makalah Konsitusi

26
Latar Belakang Lembaran awal sejarah praktik pengujian Undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun 1803. Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu Undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsel menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusu yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Masa Penyusunan UUD 1945 Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian Undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh

Transcript of makalah Konsitusi

Page 1: makalah Konsitusi

Latar Belakang

Lembaran awal sejarah praktik pengujian Undang-undang (judicial review)

bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat

dipimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun 1803.

Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian

kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan

menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan

konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu

Undang-undang bertentangan dengan konstitusi.

Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir

pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-

1973). Hans Kelsel menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang

legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif

diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau

tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional.

Untuk itu perlu diadakan organ khusu yang disebut Mahkamah Konstitusi

(constitutional court).

Masa Penyusunan UUD 1945

Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai

pengujian Undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah

diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa

seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk

"membanding Undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan

judicial review. Namun usulan Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan

bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan

konsep pemisah kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian

kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan

Undang-undang bukan menguji Undang-undang; dan ketiga, kewenangan hakim

untuk melakukan pengujian Undang-undang bertentangan dengan konsep

supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide akan pengujian

Page 2: makalah Konsitusi

Undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi

dalam UUD 1945.

Masa Reformasi 1998

Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-

2004), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin

menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK

diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana

dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam

Perubahan Ketiga

Masa Pembentukan Dasar Hukum

Selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut,

Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang

Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya,

akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan

disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga,

UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan

dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun

2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek

waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus

sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21.

Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi

menjadi hari lahir MKRI.

Masa Penetapan Hakim Konstitusi

Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip

keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen hakim

konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA.

Setalah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-

masing lembaga tersebut, masing-masing lebaga mengajukan tiga calon hakim

konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.

Page 3: makalah Konsitusi

DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H.

Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan

Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof.

H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL.Sementara

MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H.

dan Maruarar Siahaan, S.H.

Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya

dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden

Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan

para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah

mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung bekerja menunaikan tugas

konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.

Masa Pemantapan Kelembagaan

Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi

membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat

administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk

pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris

Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR,

sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas

konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala

Biro Majelis MPR, Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt)

Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustsus 2003 hingga 31 Desember 2003.

Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan

Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif.

Dalam perkembangganya, Oka Mahendra mengundurkan diri karena sakit, dan

pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedjri M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK

yang baru menggantikan Oka Mahendra.

Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas

membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial.

Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran

permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan permohonan,

pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara

Page 4: makalah Konsitusi

Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persidangan MK.

Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK

adalah Marcel Buchari, S.H. yang di kemudian hari secara definitif digantikan

oleh Drs. H, Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.

Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK,

pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai

salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mulai

beroperasinya kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan MA dalam

melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan

Peralihan UUD 1945.

Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim konstitusi periode pertama (2003-

2008) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk.

Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU),

10 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Periode pertama hakim konstitusi

berakhir pada 16 Agustus 2008. Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut

tiga hakim konstitusi berhenti karena telah memasuki usia pensiun (berdasarkan

Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK, usia pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun),

yakni Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh

Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica

Marzuki, S.H. yang posisinya diganti oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H.,

M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya diganti oleh DR. H.

Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru menggantikan

tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode

kedua (2008-2013).

Di periode kedua ini, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Abdul

Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR. Achmad Sodiki,

S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden. Kemudian

Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk yang kedua kali) dan Muhammad Akil

Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali

Maruarar Siahaan, S.H. yang sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode

pertama. Dengan demikian di periode kedua MK terdapat tina nama lama dan

Page 5: makalah Konsitusi

enam nama baru. Akan tetapi dalam perkembangannya, Prof. DR. Jimly

Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi yang berlaku

efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan digantikan oleh DR. Harjono, S.H.,

MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 24 Mare 2009, sedangkan Prof.

H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari

2010 memasuki usia pensiun dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H.,

M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan

sumpah pada tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim konstitusi inilah

yang sekarang menjalankan tuga-stuga konstitusional Mahkamah Konstitusi.

Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara pada

16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan memberikan pelayanan dan

dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim Konstitusi. Demikian pula

belum ada kantor sebagai tempat bekerja para Hakim Konstitusi. Pada saat itu,

alamat surat menyurat menggunakan nomor telepon seluler Prof. DR. Jimly

Asshiddiqie, S.H

Masa Pemenuhan Sarana dan Prasarana

Keterbatasan sarana dan kurangnya dukungan teknis bagi pelaksanaan tugas-tugas

Hakim Konstitusi merupakan persoalan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan

dengan segera. Setelag melalui pembahasan di kalangan Hakim Konstitusi,

akhirnya diputuskan dua hal.

Pertama, meminta bantuan tenaga dari Sekretariat Jenderal MPR untuk

memberikan dukungan administrasi umum dan MA untuk tenaga administrasi

justisial. Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika yang terletak di Jalan KS.

