Makalah Pemikiran Moderen Dalam Islam
-
Upload
dwi-marga-zhokam -
Category
Documents
-
view
63 -
download
3
Transcript of Makalah Pemikiran Moderen Dalam Islam
MAKALAH
HASAN AL-BANNA dan
AL-MAUDUDI
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Pemikiran Modern
Dalam Islam”
Oleh:
Muhyi Abdurrohim (082092011)
Dwi Marga Purnama Saputra (082102035)
yang dibina oleh :
Bpk. Dr. Ubabaidillah, M.Ag.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Nama “Hasan Al-Banna” selalu lekat dengan jamaah Al-Ikhwan Al-
Muslimun, karena beliau adalah pendiri dan menjadi Mursyid ‘Am pertama
jamaah tersebut. Sekalipun sang imam “Al-Banna” -semoga Allah
merahmatinya-, tidak mengenyam kehidupan lebih dari Empat Puluh tahun,
namun pada masa hidupnya banyak memberikan kontribusi dan prestasi yang
besar sehingga banyak terjadi lompatan sejarah terutama dalam melakukan
perubahan kehidupan umat menuju Islam dan dakwah Islam yang lebih cerah,
banyak perubahan-perubahan yang dicapai olehnya, apalagi saat beliau hidup
kondisi umat dalam keadaan yang begitu parah dan mengenaskan,
keterbelakangan, ketidakberdayaan, kebodohan umat, dan ditambah dengan
penjajahan barat.
Empat Puluh Dua tahun kalau diukur dari perjalanan sejarah merupakan
waktu yang singkat, merupakan usia yang belum bisa memberikan apa-apa,
walaupun umur sejarah tidak bisa diukur berdasarkan tahun dan hari, namun dapat
juga diukur dari banyaknya peristiwa yang berdampak pada perubahan kondisi,
situasi dan keadaan, dan inilah yang selalu melekat pada sosok Hasan Al-Banna,
beliau banyak memberikan pengaruh dalam perubahan sejarah, dan beliau juga
merupakan salah satu dari orang yang memberikan kontribusi melakukan
perbaikan dan perubahan dalam tubuh umat. Sekalipun umur beliau relatif pendek
namun beliau termasuk orang yang mampu membuat sejarah gemilang.
Setiap orang pasti memiliki faktor yang dapat dinilai mampu memberikan
kontribusi dan saham dalam pembentukan karakter dan jati dirinya dan
menentukan berbagai hakikat yang dipilihnya. Dan bagi pemerhati lingkungan
yang di dalamnya hidup sang imam Al-Banna akan dapat menemukan awal yang
baik, dan karena itu berakhir dengan baik. Seperti dalam ungkapan: “Akhir yang
baik mesti diawali dengan permulaan yang baik”.
Abu al-A'la Maududi merupakan salah seorang ulama abad ke-20 dan
penggagas Jamaat e-Islami (Partai Islam). Maududi merupakan seorang ahli
filsafat, sastrawan, dan aktivis yang aktif dalam pergerakan dan perjuangan Islam
di seluruh dunia. Abu al-A’la al-Maududi mendapat ilham dari perjuangan Sayyid
Qutb di Mesir yaitu Jamaah al-Ikhwan al-Muslimun . Sebagaimana Sayyid Qutb,
Maududi merupakan tokoh perjuangan Islam seluruh dunia.
Maulana Maududi terlibat membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik- al
Hijrat, yaitu Persatuan Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial inggris.
Beliau memprovokatori Muslim India berhijrah ke Afghanistan untuk menentang
pemerintahan British. Zaman itu, Maulana Maududi mulai menterjemahkan buku
berbahasa Arab dan bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Beliau juga telah menulis
buku berjudul al-Jihad fi al-Islam -Jihad dalam Islam- diterbitkan secara berkala
dengan nama al-Jam’iyat tahun 1927. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi
editor majalah bulanan Terjemah al-Qur'an. Bidang penulisan beliau ialah tentang
Islam , konflik antara Islam dengan Imperialisme dan modenisasi. Beliau
mengemukakan penyelesaian Islam dan Islam ada jawaban bagi setiap
permasalahan masyarakat Islam yang dijajah.
Bersama dengan ahli filusuf dan ulama Muhammad Iqbal, Maududi
menggagas pusat pendidikan Darul-Islam di bandar Pathankot di wilayah Punjab .
Pusat pendidikan ini ialah melahirkan pelajar yang mempunyai falsafah politik
Islam. Maulana Maududi mengkritik habis konsep-konsep Barat seperti
nasionalisme, pluralisme and feminisme di mana semua ide ini adalah alat Barat
untuk menjajah umat Islam. Beliau menegaskan ummat islam untuk bisa mandiri,
jihad sehingga berjaya menegakkan negara Islam yang syumul. Maududi telah
menterjemah dan menafsirkan al-Qur'an kebahasa Urdu dan menulis banyak
artikel berkenaan udang-undang Islam dan kebudayaan masyarakat Islam.
Dari itu maka penulis akan mencoba untuk mengulas sejarah kedua tokoh
tersebut, biografi, pemikiran, dakwah dan prinsipnya yang notabene sangat besar
sumbanganya pada pemikiran moderen dalam Agama Isalam.
