Makalah Pembreidelan Tempo
-
Upload
shei-latiefah -
Category
Documents
-
view
643 -
download
6
description
Transcript of Makalah Pembreidelan Tempo
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Pembreidelan Tempo dan Dampaknya Terhadap
Kebebasan Pers pada Era Orde Baru di Indonesia
Shefti L. Latiefah
Pers dan Represi Politik Orde Baru: Sebuah Pengantar
Pada 1994, Indonesia dihebohkan dengan pembreidelan tiga media terkemuka, yakni Tempo,
Editor, dan DeTik, dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia (SK
Menpen) No. 123/Tahun 1994. Pembreidelan itu berdalih pencabutan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) yang mengakibatkan Tempo dan kedua media lainnya tak dapat terbit
lagi. Namun, jelas, pencabutan SIUPP yang sebenarnya merupakan code of enterprise itu adalah
pembereidelan, karena pencabutan SIUPP seharusnya dilihat dari hal-hal yang berhubungan
dengan perusahaan bukannya materi berita. Penerbitan SIUPP merupakan transformasi wajah
pers di Indonesia yang beralih ke dunia industri. Sebelumnya, perizinan semacam itu adalah Surat
Izin Terbit (SIT). Berlandaskan pasal 20 UU No.11 Tahun 1966, SIT menjadi dasar bagi pers
untuk terbit. Padahal, sebelumnya dalam pasal 8 dinyatakan bahwa usaha menerbitkan pers tidak
memerlukan SIT. Namun, ketentuan pasal 20 ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri
Penerangan No.03/Per/Menpen/1969 tentang Lembaga Surat Izin Terbit.1 Praktek pembreidelan
semacam ini marak dilakukan pascaperistiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.
Kasus pembreidelan, jika kemudian disangkutpautkan dengan konsep kebebasan pers, maka hal
ini jelas melanggar. Konsep kebebasan pers yang diusung oleh Dumitrescu dan Mughan (2009)2
adalah tentang diversifikasi kepemilikan yang merepresentasikan pandangan ideologis, sehingga
publik dapat menilai sendiri tentang isi berita dan informasi yang disebarluaskan. Diseminasi
informasi itulah yang membuat pers sangat dibutuhkan oleh publik. Fungsi utama pers, sebagai
pilar keempat demokrasi, bukanlah sekedar slogan, tapi juga beban. Karena, sekali pers tidak
1 Dikutip dari Hasyim Asy’ari, Pembreidelan Tempo 1994: Wajah Hukum Pers Sebagai Alat Represi Politik Negara Orde Baru, Jakarta:Pensil-324, 2009, hlm.122 Lih. Kevin T. Leicht, Handbook of Politics: State and Society in Global Perspective, USA: Springer, 2010, hlm. 471
1
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka, praktek demokrasi di negara tersebut tidak
berlangsung sehat. Ketika menilik kembali pers Indonesia, maka, konsep ini sangat jauh berbeda,
terutama dengan adanya pembreidelan media yang kritis terhadap rezim yang berkuasa.
Sehingga, konsep kebebasan pers di Indonesia dapat ditilik dari gagasan Ignas Kleden,3 yang
menyebutkan konsep kebebasan pers sebagai kebebasan historis-fungsional. Kebebasan historis
fungsional ini sangat dipengaruhi oleh tempat dan waktu. Pers akan mendapatkan kebebasannya
hanya pada tempat dan waktu tertentu saja, kondisional. Analogi dari konsep ini adalah SIUPP
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Terbitnya SIUPP dan pencabutannya dilakukan oleh SK
Menpen, sehingga, pers dinyatakan bebas apabila SIUPPnya belum dicabut. Dalam hal ini, sama
dengan menantang pemerintahan, seperti yang dilakukan Tempo, DeTik dan Editor. Sayangnya,
kebebasan itu tidak berlangsung lama, karena SIUPP dicabut oleh Menteri Penerengan. Sehingga
media yang disinyalir bertolak belakang dengan pemerintahan itu menjadi bungkam selamanya.
Kehebohan breidel tahun 1994 itu bermula ketika Goenawan Muhamad, pimpinan redaksi Tempo
kala itu, mengajukan gugatan atas dicabutnya SIUPP Tempo, yang kala itu merupakan gugatan
perdana atas pers terhadap pemerintahan. Berdasarkan SK. Menpen No. 123/Tahun 1994, Tempo,
berikut Editor dan DeTik tak lagi boleh terbit. Alasan Menteri Penerangan kala itu, Harmoko,
atas pencabutan SIUPP Tempo, Editor dan DeTik, karena tulisan-tulisan yang ada didalamnya,
tanpa memerinci dengan jelas. Namun, pembreidelan tersebut disinyalir karena ketiganya
(terlebih Tempo) menerbitkan tulisan tentang kontroversi pembelian kapal bekas Jerman Timur
oleh Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) BJ. Habibie.4 Dari pernyataan Menpen saja,
pencabutan SIUPP atas dasar materi berita, sehingga, hal ini sebenarnya sudah menyalahi
prosedur. Jelas disebutkan bahwa, SIUPP merupakan code of enterprise, bukan code of
publication seperti SIT, sehingga, pencabutannya atas dasar materi pemberitaan sama dengan
breidel. Kesewenang-wenangan rezim seperti itulah yang membuat demokratisasi informasi,
dalam hal ini, kebebasan pers, terancam. Pers yang kritis diberangus, pers yang dibiarkan hidup
kemudian hanya menjadi corong rezim dalam mengakomodasi kepentingannya tanpa mengambil
resiko dari kritisisme dan koreksi.