Tubun, Slipi, Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor sementara. Tidak lama

kemudian, MK berpindah kantor dengan menyewa ruangan di gedung Plaza

Centris di Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya di lantai 4

dan lantai 12A. Namun demikian, ruangan yang tersedia bagi MK di Plaza Centris

masih jauh dari memadai. Karena keterbatasan ruang tersebut, para pegawai MK

berkantor di lahan parkir kendaraan yang disulap menjadi ruang kantor modern.

Seiring dengan itu, Ketua MK mengangkat Janedjri M. Gaffar sebagai Plt. Sekjen

pada tanggal 4 September 2003 dan pada 1 Oktober 2003 menangkan Marcel

Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.

Page 6: makalah Konsitusi

Meskipun sudah memiliki kantor, keterbatasan saran masih menjadi persoalan

bagi MK. Selama berkantor di Hotel Santika dan Plaza Centris, MK harus

meminjam Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka) Kompleks MPR/DPR, salah satu

ruang di Mabes Polri dan salah satu ruang di Kantor RRI sebagai ruang sidang

karena belum memiliki ruang sidang yang representatif. Hal ini tentu saja menjadi

hambatan bagi mobilitas kerja para Hakim Konstitusi sekaligus ironi bagi

lembaga negara sekaliber MK yang mengawal konstitusi sebagai hukum tertinggi

di negeri ini. Karena itu, ketika merumuskan Cerak Biru "Membangun Mahkamah

Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya",

gagasan pembangunan gedung MK mendapat penekanan tersendiri.

Setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat

milik Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada tahun

2004, barulah MK bisa menggelar persidangan di kantor sendiri. Meski demikian,

ruangan dan fasilitas yang tersedia di gedung tersebut masih belum memadai,

terutama ketika MK harus menangani perkara yang menumpuk dan membutuhkan

peralatan-peralatan canggih sebagaimana terjadi pada Pemilu 2004. Ketika

melakukan pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilihan umum Legislatif

2004, ruang persidangan yang ada di gdung MK tidak mencukupi sehingga MK

meminjam ruang di gedung RRI yang terletak tidak jauh dari kantor MK. Begitu

juha ketika haru menggelar persidangan jarak jauh, MK harus meminjam ruang

dan fasilitas teleconference di Ma

Kewajiban dan wewenang

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:

Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD

1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

Pemilihan Umum Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

menurut UUD 1945.

Page 7: makalah Konsitusi

Ketua

Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa

jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU

24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5

tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa

jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).

Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar

hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada

rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus

2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18

Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr.

M. Laica Maerzuki, SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari

generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica

Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang

menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di Indonesia. Di akhir

masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah

satu ikon keberhasilan reformasi Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan

Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada

para hakim generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana

bagi mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.

Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk

dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah

dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan

tempat mengadakan studi tour. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang

baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan untuk memilih

Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan

menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar

sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober

2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH mengunduran diri dari anggota MK dan

kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.

Page 8: makalah Konsitusi

Hakim Konstitusi

Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh

Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah

Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa

jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali

masa jabatan berikutnya.

Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:[1]

1. Mohammad Mahfud MD (Ketua)

2. Harjono (2009-), menggantikan Jimly Asshiddiqie (2008-2009)

3. Maria Farida Indrati

4. Ahmad Fadlil Sumadi (2009-), menggantikan Maruarar Siahaan (2008-

2009)

5. Hamdan Zoelva (2009-), menggantikan Abdul Mukthie Fajar (2008-2009)

6. Muhammad Alim

7. Achmad Sodiki

8. Muhammad Arsyad Sanusi

9. Muhammad Akil Mochtar

Pada akhir 2009, Maruarar Siahaan dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa

pensiun. Mereka kemudian digantikan oleh 2 hakim baru, yakni Hamdan Zoelva

yang menggantikan Abdul Mukthie Fajar dan Fadlil Sumadi yang menggantikan

Maruarar Siahaan.

Kepaniteraan

Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang

administrasi justisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri dari sejumlah

jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting unit hakim

konstitusi dalam penanganan perkara di MK

Rapat Permusyawaratan Hakim

Rapat Permusyawaratan Hakim (disingkat RPH) bersipat tertutup dan rahasia.

Rapat ini hanya dapat diikuti oleh Hakim konstitusi dan Panitera. Dalam rapat

inilah perkara dibahas secara mendalam dan rinci serta putusan MK diambil yang

Page 9: makalah Konsitusi

harus dihadiri sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. Pada saat RPH,

Panitera mencatat dan merekam setiap pokok bahasan dan kesimpulan

Sidang Pleno

Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh majelis hakim konstitusi minimal

dihadiri oleh tujuh hakim konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka untuk

umum dengan agenda pemeriksaan persidangan atau pembacaan putusan.