Wallahu A’lam bi al-Showab.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hasan Al-Banna
a. Biografi Hasan Al-Banna
Hasan Al Banna dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir
tahun 1906 M. Ayahnya, Syaikh Ahmad Abdurrahman al-Banna adalah seorang
ulama fiqh dan hadits. Sejak masa kecilnya, Hasan al Banna sudah menunjukkan
tanda-tanda kecemerlangan otaknya. Pada usia 12 tahun, atas anugerah Allah,
Hasan kecil telah menghafal separuh isi Al-Qur'an. Sang ayah terus menerus
memotivasi Hasan agar melengkapi hafalannya Orang tuan Beliau adalah seorang
imam masjid di desanya, dan seorang tukang reparasi dan penjual jam. Namun
disisi lain orang tuan Hasan Al-Banna adalah sosok pecinta ilmu dan buku,
sehingga senang menuntut ilmu dan membaca buku, dan sebagian waktunya
banyak dihabiskan untuk membaca dan menulis, dan beliau juga banyak menulis
kitab, diantaranya adalah “Badai’ul Musnad fi Jam’I wa Tartiibi Musnad As-
Syafi’I”, “Al-Fathu Ar-Robbani fi Tartiibi Musnad Ahmad As-Syaibani”,
“Bulughul Amani min Asrori Al-fathu Ar-Robbani”
Bahwa komitmen dengan Islam dan manhaj robbani sangat membutuhkan
pondasi utama pada lingkungan yang menggerakkannya, agar dapat tumbuh dan
besar seperti pondasi tersebut, dan jika tidak ada lingkungan yang mendukung
maka akan menjadi sirna dan mati sejak awal kehidupannya. Dan Allah telah
memberikan karunia besar terhadap imam “Al-Banna” dengan lingkungan yang
baik ini. Orang tuanya memberikan tarbiyah sejak awal dengan baik;
menumbuhkan kecintaan terhadap Islam kepada anaknya sejak dini, selalu
memelihara bacaan dan hafalan Al-Qur’an, sehingga memberikan kepada pemuda
tersebut waktu dan tenaga yang cerah dalam berfikir dan berdakwah, dan pada
saat itu pula dimana pada saat itu Islam telah tertutupi oleh kehidupan yang bebas
dan politik yang rusak, tampak menjadi asing, bahkan aneh dan tidak wajar
melihat seorang pemuda yang begitu besar komitmennya terhadap ajaran Islam
sampai pada masalah waktu, atau dalam menunaikan ibadah shalat dengan penuh
kedisiplinan.
Sejak awal dapat kita lihat bahwa imam Al-Banna telah menentukan
jalannya dan karakter hidupnya; yaitu jalan hidup yang beliau lakoninya dalam
kehidupannya secara pribadi yang unik; komitmen terhadap Islam dan manhaj
robbani dan interaksinya dengan orang lain dengan baik dan sesuai dengan ajaran
Islam. Baliau begitu terkesan dengan hadits Nabi dan begitu kuat berpegang teguh
dengannya; yaitu hadits Nabi saw: “Jagalah lima perkara sebelum datang lima
perkara.. diantaranya adalah “masa mudamu sebelum datang masa tuamu”,
begitupun dengan hadits Nabi saw lainnya: “ada tujuh golongan yang akan
mendapatkan naungan Allah pada saat tidak ada naungan kecuali naungannya..
diantaranya adalah “seorang pemuda yang taat beribadah kepada Allah”.
Maka dari itu imam “Al-Banna” kehidupannya adalah islam dan tidak ada
yang lain dalam diri dan hidupnya kecuali Islam. Hal itu tampak juga dengan jelas
pada beberapa lembaga atau yayasan yang sejak kecil beliau loyal kepadanya,
yang kesemuanya merupakan lembaga atau yayasan Islam, seperti “Jam’iyyah As-
Suluk wal Akhlak” dan “Jama’ah An-Nahyu Al-Munkar”, dan beliau juga
memiliki hubungan yang erat dengan harakah sufiyah yang pada saat itu marak
tersebar di berbagai pelosok daerah dan kota di Mesir.
Adapun diantara faktor lain yang membantunya komitmen di jalan
kebenaran adalah karena beliau begitu banyak beribadah dan taat kepada Allah,
sejak mudanya beliau sering melakukan puasa sunnah, khususnya puasa sunnah
yang berhubungan dengan hari-hari besar Islam, dan lebih banyak lagi beliau
melakukan puasa hari sunnah senin dan hari kamis pada setiap minggunya, karena
mentauladani sunnah nabi saw, sebagaimana beliau juga sangat bersemangat
melakukan puasa sunnah rajab dan sya’ban. Kebanyakan dari kita mungkin
merasa asing dalam melakukan ketaatan seperti itu, atau merasa berat
melakukannya terutama di saat kondisi zaman seperti ini. Sebagaiman usaha yang
dilakukan imam Al-Banna dalam ketaatan juga menadapatkan kesulitan, terutama
disaat kondisi yang saat itu dialami; adanya gerakan missionaries, globalisasi dan
penjajahan yang telah meluas dan merambah dengan cepat di tengah kehidupan
masyarakat Mesir saat itu; sehingga memberikan kontribusi yang besar dalam
menjauhkan umat dari Islam apalagi untuk komitmen dengan ibadah dan ketaatan.
Namun imam Al-banna, hidup melawan arus, beliau berada dalam
semangat Islam yang tinggi, berpegang dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah,
sekalipun umat saat itu sedang diliputi arus globalisasi dan pencampakkan jati diri
Islam; sehingga mengakibatkan acuhnya umat terhadap Islam dan jauhnya umat –
terutama para pemudanya- dari kehidupan beragama, apalagi juga banyaknya
bermunculan seruan dan propaganda asing terhadap dunia Islam seperti
liberalisme dan komunisme serta gerakan missionaris yang mengajak untuk jauh
dari Islam dan berlaku hidup modernis seperti mereka.
Sekalipun demikian imam Al-Banna tetap berpegang teguh dan yakin
dengan keislamannya bahkan merasa bangga dengannya. Dan pada saat berdiri
Universitas Cairo, dan Dar El-Ulum merupakan salah satu bagian dari kuliah yang
ada di dalamnya; yang di dalamnya menghadirkan ilmu-ilmu kontemporer,
ditambah juga dengan ilmu-ilmu syariah dan pengetahuan tradisional yang telah
masyhur di Universitas Al-Azhar sebelumnya. Dan -pada saat itu pula- Imam Al-
Banna mendaftarkan diri untuk kuliah di Dar El-Ulum, walaupun beliau tidak
merasa cukup dengan ilmu yang di dapat di kuliah sehingga beliau
mencarinya ditempat yang lain sebagai tambahan; seperti beliau selalu hadir
mengikuti majlis ilmu pimpinan syaikh Rasyid Ridha, dan beliau sangat terkesan
dengan tafsirnya yang terkenal yaitu “Al-Manar”.
Namun hal tersebut tidak menghalangi dirinya mendapatkan nilai yang
begitu baik dan cemerlang, sehingga beliau berhasil menamatkan kuliahnya
dengan hasil yang gemilang, dan beliau merupakan angkatan pertama kuliah
tersebut. Lalu -setelah itu- beliau diangkat sebagai guru pada madrasah ibtidaiyah
disalah satu sekolah yang terletak di propinsi Ismailiyah, yaitu pada tahun 1927,
dan di kota tersebut Imam Al-Banna muda tidak hanya terpaku pada
jati dirinya sebagai guru madrasah ibtidaiyah, namun beliau juga menjadi da’i
kepada Allah, yang pada saat itu masjid-masjid disana kosong dari pemuda.
