MAKALAH MASYARAKAT madani

59
MAKALAH MASYARAKAT MADANI BAB I PENDAHULUAN Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).

description

ya

Transcript of MAKALAH MASYARAKAT madani

MAKALAH MASYARAKATMADANIBAB IPENDAHULUANMasyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-maruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi khairu ummah karena mereka menjalankan amar maruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185). Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar maruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar maruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun masyarakat madani modern, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja. Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. BAB IIMASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT2.1 Konsep Masyarakat MadaniKonsep masyarakat madani merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep civil society. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.Makna Civil Society Masyarakat sipil adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata societies civilis dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi Islami. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya. Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84). Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market. Merujuk pada Bahmueller (1997). 2.1.1 Pengertian Masyarakat MadaniMasyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba ayat 15:Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun.2.1.2 Masyarakat Madani Dalam SejarahAda dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:1) Masyarakat Saba, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Quran sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.2.1.3 Karakteristik Masyarakat MadaniAda beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya: 1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial. 2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif. 3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat. 4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. 5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter. 6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. 7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.14. Berakhlak mulia.Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb: 1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. 2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial. 4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan. 5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan. 6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial. 7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya. Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat sipilisme yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa: 1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial. 2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia. Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya. 3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat. Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa. Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996). Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin. Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil. Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada masyarakatnya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syariat agama di bawah suatu perlindungan hukum.Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah. Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-Anam ayat 108.Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.2.2 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat MadaniDalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.2.2.1 Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110Artinya:Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnyadibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Quran itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil. 2.2.2 Posisi Umat Islam SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.2.3 Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan UmatMenurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya. Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat.Allah melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Syuara ayat 183:Artinya:Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:Artinya:Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah.Banyak ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah, antara lain Q.S. An-nisa ayat 114:Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat maruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.2.4 Manajemen Zakat2.4.1 Pengertian dan Dasar Hukum ZakatZakat adalah memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Nisab adalah ukuran tertentu dari harta yang dimiliki yang mewajibkan dikeluarkannya zakat, sedangkan haul adalah berjalan genap satu tahun. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat, wajiblah membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan zakatnya.Dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut muzakki,sedangkan orang yang berhak menerima zakat disebut mustahiq .Zakat merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati. Di dalam Alquran Allah telah berfirman sebagai berikut:Al-Baqarah: 110Artinya:Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. At-Taubah: 60 Artinya:Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).At-Taubah: 103Artinya:Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.Adapun hadist yang dipergunakan dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW ketika mengutus Muaz ke Yaman, ia bersabda: Sesungguhnya engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli Kitab, oleh karena itu ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka beritahukannlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka atas mereka salat lima kali sehari semalam; lalu jika mereka mentaatimu untuk ajakan itu, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka; kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan harta-harta mereka, dan takutlah terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara doa itu dan Allah tidak hijab (pembatas).Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu adalah sebagai berikut:1. Harta yang berharga, seperti emas dan perak.2. Hasil tanaman dan tumbuh-tumbuhan, seperti padi, gandum, kurma, anggur.3. Binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.4. Harta perdagangan.5. Harta galian termasuk juga harta rikaz.Adapun orang yang berhak menerima zakat adalah:1. Fakir, ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.2. Miskin, ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan pendapatannya sehingga ia selalu dalam keadaan kekurangan.3. Amil, ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat untuk dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.4. Muallaf, ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya, diberi zakat agar menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari agama Islam.5. Riqab, ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha untuk menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.6. Gharim, ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan membayarnya.7. Fi sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan Islam.8. Ibnussabil, ialah orang yang kehabisan biaya atau perbekalan dalam perjalanan yang bermaksud baik (bukan untuk maksiat).2.4.2 Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia Sejak Islam memsuki Indonesia, zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan digunakan untuk melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4 Agustus 1938 pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib sepanjang tidak terjadi penyelewengan keuangan. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda melarang semua pegawai dan priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu memberikan dampak yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di kalangan umat Islam, karena dengan sendirinya penerimaan zakat menurun sehingga dana rakyat untuk melawan tidak memadai. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah Kolonial Belanda.Setelah Indonesia merdeka, di Aceh satu-satunya badan resmi yang mengurus masalah zakat. Pada masa orde baru barulah perhatian pemerintah terfokus pada masalah zakat, yang berawal dari anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat secara efektif dan efisien serta mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih luas dengan pengarahan yang lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong dibentuknya badan amil di berbagai propinsi.2.4.3 Manajemen Pengelolaan Zakat ProduktifSehubungan pengelolaan zakat yang kurang optimal, sebagian masyarakat yang tergerak hatinya untuk memikirkan pengelolaan zakat secara produktif, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada umumnya dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan masyarakat membentuk Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola dan zakat, infak dan sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat. Sementara pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional. Dalam pengelolaan zakat diperlukan beberapa prinsip, antara lain:1. Pengelolaan harus berlandasakn Alquran dan Assunnah. 2. Keterbukaan. Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat, pihak pengelola harus menerapkan manajemen yang terbuka.3. Menggunakan manajemen dan administrasi modern.4. Badan amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelolah zakat dengan sebaik-baiknya.Selain itu amil juga harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat, antara lain:1. Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan dan penderitaan.2. Membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik3. Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.4. Meningkatkan syiar Islam5. Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara.6. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.2.4.4 Hikmah Ibadah ZakatApabila prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat dilaksanakan dipegang oleh amil zakat baik itu berupa badan atau lembaga, dan zakat, infak, dan sedekah dikelola dengan manajemen modern dengan tetap menerapkan empat fungsi standar manajemen, tampaknya sasaran zakat, infak maupun sedekah akan tercapai.Zakat memiliki hikmah yang besar, bagi muzakki, mustahik, maupun bagi masyarakat muslim pada umumnya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih.Bagi mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan.Bagi masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di kalangan umat Islam. Sedangkan dalam tata masyarakat muslim tidak terjadi monopoli, melainkan sistim ekonomi yang menekankan kepada mekanisme kerja sama dan tolong-menolong. 2.5 Manajemen WakafWakaf adalah salah satu bentuk dari lembaga ekonomi Islam. Ia merupakan lembaga Islam yang satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakf muncul dari satu pernyataan dan perasaan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif di kemudian hari, karena ia merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat bernilai dalam pembangunan umat. 2.5.1 Pengertian WakafIstilah wakaf beradal dari waqb artinya menahan. Menurut H. Moh. Anwar disebutkan bahwa wakaf ialah menahan sesuatu barang daripada dijual-belikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh yang empunya, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara serta tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman wakafan), perorangan atau umum.Adapun ayat-ayat Al-Quran dan hadist yang menerangkan tentang wakaf ini ialah:Al-Baqarah ayat 267:Artinya:Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.Al-Hajj ayat 77Artinya:Hai orang-orang yang beriman, rukulah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.Abu Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan masyarakat, dan anak salehnya yang mendoakannya. (Riwayat Muslim).Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasullullah SAW mengutus Umar untuk memungut zakat di dalam hadist itu terdapat pula Khalid mewakafkan baju besi dan perabot perangnya di jalan Allah.2.5.2 Rukun WakafAdapun beberapa rukun wakaf ialah:1) Yang berwakaf, syaratnya:- Berhak berbuat kebaikan walau bukan Isalam sekalipun- Kehendak sendiri, ridak sah karena dipaksa2) Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya:- Kekal zakatnya, berarti bila diambil manfaatnya, barangnya tidak rusak.- Kepunyaan yang mewakafkan walaupun musya (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain).3) Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).4) Lafadz wakaf, seperti: saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin dan sebagainya.2.5.3 Syarat WakafSyarat wakaf ada tiga, yaitu: 1) Tabid, yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.2) Tanjiz, yaitu diberikan waktu ijab kabul.3) Imkan-Tamlik, yaitu dapat diserahkan waktu itu juga2.5.4 Hukum Wakaf1) Pemberian tanah wakaf tidak dapat ditarik kembali sesudah diamalkannya karena Allah.2) Pemberian harta wakaf yang ikhlas karena Allah akan mendapatkan ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat dimanfaatkan oleh umum dan walaupun bentuk bendanya ditukar dengan yang lain dan masih bermanfaat.3) seseorang tidak boleh dipaksa untuk berwakaf karena bisa menimbulkan perasaan tidak ikhlas bagi pemberiannya.BAB IIIKESIMPULANUntuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Quran dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.Adapun di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, zakat memiliki dua fungsi baik untuk yang menunaikan zakat maupun yang menerimanya. Dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat higga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain zakat, ada pula yang namanya wakaf. Wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi yakni fungsi ibadah dan fungsi sosial.Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan. Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang. Wassalamualaiku wr.wrb. DAFTAR PUSTAKASuito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia: Jakarta. Mansur, Hamdan. 2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam. Depag RI: Jakarta.Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat: Bandung. Suryana, A. Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara: BandungSudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Prenada Media: Jakarta. http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/

