makalah pengantar pendidikan

download makalah pengantar pendidikan

of 35

Transcript of makalah pengantar pendidikan

1

BAB I MENGENAL ANAK LUAR BIASA

A. Pengertian Anak Luar Biasa Anak luar biasa masih merupakan istilah yang dipergunakan sampai saat ini, meskipun secara perundangang dan wacana yang berkembang dewasa ini peristilahan tersebut nampaknya perlu ditinjau kembali. Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang terbaru, peristilahan Pendidikan Luar Biasa telah diganti dengan Pendidikan Khusus. Ini mengandung konsekuensi terhadap penggunaan istilah baik kelembagaan maupun subyek peserta didik. Demikian pula halnya dengan wacana yang berkembang secara intenasional tentang peristilahan anak luar biasa, yang dewasa ini sering disebut dengan istilah special needs educational children atau anak dengan kebutuhan pendidikan khusus. Anak luar biasa diartikan sebagai anak yang memiliki kelainan fisik, mental, emosi, sosial atau gabungan dari kelainan tersebut yang sifatnya sedemikian rupa sehingga memerlukan layanan pendidikan secara khusus. B. Jenis Anak Luar Biasa Jenis anak luar biasa yang ada di Indonesia terdiri dari : 1) Anak Tuna Netra 2) Anak Tuna Rungu 3) Anak Tuna Grahita 4) Anak Tuna Daksa 5) Anak Tuna Laras 6) Anak Berbakat 7) Anak Tuna Ganda 8) Anak Kelainan Autisme C. Faktor Penyebab dan Waktu Terjadinya Keluarbiasaan 1. Faktor keturunan (hereditas) Bawaan dari turunan/orang tua 2. Faktor sebelum lahir (prenatal) Ketika dalam kandungan keracunan, kekurangan gizi, terkena infeksi. Waktu hamil ibunya penderita penyakit kronis, dan lain-lain 3. Faktor ketika lahir (natal) Persalinan yang lama sehingga kehabisan cairan Persalinan dibantu dengan alat (syaraf terganggu) 4. Faktor sesudah lahir (post natal) Karena sakit, kecelakaan atau karena salah obat D. Psikologi Anak Luar Biasa Kaitannya Dengan Penjas Adaptif. Kebutuhan merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan motivasi. Motivasi itu akan menimbulkan gerak dan usaha untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan juga merupakan prasyarat yang harus dipenuhi apabila ingin menciptakan sesuatu yang ideal, maka tidak terlepas dari segi psikologi dan sosial.

2

Manusia yang ideal adalah manusia yang bisa mengembangkan potensi personal dan sosial sesuai dengan kapasitas yang tersedia dalam dirinya. Bagaimana membentuk manusia yang menyandang keluarbiasaan menjadi manusia yang ideal?. Apa yang dibutuhkan oleh anak luar biasa sehingga ia menjadi manusia yang dapat berkembang secara optimal fotensi personal dan sosialnya ? Apabila kita membicarakan masalah kebutuhan manusia pada umumnya maka akan terlihat bahwa manusia itu mempunyai kebutuhan dasar (basic needs) yang sama, tidak terkecuali apakah manusia itu tergolong normal atau yang mempunyai kelainan. Manusia memerlukan makan, minum, istirahat yang cukup dan udara yang segar untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Pemenuhan kebutuhan fisik harus diimbangi oleh kegiatan dan aktifitas gerak yang seimbang agar timbul kesegaran jasmani yang diharapkan, kesegaran jasmani akan mempengaruhi kesegaran rohani. Kebutuhan fisiologis bagi anak luar biasa tentu saja sangat memerlukan bantuan orang lain dalam pemenuhannya. Bahkan bantuan orang lain bisa berlangsung sepanjang hidupnya sebagai akibat dari beratnya keluarbiasaan yang disandang anak. Keterampilan gerak sangat mendukung keberhasilan anak dalam mengusahakan pemenuhan kebutuhan fisiknya. Penjas adaptif merupakan salah satu alternatif untuk membantu anak luar biasa mengoptimalkan kemampuannya di dalam gerak. Dalam penjas adaptif anak luar biasa tidak hanya belajar keterampilan motorik, lebih dari itu mereka belajar pengetahuan tentang berbagai macam aktifitas yang dapat memberikan kepuasan, mengembangkan sikap dan apresiasi terhadap berbagai aktifitas yang mereka ikuti. Mereka juga belajar bagaimana memanfaatkan waktu luang sebagai bentuk rekreasi yang dapat memberikan kesenangan baik secara fisiologis, psikologis dan sosial.

3

BAB II PENDIDIKAN ANAK LUAR BIASA A. Latar Belakang Dewasa ini peran lembaga pendidikan sangat menunjang tumbuh kembang anak dalam berolah yste maupun cara bergaul dengan orang lain.Selain itu, lembaga pendidikan tidak hanya sebagai wahana untuk ystem bekal ilmu pengetahuan, namun juga sebagai lembaga yang dapat member skill atau bekal untuk hidup yang nanti di harapkan dapat bermanfaat didalam masyarakat. Sementara itu lembaga pendidikan tidak hanya ditunjukkan kepada anak yang memiliki kelengkapan fisik,tetapi juga kepada anak yang memiliki keterbelakangan mental.mereka di anggap sosok yang tidak berdaya, sehingga perlu dibantu dan dikasihani untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu disediakan berbagai bentuk layanan pendidikan atau sekolah bagi mereka. Pada dasarnya pendidikan untuk berkebutuhan khusus sama dengan pendidikan anak-anak pada umumnya. Disamping itu pendidikan luar biasa, tidak hanya bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus, tetapi juga ditujukan kepada anak-anak normal pada umumnya. B. Pendidikan Luar Biasa 1. Pengertian pendidikan luar biasa Pendidikan Luar Biasa adalah merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses penbelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Selain itu pendidikan luar biasa juga berarti pembebelajaran Yng di rancang khususnya untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari anak kelainan fisik. pendidikan luar biasa akan sesuai apabila kebutuhan siswa tidak dapat di akomodasikan dalam program pendidikan umum.secara singkat pendidikan luar biasa adalah program pembelajaran yang di siapkan untuk memenh kebutuhan unik dari individu siswa. contohnya adalah seorang anak yang kurang dalam pengelihatan memerlikan buku yan hurufnya diperbesar. Pedidikan lua biasa merupakan salah satu komponen dalam salah satu system pemberian layanan yang kompleks dalam memebantu individu untuk mencapai potensinya secara maksimal.pendidikan luar biasa di ibaratkan sebagai sebuah kendaraan dimana siswa penyandang cacat,meskipun berada di sekolah umum,diberi garansi untuk mendapatkanpendidikan yang secara khusus dirancang untuk membantu mereka mencapai potensi yang maksimal. pendidikan luar biasa tidak di batasi oleh tempat umum pemikiran kontemporer menyarankan bahwa layanan sebaiknya diberikan dilngkungan yang lebih alami dan normal yang sesuai dengan kebutuhan anak. Individu-individu penyandag cacat hendaknya dipandang sebagai individu yang sama bukannya berbeda dari teman-teman sebaya lainnya dan yang harus di ingat bahwa pandanglah mereka sebagai pribadi bukan kecacatannya.

4

2. Macam-Macam pendidikan sistem pendidikan anak luar biasa. 1) Sistem pendidikan segregasi Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari system pendidikan anak normal. Penyelenggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelnggaraan pendidikan untuk anak normal. Keuntungan sistem pendidikan segregasi: a. Rasa ketenangan pada anak luar biasa b. Komunikasi yang mudah dan lancar c. Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak. d. Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa e. Mudahnya kerjasama dengan multidisipliner. f. Sarana dan prasarana yang sesuai. Kelemahan sistem pendidikan segregasi: a. Sosialisasi terbatas b. Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal Bentuk-bentuk sistem pendidikan segregasi: 1. Sekolah Luar Biasa 2. Sekolah Dasar Luar Biasa 3. Kelas Jauh/Kelas Kunjung 4. Sekolah Berasrama 5. Hospital School 2) Sistem pendidikan integrasi Sistem pendidikan bagi siswa luar biasa yang bertujuan memberikan pendidikan yang memungkinkan anak luar biasa memperoleh kesempatan mengikuti proses pendidikan bersama dengan siswa normal agar dapat mengembangkan diri secara optimal. Keuntungan system pendidikan integrasi 1. Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam memperoleh pendidikan 2. Dapat mengembangakan bakat, minta dan kemampuan secara optimal 3. Lebih banyak mengenal kehidupan orang normal 4. Mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi 5. Harga diri anak luar biasa meningkat 6. Dapat menumbuhkan motipasi dalam belajar C. Sejarah perkembangan anak luar biasa Para ahli sejarah pendidikan biasanya menggambarkan mulainya pendidikan luar biasa pada akhir abad kedelapan belas atau awal abad kesembilan belas.Di Indonesia sejarah perkembangan luar biasa dimulai ketika belanda masuk keindonesia, (1596-1942) mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi barat.Untuk pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat di buka lembaga-lembaga khusus. lembaga pertama untuk pendidikan anak tuna netra

5

grahita tahun1927 dan untuk tuna runggu tahun 1930. Ketiganya terletak dikota bandung. Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI mengundangundangkan yang pertama mengenai pendidikan. Mengenai anak-anak yang mempunyai kelainan fisik atau mental, undang-undang itu menyebutkan pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasl 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut pasal 8 yang mengatakan: semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan sudah berumur 8 tahun di wajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan di berlakukannya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak-anak penyandang cacat, termasuk untuk anak tuna daksa dan tuna laras, sekolah ini disebut sekolah luar biasa(SLB). Konsep pendidikan terpadu di perkenalkan di Indonesia pada tahun 1978 yang bertujuan khusus untuk anak tuna netra. D. Pasal-pasal yang melandasi pendidikan luar biasa Seluruh warga Negara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini di jamin oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang mengumumkan, bahwa ; tiap tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan undang-undang NO 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional (UUSPN).Dalam undang-undang tersebut di kemukakan hal-hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus sebagai berikut: 1. Bab 1 pasal 1 (18)wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus di ikuti oleh warga Negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. 2. Bab II pasal 4 (1) pendidikan dislenggarakan secara demokratis berdasarkan HAM, agama, cultural dan kemajmukan bangsa. 3. Bab IV pasal 5(1) setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperolehpendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus 4. Bab V pasal 12(1)huruf b mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. 5. Bab VI bagian kesebelas Pendidikan khusus dan pendidikan khusus, pasal 32 (1)pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan. E. Visi dan Misi perkembangan sekolah luar biasa Selain dari beberapa perundangan dan persatuan yang dikemukakan diatas, masih ada kebijakan-kebijakan lainya yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, salah satunya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh direktorat pembinaan sekolah luar biasa yang di tuangkan dalam visi dan misi sebagai berikut:

6

y

y y

Visi: Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak kebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Misi: Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus melalui program segregasi, terpadu dan inklusi. Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan luar biasa dalam hal pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang memadai.

