Maqamat & Ahwal

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan akhir dari perjalanan sufi adalah untuk mengenal dan berada sedekat mungkin dengan Allah dan sekaligus disana akan diperoleh kebahagiaan yang hakiki. Jalan yang harus ditempuh agar bisa sampai disana, menurut Al-Ghazali, disamping harus mengamalkan seluruh ajaran syariat, juga harus menempuh jalan panjang yang berjenjang atau al- maqamat. Dikalangan sufi orang pertama yang membahas masalah al-maqamat barangkali adalah Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (w. 243 H). Ia digelari al- Muhasibi karena kegemarannya melakukan muhassabah atau intropeksi diri. Menurutnya, perhitungan dan perbandingan terletak diantara keimanan dan kekafiran, antara kejujuran dan kekhianatan, antara tauhid dan syirik serta antara ikhlas dan riya. Hampir satu angkatan dengannya muncul al-Surri al- saqathi (w.257 H) dengan pendapatnya, ada empat hal yang harus ada dalam kalbu seseorang, yaitu rasa takut hanya kepada Allah, rasa harap hanya kepada Allah, rasa cinta hanya kepada Allah dan rasa akrab 1

description

Makalah

Transcript of Maqamat & Ahwal

Page 1: Maqamat & Ahwal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan akhir dari perjalanan sufi adalah untuk mengenal dan berada

sedekat mungkin dengan Allah dan sekaligus disana akan diperoleh

kebahagiaan yang hakiki. Jalan yang harus ditempuh agar bisa sampai disana,

menurut Al-Ghazali, disamping harus mengamalkan seluruh ajaran syariat,

juga harus menempuh jalan panjang yang berjenjang atau al-maqamat.

Dikalangan sufi orang pertama yang membahas masalah al-maqamat

barangkali adalah Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (w. 243 H). Ia digelari al-

Muhasibi karena kegemarannya melakukan muhassabah atau intropeksi diri.

Menurutnya, perhitungan dan perbandingan terletak diantara keimanan dan

kekafiran, antara kejujuran dan kekhianatan, antara tauhid dan syirik serta

antara ikhlas dan riya. Hampir satu angkatan dengannya muncul al-Surri al-

saqathi (w.257 H) dengan pendapatnya, ada empat hal yang harus ada dalam

kalbu seseorang, yaitu rasa takut hanya kepada Allah, rasa harap hanya

kepada Allah, rasa cinta hanya kepada Allah dan rasa akrab hanya kepada

Allah. Kemudian tampil pula Abu Sid al-Kharraz (w. 277 H) dengan formasi

lengkap serial dan fase perjalanan sufi.

Siapapun yang pertama menyusun al-maqamat tidaklah dipermasalahkan,

tetapi yang pasti adalah bahwa sejak abad tiga hijriah setiap orang yang ingin

mencapai tujuan tasawuf atau ingin menjadi sufi, ia harus menempuh jalan

yang berat dan panjang, melakukan berbagai macam latihan amalan, baik

yang bersifat amalan lahiriah maupun amalan bathiniyah. Kendatipun

pengetahuan ketasawufan itu pada dasarnya bersifat refetatif, namun dapat

dipelajari melalui tahapan-tahapan tertentu yang disebut al-maqamat. Apakah

tujuannya hanya sekedar ingin mendekatkan diri kepada Allah , ataukah

tujuan ma’rifah dan mahabbah, ataukah sampai pada ittihad, setiap orang

harus melalui tahapan-tahapan tadi. Penamaan jenjang-jenjang itu adalah

1

Page 2: Maqamat & Ahwal

karena sifatnya yang mapan atau langgeng. Artinya seorang salik harus

mapan lebih dahulu pada satu tingkat, baru ia boleh beralih ketingkat

berikutnya, kondisi kejiwaan pada saat peralihan itu disebut al-hal.