3 Asy’ari, op.cit., hlm.94 Dikutip dari Hasibuan dan Srengenge (penyunting), Breidel di Udara: Rekaman Radio ABC, BBC, DW, Nederland, VoA, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1996, hlm.253
2
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Ini sebenarnya tidak jauh dari apa yang disebut Altheide (2006) sebagai politik ketakutan.5 Pada
masa orde baru, pers tidak lepas dari jeratan pemerintah, istilahnya, dikekang. Jika ada luncuran
kritik-kritik pedas terhadap rezim, mereka dapat memberangus pers tersebut kapan saja dengan
pencabutan SIUPP. Hal ini dikonfirmasi oleh Menteri Penerangan periode 1998-2000,
Muhammad Yunus Yosfiah, yang mempertanyakan perihal SIUPP. Dalam masa
kepemimpinannya, SIUPP tidak lagi membebani penerbitan pers, karena ia juga merasa ada yang
tidak beres dengan adanya SIUPP tersebut.6 Politik ketakutan ini dikontrol oleh satu pihak yang
dapat memberikan represi dan ketakutan sehingga, istilah Altheide, dapat membunuh pihak
lainnya. Politik ketakutan ini disokong dengan keadaan yang benar-benar menakutkan, sehingga,
pihak yang hendak dikalahkan tersebut tidak ada pilihan lain selain tunduk. Represi tidak melulu
berdampak positif dalam pengejawantahan politik ketakutan, propaganda juga dapat dimainkan.
Sayangnya, tidak begitu di Indonesia. Pemerintah lebih fleksibel menggunakan represi politiknya
melalui jalur hukum tanpa mau repot. Misalnya, pencabutan SIUPP, yang jelas-jelas
inkonstitusional, setelah sebelumnya hanya mengumbar imbauan, teguran, dan panggilan
terhadap redaksi yang menuntut pers untuk melakukan swasensor. Tercatat sejak 1968, sudah
lebih dari 25 media massa dicabut SITnya atau SIUPPnya, sebut saja misalnya, Indonesia Raya,
Mahasiswa Indonesia, Tempo, DeTik dan Editor. Singkat kata pada masa ini kebebasan pers
memiliki ancaman nyata dan langsung dari kekuasaan, yaitu breidel. 7
Istilah breidel ini sebenarnya sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Verenigde Oost-
Indische Compagnie (VOC) pernah melarang penerbitan surat kabar yang memuat berita tentang
situasi dalam negeri dan kapal pada 1712, karena dikhawatirkan akan menguntungkan saingan
VOC dengan memanfaatkan berita tersebut. Sebenarnya, saat itu belum ada peraturan yang
melandasi pembreidelan pers tersebut. Upaya hukum tentang pembreidelan pers baru digaungkan
tahun 1856. Undang-undang Ordonansi Pembreidelan Pers (Presbreidel Ordonantie) Hindia-
Belanda baru ditandatangani tahun 1933 dan enam tahun kemudian diubah menjadi Undang-
undang Pembreidelan Pers.8
5 Lih. David L. Altheide, Terorism and the Political of Fear, USA: AltaMira Press, 2006, hlm.306 Dikutip dari artikel Tim Tempo, Yunus Yosfiah: Ada yang Tak Beres Soal SIUPP,Tempo, No. T35370090, 2008, hlm.157 Dikutip dari Etika Jurnalisme: Debat Global, ISAI 2006 dalam Tempo 26 Nopember 20078 Asy’ari, op.cit, hlm.26
3
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Jika dirunut secara historis, pembreidelan pers merupakan tradisi kolonialisme yang dibuat agar
tidak mengancam pemerintahan. Sudah tentu hal ini seharusnya tidak berlaku dalam sistem
negara yang demokratis. Pascakolonial, undang-undang yang mengatur perihal pers dimuat
dalam UU No.11 Tahun 1966 tentang SIT, dan UU No.21 Tahun 1982 tentang SIUPP. Istilah
pembreidelan dalam kedua undang-undang tersebut dirumuskan secara negatif, artinya, tidak ada
pelarangan penerbitan. Faktanya, mekanisme SIT dan SIUPP tadi disalahgunakan untuk
memuluskan represi politik terhadap demokratisasi arus informasi dan menjegal pers yang
bersikap kritis, terlebih terhadap pemerintahan.9 Kasus Tempo, dalam hal ini, merupakan bukti
otentik penyalahan kebebasan pers. Dalam SK.Menpen No. 123/Tahun 1994, tidak dirinci secara
jelas, bagian pemberitaan mana dari Tempo yang dinilai merugikan dan tidak bertanggungjawab.
Departemen Penerangan hanya menyebutkan bahwa isi beberapa penerbitan Tempo tidak lagi
mencerminkan kehidupan pers yang sehat, bebas, dan bertanggungjawab. Kemudian
ditambahkan, “penertiban” terhadap Tempo diambil untuk membina dan mengembangkan pers
nasional sesuai dengan UUD ’45 dan Pancasila. Juga, demi terbinanya stabilitas nasional di
Republik Indonesia.10
Tempo dan Pembreidelan
A. Sekilas tentang Tempo
Tempo merupakan majalah mingguan yang diinisiasi oleh Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bur
Rasuanto, Christianto Wibisono, Yusril Djalinus, dan Putu Wijaya pada tahun 1971.