Berbagai kebijakan yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus tidak hanya yang bersifat regional dan nasional, tetapi juga yang bersifat internasional yaitu: 1. 1993 peraturan standar tentang kesamaan kesempatan untuk orang-orang penyandang cacat (PBB, dipublikasikan tahun 1994) 2. 1994 salaman tentang pndidikan inklusif (UNESCO, dipublikasikan tahun 1994, laporan terakhir tahun 1995). 3. 2000 kesempatan Dakar tentang pendidikan tentang semua (UNED). 4. Kecendrungan dalam pendidikan luar biasa Berikut ini akan di kemukakan beberapa kecendrungan yang secara signifikan mempengaruhi pendidikan luar biasa di bawah ini: 1) Pendidikan Inklusif Tidak ada topik dalam pendidikan luar biasa yang mempunyai dampak yang luas atau mengakibatkan banyaknya kontraversi selain inklusi. Inklusi adalah suatu system yang dapat saling membagi diantara setiap anggota sekolah sebagai masyarakat belajar, guru administrator staf lainnya siswa,dan orang tua. Inklusi meliputi para siswa gifted dan berbakat, mereka yang mempunyai resiko kegagalan karena lingkungan hidup mereka. mereka yang mempunyai kelainan dan mereka yang mempunyai prestasi rata-rata. Inklusi adalah suatu sistem yang di percaya dapat terwujud apabila ada pemahaman dan penerimaan dari semua staf. 2) Beberapa ahli mengatakan bahwa hanya dengn cara ini sekolah dapat mennjukkan sistem inklusip dimana seluruh siswa dapat berprestasi penuh dalam pendidikan umum yang berdasarkan kurikulum eksplisit. Kurikulum eksplisit adalah kurikulum yang diperuntungkan bagi siswa pada umumnya yang tidak dapat diakses oleh para siswa yang berkelainan. Sedangkan kurikulum implisit adalah kurikulum yang termasuk didalamnya intraksi sosial dan berbagi ketrampilan yang sangat baik dipelajari bersama sama dengan siswa pada umumnya.

7

BAB III PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Anak berkebutuhan khusus Perkembangan manusia merupakan perubahan yang progresif dan berlangsung terus menerus atau berkelanjutan. Keberhasilan dalam mencapai suatu tahap perkembangan akan sangat menentukan keberhasilan dalam tahap perkembangan berikutnya. Sedangkan, apabila ditemukan adanya satu proses perkembangan yang terhambat, terganggu, atau bahkan terpenggal, dan kemudian dibiarkan maka untuk selanjutnya sulit mencapai perkembangan yang optimal. Tidak setiap anak mengalami perkembangan normal. Banyak di antara mereka yang dalam perkembangannya mengalami hambatan, gangguan, kelambatan, atau memiliki faktor-faktor resiko sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan penanganan atau intervensi khusus. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus. Uraian di atas, mengisyaratkan bahwa secara konseptual anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa, cacat, atau berkelainan (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus tidak hanya mencakup anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat), tetapi juga anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer. Anak berkebutuhan khusus temporer juga biasa disebut dengan anak dengan faktor resiko, yaitu yaitu individu-individu yang memiliki atau dapat memiliki prolem dalam perkembangannya yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan belajar selanjutnya, atau memiliki kerawanan atau kerentanan atau resiko tinggi terhadap munculnya hambatan atau gangguan dalam belajar atau perkembangan selanjutnya. Bahkan, dipercayai bahwa anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer apabila tidak mendapatkan intervensi secara tepat sesuai kebutuhan khususnya, dapat berkembang menjadi permanen. Termasuk anak-anak berkebutuhan khusus yang sifatnya temporer di antaranya adalah anak-anak penyandang post traumatic syndrome disorder (PTSD) akibat bencana alam, perang, atau kerusuhan, anak-anak yang kurang gizi, lahir premature, anak yang lahir dari keluarga miskin, anak-anak yang mengalami depresi karena perlakukan kasar, anak-anak korban kekerasan, anak yang kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar, anak yang tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak berpenyakit kronis, dsb. Berdasarkan uraian di atas, pengertian anak berkebutuhan khusus hakekatnya merujuk pada anak-anak berkelainan, cacat, dan anak-anak dengan faktor resiko, sebagaimana dikemukakan oleh the National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) bahwa children with special needs or special needs children refer to children who have disabilities or who are at risk of developing disabilities. Hal senada juga diajukan oleh Behr dan Gallagher (Fallen dan Umansky, 1985:13) yang mengusulkan perlunya definisi yang lebih fleksibel dalam mendefinisikan anak-anak berkebutuhan khusus. Artinya, tidak hanya meliputi anak-anak berkelainan (handicapped children) sebagaimana dirumuskan dalam P.L 94-142, tetapi juga mereka yang termasuk anak-anak memiliki faktor

8

resiko. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan definisi yang lebih fleksibel, akan memberikan keuntungan bahwa hambatan yang lebih serius dapat dicegah melalui pelayanan anak pada usia dini. Sekalipun demikian, dalam pembahasan ini lebih memfokuskan kepada anakanak yang termasuk dalam kategori anak cacat atau berkelainan. Perubahan terminologi atau istilah anak berkebutuhan khusus dari istilah anak luar biasa tidak lepas dari dinamika perubahan kehidupan masyarakat yang berkembang saat ini, yang melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis dan holistik, dengan penghargaan tinggi terhadap perbedaan individu dan penempatan kebutuhan anak sebagai pusat perhatian, yang kemudian telah mendorong lahirnya paradigma baru dalam dunia pendidikan anak penyandang cacat dari special education ke special needs education. Implikasinya, perubahan tersebut juga harus diikuti dengan perubahan dalam cara pandang terhadap anak penyandang cacat yang tidak lagi menempatkan kecacatan sebagai focus perhatian tetapi kepada kebutuhan khusus yang harus dipenuhinya dalam rangka mencapai perkembangan optimal. Dengan demikian, layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi harus didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak atau lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Salah satu karakteristik anak berkebutuhan khusus adalah heterogenitas, bahkan di antara kelompoknya sendiri. Heterogenoitas ini harus dipahami sejak awal, dijunjung tinggi, dihormati, dan ditempatkan sebagai landasan utama dalam pemberian intervensi. Atas dasar ini pula, pemberian intervensi tidak dapat berpijak kepada pengelompokan berdasar atas kecacatannya atau labeling, dikarenakan label saja tidak memberikan informasi yang cukup, akurat, dan komprehensif untuk bahan rujukan intervensi secara tepat sesuai kebutuhan nyata anak. Dalam pandangan kaum humanis, pengklasifikasian suatu kondisi atau tingkah laku anak melalui labeling secara psikologis di samping dapat dimaknai sebagai penolakan terhadap keunikan individu sehingga dapat melukai perasaan anak, juga dapat mengarah kepada tindakan dehumanisasi, munculnya stigma antar pribadi, serta deprivasi sosial, politik, dan pendidikan. Bahkan cenderung mendeskreditkan, karena stigma cenderung untuk menunjuk pada hal-hal yang jelek, lemah, dan bahaya, yang akhirnya dapat menumbuhkan sikap berprasangka, penolakan, harapan yang negatif, dan kesalahan dalam menafsirkan tingkah laku, yang semua ini dapat mengarahkan pada konsekuensi yang bersifat merusak atau buruk. Karena itu pula, dalam konsep special need education, penggunaan label perlu dihindari sebagai wujud penghargaan atas keunikan individu, kecuali untuk alasan atau tujuan tertentu agar lebih mudah dipahami, penelitian, atau intervensi. Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda-beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Konsekuensinya, intervensi apapun yang diberikan, baik intervensi pendidikan, psikologis, media, ataupun sosial harus didasarkan atas hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.

9

B. Permasalahan Permasalahan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya sangat kompleks dan dapat ditinjau dari berbagai segi. Secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu masalah hambatan belajar (learning barrier), kelambatan perkembangan (development delay), dan hambatan perkembangan (development disability). 1. Hambatan belajar Munculnya permasalahan hambatan belajar anak berkebutuhan khusus dapat ditinjau dari dimensi proses ataupun hasil. Dalam pandangan teori pemrosesan informasi, hambatan dalam dimensi proses merujuk pada ketidakmampuan, ketidaksanggupan, kesulitan, kegagalan atau adanya rintangan pada individu untuk menangkap informasi melalui kegiatan memperhatikan, mengolah informasi melalui kegiatan mencamkan dan menafsirkan sehingga diperoleh pemahaman, interpretasi, generalisasi atau keputusan-keputusan tertentu, menyimpan hasil pengolahan informasi tersebut dalam ingatan, dan menggunakan atau mengekspresikan kembali dalam bentuk tindakan. Sedangkan hambatan dalam dimensi produk, berarti kegagalan individu dalam mencapai prestasi sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, kegagalan individu dalam meraih tujuan belajar yang diharapkan, atau kegagalan dalam penguasaan atau perubahan perilaku sesuai yang diharapkan, baik dalam perilaku kognitif, afektif, ataupun psikomotor. Secara akademik kegagalan tersebut akan tampak dalam penguasaan tiga ketrampilan dasar dalam belajar, yaitu: membaca, menulis, dan atau berhitung (Sunardi, 2006). Salah satu faktor penting yang memiliki kontribusi tinggi terhadap munculnya hambatan belajar pada anak berkebutuhan khusus adalah faktor kesiapan individu untuk belajar, yaitu kesiapan anak dalam merespon situasi yang dihadapkan kepadanya secara tepat, baik karena faktor fisik , mental, emosi, atau sosial anak atau faktor lain yang bersumber pada faktor lingkungan, budaya, ataupun ekonomi. Akibat kelainan yang dihadapi, anak berkebutuhan khusus sangat rentan terhadap munculnya berbagai hambatan dalam belajar. Sedangkan hambatan belajar yang muncul hakekatnya dapat beragam sesuai dengan kondisi anak dan komplesitas faktor-faktor yang mempengaruhi, dan khas atau unik untuk masing-masing anak. Secara umum, hambatan belajar yang cenderung dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus antara lain hambatan belajar ketrampilan motorik, bahasa, kognitif, persepsi, emosi, dan perilaku adaptif atau gabungan dari halhal tersebut. Dari dimensi akademis kesulitan tersebut dapat berupa kesulitan dalam penguasan keterampilan dasar belajar, seperti menulis, membaca, dan berhitung. Hambatan belajar seringkali muncul sejak anak usia pra-sekolah dan akan berkembang semakin berat dan kompleks jika didukung oleh lingkungan yang kurang menguntungkan, terutama oleh lingkungan keluarga yang tidak peduli terhadap permasalahan yang dihadapi anaknya. Dampak dikemudian hari, disamping akan lebih sulit untuk diatasi juga dapat bersiko kepada mahalnya beaya pendidikan yang harus dikeluarkan. Belajar adalah memberi pengalaman secara luas pada semua aspek perkembangan. Karena itu dalam membantu mengatasi hambatan belajar anak

