Makalah maqamat dan ahwal

20
MAKALAH KERANGKA BERFKIR ‘IRFANI (Dasar Filosofi Ahwal dan Maqamat) Disusun : Dessy Wulandari Efitasari Rio Santoso DOSEN PENGAMPU : AGUS SHOLIKHIN,S.Si.,M.Pd.I SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AS-SHIDDIQIYAH LEMPUING JAYA KAB. OKI SUM-SEL TAHUN AKADEMIK 2015

Transcript of Makalah maqamat dan ahwal

MAKALAH

KERANGKA BERFKIR ‘IRFANI

(Dasar Filosofi Ahwal dan Maqamat)

Disusun :

Dessy Wulandari

Efitasari

Rio Santoso

DOSEN PENGAMPU : AGUS SHOLIKHIN,S.Si.,M.Pd.I

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

AS-SHIDDIQIYAH

LEMPUING JAYA KAB. OKI SUM-SEL

TAHUN AKADEMIK 2015

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

Rahmad, Taufik Serta Hidayahnya sehingga kami masih di beri kesempatan untuk

menyelesaikan Makalah yang berjudul “Dasar-dasar Falsafi dan Maqamat dan

Ahwal” dengan lancar tanpa ada kesulitan sedikitpun.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Agus

Sholikhin,S.Si.,M.Pd.I selaku Dosen Pembibing kami yang telah memberikan

arahan kepada kami sehingga kami dapat menerapkan semua yang telah di ajarkan

beliau guna untuk menyempurnakan Makalah yang kami selesaikan ini.

Ucapan terimakasih juga tak lupa saya sampaikan kepada teman-tema

yang telah berjuang dengan keras untuk menyelsaikan makalah ini. Semoga

makalah kami ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada

umunya.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih banyak

sekali kekuranganya sehingga kami masih memerlukan kritik dan saran yang

membangun guna untuk memperbaiki makalah selanjutnya.

Lempuig Jaya, Februari 2015

Penyusun

iii

DAFTAR ISI

Halaman Depan ........................................................................................ i

Kata Pengantar ......................................................................................... ii

Daftar Isi .................................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1

BAB II Pebahasan

2.1 Pegertian Maqamat Dan Ahwal ..................................................... 2

2.2 Perbedaan Maqam Dan Ahwal ..................................................... 5

2.3 Maqomat-Maqomat Dalam Tasawuf ............................................. 5

2.4 Akhwal-Akhwal Yang Di Jumpai Dalam Perjalanan Sufi............. 10

2.5 Metode Berfikir Irfani .................................................................... 14

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 16

3.2 Saran ................................................................................................ 16

Daftar Pustaka ........................................................................................... 17

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu tujuan hidup umat manusia menurut Islam adalah mengabdikan

diri kepada Allah Swt. Secara umum yang dikatakan pengabdian mencakup

berbagai aktivitas manusia yang sifatnya baik (positif). Namun secara lebih

khusus, sebagian orang melakukan praktek-praktek ibadah yang lebih

maksimal, dan menurut mereka keadaan seperti itu adalah sebaik-baik upaya

mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam diri setiap manusia terkandung dua dimensi yang berbeda, yaitu

jasmani yang lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah disini bukan sekedar bersih

dari noda, namun lengkap dengan potensi kodrati yang bersifat spiritual.

Dengan potensi inilah manusia diberi kepercayaan untuk menjadi kholifah fil

ardhi serta memerankan fungsi-fungsi ketuhanan dimuka bumi.

Jika manusia didalam dirinya telah terkandung potensi kebaikan,

keluhuran ataupun kesempurnaan sebagai bekal khalifah di bumi, lalu

bagaimana potensi tersebut dapat dikembangkan dan diaktualisasikan ?

banyak teori yang berbicara mengenai hal ini yang salah satunya adalah

tasawuf.

Sebagaimana yang telah dijalani oleh beberapa tokoh besar sufi yang

menjalani hidupnya penuh dengan ketaqwaan serta manjalankan beberapa

maqam dan dikaruniai berbagai hal sehingga menjadikan hidupnya penuh

dengan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat. Mereka merasa sangat

dekat dengan tuhan-Nya.