2

Page 3: Maqamat & Ahwal

BAB II

PEMBAHASAN

A. MAQAMAT

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat

orang berdiri atau pangkal mulia.1 Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal

dengan istilah stages yang berarti tangga.2 Hal itu menggambarkan bahwa

maqamat itu seperti tangga pencapaian yang harus ditempuh seseorang sufi

untuk berada dekat dengan Allah. Maka seorang hamba harus menyelesaikan

dan menyempurnakan tangga sebelumnya untuk mencapai maqam

berikutnya.

Tentang berapa jumlah dan macam-macam maqamat yang harus ditempuh

oleh seorang hamba untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi

memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut al-Ghazali yang diuraikan

dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, maqamat terdiri dari delapan tingkat,

yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakal, mahabbah, ridha dan ma’rifat.3 Menurut

As-Sarraj ath-Thusi, maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat,

wara’, zuhud, faqr, sabar, dan tawakal.4 Sedangkan menurut Muhammad al-

Kalabazy, maqamat terdiri dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat, zuhud, sabar,

faqr, tawadhu’, takwa, tawakal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.5

Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat

yang berbeda-beda, namun ada maqomat yang oleh mereka disepakati, yaitu

taubat, zuhud, wara’, faqr, sabar, tawakal dan ridha. Sedangkan tawadhu’,

mahabbah dan ma’rifat oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat

karena ketiga istilah tersebut (tawadhu’, mahabbah dan ma’rifat) terkadang

para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang

1 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 193; Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 3622 MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 243; John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 5503 Ibid., h. 244; Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din Jilid III, (Beirut: Daral-Fikr), h. 162-1784 Ibid., h. 244; Abdul Halim Muhmud, Tasawuf di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 395 Ibid., h. 244

3

Page 4: Maqamat & Ahwal

menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah

dengan tuhan).6 Penjelasan semua tingkatan itu adalah sebagai berikut:

1. Taubat

Taubat berasal dari bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti

“kembali” dan “penyesalan”.7 Sedangkan pengertian taubat bagi

kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai

dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak

mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan

kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.8

2. Zuhud

Zuhud secara harfiah berarti meninggalkan kesenangan dunia, atau

tidak ingin sesuatu yang bersifat keduniawian.9 Menurut pandangan

para sufi, zuhud secara umum diartikan suatu sikap melepaskan diri

dari rasa ketergantungan terhadap kahidupan duniawi dengan

mengutamakan kehidupan ukhrawi.10 Zuhud menurut Moh. Sholeh,

zuhud adalah menafikkan segala sesuatu yang menghalangi jalan

menuju Allah.

3. Sabar

Sabar, secara harfiah, berarti tabah hati.11 Secara terminologi, sabar

adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam

pendirian.12 Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar

berarti menjauhkan diri dari hal-hal bertentangan dengan kehendak

Allah, tetap tenang ketika menghadapi cobaan dan menampakkan

6 Abudin Nata, op. cit., h. 1947 MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2012), h. 244; Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, kamus kontemporer, 6078 Ibid., h. 244; Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 589 Ibid., h. 247; Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, kamus kontemporer, 102310 Ibid., h. 247; M. Sholihin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, 27011 Ibid., h. 250; Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, at-Tasawwuf bayna, 118-11912 Ibid., h. 251; M. Solihin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, 185

4

Page 5: Maqamat & Ahwal

sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam keadaan kefakiran.13

Berdasarkan pengertian tersebut, maka sabar erat hubungannya dengan

pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh

karena itu, sifat sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus

melalui latihan yang sungguh-sungguh.14

4. Wara’

Secara harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari

perbuatan dosa.15 Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-

hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara’ adalah

meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara

halal dan haram (syubhat).16

5. Faqr / Fakir

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang

berhajat, butuh atau orang miskin.17 Sedangkan dalam pandangan sufi

fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.

Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan

kewajiban-kewajiban.18

Dalam Al-Qur’an istilah ini digunakan dengan mengacu pada dua

makna. Pertama, digunakan dalam konteks sosial ekonomi. Kedua

dalam konteks eksistensi manusia. Dalam konteks sosial ekonomi, faqr

mengandung makna seseorang yang penghasilannya setelah bekerja

tidak mencukupi kebutuhannya. Dinamakan faqr karena masih

membutuhkan bantuan untuk meningkatkan taraf hidup. Sedangkan

13 Ibid., h. 251; Al-Qusyairi an-Naisabury, ar-Risalah al-Qusyairiyah (Mesir: Dar al-Khair), 18414 Ibid., h. 25115 Abudin Nata, loc. cit., h. 199; Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 49716 Ibid., h. 19917 Ibid., h. 200; Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 32118 Ibid., h. 200

5

Page 6: Maqamat & Ahwal

dalam konteks eksistensi manusia, faqr mengandung makna bahwa

semua manusia secara universal membutuhkan Allah.19

6. Tawakal

Tawakal secara harfiah berarti menyerahkan diri.20 Pengertian

umumnya adalah pasrah dan menyerahkan segalanya kepada Allah

setelah melakukan suatu rencana atau usaha.21 Sikap ini erat kaitannya

dengan amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas semata-mata karena

Allah dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Menurut Al-

Qusyairi, tawakal tempatnya di hati dan terjadi setelah hamba

meyakini bahwa segala ketentuan hanya di dasarkan pada ketentuan

Allah. Semuanya adalah takdir Allah.22

Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakal adalah

apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan

orang yang memandikannya, ia mengikuti semuanya yang

memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak.23

7. Ridha / Rela

Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution

ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Tuhan.

Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan

benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan

senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka

sebagaimana merasa senang menerima nikmat.24 Tidak meminta surga

dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.25

19 MKD IAIN Sunan Ampel., op. cit. h. 253-25420 Ibid., h. 255; Mahmud Yunus, Kamus Arab, 50621 Ibid., h. 255; A. Rivay Siregar, Tasawuf, 12122 Ibid., h. 255; Al-Qusyairi an-Naisabury, ar-Risalah, 16323 Abudin Nata, loc. cit., h. 20224 Ibid., h. 20325 MKD IAIN Sunan Ampel., loc. cit. h. 257; Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) 203

6

Page 7: Maqamat & Ahwal

8. Mahabbah

Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang

berarti mencintai secara mendalam.26 Mahabbah artinya cinta. Hal ini

mengandung maksud cinta kepada Tuhan. Lebih luas lagi, bahwa

“Mahabbah” memuat pengertian yaitu :

a. Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan membenci sikap yang

melawan kepda Tuhan.

b. Berserah diri kepada Tuhan.c. Mengosongkan perasaan di hati dari segala-galanya kecuali dari Zat

Yang Dikasihi.

Tentang” Mahabbah” dapat di jumpai dalam Al-Qur’an antara lain:Surat Ali Imran ayat 31:Artinya:“katakanlah: “jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutilha aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.

Dalam ajaran tasawuf Mahabbah dikaitkan dengan ajaran yang di sampaikan oleh seorang sufi wanita bernama Rabiah AL-‘Adawiyah. Mahabbah adalah paham tasawuf yang menekankan perasaan cinta kepada Tuhan.

Tuhan bukanlah suatu zat yang harus ditakuti, tapi seblaiknya zat yang harus di cintai dan didekati. Untuk dapat mencintai dan dekatdengan Tuhan, maka sekarang harus banyak melakukan peribadatan dan meninggalkan kesenangan duniawi.