10

harus dilakukan dengan membuka pengalaman secara luas kepada anak, sehinga dapat membantu dan mendorong seluruh aspek perkembangan anak secara komprehensif dan dilakukan sejak dini. 2. Kelambatan perkembangan Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak berkembang melalui tahapan tertentu. Sekalipun irama atau kecepatan perkembangan setiap anak berbeda-beda, namun muncul kecenderungan bahwa pada anak berkebutuhan khusus beresiko terhadap munculnya kelambatan atau penyimpangan perkembangan sesuai dengan umur dan milestone perkembangan, sehingga harus tetap diwaspadai. Sebab, akibat kelainan, kecacatan, atau kondisi-kondisi terntentu yang tidak menguntungkan dan menjadikannya anak berkebutuhan khusus, dapat berpengaruh atau menghambat perkembangan kemampuan, prestasi, dan atau fungsinya, dapat menjadikan anak memerlukan waktu yang lebih lama dalam belajar menguasai keterampilan tertentu dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya, atau menjadikan datangnya kematangan belajar menjadi terlambat. Anak-anak berkebutuhan khusus, baik karena kecatatan atau akibat kondisi tertentu dapat menyebabkan functional isolationism 'isolasi diri' yaitu kecenderungan mempertahankan untuk mengurangi kegiatan interaksi sosial, aktivitas, dan perilaku eksploratori. Akibatnya, anak menjadi tidak aktif, apatis, dan pasif, malu, malas, dan kurang motivasi. Dalam keadaan demikian, aspek-aspek esensial dan universal yang diperlukan untuk perkembangan optimal menjadi ditekan, sehingga tidak berfungsi sebagai mana mestinya, dan akhirnya memunculkan kelambatan dalam perkembangannya. Untuk mengidentifikasi apakah anak mengalami kelambatan perkembangan, cara yang paling mudah adalah dengan membandingkan taraf kemampuan anak sesuai dengan anak-anak seusianya. Bila dijumpai adanya keterlambatan atau penyimpangan, maka harus dicurigai apakah kelambatan tersebut merupakan variasi normal atau suatu kelainan yang serius sebagai akibat kelainan atau kecacatannya, dan apabila hal tersebut diguga kuat akibat kelainan atau kecacatannya, maka hendaknya dilakukan penanganan secara intensif dan sedini mungkin agar tidak berkembang semakin kompleks dan upaya mengatasinya tidak semakin sulit, anak dapat mengejar ketertinggalannya, serta untuk memperkecil potensi terhadap terjadinya kelambatan dalam perkembangan selanjutnya. Pada umumnya, dokter menjadi orang pertama yang mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kelambatan perkembangan dan kelainan. Hal ini dikarenakan dokter merupakan orang yang paling sering berhubungan dengan orang tua (terutama ibu-ibu) sehingga memiliki data dan informasi yang terkait dengan riwayat/catatan kesehatan ibu dan anaknya selama mengandung, saat melahirkan, maupun setelah lahir, sehingga dapat mengetahui apakah bayi tersebut memiliki faktor resiko atau tidak, berkelainan atau tidak, serta memberikan saran-saran terhadap orang tua dalam beradaptasi dengan anaknya (Fallen dan Umansky,1985). Dalam pandangan ekologis, kelambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus dapat terjadi sebagai dampak ketidakmampuan lingkungan, terutama orang tua dan orang lain yang signifikan (misal pengasuh) untuk menjalin interaksi yang seimbang, selaras, dan

11

berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak (progressive macthing). Untuk itu lingkungan melalui interaksi yang diciptakannya, harus dapat menjadi partner bagi laju perkembangan normal anak. 3. Hambatan perkembangan Antara hambatan belajar, kelambatan perkembangan, dan ambatan perkembangan merupakan hal sebenarnya sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu dengan yang lain, namun dapat dibedakan. Secara umum, kelambatan perkembangan lebih menekankan kepada dimensi tahapan perkembangan, sedangkan hambatan perkembangan lebih fokus kepada terjadinya kesulitan, kegagalan, rintangan, atau gangguan dalam satu atau lebih aspek perkembangan. Adanya hambatan dalam aspek perkembangan tertentu dapat berdampak kepada kelambatan perkembangan yang tertentu pula, dengan kata lain kelambatan perkembangan tertentu hakekatnya merupakan manifestasi adanya hambatan dalam satu atau lebih aspek perkembangan. Sedangkan terjadinya hambatan perkembangan juga tidak lepas dari adanya hambatan dalam belajar. Sebagaimana diketahui bahwa akibat kelainan atau kondisi-kondisi tertentu yang dialaminya anak berkebutuhan khusus, secara potensial memiliki resiko tinggi terhadap munculnya hambatan dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik, psikologis, sosial atau bahkan dalam totalitas perkembangan kepribadiannya. Untuk memahami tentang hambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus, kita tidak bisa melepaskan diri dari kajian tentang perkembangan manusia pada umumnya. Dalam pandangan ekologi, perkembangan manusia merupakan hasil dinamika interaksi atau transaksi antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal. Interaksi merupakan dasar bagi perkembangan manusia. Interkasi diartikan sebagai aktivitas saling mempengaruhi, sedangkan bentuk interaksi yang terjadi kemungkinan adalah individu dipengaruhi lingkungan, lingkungan dipengaruhi individu, atau individu dan lingkungan secara dinamis berinteraksi satu sama lain sehingga mengalami perubahan. Atas dasar ini, keragaman perilaku dan perkembangan hanya dapat dipahami secara utuh dalam konteks individu tersebut dengan lingkungannya. Individu adalah bagian tak terpisahkan dari lingkungannya. Anak adalah bagian dari sistem, terutama terhadap lingkungan yang terdekatnya (mini social system). Keragaman terjadi sebagai hasil transaksi antara masing-masing individu dengan lingkungannya yang tiada henti (intensif dan berkesinambungan) dalam suatu proses yang dinamis dan saling mempengaruhi. Hambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus dapat terjadi apabila dalam keseluruhan atau sebagian interaksi antara anak berkebutuhan khusus dengan lingkungan, lingkungan kurang mampu menyediakan struktur kemudahan, kesempatan atau peluang, stimulasi atau dorongan, dan keteladanan bagi berkembangnya fitrah, potensi, atau kompentensi pribadi anak berkebutuhan khusus secara positif, fungsional, serta bermakna bagi perkembangan optimal anak. Kondisi ini pada umumnya ditandai dengan adanya gaps, discrepancy, disparity, discordance, disharmony, atau imbalance antara kemampuan anak dengan tuntutan lingkungan.

12

Munculnya hambatan perkembangan pada anak, sebagai hasil interaksi yang tidak positif, fungsional, dan bermakna antara anak berkebutuhan khusus dengan lingkungannya, dapat termanifestasi dalam salah satu atau lebih aspek perkembangan, meliputi perkembangan konsentrasi, atensi, persepsi, motorik, interaksi dan komunikasi, serta perkembangan emosi, sosial, dan tingkah laku, atau gabungan dari hal-hal tersebut. Diantara hambatan-hambatan perkembangan di atas, hambatan emosi, sosial, dan perilaku merupakan masalah-masalah yang banyak ditemui pada anak-anak berkebutuhan khusus. Anak dengan hambatan perkembangan emosi, sosial, dan perilaku pada umumnya ditandai dengan ketidakmampuannya untuk menyesuaikan diri secara tepat terhadap lingkungannya atau munculnya gejala-gejala perilaku yang tidak diharapkan berdasar atas kriteria normatif yang berlaku di lingkungannya. Hambatan emosi yang terjadi pada anak-anak berkebutuhan khusus, pada umumnya disebabkan oleh adanya deprivasi emosi, yaitu kurangnya kesempatan yang diberikan oleh lingkungan, terutama orang tua, kepada anak untuk mendapatkan pengalaman emosional yang menyenangkan, khususnya cinta, kasih sayang, perhatian, kegembiraan, kesenangan, kepuasan, dan rasa ingin tahu. Hal ini mengingat tidak ada satu orang tua pun yang mengharapkan anaknya lahir dalam keadaan cacat atau berkelainan, karena itu kehadiran anak berkebutuhan khusus (cacat) di tengah-tengah keluarga cenderung melahirkan berbagai krisis psikologis. Pertama, krisis kematian simbolik (symbolic death) yaitu hancurnya cita-cita terhadap anak yang didambakan, dan kedua, krisis yang berkaitan dengan perawatan bimbingan, pendidikan, dan pengasuhan. Kondisi ini yang pada akhirnya kemudian bermuara kepada lahirnya sikap-sikap penolakan, dan sikap ini dapat terus berlangsung sepanjang kehidupan anak. Sikap penolakan menjadikan keberfungsian orang tua selaku pengasuh, pembimbing, dan pendidik anaknya tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Sementara itu, pola emosi pada masa anak-anak menunjukkan kecenderungan untuk tetap bertahan kecuali jika anak yang bersangkutan mengalami perubahan radikal dalam segi kesehatan, lingkungan, atau hubungan personal atau sosialnya. Karena itu apabila hal ini berlangsung pada masa kanak-kanak, apalagi terus berlanjut dalam waktu yang relatif lama, jelas tidak akan menguntungkan bagi perkembangan emosi anak, karena akan lebih banyak belajar dari keluarga atau lingkungannya tentang responrespon yang tidak menyenangkan (unpleasant response) dari pada kesempatan untuk belajar dari respon yang menyenangkan (pleasant response). Dengan kata lain anak akan mendapat sedikit kesempatan untuk belajar mengekspresikan dan mengendalikan emosinya secara tepat menuju tercapainya kesimbangan emosi. Moores (1973) menyatakan bahwa krisis psikologis yang dihadapi orang tua tidak terbatas pada saat menyadari bahwa anaknya cacat, tetapi juga pada saat anak memasuki usia sekolah, memasuki masa remaja awal, dan pada saat memasuki masa dewasa awal. Pada anak tunarungu, Ogden dan Lipsett (1982) menegaskan bahwa kesadaran orang tua akan ketunarunguan pada anaknya akan memunculkan pola respon yang bervariasi, namun cenderung bergerak dari negatif ke arah positif, yaitu: (1) shock, (2) pengakuan, (3) penolakan, dan (4) penerimaan yang disertai aktivitas yang konstruktif. Keberhasilan

13

orang tua dalam melalaui pola respon tersebut sangat tergantung pada informasi serta bimbingan yang diperolehnya. Disamping hal di atas, kondisi kecacatan anak juga dapat menjadikan munculnya berbagai hambatan emosi pada anak. Salah satu variabel perkembangan emosi adalah variabel organisme, yaitu perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila seseorang mengalami emosi. Sedangkan variabel lainnya ialah stimulus atau rangsangan yang menimbulkan emosi, serta respon atau jawaban terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungannya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberi respon secara emosional sudah dijumpai sejak bayi baru lahir. Mula-mula bersifat tak terdeferensiasi atau rendom dan cenderung ditampilkan dalam bentuk perilaku atau respon motorik menuju ke arah terdeferensiasi dan dinyatakan dalam respon-respon yang bersifat verbal. Perkembangan emosi juga sangat dipengaruhi oleh kematangan, terutama kematangan intelektual dan kelenjar endokrin, serta proses belajar baik melalui proses belajar cobacoba gagal, imitasi, maupun kondisioning. Pada anak tunanetra, hambatan emosi dapat terjadi mengingat anak tunanetra secara visual tidak dapat belajar mengamati atau menirukan pola respon emosional atau ekspresi emosi (reaksi wajah dan gerak tubuh yang lain) yang ditampilkan oleh lingkungannya secara tepat dalam menanggapi situasi tertentu. Pada anak yang normal, anak dapat tersenyum atau menunjukkan ekspresi tertentu untuk menunjukkan perasaan senangnya kerena ia mampu melihat dan menirukan perilaku orang lain yang ditujukan kepadanya pada saat senang. Pada anak tunanetra hal semacam ini sangat sulit untuk dipeljari maupun diajarkan. Pada anak tunarungu, kekurangan dalam pemahaman bahasa lisan ataupun tulisan seringkali menyebabkan anak tunarunggu mengalami kesulitan dalam menafsirkan kehidupan emosi orang lain, sehingga kehidupan emosinya cenderung tidak terdeferensiasi dengan jelas, terarah, dan baik. Kehidupan emosinya cenderung tanpa nuansa atau berada dalam dimensi-dimensi yang ekstrim. Demikian pula pada anak-anak cacat atau berkebutuhan khusus yang lain, banyak hal yang menjadikan kecacatannya menjadi faktor-faktor penghambat bagi perkembangan emosinya. Secara sosial, dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, setiap orang dihadapkan kepada standar perilaku tertentu, dan standar ini terus berubah seiring dengan tahapan perkembangan anak. Perilaku tertentu, seperti menangis, dapat tepat untuk anak pada tahapan tertentu dan dapat menjadi tidak tepat untuk tahapan yang lain. Karena itu masyarakat telah menetapkan norma-norma tertentu berdasar atas perkembangan anak dan situasi khusus yang terjadi di lingkungannya. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari setiap anak secara konsisten diharapkan untuk dapat saling menghargai sesama, saling keberja sama, saling mencintai, mengasihi, saling membantu, patuh pada orang dewasa, dan berbuat sopan. Tidak boleh melawan orang tua, menyakiti orang lain, marah-marah, bertengkar, mengambil barang tanpa ijin, menang atau semaunya sendiri, dan sebagainya. Anak-anak yang dalam perkembangannya memiliki perilaku tidak konsisten sesuai perilaku yang diharapkan, secara umum dapat dikatakan bahwa anak tersebut mengalami masalah. Ketidakkonsistenan ini secara sosial atau psikologis dapat berbeda untuk setiap anak, tergantung kepada sifat anak ataupun pengaruh-pengaruh