Pendahuluan Masyarakat madani, yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), kata ini sangat sering disebut sejak kekuatan otoriter orde baru tumbang selang satu tahun ini. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan harapan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat manarik parameter-parameter ketercapaian. Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas. Masyarakat Sipil Vs Militer Dalam tataran praktis sementara orang melihat, masyarakat madani dianggap sebagai institusi sosial yang mampu mengkoreksi kekuatan militer yang otoriter. Dalam arti lain masyarakat sipil memiliki konotasi sebagai antitesa dari masyarakat militer. Oleh sebab itu eksistensi masyarakat sipil selalu dianggap berjalan linier dengan penggugatan Dwi Fungsi ABRI. Dengan begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru yang dicita-citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan militer. Maka dengan demikian dinamika kehidupan sosial dan politik harus memiliki garis batas pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan dan keamanan. Koreksi kritis terhadap peran sosial ABRI bagi sementara orang merupakan keharusan sejarah setelah melihat betapa rezim lama memposisikan ABRI sebagai backing untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok ekonomi kuat tertentu yang memiliki akses bagi penguatan legitimasi politik Soeharto. Sementara mereka tidak melihat komitmen yang sebanding untuk fungsi substansialnya yakni pertahanan dan keamanan. Berlanjutnya kerusuhan di beberapa tempat dan terancamnya rasa aman masyarakat, serta kekurangprofesionalan dalam teknik penanganan pada kasus-kasus politik tertentu merupakan bukti kuat bahwa militer tidak cukup memiliki kecakapan pada fungsi utamanya. Maka sangat wajar bila kader-kader militer dipersilahkan untuk hengkang dari posisi eksekutif dan legislatif, ke tempat yang lebih fungsional yakni barak-barak. Kekurangsetujuan terhadap implementasi Dwi Fungsi ABRI, khususnya tugas kekaryaan, sebenarnya syah-syah saja namun masalahnya apakah masyarakat madani tepat bila hanya dipersepsikan sebagai bentuk peminggiran peran militer. Kebutuhan untuk keluar dari rasa takut akibat distorsi peran militer selama masa orde baru menyebabkan terjadinya proses kristalisasi konsep masyarakat madani yang berbeda dengan konsep bakunya. Dengan kata lain telah terjadi gejala contradictio internemis pada wacana masyarakat madani dalam masyarakat kita dewasa ini. Masyarakat Sipil Vs Negara Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa dari masyarakat politik atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme. Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan peran masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan non-pemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil kepada rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai dan penjaga keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar kepentingan dalam masyarakat. Dengan kata lain perlu adanya reposisi struktural dan kultural antar komponen dalam masyarakat, sederhananya, serahkan urusan rakyat pada rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam. Penggugatan peran pemerintah oleh rakyat dalam konstelasi sosial di Indonesia bukan sama sekali baru. Bob S.Hadiwinata (1999) mencatat sejarah panjang gerakan sosial di Indonesia, yakni sejak abad ke-19 sampai masa orde baru. Menurutnya pemerintahan orde baru, Soeharto, telah berhasil mengangkangi hak-hak sipil selama 32 tahun, dengan apa yang ia sebut tiga strategi utama. Dan selama itu pula proses marjinalisasi hak-hak rakyat terus berlangsung, untuk kepentingan sekelompok pengusaha kroninya, dengan bermodalkan slogan dan jargon pembangunan. Celakanya rembesan semangatnya sampai pada strata pemerintahan yang paling bawah. Camat, lurah, sampai ketua RT pun lebih fasih melantunkan slogan dan jargon yang telah dipola untuk kepentingan ekonomi kuat. Tetapi sementara mereka menjadi gagap dalam mengaksentuasikan kepentingan rakyatnya sendiri. Maka yang terjadi, pasar yang telah mentradisonal menghidupi ribuan masyarakat kecil di bongkar untuk dijadikan mall atau pasar swalayan. Demikian pula, sawah dan kebun petani berubah fungsi menjadi lapangan golf. Perubahan yang terjadi di luar jangkauan kebutuhan dan pemikiran masyarakat karena mekanisme musyawarah lebih banyak didengungkan di ruang penataran ketimbang dalam komunikasi sosial. Masyarakat Peradaban dan Jahiliyah Umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat peradaban, masyarakat madani, atau civil society, adalah Nabi Muhammad, Rosullullah s.a.w sendiri yang memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tersebut. Setelah perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang berarti, Allah telah menunjuk sebuah kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat peradaban yang dicita-citakan. Di kota itu Nabi meletakan dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan. Untuk meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik, Nabi diijinkan untuk memperkuat diri dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh peradaban. Hasil dari proses itu dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan dilandasi ketaqwaan dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama dalam tatanan masyarakat ini adalah pada penekanan pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan pada tataran vertikal. Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan semangat rabbaniyah atau ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat insyanyah atau basyariah yang melandasi komunikasi horizontal. Sistem sosial madani ala Nabi s.a.w memiliki ciri unggul, yakni kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, dan demokratisasi. Esensi ciri unggul tetap relavan dalam konteks waktu dan tempat berbeda, sehingga pada dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tanpa mengusik kepentingan dan keyakinan kelompok minoritas. Mengenai hal yang terakhir ini Nabi s.a.w telah memberi cotoh yang tepat, bagaimana sebaiknya memperlakukan kelompok minoritas ini. Mungkinkah terwujud? Berdasarkan kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani, adalah ditemukannya fenomena, (a) demokratisasi, (b) partisipasi sosial, dan (c) supremasi hukum; dalam masyarakat. Pertama, sehubungan dengan karakteristik pertama yakni demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) social society berkaitan dengan public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu. Sementara itu untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut dalam konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi secara berimbang. Maka dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar komponen bangsa, terutama pelaku praktis politik, merupakan bagian yang terpenting dalam menuju masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Kedua, partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural maupun struktural kehidupan bangsa. Dan menempatkan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumentasi sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang untuk mengekpresikan partisipasinya dalam proses perubahan. Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah, menjadi simbol-simbol yang dihadapi secara permanen gerakan masyarakat sipil. Mereka senantiasa berusaha keras mempertahankan status quo tanpa memperdulikan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa orde baru cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak dipakai ketimbang partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di hampir seluruh proses pembangunan yang terjadi. Namun kemudian terbukti pemasungan partisipasi secara akumulatif berakibat fatal terhadap keseimbangan sosial politik, masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, dan berakhir dengan protes-protes sosial serta pada gilirannya menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sistem yang berlaku. Dengan demikian jelaslah terbukti bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus ada dalam masyarakat madani. Demokrasi tanpa adanya partisipasi akan menyebabkan berlangsungnya demokrasi pura-pura atau pseudo democratic sebagaimana demokrasi yang dijalankan rezim orde baru. Ketiga, penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Al-Quran menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas hukum. Ini bisa terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen bangsa untuk iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati bersama. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali (laissez faire). Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu. Penutup Seperti telah dikemukakan di atas, masyarakat madani membutuhkan institusi sosial, non-pemerintahan, yang independen yang menjadi kekuatan penyeimbang dari negara. Posisi itu dapat ditempati organisasi masyarakat, maupun organisasi sosial politik bukan pemenang pemilu, maupun kekuatan-kekuatan terorganisir lainnya yang ada di masyarakat. Akan tetapi institusi tersebut selama orde baru relatif dikerdilkan dalam arti lebih sering berposisi sebagai corong kepentingan kekuasaan ketimbang menjadi kekuatan swadaya masyarakat. Hegemoni kekuasaan demikian kuat sehingga kekuatan ril yang ada di masyarakat demikian terpuruk. Padahal merekalah yang sebenarnya yang diharapkan menjadi lokomotif untuk mewujudkan masyarakat madani. Ada memang beberapa LSM yang secara konsisten memainkan peranan otonomnya akan tetapi jumlahnya belum signifikan dengan jumlah rakyat Indonesia yang selain berjumlah besar juga terfragmentasi secara struktural maupun kultural. Fragmentasi sosial dan ekonomi seperti itu sangat sulit mewujudkan masyarakat dengan visi kemandirian yang sama. Padahal untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi membutuhkan kesamaan visi dan kesadaran independensi yang tinggi. Dengan demikian boleh jadi masyarakat peradaban yang kita cita-citakan masih membutuhkan proses yang panjang. Dan boleh jadi hanya impian manakala pro status quo tetap berkuasa. Kepustakaan: Bob S.Hadiwinata, Masyarakat Sipil Indonesia: Sejarah, Kelangsungan, dan Transformasinya, dalam Wacana (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif). Edisi 1.Vo.1,1999. Craig Calhoun, Social Theory of the Politics of Identity, Blackwell Publihers, USA,1994. Nezar Patria, dan Andi Arief, Antonio Gramci: Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar 1999. Neera Chandoke, State and Civil Society: Exploration in Political Theory. New Delhi dan London: Sage Publication,1955. Nico Schulte Nordholt, Menyokong Civil Society dalam era Kegelisahan, dalam Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Sindhunata (eds.).Kanisius, 1999. Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, 1999. ? http://rully-indrawan.tripod.com/rully01.htm

