan penyebab timbulnya penyakit lupus.

4. Mampu menjelaskan cara pencegahan penyakit lupus.

5. Mampu mendeskripsikan jenis-jenis penyakit lupus.

6. Mampu mengetahui diagnosis/gejala-gejala yang ditimbulkan pada penyakit lupus dan cara membuktikan diagnosisnya.

7. Mampu mendeskripsikan tata laksana penyakit lupus.BAB IIKAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering dari pada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada perempuan Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60 tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi (Sylvia & Lorraine, 2005).Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu-kupu, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus discoid adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difusi yang etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, artritis rheumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan gangguan ini seringkali memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat menjadi semakin slit untuk ditegakkan secara akurat. (Sylvia & Lorraine, 2005). Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan (Underwood, 1999).

SLE merupakan prototipe kelainan autoimun sistemik, ditandai dengan bermacam-macam antibodi, terutama antibodi antinukleus. Antibodi antinukleus tidak memasuki sel utuh. Namun, nukleus sel yang rusak bereaksi dengan antibodi antinukleus, kehilangan pola kromatinnya, dan menjadi badan LE yang homogen, (badan hematoksilin). Fagositosis badan LE oleh neutrofil atau makrofag in vitro akan membentuk sel LE smapai kira-kira 70 % penderita SLE. Selain antibodi antinukleus, penderita SLE juga menunjukkan adanya berbagai macam autoantibodi antara lain terhadap elemen darah (sel darah merah, trombosit, leukosit). Juga antara 20%-40% mempunyai antibodi terhadap fosfolipid (Robbins dkk; 1999).

Terlihat terutama pada wanita, SLE adalah suatu penyakit generalisata yang mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang melibatkan beberapa sistem organ. Sel sasaran primernya adalah sistem hematopoetik, kulit, sendi dan ginjal. Organ-organ ini dilibatkan dalam aneka macam cara oleh banyak sekali antibodi. Antibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit masing-masing menyebabkan anemia hemolitik, leukopenia dan trombositopenia (Joseph, 1993).B. PatogenesisHubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur membran, dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus eritematosus sistemik (Robbins dkk; 1999).

Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh biasanya akan membuat anti-bodi yang fungsinya melindungi tubuh dari berbagai macam serangan virus, kuman, bakteri maupun benda asing lainnya (anti-gen). Pada penyakit autoimun seperti lupus, sistem kekebalan tubuh seperti kehilangan kemampuan melihat perbedaan antara substansi asing dengan sel maupun jaringan tubuhnya sendiri. Pada lupus, produksi anti-bodi yang seharusnya normal menjadi berlebihan. Akibatnya, anti-bodi ini tidak lagi berfungsi untuk menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada di tubuh, tetapi justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan tubuhnya sendiri. Anti-bodi seperti ini disebut auto anti-bodi. Ia bereaksi dengan anti-gen membentuk immune complex/ komplek imun (Joseph, 1993).

Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan komplek imun dalam hati dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya (Joseph, 1993).

Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor:

a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B.

b. Hiperaktivitas sel T helper.

c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor (Robbins dkk; 1999).C. PenyebabFaktor yang diduga sangat berperan untuk seseorang terserang penyakit lupus adalah faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat, dan virus. Faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stres. Penyakit ini kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun namun ada juga pria yang mengalaminya. Oleh karena itu diduga penyakit ini berhubungan dengan hormon estrogen (Aulawi, 2008).

Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala lupus. Sering dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang berfungsi menyerang sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas . Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :

Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.

Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Sel-sel radang tersebet bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi organ tubuh akan terganggu (Joseph, 1993).Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga masih menjadi fokus utama penelitian.

1. Genetik

Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya seperti arthritis reomathoid atau Sjorgens Syndrome. Pada kembar identik, risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang menyandang lupus (Djoerban, 2002).

2. Hormon

Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar penyandang wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo. Sehingga harus benar-benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan alat kontrasepsi yang mengandung estrogen pada Odapus (Djoerban, 2002).

3. Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.

a. InfeksiBeberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar (mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan dengan penyebab lupus.

b. Zat kimia dan racun

Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.

c. Merokok

Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis.

d. Sinar matahari

Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar matahari dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak mudah namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat bermanfaat (Djoerban, 2002).D. PencegahanDalam melakukan pencegahan ada berbagai masalah yang dihadapi pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak lupus terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen, dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen (Djoerban, 2002).