14

lingkungan. Sementara itu, akibat kondisinya serta akibat pengalamanpengalaman yang kurang menguntungkan dalam berinteraksi dengan lingkungan, seperti sikap ambivalensi, ejekan, dihina, tidak diacuhkan, dilecehkan, dibedakan, atau ketidak jelasan tuntutan, dapat menjadikan anak berkebutuhan khusus memiliki ketakutan yang lebih besar dalam menghadapi situasi sosial, terutama terhadap situasi sosial baru atau yang kurang familier di lingkungannya, sehingga kurang memiliki motivasi terhadap aktivitas-aktivitas sosial di lingkungannya. Secara psikologis, muncul anggapan bahwa tidak setiap lingkungan dapat dimasuki anak dalam rangka memenuhi kebutuhan sosialnya. Akibatnya, anak cenderung memiliki kesempatan yang terbatas untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan berpartisipasi, secara bebas, aman, dan memuaskan, serta belajar tentang polapola tingkah laku yang diterima, baik melalui proses imitasi maupun identifikasi. Kesadaran anak terhadap kenyataan bahwa dirinya mengalami kekurangan yang disertai dengan sikap pengingkaran, tidak terima, serta menyalahkan diri sendiri atau orang lain, dapat menjadikan anak terkungkung dalam kehidupan yang penuh dengan konflik, kesedihan, penderitaan, penyesalan, serta perasaan rendah diri, hina, dan tidak berguna, protes terhadap diri sendiri atau orang lain, ataupun menarik diri dan hidup dalam kesendirian, yang secara signifikan juga dapat menjadi faktor determinan bagi terhambatnya perkembangan emosi dan sosial anak. Perilaku yang muncul kemudian juga dapat bermacam-macam, mulai dari menarik diri, impulsif, agresif sampai dengan tindakan-tindakan yang destruktif. C. Dunia Anak Berkebutuhan Khusus 1. Kebutuhan anak Agar mental anak dapat berkembang secara sehat dan optimal sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya, setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus memerlukan kehidupan yang dapat memuaskan kebutuhankebutuhannya, seperti kebutuhan untuk mendapatkan rasa cinta, kasih sayang, perhatian, makanan atau gizi yang baik, kesehatan, dan rasa aman. Mereka juga membutuhkan kehidupan yang bebas dari stress, kepedulian dari teman dan keluarga, model yang positif, kesempatan untuk sukses di sekolah maupun dalam aktivitas yang lain. Oleh karena itu setiap anak memerlukan dukungan, pengasuhan, bimbingan, dan pendidikan yang baik dari orang dewasa, khususnya dari orang tua dan keluarganya. Masalahnya, tidak semua anak mendapatkan hal-hal tersebut dari lingkungannya. Banyak anak-anak yang dalam kenyataannya justru mendapatkan perlakuan yang negatif dari lingkungannya, bahkan termasuk dari orang tua atau keluarganya, seperti ditolak, dihina, ditelantarkan, bahkan siksaan, sehingga perkembangan mentalnya menjadi terganggu. Kondisi di atas diduga kuat banyak dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus, mengingat kondisi-kondisi yang dialaminya menjadikan mereka disamping memiliki kebutuhan yang sifatnya universal juga memiliki kebutuhan yang sifatnya khusus yang relatif berbeda dengan anak-anak pada umumnya dalam rangka pengembangan dirinya, yang menjadikan lingkungan sulit atau bahkan tidak mampu untuk memenuhinya, sehingga kemudian

15

diabaikan karena dianggap menyusahkan, merepotkan, atau bahkan memalukan. Kehidupan mental yang sehat pada anak dicirikan dengan kemampuan mereka dalam menyesuaikan diri dan keberfungsiannya di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungannya. Sedangkan agar anak dapat memiliki kesehatan mental yang baik, diperlukan berbagai kondisi sebagai pendukung. Brazelton dan Greenspan (Thomson, et all : 2004) menyebut hal ini sebagai irredicible needs, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi bagi anak agar dapat tumbuh secara sehat, yang terdiri dari beberapa komponen dasar, meliputi : a. Adanya hubungan baik dalam pengasuhan yang berlangsung secara terus-menerus. b. Perlindungan fisik dan rasa keamanan dengan aturan-aturan untuk melindungi kebutuhannya. c. Adanya pengalaman-pengalaman yang menekankan kepada perbedaan individual untuk masing-masing perkembangan optimal anak. d. Pemberian kesempatan yang tepat sebagai media untuk membangun keterampilan kognitif, motrorik, bahasa, emosional, dan sosial. e. Adanya harapan yang tepat dari orang dewasa, dan f. Adanya komunitas yang stabil dan konsisten. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di atas, diasumsikan bahwa jika kebutuhan pada tingkatan yang lebih rendah tidak terpenuhi, maka sulit bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan berikutnya yang lebih tinggi. Sekalipun psysiological needs merupakan kebutuhan yang paling rendah, namun hakekatnya merupakan kebutuhan yang paling utama dalam bagi setiap kehidupan manusia dalam rangka mempertahankan hidup serta meningkatkan kehidupannya. Dalam kajian anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat dipahami bagaimana hubungan antara diet yang tidak tepat pada anak-anak dengan munculnya masalah-masalah akademik maupun perilaku, seperti hiperaktivitas ataupun kesulitan belajar. Pada tingkat-tingkat kebutuhan selanjutnya mengandung motivasi bersayarat. Artinya bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut akan dapat dicapai apabila kebutuhan dasar telah terpenuhi. Untuk itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus perlu dimulai dari pemenuhan tingkat kebutuhan yang paling kuat, yaitu kebutuhan dasarnya, karena terpenuhinya kebutuhan ini akan menjadi tonggak awal bagi upaya memenuhi tingkat kebutuhan selanjutnya, sehingga suatu saat ia diharapkan mampu memenuhi kebutuhan puncaknya, yaitu aktualisasi diri. Perlu dipahami pula bahwa apabila suatu tingkat kebutuhan dapat tepenuhi dengan baik, maka kebutuhan serupa yang muncul pada saat kemudian, akan lebih mudah untuk dipenuhi. Sedangkan tercapainya kebutuhan tertinggi, yaitu aktualisasi diri memberi petunjuk tentang anak telah mampu menampilkan diri dan mengembangkan potensinya sehingga berperilaku sebagaimana seharusnya ia berperilaku. Pemenuhan kebutuhan berimplikasi kepada tidak terhalanginya anak oleh rasa lapar, rasa takut, rasa ditolak, rasa tidak disayangi, atau rasa rendah diri, serta pemilikan keterampilan belajar memecahkan masalah, sehingga dapat bergerak ke arah menjadi sebagaimana yang seharusnya. Hampir senada dengan Maslow, Glaser (Thomson, dkk., 2004) juga mengajukan adanya lima

16

kebutuhan manusia, yaitu : (1) the need to survive and reproduce, (2) the need to belong and love, the need to gain power, (4) the need to be free, and (5) the need to have fun. Apabila masyarakat tidak berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut atau anak tidak mampu memenuhinya, maka dapat menjadikan ia mengalami kesulitan atau kegagalan baik secara akademik maupun perilaku. Menyikapi hal tersebut Glazer mengajukan pentingnya mengajarkan pada anak tentang realitas, benar-salah, dan tanggung jawab. Dalam pandangan psikologi Adlerian dipercaya bahwa anak-anak berkebutuhan khusus sering berusaha untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya dengan arah yang salah, karena penting bagi orang dewasa untuk menguji tujuan-tujuan dari perilakunya yang salah suai dan mengarahkan kembali perilakunya kepada pencapaian hasil yang lebih memuaskan. 2. Dunia kognitif Irene Athey (1985) menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang akan berkembang sesuai dengan usia, mengikuti dimensi-dimensi mulai dari hal yang sederhana menuju ke yang kompleks, dari sesuatu yang konkret menuju ke abstrak, dari sesuatu yang subyektif menuju ke yang obyektif, dan dari yang dikenal menuju yang asing. Sedangkan menurut Piaget (Thomson, dkk., 2004) perkembangan kognitif mencakup empat tahapan, yaitu : (1) sensorimotor : 0-2 tahun, (2) preoperasional : 2-7 tahun, (3) operasi kongkrit : 7-11 tahun, dan (4) operasi formal : sesudah 11 tahun. Namun demikian, umur bukanlah jaminan bagi pencapaian tahap perkembangan, karena kognitif lebih banyak terkait dengan proses mental. Secara umum dapat dijelaskan bahwa pada tahap sensorimotor, pengetahuan anak diperoleh melalui interaksi fisik, baik dengan orang atau benda. Anak belum dapat berfikir secara konsep, perkembangan kognitifnya terbentuk oleh skema-skema baru hasil refleks-refleks sederhana seperti menggenggam atau menghisap. Pada tahapan pre-operasional, dicirikan dengan adanya perkembangan berbahasa secara ego-centric speech serta bentuk lain seperti simbol-simbol untuk merepresentasikan lingkungan secara kognitif sebagai gambaran dari perkembangan konseptualnya. Pada tahap preoperasional, pemikiran anak bersifat prelogikal dan semilogikal, sehingga untuk dapat memecahkan masalah secara logis, masih sulit, karena masih dihadapkan kepada berbagai kendala, meliputi : (1) egocentrisme block, yaitu ketidakmampuan untuk melihat titik pandang yang lain. Benar hanya menurut dirinya. Akibatnya, perkembangan emphatinya menjadi terhambat, karena orang lain dianggap sama dengan dirinya, (2) centration block, yaitu ketidakmampuan untuk fokus pada lebih dari satu masalah. Akibatnya, pemecahan masalah berdasar atas logika menjadi lebih sulit, sehingga perlu penjelasan lebih, (3) reversibility block, yaitu ketidakmampuan untuk bekerja bolak balik, dari depan ke belakang atau dari belakang ke depan. Akibatnya, anak sering kehilangan jejak bila sesuatu itu diubah. dan (4) transformation block, yaitu ketidakmampuan anak untuk menempatkan suatu peristiwa dalam urutan atau susunan yang sebenarnya. Sulit memahami sebab dan akibat, sehingga mengalami hambatan dalam