Sehigga tidak ada anak-anak muda yang sholat di masjid namun asyik dengan
minuman alkohol yang memambukkan. Maka tampaklah beliau sebagai seorang
pemuda yang ahli ibadah, taat kepada Allah dan sebagai da’i kepada Allah yang
mengajak umat untuk kembali pada Islam yang hanif.
Dan di kota Ismailiyah pula Imam Al-Banna banyak melakukan interaksi
dengan lembaga-lembaga Islam dan beliau tampil sebagai da’i dengan berbagai
sarana yang dimiliki dan berkeliling ke berbagai tempat dan desa. Beliau pergi
sebagai da’i dan membawa kabar gembira tentang agama Islam. Beliau menyeru
dan mengajak manusia yang berada tempat-tempat perkumpulan mereka, dan
diatara tempat perkumpulan yang sering belaiu datangi adalah café. Disana beliau
memberikan kajian keagamaan, terutama pada sore hari ini, sehingga dengan
kajian yang beliau sampaikan banyak menarik perhatian sebagian besar
masyarakat pengunjung cafe; sehingga menjadikan pemilik café tersebut
berlomba-lomba mengundang Imam Al-Banna untuk memberikan kajian sore di
café-cefe milik mereka.
Dan akhirnya di kota Ismailiyah, dengan taufik dari Allah dan dengan
keberkahan akan juhud dan keikhlasannya, Imam Al-Banna mampu mengeluarkan
cahaya dakwah terbesar dan memberikan pengaruh yang sangat besar hingga saat
ini. Yaitu berdirinya Gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun yang dipimpin
langsung oleh Imam Al-Banna. Padahal saat itu umur beliau masih muda sekali,
baru mencapai antara tidak terlalu muda, tidak baya dan juga tidak terlalu tua.
Pemuda yang ahli ibadah itulah yang telah mampu mendirikan gerakan dakwah
Islam terbesar di dunia saat ini.
Sosok Imam Al-Banna memiliki banyak keistimewaan, sosok yang
universal dan seimbang, pemuda aktivis, seorang khatib yang antagonis, memiliki
perasaan yang lembut, dan komunikatif dengan semua orang; baik dengan orang
awam, petani dan buruh. Beliau juga seorang cendekiawan yang memiliki ilmu,
yang mampu berinteraksi dengan para cendekiawan lainnya. Saat berada ditengah
umat manusia, banyak yang takjub kepadanya baik dari kalangan cendekiawan,
hartawan, awam, petani dan buruh serta yang lainnya. Ini semua sejalan dengan
dakwahnya yang didasarkan pada pembentukan umat, dakwah dan individu yang
seimbang dalam berbagai sisinya.
Dan Imam Al-Banna juga sangat memiliki karakter yang mampu
memberikan pengaruh pada orang yang ada disekitarnya, hal ini kembali pada
pondasi yang beliau miliki yaitu kedekatan diri kepada Allah -Kita berharap
demikian dan kita tidak merasa paling suci kecuali hanya Allah-. Dan kita
temukan bahwa dakwah Al-Ikhwan –dan Al-Ikhwan itu sendiri telah terpengaruh
dengan sosok imam Al-Banna; karakternya yang baik, ikhlas dan taat kepada
Allah, yang kesemuanya bersumber pada cahaya kenabian. Sebagaimana beliau
juga memiliki sosok yang mumpuni dan lemah lembut, selalu perhatian dan
menolong orang-orang yang mazhlum, dan dalam sejarahnya telah banyak
disaksikan bahwa usaha dan kerja al-ikhwan di berbagai tempat, daerah dan
negara selalu membela hak-hak umat Islam yang terampas.
Oleh karena itulah bagi kita dapat mengambil ibrah dari perjalanan sosok
pemuda yang berhimpun di dalamnya jiwa yang memiliki nilai-nilai mulia dan
agung, bagaimana jiwa tersebut dapat mampu membangun generasi yang islami,
tidak menyimpang dari jalan Allah dan menepati dan menunaikan amanah yang
diembannya dengan optimal dan baik, sekalipun kondisi, ujian dan cobaan yang
dihadapi selalu datang silih berganti dalam rangka berpegang teguh pada jalan
Allah dan agama Islam serta dalam usaha meninggikan kalimat (agama) Allah dan
mentauladani sirah nabi saw.
Pada usia 21 tahun, beliau menamatkan studinya di Darul 'Ulum dan
ditunjuk menjadi guru di Isma'iliyah. Setahun kemudian beliau mendirikan
Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928, pada saat itu Hasan Al-Banna baru berusia
22 tahun. Gerakan ini merupakan gerakan paling berpengaruh pada abad dua
puluh yang mengarahkan kembali masyarakat Muslim ke tatanan Islam Murni.
Hasan Al-Banna dalam gerakannya untuk mengubah mode intelektual elite
menjadi gejala popular yang kuat pengaruhnya pada interaksi antara agama dan
politik, bukan saja di Mesir, namun juga di dunia Arab dan Muslim.
b. Pemikiran dan Gerakan Dakwah Hasan Al-Banna
Hasan Al Banna sangat prihatin dengan kelakuan Inggris yang
memperbudak bangsanya. Masa itu adalah sebuah masa di mana umat Islam
sedang mengalami kegoncangan hebat. Kekhalifahan Utsmaniyah (di Turki),
sebagai pengayom umat Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan. Umat
Islam mengalami kebingungan. Sementara kaum penjajah mempermainkan dunia
Islam dengan seenaknya. Bahkan di Turki sendiri, Kemal Attaturk memberangus
ajaran Islam di negaranya. Puluhan ulama Turki dijebloskan ke penjara.
Demikianlah keadaan dunia Islam ketika al Banna berusia muda. Satu di antara
penyebab kemunduran umat Islam adalah bahwa umat ini jahil (bodoh) terhadap
ajaran Islam.
Maka mulailah Hasan al Banna dengan dakwahnya. Dakwah mengajak
manusia kepada Allah, mengajak manusia untuk memberantas kejahiliyahan
(kebodohan). Dakwah beliau dimulai dengan menggalang beberapa muridnya.
