makalah KETENAGAKERJAAN
-
Upload
erik-sosanto -
Category
Documents
-
view
679 -
download
3
Transcript of makalah KETENAGAKERJAAN
i
TUGAS
MAKALAH HUKUM KETENAGAKERJAAN
Disusun Oleh:
NAMA : PEBRIANDI
PRAWIRO HARJO
NIM : EAA 110 015
EAA 110
JURUSAN : HUKUM
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2011
MAKALAH
ii
HAK DAN KEWAJIBAN PEKERJA/BURUH DENGAN PERUSAHAAN DIPANDANG
DARI UU NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
DOSEN PENGASUH : ANGGUK LAMIS ,SH
Disusun Oleh:
NAMA : ERIK SOSANTO
NIM : EAA 110 039
JURUSAN : HUKUM
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2011
i
iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan
Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai hukum ketenagakerjaan /
perburuhan.
Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban pekerja/buruh dengan perusahaan dipandang dari uu no
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan
menambah wawasan bagi orang yang membacanya tentang apa saja hak dan kewajiban
pekerja/buruh dengan perusahaan.
Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini
masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini.
Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya tentang hak dan kewajiban pekerja/buruh dengan perusahaan
dipandang dari uu no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
Palangka Raya, Oktober 2011
Penyusun
ii
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 2
1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1.Bagaimanakah aksi mogok kerja dapat dilakukan buruh sehingga
tujuan tercapai tanpa merusak keharmonisan hub industrial .................... 3
2.2.Bagaimana dan apa akibatnya jika aksi mogok kerja dilakukan dengan
cara-cara non kooperatif serta dilakukan dengan aksi yang melanggar
ketentuan yang ada .................................................................................... 6
2.3.Bagaimana sikap pengusaha dalam menyikapi aksi-aksi buruh untuk
menuntut perbaikan kesejahteran melalui aksi-aksi mogok kerja.... ......... 9
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 13
3.2. Saran ....................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Hak dan kewajiban pekerja/ buruh dalam hubungan industrialisasi dewasa ini telah
mengakibatkan timbulnya revolusi dibidang sosial ekonomi. Di satu pihak perkembangan
industrialisasi menimbulkan kemajuan ekonomi yang luar biasa, namun di lain pihak
menimbulkan berbagai masalah baik di bidang sosial, maupun di bidang ekonomi itu sendiri.
Persaingan antar pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar telah menimbulkan
kecenderungan bagi pengusaha untuk menekan buruh. Sebaliknya buruh sebagai pihak yang
menggantungkan hidup pada upah berusaha untuk mendapatkan upah yang tinggi untuk
memperjuangkan perbaikan kesejahteraan baik bagi diri si buruh sendiri, maupun bagi
keluarganya. Permasalahan klasik, bahwa diantara dua pihak, pengusaha dan buruh, sejak awal
memang terdapat perbedaan kepentingan yang sangat berbeda. Di satu pihak pengusaha
berupaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, yang kadang-kadang
dilakukan dengan berbagai macam cara, sampai-sampai melakukan “penindasan” tanpa
memperdulikan norma, etika dan peraturan perundang-undangan, bahkan rasa kemanusiaan, di
lain pihak buruh mempunyai kepentingan untuk berjuang mendapatkan upah dan kesejahteraan
yang setinggi-tingginya, juga dengan berbagai macam cara dan dalih, jika perlu dengan hasil
dan tingkat produktivitas yang serendah-rendahnya. Perbedaan kepentingan ini sangat
berpotensi menjadi pemicu terjadinya perselisihan kepentiangan (conflict of interest,
belangengeschil) yang kadang-kadang terpaksa harus dituntut melalui pemogokan atau mogok
kerja. Di samping itu, persoalan sering dipertajam oleh adanya perbedaan pandangan, bahwa
buruh adalah merupakan bagian dari alat produksi, dan pengusaha sebagai pemilik modal dan
alat produksi berada di posisi penentu (decision maker), demikian itu, pengusaha beranggapan
: bebas untuk menentukan besar-kecilnya upah, dan itu merupakan hak prerogatifnya.
Sebaliknya pihak buruh sering berpandangan bahwa (para) buruh adalah merupakan mitra
kerja dan bagian yang paling esensial dalam proses produksi, sebab buruhlan yang
menjalankan dan melakukan sebagian besar aktivitas proses produksi tersebut. Oleh karenanya
para buruh (pekerja) merasa bahwa mereka wajar jika dapat memperoleh bagian yang layak
dari hasil proses produksi tersebut. Permasalahan-permasalahan tersebut di atas, tidak pernah
selesai dan berujung pangkal dan merupakan “lagu lama” yang masih sering didengung-
dengungkan oleh masing-masing pihak, walau peraturan perundang-undangan dan sistem
hukum kita telah mengatur secara baik dan komprehensif.