Beralamatkan di Jl. Senen Raya 83, Jakarta, pada 6 Maret 1971, nomor perdana Tempo
diterbitkan, dengan Yayasan Raya sebagai penerbitnya. Nama Tempo dipilih karena Tempo
dianggap singkat, bersahaja, dan enak diucapkan oleh lidah orang Indonesia. Selain itu Tempo
dianggap sebagai pengertian yang lazim dipergunakan oleh banyak penerbitan jurnalistik di
seluruh dunia.11
9 ibid, hlm.2710 Dikutip dari artikel Setiayardi , Riyanto, Agus, Jerman Punya kapal, Tempo ketiban Breidel,Tempo, No. T02270063, 1998, hlm.8011 Dikutip dari Company Profile Tempo, sumber: Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT).
4
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Tempo adalah majalah berita mingguan pertama di Indonesia yang menggunakan gaya jurnalisme
baru. Kekuatan gaya ini terlihat dari pemimpin redaksi kala itu yang juga essais dan budayawan,
Goenawan Muhammad. Lahirnya Tempo juga turut ditunjang oleh Yayasan Jaya yang dipimpin
oleh Ciputra. Yayasan tersebut meminjamkan modal bagi Tempo, dengan sharing profit separuh
untuk karyawan Tempo dan separuh lagi untuk yayasan. Ciputra kemudian menunjuk Eric
Samola untuk mengelola manajemen Tempo. Seiring berjalannya waktu, Eric mengusulkan
supaya dibentuk perusahaan sendiri yang mengelola Tempo sehingga tak melulu
menggantungkan modal dari pihak luar. Maka, dibentuklah PT. Grafiti Pers dengan sharing profit
masih sama, 50% untuk karyawan, dan 50% untuk perusahaan.12
Sejak awal beredar tahun 1971, Tempo menjual 20.000 eksemplar, hingga enam tahun
berikutnya, Tempo berhasil mendapat oplah 47.000 eksemplar. Kemudian, pada 1988, oplah
Tempo mencapai 166.000 eksemplar.13 Jika dihitung sampai dengan pembreidelan tahun 1994,
oplah Tempo mencapai 400.000 eksemplar. Selain prestasi pribadi Tempo, sebenarnya,
peningkatan oplah dari penjualan ini juga berdampak pada besarnya pajak yang dibayarkan pada
pemerintah. Menurut catatan pada 1994, Tempo telah membayarkan pajaknya sebesar 5,6 miliar
rupiah.14
Sayangnya, sumbangsih Tempo dalam ranah jurnalistik dan industri itu tidak dianggap penting
oleh rezim orde baru. Meski juga telah menyumbang pembangunan fisik bangsa atas pembayaran
pajak, dan psikis bangsa atas kiprahnya mencari kebenaran, Tempo masih saja terkena
penjegalan. Sebelum dibreidel pada 1994, Tempo sudah pernah dicabut SITnya karena
memberitakan kecurangan Pemilu pada 1981. Indikasi lain pencabutan SIT tersebut adalah
karena Tempo dan media lainnya, Pelita, juga memuat foto dan berita huru-hara kampanye
pemilu di Lapangan Banteng, Jakarta. Setelah dilarang terbit selama dua bulan, Tempo kembali
menampakkan geliat jurnalistiknya. Namun sayang, geliat itu kembali terjegal semenjak
diterbitkan SK.Menpen No. 123/Tahun 1994, yang berarti Tempo kembali dibreidel. Tidak ada
perincian jelas mengapa Tempo dibreidel, namun, hal ini disinyalir karena pemberitaan
kontroversial tentang pembelian Kapal Jerman oleh Menristek BJ. Habibie.
12 Asy’ari, op.cit., hlm.4813 Lih. Company Profile Tempo14 Asy’ari, op.cit., hlm.49
5
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
B. Pembreidelan Tempo
Tahun 1994 merupakan masa suram bagi Tempo dan beberapa penerbitan pers lainnya, yakni
Editor dan DeTik. Pasalnya, menurut Surat Keputusan Menteri Penerangan, ketiga media itu
dicabut SIUPPnya sehingga tidak dapat terbit lagi. Sungguh bagaikan petir di siang bolong,
begitu istilah Fikri Jufri, wakil pimpinan redaksi Tempo kala itu.15 Hal ini mengakibatkan
berbagai macam dampak. Mulai dari pembaca yang kehilangan bacaannya, wartawan yang
kehilangan mata pencahariannya, hingga karyawan lain seperti tukang sapu dan office boy yang
harus menganggur karena institusi tempat mereka bekerja tidak lagi beroperasi hanya karena satu
tanda tangan dari Menteri Penerangan. Dalam sebuah artikel Tempo16 diberitakan bahwa, saat itu,
Rabu, 22 Juni 1994, awak Tempo tidak lagi punya pekerjaan alias jadi pengangguran. Majalah
Tempo telah dibredel. Padahal ketika itu ada karyawan yang sedang hamil, keluarganya sakit,
masih belum selesai cicilan rumahnya, dan lain-lain. Tak sedikit yang menjadi tulang punggung
keluarga.