17

memprediksi akibat dari perilakunya pada diri sendiri atau pada orang lain. Pada tahap operasi konkret, anak mulai mengembangkan kemampuan untuk menerapkan pemikiran atau operasi mental secara logis berdasar pengamatan terhadap obyek kongkrit yang ada di lingkungannya. Pada tahapan operasi formal, anak mulai dapat mengoperasionalkan kemampuan mental tingkat tinggi dalam memecahkan masalah secara logis melalui cara-cara berpikir hipotetik, tidak terikat kepada obyek kongkrit. Kognisi hakekatnya merujuk kepada proses bagaimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan, dan dimanfaatkan. Sedangkan proses pembentukan konsep atau pengertian hakekatnya merupakan proses yang kompleks, melibatkan berbagai aspek kemampuan, terutama kemampuan bahasa, persepsi, perhatian, dan ingatan. Proses-proses itu meliputi sejumlah unit yaitu skema, gambaran, symbol, konsep, dan kaidah-kaidah. Menurut Messen, dkk. (1974), kognisi paling sedikit terdiri dari lima proses, yaitu : (1) persepsi, (2) memori, (3) pemunculan ide-ide, (4) evaluasi, (5) penalaran. Berdasarkan hal tersebut, maka hambatan-hambatan bahasa, persepsi, perhatian, penalaran, dan ingatan sebagaimana yang dialami pada anak berkebutuhan khusus akan berdampak kepada terjadinya kesulitan dalam proses pembentukan pengertian dan konsep, yang pada akhirnya bermuara kepada terjadinya hambatan dalam perkembangan kognitifnya. Sebagai gambaran tentang kompleksnya proses kognitif pada anak berkebutuhan khusus dapat dicontohkan pada anak yang mengalami ketunagrahitaan. Para ahli psikologi perkembangan umumnya beranggapan bahwa jika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal yang mempunyai MA yang sama secara teoritis akan memiliki tahap perkembangan kognitif yang sama. Asumsinya, bahwa individu secara aktif mengkonstruksikan struktur internalnya melalui interaksi dengan lingkungan. Namun, ternyata pendapat ini tidak seluruhnya benar sebab ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa anak tunagrahita yang memiliki MA yang sama dengan anak normal tidak memiliki keterampilan kognitif yang lebih unggul dari pada anak normal. Anak normal memiliki kaidah dan strategi dalam memecahkan masalah, sedangkan anak tunagrahita bersifat trial and error. Sementara itu, sekalipun kemampuan kognitif anak tunagrahita pada tahap sensori motor tidak berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya, namun : (1) anak-anak terbelakang berat tidak mampu memahami konservasi, bahkan tidak mampu mencapai tahap operasi konkret, (2) Anak-anak yang terbelakang ringan mampu melakukan tugas-tugas konservasi yang lebih sederhana sebaik pada anak normal dengan MA yang sama, dan (3) Anakanak terbelakang mental ringan tidak mampu dalam konservasi volume, dan tidak akan pernah mencapai tahap operasional formal (Ingal, 1978). Pernyataan terakhir juga senada dengan pendapat Zaenal Alimin (2005) bahwa sekalipun perkembangan kognitif pada anak tunagrahita hakekatnya sama seperti pada anak normal, namun, untuk tahapan berfikir yang sifatnya abstrak menjadi wilayah yang sulit dicapai. Hal di atas menjelaskan bahwa terjadinya keterbelakangan mental dapat berdampak kepada terjadinya hambatan dalam satu atau beberapa proses kognitif seperti bahasa, persepsi, konsentrasi, memori, pemunculan ide-ide,

18

evaluasi, dan penalaran. Dalam kaitan dengan bahasa, keterbelakangan mental menjadikan perkembangan bahasanya terlambat. Penguasaan kosa katanya menjadi sangat terbatas, artikulasinya tidak jelas, intonasinya datar, kesulitan dalam gramatikal, dan dalam memahami pembicaraan orang lain. Dalam hal persepsi, menjadikan kesulitan dalam menafsirkan apa yang dilihat atau didengarnya. Dalam hal konsentrasi, anak tidak mampu mencurahkan energinya pada suatu obyek yang dihadirkan atau dipelajari dalam waktu yang relatif lama tanpa teralihkan kepada obyek lain. Berkenaan dengan memori, sekalipun dalam ingtaan jangka panjang tampak tidak berbeda dengan anak normal, namun berbeda dalam hal ingatan jangka pendek. Sedangkan keterbatasan penalarannya, menjadikan kehidupan mentalnya kurang fleksibel dalam menerima, mengolah, dan menyatakan kembali informasi yang diterimanya sesuai hukum logika. Adanya hambatan kognitif di atas, mengisyaratkan bahwa dalam konseling anak berkebutuhan khusus menuntut konselor untuk melakukan upaya-upaya khusus menyesuaikan dengan perkembangan kognitif anak. Misalnya, melalui pemanfaatan media yang sederhana, konkret, dan ada di sekitar anak dalam kehidupan sehari-hari, pemberian penjelasan yang lebih, penggunaan bahasa yang sederhana, serta dilaksanakan secara telaten, kreatif, dan terstruktur. Hal ini selaras dengan penegasan (Thomson, dkk. (2004) bahwa konseling akan lebih efektif, apabila konselor mampu mencocokkan antara penggunaan metode konseling dengan kemampuan kognitif anak. 3. Dunia sosial Masa anak merupakan masa-masa kritis dimana pengalamanpengalaman dasar sosial yang terbentuk pada masa itu akan sulit untuk diubah dan terbawa sampai dewasa. Karena itu pengalaman negatif anak berkebutuhan khusus dalam berinteraksi dengan lingkungan yang terjadi pada masa awal kehidupannya akan dapat merugikan perkembangan social anak selanjutnya, seperti sikap menghindar atau menolak untuk berpartisipasi dengan lingkungannya. Semakin bertambahnya usia, pengalaman sosial anak semakin berkembang dengan berbagai dinamikanya, dan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan akan mewarnai perkembangan kepribadiannya. Perkembangan sosial anak berkebutuhan khusus sangat tergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak. Disamping itu, akibat kondisinya juga sering menjadikan anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan dalam belajar sosial melalui identifikasi maupun imitasi. Manusia sebagai mahluk sosial selalu memerlukan kebersamaan dengan orang lain. Demikian pula dengan anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi karena hambatan yang dialaminya dapat menjadikan anak mengalami kesulitan dalam menguasai seperangkat tingkah laku yang diperlukan untuk menjalin relasi social yang memuaskan dengan lingkungannya. Perkembangan sosial anak berkebutuhan khusus akan tumbuh dengan baik apabila sejak awal dalam interaksi bersama di terdekatnya keluarga tumbuh elemen-elemen saling membantu, saling menghargai, saling mempercayai, dan saling toleransi. Namun, karena hambatan-hambatan yang dialaminya, sering menjadikan hal tersebut kadang sulit didapat. Anak sering

19

tidak memperoleh kepercayaan dari lingkungannya, yang akibatnya tidak saja dapat menumbuhkan perasaan tidak dihargai, tetapi juga dapat menjadikan dirinya sulit untuk mempercayai orang lain. Toleransi yang berlebihan atau sikap pemanjaan dalam lingkungan keluarga, juga dapat menimbulkan masalah sosial tersendiri ketika anak masuk dalam lingkungan yang lebih luas. Misalnya ketika anak memasuki lingkungan sekolah, dimana ia dituntut untuk tunduk pada aturan dan disiplin sebagaimana anak yang lain tanpa kecuali. Masalah sosial yang muncul, misalnya anak menjadi merasa tidak diperhatikan, merasa tertekan, merasa tersaingi, merasa diabaikan, dan merasa ditolak, yang kemudian dapat menjadikan anak merasa tidak nyaman berada di sekolah dan akhirnya malas atau bahkan tidak mau bersekolah. Sementara itu, anak berkebutuhan khusus yang dalam lingkungan keluarganya sering mendapatkan pengalaman negatif sebagai akibat perlakuan yang tidak wajar, dapat menjadikan anak tidak percaya diri, merasa rendah diri, malu dan kemudian kurang motivasi atau bahkan takut untuk menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau lingkungan baru. Kondisi ini akan diperparah apabila sikap-sikap masyarakat juga sering kali tidak menguntungkan bagi dirinya, seperti penolakan, penghinaan, sikap acuh tak acuh, ambivalen, serta ketidakjelasan tuntutan sosial. Yang terjadi kemudian, anak akan lebih senang untuk menyendiri dan menghindari relasi dengan orang lain. Nampak atau tidak nampaknya kelainan anak juga merupakan faktor penting dalam penyesuaian diri anak tunadaksa. Kelainan yang jelas tampak, memungkinkan anak lebih sulit untuk menyesuaikan diri dengan wajar dibandingkan yang kurang tampak, karena secara langsung akan berpengaruh terhadap identitas dirinya, yaitu proses dalam menempatkan dirinya dalam dunia sosial. Misalnya, pada anak tunadaksa. Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak. Anak berkebutuhan khusus memerlukan perlakuan yang wajar, bimbingan, pengarahan, belajar bersosialisasi dan bermain dengan teman seusianya, agar mendapat peluang dan kesempatan yang lebih luas untuk belajar tentang polapola perilaku yang datat diterima, sehingga tidak menghambat perkembangan sosialnya. Lingkungan merupakan sumber informasi yang mendasar, menjadi persediaan utama pemenuhan kebutuhan, dan penafsir utama perilaku sosial yang dapat diterima. Untuk itu penting bagi lingkungan, khususnya keluarga untuk mengembangkan struktur kesempatan, struktur dukungan, dan struktur penguatan tertentu yang memungkinkan anak dapat belajar memperoleh tingkahlaku-tingkahlaku baru yang dapat diterima dan selaras dengan normanorma yang berkembang di lingkungannya, sehingga mampu mengeliminir dampak sosial sebagai akibat dari kondisinya. Dengan kata lain, anak berkebutuhan khusus lebih membutuhkan dukungan dan dorongan daripada sekadar pengasuhan, lebih membutuhkan bimbingan daripada sekadar perlindungan, dan lebih membutuhkan pengarahan daripada sekadar sosialisasi.

20

4. Dunia emosi Sebagian dunia kehidupan emosi anak berkebutuhan khusus dapat dipahami dari uraian pada bagian sebelumnya. Berikut ini sekedar untuk memperkaya pembahasan. Keluarga merupakan factor penting bagi kehidupan emosi anak. Kekecewaan orang tua terhadap anaknya yang berkebutuhan khusus, dapat menjadikan munculnya sikap-sikap penelantaran dengan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan anak, tidak merespon suka-duka anak, tidak merespon keberhasilan atau kegagalan, dan kesulitan-kesulitannya. Bahkan sekalipun diekspresikan secara tidak terbuka. Apabila perlakuan-perlakuan ini terjadi sejak dini, maka sikap penelantaran tersebut akan menjadikan anak mengalami deprevasi emosi dan akibatnya dapat mengganggu perkembangan kematangan emosinya. Kondisi kelainan anak, juga sering menjadikan orang tua secara emosional terpisah dengan anaknya. Sementara itu, keterpisahan secara emosional antara anak dengan orang tua akan menjadikan anak minimalis dalam berbagai aspek. Misalnya anak menjadi terbatas kelekatan dan kedekatan emosinya, tidak merasakan adanya kehangatan, cinta dan kasih sayang, dan perhatian, dan apabila hal ini berkelanjutan dapat menimbulkan sikap kurang toleransi, kurang dalam pengendalian diri, pengucilan diri, tidak berharga, sikap tertutup, perasaan tidak aman, serta perilaku-perilaku masa bodoh, agresif, menentang, keras kepala, serta perilaku buruk dan konfliktual lainnya. Salah satu ciri umum yang sering ditemui pada anak berkebutuhan khusus adalah adanya ketidakseimbangan emosi (imbalance), yaitu kemampuan anak untuk mengendalikan emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan secara seimbang. Proses tersebut dapat dicapai melalui dua cara, yaitu dengan mengendalikan lingkungan dan mengembangkan toleransi emosional atau kemampuan untuk menahan akibat emosi yang tidak menyenangkan. Pengendalian lingkungan hanya dapat dilakukan pada waktu anak masih kecil. Dengan bertambahnya usia anak, perkembangan toleransi emosional harus ditingkatkan sehingga anak siap untuk menghadapi segala kemungkinan hidup ini, apapun emosi yang dialaminya. Mampu mengarahkan energi emosional ke dalam saluran ekspresi yang berguna dan dapat diterima oleh lingkungan sosial, serta menahan/mengendalikan emosi tidak menyenangkan karena dapat menjadikan diri tercela atau orang lain terluka. Ciri lain dari anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan emosi umumnya juga dicirikan dengan munculnya sikap dan perilaku yang sulit diduga (unperdicable), sangat sensitif (oversensitiveness), sulit dikendalikan (uncontrollable), tidak stabil (unstability), dan ketidaktepatan dalam mempersepsi diri dan lingkungan (inadequate self and environment perceptions). Disamping itu mereka juga menunjukkan gejala-gejala kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan dalam intensitas yang cukup tinggi. D. Konseling pada Anak Berkebutuhan Khusus a. Urgensi konseling pada anak berkebutuhan khusus Paradigma dalam pendidikan luar biasa yang lebih menekankan kepada penghargaan tinggi terhadap hak asasi manusia (HAM), telah menempatkan pentingnya penanganan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan dimensi-