Terlebih saat ini, semakin santer didengung-dengungkan yang mengumandangkan prinsip
good corporate governance menyampaikan pesan-pesan transparency, fairness, accountability
dan responsibility, sehingga buruh semakin bersemangat untuk menuntut adanya keterbukaan
(para) pengusaha dalam mengelola perusahaan (transparency), dan meminta membagi secara
adil hasil usaha di mana buruh turut berperan serta dalam proses usaha dimaksud (fairness),
sehingga demikian itu, usaha tersebut dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara internal
2
(accountability), maupun ekternal (responsibility). Perbedaan kepentingan dan perbedaan
pandangan tersebut itulah memicu kecurigaan satu dengan yang lain, mendorong kaum buruh
untuk memperjuangkan hak-haknya, baik secara langsung atau melalui organisasi buruh,
serikat pekerja, baik secara kooperatif kolektif, maupun melalui aksi-aksi sporadis melakukan
penentangan dengan jalan mogok kerja. Terlebih saat ini, mogok kerja tidak lagi dianggap
sebagai tindak pidana.
2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan
masalah yang dapat dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a).Bagaimanakah aksi mogok kerja dapat dilakukan oleh buruh sehingga tujuan dapat
tercapai tanpa merusak keharmonisan hubungan industrial ?
b).Bagaimana dan apa akibatnya jika aksi mogok kerja dilakukan dengan cara-cara
nonkooperatif serta dilakuakan dengan aksi yang melanggar ketentuan yang ada ?
c).Bagaimana sikap pengusaha dalam menyikapi aksi–aksi buruh untuk menuntut
perbaikan kesejahtearaan melalui aksi-aksi mogok kerja ?
3.Tujuan Penulisan
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
menyampaikan norma-norma pemogokan atau mogok kerja (strike and slowdown) dan
penutupan perusahaan (lock-out) secara normatif dan memberikan opini atau interpretasi
sekedar sebagai informasi hukum seputar mogok kerja (dalam arti strike dan slowdown) dan
lockout dengan harapan agar para pihak yang berkepentingan (baik pekerj/buruh atau
management) dapat mengetahui dan kemudian memahami prosedur, hak-hak dan kewajiban
masing-masing, sehingga dapat mengantisipasi akibat-akibat yang mungkin akan terjadi
4.Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku
referensi yang berhubungan dengan hukum ketenagakerjaan/perburuhan dan situs internet yang
langsung mengangkat permasalahan-permasalahan tentang aksi mogok pekerja terhadap
perusahan dengan penyelesaiannya.
5.Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Sebagai media untuk menambah wawasan.
b. Bahan referensi aktual dan Bahan bacaan menambah pengetahuan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Bagaimanakah aksi mogok kerja dapat dilakukan oleh buruh sehingga tujuan dapat
tercapai tanpa merusak keharmonisan hubungan industrial
A.Pengertian Pemogokan Atau Mogok Kerja dan Ketentuan Hukumnya
Pemogokan atau mogok kerja adalah merupakan salah satu persoalan yang dapat
meresahkan dunia usaha dan mengganggu hubungan kerja serta keharmonisan dalam
hubungan industrial, karena melibatkan banyak pihak (stakeholders) yang terkait. Di lain
pihak bagi pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh (trade union) yang melakukan
pemogokan kadang-kadang hanya merupakan keterpaksaan sebagai akibat buntunya
pembicaraan atau tidak adanya komunikasi yang baik antara management dengan para
pekerja/buruh, pada akhirnya mereka menempuh jalan mogok kerja demi menunjukkan
integritas hak mereka dalam perundingan. Adanya kebuntuan atau mis-komunikasi, seakan
tidak ada lagi jalan lain yang dapat ditempuh untuk dapat dipenuhinya keinginan mereka
(para) pekerja/buruh.
Terkait dengan itu, senada dengan apa yang disampaikan oleh Drs. Soewarto, bahwa
faktor dominan yang menjadi pemicu dan pendorong terjadinya pemogokan adalah kurang
intensif dan kurang efektifnya komunikasi antara pekerja/buruh termasuk organisasinya
(trade union) dengan management(pengusaha). Disamping itu juga dikemukakan, bahwa
ditemui beberapa faktor objektif, baik dari kalangan pekerja/buruh maupun management
yang juga ikut mempengaruhi timbulnya kasus pemogokan atau mogok kerja. Lantas,
bagaimana menghindari agar tidak terjadi mogok kerja, ataupun kalau harus terjadi tanpa
melanggar aturan dan ketentuan. Terkait dengan itu, perlu dipahami arti mogok kerja dalam
perspektif Undang-Undang.
Ketentuan mogok kerja, saat ini diatur dalam BAB XI Bagian Kedelapan Paragraf 2 UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK).