Pembreidelan yang berdasarkan SK.Menpen tersebut dinilai semena-mena, karena, tidak atas
persetujuan dari Dewan Pers. Jakob Oetama yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pelaksana
Harian Dewan Pers mengatakan bahwa pada 14 Juni 1994, Dewan Pers menyelenggarakan rapat
yang membahas tentang 12 nama penerbitan Pers yang dianggap melanggar oleh pemerintah,
termasuk, Tempo. Pada saat itu, Dewan Pers merekomendasikan empat hal, yaitu: agar pers
mawas diri; agar masyarakat pers lebih efektif dalam membina rekan-rekan sesama pers; agar
pers yang melanggar diberi kesempatan sekali lagi, kalau perlu diberikan peringatan keras; dan
kalau benar-benar diperlukan, pemimpin redaksinya diganti.17 Atas dasar rekomendasi itulah,
mengapa, Dewan Pers merasa pencabutan SIUPP Tempo dinilai tidak sesuai dengan persetujuan
mereka. Dalam hal ini, SK. Menpen yang terbit dengan alasan Tempo sudah menyalahi pers yang
bebas dan bertanggungjawab sehingga harus dicabut SIUPPnya tidak disepakati oleh Dewan
Pers.
15 ibid. hlm.4516 Lih. artikel Tim Tempo, Diaspora itu…,Tempo, No. T35370089, 2008, hlm.1217 Asy’ari, op.cit., hlm.53
6
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Seperti yang dikatakan sebelumnya, pembreidelan Tempo bukan hanya terjadi sekali, tapi sudah
merupakan kali kedua semenjak dicabutnya SIT pada 1982. Pencabutan SIT tersebut tidak lain
karena pemberitaan tentang huru-hara kampanye pemilu, sehingga Tempo harus berhenti terbit
sekitar dua bulan atas SK.Menpen No.76/KEP/MENPEN/1982, karena dinilai mengganggu
stabilitas nasional. Untuk memperoleh SITnya kembali, Tempo harus menyanggupi pengarahan
dari Dewan Pers, tanggal 13 Mei 1982. Pengarahan itu membuat Tempo harus menyanggupi
untuk menjalankan pengarahan sebagai berikut: 18
1. Tempo menyanggupi untuk turut bertanggung jawab menjaga stabilitas nasional,
keamanan, ketertiban, dan kepentingan umum, tidak memperuncing keadaan dan bahkan
meredakan ketegangan jika terjadi di dalam masyarakat;
2. Tempo menyanggupi akan menahan diri dan selalu mengutamakan kepentingan
masyarakat dan negara atas kepentingan pribadi dan majalah Tempo;
3. Tempo selalu akan menjaga nama baik dan kewibawaan pemerintah dan pimpinan
nasional;
4. Tempo akan mengindahkan dan memenuhi serta menjalankan ketentuan yang digariskan
peraturan perundang-undangan, Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik dan ketentuan yang
dikeluarkan pemerintah dalam rangka pembinaan pers yang bebas dan
bertanggungjawab;
5. Tempo akan selalu mengadakan interospeksi, koreksi, dan perbaikan-perbaikan ke dalam,
dalam rangka memantapkan perkembangan pers yang bebas dan bertanggungjawab.
Setelah mendapat pengarahan tersebut, Tempo berhasil terbit lagi. Namun sayang, kiprahnya
tidak begitu lama di ranah jurnalistik nusantara karena Tempo harus kembali membeku akibat
berita kontroversialnya tentang peliputan kapal bekas Jerman Timur. Pembelian kapal tersebut
dinilai kontroversial karena terjadi tawar-menawar antara Mar'ie dan B.J. Habibie yang
memperkarakan tentang harga 39 kapal perang bekas itu yang membengkak 62 kali lipat.
18 ibid. hlm. 527
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Adapun kapal-kapal Jerman itu terdiri dari 15 korvet Parchim (a DM 600.000), 12 landing ship
tanker (LST) Frosch 1 (a DM 600.000), 2 LST Frosch 2 (a DM 550.000), dan 9 penyapu ranjau
Kondor 2 (a DM 300.000). Harganya kalau dikurs dalam dolar saat dibeli 2 tahun silam
berjumlah DM 20.000 atau US$ 12.738.854 atau Rp 27,5 miliar. Anggaran pembelian yang
diajukan Menristek B.J. Habibie kepada Menteri Keuangan menggelembung luar biasa besar
menjadi US$ 1,1 miliar. Pembengkakan biaya itu kabarnya perlu untuk: biaya perbaikan (US$
314,4 juta) di Jerman, biaya penyeberangan dari Jerman (US$ 93,8 juta), pembangunan
pangkalan (US$ 119,7 juta), penyiapan operasi dan pengadaan 2 tanker oleh PT PAL (US$ 379,7
juta), serta pembangunan pangkalan di Teluk Ratai dan cadangan (US$ 179,4 juta). Terjadi
tawar-menawar antara Habibie-Mar’ie perihal kapal itu, dari US$ 1,1 miliar ke US$ 600 juta
hingga US$ 400 juta, tapi itu pun ditolak Mar'ie. Pembelian kapal-kapal tadi dilakukan
berdasarkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1992 yang dikaitkan dengan Program Induk ALUT
Markas Besar TNI-AL, serta proyek BPPT tentang rencana induk pangkalan utama TNI-AL. Jika
dievaluasi lebih jauh, dengan anggaran US$ 1,1 miliar, tentu akan lebih baik dibelikan kapal
perang yang baru sama sekali. Harga kapal baru tipe Parchim per unit US$ 23,8 juta, tipe Frosch
US$ 17,3 juta, dan Kondor US$ 14,9 juta. Kalau TNI-AL beli 15 kapal Parchim, 14 Frosch, dan
9 kapal Kondor, maka total anggarannya cuma US$ 733,3 juta. Kapal-kapal itu lebih murah,
lebih berdaya-guna, dan lebih penting lagi, tidak menimbulkan ketegangan antara Mar'ie dan
Habibie.19
Terbitnya cover story tentang kapal bekas Jerman tersebut ternyata membawa mimpi buruk bagi
Tempo, sehingga ketiban breidel. Pencabutan SIUPP, selain Tempo dinilai tidak mengindahkan
rekomendasi-rekomendasi yang sudah diberikan oleh Dewan Pers sewaktu memulihkan SITnya,
juga karena sudah tercatat ada 33 kali peringatan lisan, 6 kali peringatan tertulis, dan 3 kali surat
peringatan keras. Oleh karena itulah mengapa tindakan pencabutan SIUPP Tempo dinilai tepat
oleh rezim untuk mengembalikan stabilitas nasional.