Biasanya paramedis akan melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear Antibodi) bisa positif, di laboratorium dan patologi. Bila sudah diketahui diagnosanya lupus, maka pihak medis akan memberikan pengobatan berupa terapi, theraphy sintomatik (penghilangan gejala), kortikortiroid (antipenurun kekebalan tubuh), serta menekan daya tahan tubuh berlebihan, dengan pemberian obat demam dan penghilang rasa sakit. Hanya saja, untuk terapi yang dilakukan berbeda-beda dengan setiap penderita. Penyembuhannya pun bisa memakan waktu berbulan-bulan, itupun dengan catatan penderita rajin memeriksakan diri. Bahkan tak jarang, terkadang diagnosa baru didapat justru setelah penderita meninggal. Atau penyakit lupusnya tiba-tiba sembuh sendiri. Karena itulah, fokus pengobatan dokter adalah dengan melakukan pencegahan dengan meminimalisir meluasnya penyakit sehingga tidak menyerang organ vital tubuh lainnya. Oleh karena itu, untuk melakukan upaya preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Selain itu, peningkatan kompetensi petugas-petugas pelayan kesehatan juga harus di tingkatkan agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang akan membahayakan jiwa pasien (Djoerban, 2002).

Pengembangan metode pengobatan yang lebih baik dan efisien juga perlu dilakukan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam upaya pencegahan penyakit lupus. Masalah berikutnya adalah belum terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan pasien, namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini peran sarjana kesehatan masyarakat selaku tenaga kesehatan yang berorientasi pada upaya preventif dan promotif sangat diperlukan. Masyarakat harus secara intensif diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, gejala yang ditimbulkan, dampak yang ditimbulkan,serta bagaimana cara pencegahannya. Kebersihan dan kesehatan lingkungan juga harus diperhatikan karena, seperti yang telah dijelaskan dalam subbab penyebab bahwa faktor yang diduga menyebabkan lupus ada berberapa macam diantaranya faktor lingkungan (Djoerban, 2002).

Masalah lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aman dan efektif, dibandingkan dengan penelitian penyakit-penyakit lain, yang sebanding besaran masalahnya. Upaya preventif yang harus dilakukan adalah berusaha mengembangkan penelitian-penelitian mengenai penyakit lupus mengingat bahaya dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh penyakit ini.Hal yang harus dilakukan penderita lupus (odipus) agar penyakit lupusnya tidak kambuh adalah :

1. Menghindari stress2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari3. Mengurangi beban kerja yang berlebihan4. Menghindari pemakaian obat tertentu (Djoerban, 2002).Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter-dokter pemerhati penyakit ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultasi hematologi, rheumatology, ginjal, hipertensi, alergi imunologi, jika lupus dapat tertanggulangi, berobat dengan teratur, minum obat teratur yang di berikan oleh dokter (yang biasanya diminum seumur hidup), odipus akan dapat hidup layaknya orang normal. Dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan, mengingat keluarga adalah orang yang paling dekat dan yang selalu berinteraksi dengan odipus. Dukungan (social support) dalam teori ilmu psikologi merupakan salah satu media bertahan dari stress (coping stress) yang mampu memberi pengaruh besar (Djoerban, 2002).

E. Jenis-jenis Penyakit Lupus1. Lupus Eritematosis Diskoid (DLE)

Paling sering menyerang dan merupakan lupus kulit dengan manifestasi beberapa jenis kelainan kulit. Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka (terutama hidung, pipi), telinga atau leher. Penyakit yang terbatas pada lesi kulit yang makroskopik dan mikroskopik menyerupai SLE. Hanya 35% penderita mengalami antibodi antinukleus positip. Berbeda dengan SLE, hanya lesi kulit yang menunjukkan deposit Ig-komplemen pada membran basal. Setelah beberapa tahun, 5%-10% penderita bermanifestasi sistemik. Diskoid Lupus tidak serius dan jarang sekali melibatkan organ-organ lain (Robbins dkk; 1999).

2. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)

SLE merupakan penyakit demam sistemik, kronik, berulang dengan gejala yang berhubungan dengan semua jaringan, terutama sendi, kulit, dan membran serosa. Dapat menimbulkan komplikasi seperti lupus otak, lupus paru-paru, lupus pembuluh darah jari-jari tangan atau kaki, lupus kulit, lupus ginjal, lupus jantung, lupus darah, lupus otot, lupus retina, lupus sendi, dan lain-lain (Robbins dkk; 1999).