Dalam peraturan perundang-undangan, mogok kerja didefinisikan sebagai tindakan
pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau
(dilakukan) oleh serikat pekerja/serikat buruh (trade union) untuk menghentikan pekerjaan
(strike) atau memperlambat pekerjaan (slowdown). Dengan demikian, pengertian mogok
kerja tidak hanya dalam arti berhenti melakukan pekerjaan (strike), akan tetapi pengertian
mogok kerja juga mencakup pekerja (sengaja) memperlambat atau melakukan pekerjaan
secara lambat, tidak sesuai dengan target yang sewajarnya (slowdown) sesuai dengan rata-
rata tingkat produktivitas pekerja.
4
Ketentuan Mogok Kerja Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Menurut Pasal 137 jo Pasal 143 UUK, bahwa mogok kerja merupakan hak dasar pekerja /
buruh dan serikat pekerja/serikat buruh (trade union). Oleh karena itu, dalam melaksanakan
hak dasar tersebut, siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan trade union
untuk menggunakan hak mogok kerja sepanjang dilakukan secara sah, tertib dan damai.
Demikian juga, siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus (board of management) yang melakukan mogok kerja secara sah,
tertib dan damai sesuai dengan ketentuan, asalkan mogok kerja tersebut dilakukan sebagai
akibat gagalnya perundingan4.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 137 UU No. 13/2003 disebutkan, bahwa yang
dimaksud dengan gagalnya perundingan yang menjadi alasan mogok kerja adalah tidak
tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat
disebabkan karena :
a. Pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/serikat buruh
(trade union) atau pekerja / buruh telah 2 (dua) kali meminta secara tertulis kepada
pengusaha untuk berunding dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja; atau
b.Pengusaha mau melakukan perundingan, akan tetapi perundingan-perundingan yang
dilakukan mengalami jalan buntu (deadlocked) sebagai yang dinyatakan oleh para pihak
dalam risalah perundingan.
Dengan demikian, penyebab terjadinya mogok kerja, selain tidak adanya kehendak salah
satu pihak untukmelakukan komunikasi dengan baik, juga dapat terjadi karena kebuntuan
komunikasi atau tidak adanya kesepakatan (deadlocked) dalam pembicaraan sesuai dengan
tuntutan (penawaran) masing-masing.
Statement (mengalami jalan buntu atau deadlocked) ini sering digunakan oleh pekerja
atau serikat pekerja untuk memaksakan kehendak guna memenuhi tuntutan mereka. Dan
apabila tidak dipenuhi tuntutan yang deadlocked tersebut, maka pekerja akan beraksi. Oleh
karena itu kalimat ”gagalnya perundingan” harus diterjemahkan tidak hanya karena
pengusaha tidak mau melakukan perundingan, akan tetapi juga pengusaha telah melakukan
perundingan akan tetapi setelah ditangani (dimediasi) oleh petugas dari instansi
ketenagakerjaan, maka pekerja tidak boleh lagi melakukan (aksi) mogok kerja. Artinya,
apabila pengusaha juga tidak hendak memenuhi permintaan (tuntutan) pekerja, maka pekerja
juga tidak boleh memaksakan dengan mengancam akan mogok kerja. Kerna hakekat dari
perjanjian (baik perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama) adalah adanya kesepakatan.
Kalau dalam kesepakatan ada pemaksaan, maka perjanjian tersebut bisa menjadi tidak sah
(voidable).
5
B.Tujuan atau Filosofi dari Pemogokan atau Mogok kerja
Pemogokan atau mogok kerja sebagai alat (sarana) untuk mencapai tujuan pada awalnya
muncul karena adanya tuntutan-tuntutan pekerja/buruh. Jika tuntutan-tuntutan tersebut
dikaitkan dengan norma-norma hukum, maka dapat dibedakan menjadi tuntutan normatif dan
tuntutan tidak normatif. Tuntutan normatif adalah tuntutan yang didasarkan pada ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sebagai akibat pihak
pengusaha (majikan) tidak memenuhi kewajiban yang diletakkan oleh peraturan perundang-
undangan, misalnya tuntutan perbaikan struktur dan skala upah, tuntutan pembayaran THR
dan sebagainya. Dalam banyak kasus, tuntutan normatif yang paling menonjol adalah
masalah pemutusan hubungan kerja (PHK), keikutsertaan dalam program jamsostek, tuntutan
hak cuti, hak atas upah kerja lembur, pembentukan serikat pekerja (trade union) dan
pelaksanaan UMR (sekarang UMP atau UMK/K). Kesemuanya itu merupakan hak
pekerja/buruh yang seharusnya dilaksanakan secara konsekwen oleh management. Apabila
pengawasan ketenagakerjaa berjalan baik, semestinya hak-hak normatif tidak perlu dituntut
melalui mogok kerja, karena itu semua merupakan bagian dari penegakan hukum (law
emporcement). Namun menurut Drs. Suwarto dengan terbatasnya jumlah pegawai pengawas
ketenagakerjaan, maka pekerja/buruh ikut mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-
undangan . Sebakliknya, tuntutan tidak normatif adalah tuntutan yang tidak didasarkan pada
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, misalnya pemberian bonus
tahunan bagi pekerja back office, tuntutan pemberian kesejahteraan lebih baik kepada pekerja
dan keluarganya. Selain dapat dilihat dari segi normatif atau tidak normatif, tuntutan
pekerja/buruh dalam melakukan pemogokan / mogok kerja pekerja/buruh dapat dilihat dari
segi lain, yakni mogok kerja bertendensi ekonomi, dan mogok kerja yang bertendensi non-
ekonomi. Mogok kerja yang bertendensi ekonomi, apabila pemogokan dilakukan oleh
pekerja/buruh yang didasarkan pada tuntutan yang bernilai uang, misalnya tuntutan kenaikan
upah, tuntutan pemberian uang makan dan transport, ataukah tuntutan yang berkenaan
dengan pemberian fasilitas perumahan atau tempat tinggal di siteplan (semacam mess).