Oleh karena itu, perlu kiranya bagi kita untuk mempelajari tasawuf beserta

maqamat dan ahwalnya yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk

mencapai kedudukan yang sangat mulia dimata tuhan-Nya.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa definisi Maqamat Dan Ahwal?

2. Apa Perbedaan Maqam Dan Ahwal?

3. Sabutkan Maqomat-Maqomat Dalam Tasawuf?

4. Sebutkan Akhwal-Akhwal Yang Di Jumpai Dalam Perjalanan Sufi?

5. Bagaimana Metode Berfikir Irfani?

2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PEGERTIAN MAQAMAT DAN AHWAL

2.1.1 Maqam

Maqamat adalah jama' dari maqam, yang berarti tempat atau kedudukan

(station). Dalam Sufi terminology : The Mystical Language Of Islam, maqam

diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual1.

Merupakan perjuangan salik dalam menempuh jalan (suluk) nya, agar

dapat terus meningkat dari maqam yang satu ke maqam yang lain. Perjuangan

ini harus ditegakkan melalui latihan (riyadhah) dan perjuangan (mujahadah),

atau melalui usaha teguh salik untuk menegakkan dan memenuhi hak-hak

yang diminta, dengan niat yang jelas.

2.1.2 Maqamat (Bentuk Jamak Dari Maqam)

Adalah tahap-tahap yang ditempuh oleh salik dalam tarekat (thariqah) nya

kepada Tuhannya. Disebut sebagai 'maqam' untuk kemantapan dan

kepastiannya.

2.1.3 Hal

Merupakan keadaan yang dikehendaki oleh salik tanpa ada

pilihan baginya. Sebagaimana musafir di jalanan nyata kerap

menghadapi masalah dan kejadian tak terduga yang berada di luar

rencana atau pilihannya, demikian pula dengan salik yang

menempuh jalan menuju Allah. Tak jarang dia dihadang oleh

keadaan-keadaan dan masalah-masalah rohaniah yang sesaat-saat

akan lenyap. Inilah yang disebut hal.

1 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2002) cet.

Pertama hal. 25

3

2.1.4 Ahwal (Bentuk Jamak Dari Hal)

Timbul di dalam kehidupan ruhiyah dan merupakan akibat yang

ditimbulkan oleh suluk maqamat sampai mencapai jenjang nafsu yang

diridhai. Disebut sebagai hal kerana keadaannya yang tidak tetap dan terus

berubah.

Pengertian Lain

Maqam datang dari hasil usaha dan curahan tenaga, sedangkan hal datang

dari desakan-desakan kedermawanan. Atau dapat juga dikatakan, maqamat

adalah hasil sedangkan ahwal adalah pemberian.

Dengan demikian, salik tidaklah meminta maqamat karena dzatnya,

melainkan bahawa ia merupakan tahap-tahap yang memotong rintangan-

rintangan jiwa di jalan yang menuju pada puncak atau sasaran, yaitu

pendekatan dengan Allah.

Maqamat tidak berjalan sesuai dengan kehendak orang yang

menginginkan (murid), bukan pula kerana ilmunya, kekuasaannya, atau

kekuatannya, melainkan karena kurnia, taufik, serta pengarahan Tuhannya.

Allah berfirman:

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. (Al-

Qashash: 68)

Dan berfirman pula:

4

…..

Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya.

(Al An'aam: 112)

Sedangkan Rasulullah saw. bersabda:

"Tidak akan masuk syurga salah satu dari kalian kerana amalnya." Para

sahabat bertanya, "Termasuk Anda, Rasulullah?" Beliau menjawab, "Benar,

termasuk aku, kecuali bila aku diliputi oleh rahmat-Nya."

Demikian pula halnya dengan maqam, yang merupakan kedudukan yang

bertahap-tahap dan anak tangga maknawi. Naiknya salik ke tahap yang lebih

tinggi merupakan hasil dari mujahadahnya. Dia tidak dapat berpindah ke

tahap yang lebih tinggi sebelum kukuh di tahap yang sebelumnya dan

kesinambungannya dalam mujahadahnya.

Hal ini mampu datang menurut cara negatif mahupun positif. Dengan cara

negatif adalah menyelamatkan diri dari keburukan jiwa, dan hal ini akan

lenyap lebih dahulu. Sedangkan cara positif adalah membekali diri dengan

tahalli di dalam keberangkatannya.