3. Lupus Eritematosus yang disebabkan obat

Obat-obatan seperti hidralazin (obat hipertensi), prokainamid (untuk mengobati detak jantung yang tidak teratur), isoniazid, dan D-penisilamin sering menyebabkan ANA positip, kurang sering menyebabkan sindrom seperti LE. Pada sindrom seperti LE, meskipun melibatkan banyak organ, penyakit ginjal dan susunan saraf pusat jarang terjadi. Penyakit mempunyai hubungan dengan HLA-DR4. Penyakit ini timbul akibat efek samping obat dan akan sembuh sendiri dengan memberhentikan obat terkait (Robbins dkk; 1999).BAB III

DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA PENYAKIT

A. Diagnosis Penyakit LupusPasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik bisa memiliki gejala yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika.. Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian (Sjaiffoellah, 1996).

Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya. Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan melakukan pemeriksaan adanya protein dan eritrosit (RBC) atau silinder di dalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti mungkin perlu dilakukan biopsy ginjal. SLE juga dapat menyerang system saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku (depresi, psikosis), kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan neutropati panifer. Perubahan-perubahan pada system saraf pusat seringkali diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali bersifat fatal. Antibody terhadap untai ganda DNA (dsDNA) dan terhadap kompleks protein asam ribonukleat (RNA) yang disebut Sm, hanya ditemukan pada pasien SLE. Gangguan reumatologik lain dapat menyebabkan antibody antinuclear menjadi positif (ANA), namun anti-dsDNAdan anti-Sm jarang ditemukan kecuali pada SLE (Sylvia & Lorraine, 2005).

Gejala-gejala penyakit lupus dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES). Eritomatosus artinya kemerahan, sedangkan sistemik bermakna menyebar luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala yang umum dijumpai adalah:1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan pencernaan.2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan, demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada masa aktif, sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang.3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan kadang-kadang bersisik. Melihat banyaknya gejala penyakit ini, maka wanita yang sudah terserang dua atau lebih gejala saja, harus dicurigai mengidap Lupus.4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan oleh penyakit lupus ini.5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan (Sjaiffoellah, 1996).Menurut American College Of Rheumatology 1997, diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11 gejala spesifik tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang berhubungan dengan scalling dan penyumbatan folikel rambut (Discoid Rash). 3. Fotosensitif, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar matahari.4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini dijumpai pada 90 % odapus.

6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan.7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.8. Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-lain.9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia.10. Tes ANA (Antinuclear Antibody), sebagai pertanda aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien.11. Gangguan sistem kekebalan tubuh (Sylvia & Lorraine, 2005).Adapun gejala klinis yang sering muncul antara lain:

1. Kulit : Ruam, sariawan, rambut rontok2. Persendian : Nyeri, kemerahan, bengkak

3. Ginjal : Kelainan urine, gagal ginjal

4. Membran (selaput organ) : Radang selaput paru (pleurisy), selaput jantung (pericarditis), selaput dinding perut (peritonitis)

5. Darah : Anemia, Leukopenia, Trombositopenia

6. Paru-paru : Batuk, sesak nafas

7. Sistem Saraf : Kejang, psikosa (Djoerban, 2002).

Adapun gejala non spesifik antara lain:

1.Fatigue/lelah, merupakan gejala yang paling sering muncul.

2.Weight Loss/penurunan berat badan.

3.Weight Gain/penambahan berat badan, dapat disebabkan oleh pembengkakan pada kedua tungkai atau pembersaran perut akibat organ ginjal yang terkena.

4.Fever/demam, indikasi saat lupus menjadi aktif.

5.Swollen Glands/pembengkakan kelenjar (Djoerban, 2002).

Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus Sistemik)

1. Uji Imunologik

Sel lupus eritematosus (sel LE) adalah leukosit polimorfonuklear yang telah mengingesti bahan-bahan nukleus yang bergabung dengan antibodi antinuklear. Uji untuk adanya sel-sel ini dapat digunakan untuk membuktikan diagnosis SLE. Darah perifer atau sumsum tulang diinkubasi pada suhu 37 derajat dan kemudian dicari sel LE. Yang lebih sering, dicari dalam diagnosis SLE antibodi yang melawan protein atau bahan-bahan nukleus lain. Beberapa antibodi ditemukan dengan fluoresensi, yang lain ditemukan dengan teknik presipitasi amonium sulfat (Joseph, 1993).