Aliran Tasawuf Mahabbah kedudukanya sejajar denagn aliran –aliran Tasawuf lainnya seperti ma’rifat (penngetahuan), Al-fana’ dan Al-baqa’ (kehancuran dan ketetapan), dan Al-Itihad (persatuan). Itihad dapat berbentuk Al-Qulul (pengambilan tempat) ataupun wujud (kesatuan wujud). Paham-paham tersebut sering di sebut stasiun-stasiunb(maqammat) yang berada di atas tingkatan taubat, zuhud,sabar, tawakal dan ridha.27

9. Ma’rifah

26 Mahmud Yunus, Kamus Arab, 96.27 Mustofa, akhlak tasawuf (Bandung : Pustaka Setia,2010), h.240-242

7

Page 8: Maqamat & Ahwal

Istilah marifah berasal dari kata Al-Ma’rifah, yang berarti

mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila di hbungkan dengan

penglaman tasawuf, maka istilah ma’rifah disini berarti menganl allah

ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Kemudian istilah ini

di rumuskan oleh beberpa ulama tasawuf, antara lain;

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah sau pendapat ulama

tasawuf mengatakan :

“ma’rifah adalah ketetaan hati (dalam mempercayai hadirnya)

wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala

kesempurnaanya.

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahan Al-Kadiriy megemukakan

pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan “ ma’rifah

adalah hadirnya kebenaran allah (pada sufi) dalam keadaan hatinya

selalu berhubungan dengan nur illahi

Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai

kepada tngkatan ma’rifah. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan

ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun

Nun Al-Mishri yang mengataka ada beberpa tanda yang dimiliki oleh

sufi bila sudah smapai pada tingkatan ma’rifah, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma’rifah dalam segala sikap dan

perilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang

berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hla yang

nyata menurut ajaran tasawuf, belum tntu benar.

c. Tidak menginginkan nikmta Allah yang banyak buat

dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan

yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang sufi tidak

membututukan kehiduan yang mewah , kecuali tingkatan

kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan

8

Page 9: Maqamat & Ahwal

iadahnya kepada Allah SWT, sehingga Asy Syekh

Muhammad bin Al-fadhal mengatakan bahwa ma’rifah

yang dmilki sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan

batin bagi padanya, karena merasa selalu bersama-sama

dengan Tuhannya.

Salah satu tokoh ma’rifat adalah Al-gazali, ma’rifah ialah

mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan

tentang segala yang ada. Sedangkan ma’rifah dan mahabbah menurut

al-gazali adalah tingkatan tinggi bagi seorang sufi. Dan pengetahuan

ma’rifah lebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal.28

B. Hal Ahwal

Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti

keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal

adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani

dan tidak mampu bertahan lama. Sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah

kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seorang

hamba pada suwatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang

mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.29

Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan

senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang bisa disebut

sebagai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-taqwa),

ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd),

berterimakasih (al-syukr).30

Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi

diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula

28 Ibid., h. 251-25829 MKD IAIN Sunan Ampel., loc. cit. h. 262-26330 Abudin Nata, loc. cit., h. 204

9

Page 10: Maqamat & Ahwal

dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi

bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan. 31

Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas maka tidak ada

perbedaan yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba

ketika hatinya telah bersih dan suci.

Sebagaimana halnya dengan maqamat. Dalam penentuan hal juga terdapat

perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al-hal yang paling banyak

disepakati adalah sebagai berikut :

1. Al-Muraqabah

Muraqabah adalah kesadaran diri bahwa kita selalu berhadapan

dengan Allah dalam keadaan apa pun dan dialah yang selalu mengawasi

segala apa pun yang kita lakukan. Muraqabah ini merupakan keadaan hati

yang dihasilkan oleh pengenalan terhadap Allah. Keadaan ini akan

membuahkan amal perbuatan baik yang dilakukan oleh anggota badan

maupun hati. Menumbuhkan sikap selalu siap dan waspada bahwa dalam

keadaan apa pun diawasi oleh Allah SWT. Memandang bahwa Allah

selalu dekat bersama kita dan mengetajui apa yang dilakukan oleh

hambanya. Sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi :

Menurut al-Ghazali, seorang yang muraqabah dapat melakukannya

sebanyak dua kali : (1) muraqabah dilakukan dengan mengamati seluruh

gerak dan diamnya badan serta gerak hati dan (2) dilakukan dengan

mengamati cara dalam melaksanakan amal untuk memenuhi hak Allah

dan selalu menyempurnakan niatnya selama menyelesaikan amalnya.32.