Istilah masyarakat madani sebenarnya merupakan istilahbaru dari hasil pemikiran Prof. Naquib al-Attas. Ia adalahseorang fi losof kontemporer dari Malaysia. Di Indonesia,istilah masyarakat madani atau civil society baru populerpada dasawarsa 1990-an. Pada awalnya, istilah masyarakatmadani di Indonesia bermula dari gagasan Dato AnwarIbrahim. Menteri Keuangan dan Asisten Perdana MenteriMalaysia itu berkunjung ke Indonesia membawa istilahmasyarakat madani sebagai terjemahan civil society. Istilahmasyarakat madani disampaikan dalam ceramahnya padasimposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah di acaraFestival Istiqlal, 26 September 1995.Namun sebenarnya, istilah tersebut dikemukakan olehCicero dalam fi lsafat politiknya. Ia menyebut dengan istilahsocieties civillis. Pada awalnya, istilah tersebut identik dengannegara. Namun dalam perkembangannya, istilah societiescivillis dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakatyang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yangtinggi, berhadapan dengan negara, serta keterikatan dengannilai-nilai atau norma hukum yang dipatuhi masyarakat.Menurut W.J.S. Poerwadarminto, kata masyarakat berarti suatu pergaulan hidup manusia,sehimpunan orang yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan dan aturan yangtertentu. Sedangkan kata madani berasal dari bahasa Arab yaitu madinah, yang artinya kota.Dengan demikian masyarakat madani secara etimologis berarti masyarakat kota. Meskipundemikian, istilah kota tidak merujuk semata-mata kepada letak geografi s, tetapi justru kepadakarakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita pahambahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebihpenting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban.Menurut rumusan PBB, masyarakat madani adalah masyarakat yang demokratis danmenghargai human dignity atau hak-hak tanggung jawab manusia. Adapun dalam frasabahasa Latin, masyarakat madani merupakan padanan frasa civillis societies. Artinya adalahsuatu masyarakat yang didasarkan pada hukum dan hidup beradab. Dalam bahasa Inggris,masyarakat madani dikenal dengan istilah civil society. Artinya adalah masyarakat yangmenjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.Dalam perkembangannya, istilah masyarakat madani dipahami para ahli berdasarkanlingkungan masing-masing. Defi nisi tersebut merupakan hasil analisis dan kajian darifenomena masyarakat. Berikut ini beberapa pengertian masyarakat madani.a. Zbighiew RauMasyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yangmengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaingsatu sama lainnya guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Sistem nilai yang harus adadalam masyarakat madani menurut Zbighiew Rau adalah:1) individualisme,2) pasar (market),3) pluralisme.b. Han Sung JooMasyarakat madani adalah sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hakhakdasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yangmampu mengartikulasi isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikandiri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma dan budaya yang menjadiidentitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalamcivil society inic. Anwar IbrahimMasyarakat madani adalah masyarakat ideal yang memiliki peradaban maju dan sistemsosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antarakebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat, yaitu masyarakat yang cenderungmemiliki usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran seni, pelaksanaan pemerintahanuntuk mengikuti undang-undang bukan nafsu, demi terlaksananya sistem yang transparan.d. Nurcholish MadjidMasyarakat madani adalah suatu tatanan kemasyarakatan yang mengedepankan toleransi,demokrasi, dan berkeadaban serta menghargai akan adanya pluralisme (kemajemukan).e. A.S. HikamA.S. Hikam mendefi nisikan pengertian masyarakat madani berdasarkan istilah civilsociety. Menurutnya, civil society didefi nisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosialyang terorganisasi dan bercirikan:a. Kesukarelaan (voluntary), artinya tidak ada paksaan, namun mempunyai komitmenbersama untuk mewujudkan cita-cita bersama.b. Keswasembadaan (self generating), artinya setiap anggota mempunyai harga diri yangtinggi.c. Keswadayaan (self supporting), artinya kemandirian yang kuat tanpa menggantungkanpada negara, atau lembaga atau organisasi lain.d. Kemandirian yang tinggi terhadap negara, artinya masyarakat madani tidak tergantungpada perintah orang lain termasuk negara.e. Keterkaitan dengan norma-norma hukum, yang artinya terkait pada nilai-nilai hukumyang disepakati bersama.Dari beberapa defi nisi di atas, dapat dirangkum bahwa masyarakat madani adalah sebuahkelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dannegara, memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, dan memiliki lembagalembagayang mandiri dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik. pengertian masyarakat madani 9out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