Antibodi antinuklear (ANA) mempunyai kemampuan bergabung dengan antigen dan mengikat komplemen. Bila penyakitnya sangat aktif, terutama bila ginjal terlibat, ada pengurangan komplemen dalam sirkulasi (misalnya C3) yang mempunyai arti penting baik diagnosit maupun terapeutik karena kadarnya menjadi normal bila terapi berhasil. Uji untuk ANA sekarang sedang digunakan untuk menyaring SLE. Kadar komplemen dapat memberi pegangan yang berguna dalam diagnosis maupun pengelolaan penyakit, terutama dengan keterlibatan ginjal. Antibodi anti-DNA dan pengikatan DNA merupakan uji tambahan yang mempunyai spesifitas yang tinggi untuk SLE dan digunakan secara seri untuk menilai aktivitas penyakit. Di antara antibodi-antibodi ini ada antibodi terhadap antigen nukleus yang diekstraksi (ENA), seperti antigen ribonukleoprotein (RNP), antigen Sm, antigen Ro, dan antigen La (Joseph, 1993).

B. Tata laksana Penyakit LupusPenatalaksanaan lupus tidak mudah. Penyakit ini memiliki banyak manifestasi dan setiap orang memiliki pola tersendiri yang berubah dari waktu ke waktu, yang terkadang berlangsung cepat. Secara umum, pasien dengan lupus berat, misalnya lupus ginjal atau sistem saraf pusat (SSP), dan mereka yang menderita lebih dari satu jenis penyakit autoantibodi cenderung memiliki gejala yang serius dan menetap. Pasien yang memiliki gejala ringan dapat terus mengalami gejala ringan atau berkembang menjadi lebih serius. Sehingga penting untuk memperhatikan semua gejala baru yang timbul sebagai manifestasi dari penyakit tersebut karena penatalaksanaan lupus sangat berkaitan dengan gejala klinis dan organ tubuh yang terkena (Michelle, 1998).

Sehingga pada prakteknya, Lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul.

1. Lupus Ringan

Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynauds syndrome (perubahan warna pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan. Seringkali gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala ini. Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi alasan digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang tidak maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan dosis tersebut. Dosis steroid yang tinggi harus dihindari jika resiko efek samping yang timbul cenderung lebih besar dari manfaatnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat keputusan pemberian steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada orang dengan lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan sehat dan olah raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan (Michelle, 1998).

2. Lupus Sedang

Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis (radang selaput jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti trombositopenia atau leukopenia. Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, namun dengan penggunaan dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian menguranginya menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol dengan 20mg prednisolon per hari, kelainan darah membutuhkan dosis 40mg atau lebih. Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate. Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia, tetapi karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi ginjal harus digunakan secara hati-hati. Obat- obat immunosupresan ini membutuhkan waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul, sehingga dalam periode tersebut steroid masih dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien sudah dapat distabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit (Michelle, 1998).

3Lupus Berat

Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat termasuk ke dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon intravena mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau mychophenolate dapat digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi dosis steroid yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu: induksi awal dimana penyakit aktif dikendalikan, dan fase pemeliharaan agar penyakit tetap terkontrol. Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi) mengalami penurunaan penggunaannya dibandingkan waktu yang lalu tapi banyak yang masih percaya bahwa pengobatan tersebut sangat membantu pada lupus akut, penyakit berat, dan sebagian lupus yang mengenai otak. Antibodi monoklonal, terutama rituximab sangat menjanjikan dan cenderung memainkan bagian penting dalam pengelolaan penyakit sedang dan berat (Michelle, 1998).

Pengobatan Penyakit Lupus

Pengobatan Lupus tergantung dari :

1. Tipe Lupus.2. Berat ringannya Lupus.

3. Organ tubuh yang terkena.4. Komplikasi yang ada (Wallace, 2007).Tujuan pengobatan Lupus adalah :

1. Mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena.2. Menekan ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh.Pada pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat :

1.Kortikosteroid. Golongan ini berfungsi untuk mencegah peradangan dan merupakan pengatur kekebalan tubuh. Bentuknya bisa salep, krem, pil atau cairan. Untuk Lupus ringan, digunakan dalam bentuk tablet dosis rendah. Jika kondisi sudah berat, digunakan kortikosteroid bentuk tablet atau suntikan dosis tinggi. Bila kondisi teratasi maka penggunaan dosis diturunkan hingga dosis terendah untuk mencegah kambuhnya penyakit (Wallace, 2007).