21

dimensi kemanusiaannya, baik dalam dimensi keindividualan (individualitas), kesosialan (sosialita), kesusilaan (moralitas), dan keagamaan (religiusitas), secara selaras guna mencapai perkembangan optimal. Sementara itu, kompleksitas permasalahan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus, menuntut kepedulian tenaga pendidik dan semua elemen yang terkait untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapinya, melalui pemenuhan kebutuhan khsusnya dalam rangka membantu anak mencapai perkembangan optimal. Berdasarkan hal di atas, layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus harus dikembangkan dalam dimensi yang lebih luas dan komprehensif. Salah satunya dengan menempatkan layanan konseling sebagai unsur pokok yang terpadu dalam seluruh kegiatan pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan dilaksanakan dengan lebih intensif, komprehensif, konsisten, konsekuen, dan berkesinambungan. Melalui layanan konseling diharapkan mampu menunjang pencapaian tujuan pendidikan, membantu mengatasi hambatan belajar dan perkembangan yang dialaminya, sekaligus diharapkan mampu membantu upaya pengembangan totalitas kepribadian anak secara optimal sesuai dengan dimensi-dimensi kemanusiaannya menuju kebahagiaan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Selaras dengan paradigma baru dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus, penempatan konseling dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, bukan lagi sekedar kepedulian terhadap masalah, melainkan pada upaya-upaya pengembangan pribadi anak secara utuh. Dengan kata lain visi konseling pada anak berkebutuhan khusus harus memiliki jangkauan yang lebih luas, yang meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut: 1) Dimensi edukatif, yaitu peningkatan kemampuan anak berkebutuhan khusus dalam memahami potensi diri, peluang dan tuntutan lingkungan, dan pengambilan keputusan, serta penyelenggaraan program yang merujuk pada norma idealis, filosofis, dan pragmatis sebagai tugas bersama. 2) Dimensi developmental, yaitu pengembangan secara optimal seluruh aspek kepribadian anak berkebutuhan khusus melalui pengembangan kesiapan atau kematangan intelektual, emosional, sosial, dan pribadi sesuai dengan sistem nilai yang dianut. 3) Dimensi preventif, yaitu pencegahan timbulnya resiko (masalah) yang dapat menghambat laju perkembangan kepribadian (diskontinuitas perkembangan) anak berkebutuhan khusus individu serta pencegahan terjadinya penurunan mutu pendidikan. 4) Dimensi ekologis, yaitu pengembangan kompentensi atau tugas-tugas perkembangan anak secara optimal melalui rekayasa lingkungan baik fisik, sosial, maupun psikologis dengan fokus pada upaya memfasilitasi perkembangan anak, intervensi pada sistem atau sub sistem, dan tercapainya lingkungan belajar yang kondusif bagi perkembangan individu dan keselarasan interaksi dan interrelasi pribadi dan lingkungan menuju optimalisasi keberfungsian individu 5) Dimensi futuristik, yaitu pengembangan wawasan, sikap, dan perilaku antisipatif anak berkebutuhan khusus dalam pengambilan keputusan dan perencanaan kehidupan serta karir masa depan yang lebih memuaskan.

22

b. Konsep dasar konseling Konseling hakekatnya adalah layanan kemanusiaan yang diwarnai oleh pandangannya tentang manusia. Konseling merupakan proses yang menunjang keseluruhan pelaksanaan pendidikan dalam mencapai tujuannya, yaitu membantu perkembangan optimal sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, sesuai dengan kemampuan, minat, dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam kaitan dengan bimbingan,konseling pada hakekatnya adalah inti dari keseluruhan kegiatan bimbingan. Artinya keseluruhan bimbingan hendaknya bermuara pada layanan konseling. Dalam kaitan dengan pendidikan, konseling sekalipun tidak identik dengan pendidikan, namun memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bermuara kepada tercapainya perkembangan optimal. Karena itu tujuan konseling harus selaras dengan tujuan pendidikan. Secara empirik praktis, bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan karena itu bekerjanya menuntut keserasian, keselarasan, dan keterpaduan dengan pendidikan. Dalam pandangan sistem, konseling merupakan suatu sistem yang terbuka yang menyangkut variabel input, proses, dan output. Hal ini mengandung maksud bahwa variabel-variabel dalam konseling, baik variabel input, proses, maupun output merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Perubahan dalam satu variabel akan merubah pula variabel yang lainnya. Sebagai sistem, maka keberhasilan pelaksanaan konseling terikat pada terjadinya keselarasan dan keserasian dari berfungsinya atau bekerjanya seluruh variabel-veriabel tersebut untuk membentuk relasi dan interaksi secara harmonis. Dengan kata lain, keberhasilan perubahan perilaku sebagai tujuan konseling tidak semata-mata ditentukan konselor atau kliennya sendiri, tetapi tergantung pada banyak sisi, yaitu keseluruhan unsur yang terlibat dalam proses konseling itu sendiri, termasuk masukan lingkungan maupun instrumental, situasi bimbingan, relasi yang dikembangkan, maupun perubahan-perubahan perilaku yang diharapka terjadi. Dengan demikian target konseling adalah seluruh variabel yang terkait dengan sistem atau sub sistem. Variabel input umumnya berkenaan dengan konselor, klien, dan situasi dimana bimbingan dan konseling terjadi, sedangkan variabel proses berkenaan dengan jenis relasi intervensi dan kontrak perkembangan, sedangkan hasil berkenaan dengan perubahan tingkah laku dan tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai serta keberfungsiannya dalam sistem. Dalam kaitan dengan budaya, salah satu isu penting yang berkembang akhir-akhir ini dalam bidang konseling dan banyak mendapat sambutan hangat dari para pakar adalah konseling lintas budaya (cross cultural counseling). Beberapa tema yang terkait erat dengan konseling lintas budaya tersebut, antara lain: 1) Emic dan etic. Adanya perbedaan antara emic dengan etic, sehingga masalah yang muncul adalah bagaimana menyeimbangkan antara keunikan individu karena latar belakang budaya (culturally unique) dengan manusia pada umumnya (humanly unversal). Berkaitan dengan ini konseling dengan mendasarkan diri pada pandangan emic menjadi sangat penting karena akan memberikan penghargaan yang lebih besar pada keunikan individiu sesuai dengan latar belakang budayanya. Konseling

23

lintas budaya ini berimplikasi pada tuntutan agar konselor mampu memahami dunia individu karena perbedaan latar belakang budaya. Walaupun suatu dilema mungkin muncul manakala dunia pribadi individu tersebut ternyata tidak mencerminkan budayanya. Bagaimanapun juga aspek budaya merupakan suatu yang tidak dapat diabaikan karena mempengaruhi efektifitas proses konseling. Bahkan lebih dari itu, factor budaya dapat berpengaruh luas pada tujuan, proses, sasaran, atau alasan penyelenggaraan konseling itu sendiri. Sekaitan dengan itu, maka penting bagi konselor adalah: (a) menempatkan klien sebagai informan budaya, klien adalah representasi badaya, (b) pengembangan sikap, pemahaman, dan keterampilan sesuai antropologi budaya setempat, dan (c) perlunya menerapkan pendekatan secara terbuka, luwes, dan selaras dengan budayanya. 2) Autoplastic dan alloplastis. Artinya bagaimana menyeimbangkan tujuan konseling dengan mengubah individu agar menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan mengubah lingkungan agar sesuai dengan individu melalui pendekatan yang realistis dan kreatif. 3) Hubungan atau teknik. Artinya dalam konseling yang dipentingkan hubungan atau teknik, mengingat suatu teknik belum tentu cocok untuk suatu budaya tertentu karena penggunaanya tergantung pada penerimaan dan keyakinannya. 4) Komunikasi. Inti proses pelayanan konseling adalah komunikasi antara konselor dengan klien, konseling lintas budaya berarti proses komunikasi lintas budaya, sehingga perlu diantisipasi kemungkinan munculnya faktorfaktor penghambat komunikasi tersebut baik yang berkaitan dengan bahasa, komunikasi non verbal, stereotip, kecenderungan menilai (psikososial), maupun kecemasan. Implikasi dari penerapan konseling lintas budaya di atas menuntut berbagai kompentensi pada konselor maupun lembaga pendidikan dan latihan bagi konselor. Bagi konselor minimal dipersyaratkan memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampialn tinggi terhadap spektrum sosial budaya yang lebih luas dan berbeda-beda, sedang implikasi bagi lembaga pendidikan dan latihan menuntut disusunnya kurikulum dan program yang mencakup pengkajian dan praktek lapangan berkenaan dengan aspek-aspek sosial budaya klien yang beragam. Realitas sosial budaya bangsa Indonesia yang majemuk mengisyaratkan semakin dirasakannya kebutuhan akan konseling lintas budaya, sehingga pelaksanaan konseling tidak meninggalkan akar budayanya, tetapi justru dilandasi oleh dan mempertimbangkan keanekaragaman dan dinamika sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Implikasi penting lain adalah pelaksanaan konseling tidak dapat disamaratakan untuk semua klien, tetapi harus didasarkan pada pengenalan dan penghargaan tinggi pada keunikan klien sesuai latar budayanya untuk menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan proses konseling. c. Pengertian konseling Dalam perspektif sejarah, konseling mula-mula dipandang sebagai specific techniques, kemudian beralih pada penekanan adanya relationship, yaitu suatu pemahaman bahwa suatu konseling dapat