http://handikap60.blogspot.com/2013/03/pengertian-masyarakat-madani.html

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahWacana dan praksis tentang civil society belakangan ini semakin surut. Kecenderungan ini sedikit mengherankan karena dalam transisi menuju demokrasi, seharusnya wacana dan praksis civil society semakin kuat, bukan melemah. Alasannya, eksistensi civil society merupakan salah satu diantara tiga prasyarat pokok yang sangat esensial bagi terwujudnya demokrasi.Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun kota budaya bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan .Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.Selanjutnya, wacana tentang masyarakat madani oleh banyak bangsa dan masyarakat di negara berkembang, secara antusias ikut dikaji, dikembangkan, dan di eliminasi, sebgaimana realitas empiris yang dihadapi.

B. Rumusan MasalahAgar tidak terjadi kesimpang siuran dari penuliasan makalah ini, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:1. Apakah pengertian masyarakat madani?2. Apakah karakter mayarakat madani?3. Apakah pilar penegak masyarakat madani?

C. Tujuan PenulisanBerdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan yaitu:1. Untuk mengetahui pengertian masyarakat madani2. Untuk mengetahui karakter masyarakt madani3. Untuk mengetahui pilar penegak masyarakat madani

BAB IIPEMBAHASAN

1. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANIKonsep Masyarakat Madani Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata civil society atau al-muftama' al-madani.Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralisme)Dalam mendefinisikan tema masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi social cultural suatu bangsa, kareana bagai mana pun konsep masyarakat madani merupakan bangunan tema terakhir dari sejarah bangsa Eropa Barat.Sebagai titik tolak, disini dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani menurut para ahli:Pertama; Definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rew dangan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang di maksud masyarakat madani merupakan suatu yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Maka yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara.Kedua; oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik. Gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan indenpenden, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi indentitas dan solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society.Ketiga; oleh Kim Sun Hyuk ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam msyarakat yang secara relative. Secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyrakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentingan publik. Keempat: menurut Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah (terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"). Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah agama (dina) yang excellent (paramount) yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban (madani).Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah (masyarakat agama dan masyarakat madani) memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad (Kamaruddin Hidayat, 1999:267).

Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern. Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan (pluralisme), dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural. Dari uraian di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Antonio Rosmini, dalam The Philosophy of Right, Rights in Civil Society (1996: 28-50) yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: Universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan (prevalence of force) adalah empat ciri yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan "kebaikan dari dan untuk bersama". Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan (the tendency to equalize the share of utility). Keenam, jika masyarakat madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" (the common good), kujuan akhir memang kebajikan publik (the public good). Ketujuh, sebagai "perimbangan kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan, masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan (seigniorial or profit). Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat (a beneficial power). Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogin (Mufid, 1999:213). Lebih lanjut, menurut Mufid, menyatakan bahwa masyarakat madani terdiri dari berbagai warga beraneka "warna", bakat dan potensi. Karena itulah, masyarakar madani di sebut sebagai masyarakat "multi-kuota" (a multi quota society). Maka, secara umum sepuluh ciri tersebut sangat ideal, sehingga mengesankan seolah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi SAW yang relatif memenuhi syarat tersebut. Memang, masyarakat seideal masyarakat madinah telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" (ahsanul qurun qarni) - terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa periwayatnya (Mufid, 1999:213-214). Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype masyarakat idial. Maka, prototype masyarakat madani tersebut, pada era reformasi ini, nampaknya akan upayakan untuk diwujudkan di Indonesia atau dengan kata lain akan ditiru dalam wacana masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.2. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANIKaraketeristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani, karateristik tersebut antara lain:1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. 2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi :a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)b. Pers yang bebasc. Supremasi hokumd. Perguruan Tinggie. Partai politik3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya a. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum meratab. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakatc. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneterd. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatase. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besarf. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi

3. PILAR PENEGAK MASYARAKAT MADANIYang dimaksud dengan pilar masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari sosial control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakkan masyrakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut antara lain adalah:1. Lembaga Swadaya masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyrakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas.2. Pers merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena kemungkinannya dapat mengkiritis dan menjadi bagian dari sosial control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya.3. Supremasi Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum.4. Perguruan tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral Force untuk menyalurkan aspirasi masyrakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut. Menurut Riswandi Immawan, perguruan tinggi memiliki tiga peranan dalam mewujudkan masyarakat madani. Pertama, pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis, kedua membangun mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak manipulatif. Ketiga melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara santun dan saling menghormati.5. Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga Negara, maka partai politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya masyrakat madani.

4. MASYARAKAT MADANI INDONESIAMasyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.Menurut Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia, yaitu :

a. Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.b. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.c. Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi.

Fakta model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hakim bahwa di Era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target-target group yang paling strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses.

BAB IIIPENUTUP

KesimpulanMayarakat madani dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka.Karakteristik masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalam penegakkan masyarakat madani. Diantaranya yaitu ruang public yang bebas, demokratisasi, toleransi, pluralisme, keadilan social, partisipasi social, dan supremasi hukum.Masyarakat madani juga harus mempunyai pilar-pilar penegak, karena berfungsi sebagai mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat, dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi, Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani,Jakarta, Tim ICCE UIN, Jakarta, 2000

http://ishthesyndicate.blogspot.com/2013/03/1024x768-normal-0-false-false-false.html