Kemudian beliau berdakwah di kedai-kedai kopi. Hal ini beliau lakukan teratur
dua minggu sekali. Beliau dengan perkumpulan yang didirikannya "Al-Ikhwanul
Muslimun," bekerja keras siang malam menulis pidato, mengadakan pembinaan,
memimpin rapat pertemuan, dll. Dakwahnya mendapat sambutan luas di kalangan
umat Islam Mesir. Tercatat kaum muslimin mulai dari golongan buruh/petani,
usahawan, ilmuwan, ulama, dokter mendukung dakwah beliau.
Pada masa peperangan antara Arab dan Yahudi (sekitar tahun 1945-an),
beliau memobilisasi mujahid-mujahid binaannya. Dari seluruh Pasukan Gabungan
Arab, hanya ada satu kelompok yang sangat ditakuti Yahudi, yaitu pasukan
sukarela Ikhwan. Mujahidin sukarela itu terus merangsek maju, sampai akhirnya
terjadilah aib besar yang mencoreng pemerintah Mesir. Amerika Serikat, sobat
kental Yahudi mengancam akan mengebom Mesir jika tidak menarik mujahidin
Ikhwanul Muslimin. Maka terjadilah sebuah tragedi yang membuktikan betapa
pengecutnya manusia. Ribuan mujahid Mesir ditarik ke belakang, kemudian
dilucuti. Oleh siapa? Oleh pasukan pemerintah Mesir! Bahkan tidak itu saja, para
mujahidin yang ikhlas ini lalu dijebloskan ke penjara-penjara militer. Bahkan
beberapa waktu setelah itu Hasan al Banna, selaku pimpinan Ikhwanul Muslimin
menemui syahidnya dalam sebuah peristiwa yang dirancang oleh musuh-musuh
Allah
Dakwah beliau bersifat internasional. Bahkan segera setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna segera menyatakan
dukungannya. Kontak dengan tokoh ulama Indonesia pun dijalin. Tercatat M.
Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin.
Syahidnya Hasan Al-Banna tidak berarti surutnya dakwah beliau. Sudah
menjadi kehendak Allah, bahwa kapan pun dan di mana pun dakwah Islam tidak
akan pernah berhenti, meskipun musuh-musuh Islam sekuat tenaga berusaha
memadamkannya.
Masa-masa sepeninggal Hasan Al-Banna, adalah masa-masa penuh
cobaan untuk umat Islam di Mesir. Banyak murid-murid beliau yang disiksa,
dijebloskan ke penjara, bahkan dihukum mati, terutama ketika Mesir di perintah
oleh Jamal Abdul Naseer, seorang diktator yang condong ke Sovyet. Banyak pula
murid beliau yang terpaksa mengungsi ke luar negeri, bahkan ke Eropa.
Pengungsian bagi mereka bukanlah suatu yang disesali. Bagi mereka di mana pun
adalah bumi Allah, di mana pun adalah lahan dakwah. Para pengamat
mensinyalir, dakwah Islam di Barat tidaklah terlepas dari jerih payah mereka.
Demikianlah, siksaan, tekanan, pembunuhan tidak akan memadamkan cahaya
Allah. Bahkan semuanya seakan-akan menjadi penyubur dakwah itu sendiri,
sehingga dakwah Islam makin tersebar luas.
Di antara karya penerus perjuangan beliau yang terkenal adalah Fi
Dzilaalil Qur'an (di bawah lindungan Al-Qur'an) karya Sayyid Quthb. Sebuah
kitab tafsir Al-Qur'an yang sangat berbobot di jaman kontemporer ini. Ulama-
ulama kita pun menjadikannya sebagai rujukan terjemahan Al-Qur'an dalam
Bahasa Indonesia. Di antaranya adalah Al-Qu'an dan Terjemahannya keluaran
Depag RI, kemudian Tafsir Al-Azhar karya seorang ulama Indonesia Buya
Hamka. Mengenal sosok beliau akanlah terasa komplit apabila kita mengetahui
prinsip dan keyakinan beliau.
c. Prinsip-Prinsip Hasan Al-Banna
Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang senantiasa beliau pegang teguh
dalam dakwahnya:
Saya meyakini: "Sesungguhnya segala urusan bagi Allah. Nabi Muhammad
SAW junjungan kita, penutup para Rasul yang diutus untuk seluruh umat
manusia. Sesungguhnya hari pembalasan itu haq (akan datang). Al-Qur’an itu
Kitabullah. Islam itu perundang-undangan yang lengkap untuk mengatur
kehidupan dunia akhirat."
Saya berjanji: "Akan mengarahkan diri saya sesuai dengan Al-Qur’an dan
berpegang teguh dengan sunah suci. Saya akan mempelajari Sirah Nabi dan
para sahabat yang mulia."
Saya meyakini: "Sesungguhnya istiqomah, kemuliaan dan ilmu bagian dari
sendi Islam."
Saya berjanji: "Akan menjadi orang yang istiqomah yang menunaikan ibadah
serta menjauhi segala kemunkaran. Menghiasi diri dengan akhlak-akhlak
mulia dan meninggalkan akhlak-akhlak yang buruk. Memilih dan
membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan islami semampu saya.
Mengutamakan kekeluargaan dan kasih sayang dalam berhukum dan di
pengadilan. Tidak akan pergi ke pengadilan kecuali jika terpaksa, akan selalu
mengumandangkan syiar-syiar islam dan bahasanya. Berusaha menyebarkan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk seluruh lapisan umat ini."
Saya meyakini: "Seorang muslim dituntut untuk bekerja dan mencari nafkah,
di dalam hartanya yang diusahakan itu ada haq dan wajib dikeluarkan untuk
orang yang membutuhkan dan orang yang tidak punya.
Saya berjanji: "Akan berusaha untuk penghidupan saya dan berhemat untuk
masa depan saya. Akan menunaikan zakat harta dan menyisihkan sebagian
dari usaha itu untuk kegiatan-kegiatan kebajikan. Akan menyokong semua
proyek ekonomi yang islami, dan bermanfaat serta mengutamakan hasil-hasil
produksi dalam negeri dan negara Islam lainnya. Tidak akan melakukan
transaksi riba dalam semua urusan dan tidak melibatkan diri dalam
kemewahan yang diatas kemampuan saya."
Saya meyakini: "Seorang muslim bertanggung jawab terhadap keluarganya,
diantara kewajibannya menjaga kesehatan, aqidah dan akhlak mereka."