Pemeriksaan persidangan meliputi mendengarkan pemohon, keterangan saksi, ahli

dan pihak terkait serta memeriksa alat-alat bukti

Anggaran

Sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman, pelaksanaan tugas-tugas

MK berikut aktivitas dukungan yang diberikan oleh Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan MK dibiayai oleh Anggaaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Dalam setiap tahunnya, MK mendapat anggaran berdasarkan Dokumen Isian

Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian/Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan Opini Wajar Tanpa

Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan MK tahun anggaran 2006. Kemudian

pada laporan keuangan tahun 2007, 2008 dan 2009 MK kembali meraih predikat

WTP berturut-turut dari BPK.

Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman

bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-

cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara

Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa

penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti

dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya

dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh

Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun

tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebu

Page 10: makalah Konsitusi

Hindia Belanda

Pada tahun 1807 Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi Gubernur

Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan jajahan-jajahan Belanda

di Indonesia terhadap serangan-serangan pihak Inggris. Deandels banyak sekali

mengadakan perubahan-perubahan di lapangan peradilan terhadap apa yang

diciptakan oleh VOC, diantaranya pada tahun 1798 telah mengubah Raad van

Justitie menjadi Hooge Raad. Kemudian tahun 1804 Betaafse Republiek telah

menetapkan suatu Piagam atau Regeringsreglement buat daerah-daerah jajahan di

Asia. Dalam Pasal 86 Piagam tersebut, yang merupakan perubahan-perubahan

nyata dari zaman pemerintahan Daendels terhadap peradilan di Indonesia,

ditentukan sebagai berikut :

“Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut

hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan

alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada

dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapat-dapatnya dibersihkan

segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang

bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan degan hukum serta adat

anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat keadilan dengan jalan

yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-pengadilan negeri

ataupun dengan mangadakan pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula

mengadakan pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk

dari kekuasaan politik apapun juga.”

Piagam tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek segera

diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan di dalam “Piagam” tidak

sedikit memengaruhi Deandels di dalam menjalankan tugasnya.

Inggris

Sir Thomas Stamford Raffles, yang pada tahun 1811 diangkat menjadi Letnan

Gubernur untuk pulau Jawa dan wilayah di bawahnya, mengadakan perubahan-

perubahan antara lain :

Di kota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya dimana dulu ada Raad van Justitie,

didirikan Court Of Justice, yang mengadili perkara perdata maupun pidana. Court

of Justice yang ada di Batavia merupakan juga Supreme Court of Justice,

Page 11: makalah Konsitusi

pengadilan banding terhadap putusan-putusan Court onvoeldoende gemotiveerd

Justitie yang ada di Semarang dan Surabaya.

Kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda

Setelah peperangan di Eropa berakhir dengan jatuhnya Kaisar Napoleon, maka

menurut Konvensi London 1814, semua daerah-daerah jajahan Belanda yang

diduduki oleh Inggris, dikembalikan kepada negeri Belanda. Penyerahan kembali

Pemerintahan Belanda tersebut di atur dalam Staatsblad 1816 No.5, yang berisi

ketetapan bahwa akan dibuat Reglement yang mengatur acara pidana dan acara

perdata yang berlaku bagi seluruh Jawa dan Madura, kecuali Jakarta, Semarang

dan Surabaya dengan daerah sekitarnya. Bagi Jakarta, Semarang dan Surabaya

dengan daerah sekitarnya untuk perkara pidana dan sipil tetap menjadi kekuasaan

Raad van Justitie. Dengan demikian ada perbedaan dalam susunan pengadilan

buat Bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di kota-kota dan sekitarnya dan

bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di “desa-desa” (di pedalaman).

Untuk bangsa Eropa, berlaku susunan Pengadilan sebagai berikut :

Hooggerechtshof di Jakarta dengan Raad van Justitie yaitu masing-masing

di Jakarta, Semarang dan Surabaya.

Dengan Keputusuan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 No.2a (St.1847

No.23 yo No.57) yang diperlakukan tanggal 1 Mei 1948 (R.O) ditetapkan bahwa

Susunan Peradilan di Jawa dan Madura sebagai berikut :

1. Districtgerecht

2. Regentschapsgerecht

3. Landraad

4. Rechtbank van Omgang

5. Raad van Justitie

6. Hooggerechtshof

Dalam fungsi judisialnya, Hooggrechtshof memutus perkara-perkara banding

mengenai putusan–putusan pengadilan wasit tingkat pertama di seluruh Indonesia,

jikalau nilai harganya lebih dari £.500 dan mengenai putusan-putusan

residentiegerechten – di luar Jawa dan Madura.