2.Nonkortikosteroid. Kegunaan obat ini adalah untuk mengatasi keluhan nyeri dan bengkak pada sendi dan otot (Wallace, 2007).Adapun Obat-obat Lupus secara umum adalah :

1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)

NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam 6 kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin (Djoerban, 2002).

2. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik (Djoerban, 2002).

3. Antimalaria

Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif. Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan (Djoerban, 2002).

4. Immunosupresan

a. Azathioprine

Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping yang umum terjadi, sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4% kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah memiliki gejala klinis tersebut. Azathioprine dianggap aman digunakan selama kehamilan (Djoerban, 2002).

b. Mycophenolate mofetil

Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur bila disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangnya waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum konsepsi yang direncanakan (Djoerban, 2002).

c. Methotrexate

Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya tiga bulan sebelum konsepsi (Djoerban, 2002).

d. Cyclosporin

Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini dianggap aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif terendah dengan memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal (Djoerban, 2002).

e. Cyclophosphamide

Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek samping utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu fungsi organ reproduksi baik pada pria maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan sebelum konsepsi (Djoerban, 2002).

f. Rituximab

Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus (Djoerban, 2002).

Obat-obat yang dapat digunakan sesuai manifestasi penyakit:

1.Ruam kulit

a. Sun block/tabir surya

b. Topikal kortikosteroids

2.Nyeri dan bengkak pada sendia. Analgesik sederhana seperti: Parasetamol, NSAIDb. Topikal analgesikc. Amitriptiline: golongan antidepresan yang diresepkan bersama analgesik pada pasien sekunder fibromyalgia untuk mengatasi stress akibat rasa nyeri yang berkepanjangan

3.Mata keringTetes air mata buatan untuk mengatasi kekeringan bola mata

4.Sariawan dan kekeringan rongga mulut

a. Salivary substitute : air liur buatan dalam bentuk cair atau semprot berbahan dasar methylcellulose atau gastric mucinb. Obat kumur steroid5. TrombositopeniDanazol (Danocrine) atau vincristine (Oncovin) adalah terapi jangka panjang bagi penderita trombositopenia berat.

6.Osteoporosisa. Vitamin Db. kalsium

7.Risiko penyakit jantung koroner

a. Asam folatb. Obat penurun kadar lemak darah (Djoerban, 2002).BAB IVKESIMPULAN

Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan. SLE atau lupus menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki.

Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur membran, dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus eritematosus sistemik. Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor antara lain: efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B, hiperaktivitas sel T helper, dan kerusakan pada fungsi sel T supresor.

Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.

Dalam upaya melakukan preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam upaya pencegahan penyakit lupus.

Adapun jenis-jenis penyakit lupus antara lain: Lupus Eritematosis Diskoid (DLE), Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) dan Lupus Eritematosus yang disebabkan oleh obat.

Diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 gejala spesifik yang ditetapkan seperti Malar Rash/Butterfly Rash, Discoid Rash, Fotosensitif, Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers), Nyeri pada sendi-sendi, Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan, gangguan pada ginjal. Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-lain. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia. Tes ANA (Antinuclear Antibody), sebagai pertanda aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien, dan gangguan sistem kekebalan tubuh. Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus Sistemik) dengan Uji Imunologik.

Penatalaksanaan lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul. Lupus ringan, gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya, dan Hidroksikloroquin. Lupus sedang, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate. Lupus berat, steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan. Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi) terutama rituximab. Pada pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat yaitu Kortikosteroid dan Nonkortikosteroid.DAFTAR PUSTAKA

Aulawi, Dede Farhan. 2008. Mengenal Penyakit Lupus. Diakses 2 Mei 2014 (http://www.panduankesehatan.com).

Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM. 2002. Systemic Lupus Erythematosus. Jakarta.: Yayasan Lupus Indonesia,Joseph A. Bellanti, M.D. 1993. Imunologi III. Yogyakarta: Gadjah Mada University PressMichelle Petri, M.D., M.P.H. 1998. Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. Baltimore, Maryland. Johns Hopkins University School of Medicine,

Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V. 1999. Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGCSjaiffoellah, Noer. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUISylvia, A.P & Lorraine, M.W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGCUnderwood, J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: EGCWallace, J.D. 2007. The Lupus Book: Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan Keluarganya. Jakarta: B first28