24

melibatkan lebih dari dua orang dan menekankan pada tujuan-tujuan yang ditentukan oleh klien. Definisi yang berorientasi psikologis, menyatakan konseling sebagai suatu proses yang melibatkan interaksi antara konselor dengan konselee dalam setting privat, dengan tujuan membantu klien merubah perilakunya sehingga mampu memperoleh pemecahan yang memuaskan atas kebutuhan-kebutuhannya. Telah banyak para ahli yang memberikan definisi tentang konseling. Namun demikian, dari beberapa definisi yang ada dapat ditarik disimpulkan bahwa elemen-elemen umum dalam konseling adalah : (1) membantu seseorang memuat pilihan-pilihan dan bertindak atas pilihannya, (2) proses belajar, dan (3) perkembangan kepribadian. Selanjutnya berdasarkan pendekatan terhadap masalahnya, Burks dan Stefflre (1979) menyatakan bahwa supportive therapy setingkat dengan bimbingan, reeducative dengan konseling, dan reconstructive therapy dengan psikotherapy. Dalam banyak hal tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam metode yang digunakan antara konseling dengan psikotherapi. Konseling lebih banyak berkenaan dengan masalah kognisi sedangkan psikotherapi pada masalah afeksi. Sedangkan berkenaan dengan teori, terdapat elemen-elemen substansif dalam suatu teori konseling yang pada akhirnya akan membedakan antara suatu teori dengan yang lainnya. Elemen-elemen subtansif tersebut ialah : (a) asumsi terhadap penghargaan hakekat manusia, (b) keyakinan terhadap teori belajar dan perubahan perilaku, (c) komitmen terhadap tujuan konseling, (d) definisi peran konselor, dan (e) fakta pendukung teori. d. Hakekat tujuan konseling Tujuan konseling terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan konsepsi konseling itu sendiri, dari mulai yang sederhana sampai dengan yang komplesk atau komprehensif. Namun demikian tujuan konseling pada hakekatnya harus merujuk, bermuara, atau bernuansa, dan seirama dengan tujuan pendidikan nasional. Karena itu tujuan pendidikan nasional harus tetap dijadikan sebagai referensi utama pencapaian tujuan konseling. Dengan demikian sekalipun dengan menggunakan pendekatan, metode, teknik, dan proses yang berbeda dengan yang diterapkan dalam pendidikan tetapi hasilnya tetap selaras, bahkan dapat dijadikan sebagai sarana pendukung pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Tujuan konseling disamping harus mampu merefleksikan kebutuhan individu, juga harus mampu membantu individu memperkembangkan diri ecara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (kemampuan, bakat, minat), sesuai dengan latar belakang sosial budaya, dan tuntutan positif lingkungan. Dengan kata lain mampu membantu setiap individu menjadi insan yang berguna dalam kehidupannya yang memiliki wawasan, pandangan, sikap, penilaian, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat sesuai dengan keadaan diri dan lingkungannya. Mampu memiliki sikap kemandirian, kemampuan memahami dan menerima diri serta lingkungan secara tepat, obyektif, realistik, positif, serta mampu mengambil keputusan secara tepat, bijaksana, dan bertanggung jawab sehingga pada akhirnya mampu mengembangkan diri dalam kehidupan yang

25

bermakna bagi diri dan lingkungannya serta memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya sesuai dengan ajaran agamanya. Dalam bahasa yang filosofis hakekat tujuan konseling tidak lain adalah membantu perkembangan pribadi seutuhnya secara optimal sesuai dengan dimensi-dimensi kemanusiaannya menuju kebahagiaan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya serta kemuliaan diri melalui jalan yang diridhloi sesuai dengan fitrah, harkat, dan martabat sebagai makhluk Tuhan. Dalam arti yang lebih sempit hakekat tujuan konseling tidak dapat melepaskan diri dari arah perkembangan, permasalahan, kebutuhan, dan keunikan masing-masing individu. Untuk mencapai tujuan tersebut, proses konseling yang dikembangkan hendaknya mampu menyediakan kesempatan dan pengalaman untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan predisposisinya, menyiapkan lingkungan yang kondusif bagi pengayaan dan kemudahan perkembangan seluruh aspek kepribadian secara seimbang, mendorong setiap individu mampu menemukan jati dirinya, mendorong terjadinya interaksi dengan sesamanya dan orang lain dengan berbagai keragamannya sehingga memungkinkan ia menemukan keunikan dalam dirinya, menyediakan kesempatan untuk berlatih menghadapi berbagai hambatan psikologis dan sosial sehingga dapat berperilaku wajar di tengahtengah lingkungannya, dan mampu memberikan kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi pengembangan seluruh aspek kepribadiannya.

26

BAB IV DISABILITAS Disabilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas penting yang berguna oleh karena keterbatasan fisik/mental yang dapat ditentukan secara medis dan dapat berakibat kematian atau telah berlangsung atau diperkirakan akan berlangsung secara terus menerus dalam kurun waktu tidak kurang dari 12 bulan. World Health Organization (WHO) memberikan definisi disabilitas sebagai keadaan terbatasnya kemampuan (disebabkan karena adanya hendaya) untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal oleh manusia. Tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mengatakan terdapat disabilitas yaitu durasi waktu, tidak adanya aktivitas penting yang berguna, dan adanya keterbatasan yang dapat ditentukan secara medis. Seseorang tidak dapat dikatakan memiliki disabilitas bila ia dapat memiliki penghasilan lebih besar daripada penghasilan minimum yang ditentukan walaupun ia mungkin hanya bisa bekerja paruh waktu pada pekerjaan mereka yang lama dan pendapatannya lebih rendah daripada pendapatan sebelumnya. Dalam menentukan disabilitas, beberapa tolak ukur subyektif dan terkadang tidak akurat harus dipertimbangkan. Faktor nonmedis seperti gender, pelatihan sebelumnya, keahlian, pengalaman, pendidikan, lingkungan sosial, ketersediaan pekerjaan yang cocok secara lokal/nasional, masalah transportasi dari dan ke tempat kerja, serta kemampuan bekerja bersama orang lain. Disabilitas juga dipengaruhi faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan C pekerjaan, geografi, dan tipe pekerjaan. Keputusan diambil berdasarkan pertimbangan latar belakang permintaaan kemampuan/ketidakmampuan secara pasif maupun aktif, juga memperhitungkan mengenai kemampuan menghasilkan uang, keterbatasan dalam hidup sehari-hari, dan ketidakmampuan dari status sosioekonomi. Disabilitas total didefinisikan sebagai ketidakhadiran individu dari tempat ia biasa bekerja, atau ketidakmampuan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan. Hal ini tidak spesifik untuk kategori pekerjaan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut tidak dapat diharapkan terlibat dalam pekerjaan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan pelatihan yang didapatkan, latar belakang, pengalaman, dan pendapatan sebelumnya. Pertimbangan lain yaitu bahwa ia tidak dapat terlibat atau memiliki kemampuan melakukan satu atau semua pekerjaan untuk kepentingan kompensasi atau keuntungan. Disabilitas total atau permanen berarti bahwa individu diperkirakan secara beralasan untuk tidak memiliki kapasitas dalam jangka waktu lama atau menetap, tanpa adanya kesempatan yang beralasan sama sekali untuk mendapatkan kembali kapasitasnya. untuk bekerja. Disabilitas parsial mengarah pada ketidakmampuan melakukan satu atau lebih fungsi kerja. Secara sederhana, berarti ketidakmampuan melakukan tugas yang biasa dikerjakan. Untuk sebagian besar orang, syarat durasi waktu yang disebutkan dalam definisi disabilitas di atas dapat dengan mudah dipenuhi, karena disabilitas mereka bersifat kronik dan cenderung akan semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Pada beberapa kasus, dapat terjadi perubahan kemampuan individu untuk bekerja. Pada kelainan muskuloskeletal atau neurologis dimana pasien-pasien mengalami episode eksaserbasi dan remisi yang sering (contoh: artritis rheumatoid, sklerosis multipel)

27

dapat menimbulkan periode disabilitas yang pendek, sehingga sering menyulitkan untuk memenuhi syarat durasi waktu. Jika disabilitas adalah akibat trauma, sebagai tambahan gejala dan tanda manifestasi klinis, dokter secara khusus memperdulikan rasa sakit. Walaupun hal ini sifatnya subyektif berdasarkan laporan pasien, dapat juga ditemukan tanda-tanda obyektif seperti dilatasi pupil, kepanikan, serta tekanan darah/nadi/respirasi yang abnormal. Rasa sakit yang tidak dilaporkan sampai 24 jam atau lebih sejak terjadinya trauma biasanya berasal dari perasaan/emosi. Untuk kepentingan evaluasi disabilitas, rasa sakit dapat diklasifikasikan sebagai: y berat (tanpa adanya aktivitas yang dapat memicu timbulnya rasa sakit) y sedang (masih dapat ditoleransi dengan adanya disabilitas yang nyata pada saat melakukan aktivitas yang menimbulkan rasa sakit) y ringan (masih dapat ditoleransi dengan adanya disabilitas pada saat melakukan aktivitas yang menimbulkan rasa sakit) y minimal (mengganggu tetapi tidak ada kecacatan dalam aktivitas) Dalam mengevaluasi dampak suatu cedera, dokter harus mempertimbangkan hal berikut: apakah cedera tersebut adalah penyebab langsung dari penyakit (misalnya fraktur majemuk dengan infeksi atau cedera dinding dada dengan pneumonia); apakah cedera diperparah oleh keadaan sistemik ( misalnya diabetes, gout, hipertensi) apakah suatu proses sistemik (misalnya osteoporosis atau tumor tulang) menyebabkan patah tulang; dan terakhir, apakah cedera dan penyakit itu adalah dua hal yang berdiri sendiri. Dalam penilaian disabilitas karena gangguan mental, beberapa faktor harus dipertimbangkan termasuk hal yang fisiologis, psikologis dan khas terhadap individu tersebut. Faktor-faktor itu dapat berupa retardasi mental, gangguan kepribadian, kepribadian sosiopatik, psikoneurosis, psikosis dan gangguan organik otak. Salah satu hal penting dalam penentuan disabilitas adalah hendaya (impairment) yang dapat ditentukan secara medis. WHO memberikan definisi hendaya sebagai keadaan abnormalitas atau hilangnya fungsi psikologis, fisiologis, atau struktur anatomis. Bertolak belakang dengan definisi disabilitas, hendaya didefinisikan sebagai terdapatnya penyakit spesifik yang cukup parah untuk mendukung kesimpulan bahwa penurunan fungsi telah terjadi. Hendaya harus dapat ditunjukkan dengan teknik diagnostik laboratorium dan klinis yang sesuai standar. Bukti objektif hendaya fisik atau mental diperlukan karena gejala belaka tidak mencukupi untuk penetapan disabilitas. Temuan pemeriksaan fisik dan laboratorium harus dapat memastikan kelainan yang menyebabkan munculnya gejala tesebut. Penetuan hendaya tergantung pada adanya kelainan anatomi dan gangguan fungsi fisiologis ataupun psikologis. Dalam membuat penilaian, dokter menentukan derajat dan sifat cedera atau penyakit dan apakah keadaan tersebut akan stabil atau malah berlanjut setelah rehabilitasi maksimal. Dokter harus juga memperhitungkan efisiensi pasien dalam hal aktivitas sehari-hari, baik di rumah ataupun di tempat kerja.