Sebaliknya, mogok kerja yang bertendensi non-ekonomi, apabila pemogokan dilakukan oleh
pekerja/buruh tidak berdasarkan pada tuntutan yang bernilai uang, seperti misalnya tuntutan
untuk perbaikan tingkat kesejahteraan dan restrukturisasi jabatan-jabatan dalam perusahaan,
atau tuntutan utnuk meminta penggantian pimpinan perusahaan atau pimpinan unit kerja
yang melakukan tindakan sewenang-wenang. Dalam hal pekerja/ buruh yang melakukan
mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh
dilanggar oleh pengusaha, maka pekerja/buruh berhak mendapatkan upah . Dengan kata lain,
apabila pekerja/buruh melakukan mogok kerja secara sah yang bukan merupakan tuntutan
normatif, pada prinsipnya pekerja tidak berhak atas upah (no work no pay) , kecuali
management dapat memberi toleransi upah tetap dibayar .
6
C.Cara Penyelesaian Pemogokan atau Mogok Kerja
Upaya penyelesaian mogok kerja kadang-kadang merupakan suatu seni tersendiri.
Terkadang antara mogok kerja yang satu dengan mogok kerja lainnya berbeda teknik dan
cara penanganan serta penyelesaiannya. Walaupun demikian dalam peraturan perundang-
undangan diatur norma secara umum antara lain, bahwa sebelum dan selama mogok kerja
berlangsung, instansi ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan
timbulnya pemogokan dengan (cara) mempertemukan (melakukan mediasi) dan
merundingkan dengan para pihak yang berselisih (pihak / kelompok yang mogok kerja
dengan management). Dalam hal perundingan (mediasi) tersebut menghasilkan kesepakatan,
maka harus dibuatkan perjanjian bersama (PB) yang ditanda-tangani oleh para pihak dan
pegawai dari instansi yang ketenagakerjaan sebagai saksi.
Dalam hal perundingan (mediasi) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari
instansi ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang, yakni
pengadilan hubungan industrial (PHI) atau arbitrase -dalam hal menyangkut perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar trade union. Sedangkan terkait dengan gagalnya
perundingan yang tidak menghasilkan kesepakatan, maka atas dasar perundingan (antara
pengusaha dengan trade union atau penanggung-jawab mogok kerja) tersebut, mogok kerja
dapat diteruskan (tidak bekerja) atau dihentikan untuk sementara (kembali bekerja / masuk
kerja sementara waktu) atau dihentikan sama sekali (dimana pekerja kembali masuk kerja
seperti biasa).
2.2. Bagaimana dan apa akibatnya jika aksi mogok kerja dilakukan dengan cara-cara
nonkooperatif serta dilakuakan dengan aksi yang melanggar ketentuan yang ada
A.Pemogokan atau Mogok Kerja Tidak Sah
Secara umum diatur dan ditentukan, bahwa mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai
dengan ketentuan prosedur mogok kerja, dianggap mogok kerja tidak sah dan khusus untuk
perusahaan vital, yakni perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan
yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, terdapat pengaturan
tersendiri sebagaimana telah disebutkan di atas. Apakah dan bagaimanakan yang dimaksud
dengan mogok kerja tidak sah ?.
Bersasarkan Pasal 3 Kepmenakertrans No. Kep-232/Men/2003 disebutkan, bahwa mogok
kerja dikatakan tidak sah, apabila dilakukan.