Saya berjanji: "Akan bekerja untuk itu dengan segala upaya. Akan menyiarkan
ajaran-ajaran islam pada seluruh keluarga saya, dengan pelajaran-pelajaran
islami. Tidak akan memasukkan anak-anak saya ke sekolah yang tidak dapat
menjaga aqidah dan akhlak mereka. Akan menolak seluruh media massa,
buletin-buletin dan buku-buku serta tidak berhubungan dengan perkumpulan-
perkumpulan yang tidak berorientasi pada ajaran Islam."
Saya meyakini: "Di antara kewajiban seorang muslim menghidupkan kembali
kejayaan Islam dengan membangkitkan bangsanya dan mengembalikan
syariatnya, panji-panji islam harus menjadi panutan umat manusia. Tugas
seorang muslim mendidik masyarakat dunia menurut prinsip-prinsip Islam."
Saya berjanji: "Akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan risalah ini
selama hidupku dan mengorbankan segala yang saya miliki demi
terlaksananya misi (risalah) tersebut."
Saya meyakini: "Bahwa kaum muslim adalah umat yang satu, yang diikat
dalam satu aqidah islam, bahwa islam yang memerintahkan pemelukya untuk
berbuat baik (ihsan) kepada seluruh manusia."
Saya berjanji: "Akan mengerahkan segenap upaya untuk menguatkan ikatan
persaudaraan antara kaum muslimin dan mengikis perpecahan dan sengketa
di antara golongan-golongan mereka."
Saya meyakini: "Sesungguhnya rahasia kemunduran umat Islam, karena
jauhnya mereka dari "dien" (agama) mereka, dan hal yang mendasar dari
perbaikan itu adalah kembali kepada pengajaran Islam dan hukum-hukumnya,
itu semua mungkin apabila setiap kaum muslimin bekerja untuk itu."
2. Al-Maududi
a. Biografi Al-Maududi
Abu al-A'la Al-Maududi merupakan salah seorang ulama abad ke-20 dan
penggagas Jamaat e-Islami (Partai Islam) . Maududi merupakan seorang ahli
filsafat, sastrawan, dan aktivis yang aktif dalam pergerakan dan perjuangan Islam
di seluruh dunia. Abu al-A’la al-Maududi mendapat ilham dari perjuangan Sayyid
Qutb di Mesir yaitu Jamaah al-Ikhwan al-Muslimun . Sebagaimana Sayyid Qutb,
Maududi merupakan tokoh perjuangan Islam seluruh dunia.
Maududi, lahir pada 3 Rajab 1321 H (25 September 1903 M) di
Aurangabad. Ayah Abu al-A’la al-Maududi ialah Ahmad Hasan yang lahir pada
1855 M , anak bungsu dari 3 kakak beradik. Ia mendapat pendidikan di Madrasah
Furqaniyah, sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad, bukan sekolah Islam
bandar Hyderabad (sekarang Maharashtra) negeri, India. Kemudian melanjutkan
pelajaran di Dar al-Ulum di Hyderabad. Mahir berbahasa Arab, bahasa Persi,
bahasa Inggris,dan bahasa Urdu.
Tahun 1918 ketika usia 15 tahun, mulai bekerja sebagai wartawan dalam
surat kabar berbahasa Urdu untuk mencukupi kehidupannya. Tahun 1920,
berprofesi sebagai editor surat khabar Taj, yang diterbitkan di bandar Jabalpore
sekarang negeri Madhya Pradesh , India. Tahun 1921, Maulana Maududi pindah
ke Delhi bekerja sebagai editor surat khabar Muslim (1921-1923), dan kemudian
editor al-Jam’iyat (1925-1928), yang diterbitkan oleh Jam’iyat-i ‘Ulama-i
Hind,sebuah partai politik. Hasil kepimpinannya sebagai editor , al-Jam’iyat
menjadi surat kabar utama untuk orang Islam di Asia Selatan ( India, Pakistan,
Bangladesh , Sri Langka dan Maldive).
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi
mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini
hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka
merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan
kekhalifahan muslim.
Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum
muslimin dan jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun, saat itu fokus tulisan-
tulisannya belum juga mengarah pada kebangkitan Islam.
Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam
pada dasawarsa terakhir. Ia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh muslim
India Utara) di Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3
Rajab 1321 H). Rasa dekat keluarga ini dengan warisan pemerintahan Muslim
India dan kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam
membentuk pandangan Maududi di kemudian hari.
Ahmad Hasan, ayahnya Maududi, sangat menyukai tasawuf. Ia berhasil
menciptakan kondisi yang sangat religius dan zuhud bagi pendidikan anak-
anaknya. Ia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam kultur syarif. Karenanya,
sistem pendidikan yang ia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada
pelajaran bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya bahasa Arab, Persia, dan
Urdu. Karena itu, Maududi jadi ahli bahasa Arab pada usia muda.
Pada usia sebelas tahun, Maududi masuk sekolah di Aurangabad. Di sini ia
mendapatkan pelajaran modern. Namun, lima tahun kemudian ia terpaksa
meninggalkan sekolah formalnya setelah ayahnya sakit keras dan kemudian wafat.
Yang menarik, pada saat itu Maududi kurang menaruh minat pada soal-soal
agama, ia hanya suka politik. Karenanya, Maududi tidak pernah mengakui dirinya
sebagai ‘alim. Kebanyakan biografi Maududi hanya menyebut dirinya sebagai
jurnalis yang belajar agama sendiri. Semangat nasionalisme Indianya tumbuh
subur. Dalam beberapa esainya, ia memuji pimpinan Partai Kongres, khususnya
Mahatma Gandhi dan Madan Muhan Malaviya.
Pada 1919 dia ke Jubalpur untuk bekerja di minggua partai pro Kongres
yang bernama Taj. Di sini dia jadi sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, serta
aktif memobilisasi kaum muslim untuk mendukung Partai Kongres.
Kemudian Maududi kembali ke Delhi dan berkenalan dengan pemimpin
penting Khilafah seperti Muhammad ‘Ali. Bersamanya, Maududi menerbitkan
surat kabar nasionalis, Hamdard. Namun itu tidak lama. Selama itulah pandangan
politik Maududi kian religius. Dia bergabung dengan Tahrik-I Hijrah (gerakan
hijrah) yang mendorong kaum muslim India untuk meninggalkan India ke
Afganistan yang dianggap sebagai Dar al-Islam (negeri Islam).