28

Hendaya ditentukan dengan pengukuran objektif dan digubah menjadi nilai numerik. Faktor yang dihitung adalah kehilangan integritas struktur, patologi, nyeri dan temuan klinis memastikan diagnosis yang menyertakan perubahan anatomis, patologi dan gangguan fungsi. Gejala klinis dapat berupa nyeri, bengkak dan beberapa gerakan seperti lompat, melempar dan lain-lain. Juga disertakan dalam penilaian hendaya yaitu kemampuan fisikmendorong, menarik, menggenggam, melangkah, menjangkau, berjalan dan menaiki tangga. Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah sebagai berikut: apakah keterbatasan disebabkan oleh penyakitnya, apakah timbulnya masalah lain dapat dicegah atau seluas apakah masalah itu muncul? Kapasitas mental dan fungsi tubuh pasien harus dinilai dan akhirnya dokter harus menetapkan apakah hendaya bersifat permanen atau sementara. Dasar untuk menentukan hendaya dalam aktivitas harian adalah kemampuan mengurus diri sendiri, kemampuan komunikasi, berjalan, dan lain sebagainya. Saat menilai hendaya, dokter menggunakan seluruh cara untuk mendiagnosis penyakit termasuk data laboratotium dan radiografik. Jika memungkinkan, kapasitas fungsional diukur dan disajikan secara kuantitatif dan menghindari pendapat yang subjektif sebisa mungkin. Hendaya adalah kesimpulan dari seluruh temuan klinis yang mengarah ke penentuan gangguan fungsi yang permanen atau sementara. Hendaya berat adalah gangguan yang sangat membatasi kemampuan fisik atau mental untuk melakukan kegiatan dasar sehari-hari. Kegiatan dasar ini diartikan sebagai kegiatan untuk melaksanakan sebagian besar pekerjaan lain, yaitu berjalan, mengangkat, memegang, berdiri, melihat, mendengar, berbicara; kapasitas mental; kemampuan interaksi sosial dengan pekerja lain; dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan kerja. Diperlukannya bukti objektif juga berarti bahwa kesimpulan oleh dokter secara personal bahwa pasien tersebut tidak dapat bekerja tidak menentukan adanya disabilitas. Hal ini merupakan kesalahpahaman yang umum di mana dokter dan pasien mempunyai definisi disabilitas yang dapat berasal dari kebijakan individu atau menurut Social Security. Peraturan Social Security berisi daftar hendaya dari setiap sistem mayor tubuh. Dalam setiap kategori dituliskan berbagai penyakit yang spesifik diikuti dengan temuan yang harus didapatkan untuk menegakkan diagnosis dan pengukuran tingkat keparahan penyakit yang dapat memperkirakan bahwa terjadi hendaya yang menyebabkan cacat (Tabel 37-3). Oleh karena tidak mungkin untuk mendaftarkan semua penyakit, peraturan tersebut memiliki konsep tingkat ekuivalensi medis. Berdasarkan konsep ini, berbagai kelainan yang tidak didaftarkan dapat dipertimbangkan ekuivalen secara medis dengan kelainan yang telah terdaftar. Dalam hal ini, bukti diagnosis yang ditetapkan berbeda, namun bukti klinis yang ditetapkan untuk menentukan hendaya adalah serupa. Dengan penggunaan daftar berbagai hendaya yang mempunyai kriteria spesifik, maka penentuan disabilitas dapat lebih objektif dan seragam, tetapi juga dapat menimbulkan masalah pada beberapa kasus yang tidak memenuhi kriteria. Sebagai kesimpulan, dalam menentukan derajat disabilitas, sejumlah kondisi merupakan faktor-faktor sebagai berikut:

29

y y y y y

Individu tersebut terus-menerus tinggal sebatas di dalam rumah Individu tersebut berada di bawah pengobatan rutin (terus-menerus, mingguan, atau bulanan) oleh dokter yang terdaftar Adanya cedera tubuh yang dihasilkan dari kecelakaan Disabilitas dimulai dalam beberapa hari setelah kecelakaan Cedera atau kesakitan akan menimbulkan ketidakmampuan yang menyeluruh dan terus-menerus bagi pasien atau menjadi masalah yang berulang kali kambuh.

Tingkat keputusan dalam proses penentuan dan pertimbangan disabilitas 1. 2. 3. 4. 5. 6. Penentuan yang memenuhi syarat oleh Social Security District Office Keputusan awal disabilitas oleh State Disability Determination Services (DDS) Pertimbangan kembali DDS terhadap penyangkalan adanya disabilitas Dengar pendapat Administrasi Law Judge (ALJ) Tinjauan Social Security Appeals Council Pengadilan federal

Langkah-langkah proses penentuan disabilitas 1. Apakah pasien terlibat dalam aktivitas yang pada hakekatnya menguntungkan? 2. Apakah terdapat hendaya yang parah? 3. Apakah hendaya tersebut sesuai atau melebihi kriteria yang terdaftar? (Untuk klaim Social Security) 4. Apakah pasien dapat menjalankan pekerjaannya sebelumnya? 5. Apakah pasien dapat melakukan pekerjaan lain?

30

BAB V ISTILAH PENDIDIKAN LUAR BIASA A. Anak Dengan Gangguan Spektrum Autis Jika anda mendapatkan informasi tentang anak autis dari media, anda mungkin ingin tahu apakah yang menyebabkan penyimpangan dalam hidup mereka. Pada surat kabar, majalah atau artikel, biografi, dan roman terkadang anak autis dilukiskan seperti sesuatu yang istimewa namun esentrik, terkadang juga sebagai seseorang yang lemah, dan seolah-olah tidak dapat menjalani kehidupan seharihari. Sebenarnya, uraian di atas berdasarkan fakta. Autisme, sekarang ini umumnya dikenal sebagai gangguan spektrum autis, dan telah diuraikan sebagai suatu tekateki, sebab secara luas jenis kelainan ini berbeda dan mempunyai karakteristik tersendiri dari kelainan lainnya. Studi tentang gangguan spektrum autis adalah suatu istilah baru dalam pendidikan khusus. Bagaimanapun, anda akan melihat perkembangan pemahaman tentang kelainan ini dengan cepat dan pada prakteknya, siswa-siswa ini menurut penelitian mereka memiliki karakteristik dan kebutuhan. B. Perkembangan Pada tahun 1943, Leo Kanner, seorang psikolog membagi ke dalam sebelas kelompok anak-anak kelainan ini dengan kelainan yang lain. Menurut Kanner (1943), kebutuhan khusus anak-anak adalah nyata bahkan dari awal masa kanakkanak, antara lain : y Suatu ketidakmampuan dalam berhubungan dengan orang lain. y Keterlambatan perkembangan bahasa, yaitu kegagalan perkembangan untuk tujuan komunikasi. y Perkembangan dan pertumbuhan fisik. y Perilaku akibat lingkungan. y Memiliki suatu keasyikan dan daya tarik yang lebih pada suatu obyek. y Perilaku yang berulang-ulang (stererotifik) dan memiliki stimulasi-stimulasi lain. Karakteristik autis yang utama seperti telah dijelaskan oleh Leo Kanner yang lebih dari separuh abad yang lalu telah ditinjau kembali dan pada tahun terakhir definisi konseptual, autis berkembang menurut pengamatan Kanner. Kira-kira pada waktu yang sama sama kanner menulis tentang autis, Han Aspenger, seorang dokter, bekerjasama dengan kelompok anak-anak dengan gangguan perkembangan saraf dan gangguan sosial. Aspenger. Menjelaskan tentang kelompok anak diagnostik secara rinci (aspenger, 1944). Pekerjaan aspenger ini menekankan pada penyimpangan sosial, pengasingan, yaitu menyangkut kemampuan belajar anak. Ia mempercayai bahwa dalam beberapa hal anak-anak membentuk suatu kelompok yang berbeda.

31

C. Awal Kepercayaan Selama tahun 1950-an & 1960-an para ahli medis percaya bahwa autis disebabkan oleh pemisahkan, kurangnya ibu terkadang disebut ibu lemari pendingin suatu acuan terhadpa dinginnya mereka yang melakukan kesalahan dalam pengasuhan bayi mereka. Sebagai dampak dari kepercayaan ini, banyak ibu menginginkan bagaimana membuat yang memiliki autisme agar mendapatkan kehangatan dan cinta agar anak-anak dapat tumbuh dengan baik. Penelitian kemudian mulai mempertanyakan masalah ini, namun tidak sampai tahun 1970-an muncullah studi dari pertunjukan kembar berdasarkan genetika untuk austisma. Setelah 10 tahun kemudian, studi ini telah diperluas & ditinjau kembali, dan telah sepenuhnya dapat membuktikan ketidakbenaran dongeng dari kesalahan pengasuhan sebagai penyebab autisma. D. Penyusunan Pemahaman Pada tahun 1981 perbedaan antara autisma & Sindrom Asperger menjadi hilang ketika Lorna Wing menulis tentang 35 anak & orang dewasa dengan gangguan keterlambatan, menimbulkan minat dalam perawatan & dalam hal ini. Sejak saat itu, para ahli lebih mempelajari sebagian besar tentang sekitar 2 perbedaan yang nyata. Sebagai contoh, mereka telah menentukan bahwa individu tersebut dengan gangguannya, mungkin memiliki gejala yang halus atau mungkin dampak yang cukup jelas (Wing, 1991). Autisme telah diidentifikasi sebagai salah satu katgori kecacatan dalam IDEA yang berawal pada tahun 1990 dan pada tahun 1994 ditambah menjadi gangguan khusus oleh Asosiasi Psikiater Amerika (APA) yang secara luas menggunakan Diagnostik dan Statistika Manual of Mentel Disorder, edisi ke 4 (Asosiasi Psikiater Amerika, 1994). E. Definisi Gangguan Spektrum Autis Sebagaimana yang telah anda temukan untuk jenis kecacatan yang lain, bahasa yang berhubungan dengan autisma memerlukan suatu penjelasan yang ringkas. Istilah tradisional yang digunakan untuk kelompok ini adalah Autisma, dan istilah tersebut telah digunakan banyak orang dan digunakan dalam IDEA dan beberapa undang-undang pendidikan khusus. Istilah Gangguan Spektrum Autis digunakan dalam buku ini karena mengklasifikasikan bahwa gangguan ini terjadi dalam banyak cara dan tidak bisa diuraikan dalam masing-masing jalan. Gangguan spektrum Autis dengan cepat menjadi istilah yang dipilih oleh para ahli dalam bidangnya. Akhirnya, seperti yang akan anda pelajari nanti, di dalam lingkaran medis, Autisme & Sindrom Asperger keduanya dipertimbangkan menjadi bagian dan kecacatan yang disebut gangguan perkembangan pervasif (GPP). 1. Definisi Pemerintah Pusat Ketika autisma ditambahkan ke dalam IDEA pada tahun 1990, hal itu diartikan: y Autisma berarti suatu kecacatan perkembangan yang dengan mantap mempengaruhi komunikasi lisan dan non lisan dan interaksi sosial, pada usia dibawah 3 tahun, yang berdampak pada perolehan pendidikan pada anak. Karakteristik lain yang dikaitkan dengan anak autis adalah

32

perulangan aktifitas, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas harian dan tanggapan yang tak lazim pada perasaan. Istilah tersebut berlaku jika perolehan pendidikan anak kurang baik karena anak mengalami gangguan emosional y Seorang anak yang memperlihatkan gejala autis pada usia di atas 3 tahun dapat didiagnosa mengalami autisma jika kriteria pada paragraf di atas terpenuhi. Definisi ini mengikuti pedoman IDEA, menspesifikasikan beberapa karakter yang esensial dari siswa dengan gangguan tersebut, di luar kecacatan lain, dan ketetapan dampak dan perolehan pendidikan. Bagaimanapun, hal itu tidak menyediakan banyak detil dalam istilah-istilah dari pemahaman banyaknya jenis siswa yang mungkin mengalami gangguan-gangguan ini. 2. Definisi Asosiasi Psikiater Amerika Karena Gangguan Spektrum Autis umumnya didiagnosa oleh komunitas medis menggunakan ukuran-ukuran permanen di dalam Diagnostik and Statistikal Manual of Mental Disorder, edisi ke-4. Perbaikan teks (Asosiasi Psikiater Amerika, 2000), adalah penting bahwa anda memahami definisi ini sebagaimana yang disediaka IDEA. Seperti yang dicatat diawal APA menggolongkan autisma sebagai jenis Gangguan Perkembangan Peruasif (GPP) yang ditandai oleh perusakan-perusakan pelemahan di beberapa area perkembangan; kemampuan interaksi sosial, keterampilan komunikasi atau pengulangan perilaku, minat dan aktivitas. Sub kategori dari gangguan perkembangan peruasif dalam diskusi ini meliputi gangguan autistik, sindrom asperger, dan g