7
a. Bukan sebagai akibat gagalnya perundingan;
b.Dilakukan tanpa pemberitahuan (tertulis) kepada pengusaha dan isntansi
ketenagakerjaan; dan/atau
c.Ada pemberitahuan (tertulis) akan tetapi kurang dari 7 (tujuh) hari kerja sebelum
pelaksanaan mogok kerja; dan/atau
d.isi pemberitahuan tidak sesuai dengan fakta dan pelaksanaannya, khususnya mengenai
waktu, tempat, alasan dan sebab serta tanda-tangan penangghung-jawab mogok.
Disamping itu, dapat dikualifikasikan sebagai mogok kerja tidak sah, apabila mogok
kerja dilakukan secara tiba-tiba, tanpa perencanaan, secara langsung diajak oleh rekan
sekerja lainnya untuk mogok ketika sedang bekerja, ketentuan ini termasuk pada perusahaan
yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia. Karena sebagaimana telah disebutkan, bahwa
mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang
jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh
pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok kerja tidak sah. Terkait
dengan itu, pada definisi mogok kerja telah ditegaskan, bahwa mogok kerja harus
direncakanan dan dilakukan secara sah, tertib dan damai.
Dengan demikian pada perusahaan-perusahaan vital yang melayani kepentingan umum
dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia,
hemat penulis, tidak ada istilah slow down, tapi hanya ada strike (tidak bekerja) yang
terencana. Akan tetapi –hemat penulis– kalau dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak
bertugas, maka tentu bukan ”mogok” (strike) namanya, akan tetapi lebih kepada unjuk rasa,
walau dengan ”izin” mogok kerja.
B.Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 7 ayat (1) Kepemenakertrans No. Kep-
232/Men/2003, bahwa mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah, baik mogok kerja secara
umum (sesuai Pasal 3 Kepmenakertrans), atau mogok kerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan
jiwa manusia (sebagaimana dimaksud Pasal 5 Kepmenakertrans) dikualifikasikan sebagai
mangkir.Terkait dengan ketentuan mangkir, menurut Pasal 168 ayat (1) dan ayat (3) UU No.
13/2003 bahwa pekerja buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut tanpa
keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah, dan telah dipanggil oleh
pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis, dapat diputus hubungan kerjanya (PHK)
karena dikualifikasikan mengundurkan diri dengan hak memperoleh uang penggantian hak
dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam PK, PP atau PKB.
8
Namun khusus dalam kasus mogok kerja, pemanggilan kembali bekerja bagi (para)
pelaku mogok kerja dilakukan oleh pengusaha 2 (dua) kali berturut-turut dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari(kerja) dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Dengan
demikian ada toleransi waktu yang lebih lama dari ketentuan waktu pada (kasus) mangkir
yang diatur dalam Pasal 168 ayat (1) UU No. 13/2003 yang hanya memberi batas waktu
selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
Akibat mangkir karena mogok kerja ini dipertegas kembali dalam Kepmenakertrans
No.Kep-232/Men/2003, bahwa pekerja yang tidak memenuhi panggilan pengusaha 2 (dua)
kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari(-kerja) dianggap mengundurkan diri.
Dan berdasarkan Pasal 162 ayat (4) jo Pasal 154 huruf b UU No. 13/2003, bahwa pemutusan
hubungan kerja dengan alasan mengundurkan diri atas kemauan sendiri, dilakukan tanpa
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
C.Kualifikasi Kesalahan Berat dan Keputusan Mahkamah Konstitusi
Dalam hal mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan
jiwa manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dan berhubungan dengan
pekerjaanya, dikualifikasikan sebagai kesalahan berat8. Namun ketentuan menganai ini,
sudah dianulir oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 012/PUU-1/2003,
khususnya Pasal 158 dan 159 UU No. 13/2003 terkait dengan Pasal 186 UU No. 13./2003.
Demikian juga dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut disebutkan, bahwa Pasal 186
(Ketentuan Pidana) terkait dengan Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) UU No. 13/2003
dinyatakan tidak memepunyaikekuatan hukum yang mengikat.
Selain itu, dalam Keputusan MK tersebut menyatakan, bahwa UU No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat ”Pasal 137 dan Pasal
138 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003”, bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945, dan
(selanjutnya) menyatakan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat ”Pasal 137 dan Pasal
138 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003” tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Dengan perkataan lain, kalimat yang menyangkut Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)
yang terdapat dalam Pasal 186 UU No. 13/2003 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Maknanya, sanksi pidana penjara dan/atau denda atas pelanggaran
dalam Pasal 186 UU No. 13/2003 terhadap pelanggaran Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) UU
No. 13/2003 tidak dapat dijadikan sebagai rujukan / acuan (termasuk oleh ”Hakim”) untuk
menyelesaikan perkara (mogok kerja), karena sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat.