Pada 1921 Maududi berkenalan dengan pemimpin Jami’ati ‘Ulama Hind
(masyarakat ulama India). Ulama jami’at yang terkesan dengan bakat maududi
kemudian menarik Maududi sebagai editor surat kabar resmi mereka, Muslim.
Hingga 1924 Maududi bekerja sebagai editor muslim. Disinilah Maududi menjadi
lebih mengetahui kesadaran politik kaum muslimin dan jadi aktif dalam urusan
agamanya. Namun, saat itu tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada
kebangkitan Islam.
Di Delhi, Maududi memiliki peluang untuk terus belajar dan
menumbuhkan minat intelektualnya. Ia belajar bahasa Inggris dan membaca
karya-karya Barat. Jami’at mendorongnya untuk mengenyam pendidikan formal
agama. Dia memulai dars-I nizami, sebuah silabus pendidikan agama yang
populer di sekolah agama Asia Selatan sejak abad ke delapan belas. Pada 1926, ia
menerima sertifikat pendidikan agama dan jadi ulama.
b. Pemikiran dan Gerakan Dakwah Al-Maududi
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi
mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini
hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka
merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan
kekhalifahan muslim. Dia juga tak lagi percaya pada nasionalisme India. Dia
beranggapan bahwa Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu
dengan kedok sentimen nasionalis. Dia ungkapkan ketidaksukaannya pada
nasionalisme dan sekutu muslimnya.
Sejak itu, sebagai upaya menentang imperialisme, Maududi menganjurkan
aksi Islami, bukan nasionalis. dia percaya aksi yang dia anjurkan akan melindungi
kepentingan muslimin. Hal ini memberi tempat bagi wacana kebangkitan.
Pada 1925, seorang Muslim membunuh Swami Shradhnand, pemimpin
kebangkitan Hindu. Swami memancing kemarahan kaum muslimin karena dengan
erang-terangan meremehkan keyakinan kaum muslimin. Kematiannya Swami
menimbulkan kritik media massa bahwa Islam adalah agama kekerasan. Maududi
pun bertindak. Ia menulis bukunya yang terkenal mengenai perang dan damai,
kekerasan dan jihad dalam Islam, Al Jihad fi Al Islam. Buku ini berisi penjelasan
sistematis sikap Muslim mengenai jihad, sekaligus sebagai tanggapan atas kritik
terhadap Islam. Buku ini mendapat sambutan hangat dari kaum muslimin. Hal ini
semakin menegaskan Maududi sebagai intelektual umat.
Sisa terakhir pemerintahan muslim pada saat itu kelihatan semakin tidak
pasti. Maududi pun berupaya mencari faktor penyebab semakin pudarnya
kekuasaan muslim. Dia berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak
oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan
ajaran sejatinya. Karenanya Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada
pemerintahan saat itu, namun tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari
solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum muslimin.
Gagasannya ia wujudkan dengan mendirikan Jama’at Islami (partai Islam),
tepatnya pada Agustus 1941, bersama sejumlah aktifis Islam dan ulama muda.
Segera setelah berdiri, Jama’ati Islami pindah ke Pathankot, tempat dimana
Jama’at mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana aksi.
Sejak itulah Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju
keselamatan politik dan agama. Sejak itu pula banyak karyanya terlahir di tengah-
tengah umat. Ketika India pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama 385
anggota jama’at memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi
sebagai pemimpinnya. Sejak itu karir politik dan intelektual Maududi erat
kaitannya dengan perkembangan Jama’at. Dia telah “kembali” kepada Islam,
dengan membawa pandangan baru yang religius.
Dari hari kehari wacana khilafah Islamiyah makin kencang dilontarkan
oleh sebagian kelompok umat Islam, lebih-lebih setelah jatuhnya Khilafah
Utsmaniyah pada tgl 3. Maret 1924. Khilafah Utsmaniyah barakhir sejalan dengan
kencang tuntutan kemerdekaan di berbagai negara kolonial yang berpenduduk
mayoritas Muslim, seperti negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, Afrika
utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain. Negara-negara
kolonial melihat bahwa kekuasan Turki Usmani yang kuat yang menguasai Timur
Tengah dan negara-negara “Eropa Timur” karena kekuatan Khalifah yang amat
tinggi. Khilafah amat berkaitan dengan kekuasaan, kepemimpinan, al-Imam al-
A’zham, pemimpin besar.
Pada konteks ini, kepemimpinan sesudah Nabi saw. yang fungsinya
mengemban tugas-tugas kenabian, khilafat al-nubuwwah, yaitu menjaga agama
dan mengatur urusan dunia. Pengemban tugas khalifah sesudah Nabi, ada yang
bergelar Khulafa Rasyidun, sebagai pengemban amanah kekuasaan yang dinilai
baik oleh para sejarawan, sementara khalifah sesudahnya, walaupun dalam
pelaksanaannya banyak mendukung berkembangnya dakwah dan peradaban
Islam, tetapi dalam praktek kenegaraan dan ketatanegaraan mengandalkan
keturunan, “semi kerajaan”, sebagaimana terjadi sampai kekuasaan Turki Usmani.
Sementara itu, gelar kekuasaan berbeda-beda, seperti sultan-sultan dan amir-amir
di negara-negara kecil. Masalahnya sekarang bagaimana konsep khilafah dalam
Islam dan bagaimana pula keberadaan negara-negara nasional sekarang dikaitkaan
dengan konsep khilafah masa silam. Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa
pendekatan yang digunakan dan menjadi problem epistemologis (metode berfikir)
sepanjang masa, khususnya di kalangan fuqaha siyasah.
Para khalifah pasca Khulafa Rasyidun dari tahun 661 M-1924 M sebanyak
Tujuh dinasti dengan , yaitu Bani Umayah (661-750 M- 14 orang), Bani Abbas
(750-1258 M- 37 orang), Bani Umayah Spanyol (756-1031 M- 18 orang),
Fathimiyah Mesir (909-1171 M- 14 orang), Turki Usmani (1299 – 1924 M- 37
orang), Syafawi Iran (1501-1722 M- 9 orang), Moghul India (1526-1858 tak jelas
berapa banyaknya).