Dampak atas pencabutan SIUPP Tempo membuat sebagian wartawan dan karyawan yang bekerja
disana menyebar untuk mencari penghidupan, namun, ada juga yang masih menganggur. Ada
19 Dikutip dari artikel Max Wangkar dan Andi Reza Rohadian, Jerman Punya kapal, Indonesia Punya Beban,Tempo, No. T1424JERMWA, 1994, hlm.88
8
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
sebagian wartawan dan karyawan yang bekerja di Gatra, majalah pengganti Tempo, versi
pemerintah. Namun, karena Gatra disinyalir hanya menjadi media yang mengakomodasi
pemerintah, banyak juga wartawan eks-Tempo yang kontrarezim tidak mau bergabung dengan
Gatra. Bahkan, dalam berbagai kasus, terjadi sentimen antara Gatra dan Tempo, juga kelompok
yang kontra-pemerintah. Gatra dinilai menjadi corong pemerintah dan mengisukan hal-hal tidak
benar, misalnya, Sri Bintang Pamungkas adalah penggerak demo Anti-Soeharto di Jerman dan
banyak LSM-LSM terlibat aksi yang merugikan pemerintah.20
Ada kelompok eks-Tempo yang dipimpin R. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja bersama Rudi P.
Singgih (almarhum), menggarap Jayakarta, koran milik TNI Angkatan Darat; lalu Sinar Pagi
Minggu; Delik, lembaran kriminal di Media Indonesia yang terbit tiap Rabu. Terakhir grup ini
menerbitkan majalah Pilar. Ada juga yang menggarap Media Indonesia, yang dimiliki oleh Surya
Palloh, sembari membuka biro konsultasi dan percetakan di kantor yang sama di Tebet hingga
dapat meraih omzet sekitar Rp 1 miliar dalam setahun. Selain itu, masih ada yang bergabung ke
harian Neraca, majalah Forum, SWA, atau Medika. Ada pula yang menjadi koresponden harian
Jawa Pos di luar negeri, yaitu di Los Angeles, Manila, dan Sydney. 21
C. Tempo Menggugat
Terjadi ketidakadilan hukum, tentu saja ada suatu geliat kegelisahan, pun dalam Tempo.
Pencabutan SIUPP yang mengakibatkan berbagai kerugian baik secara material maupun imaterial
tersebut tidak semata ditinggalkan. Goenawan Muhamad dan kawan-kawan mengajukan gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mempersoalkan keputusan Harmoko, selaku
Menteri Penerangan kala itu. Bukanlah hal mudah menentang rezim, namun itu merupakan
preseden baru dalam dunia pers. Goenawan Muhamad atas nama Tempo memenangkan
gugatannya terhadap Departemen Penerangan dalam sidang pada 3 Mei 1995, yang bertepatan
dengan Hari Kebebasan Pers Internasional. Hakim persidangan, Benjamin Mangkoedilaga,
memutuskan bahwa surat keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.123/Tahun 1994
yang mencabut SIUPP Tempo cacat secara hukum.
20 Hasibuan dan Srengenge. op.cit., hlm.31521 Lih.Tim Tempo, loc.cit.
9
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Dalam sidang tersebut, Benjamin membacakan keputusan majelis hakim diantaranya
mengabulkan gugatan yang diajukan penggugat, menyatakan batal Surat Keputusan Menteri
Penerangan RI No.123/Menpen/Tahun 1994 tanggal 21 Juni tentang pembatalan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Mingguan Tempo dengan segala akibat hukumnya dan
memerintahkan tergugat untuk mencabut SK tersebut. Kemudian, memerintahkan tergugat untuk
menerbitkan pemberian surat izin untuk menerbitkan Majalah Tempo yang baru kepada
PT.Grafiti Pers sesuai dengn ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Yang terakhir,
memerintahkan pihak tergugat untuk membayar bea perkara sehubungan dengan dilakukannya
gugatan ini yang akan ditentukan oleh pihak kepaniteraan.