Berdasarkan Pasal 186 UU No. 13/2003, bila aksi mogok kerja dilakukan oleh buruh
(pekerja) secara tidak sah, tidak tertib dan damai serta bukan sebagai akibat gagalnya
9
perundingan, maka terhadap pelanggaran tersebut dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,- (empatratus juta
rupiah).Demikian juga bila pekerja/buruh yang mogok kerja mengajak pekerja/buruh lainnya
untuk mogok kerja pada saat aksi mogok kerja (akan) berlangsung yang dilakukan dengan
melanggar ketentuan hukum, termasuk ketentuan prosedur mogok kerja yang sah, maka
terhadap pelanggaran tersebut di atas dapat dikenakan sanksi sebagai mana tersebut. Namun
dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 012/PUU-1/2003, maka
ancaman sanksi pidana penjara dan/atau denda dalam Pasal 186, menjadi tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.
Terkait dengan mogok kerja tidak sah yang diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-232/Men/2003 tentang Akibat Hukum Mogok
Kerja Tidak Sah, hanya memuat sanksi yang bersifat keperdataan, yakni bagi pekerja buruh
yang melakukan mogok kerja tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir. Selanjutnya, bagi
pekerja/buruh yang mangkir dan telah dilakukan upaya pemanggilan sesuai dengan
ketentuan, maka dapat dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri. Bahkan bilamana
mogok kerja dilakukan secara tidak sah mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, maka
dikualifikasikan sebagai kesalahan berat, yakni, melakukan pembunuhan, walau perbuatan
tersebut harus dapat dibuktikan di muka Hakim, due process of law.
2.3. Bagaimana sikap pengusaha dalam menyikapi aksi–aksi buruh untuk menuntut
perbaikan kesejahtearaan melalui aksi-aksi mogok kerja
A.Penutupan Perusahaan (Lock Out)
Jika pada bagian awal telah diuraikan segala sesuatu mengenai mogok kerja, khususnya
yang bersifat normatif merujuk pada Pasal 137 sampai dengan Pasal 145 UU
Ketenagakerjaan, pada bagian ini menguraikan mengenai lock out yang merujuk Pasal 146
sampai Pasal 149 UU Ketenagakerjaan yang merupakan perbuatan dan hak pengusaha
(majikan) untuk merintangi pekerja/buruh melakukan pekerjaan.
Pengertian penutupan perusahaan (lock-out) dalam kaitan dengan UU Ketenagakerjaan,
bukan dalam arti likuidasi atau pembubaran perusahaan (liquidation) sebagaimana UU
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Dalam Pasal 142 UUPT
dikatakan, bahwa pembubaran perseroan terbatas terjadi karena keputusan RUPS, jangka
waktu berdirinya telah berakhir, karena penetapan pengadilan, kepailitan dan keadaan
insolvensi atau karena dicabutnya izin usaha untuk suatu perseroan terbatas tertentu.
Akan tetapi penutupan perusahaan dalam konteks lock out, hanyalah merupakan tindakan
sementara (corporate action) untuk menutup perusahaan sebagai tindakan balasan atas
10
tuntutan pekerja / buruh (termasuk trade union) yang dilakukan melalui pemogokan atau
mogok kerja sebagai tindakan balasan bilamana pekerja / buruh memaksakan tuntutannya
dalam perundingan.
Pada mulanya, ketentuan yang terkait dengan lock out atau penutupan perusahaan ini,
diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1963 (Pasal 1) disebutkan batasan
(definisi) penutupan perusahaan (lock-out), adalah dengan sengaja bertentangan dengan
perjanjian, baik tertulis maupun lisan, untuk merintangi dijalankannya (suatu) pekerjaan.
Kemudian oleh seorang ahli Hukum Perburuhan, G. Kartasapoetra memperjelas pengertian
penutupan perusahaan, bahwa penutupan perusahaan, adalah di mana pihak pengusaha atau
wakilnya, dengan sengaja bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang telah ditanda-
tangani atau perjanjian lisan yang telah diberikannya kepada pihak buruh, merintangi
dan/atau menghlang-halangi para buruh untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya itu,
dengan maksud agar buruh tunduk kepada peraturan atau tindakan-tindakan pengusaha atau
wakilnya, atau supaya para buruh segera menghentikan tuntutan-tuntutannya.
Dengan demikian, ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama serta pendapat
ahli mengenai penutupan perusahaan (lock out), sejalan dengan peraturan perundang-
undangan yang saat ini masih menjadi hukum positif, yakni bahwa lock out adalah
merupakan tindakan balasan atas tuntutan pekerja / buruh (termasuk organisasi pekerjanya /
trade union) yang diimplementasikan melalui mogok kerja.