Al Ghazali berkata, "Melepaskan sesuatu yang tidak seharusnya

merupakan syarat untuk mengosongkan tempat dengan sesuatu yang

seharusnya, atau wajib menghapuskan ruparupa yang tersembunyi dan yang

berhubungan dengan hal itu, sampai dia dipenuhi oleh masalah-masalah yang

mulia, sehingga jiwa insani siap untuk menerima kebaikan-kebaikan setelah

dikosongkan dari keburukan-keburukan."

Analogi yang boleh diterapkan dalam masalah sufi ini, jiwa insani adalah

serupa tanah, sedangkan akhlak adalah laksana tanaman. Si penanam harus

mencabut lalang-lalang pengganggu dari tanah tempat tumbuhnya, sebelum

menanam benih yang boleh berbuah, maka seseorang juga harus mencabuti

5

keburukan yang berserabut di dalam jiwanya sebelum menaburkan

benihbenih kebaikan.

2.2 PERBEDAAN MAQAM DAN AHWAL

Perbedaan maqamat dan ahwal :

a. Maqam Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih

cita-cita dan tujuannya mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t

seperti memperbanyak zikir, beramal soleh dan sebagainya. Oleh karena

itu, dalam perjalanan spritualnya, seorang sufi pasti menempuh beberapa

tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan Maqamat/stasiun (jama’ dari

maqam). ( Syamsun Ni'am, 2001: 51)

b. Ahwal Keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai

maqam tertentu.

Menurut Al-Thusi, keadaaan ( hal ) tidak termasuk usaha latihan - latihan

rohaniyah. Dan para sufi menegaskan perbedaan maqam dan hal. Maqam

ditandai dengan kemapanan sedangkan hal justru mudah hilang. Maqam

dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal

dapat diperoleh sese-orang tanpa sengaja. Istilah kompleksnya, bahwa hal

sama dengan bakat, sementara maqam diperoleh dengan daya dan upaya (

Rosihan Anwar, 2008 : 77 ).

2.3 MAQOMAT-MAQOMAT DALAM TASAWUF

Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara

lain2:

1. Taubat

Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang

dilegalkan Allah SWT. dan diajarkan Rasulullah s.a.w.

2 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., Akhlak Tasawuf, hlm. 194

6

Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan

perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.

Al-Ghazali menyatakan, bahawa hakikat taubat adalah kembali dari

maksiat menuju taat3, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang

dekat.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni

itu mengandungi tiga unsur:

a. Taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa

pun melainkan bertaubat karenanya;

b. Membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat,

sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk

bertaubat.

c. Menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat

mengurangi rasa keikhlasan, Khauf kepada Allah s.w.t dan

menginginkan karunia-Nya.

2. Zuhud

Secara bahasa Zuhud : Zuhd (Arab) darwis; pertapa dalam Islam; orang

yang meninggalkan kehidupan duniawi, mempunyai sikap tidak

terbelenggu oleh hidup kebendaan4.

Amin Syukur (1997: 1) menambahkan, zuhud berarti mengasingkan diri

dari kesenangan dunia untuk ibadah. Sedangkan orang yang memiliki

sikap zuhud disebut zahid.

3 ibid., hlm. 194 4 menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian dan

al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama' berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud.

Sebagian mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud didalam masalah yang haram, karena yang halal

adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberi nikmat berupa harta

yang halal kemudian dia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri.

Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu

kewajiban. Lihat Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., Akhlak Tasawuf, hlm. 195

7

Al-Ghazali mengatakan, zuhud berarti membenci dunia demi mencintai

akhirat (Abdul Fattah, 2000: 117).

Sedang menurut, Abu Sulaiman al-Darani dalam Simuh , zuhud adalah

meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Allah.

Al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah,”bahwa tangan terbebas dari

harta dan hati terbebas dari angan-angan.

Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para

ulama. Misalnya surat Al-Hadid ayat 20-23 :

Artnya :

20. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah

permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah

antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,

seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani;

kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning

kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan

ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak

lain hanyalah kesenangan yang menipu.

21. berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari

Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang

disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-

Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-

Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.

22. tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada

dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)

sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah

mudah bagi Allah.