Keputusan tersebut disambut hangat oleh berbagai kalangan, termasuk aktivis pers dan diluar
pers, karena, sidang ini seperti oase bagi kesewenang-wenangan rezim.22 Sayangnya, episode
keadilan tidak hanya berhenti disini, pihak tergugat, Departemen Penerangan, mengajukan
banding dalam kurun waktu kurang dari dua minggu.
Gugatan Goenawan Muhamad dinilai historik karena, belum pernah ada penerbitan pers yang
menggugat pemerintah atas SIUPP yang dicabut, kebanyakan hanya meminta SIUPP baru untuk
penerbitan media dengan nama baru pula. Namun, represi politik ini dirasa Goenawan dan
koleganya sebagai ketidakadilan, sehingga sudah sepantasnya digugat. Departemen Penerangan,
dalam pencabutan SIUPP Tempo, tidak memberikan kesempatan media itu untuk membela diri
atas tuduhan yang dilancarkan terhadap mereka.23
Kemenangan Tempo di PTUN ternyata tidak diakui oleh Departemen Penerangan, ia pun
mengajukan banding. Pada tingkat banding, majelis hakim yang diketuai Hari Subianto,
menyatakan pengukuhan terhadap keputusan vonis PTUN. Keputusan ini masih juga tidak
memuaskan Departemen Penerangan, mereka naik kasasi di Mahkamah Agung.
Dari kedua sidang tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa kemenangan akan berada di pihak
Tempo, karena, keputusan pencabutan SIUPP tersebut tidak sesuai dengan UU Pokok Pers yang
menyebutkan tidak adanya sensor dan pembreidelan. Sayangnya, pada tingkat kasasi, Tempo
22 Hasibuan dan Srengenge. op.cit., hlm.24623 ibid., hlm.253
10
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
kalah, pembuatan putusan ini sama sekali mempertimbangkannya alasan dan argumentasi
termohon kasasi, Goenawan Mohamad. Tentu saja keputusan Mahkamah Agung (MA) ini
ditanggapi secara sinis oleh banyak aktivis pencari keadilan. T. Mulya Lubis menyanyangkan hal
ini, menurutnya, MA telah mengkhianati fitrahnya karena telah mengajukan argumentasi yang
tidak masuk akal dengan mengatakan pembreidelan tidak sama dengan pencabutan SIUPP.24
Keputusan tersebut semakin memperuncing kecurigaan akan sistem hukum di era orde baru.
Keadilan menjadi hal yang semu, kemenangan dan kekalahan ditentukan oleh political power.
Breidel dan Represi Kebebasan Pers Masa Orde Baru
Kekalahan Tempo dalam sidang kasasi di tataran Mahkamah Agung mengkonfirmasi adanya
nepotisme antara lembaga yudikatif tertinggi tersebut dengan rezim. Padahal, dalam dua sidang
sebelumnya, gugatan dan banding, Tempo memenangkan kasus atas landasan SK.Menpen
tersebut cacat secara hukum karena menyalahi UU Pokok Pers. Tentu saja kemenangan
Departemen Penerangan pada sidang kasasi atas kasus Tempo terlihat ganjil, dan ini disebut-sebut
Satrio Arismunandar, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai represi
politik rezim terhadap kebebasan pers.25 Satrio menambahkan, hal itu semacam peringatan untuk
penerbitan pers agar tidak macam-macam pada rezim. Represi ini tidak lepas dari perpolitikan
karena, pencabutan SIUPP yang merupakan code of enterprise itu karena keberatan rezim atas
materi pemberitaan Tempo yang dinilai mengadu-domba para politisi perihal pembelian Kapal
Bekas Jerman Timur. Tindakan pencabutan SIUPP itu tidak lain karena ketersinggungan
pemerintah atas konten berita, dan tidak didasarkan hukum yang jelas, malah, pencabutan SIUPP
tersebut menyalahi UU Pokok Pers yang berarti sama dengan pembreidelan.
Elit politik di Indonesia menyadari betapa pentingnya pengaruh media dalam kehidupan
berpolitik dan berkenegaraan. Hal ini juga dikemukakan oleh Jonathan Woodier:
Crucially, Indonesia’s political elites have long appreciated the importance
of the media and, as its centrality has increased, so the political elites have
perceived a growing new media impact on their security and the integrity of
24 Dikutip dari wawancara Tim Tempo dengan T.Mulya Lubis, Tempo, 199525 Dikutip dari wawancara Tim Tempo dengan Satrio Arismunandar, Tempo, 1995
11
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
the state. This has directly affected political behaviour, forcing them to look
for ways to bring the media back into line and restore the gatekeeping role
lost to technological development at the end of the Suharto era.