Ketentuan Lock-Out Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Penutupan perusahaan (lockout) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja /
buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan. Pengertian tersebut
dipertegas kembali dalam UU, bahwa penutupan perusahaan (lockout) merupakan hak dasar
pengusaha untuk meolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan
pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan (atas tuntutan yang tidak bersifat normatif
atau tuntutan -perselisihan- kepentingan). Oleh karenanya, pengusaha tidak dibenarkan
untuk melakukan penutupan perusahaan (lockout) sebagai tindakan balasan sehubungan
dengan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau trade union. Sebaliknya
pengusaha berhak untuk melakukan lock out bilamana pekerja / buruh tetap memaksakan
kehendaknya atas tuntutan yang tidak bersifat normatif yang seharusnya dilakukan atas
dasar kesepakatan dengan reasoning dan argumentasi yang didasarkan atas data dan fakta.
Lock Out Pada Perusahaan Yang Melayani Kepentingan Umum
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat
11
pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi
serta kereta api. Dengan demikian, walaupun pekerja memiliki hak mogok kerja, akan tetapi
sebaliknya pengusaha (pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau
perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia) tidak ada hak
untuk lock out.
B.Prosedur Lock Out
Untuk melakukan penutupan perusahaan (lock-out), pengusaha wajib memberitahukan
secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau trade union serta instansi ketenagakerjaan
setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum lock out dilaksanakan, dan isi
pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat :
a. Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhirnya lock out; dan
b.Alasan dan sebab-sebab melakukan lock out.
c. Pemberitahuan ditanda-tangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang
bersangkutan.
Dalam hal prosedur lock out tersebut tidak dipatuhi, maka lock out dianggap tidak sah.
C.Proses Penyelesaian Lock Out
Secara garis besar diatur proses penyelesaian lock out dalam peraturan perundang-
undangan. Proses tersebut pada dasarnya sama dengan penyelesaian mogok kerja bilaman
telah deadlocked, maka penyelesaiannya dilakukan melalui keterlibatan instansi
ketenagakerjaan yang mempertemukan (melakukan mediasi) diantara para pihak yang
berselisih.
Pada saat pekerja/buruh atau trade union dan instansi ketenagakerjaan menerima
pemberitahuan lock out dari pihak pengusaha, maka pekerja/buruh atau trade union dan
instansi ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan lock out
harus diberi tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal dan jam
penerimaan.
Sebelum dan selama lock out berlangsung, instansi ketenagakerjaan berwenang langsung
menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya lock out dengan mempertemukan dan
merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. Dalam hal perundingan tersebut
menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat PB (perjanjian bersama) ditanda-tangani oleh
para pihak dan pegawai instansi ketenagakerjaan sebagai saksi.
Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai instansi
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya lock out
12
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam kaitan dengan
perundingan yang tidak menghasilkan kesepakatan, maka atas dasar perundingan tersebut
lock out dapat diteruskan (: penutupan perusahaan terus berlangsung) atau dihentikan
sementara (: perusahaan dibuka kembali untuk waktu tertentu), atau dihentikan sama sekali
(: perusahaan dibuka kembali selamanya).
Namun pemberitahuan lock out tidak diperlukan, dalam hal :
a. Pekerja atau union melanggar prosedur mogok kerja. Artinya, pekerja / buruh melakukan
mogok kerja secara tidak sah. Dalam hal, ini perusahaan dapat mengabaikan
pemberitahuan untuk melakukan lock out;
b. pekerja atau union melanggar ketentuan normatif (yang telah disepakati / ditentukan)
dalam perjanjian kerja, PP atau PKB, atau peraturan perundang-undangan.
Dengan perkataan lain, bilamana pekerja/buruh melakukan mogok kerja dengan melanggar
prosedur yang ditentukan, atau tidak mengindahkan ketentuan normatif (termasuk hal
mogok kerja) dalam perjanjian kerja, PP atau PKB, maka pengusaha dapat melakukan lock
out tanpa menyampaikan pemberitahuan kepada yang berkepentingan (serikat pekerja dan
”instansi”).
D.Jalan Treakhir melaui Penyelesaian pengadilan hubungangan industrial
Pengadilan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 tahun 2004 ditempatkan dan
berada pada pengadilan negeri di setiap kabupaten kota. Sampai dengan tahun 2008,
pengadilan hubungan industrial baru terbentuk di 33 ibu kota provinsi seluruh Indonesia.