8

23. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita

terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu

gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah

tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,

[1459] Yang dimaksud dengan terlalu gembira: ialah gembira yang melampaui batas

yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah.

3. Faqr (Fakir)

Ibrahim ibn Ahmad Al-Khawwash ra. Berkata, ”Kefakiran adalah jubah

dari mereka yang mulia, pakaian dari mereka yang telah diberikan sebuah

misi, perhiasan para budiman, mahkota kaum bertakwa, hiasan para

Mukmin, rampasan para’arifin, peringatan bagi pencari, benteng bagi

para ’abid, dan penjara bagi para pendosa .

Simuh (1997:62) mengutip, Abu Bakar al-Mishri berkata ”Fakir yang

sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak

menginginkan sesuatu”

4. Sabr (Sabar)

Firman Allah swt. dalam QS. Az-Zumar [39]: 10

Artinya : Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah

kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini

memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya

9

hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka

tanpa batas.5

Al-Ghazali mengatakan,”Sabar berarti bersemayamnya pembangkit

ketaatan sebagai ganti pembangkit hawa-nafsu.”

Al Junaid berkata bahwa sabar itu, ”menanggung beban demi Allah

s.w.t. hingga saat-saat sulit tersebut berlalu”.

Sedang menurut Sahl At-Tusturi, ”sabar berarti menanti kelapangan (jalan

keluar, solusi) dari Allah.”

5. Syukur

Abdul Fattah Sayyid Ahmad (2000: 124) dalam bukunya Tasawuf: antara

Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, tidak memisahkan antara sabar dan syukur.

Bahkan menurut beliau, sabar dan syukur adalah dua buah kata yang

digunakan untuk menyebut satu makna. Menguatnya motivasi agama

dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang

dorongan syahwat, disebut ’sabar’. Menguatnya dorongan agama dalam

melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang motivasi

agama, disebut ’syukur’. Al-Junaid mengatakan “Bersyukur adalah bahwa

engkau tidak memandang dirimu layak menerima nikmat

6. Tawakal

Kata’tawakal’ diambil dari akar kata ’wakalah’. ”Dia mewakilkan

urusannya kepada si fulan”. Kata ’mewakilkan’ di sini berarti

’menyerahkan’ atau ’mempercayakan’.

Tawakal berarti menggantungkan hati hanya kepada ’al wakil’ (tumpuan

perwakilan) .

5 menurut Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dan sikap

yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan

tanpa menunjukkan rasa kesal. Hlm, 200

10

Abu Bakar Al-Zaqaq berkata, ketika ditanya tentang tawakal, ”hidup untuk

satu hari menenangkan kepedulian akan hari esok”. Ruwaim mengatakan,

tawakal adalah percaya akan janji.

Dan Sahl ibn ’Abdullah berkata bahwa tawakal itu, ” Menyerahkan diri

kepada Allah dalam urusan apa pun yang Allah kehendaki”.

7. Ridha (Rela)

Ridha berarti penerimaan, tetapi ia juga berarti kualitas kepuasan dengan

sesuatu atau seseorang. Ridha digambarkan sebagai”keteguhan di hadapan

qadha”. Allah s.w.t. menyebutkan ridha dalam kitab-Nya,

…..

...

Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya (QS. Al-

Maidah[5]:119);

……

….

Dan keridhaan Allah adalah lebih besar (QS Al-Taubah [9]:72).

2.4 AKHWAL-AKHWAL YANG DI JUMPAI DALAM PERJALANAN

SUFI

Hal-hal yang dimaksud adalah al ahwal yang dialami para salik dalam

menempuh perjalanan menuju ma’rifatullah6. Al ahwal tersebut di antaranya:

muhasabah dan muraqabah, qarb, hubb, raja’ dan khauf, syauq,

uns,thuma’ninah, musyahadah dan yakin. (Rosihan Anwar dan Mukhtar

Solihin, 2000:74).