Page 12: makalah Konsitusi

Pendudukan Jepang

Setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh Bala tentara Jepang,

maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.1 tanggal 8 Maret 1942, yang

menentukan bahwa buat sementara segala Undang-Undang dan peraturan-

peraturan dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu terus berlaku, asal tidak

bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang.

Mengenai peradilan sipil, maka dengan Undang-Undang 1942 No.14 ditetapkan

“Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentera Dai Nippon”. Atas dasar peraturan

ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil yang akan mengadili perkara-perkara

pidana dan perdata. Disamping itu dibentuk juga Kejaksaan.

Pengadilan-pengadilan bentukan Dai Nippon adalah sebagai berikut :

1. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan) lanjutan districtsgerecht dahulu.

2. Ken Hooi (Pengadilan Kabupaten) lanjutan regentschapgerecht dahulu.

3. Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan landgerecht dahulu.

4. Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)lanjutan Landraad dahulu, akan tetapi

hanya dengan seorang hakim saja (tidak lagi majelis ), kecuali terhadap

perkara tertentu apabila Pengadilan Tinggi menentukan harus diadili

dengan 3 orang Hakim.

Dengan dicabutnya Undang-Undang 1942 No.14 dan diganti dengan Undang-

Undang 1942 No.34, maka ada penambahan badan pengadilan diantaranya

Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad van Justitie dahulu dan

Saikoo Hooin (Mahkamah Agung), lanjutan dari Hooggerechtshof dahulu.

Susunan

Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang

sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung.

jumlah hakim agung paling banyak 60 (enam puluh) ora

impinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan

beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil

ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua bidang

yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda

agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang

nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.

Page 13: makalah Konsitusi

Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh

Presiden.

impinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan

beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil

ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua bidang

yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda

agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang

nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.

Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh

Presiden.

Kewajiban dan wewenang

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:

Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-

undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya

yang diberikan oleh Undang-Undang

Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi

Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberikan grasi dan

rehabilitasi

Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia adalah putusan Majelis Hakim

Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus

perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan

Niaga yang dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang

telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus

suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki

kekuatan mengikat secara relatif.

Putusan Mahkamah Agung tersebut akan diseleksi oleh Tim Khusus dan apabila

dianggap layak untuk menjadi Yurisprudensi maka akan dipublikasikan oleh

Mahkamah Agung. Judul atau Nama dari publikasi tersebut disesuaikan dengan

tahun terbitannya misalnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2006.

Penerbitkan buku tersebut biasanya dilakukan setiap tahun. Sedangkan putusan

yang diterbitkan oleh Puslitbang adalah hasil kajian atau penelitian terhadap

Page 14: makalah Konsitusi

putusan suatu kasus yang dianggap menarik. Penerbitan oleh Puslitbang ini belum

dilakukan secara reguler. Sayangnya jumlah eksemplar cetakannya dibatasi, yakni

disesuaikan dengan jumlah hakim yang ada di seluruh Indonesia dan jumlah

perpustakaan yang akan dikirimi publikasi tersebut.

Buku yurisprudensi ini dibagikan secara gratis. Namun karena banyak pihak lain

di luar korps hakim dan perpustakaan, khususnya kalangan pengacara, yang ingin

memiliki Yurisprudensi MA, maka biasanya pihak MA akan mencari dana di luar

dana APBN untuk mencetak lebih banyak lagi buku yurisprudensi tersebut dan

menjualnya ke masyarakat yang berminat.

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

1. FUNGSI PERADILAN

a Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan

pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan

hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar

semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan

secara adil, tepat dan benar.

b Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung

berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir

o semua sengketa tentang kewenangan mengadili.

o permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34

Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)

o semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan

muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan

peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang

Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)

c Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu

wewenang menguji/ menilai secara materiil peraturan perundangan

dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari

Page 15: makalah Konsitusi

isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih

tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun

1985).

2. FUNGSI PENGAWASAN

a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya

peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan

yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama

dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat

dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa

dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang

Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).

b. Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan :

- terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan

perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan

dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal

menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara

yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang

bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran

dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal

32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut

peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun

1985).

3. FUNGSI MENGATUR

a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan

bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang

belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung

sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum

yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27

Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14

Tahun 1985).

Page 16: makalah Konsitusi

b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana

dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur

Undang-undang.

4. FUNGSI NASEHAT

a Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-

pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain

(Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).

Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala

Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-

undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan

Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1),

Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan

pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga

rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum

mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-

undangan yang mengatur pelaksanaannya.

b Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi

petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka

pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38

Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

5. FUNGSI ADMINISTRATIF

a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10

Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris,

administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah

Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-

undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan

Mahkamah Agung.

b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,

susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-

Page 17: makalah Konsitusi

undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang

No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman).

6. FUNGSI LAIN-LAIN

Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat

(2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan

kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.