Ada tiga kelompok pemikir Muslim dalam memaknai negara khilafah.
Pertama, menolak sama sekali Islam memiliki konsep negara dalam Islam,
seperti dikemukakan oleh Thaha Husein dan Ali Abdurraziq dalam karyanya, Al-
Islam wa Ushul al-Hukmi. Teori politiknya disamakan dengan teori politik barat
yang tidak mengakui sama sekali agama berkiprah dalam politik. Mereka
menyamakan Islam dengan Nasrani. Kedua, Islam memiliki nilai-nilai
pemerintahan yang terkandung di dalamnya, seperti dikemukakan oleh ulama
Mesir, penulis Hayatu Muhammad, yaitu Muhammad Husein Haikal; ketiga,
mengharuskan kembali ke masa Nabi para Khulafa Rasyidun, seperti
dikemukakan Hasan Al-banna, Sayyid Qutub, Syaikh Rasyid Rida, dan Abu al-
A'la al-Mududi, bahkan dikehendaki agar kekhilafahan juga ditegakkan kembali,
seperti dikemukakan oleh Taqiyuddin al-Nabhani.
Konsep khilafah sebenarnya amat berkaitan dengan konsep Daulah al-
Islam-Dar al-Islam secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di masa silam
amat berhasil dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan syariat.
Mendirikan Daulah Islamiyah adalah wajib syar’i dan didukung banyak ayat al-
Quran dan al-Hadits yang membicarakannya karena daulah Islam dan
pemerintahan Islam yang akan melindungi Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-
Qardhawi memiliki karekteristik Daulah Islam yang intinya adalah sebagai
berikut: “Daulah Madaniyah yang merujuk pada Islam, bersekala internasional,
berdasarkan konstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan
kekuasaan ala kisra, daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak,
melindungi orang-orang lemah, melindungi hak dan kebebasan, daulah yang
berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah Islam adalah bukan daulah
teokrat,tapi pemerintahan sipil.”
Maulana Maududi terlibat membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik- al
Hijrat, yaitu Persatuan Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial inggris.
Beliau memprovokatori Muslim India berhijrah ke Afghanistan untuk menentang
pemerintahan British. Zaman itu, Maulana Maududi mulai menterjemahkan buku
berbahasa Arab dan bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Beliau juga telah menulis
buku berjudul al-Jihad fi al-Islam -Jihad dalam Islam- diterbitkan secara berkala
dengan nama al-Jam’iyat tahun 1927. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi
editor majalah bulanan Terjemah al-Qur'an. Bidang penulisan beliau ialah tentang
Islam, konflik antara Islam dengan Imperialisme dan modenisasi. Beliau
mengemukakan penyelesaian Islam dan Islam ada jawaban bagi setiap
permasalahan masyarakat Islam yang dijajah.
Bersama dengan ahli filusuf dan ulama Muhammad Iqbal, Maududi
menggagas pusat pendidikan Darul-Islam di bandar Pathankot di wilayah Punjab .
Pusat pendidikan ini ialah melahirkan pelajar yang mempunyai falsafah politik
Islam. Maulana Maududi mengkritik habis konsep-konsep Barat seperti
nasionalisme, pluralisme and feminisme di mana semua ide ini adalah alat Barat
untuk menjajah umat Islam. Beliau menegaskan ummat islam untuk bisa mandiri,
jihad sehingga berjaya menegakkan negara Islam yang syumul. Maududi telah
menterjemah dan menafsirkan al-Qur'an kebahasa Urdu dan menulis banyak
artikel berkenaan udang-undang Islam dan kebudayaan masyarakat Islam.
C. Prinsip-Prinsip Abu al-A’la al-Maududi
Perinsip-Perrinsip beliau tertuang dalam sebuah yang berjudul “Al-
Khilafah wa al-Mulk”, Buku ini terdiri dari sembilan bab, dalam Bab I berisi
tentang penjelasan Abu al-a'la al-maududi pelajaran apa saja yang bisa diambil
dari al-Qur'an tentang al-Siyasah -politik-misalnya tashawwur al-Qur’an bahwa
Allah pencipta alam semesta, manusia dan apa saja yang bisa bermanfaat untuk
manusia, bahwasanya Allah SWT adalah pemilik alam dan segala sesuatu yang
ada di dalamnya (Qs al-Baqarah:107; al-An’am:57).
Selain itu beliau juga menegaskan bahwa Undang-undang tertinggi adalah
hukum yang telah dibuat oleh sang Maha pencipta Allah ‘azza wa jalla (Qs AL-
ahzab:36; an-Nur: 47-48). Dalam bab yang sama maududi menjelaskan
pentingnya asas syura diantara kaum mukminin atau pemilihan umum yang
berjalan diatas kebenaran dalam rangka penegakan daulah Islamiyah dan
pemilihan rais daulah dan pengatur kekuasaan pemerintahan. Tujuan dari
penegakan Daulah Islamiyah terdiri dari dua hal: pertama: menegakkan keadilan
yang berdiri diatas landasan kebenaran dan menjauhkan diri dari kedzaliman,
kedua: menegakkan shalat dan menunaikan zakat dengan cara yang diatur oleh
hukumah setempat. Dalam penjelasan beliau di akhir bab ini tentang karakteristik
Daulah Islamiyah dalam al-Quran, yaitu :
o Negara tersebut harus merdeka terbebas dari penjajahan manapun, dan
masyarakatnya menerima pemimpin dari kalangan mereka sendiri yang
menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyyat yang telah diatur oleh Allah SWT
dalam al-Quran dan As-Sunnah.
o Pemimpin negeri itu harus melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dengan
penuh ikhlas mencapai ridha ilahi.
o Sesuai dengan asas demokrasi, dengan tetap menjunjung Undang-undang
tertinggi yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
o Negara tersebut adalah negara yang berdiri diatas ideologi pemikiran islam
yang benar, berjalan diatas asas dan pondasi keimanan yang asasi, dan
barangsiapa yang hidup di negara tersebut non muslim maka dia harus
mematuhi hukum-hukum yang berjalan diatasnya dengan tetap menjaga
hak dan kewajiban mereka sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
o Negara yang berdiri diatas mabda’ al-Islam.
o Ruh yang ada di negara tersebut mengikuti akhlaq Islami, bukan hanya
berlandaskan politik kekuasaan, berjalan diatas ketaqwaan kepada Allah,
dsb.
o Negara tersebut bukan hanya menegakkan konstitusi militer, tetapi juga
bertujuan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
o Asas berdirinya negara itu adalah persamaan hak dan kewajiban serta
saling tolong menolong di dalam kebajikan dan taqwa.
o Adanya hubungan yang baik antara penguasa dan rakyat, bukan seperti
budak dihadapan majikannya yang harus menuruti semua keinginan
majikannya.Dan tidak memperhatikan kebebasan berpendapat dan syura.