(Woodier, 2008:171)
Refleksi dari demokratisasi pers sekarang ini terlihat dari minimnya kontrol pemerintahan
terhadapnya. Namun, ketika kembali menilik kebelakang, kita akan menyadari betapa
terbungkamnya suara pers ketika masih dalam masa kepemimpinan Soeharto. Pengontrolan yang
ketat terhadap pers semata-mata untuk melanggengkan kekuasaan dan menciptakan atmosfir
yang menguntungkan bagi rezim, sehingga, kesalahan-kesalahan yang terjadi di pemerintahan
tidak lantas diketahui masyarakat karena pemberitaan media. Hal inilah mengapa Tempo terkena
breidel atas tuduhan mengganggu stabilitas nasional karena liputan investigasinya tentang Kapal
Bekas Jerman. Dalam pidatonya, Presiden Soeharto yang saat itu berada di teluk Ratai, Lampung,
mengecam pers yang meliput soal pembelian Kapal Jerman. Presiden Soeharto menyatakan
bahwa pers yang meliput tentang pembelian kapal itu hanya asal bicara dan mengadu domba elit
politik (Habibie dan Mar’ie) sehingga dinilai mengganggu stabiltas politik dan nasional. Ia
berjanji akan menindak tegas pers tersebut. Sehari kemudian, berlangsunglah rapat koordinasi
bidang Politik dan Keamanan (Polkam) di kantor Menko Polkam, Jakarta, membahas tentang
penindakan terhadap pers yang dimaksud. Saat itu, Harmoko menyarankan untuk melakukan
pembreidelan saja, namun, kepastian sanksi terhadap pers itu dijanjikan diumumkan pada Rakor
Polkam tanggal 30 Juni 1994.26
Suasana perpolitikan pada masa orde baru dibawah pimpinan Soeharto sangat tidak bersahabat
terhadap kebebasan pers, sampai tidak jarang pers yang bungkam karena takut terkena breidel.
Pemutarbalikkan fakta rupanya cukup memusingkan pihak yang bahkan merasa benar, seperti
Tempo, yang tetap terkena breidel meski sudah dua kali menang di pengadilan. Pesimisme inilah
yang kemudian mendorong demokratisasi pers di era orde baru tak kunjung meluap. Meski masih
ada saja aktivis-aktivis yang menuntut kebebasan pers.
Hegemoni yang dilakukan pemerintah untuk mengontrol kebebasan berpendapat, dalam hal ini,
kontrol terhadap pers, sepertinya tidak sukses seratus persen. Jika konsep Gramsci yang
26 Asy’ari, op.cit., hlm.5612
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
mengusung tentang hegemoni itu sukses karena pemenangan konsensus, maka, tidak dipungkiri
akan muncul gerakan-gerakan alternatif atau counter-hegemony. Dalam hal ini, muncul Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) yang merupakan counter-hegemony dari Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI). PWI dinilai kurang begitu membela kepentingan anggotanya. Perlawanan atas
otoritarianisme rezim orde baru itu terus mengkristal. Sampai pada akhirnya, sekitar 100 orang
yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada
hari itulah mereka menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah menuntut
dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal
untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI, meski organisasi ini dianggap terlarang dan
kemudian tiga aktivisnya dibui karena menerbitkan majalah tanpa SIUPP, Independen. Selain
itu, mereka juga didakwa mengecam presiden, dan menghasut kebencian terhadap
pemerintahan.27 Ketiga aktivis itu adalah Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh
Wardoyo. Taufik dan Eko dipenjara masing-masing selama 3 tahun, Danang 20 bulan sejak 1995.
Menyusul kemudian Andi Syahputra, mitra penerbit AJI, yang masuk penjara selama 18 bulan
sejak Oktober 1996.
Fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa pada masa orde baru, tidak ada demokratisasi pers.
Brian McNair28 menyebutkan, pers di era otoritarianisme abad ke 15 hingga 16 memang dianggap
sebagai instrumen pengefektifan pemerintahan. Pun di Indonesia, orde baru, atau bisa juga
disebut era otoritarianisme, juga memanfaatkan pers sebagai instrumen yang dapat
mengakomodasi kepentingan politik. Sehingga, jika ada yang melanggar, tindakan tegas pun
dilakukan, seperti pembreidelan. Hal ini tidak lain supaya rezim tetap bertahan. Harsono (dalam
Woodier, 2008) menyebutkan, pengontrolan informasi adalah pusat pertahanan kekuasaan
Soeharto.
Sistem politik pada era orde baru tidak mengikuti arus demokrasi, dan mengingkari trias
politika.29 Hal ini jelas terlihat dari tidak adanya pembagian kekuasaan. Check and balances
antara eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak terjadi. Malah, eksekutif yang memiliki kekuasaan
tertinggi. Istilah Demokrasi Pancasila hanyalah sebatas jargon yang seolah menciptakan perlunya
27 ibid., hlm.7028 Lih. Wahl-Jorgensen dan Hanitzsch, The Handbook of Journalism Studies, USA: Routledge, 2009:23729 Lih. Asy’ari, op.cit., hlm.39
13
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Pancasila sebagai pandangan hidup, sampai ada penataran yang khusus mengkaji Pancasila.
Sayangnya, hal itu sungguh suatu pragmatisme, yang seakan tidak punya jiwa. Pengingkaran
nilai-nilai Pancasila dilakukan sendiri oleh yang mengagung-agungkannya, rezim orde baru.
Pembreidelan, dalam hal ini, merupakan pengkhianatan nilai-nilai Pancasila, terutama mengenai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
UU No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers telah mengatur bahwa tidak ada sensor dan
pembreidelan terhadap penerbitan Pers. Kasus pencabutan SIUPP Tempo merupakan pelanggaran
hukum yang seharusnya tidak dapat dilaksanakan, namun, bukan hal baru, jika pemenangan
kasus oleh pemerintah pasti terjadi. Pengajuan gugatan Goenawan Muhamad yang
mempersoalkan pencabutan SIUPP Tempo saja sudah merupakan preseden baru di dunia pers di
Indonesia.
Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No.1 Tahun 1984 mengatur tentang kewajiban setiap
penerbitan Pers memiliki SIUPP dan mengancam sanksi pidana bagi siapapun yang melakukan
kegiatan penerbitan pers tanpa SIUPP. Peraturan itu membunuh demokratisasi pers karena, diakui
atau tidak, terbitnya pers ditentukan oleh izin yang mereka terima, atau, terbitnya SIUPP.
Kritisisme serta vokalnya penerbitan pers menjadi tidak mungkin di era rezim orde baru karena
ancaman breidel, atau pencabutan izin terbit (SIUPP) yang berdampak tak hanya sekitar edisi
terbit saja, tapi juga hilangnya lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Pembreidelan semacam
ini tentu saja bertolakbelakang dengan konsep demokrasi, kebebasan berpendapat tidak terjadi
disini. Adanya hukuman pidana dan terkait pemberitaan oleh pers termasuk dalam represi politik.
Sehingga, orde baru diingat sebagai masa suram kehidupan pers di Indoensia.
Kesimpulan
Otoritarianisme sistem pemerintahan Soeharto membawa dampak buruk bagi kebebasan Pers.
Semenjak terbit Peraturan Menteri Penerangan yang mengatur tentang kewajiban setiap
penerbitan Pers memiliki SIUPP, pers di Indonesia sudah kehilangan kebebasannya untuk
bersuara lantang. Terbit tidaknya izin dari pemerintah ini dipengaruhi oleh kiprah pers tersebut
dalam menjalankan fungsinya, atas desakan pemerintah. Hal ini dapat ditilik dari pencabutan
SIUPP Tempo yang dinilai mengganggu stabilitas nasional. Setelah mendapat 33 kali peringatan
14
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
lisan, 6 kali peringatan tertulis, dan 3 kali surat peringatan keras, SIUPP Tempo dicabut dengan
SK. Permenpen No.123/Menpen/Tahun 1994 tanggal 21 Juni. Setelah sebelumnya mengalami
batal terbit selama hampir dua bulan karena SIT Tempo dibatalkan pemerintah gara-gara meliput
huru-hara saat kampanye pemilu tahun 1982.
Kritisisme pers mengalami penjegalan, setelah memberitakan Kapal Perang bekas Jerman, Tempo
mengalami pembreidelan. Meski pihak Tempo telah menggugat SK Menpen tersebut, ternyata,
gugatan tersebut tidak memenangkan sidang di tingkat kasasi. Tempo hanya memenangkan dua
sidang yakni sidang gugatan dan banding, namun, di tingkat kasasi, sidang dimenangkan oleh
Departemen Penerangan. Keadaan politik yang sifarnya otoriter seperti ini menimbulkan gejolak,
sehingga, tidak sedikit kelompok-kelompok yang melawan. AJI, sebuah organisasi yang kontra-
pemerintah mengadvokasi kebebasan pers di orde baru. Namun sayang, perjuangan itu harus
dibayar dengan pidana, karena, AJI menerbitkan Independen, sebuah majalah tanpa SIUPP.
Represi politik atas pers kembali bergulir, bahkan hingga disertai ancaman pidana. Demokratisasi
pers di era orde baru tidak terwujud karena kontrol pemerintah atas pers begitu kuat. Padahal, UU
Pokok Pers saja sudah memberikan kebebasan pada pers untuk menerbitkan berita tanpa adanya
sensor dan breidel. Jika hal ini dilanggar oleh rezim,maka sudah jelas bahwa sistem politik pada
era orde baru mematahkan begitu saja undang-undang yang berlaku. Otoritarianisme rezim begitu
tampak, sehingga, pesimisme akan informasi bebas semakin meningkat. Hal ini menjadi catatan
sejarah tentang kelamnya masa orde baru bagi penerbitan pers di Indonesia.
Referensi:
Buku
- David L. Altheide, Terorism and the Political of Fear, USA: AltaMira Press, 2006
- Hasibuan dan Srengenge (penyunting), Breidel di Udara: Rekaman Radio ABC, BBC,
DW, Nederland, VoA, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1996
15
Media Massa dan Sistem Politik: Pembreidelan Tempo/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
- Hasyim Asy’ari, Pembreidelan Tempo 1994: Wajah Hukum Pers Sebagai Alat Represi
Politik Negara Orde Baru, Jakarta: Pensil-324, 2009
- Kevin T. Leicht, Handbook of Politics: State and Society in Global Perspective, USA:
Springer, 2010
- Wahl-Jorgensen dan Hanitzsch, The Handbook of Journalism Studies, USA: Routledge,
2009
Artikel
- Max Wangkar dan Andi Reza Rohadian, Jerman Punya kapal, Indonesia Punya Beban,
Tempo, No. T1424JERMWA, 1994, hlm.88
- Setiayardi , Riyanto, Agus, Jerman Punya kapal, Tempo ketiban Breidel, Tempo, No.
T02270063, 1998, hlm.80
- Tim Tempo, Yunus Yosfiah: Ada yang Tak Beres Soal SIUPP, Tempo, No. T35370090,
2008, hlm.15
- Tim Tempo, Diaspora itu…,Tempo, No. T35370089, 2008, hlm.12
Lain-Lain
- Company Profile Tempo, sumber: Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT)
16