Ketua pengadilan hubungan industrial adalah ketua pengadilan negeri setempat, dengan
majelis hakim terdiri dari: ketua majelis dari hakim karier, anggota hakim ad-hoc masing-
masing dari unsur pengusaha dan unsur pekerja yang diangkat oleh Presiden atas usul ketua
Mahkamah Agung. Pengadilan hubungan industrial berwenang menangani ke-4 jenis
perselisihan, dengan ketentuan bahwa pada tingkat pertama dan terakhir untuk perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Sedangkan tingkat pertama untuk jenis perselisihan hak, dan perselisihan PHK. Putusan PHI
di tingkat pengadilan negeri khusus untuk perselisihan hak dan PHK dapat diajukan kasasi
ke mahkamah agung. Jadi, upaya hukum banding tidak dikenal dalam UU ini. Mahkamah
agung sebagai lembaga tingkat kasasi telah memiliki majelis hakim hubungan industrial,
yang diangkat oleh Presiden atas usul ketua mahkamah agung. Ketua majelis adalah hakim
agung dan dua anggota majelis terdiri dari hakim ad-hoc, masing-masing dari unsur
pengusaha dan unsur pekerja, yang berwenang menangani perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.Status pelaksanaan mogok kerja dapat dikatagorikan menjadi 2, yakni
a. mogok kerja yang dilakukan secara sah, aman dan damai serta dilakukan sebagai akibat
gagalnya perundingan; dan
b. mogok kerja tidak sah, yang tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan yang ditentukan,
baik dalam peraturan perundang-undangan, maupun yang diatur dalam peraturan
perusahaan atau perejanjian kerja bersama, termasuk mogok kerja yang dilakukan dengan
mengganggu ketertiban lingkungan tempat kerja dan/atau masyarakat umum, serta
dilakukan bukan sebagai akibat gagalnya perundingan, akan tetapi (mungkin) pihak
pekerja menuntut dan memaksakan kehendak melalui aksi mogok kerja (baik dalam arti
strike, maupun dalam pengertian slow down).
2.Mogok kerja yang dilakukan secara sah, dapat diberikan toleransi untuk melakukan aksi,
sepanjang dilakukan secara tertib dan damai, dan pengusaha tidak dapat mengahalang-
halangi pekerja/buruh yang sedang melaksanakan aksi mogok, tidak boleh mengganti pekerja
/buruh yang sedang mogok kerja dengan pekerja / buruh lain, serta tidak boleh memberi
sanksi atau tindakan balasan selama dan sesudah melakukan aksi mogok kerja.
3.Pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia dimungkinkan adanya aksi mogok
kerja, namun harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum
dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Walaupun demikian, tidak boleh dilakukan
oleh pekerja/buruh yang sedang menjalankan tugas.
4.Pekerja / buruh atau serikat pekerja / serikat buruh mempunyai hak untuk mogok kereja,
sebaliknya pengusaha mempunyai hak untuk melakukan lock out sebagai tindakan balasan
terhadap aksi mogok yang dilakukan oleh pekerja/buruh.
5.Walaupun demikian, bagi perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan
yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia tidak ada hak untuk
melakukan lock out.
3.2 Saran
1.Sekecil apapun aspirasi pekerja/buruh kiranya perlu ditampung dan jika memungkinkan
untuk disalurkan dan dipenuhi, atau setidaknya diberi tanggapan dan penjelasan sehingga
(para) pekerja dapat memahami dan memaklumi kondisi dan keadaan yang sebenarnya;
2.Sebaliknya, bagi pekerja yang menyampaikan uneg-uneg hendaknya tidak memaksakan
kehendak jika kondisi dan keadaan memang tidak memungkinkan.
14
3.Saat ini sedang gencar didengungkan good corporate governance, yang meliputi
transparency, accountability, responsibility dan fairness. Sepanjang tidak menyangkut
kerahasiaan yang sangat secret, seyogyanya management mengupayakan untuk
menyampaikan kondisi-kondisi peerusahaan secara apa adanya. Komunikasi diantara para
pihak dan para stakeholders yang terkait perlu senantiasa dijalin, termasuk kepada para
pekerja yang merupakan salah satu unsur yang sangat berperan dalam proses produksi dan
berkembangnya perusahaan.
4.Dalam UU Perseroan Terbatas, sudah dimungkinkan adanya program kepemilikan saham
karyawan yang diseut ESOP (employee stock option program). Jika sekiranya perusahaan
yang akan listing di pasar modal, seyogyanya para pekerja ditawarkan terlebih dahulu pada
kesempatan pertama melalui initial public offering. Program ini secara pshychologis akan
membuat para karyawan ada perasaan memiliki (sence of belonging) sehingga tercipta
adanya sence of crisis pada saat mereka menuntut adanya perbaikan upah atau kesejahteraan.
15
DAFTAR PUSTAKA
http// indolawcenter.com
Dr. Agusmidah, SH., M.Hum, "Hukum Ketenagakerjaan Indoneisa" .
Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 012/PUU-1/2003, yang menyatakan bahwa
Ketentuan dalam Pasal 186 sepanjang mengenap Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) UU
13 Tahun 2003, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Umar Kasim, Mogok kerja dan penutupan perusahaan, indolawcenter.com