Muraqabah saat melakukan kebajikan difokuskan dengan bertanya pada

diri sendiri : “Apakah kebajikan itu dilakukan dengan ikhlas dan menjaga

kebaikan dari penyakit?” Muraqabah terhadap maksiat dilakukan dengan

bertaubat, menyesal dan meninggalkan maksiat tersebut.

31 Ibid., h. 20532 Abdul Fattah Muhammmda Sayyid Ahmad, at-Tasawuf, 139.

10

Page 11: Maqamat & Ahwal

2. Al-Khauf

Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah

karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut atau khawatir kalau Allah

tidak senang kepadanya. Menurut al-Ghazali, khauf adalah rasa sakit

dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenangi di

masa mendatang.33

Orang yang selalu merasa takut maka timbullah sikap untuk selalu

berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah

SWT dan mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang positif dan

terpuji serta menjauhi perbuatan tercela. Perasaan khauf timbul karena

pengenalan dan kecintaan kepada Allah yang sudah mendalam.

Berkaitan dengan Khauf ini banyak ayat al-Quran yang

menjelaskannnya, diantaranya adalah:

3. Raja’

Raja’ adalah berharap atau perasaan hati yang senang karena

menanti sesuat yang diinginkan atau disenangi, sebagiman al-Ghazali

mendefinisakannya dengan suatu keadaan di mana hati merasa nyaman

karena menanti sesuatu yang dicintai atau didambakan. 34

Seorang hamba yang memiliki pengharapan yang besar kepada

Allah SWT akan mengakibatkan timbulnya kerinduan yang mendalam

pula kepada-Nya. Tanda seorang hamba yang memiliki harapan pada

Allah yaitu manakala seorang hamba menerima nikmat dan anugrah, maka

ia selalu bersyukur.35 Berkaitan dengan raja’ dalam al-Quran terdapat ayat

yang menjelaskan hal itu, diantaranya:

33 Imam al-hazali, Ihya’ Ulum ad-din, Jilid IV, 155.34 Imam al-hazali, Ihya’ Ulum ad-din, Jilid IV, 143.35 Al-Qusyairi, ar-Risalah, 134.

11

Page 12: Maqamat & Ahwal

4. Thuma’ninah

Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau

khawatir, tak da yang mendapat perasaan dan pikiran, karena ia telah

mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi.

5. Al-Uns

Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu

berteman, tak pernah merasa sepi. 36 Dalam keadaan seperti ini seorang

sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada

yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya,

sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam

situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya.

6. Musyahadah

Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata

kepala. Secara terminologi adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa

yang sicarinya(Allah) atau penyaksian terhadapa kekuasaan dan

keagungan Allah. 37 seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah

merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya

dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya

tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang

menjadi senjangan antara sufi dengan Allah.

Jadi dapat disimpulkan bahwasannya dalam Maqam dan Hal ada

Perbedaan di antara-Nya adalah :

1. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh

melalui usaha , melainkan anugrah dan rakhmat dari tuhan.

2. Maqam relatif bersifat tetap, di mana satu maqam telah diraih, maka

sang sufi tinggal meraih maqam berikutnya yang lebih tinggi dan

36 M. Sholihin dan Rasihan Anwar, Kamus Tasawuf, 245.37 A. Rivay Siregar, Tasawuf , 136.

12

Page 13: Maqamat & Ahwal

seterusnya sampai merasa sadar berada berada dihadirat tuhan.

Sedangkan hal bersifat sementara. Ia dating dan pergi, kadang-kadang

ia muncul dan sebentar lagi tenggelam dalam hati seorang sufi

ditengah perjalanan panjangnya meraih kedekatan sedekat mungkin di

hadirat Allah SWT.

13

Page 14: Maqamat & Ahwal

DAFTAR PUSTAKA

IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN SA Perss

................................................ 2012. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN SA Perss

Nata, Abudin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia

14