Namun berikut ini adalah penjelasan dari beberapa hal-hal saja:

6 Hasyim Muhammad hanya saja hal tidak datang dengan tanpa kesadaran namun kedatangan hal

bahkan harus menjadi kepribadian seseorang. jika ditelaah lebih mendalam, keberadaan maqamat

dan ahwal tidak lain hanya untuk mempertegas komitmen seorang muslim dalam shahadat tauhid

atau dengan kata lain maqamat merupakan penjabaran dari syahadat tauhid. hlm. 27 ." ال اله اال هللا"

11

1. Muhasabah dan Muraqabah

Kedua hal ini dikaji secara bersamaan oleh sebagian sufi. Sebab,

keduanya memiliki fungsi yang sama yakni menundukan perasaan

jasmani yang berasal dari nafsu dan amarah.

Muhasabah (Introspeksi)

Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata,

‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya

sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan

orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa

nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam

Turmudzi), ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’) Hadits di atas

menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam

menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan

rangkaian dari sebuah planning dan misi besar seorang hamba, yaitu

menggapai keridhaan Rab-nya.

Allah s.w.t. menjelaskan dalam Al-Qur’an:

“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan

sendiri-sendiri.” (lihat QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’(21):1)

Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali dkk.(2004: 93-94), muhasabah sesudah

beramal itu ada tiga:

a. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan.

b. Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalka

daripada dikerjakan.

c. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, atas dasar apa ia

melakukannya.

Muraqabah (Keterjagaan)

12

Praktik sufi yang sangat penting ialah keterjagaan. Kata Arabnya

muraqabah. Ini dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan

keadaan diri sendiri.

2. Hubb (Cinta)

Cinta dalam bahasa Arab disebut al-hubb atau mahabbah yang berasal

dari kalimat habbahubban-hibban yang berarti waddahu, punya makna

kasih atau mengasihi (Louis Ma’luf dalam Syamsun Ni’am, 2001: 111).

Dalam Al-Quran banyak dijumpai kata-kata al-hubb atau mahabbah

yang bermakna cinta. Diantaranya QS. Al-Baqarah [2]: 165.

Al-Ghazali berkata, cinta adalah kecenderungan naluriah kepada sesuatu

yang menyenangkan. Al Junaid berkomentar tentang cinta, ”cinta berarti

merasuknya sifat-sifat sang kekasih mengambil alih dari sifat-sifat

pecinta”.

Ketika Rabi’ah al Adhawiyah ditanya tentang cinta, dia menjawab,

”antara orang yang mencintai (muhibb) dan orang yang dicintai (mahbub)

tidak ada jarak (Syamsun Ni’am, 2001: 117).

Ibnu Rajab Al-Hambali dkk (2004: 127) mengatakan, cinta yang paling

bermanfaat, yang paling wajib, yang paling tinggi, dan yang paling mulia

adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati

cinta kepada-Nya dan menjadikan seluruh makhluk memiliki fitrah untuk

mengesakan-Nya.

Artinya, hakikat cinta hanya diperuntukan kepada Allah swt., rab yang

Maha Mencintai dan pantas dicintai.

3. ArRaja’ dan Khauf (berharap dan takut)

Menurut kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling

mempengaruhi (Anwar dan Solihin, 2000: 75).

Ar Raja’(Berpengharapan kepada Allah)

13

Raja’ diartikan berharap atau optimisme , yaitu tenang dan senangnya hati

karena menunggu sesuatu yang dicintai.

Firman Allah swt: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang

yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan

rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.Al-

Baqarah [2]: 218)

Ada tiga hal yang dipenuhi oleh orang yang raja’ terhadap

sesuatu. Yaitu:

a. Mencintai yang diharapkannya.

b. Takut akan kehilangannya,

c. Usaha untuk mendapatkannya

Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara di atas, hanyalah angan-

angan semata. Setiap orang yang ber-raja’ pastilah ia orang yang ber-

khauf (takut).

Khauf (Takut kepada Allah)

Abu Hafsh berkata, khauf /takut adalah cambuk Allah s.w.t. yang

digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari

ambang pintu-Nya (Mulyad dalam Syamsun Ni’am, 2001: 65). Khauf

dikatakan pula sebagai ungkapan derita hati dan kegundahannya terhadap

apa yang akan dihadapi. Sehingga mampu mencegah diri dari bermaksiat

dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan (Ibnu Rajab dkk, 2005:

147).

4. Uns (Intim)

Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa kesepian

(Anwar dan Solihin, 2000: 76).