Kemudian dalam bab II al maududi menjelaskan tentang dasar-dasar hukum
Islam yang terangkum dalam 9 poin yaitu:
1. Menjunjung tinggi dustur ilahi.
2. Adil diantara umat manusia.
3. prinsip persamaan diantara kaum muslimin.
4. Tanggung jawab pemegang kekuasaan.
5. As-Syura.
6. Taat dalam hal kebaikan
7. Anjuran untuk tidak meminta kekuasaan
8. Tujuan adanya negara Islam
9. Al-amr bil ma’ruf wa nahyu an al-Munkar,
Bab III tentang karakteristik khilafah al-Rasyidah, kemudian Bab IV
dijelaskan proses beralihnya kekuasaan dari khilafah Islamiyah ke kerajaan, bab V
maududi memaparkan perbedaaan antara khilafah Islamiyah dan kerajan, bab VI
sebab-sebab munculnya mazhab-mazhab khilafah dalam Islam serta sejarahnya.
Bab VII tentang pendapat Imam abu Hanifah seputar khilafah serta karya-karya
beliau, bab VIII Mazhab abu Hanifah dalam khilafah serta permasalahan yang
berkaitan dengan khilafah.Dan bab yang terakhir beliau menjelaskan tentang
Imam abu Yusuf dan karya-karya beliau.
Konsep theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang
digagas oleh Abul A’la Al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang
mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu
dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan
Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah
akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi
menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi
dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua
alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan.
Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak
berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru
menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya
hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali
pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa,
yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi
kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi,
yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum
mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah,
yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem
kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan,”Dan ini pulalah yang
mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan
asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat…”
Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi,
sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada
Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat
hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988:22). Meskipun demikian, ada
anasir theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan
tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi,
rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan
sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi
oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT.
Walhasil, secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam
memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh
norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi
adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau,
seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of
God (Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and
Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah divine democracy
(demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat
kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam.
Catatan kritis ketiga, berkaitan dengan diakomodasinya konsep
“kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dalam konsep theo-demokrasi Al-Maududi.
Dalam hal ini perlu kiranya dicermati, bahwa An-Nabhani mengusulkan konsep
“kedaulatan di tangan syara’”, dan bukannya konsep “kedaulatan Tuhan”. Secara
substansial memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi
mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah
semata dan manusia tidak berhak membuat hukum. Namun di sini terlihat dengan
jelas bahwa An-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk tidak
menggunakan istilah “kedaulatan Tuhan” yang bisa menimbulkan kesalah
pahaman.
Sikap An-Nabhani tersebut akan dapat dipahami karena dalam teori
“kedaulatan Tuhan” terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam. Teori
“kedaulatan Tuhan” tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang berkembang
di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Menurut The Concise
Oxford Dictionary, hal. 1321, istilah theokrasi dikaitkan dengan pemerintahan
atau negara yang diperintah oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui
kelas kependetaan. Dalam teokrasi Barat ini, konsep “kedaulatan Tuhan”
mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah
Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya kepada raja atau Paus
(Amiruddin, 2000:103-104). Oleh karena mewakili Tuhan, maka segala perilaku
raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci (ma’shum, infellible). Jadi,
negara theokrasi –yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan– merupakan negara
yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang menganggap segala perilaku mereka
terjaga dari kesalahan dan suci. Maka dari itu, apa yang mereka halalkan di bumi,
tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan
pula di langit (lihat Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqih Daulah, hal. 81). Bahkan menurut
Imam Khomeini, tokoh kaum Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep
theokrasi Eropa, kesucian para pemimpin atau penguasa, berada pada martabat
yang sangat tinggi yang bahkan tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun
malaikat muqarrabin.
BAB III
KESIMPULAN
Dunia Islam khususnya di Mesir pada sekitar pertengahan abad dua puluh
mempunyai dua tokoh kharismatis yang memperjuangkan Islam melalui sebuah
tradisi penegakkan Islam melalui keluarga (al-usrah). Kelompok-kelompok usroh
inilah yang dikenal dengan nama gerakan ikhwanul Muslimin, sedangkan
tokohnya adalah Hasan Al-Banna. Gerakan ini menekankan pada aspek
penegakkan syariat Islam dengan penuh keyakinan dan keikhlasan dibandingkan
pada perkembangan pemikiran Islam modern.
Begitu juga Abu al-A'la Maududi, beliau merupakan salah seorang ulama
abad ke dua puluh dan penggagas Jamaat el-Islami (Partai Islam) . Maududi
merupakan seorang ahli filsafat, sastrawan, dan aktivis yang aktif dalam
pergerakan dan perjuangan Islam di seluruh dunia. Abu al-A’la al-Maududi
mendapat ilham dari perjuangan Hasan Al-Banna. Yang diberi gelar Sayyid Qutb
di Mesir yaitu Jamaah al-Ikhwan al-Muslimun . Sebagaimana Sayyid Qutb,
Maududi merupakan tokoh perjuangan Islam seluruh dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain, Mafahim Islamiyah, (Beirut : Darul Bayariq),
1996. Juz II. Cetakan I
Al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih
Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. (Bandung : Mizan), 1988.
Amiruddin, M. Hasbi, Teori Kedaulatan Tuhan, Konsep Negara Islam Menurut
Fazlur Rahman. Cetakan I. (Yogyakarta : UII Press), 2000.
Asshidiqie, Jimly, Islam dan Kedaulatan Rakyat. (Jakarta : Gema Insani Press),
1995.
Djaelani, Abdul Qadir. Kedaulatan Tertinggi dalam Negara, Sekitar Pemikiran
Politik Islam, (Jakarta : Media Dakwah), 1994.
Rais, Amien, Kata Pengantar: Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk).
Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. (Bandung : Mizan),
1988.www.ikhwanonline.com
http://deddy24.blogspot.com