14

Untuk mendeskripsikan uns ini, simak petikan syair sufistik berikut: ”Ada

orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu

memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta. Seperti halnya

sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang merasa bising

dalam kesepian..

Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu

berada dalam pemeliharaan Allah” Syair tersebut menggambarkan sekilas

perasaan keintiman para sufi dengan Tuhan. Istilah ’intim’ di sini, jelas

bukan merujuk pada pengertian hubungan sesama makhluk. Intim hanya

digunakan sebagai simbol bahasa dalam memahami kedalaman hubb

(cinta) hamba kepada Allah swt. yang disimbolkan sebagai sang kekasih.

5. Rindu (shauq)

Selama masih ada cinta, Syauq tetap di perlukan. Dalam lubuk jiwa

seorang sufi, rasa rindu hidup denaga subur, yakni rindu untuk segeran

bertemu dengan Tuhan. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan maut dapat

mempertemukanya dengan Tuhan, sebab itu idup merintangi pertemuan

‘abid dengan ma’budn-Nya.

2.5 METODE BERFIKIR IRFANI

Berikut penjelasan masing-masing bagian dari metode irfani :

1. Riyadhah

Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar

tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya (Solihin, 2003: 54).

2. Tafakur (Refleksi)

Secara harfiah ’Tafakur’ berarti memikirkan sesuatu secara mendalam,

sistematis dan terperinci (Gulen, 2001: 34).

Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah

sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah,

perilaku anggota badan juga akan berubah.. Al-Quran dalam beberapa

15

ayatnya menggerakan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya.

Dalam surat Ali Imran [3] ayat 190-191.

3. Tazkiyat An-Nafs

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah

mengilhamkan kepada jiwa itu(jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan

sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. Asy-Syams [91]:

7-10).

Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri atas dua kata, yaitu

’tazkiyat’ dan ’an-nafs’. Kata ’tazkiat’, berasal dari bahasa Arab, yakni

isim mashdar dari kata ’zakka’ yang berarti penyucian (Ma’aluf dalam

Solihin, 2003: 130). Kata ’an-nafs’ berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan

begitu dapat diketahui Tazkiyat An-Nafs bermakna penyucian jiwa.

Tazkiyat An-Nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang

diemban Rasulullah saw. Perihal tersebut dapat dilihat dalam QS Al-

Jumu’ah [62]: 2.

Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat, Tazkiyat An-Nafs adalah

mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifaq,

sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju

keridhaan Allah (Ath-Thakhisi dalam Solihin, 2003: 131).

Sedang menurut Al-Ghazali dalam Solihin, (2003: 133), Tazkiyat An-

Nafs pada intinya diorientasikan pada arti takhliyat an-nafs (pengosongan

jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat annafs (penghiasan jiwa dengan sifat

terpuji.

4. Dzikrullah

Istilah ’zikr’ berasaldari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan,

mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin,

2004: 85).

Berikut penjelasannya:

16

1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang

beriman dituntut oleh Allah untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-

Nya (lihat QS. Al-Ahzab [33:41).

2. Madzkur (Tuhan yang diingat).

3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri. Meliputi berbagai bentuk.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya adalah

sebagai berikut :

a. Dalam maqamat terdapat beberapa tingkatan dan untuk mencapai

tingkatan tertinggi harus memenuhi persyaratan yang ada pada

maqam dibawahnya.

b. Maqamat adalah dapat kita raih dengan usaha yang kita lakukan

untuk mendekatkan diri pada Tuhan (Allah SWT.) sedangkan

Ahwal adalah karunia yang diberikan Allah kepada kita.

c. Pada hakekatnya maqamat hanya penjabaran dari kalimat syahadat

tauhid yaitu له اال هللاال ا

3.2 SARAN

Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang maqamat dan ahwal

Tasawuf. Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun

target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun

teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan

sesudahnya kami ucapkan terima kasih.

17

DAFATAR PUSTAKA

Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,(Yokyakarta

:Pustaka Pelajar Offse, 2002)

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf,

Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta: Srigunting, 2001.

Mukhtar Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung:

CV Pustaka Setia, 2003.

Mukhtar Solihin, Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf,

Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.

Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000.

http://www.sisyat86inspiriete.blogspot.com/2008/04/kerangka-berpikir-irfani-dasar-

dasar.html